BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Kadar Aspal dalam Batuan
Uji kadar aspal ini dilakukan dengan mekanisme seperti pada Gambar 4.1 berikut.
Gambar 4.1 Diagram alir percobaan uji kadar aspal 21
Batuan aspal Buton berdiameter ± 0,5 cm sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 100 ml pelarut. Pelarut yang digunakan ialah: -
n-hexan
-
minyak tanah
-
TCE (Tri Chloro Ethylene)
Dari hasil uji ini didapatkan kadar aspal dalam batuan aspal adalah sebagai berikut: dengan pelarut n-hexane
= 30,25 %-berat
dengan pelarut minyak tanah = 29,3 %-berat dengan pelarut TCE
= 48
%-berat
Data di atas menunjukkan bahwa pelarut TCE merupakan pelarut yang paling baik untuk melakukan uji kadar aspal ini. Secara fisik, residu hasil leaching dengan TCE berwarna coklat muda dan lebih lembut bila dibandingkan dengan residu hasil ekstraksi menggunakan n-heksan dan minyak tanah yang berwarna mendekati hitam dan keras. Hal ini menunjukkan bahwa daya larut TCE terhadap aspal jauh lebih baik daripada nheksan dan minyak tanah. 4.2
Pembuatan Aspal Granular
Dalam penelitian ini, pembuatan aspal granular dilakukan dengan 4 (empat) cara yaitu: 1. Pemanasan batuan aspal dalam oven, 2. Pemanasan batuan aspal secara terbuka dan dilakukan penambahan agregat, 3. Pemanasan batuan aspal secara tertutup dan dilakukan penambahan agregat, dan 4. Pelekatan aspal pada agregat. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing cara pembuatan aspal granular. 4.2.1 Pemanasan dalam Oven
Pada pemanasan batuan aspal dalam oven diharapkan terjadi peristiwa mobilisasi aspal dalam batuan menuju ke permukaan batuan sehingga aspal akan menyelimuti permukaan batuan. Percobaan ini dilakukan untuk berbagai diameter batuan aspal yang 22
dipanaskan pada temperatur 100, 125, 180, dan 200oC selama 40, 60, dan 120 menit. Hasil pengamatan visual terhadap percobaan ini disajikan dalam Tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Hasil pengamatan visual pemanasan batuan aspal dalam oven T (oC)
Waktu Pemanasan (menit) 40
100
60
120
40
Diameter Aspal (cm) 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1
125
60
120
40
180
60
120
40
200
60
120
3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5
Perubahan fisik
Perubahan Berat
tak ada perubahan secara penampakan, batuan hanya menjadi lebih lunak.
tak ada perubahan secara penampakan, batuan hanya menjadi lebih lunak. ada sedikit aspal yang keluar ke permukaan tak ada perubahan secara penampakan, batuan hanya menjadi lebih lunak.
perubahan berat sekitar 0.29 0.32 %-wt
tak ada perubahan secara penampakan, batuan hanya menjadi lebih lunak.
tak ada perubahan secara penampakan, batuan hanya menjadi lebih lunak.
Secara umum, tidak ada perubahan berarti pada batuan aspal alam yang dipanaskan. 23
Aspal yang semula diharapkan keluar dari pori-pori batuan ternyata tidak didapatkan. Pada penelitian ini, temperatur maksimum hanya diatur pada nilai 200oC karena pada temperatur di atas 200oC dikhawatirkan struktur aspal akan rusak karena panas dan akan mencapai titik nyalanya.
