BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Geomorfologi Daerah Aliran Sungai
Balai
Pengelolaan
DAS
Citarum-Ciliwung
memiliki
Stasiun
Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) yang merupakan satu-satunya alat pendeteksi prilaku hidrologi. Keberadaan alat ini merupakan cikal bakal dari munculnya kegiatan yang menyangkut monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. Stasiun pengamatan ini memiliki kelebihan terhadap kepastian dalam pencatatan data kondisi hidrologi daerah aliran sungai namun belum dapat memastikan kondisi fisik atau morfometri DAS yang berada di daerah pengamatan tersebut. Analisis hidrologi yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS ini menggunakan input berupa curah hujan yang memiliki pengaruh terhadap media transport hidrologi dengan output berupa debit aliran, tinggi muka air dan debit sedimen pada masing-masing outlet daerah aliran sungai. Secara teoritis, karakteristik hidrologi dapat diprediksikan dengan menggunakan data karakteristik geomorfologi (Tabel 2) secara kuantitatif dan kualitatif yang terdiri dari bentuk daerah pengaliran sungai yang merupakan batas dan luas daerah aliran sungai, bentuk jejaringan sungai, panjang sungai utama, orde sungai, dan tingkat kerapatan drainase, kemiringan sungai serta jenis tanah yang dimiliki masing–masing daerah aliran sungai tersebut. Secara garis besar karakteristik geomorfologi ini menggambarkan keadaan umum yang mempengaruhi kondisi hidrologi sungai. Karakteristik geomorfologi secara kuantitatif akan menggambarkan karakteristik morfometri dari suatu DAS yang juga dapat digunakan untuk memprediksikan respon hidrologi dengan beberapa parameter seperti koefisien bentuk, kerapatan sungai, lebar rata-rata, faktor topografi, kekasaran DAS panjang aliran DAS dan nisbah percabangan seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.
20
Tabel 2. Karakteristik Geomorfologi DAS Karakteristik DAS
Bentuk DAS*
Ciliwung Hulu
Nama DAS Cisadane Hulu Cidanau
Cipunagara
Memanjang
Memanjang
Membulat
Membulat
Paralel
Bulu burung
Bulu burung
Radial
155.21
145.2
485.4
555.84
3.32
5.1
5.1
3.5
4.14
4.82
16.73
12.15
2
2
3
3
2.67
3.32
3.45
2.19
11.68
9.03
1.73
11.49
Regosol
Regosol
Aluvial
Aluvial
Bentuk jejaringan
sub
DAS* Luas DAS (Ha) Panjang Sungai Utama (Km) Panjang seluruh anak
sungai
(Km) Orde sungai* Kerapatan sungai (Km/Km2) Kemiringan sungai (%) Jenis tanah
Ket. Data diatas hasil komplikasi dari berbagai sumber kecuali yang bertanda*
Berikut penjelasan terkait parameter-parameter yang menggambarkan karakteristik geomorfologi DAS (Tabel 2) sebagai suatu nilai kuantitatif yang mempengaruhi karakteristik aliran sungai : a. Bentuk DAS Dari beberapa parameter karakteristik geomorfologi dalam suatu bentuk pengaliran daerah aliran sungai seperti yang telah disebutkan pada Tabel 2 memiliki makna yang dapat menjelaskan bahwa hubungan geomorfologi dengan respon hidrograf dari masing-masing DAS. Bahwa karakteristik geomorfologi yang memiliki hubungan tersebut adalah bentuk aliran yang dinyatakan dalam indeks “koefisien bentuk, F”. Dari perbandingan setiap luas daerah aliran sungai dengan panjang sungai utama masing–masing DAS, 21
