23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Visualisasi Gelombang di Dalam Domain Komputasi Teknis penelitian yang dilakukan dalam menguji disain sensor ini adalah
dengan cara menembakkan struktur sensor yang telah dibuat dengan menggunakan gelombang elektromagnetik. Adapun jenis gelombang yang dipilih adalah planewave dengan sumber yang terletak di dalam domain komputasi. Planewave yang digunakan memiliki bentuk umum sesuai dengan Persamaan (25)16: y = A sin(ωt − kx)
(25)
Alasan pemilihan bentuk gelombang tersebut adalah karena kemudahan dalam melakukan analisis dan kemudahan dalam melakukan simulasi. Gambar 11 menunjukan hasil simulasi ketika planewave dirambatkan dalam arah sumbu x. Selain itu, domain komputasi diberikan buffer pada setiap bagian tepinya sedemikian sehingga diperoleh visualisasi yang lebih optimal.
Buffer
Gelombang disrap oleh PML
Gambar 11. Planewave dirambatkan dalam medium hampa dengan batas domain komputasi dengan ukuran mesh 100 x 50. Tampak bahwa medan listrik Ez berubah terhadap waktu. Pada batas medium tidak terjadi efek pemantulan disebabkan oleh adanya PML yang menyerap gelombang saat melewati batas domain komputasi.
24
Dalam simulasi, nilai frekuensi maupun panjang gelombang yang digunakan harus disesuaikan dengan increment domain dan bentuk struktur sensor. Hal ini bertujuan agar fenomena yang terjadi di dalam struktur dapat teramati sehingga lebih mudah dalam melakukan analisis. Dari beberapa kali simulasi, diperoleh nilai increment ( ∆x ) yang optimal, yaitu ∆x
10 λ 11
(26)
atau dengan kata lain ∆x harus memiliki orde yang sama dengan λ namun dengan nilai yang sedikit lebih kecil.11, 17
4.2
Visualisasi Disain dan Spesifikasi Sensor Model sensor ini menggunakan struktur dasar yang terdapat pada Gambar
10. Sensor didisain dengan menggunakan lempengan yang bagian dalamnya terdapat sebelas pilar dengan dua buah defek pada pilar ke-4 dan ke-8. Lempeng menggunakan bahan silikon (Si) dengan indeks bias 3,48 dengan delapan buah pilar regular dari bahan SiO2 dengan indeks bias 1,44 dan radius masing-masing sebesar 600 nm. Defek pertama (pilar ke-4) menggunakan bahan Al2O3 dengan indeks bias 1,7 dan defek kedua memiliki indeks bias yang divariasikan (sebagai tempat sampel yang akan diuji). Pemilihan nilai indeks bias struktur sensor didasarkan pada bahan-bahan yang sudah ada dalam aplikasi riil sehingga untuk ke depannya diharapkan dapat mempermudah pabrikasi. Pada Gambar 11 tampak disain biosensor dengan struktur berdasarkan nilai permitivitas relatifnya. Variasi nilai permitivitas terendah divisualisasikan dengan warna biru dan nilai tertinggi dengan warna merah. Dengan adanya hubungan antara nilai indeks bias dengan permitivitas relatif, maka akan memudahkan pembuatan program dengan mengikuti relasi sesuai Persamaan (27). n = εr .
(27)
Visualisasi nilai permitivitas struktur bertujuan untuk mengecek kesesuaian program yang telah dibuat. Jika terdapat kekeliruan coding, maka tampilan struktur akan tampak tidak sesuai dengan disain. Pada Gambar 12 tampak bahwa distribusi nilai permitivitas sudah sesuai dengan disain struktur dari Gambar 10, ini berarti bahwa program sudah benar dan siap untuk digunakan.
25
Gambar 12. Penampang struktur berdasarkan perbedaan nilai permitivitas bahan. Visualisasi ini berfungsi untuk mengecek kesesuaian antara disain struktur dengan coding.
Keunggulan penggunaan metode FDTD dalam melakukan simulasi adalah kemudahan dalam menganalisis proses yang terjadi. Karena selama simulasi berlangsung program menampilkan proses perambatan gelombang memasuki sensor. Dengan demikian semua mekanisme fisis dari gelombang dapat teramati.
4.3
Distribusi Medan Listrik Ez di Dalam Sensor Prinsip utama dari kerja sensor berbasis optik adalah adanya fenomena
refleksi dan refraksi ketika sebuah gelombang elektromagnetik melewati batas dua medium dielektrik dengan perbedaan nilai indeks bias tertentu. Proses perambatan medan listrik dapat teramati beserta mekanisme-mekanisme rafleksi dan refraksi yang terjadi. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 13.