Tidak keluarnya aspal yang semula diperkirakan berada pada pori-pori batuan dikarenakan oleh kondisi batuan yang berbeda dengan apa yang telah diperkirakan sebelumnya. Pada mulanya, aspal alam yang diolah diperkirakan berupa batuan dimana didalam batuan tersebut terdapat aspal. Pada praktiknya, aspal alam yang diolah ternyata berupa campuran antara pasir dan aspal yang mengeras. 4.2.2 Pemanasan Secara Terbuka dengan Penambahan Agregat (proses Roasting) Pada proses ini diharapkan aspal dapat tercampur dengan agregat seperti pencampuran aspal dengan agregat pada pembuatan jalan. Penambahan agregat ini dimaksudkan untuk mendapatkan komposisi yang sesuai dengan komposisi aspal pada pembuatan jalan. Kadar aspal yang ada didalam aspal alam berkisar 30%-wt, sedangkan jumlah aspal yang biasa digunakan untuk pembuatan aspal adalah ±10%-wt. Percobaan ini, dilakukan untuk beberapa variasi kadar aspal dalam campuran pada temperatur 164oC (temperatur tertinggi hot plate). Hasil percobaan ini ditunjukkan oleh Tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2 Hasil pengamatan visual pemanasan batuan aspal secara terbuka dengan penambahan agregat Aspal Dalam Campuran (%-wt) 10 15 20 30
Urutan Pemanasan
Penampakan
aspal → pasir pasir → aspal aspal → pasir pasir → aspal aspal → pasir pasir → aspal Aspal → pasir pasir → aspal
Aspal hanya menutupi sebagian agregat secara tipis dan tidak melekatkan agregat satu sama lain. Perubahan urutan pemanasan tidak berpengaruh banyak
Aspal yang termobilisasi ke permukaan akibat pemanasan dengan cara ini sangat sedikit, sehingga hanya beberapa permukaan agregat yang terkena aspal tersebut. 24
Digunakannya kata ’terkena’ adalah karena tidak semua permukaan agregat yang ditutupi oleh aspal, melainkan sebagian kecil saja. Perubahan secara fisik pada aspal hanyalah berkurangnya kekerasan aspal. Dengan kata lain, aspal menjadi lembek dengan dilakukannya pemanasan.
Variasi urutan pemanasan dilakukan karena pada variasi pertama, dimana batuan aspal dipanaskan terlebih dahulu, sebagian besar aspal yang keluar dari batuan melekat pada dasar tray. Namun setelah dilakukan perubahan urutan pemanasan, hal tersebut tidak banyak berubah. Aspal yang menempel pada sebagian kecil agregat tidak mampu untuk mengikat agregat satu sama lain. Hal ini dikarenakan aspal yang keluar dari batuan aspal alam berwujud pasta pada suhu ruang. 4.2.3 Pemanasan Secara Tertutup dengan Penambahan Agregat
Pada pemanasan secara tertutup ini diharapkan panas yang diberikan akan mengenai batuan aspal secara merata. Aspal diletakkan dalam tumpukan agregat dalam cawan keramik (membentuk semacam tungku). Cawan ini dipanaskan dalam oven pada temperatur 200 oC.
Alasan penambahan agregat dengan perbandingan tertentu sama dengan yang telah dikemukakan sebelumnya. Percobaan ini, dilakukan untuk urutan pemanasan yang berbeda dan ada tidaknya pengadukan dalam proses pemanasan pada aspal dengan diameter butiran 0,5 cm. Variasi yang dilakukan ditunjukkan oleh Tabel 4.3.
25
Tabel 4.3 Hasil pengamatan visual pemanasan batuan aspal secara tertutup dengan penambahan agregat T (oC)
Waktu Pemanasan (menit)
Diameter Butiran Aspal (cm)
Ada Tidaknya Pengadukan ada
40 tidak 200
0,5 ada 60 tidak
Urutan Pemanasan
Penampakan
aspal → pasir pasir → aspal aspal → pasir pasir → aspal aspal → pasir pasir → aspal aspal → pasir pasir → aspal
tak ada perubahan yang berarti
Batuan aspal dalam ’tungku’ agregat hanya mengalami pengurangan kekerasan, dan sangat sedikit aspal yang termobilisasi keluar dan menempel pada agregat.
