BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian terletak di desa Gebang Mekar yang merupakan bagian dari Cirebon. Jarak Gebang Mekar dari kota Cirebon kurang lebih 20 kilometer dan dapat ditempuh selama setengah jam perjalanan dengan menggunakan angkutan umum. Sarana dan prasarana di Gebang Mekar cukup baik lengkap dengan tersedianya kapal penangkapan karena hampir 90% dari penduduknya berprofesi sebagai nelayan tradisional. Tempat pemberhentian kapal berada di pinggiran sungai Ciberes yang bermuara ke laut sehingga kapal yang ingin melaut akan melalui sungai tersebut. Pinggiran sungai Ciberes merupakan pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang berfungsi sebagai tempat penimbangan ikan hasil tangkapan, mendata hasil tangkapan dan menjualnya langsung ke pengumpul. Lokasi penelitian mudah dijangkau karena merupakan desa nelayan, sehingga tidak memerlukan waktu yang lama untuk mencapai lokasi penelitian dari penginapan. Perairan di lokasi penelitian memiliki substrat berupa pasir berlumpur yang merupakan daerah yang cocok untuk alat tangkap seperti jaring arad disebabkan oleh tidak akan rusaknya lingkungan karena tidak terdapat terumbu karang sama sekali.
4.2 Komposisi Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan Jaring Arad Penelitian ini dilakukan sebanyak 20 kali setting dan 20 kali hauling pada masing-masing kedalaman dalam 10 trip dimulai dari tanggal 13 Maret 2013 sampai 28 Maret 2013 di Pesisir Utara, Kota Cirebon. Total hasil tangkapan yang teridentifikasi sebanyak 14 spesies yang terbagi dalam tiga kelompok organisme yaitu ikan sebanyak 8 spesies, lalu moluska sebanyak 3 spesies, dan krustasea sebanyak 3 spesies. Hasil tangkapan jaring arad cenderung bersifat demersal.
20
21
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari semua spesies yang tertangkap di daerah penelitian yang paling banyak tertangkap adalah ikan pepetek (Leiognathus sp.) dan rajungan kecil (Portunus pelagicus) (Tabel 1, Lampiran 11, dan Lampiran 12). Tabel 1. Jumlah Hasil Tangkapan pada Kedalaman yang Berbeda No
Spesies
1 Pepetek 2 Rajungan 3 Sotong 4 Cumi-cumi 5 Gurita 6 Bawal putih 7 Udang ronggeng 8 Udang windu 9 Barakuda 10 Tenggiri 11 Pari 12 Kakap putih 13 Kembung 14 Kiper Total Keseluruhan
Jumlah (individu) Kedalaman Kedalaman 5–9m 10 – 14 97.430 50.233 2.339 1.255 48 58 115 17 9 5 51 8 16 0 4 7 7 3 80 25 0 10 3 2 38 33 55 12 100.195 51.668
Total 147.663 3.594 106 132 14 59 16 11 10 105 10 5 71 69 151.863
Jumlah keseluruhan hasil tangkapan jaring arad yang tertangkap selama penelitian sebanyak 151.863 individu, yang terdiri dari pepetek sebanyak 147.663 individu (97%), rajungan sebanyak 3.594 individu (2%), dan lain-lainnya sebanyak 608 individu (1%) sehingga dari hasil tangkapan sebanyak 151.863 individu, pada kedalaman 5 – 9 m didapatkan ikan sebanyak 100.195 individu atau sebanyak 66% dari hasil tangkapan total selama 10 kali trip. Sedangkan pada kedalaman 10 – 14 m didapatkan ikan sebanyak 51.668 individu atau sebanyak 34% dari hasil tangkapan total selama 10 kali trip (20 kali setting dan 20 kali hauling). Hanya ada satu perbedaaan spesies yang tertangkap pada masing-masing kedalaman. Pada kedalaman 5 – 9 m tidak tertangkap ikan pari, sedangkan pada kedalaman 10 – 14 m tidak tertangkap udang ronggeng. Hal ini diduga karena ikan pari dan udang ronggeng tidak dapat bertoleransi pada perubahan tekanan
22
akibat perbedaan kedalaman. Effendi (2002) mengatakan bahwa distribusi ikan demersal sangat dibatasi oleh kedalaman perairan, karena tiap jenis ikan hanya mampu bertoleransi terhadap kedalaman tertentu sebagai akibat perbedaan tekanan air, karena semakin dalam suatu perairan akan semakin besar tekanan yang diterima. Dari data yang dikumpulkan rata-rata jumlah hasil tangkapan jaring arad selama penelitian pada kedalaman 5 – 9 m menunjukkan rata-rata hasil tangkapan yang lebih banyak dari pada kedalaman 10 – 14 m (Lampiran 13). Analisis t-student menunjukkan perbedaan yang nyata / signifikan antara kedalaman 5 – 9 m dan kedalaman 10 – 