26
Gambar 13. Mekanisme perambatan medan listrik Ez di dalam sensor pada saat memasuki time step ke-301, 750, 1136 dan 2827 (saat 2,508x10-2 ps, 6,250 x10-2 ps, 9,467 x10-2 ps dan 2,356 x10-2 ps). Sensor menggunakan jari-jari regular 600 nm dan jari-jari defek 800 nm. Indeks bias defek ke-2 sebesar 1,40.
Gambar 13 menunjukan proses perambatan medan listrik yang terekam pada saat time step ke-301, 750, 1136 dan 2827. Pada gambar tersebut tampak bahwa setelah gelombang keluar dari sensor ada sebagian medan listrik yang tarpantul kembali ke dalam sensor. Selain itu tampak pula bahwa proses perambatan gelombang di dalam struktur berjalan lebih lambat, kondisi tersebut terlihat jelas pada time step ke-750 dan ke-1136. Hal ini menunjukan bahwa gelombang elektromagnetik mengalami pengurangan kecepatan ketika melalui suatu bahan dielektrik dengan nilai indeks bias yang lebih besar. Nilai panjang gelombang mengalami pengurangan ketika memasuki struktur sensor, pada Gambar 12 divisualisasikan dengan garis-garis muka gelombang yang lebih halus pada bagian struktur jika dibandingkan dengan garis pada bagian luar struktur.
27
Selain itu, perbesaran gambar pada time step ke-2827 menunjukan adanya penguatan medan pada bagian dalam pilar. Hal ini terjadi disebabkan adanya mekanisme pemantulan internal di dalam pilar. Pilar memiliki bahan dielektrik dengan indeks bias yang lebih rendah dari lempengan (slab) sensor, sehingga saat gelombang merambat keluar pilar dengan sudut yeng lebih besar atau sama dengan sudut kritisnya maka gelombang dipantulkan kembali ke dalam pilar sehingga muncul efek penguatan medan. Gambar 14 menunjukan bahwa medan listrik di bagian dalam struktur mengalami penurunan amplitudo. Hal ini menunjukan bahwa panjang gelombang yang digunakan terlokalisasi di dalam band-gap, kondisi tersebut diindikasikan dengan adanya sejumlah besar medan yang terpantul kembali. Mekanisme yang terjadi di dalam struktur sensor sangat kompleks serta meliputi berbagai proses fisis. Akan tetapi, secara lebih khusus dapat diketahui adanya proses interferensi antara gelombang datang dengan gelombang pantul. Mekanisme interferensi tersebut menghasilkan output yang berbeda-beda ketika bahan dan dimensi pilar diubah-ubah. Pada akhirnya diperoleh pola hubungan menyerupai linier antara perubahan indeks bias bahan terhadap rapat energi output rata-rata. Hal ini yang menjadi dasar bahwa struktur tersebut dapat diaplikasikan sebagai sensor. Simulasi dilakukan dengan menggunakan jumlah mesh berukuran 400 × 200 dengan masing-masing mesh memiliki ukuran increment ∆x = ∆y = 500 nm, adapun time step ∆t = 500 ns. Adapun gelombang yang digunakan dalam simulasi adalah gelombang datar (plane wave) dengan panjang gelombang pada kisaran 560 nm.
Gambar 14. Distribusi medan listrik di dalam sensor optik setelah proses perambatan selama 260,5 ps. Defek kedua mengandung bahan material dengan indeks bias 1,40.
28
4.4
Pengukuran Kinerja Sensor Variasi nilai indeks bias bahan pada defek ke-2 akan berpengaruh terhadap
energi output yang didefinisikan menurut persamaan: h 2 Q(t ) = ∫ ε E (t ) dy
(28)
0
Persamaan (28) menunjukan bahwa energi output dihitung dengan cara menintegrasikan nilai mutlak medan listrik Ez sepanjang garis vertikal pada sisi kanan sensor (sisi output setelah gelombang melewati sensor). Dengan menggunakan kalkulasi ini didapat nilai energi per satuan panjang untuk setiap time step, dalam hal ini dinotasikan dengan simbol Q . Untuk itu diperlukan kalkukasi berikutnya untuk menghitung nilai energi output yang dapat merepresentasikan keseluruhan proses. Dengan demikian, perhitungan hasil juga memerlukan definisi parameter rapat energi rata-rata sebagai berikut: W =
1t t
∫ Q(t ) dt
(29)
0
Persamaan (29) menunjukan bahwa energi sudah terintegrasi secara total terhadap waktu kemudian dirata-ratakan untuk total waktu selama ݐ. Sehingga nilai rapat energi W sudah dapat merepresentasikan keseluruhan proses.