Urutan pemanasan ditujukan untuk mengeluarkan aspal dari batuannya. Bila batuan aspal dipanaskan terlebih dahulu, diharapkan aspal sudah termobilisasi keluar saat agregat dimasukkan. Sedangkan pemanasan agregat sebelum batuan aspal ditujukan untuk memberikan lingkungan yang lebih panas, sebelum batuan aspal dimasukkan. Adanya pengadukan dilakukan untuk memberikan permukaan panas yang merata pada batuan aspal agar aspal bisa dimobilisasikan keluar. Pada kenyataannya, urutan pemanasan dan pengadukan tidak memberikan hasil yang memuaskan dalam mengeluarkan aspal. 4.2.4 Pelekatan Aspal pada Agregat
Pada proses ini, agregat dikontakkan dengan aspal yang terlarut dalam heksan dengan menggunakan dua variasi. Variasi pertama dilakukan dengan menyiramkan larutan aspal-heksan pada agregat, sedangkan variasi kedua dilakukan dengan membiarkan larutan aspal-heksan menguap, sehingga aspalnya melekat pada agregat. Ilustrasi kedua variasi tersebut ditunjukkan oleh Gambar 4.2. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan melekat aspal buton yang digunakan terhadap agregat.
26
1
2
Gambar 4.2 Ilustrasi percobaan pelekatan aspal pada agregat
Pada variasi pertama, aspal yang melekat sangat tipis karena konsentrasi aspal yang terlarut dalam heksan masih kurang untuk membuat lapisan yang tebal. Kurang tebalnya lapisan yang terbentuk ini diakibatkan adanya aspal yang menempel akibat ’terbawa’ oleh heksan saat menguap. Hal inilah yang mendorong dilakukannya variasi kedua.
Pada variasi kedua, volatilitas antara heksan dan aspal yang berbeda jauh menyebabkan aspal terlarut merambat di dinding cawan dan melekat pada agregat. Aspal yang melekat pada agregat variasi kedua lebih tebal dibandingkan variasi pertama, meskipun konsentrasi aspal dalam heksan di kedua variasi adalah sama. Pada variasi kedua, heksan memisahkan diri dari larutan sehingga terjadi peningkatan konsentrasi aspal yang melekat pada dinding cawan. Penguapan heksan menyebabkan terbawanya aspal terlarut. Oleh karena sifat aspal yang tidak menguap, maka aspal akan tertinggal di dinding cawan.
Walaupun aspal yang menempel pada agregat sangat lengket, namun aspal tersebut belum mampu untuk melekatkan agregat satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh wujud aspal yang dihasilkan menyerupai pasta meskipun pada suhu ruangan. Diharapkan, aspal yang dihasilkan berwujud padatan agar dapat digunakan pada proses pembuatan jalan. 4.3
Ekstraksi Aspal Alam
Pada proses ekstraksi, batuan aspal dilarutkan dalam beberapa jenis pelarut. Aspal yang telah terlarut dipisahkan dari residu (pasir), sebelum didistilasi. Setelah proses distilasi, larutan dipanaskan untuk menguapkan pelarut yang tersisa. Prosedur percobaan ditunjukkan oleh Gambar 4.3. 27
Gambar 4.3 Skema percobaan ekstraksi aspal alam
Percobaan dilakukan untuk aspal berdiameter + 5 cm yang dilarutkan pada berbagai jenis pelarut, seperti n-heksan, minyak tanah, dan TCE. Hancurnya aspal pada proses ekstraksi menyebabkan tidak dilakukannya variasi diameter butiran aspal.
Ekstrak aspal yang diperoleh memiliki kelembekan yang bervariasi. Bila diurutkan berdasarkan tingkat kelembekannya, secara berurutan dari yang paling lembek, yaitu: n-heksan Æ minyak tanah Æ TCE Residu yang dihasilkan oleh pelarut n-heksan lebih hitam dan lebih keras dibandingkan 28
residu yang dihasilkan oleh pelarut minyak tanah. Residu minyak tanah menyerupai tanah lembut yang berwarna kecoklatan, sedangkan residu yang dihasilkan oleh pelarut TCE menyerupai pasir lembut yang berwarna coklat muda. Wujud residu yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut.