diketahui bahwa semakin besar luasan daerah pengaliran sungai maka semakin lebar daerah pengaliran anak–anak sungainya, begitu pula sebaliknya semakin kecil luasan daerah pengaliran sungai maka semakin sempit daerah pengaliran anak–anak sungainya dan panjang daerah alirannya, hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Sosrodarsono dan Takeda (1983). Bagi daerah aliran sungai yang memiliki luas daerah pengaliran sempit dan panjang akan menimbulkan limpasan dengan waktu kosentrasi yang lebih lambat dibandingkan daerah yang memiliki luas daerah pengaliran yang melebar pada luasan yang sama. Seperti yang diilustrasikan oleh Strahler (1977) pada Gambar 2 menyatakan bahwa DAS yang memiliki bentuk memanjang atau jejaringan sub DAS paralel maupun bulu burung akan memiliki bentuk hidrograf yang lebih rendah dibandingkan DAS yang memiliki bentuk jejaringan sub DAS radial atau bentuk membulat. Menurut Chorley (1969) bentuk DAS ini dikontrol oleh struktur geologi yang berada di sekitar DAS, bentuk DAS juga merupakan pengontrol penting geometri dari jejaringan sungai. Oleh karena itu, potensi peluang terjadinya banjir pada DAS yang memiliki bentuk jejaringan sub DAS radial atau bentuk DAS membulat seperti DAS Cipunagara, peristiwa banjir sangat mungkin terjadi dibandingkan dengan ketiga DAS lainnya yang memiliki bentuk memanjang atau paralel maupun bulu burung. Peluang banjir besar dapat terjadi pada DAS Cipunagara, DAS Cisadane, DAS Cidanau kemudian DAS Ciliwung secara berturut-turut dinyatakan dengan nilai F yaitu 0.46, 0.234, 0.19, dan 0.141 sebagai besarnya nilai indeks yang menggambarkan bentuk luasan daerah pengaliran sungai. a. 1. Daerah Aliran Sungai Ciliwung-Ciliwung Hulu
Gambar 8. Bentuk Daerah Aliran Sungai Ciliwung-Ciliwung Hulu
22
Berdasarakan karakteristik pengalirannya DAS Ciliwung Hulu dengan bentuk sungai seperti Gambar 8 termasuk golongan DAS yang menyerupai bentuk memanjang dan bentuk jejaringan sub DAS paralel, DAS dikatakan paralel apabila pada sungai utama terdapat dua jalur daerah pengaliran yang bersatu dibagian hilir. DAS yang memiliki bentuk seperti ini akan menyebabkan peluang terjadinya banjir disebelah hilir (perlu data pendukung, banjir di hilir???) titik pertemuan anak sungai tersebut. Bila dinyatakan dalam bentuk indeks “koefisien bentuk, F” yang merupakan perbandingan dari luas daerah aliran sungai dengan panjang sungai utama adalah sebesar F = 0.141, dimana luas DAS Ciliwung Hulu adalah sebesar 155.21 ha dan panjang sungai utamanya adalah 3.32 km. Sungai utama DTA SPAS Ciliwung Hulu–Ciliwung ini memiliki titik elevasi tertinggi pada ketinggian 1437.5 m dpl dengan titik terendah (outlet) 1050 m dpl, sehingga kemiringan sungai utamanya mencapai 11.68%. DAS Ciliwung ini memiliki anak sungai dengan orde 2, panjang seluruh anak sungai DAS Ciliwung ini mencapai 4.14 km dengan kerapatan sungai sebesar 2.67 km/km2. a. 2. Daerah Aliran Sungai Cipopohkol-Cisadane
Gambar 9. Bentuk Daerah Aliran Sungai Cipopohkol-Cisadane Dibandingkan dengan DAS Ciliwung, DAS Cisadane memiliki karakteristik pengaliran sungai yang berbentuk memanjang dan jejaringan sub DAS seperti bulu burung, dimana pada jalur kiri dan kanan sungai utama terdapat anak-anak sungai. Daerah pengaliran sungai yang memiliki bentuk seperti ini, memiliki debit banjir yang kecil (data???), bahkan bila memiliki 23