Gambar 15. Perubahan rapat energi terhadap waktu pada posisi input dan output. Indeks bias defek kedua sebesar 1,4, pilar regular berjari-jari 600 nm.
29
Gambar 15 menunjukan perubahan rapat energi terhadap waktu pada posisi input (bagian kiri) dan output (bagian kanan) dari sensor untuk nilai indeks bias defek kedua 1,4. Pada gambar tampak bahwa rapat energi berfluktuasi selama berlangsungnya proses, hal ini bersesuaian dengan jenis gelombang yang digunakan yaitu planewave dengan menggunakan fungsi gelombang sinus. Untuk interval waktu kurang dari 0,5 x 10-10 sekon, rapat energi pada posisi input berfluktuasi dengan sangat singkat sedangkan pada posisi output berharga nol. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada selang waktu tersebut posisi input terjadi refleksi dengan jumlah yang sangat besar dan gelombang belum sampai ke posisi output. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa sensor memiliki nilai absorbansi yang sangat besar sehingga pada gambar terlihat bahwa amplitudo energi pada posisi output jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan posisi input. Pengukuran kinerja sensor dilakukan dengan mencari nilai integrasi rapat energi terhadap waktu yang kemudian dirata-ratakan sesuai dengan Persamaan (29). Dengan kata lain, output yang sudah didapat pada Gambar 16 merupakan data mentah yang kemudian akan diintegralkan untuk mendapatkan rapat energi rata-rata. Dengan menggunakan Persamaan (29) didapat nilai rapat energi ratarata untuk nilai indeks bias tertentu pada defek yang kedua. Setelah itu akan didapat hubungan antara rapat energi output terhadap nilai indeks bias defek. Hubungan inilah yang kemudian dijadikan sebagai parameter ukur dari kinerja sensor. Secara lebih detil alur pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 16. Perubahan rapat energi pada posisi output (bagian kanan sensor) terhadap waktu. Jarijari defek ke-2 800 nm dengan indeks bias 1,45. Jari-jari pilar reguler 500 nm. Integrasi grafik ini akan mendapatkan nilai rapat energi rata-rata output sebesar 48.3838772 nJ/m.
30
(a)
(b)
Gambar 17. (a) Perubahan rapat energi rata-rata terhadap variasi indeks bias defek ke-2 untuk jarijari defek 300 nm (dot kotak) dan jari-jari defek 800 nm (dot lingkaran). (b) Perubahan rapat energi rata-rata terhadap variasi jari-jari defek ke-2 dengan nilai indeks bias 1,4. Sensor didisain dengan menggunakan pilar regular berjari-jari 600 nm
Dari banyaknya simulasi yang telah dilakukan, maka diperoleh nilai hubungan antara perubahan rapat energi rata-rata terhadap indeks bias defek. Seperti terlihat pada Gambar 17(a), untuk nilai radius defek sebesar 800 nm, perubahan indeks biasnya berpengaruh terhadap perubahan rapat energi rata-rata
W , sedemikian sehingga tampak kenaikan nilai rapat energi seiring dengan bertambahnya indeks bias. Kesensitifan ini terukur untuk interval indeks bias pada kisaran 1,33 sampai 1,45. Untuk jari-jari sebesar 300 nm, tampak tidak ada pengaruh perubahan indeks bias untuk kisaran yang sama. Dengan demikian dapat diketahui bahwa struktur kristal dengan jari-jari 800 nm dapat diaplikasikan sebagai sensor untuk mengukur sampel berupa cairan. Dalam aplikasi riil bisa berupa jaringan, larutan gula, membran dan lain-lain. Selain itu dapat diketahui pula bahwa kesensitifan sensor hanya berlaku pada nilai jari-jari defek tertentu saja. Karakteristik lain yang dapat diketahui dari sensor ini adalah adanya pengaruh perubahan nilai rapat energi terhadap variasi jari-jari pilar defek. Pada Gambar 17(b) tampak bahwa seiring bertambahnya jari-jari pilar defek, rapat energi rata-rata mengalami penurunan. Khusus untuk jari-jari sebesar 450 nm, terjadi kenaikan rapat energi rata-rata yang maksimum untuk kemudian turun dan naik kembali pada jari-jari 550 nm dan kemudian turun hingga jari-jari 700 nm.
31
(a)
(b)
Gambar 18. Perubahan rapat energi rata-rata terhadap indeks bias untuk disain sensor menggunakan jari-jari pilar reguler sebesar 500 nm. (a) Sensor bekerja dengan kesensitifan yang baik jika menggunakan defek ke-2 dengan jari jari 400 nm atau 500 nm. (b) Sensor tidak dapat bekerja secara efektif jika menggunakan jari-jari defek ke-2 sebesar 600 nm, 700 nm dan 800 nm.