TCE
Minyak Tanah
Heksan
Gambar 4.4 Wujud residu aspal
Residu batuan hasil ektraksi pelarut n-heksan merupakan residu yang paling keras dan paling hitam dibandingkan residu hasil ekstraksi pelarut lainnya. Dengan kata lain, nheksan kurang maksimal dalam mengekstrak aspal dalam batuan.
Gambar 4.5 Ekstrak aspal menggunakan pelarut n-heksan
Ekstrak aspal dari pelarut n-heksan memiliki kelembekan yang paling tinggi (Gambar 4.5). Hal ini berarti nilai penetrasi aspal yang dihasilkan sangat tinggi, sebagai akibat bertambahnya kandungan parafin dalam aspal. N-heksan merupakan pelarut yang berbasis parafin, sehingga tidak sempurnanya penguapan pelarut akan menyebabkan 29
bertambahnya kandungan parafin pada aspal. Adanya pemanasan saat distilasi juga diperkirakan memiliki pengaruh terhadap perusakan sifat aspal.
Gambar 4.6 Ekstrak aspal menggunakan pelarut minyak tanah
Ekstrak aspal dari pelarut minyak tanah (Gambar 4.6) sedikit lebih keras dibandingkan ekstrak aspal yang menggunakan pelarut n-heksan. Hal ini disebabkan minyak tanah memiliki rantai hidrokarbon yang lebih panjang dibandingkan n-heksan, sehingga minyak tanah memiliki sifat yang lebih mendekati aspal dibandingkan n-heksan. Saat batuan aspal dimasukkan dalam minyak tanah, aspal langsung terekstrak, namun tidak secepat dalam pelarut n-heksan. Hal ini disebabkan minyak tanah memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan n-heksan, sehingga kecepatan minyak tanah untuk terabsorbsi kedalam pori-pori batuan lebih lambat daripada n-heksan.
Residu batuan yang dihasilkan pelarut minyak tanah lebih menyerupai tanah lembut berwarna kecoklatan. Lembutnya residu yang dihasilkan menunjukkan bahwa minyak tanah mengekstrak aspal lebih banyak dibandingkan n-heksan. Namun, hasil percobaan menunjukkan bahwa aspal yang berhasil diekstrak menggunakan pelarut minyak tanah hanya sebesar 29,3%-berat. Nilai ini lebih kecil dibandingkan nilai yang diperoleh bila menggunakan pelarut n-heksan, meskipun residu yang dihasilkan pelarut n-heksan lebih kasar.
30
Gambar 4.7 Ekstrak aspal menggunakan pelarut TCE
Aspal hasil ekstraksi menggunakan pelarut TCE (Gambar 4.7) memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi dibandingkan aspal hasil ekstraksi menggunakan pelarut n-hexan dan minyak tanah. Selain lebih keras, aspal hasil ekstraksi menggunakan TCE tidak lengket dan berbau seperti aspal yang diperoleh dari pengolahan residu minyak bumi. Hal ini disebabkan TCE bukanlah pelarut yang berbasis parafin, sehingga tidak merusak struktur aspal yang diekstrak.
Residu hasil ekstraksi dengan pelarut TCE menyerupai pasir halus yang berwarna coklat muda, seperti pasir pantai. Efek dye unsur klor dalam TCE menyababkan residu berwarna lebih muda. Hasil percobaan menunjukkan bahwa jumlah aspal yang diperoleh dengan menggunakan pelarut TCE lebih banyak dibandingkan jumlah aspal yang diperoleh dengan menggunakan pelarut lainnya, yaitu sebesar 48%-berat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa TCE adalah pelarut yang lebih baik dibandingkan n-heksan dan minyak tanah, karena memiliki daya larut yang paling baik.
31