jumlah anak-anak sungai yang banyak dan tersebar di setiap jalur kiri dan kanan sungai utamanya, peristiwa banjir akan berlangsung agak lama, hal ini disebabkan karena debit aliran yag dihasilkan dari anak-anak sungai tersebut berbeda-beda. Sedangkan indeks “koefisien bentuk, F” DAS Cisadane adalah F = 0.234, dimana luas daerah aliran sungainya sebesar 145.2 ha dan panjang sungai utamanya adalah 5.1 km. DAS Cisadane ini memiliki ketinggian wilayah DTA SPAS Cipopohkol–Cisadane antara 587.5 m dpl dan 812.5 m dpl. Sehingga kemiringan sungai utama DAS Cisadane adalah 9.03%. DAS Cisadane ini memiliki anak sungai dengan orde 2 dengan panjang seluruh anak sungai mencapai 4.82 km dengan kerapatan sungai sebesar 3.32 km/km2. a. 3. Daerah Aliran Sungai Cicangkeudan-Cidanau
Gambar 10. Bentuk Daerah Aliran Sungai Cicangkeudan-Cidanau Bentuk DAS Cicangkeudan-Cidanau seperti pada Gambar 10 memiliki karakteristik pengaliran dengan bentuk sungai membulat dan bentuk jejaringan seperti bulu burung sebagaimana DAS Cisadane. Meskipun memiliki bentuk pengaliran sungai yang sama namun indeks dari “koefisien bentuk, F” DAS Cidanau sebesar F = 0.19, dimana luas DAS adalah 485.4 ha dan panjang sungai utamanya adalah 5.1 km. DTA SPAS Cicangkeudan–Cidanau ini memiliki ketinggian wilayah antara 50 m dpl dan 150 m dpl sehingga memiliki kemiringan sungai utama sebesar 1.73%. DAS Cidanau ini memiliki anak 24
sungai dengan orde 3 dengan panjang seluruh anak sungai mencapai 16.73 km dengan kerapatan sungainya sebesar 3.45 km/km2. a. 4. Daerah Aliran Sungai Ciawitali-Cipunagara
Gambar 11. Bentuk Daerah Aliran Sungai Ciawitali-Cipunagara Bentuk DAS Ciawitali-Cipunagara sebagaimana yang terlihat pada Gambar 11 memiliki karakteristik pengaliran dengan bentuk sungai membulat atau pola jejaringan sub DAS berbentuk radial, dinyatakan radial karena anakanak sungai terkosentrasi ke suatu titik secara radial. Pada daerah pengaliran sungai dengan corak seperti ini, apabila terjadi banjir maka peristiwa peluang terjadinya banjir besar akan sangat mungkin terjadi pada titik pertemuan anak-anak sungai (data??/), hal ini diperkuat dengan bentuk topografi DAS Cipunagara yang memiliki perbedaan topografi seperti yang tampak pada gambar, daerah peta yang berwarna kuning adalah daerah yang memiliki ketinggian lebih rendah sehingga Das Cipunagara memiliki kemiringan daerah pengaliran yang agak curam. Indeks “koefisien bentuk, F” DAS Cipunagara adalah F = 0.46, dimana luas DAS 555.84 ha dan panjang sungai utamanya adalah 3.5 km. DTA SPAS Ciawitail-Cipunagara ini memiliki ketinggian wilayah antara 50 m dpl hingga 450 m dpl sehingga kemiringan sungai utamanya sebesar 11.49%. DAS Cipunagara ini memiliki anak sungai dengan orde 3 dengan panjang seluruh anak sungai 12.15 km dengan kerapatan sungai 2.19 km/km2. 25
b. Kerapatan Sungai Kerapatan daerah pengaliran sungai dapat dinyatakan dalam suatu indeks yang menyatakan banyaknya anak-anak sungai persatuan luas dalam suatu daerah pengaliran dan dinyatakan dengan notasi nilai D. Berdasarkan hasil analisis bentuk DAS sebelumnya dapat dilihat bahwa masing-masing DAS memiliki anak-anak sungai dengan jumlah orde tertentu, sehingga dapat ditentukan nilai D masing-masing DAS seperti DAS Ciliwung-Ciliwung Hulu, DAS Cipopohkol-Cisadane, DAS Cicangkeudan-Cidanau, dan DAS CiawitaliCipunagara secara berturut-turut