14 m. (Lampiran 14). Banyaknya ikan yang tertangkap pada kedalaman 5 – 9 m diduga karena pada kedalaman tersebut terdapat sumber makanan yang melimpah dan tingkat kesuburan fitoplankton yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Odum (1996) yang menyatakan bahwa perairan dangkal adalah daerah yang terpengaruh pasang surut, dimana air tawar bercampur air laut dan daerah yang subur oleh biota air. Budiman (2006) ikut menambahkan bahwa perairan yang subur dimanfaatkan oleh organisme mikroskopis untuk melakukan fotosintesa dimana saat perairan panas, penetrasi sinar matahari optimal dapat menjangkau dasar perairan dangkal (5 – 9 m) sehingga hal ini membuktikan bahwa kedalaman mempengaruhi banyak atau tidaknya hasil tangkapan akibat sumber makanan. Tingginya hasil tangkapan ikan pepetek pada kedalaman 5 – 9 meter dan 10 – 14 meter disebabkan oleh dominasi ikan pepetek pada perairan dasar pantai. Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati (2007) di Semarang – Tegal telah membuktikan bahwa ikan pepetek mendominasi jenis ikan di perairan dasar pantai. Ikan pepetek termasuk dalam golongan ikan demersal yang bersifat membentuk gerombolan besar, dan memiliki habitat di perairan pantai (Direktorat Jendral Perikanan Jakarta 1998). Garces et al. (2006) juga menerangkan hal yang serupa bahwa pepetek mendominasi di perairan dasar pantai. Hal ini diduga karena ikan pepetek telah berkembang biak dan menguasai daerah pantai Cirebon, seperti yang dijelaskan Wiyono (2010) bahwa ekosistem perairan pantai utara Cirebon pada kedalaman 0 – 30 m dan suhu tropis merupakan daerah yang cocok
23
untuk berkembangnya pepetek. Sjafei dan Saadah (2001) mengatakan bahwa tingginya dominansi pepetek juga disebabkan oleh faktor biologi ikan pepetek itu sendiri. Pepetek cenderung mengeluarkan telur sedikit demi sedikit dan mempunyai dua musim pemijahan dalam satu tahun, sehingga secara alami ikan pepetek mengalami tingkat pertumbuhan dan rekruitmen yang relatif tinggi. Ikan tenggiri yang tertangkap lebih banyak pada kedalaman 5 – 9 m dikarenakan lokasi makanannya berada pada perairan dangkal. Sudariastuty (2011) yang mengatakan bahwa ikan tenggiri tergolong dalam ikan laut yang menyukai daerah laut dangkal. Ia juga mengatakan bahwa ikan tenggiri memiliki sifat rakus ketika makan. Jenis makanannya adalah ikan-ikan kecil, cumi-cumi, dan udang karena ikan tenggiri tergolong dalam ikan karnivora, hal ini membuktikan bahwa makanan tenggiri yang berada di perairan dangkal menjadi salah satu penyebab banyaknya ikan tenggiri yang tertangkap. Perairan yang memiliki salinitas rendah dan kekeruhan tinggi disukai oleh ikan tenggiri yang berhubungan dengan substrat perairan Cirebon yang berupa pasir berlumpur dengan turbiditas (kekeruhan) yang tinggi. Banyaknya hasil tangkapan pada kedalaman 5 – 9 juga dikarenakan dominasi rajungan yang berukuran kecil. Hal ini diduga karena rajungan kecil secara alami hidup pada perairan yang lebih dangkal. Menurut Rounsefell (1975) bahwa pada saat burayak (juvenil), rajungan mendiami daerah muara sungai yang dangkal dengan salinitas yang rendah. Setelah melakukan perkawinan antara jantan dengan betina maka rajungan betina bergerak ke perairan lepas pantai yang lebih dalam dengan salinitas tinggi. Selain itu, moluska seperti cumi-cumi banyak tertangkap pada kedalaman 5 – 9 m dikarenakan cumi-cumi menyukai tempat yang lebih dangkal. Roper et al. (1984) menginformasikan bahwa cumi-cumi merupakan hewan neritik yang senang hidup bergerombol dan terkonsentrasi pada perairan dangkal. Cumi-cumi pada siang hari berada di dasar perairan, pada malam hari cumi-cumi bergerak ke permukaan air. Jaring arad bergerak menyapu lumpur (dasar perairan) pada siang hari sehingga cumi-cumi yang sedang berada di dasar perairan ikut tertangkap oleh jaring arad. Brodziak dan Hendrickson
24
(1999) juga menjelaskan bahwa kedalaman perairan berpengaruh terhadap keberadaan cumi-cumi. Cumi-cumi sangat berasosiasi dengan faktor lingkungan seperti salinitas, suhu, dan kedalaman perairan.