Dengan mengganti jari-jari pilar reguler yang sebelumnya 600 nm menjadi 500 nm, ternyata sensor tidak lagi sensitif jika jari-jari defek sebesar 800 nm (lihat Gambar 18 (b)), akan tetapi kesensitifan diperoleh untuk jari-jari defek 400 nm dan 500 nm (lihat Gambar 18 (a)). Dari hasil ini dapat diambil kesimpulan bahwa nilai kesensitifan sensor akan berubah jika terjadi perubahan jari-jari defek ke-2. Selain itu, kesensitifan sensor dapat diatur pada interval indeks bias yang tertentu dengan cara mencari nilai jari-jari defek yang bersesuaian. Dari banyaknya variasi yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa sensor memiliki tingkat kesensitifan yang beragam disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Selain itu, perubahan disain pada salah satu bagian akan turut mempengaruhi perubahan disain pada bagian lainnya jika ingin mendapatkan kesensitifan yang sama dari sensor.
4.5
Perbandingan dengan Beberapa Sensor Optik Lainnya Jika dibandingkan dengan beberapa model sensor optik yang sudah ada,
sensor dengan struktur berupa pilar-pilar memiliki beberapa kelebihan dalam hal flaksibilitas pengukuran jika diterapkan dalam aplikasi. Dengan struktur berupa
32
rod, sampel dapat lebih mudah dimasukan dengan cara mencelupkannya. Pada aplikasi yang lebih riil, perubahan dimensi jari-jari disesuaikan dengan jenis sampel yang akan diukur. Sebagai contoh, jika ingin mengukur larutan makromolekul maka disain sensor yang sesuai adalah dengan menggunakan jarijari pilar defek yang besar sehingga dapat menampung larutan dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu, perbedaan metode simulasi juga dapat menentukan perbedaan parameter ukur dari suatu sensor. Sebagai pembanding, model sensor berupa layer15 yang menggunakan metode matriks transfer memiliki parameter ukur yang berbeda dengan model pilar periodik yang menggunakan metode FDTD. Dalam metode matriks transfer, karakteristik optik suatu material ketika berinteraksi dengan foton dapat diketahui dengan memperoleh nilai transmitansinya seperti dijelaskan pada Gambar 19. Dengan menggunakan metode FDTD, parameter ukur yang didapat berupa nilai rapat energi rata-rata. Metode FDTD sulit untuk menentukan nilai transmitansi suatu bahan. Selain itu, metode FDTD cenderung memakan waktu lebih lama ketika menentukan batas kesensitifan struktur sensor karena data simulasi diperoleh secara satu persatu dalam setiap simulasi. Kelebihan yang dimiliki metode FDTD adalah dalam hal menganalisis dinamika yang terjadi selama waktu perambatan gelombang. Karena proses perambatan gelombang ditampilkan secara terus-menerus sebagai fungsi waktu.
Gambar 19. (a) Pergeseran nilai transmitansi (Tω) terhadap lebar defek untuk d 2" = mλ0 / 4 untuk m = 3 (garis padat), m = 3.1 (garis putus-putus) dan m = 3.2 (garis titik-titik) untuk M = 8, N = 10 dan L = 2. M dan N adalah jumlah segman grating dengan hubungan N = M + L. (b) Nilai
Tω untuk d 2" = 3mλ0 / 4 dengan kombinasi bilangan segmen M = 8, N = 10 dan L = 2 (garis padat); M = 9, N = 12 dan L = 3 (garis putus-putus); M = 11, N = 16 dan L = 5 (garis titiktitik). (c) Perubahan nilai transmitansi yang bergantung secara linier terhadap perubahan indeks bias defek n2” untuk parameter M = 11, N = 16 dan L = 5. (Alatas, H. et al, 2006)
33
Pada dasarnya penggunaan metode disesuaikan dengan kebutuhan simulasi serta model struktur yang sedang dikembangkan. Sebagai contoh, penerapan metode FDTD pada pilar dielektrik juga dapat diaplikasikan sebagai sensor jarak sebagaimana yang telah dilakukan oleh Zhenfeng Xu et al (2006). Dengan skema seperti pada Gambar 20, jarak a antara kristal fotonik dinamis (moving PhC segment) terhadap kristal fotonik statis (fixed PhC segment) dapat ditentukan dengan cara mengatur jari-jari pilar berwarna biru.18
Gambar 20. Skema sensor jarak dengan menggunakan fotonik kristal dua dimensi. Struktur tersusun atas pilar-pilar yang dikondisikan sebagai pandu gelombang (waveguide) (Zhenfeng Xu et al, 2006)