adalah 2.67/km, 3.32/km, 3.45/km, 2.19/km. Perlu ada penjelasan hubungan kerapatan thd kemiringan untuk menjelaskan teori di bawah. Besarnya nilai D ini menyatakan keadaan geologi suatu daerah aliran sungai, apabila suatu daerah aliran sungai memiliki nilai D yang relatif kecil, maka daerah aliran sungai tersebut kemungkinan memiliki keadaan geologi yang permeabel, seperti terdapat banyak gunung atau daerahnya berlereng terjal (Sosrodarsono dan Takeda, 1983). c. Morfometri DAS yang lain Disamping kedua indeks diatas, parameter-parameter karakteristik daerah aliran sungai lainnya yang meliputi luasan dan kemiringan DAS, pola jejaringan sungai, nisbah percabangan serta kemiringan sungai diantaranya adalah : Tabel 3. Karakteristik Morfometri DAS DAS
W
Rb
(Km)
T
Ru
(Km)
Lg
F
(Km)
D (/km)
Cipunagara
1.59
0.5
3.25
0.875
0.227
0.46
2.19
Cidanau
0.96
0.5
12.18 0.302
0.145
0.19
3.45
Cisadane
0.58
0.33
2.62
0.747
0.151
0.234
3.32
Ciliwung
0.47
0.33
3.07
1.04
0.187
0.141
2.67 26
Ket. W = Lebar Rata-rata DAS
T = Faktor Topografi
Lg = Panjang Aliran Limpasan
Rb = Nisbah Percabangan
Ru = Kekasaran DAS
F = Faktor Bentuk
D = kerapatan Sungai
1. Lebar Rata-rata DAS (W) Lebar rata-rata DAS merupakan hasil bagi luas DAS dengan panjang DAS, pada daerah aliran sungai yang menjadi daerah penelitian ini seperti yang tampak pada Tabel 3, bahwa DAS Cipunagara memiliki lebar daerah aliran sungai yang lebih besar dibandingkan daerah aliran sungai lainnya yakni sebesar 1.59 km, hal ini sesuai dengan yang digambarkan dalam pola bentuk aliran sungai yang berbentuk radial. Sebagaimana yang diilustrasikan pada Gambar 2 DAS yang memiliki bentuk membulat ataupun bentuk jejaringan sub DAS radial memiliki bentuk hidrograf yang lebih besar dibandingkan dengan DAS yang memiliki bentuk jejaringan sub DAS paralel maupun bentuk DAS memanjang. 2. Nisbah Percabangan (Rb) Nisbah percabangan juga dapat diprediksikan melalui orde percabangan aliran sungai. Nisbah percabangan ini berpengaruh terhadap debit puncak suatu aliran hidrograf. Nisbah percabangan yang kecil akan menyebabkan aliran permukaan yang bergerak secara cepat, sehingga waktu tenggang (lag time) menjadi singkat dan debit puncak aliran hidrograf menjadi bertambah besar, sebaliknya bila nisbah percabangan suatu daerah aliran sungai besar, hal ini akan menyebabkan aliran permukaan bergerak lambat, sehingga waktu tenggang menjadi lama dan debit puncak hidrograf menjadi lebih kecil. Secara berturut-turut nilai nisbah percabangan masing-masing DAS penelitian adalah 0.33, 0.33, 0.5 dan 0.5. 3. Faktor Topografi (T) Faktor topografi (T) merupakan kombinasi dari faktor kemiringan dan panjang sungai utama. Secara berturut-turut besarnya nilai T masing-masing DAS adalah 3.07 km, 2.62 km, 12.18 km, dan 3.25 km. Daerah pengaliran dengan faktor topografi yang kecil mencerminkan suatu DAS dengan kemiringan sungai yang terjal sebagaimana yang digambarkan pada bentuk 27