4.3 Bobot dan Ukuran Hasil Tangkapan Jaring Arad Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot hasil tangkapan jaring arad berhubungan langsung dengan jumlah hasil tangkapan jaring arad. Makin besar jumlah hasil tangkapan maka bobot hasil tangkapan juga berpengaruh sehingga dari semua spesies yang tertangkap di daerah penelitian yang paling besar jumlah bobot keseluruhannya adalah ikan pepetek (Leiognathus sp.) dan rajungan kecil (Portunus pelagicus) (Tabel 2, Lampiran 15, dan Lampiran 16). Tabel 2. Bobot Total Hasil Tangkapan Selama Penelitian No
Spesies
1 Pepetek 2 Rajungan 3 Sotong 4 Cumi-cumi 5 Gurita 6 Bawal putih 7 Udang ronggeng 8 Udang windu 9 Barakuda 10 Tenggiri 11 Pari 12 Kakap putih 13 Kembung 14 Kiper Total Keseluruhan
Bobot (g) Kedalaman Kedalaman 5–9m 10 – 14 m 618.300 327.670 41.982 24.733 6.932 21.483 6.404 1.653 271 402 5.837 5.424 404 0 222 466 835 699 6.117 7.747 0 4.500 344 664 4.003 3.497 5.517 1.200 697.168 400.138
Total (g) 945.970 66.715 28.415 8.057 673 11.261 404 688 1.534 13.864 4.500 1.008 7.500 6.717 1.097.306
Bobot keseluruhan hasil tangkapan jaring arad yang tertangkap selama penelitian sebanyak 1.097.306 g atau hampir sebanyak 1,1 ton, yang terdiri dari pepetek sebanyak 944.000 g (86%), rajungan kecil sebanyak 63.900 g (6%), sotong sebanyak 28.415 g (2,5%), tenggiri sebanyak 13.864 g (1,2%), bawal putih sebanyak 11.261 g (1%) dan lain-lainnya sebanyak 35.866 g (3,3%) sehingga dari
25
hasil tangkapan sebanyak 1.097.306 g, pada kedalaman 5 – 9 m didapatkan ikan sebanyak 697.168 g atau sebanyak 64% dari hasil tangkapan total selama 10 kali trip. Sedangkan pada kedalaman 10 – 14 didapatkan ikan sebanyak 400.138 g atau sebanyak 36% dari hasil tangkapan total selama 10 kali trip (20 kali setting dan 20 kali hauling). Dari data yang dikumpulkan rata-rata bobot hasil tangkapan jaring arad selama penelitian pada kedalaman 5 – 9 m menunjukkan rata-rata hasil tangkapan yang lebih banyak dari pada kedalaman 10 – 14 m (Lampiran 17). Analisis tstudent menunjukkan perbedaan yang nyata / signifikan antara kedalaman 5 – 9 m dan kedalaman 10 – 14 m. (Lampiran 18). Tingginya bobot hasil tangkapan pada kedalaman 5 – 9 m dikarenakan oleh dominansi ikan pepetek dan rajungan kecil yang tertangkap. Untuk satu individu ikan pepetek, beratnya sekitar 6 g sedangkan rajungan kecil satu individu beratnya sekitar 16 g. Hasil tangkapan ikan pepetek dan rajungan kecil yang melimpah mengakibatkan tingginya bobot keseluruhan hasil tangkapan. Tabel 3. Perbandingan Ukuran Hasil Tangkapan Jaring Arad
No
Jenis
1 2 3 4 5 6
Pepetek Rajungan Sotong Cumi-cumi Gurita Bawal Putih Udang Ronggeng Udang Windu Barakuda Tenggiri Pari Kakap Putih Kembung Kiper
7 8 9 10 11 12 13 14
Kedalaman 5 – 9 m Ukuran (mm) Standar Ratadeviasi Min Maks rata 50 60 55 50 75 62,5 90 160 107 18,33 95 150 102,2 18,39 50 60 52,2 3,63 110 150 133 16,71