daerah aliran sungai masing-masing memiliki kemiringan 11.68%, 9.03% dan 11.49%. Sebaliknya daerah yang pengaliran aliran sungai dengan faktor topografi yang besar menunjukkan bahwa DAS tersebut memiliki sungai yang landai (kecil) seperti pada DAS Cidanau yang memiliki kemiringan 1.73% saja. 4. Kekasaran DAS (Ru) Hubungan antara kerapatan sungai dengan beda ketinggian tempat tertinggi dan terendah (outlet) dalam suatu daerah pengaliran aliran sungai, dinamakan dengan kekasaran DAS yang dinotasikan dengan Ru. Daerah pengaliran yang mempunyai kerapatan sungai atau beda elevasi tempat tertinggi dengan terendah (outlet) yang besar mencerminkan daerah aliran sungai dengan kekasaran yang besar. Daerah yang mempunyai gununggunung yang tinggi dan terjal secara relatif akan menggambarkan nilai kekasaran DAS yang besar, seperti yang digambarkan oleh daerah aliran sungai Cipunagara. Berikut nilai Ru masing-masing DAS, 1.04, 0.747, 0.302 dan 0.875. 5. Panjang Aliran Limpasan Panjang aliran limpasan (Lg) adalah perbandingan terbalik dengan dua kali kerapatan sungai. Masing-masing DAS memiliki panjang limpasan secara berturut-turut 0.187 km, 0.151 km, 0.145 km, dan 0.227 km. Panjang limpasan ini dipengaruhi oleh besarnya nilai kerapatan sungai, semakin besar nilai kerapatan yang dimiliki oleh suatu daerah aliran sungai seperti DAS Ciandau, 3.45 km-1, panjang limpasan aliran sungai menjadi semakin kecil. B. Karakteristik Aliran Sungai Setelah mengetahui karakteristik geomorfologi dari suatu daerah aliran sungai, berikut analisis distribusi aliran hidrologi yang menggambarkan respon hidrologi akibat adanya hubungan karakteristik morfometri. Berikut ini grafik aliran hidrologi yang disajikan dalam bentuk grafik analisis aliran hidrologi (hidrograf), data-data yang digunakan merupakan hasil dari pencatatan secara kontinu pada masing-masing Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) selama 28
empat tahun atau sama dengan 48 bulan, oleh petugas monitoring dan evaluasi tata air SPAS BP DAS Citarum-Ciliwung, data yang digunakan untuk menggambarkan hidrograf ini merupakan data rerataan curah hujan bulanan dan debit bulanan di masing-masing Stasiun Pengamatan Aliran Sungai yang menjadi fokus dari daerah penelitian, yakni SPAS DAS Ciliwung HuluCiliwung, Bogor; SPAS DAS Cipopohkol-Cisadane, Bogor; SPAS DAS Cicangkeudan-Cidanau, Serang dan SPAS DAS Ciawitail-Cipunagara, Subang, semenjak tahun 2005-2008 atau sama dengan 48 bulan pengamatan yang disajikan dalam grafik hubungan curah hujan bulanan dengan debit bulanannya. Gambar 12 menyatakan grafik hubungan curah hujan dengan debit bulanan dari keempat DAS yang menjadi daerah pengamatan dalam penelitian ini. grafik curah hujan dan debit bulanan DAS Cipopohkol-Cisadane 1400
grafik curah hujan dan debit bulanan DAS Cicangkeudan-Cidanau 1400
100
1200
100
1200 80
80
600
40
400 20
60
CH (mm/bln)
800 600
40
400 20
200
200 0
0
0
0
0
10
20
30
40
50
0
10
20
bulan ke-
30
40
50
bulan ke-
bulan ke- vs Curah Hujan bulan ke- vs Debit Air
bulan ke- vs Curah Hujan bulan ke- vs Debit Air
(a)
(b) grafik curah hujan dan debit bulanan DAS Ciliwung-Ciliwung Hulu
grafik curah hujan dan debit bulanan DAS Ciawitali-Cipunagara 1400
100
1400
100
1200
1200
80
80
1000
600
40
400 20
60
CH (mm/bln)
CH (mm/bln)
60 800
Q (m3/dtk/bulan)
1000
800 600
40
400 20
Q (m3/dtk/bulan)
CH (mm/bln)
60 800
Q (m3/dtk/bulan)
1000
Q (m3/dtk/bulan)
1000
200
200 0 0
0
10
20
30
40
50
0 0
0
10
20
bulan ke- vs Curah Hujan bulan ke- vs Debit Air
(c)
30
40
50
bulan ke-
bulan kebulan ke- vs Curah Hujan bulan ke- vs Debit Air
s (d) 29
Gambar 12. Grafik Curah Hujan dan Debit Bulanan DAS Cipopohkol-Cisadane (a), DAS Cicangkeudan-Cidanau (b), DAS Ciawitali-Cipunagara (c) dan DAS Ciliwung-Ciliwung Hulu (d) Pada gambar grafik-grafik tersebut tampak perbedaan intensitas curah hujan yang jatuh ke daerah pengaliran aliran sungai dan perbedaan bentuk hidrograf. Dari keempat gambar grafik tersebut respon hidrograf dinyatakan dalam kurva hubungan debit aliran dengan waktu. Debit aliran yang digunakan pada analisis hidrograf ini merupakan debit rataan tiap bulan untuk tempo waktu empat tahun begitu pula curah hujan yang digunakan merupakan curah hujan rataan bulanan. Pada keempat gambar grafik hubungan curah hujan dan debit bulanan ini bentuk kurva tampak fluktuatif. Besarnya curah hujan yang masuk ke daerah pengaliran sungai ini tergantung pada luasan DAS dan batas antar DAS. Untuk DAS yang memiliki luasan besar tentu akan menghasilkan debit puncak yang lebih besar dibandingkan dengan DAS yang memiliki luasan lebih kecil (sebutkan DAS yg mana aja?). Dengan skala debit yang digunakan berkisar antara 0-100 m3/dtk/bln sedangkan skala curah hujan berkisar antara 0-1400 mm/bln, respon hidrograf yang tampak relatif konstan terjadi pada DAS Cidanau yakni dengan debit aliran berada pada interval 0-10 m3/dtk/bln sedangkan curah hujannya tampak fluktuatif berada pada interval 0-600 mm/bln. Curah hujan rata-rata dari setiap DAS selama periode empat tahun tersebut secara berturut-turut adalah 199,4771 mm/bln, 122,0083 mm/bln, 166,55 mm/bln dan 212,0563 mm/bln sedangkan debit rata-ratanya adalah 28,50461 m3/dtk/bln, 21,52481 m3/dtk/bln, 3,896875 m3/dtk/bln dan 12,09163 m3/dtk/bln untuk DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Cidanau dan DAS Cipunagara. Respon hidrograf tertinggi terjadi pada DAS Cipunagara dengan debit rataan bulanan sebesar 85 m3/dtk/bln yang terjadi pada bulan ke-39 sedangkan curah hujan tertinggi yang terjadi pada saat itu adalah 464 mm/bln. Namun, respon hidrograf DAS Ciliwung pada bulan ke-36 mendapatkan curah hujan rata-rata bulanan maksimum sebesar 1241 mm/bln dengan debit rataannya sebesar 50.62 m3/dtk/bln. Seperti yang tampak pada Gambar 12 DAS Cicangkeudan30
Cidanau memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS lainnya. Variasi curah hujan ini terjadi akibat adanya perbedaan intensitas dan distribusi hujan menurut ruang dan waktu hal ini terjadi tentu dikarenakan adanya pengaruh dari faktor meteorologi (iklim). Meskipun memiliki curah hujan yang tinggi DAS Cicangkeudan-Cidanau ini memiliki debit aliran yang relatif konstan dibandingkan DAS lainnya, hal ini merupakan pengaruh dari faktor fisiografi (morfologi) yang dimiliki DAS tersebut yakni kemiringan sungai (slope) yang lebih landai (1.73%) dibandingkan DAS CiliwungCiliwung Hulu sebesar 11.68%. Selain faktor kemiringan hal lainnya yang mempengaruhi bentuk aliran hidrograf ini adalah panjang sub-sub DAS atau anak sungai yang dimiliki oleh DAS Cicangkeudan-Cidanau ini. Besarnya bentuk dengan slope aliran sungai utama yang lebih rendah seperti yang dimiliki oleh DAS Cicangkeudan-Cidanau menghasilkan bentuk hidrograf yang relatif konstan atau lebih rendah dibandingkan DAS yang memiliki bentuk luasan sama namun beda elevasi (slope) aliran sungai utama yang lebih curam. Ketika variasi hujan tersebut diasumsikan merata untuk keempat DAS tersebut maka bentuk dan ukuran hidrograf yang akan terjadi adalah tampak seperti pada Gambar 13 berikut :