Kedalaman 10 – 14 m Ukuran (mm) Standar Ratadeviasi Min Maks rata 50 100 75 50 146 100 190 210 202,14 4,46 160 170 165,7 4,5 120 130 125 5 170 230 218,75 20,31
130
150
138,75
8,85
-
-
-
-
80
90
82,5
5
100
110
105,7
5,35
150 120 150 130 100
180 160 160 140 130
162,86 137,31 153,33 135,14 121,27
13,8 14,9 5,77 4,42 10,55
300 180 230 220 130 125
340 230 250 220 140 130
326,67 207,8 239 220 135,3 128,33
23,1 15,88 9,94 0 4,5 2,46
26
Ukuran maksimal tiap spesies hasil tangkapan jaring arad pada umumnya memiliki perbedaan pada tiap kedalaman. Hampir semua ukuran spesies pada kedalaman 10 – 14 m cenderung lebih besar dibandingkan dengan kedalaman 5 – 9 m (Tabel 3). Hal ini diduga disebabkan oleh faktor biologis biota itu sendiri, dimana biota yang sudah dewasa akan mencari makan di tempat yang lebih dalam karena makanan pada daerah dangkal sudah tidak cukup lagi untuknya. Sesuai dengan pernyataan Nontji (1993) yang mengatakan bahwa ikan atau udang-udang pada masa muda dan remaja bergerak ke arah pantai atau perairan dangkal mencari makan untuk berkembang atau tumbuh dan berlindung dari hewan pemangsa, setelah dewasa udang atau ikan bergerak ke perairan yang lebih dalam. Ditambah lagi dengan pernyataannya, bahwa rajungan akan melakukan migrasi ke perairan yang lebih dalam setelah umur rajungan cukup untuk menyesuaikan diri pada kondisi suhu dan salinitas perairan. Selain itu diduga karena rajungan yang berukuran besar (dewasa) akan bergerak ke arah perairan yang lebih dalam untuk melakukan perkawinan. Hal ini dijelaskan oleh Effendy dkk (2006), bahwa rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas yang lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap memasuki masa perkawinan akan bermigrasi ke daerah pantai. Setelah melakukan perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya. Ikan yang berukuran lebih besar, namun jumlah yang tertangkap lebih sedikit pada kedalaman 10 – 14 m disebabkan oleh sifat biologi ikan demersal itu sendiri. Ikan demersal yang berukuran lebih besar cenderung menyebar ke kolom perairan yang lebih dalam (10 – 14 m) karena didorong oleh naluri memperoleh kesesuaian suhu yang salah satunya menentukan kebiasaan makan dari ikan (Anggoro 1984, dalam Suhariyono 2004). Ikan yang berukuran lebih besar akan menyesuaikan diri terhadap tekanan, maka dari itu distribusi atau sebaran ikan demersal sangat dibatasi oleh kedalaman perairan, karena tiap jenis ikan hanya mampu bertoleransi terhadap kedalaman tertentu sebagai akibat perbedaan tekanan air, karena semakin dalam suatu perairan akan semakin besar tekanan yang diterima (Effendi 2002). Pada akhirnya, fenomena pertambahan ukuran
27
seiring dengan meningkatnya kedalaman memang benar-benar kompleks dan mungkin saja berhubungan dengan siklus reproduksi dan migrasi musiman (Gordon 1979).