31
Gambar 13 Grafik hidrograf daerah aliran sungai Pada grafik aliran hidrologi yang tampak pada Gambar 13, grafik tersebut menggunakan asumsi bahwa intensitas curah hujan rataan bulanan yang terjadi merata selama empat tahun atau sama dengan 48 bulan pada setiap daerah pengamatan sehingga dapat dilihat bahwa respon hidrograf dari setiap daerah pengaliran sungai yang lebih ideal. Dengan mengansumsikan intensitas curah hujan ini maka dari grafik tersebut tampak adanya respon hidrologi yang relatif sama seperti yang terjadi pada DAS Cidanau dan DAS Cisadane. Respon hidrograf suatu daerah aliran sungai dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor morfometri dan faktor meteorologi. Secara teori hidrograf, bahwa suatu DAS yang mendapat masukan curah hujan tertentu akan menghasilkan suatu aliran hidrograf yang bentuk dan ukuran tertentu. Dengan kata lain masukan dengan curah hujan tertentu akan menghasilkan respon aliran hidrograf tertentu pula, hal ini didasarkan pada faktor meteorologi. Sedangkan jika didasarkan pada faktor fisiografi atau morfometri, respon aliran hidrologi ini cenderung dipengaruhi oleh bentuk, kerapatan DAS, nisbah percabangan, faktor topografi, kemiringan sungai utama dan panjang aliran sungai yang 32
ditunjukkan dengan tinggi rendahnya debit puncak aliran hidrologi pada grafik aliran hidrograf. Respon hidrograf sebagaimana yang tampak pada Gambar 13, perbandingan antara nisbah percabangan dari keempat DAS dilihat debit puncak aliran suatu hidrograf, untuk daerah aliran sungai yang memiliki bentuk daerah pengaliran sungai radial memiliki debit puncak yang lebih tinggi dimana titik maksimum berada pada 140 m3/dtk/bln dibandingan dengan bentuk pengaliran sungai seperti bulu burung maupun paralel. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab (???) karakteristik geomorfologi DAS, bentuk aliran sungai Cipunagara memiliki bentuk radial, sedangkan untuk bentuk pengaliran sungai Ciliwung dan Cisadane adalah bentuk aliran paralel serta sungai Cidanau berbentuk seperti bulu burung. Pada grafik analisis aliran hidrologi (Gambar 13), DAS Cidanau dan DAS Cisadane menunjukan respon yang relatif sama sejak tahun pertama pengamatan sampai tiga setengah tahun pengamatan grafik aliran hidrograf pada interval 0-110 m3/dtk/bln dari bulan ke-1 hingga bulan ke-37 dibandingkan dengan DAS Ciliwung yang memberikan respon maksimum lebih rendah yakni 50 m3/dtk/bln dan DAS Cipunagara yang memberikan respon hidrograf maksimum yang tinggi yakni 140 m3/dtk/bln dari kedua DAS tersebut. Hal ini tentu dikarenakan oleh dua faktor utama yakni faktor morfometri dan faktor meteorologi. Pada analisis grafik aliran hidrograf yang ditampilkan dalam Gambar 13 dengan asumsi intensitas curah hujan bulanan yang jatuh di daerah pengailiran sungai adalah merata namun memiliki faktor fisiografis yang unik pada setiap daerah pengaliran sungai. Misalnya, DAS Cidanau meskipun memiliki bentuk aliran sungai paralel dengan panjang sungai utamanya 5.1 km, namun memiliki luas yang cukup besar yakni sekitar 485.4 ha dan beda elevasi yg kecil yakni 87.5 m dpl atau sama dengan 1.73% (tergolong landai) dengan kerapatan sekitar 3.45 km-1 ini menghasilkan debit aliran limpasan di daerah SPAS yang cukup besar dan berpotensi menghasilkan banjir yang cukup besar. Hal ini didukung dengan jumlah anak sungai yg cukup banyak dengan orde 3 dengan panjang seluruh anak sungai sebesar 16.729 km. 33
Sedangkan DAS Cisadane pada grafik analisis hidrograf memberikan respon yang relatif sama dengan DAS Cidanau ini memiliki karakter morfometri sebagai berikut, bentuk daerah pengaliran sungai tampak seperti bulu burung dengan percabangan yang kecil (orde 2) dengan panjang seluruh anakan sungai sekitar 4.817 km dan panjang sungai utama yang kecil yakni hanya sekitar 2.49 km, jika dilihat dari karakter morfometrinya DAS ini semestinya tidak bisa memberikan respon seperti yang dihasilkan oleh DAS Cidanau namun dengan beda elevasi yang besar yakni 225 m dpl atau sama dengan 9.03% kemiringan sungainya dan dengan panjang aliran sungai yang tergolong kecil, 0.151 km, inilah yang menyebabkan DAS Cisadane ini mampu memberikan respon yang relatif sama. Respon hidrograf yang dihasilkan oleh DAS Cipunagara maupun DAS Ciliwung, pada DAS Cipunagara dengan karakter morfologi berbentuk jejaringan sub DAS radial dan panjang sungai utama yang relatif kecil, 3.48 km. Namun memiliki beda elevasi yang besar yakni sekitar 400 m dpl atau sama dengan 11.49% kemiringan sungainya dan panjang aliran anak sungai sekitar 12.149 km menyebabkab respon aliran hidrograf dengan debit aliran yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan DAS-DAS lainnya yang menjadi daerah pengamatan ini. Sedangkan DAS Ciliwung dengan karakter morfometri berbentuk memanjang dan jejaringan sub DAS paralel dengan panjang sungai utama relatif kecil sekitar 3.32 km dan beda tinggi yang cukup besar sekitar 387.5 m dpl atau sama dengan 11.86%, namun memiliki nisbah percabangan yang kecil (orde 2) dan panjang seluruh anakan sungai yang relatif besar untuk nisbah percabangan seperti DAS Ciliwung, 4.143 km ini menyebabkan lambatnya debit aliran sungai. Kerapatan sungai juga berpengaruh terhadap pola distribusi aliran sungai. Kerapatan sungai yang tinggi dengan nilai kerapatan yang relatif kecil seperti yang dimiliki oleh DAS Cipunagara, 2.19 km-1, akan menyebabkan distribusi aliran permukaan bergerak secara cepat, sehingga waktu tenggang (lag time) menjadi singkat dan debit puncak aliran hidrologi menjadi bertambah besar. Dengan kata lain kemungkinan terjadinya banjir besar pada DAS ini sangat mungkin sering terjadi. Sedangkan DAS Ciliwung dengan kerapatan 34
2.67 km-1 tidak memberikan respon yang sesuai dengan teori yang ada. Hal ini dikarena faktor morfometrinya yang berbeda dengan DAS Cipunagara, yakni bentuk alirannya yang berupa paralel dan panjang aliran sungai yang tergolong panjang dan nisbah percabangan yang relatif kecil yang telah menyebabkan penyimpangan dari teori. Dari hasil analisis ini nampak bahwa pola distribusi aliran sungai merupakan proyeksi dari respon hidrologi terhadap faktor fisiografi dan faktor meteorologi. Bentuk hidrograf yang dimiliki oleh suatu DAS relatif berbeda sebab suatu daerah pengaliran aliran sungai yang mendapatkan masukan curah hujan tertentu akan menghasilkan suatu hirograf aliran yang bentuk dan ukuran tertentu pula menurut ruang dan waktu. Hal ini terjadi akibat adanya variasi curah hujan dan kodisi DAS saat terjadinya hujan tersebut.
35