9
Perhitungan ini membutuhkan data Curah run off dan Surplus. Kedua data ini telah didapatkan dari analisis neraca air sebelumnya dengan menggunakan metode neraca air Thornwhite. Adapun Persamaan yang dikembangkan oleh Mock untuk menduga besarnya debit estimasi adalah sebagai berikut: Q=
…………………..(7)
Ro = Bf + DRO Bf = I x Vn Vn = [0.5 x (1+k) x I] I=Sxi Dimana: I = infiltrasi, S = surplus, i = koefisien infiltrasi, Vn = simpanan air tanah, Bf = merupakan aliran dasar, Ro = aliran permukaan/limpasan, Q = estimasi debit (m3/s), CA = luas DAS (m2), dan N = jumlah hari dalam satu bulan. Nilai i berkisar antara 0,3 untuk dataran rendah dan lebih dari 0,5 untuk dataran tinggi, sedangkan nilai k berkisar antara 0,5 untuk dataran rendah dan 0,6 untuk dataran tinggi. 3.6 Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Estimasi nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit didekati dengan menghitung jumlah air yang hilang yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit dalam satu hektar lahan perkebunan. Adapun persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Nilai Lingkungan = (ETc Sawit – ETc Hutan) x Harga Air x Luas Lahan Nilai Ekonomi = Pendapatan rata-rata per hektar per bulan x 12 Nilai Lingkungan dan Nilai Ekonomi dihitung dalam satuan rupiah (Rp). Hasil perbandingan antara nilai ekonomi dan nilai lingkungan kemudian digunakan untuk mengestimasi apakah perkebunan kelapa sawit memberikan keuntungan atau memberikan kerugian berdasarkan besarnya kebutuhan air yang digunakan oleh perkebunan kelapa sawit. Alat analisis yang digunakan adalah CVM (contingen valuation method) yang berupa kuisioner yang langsung ditujukan kepada individu/masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Output dari CVM berupa dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Dalam metode ini, kuisioner di desain sampai kepada taraf perbaikan lingkungan melalui program konservasi
sumberdaya air. Analisis yang digunakan adalah WTP (Wilingness to Pays). WTP merupakan kemampuan atau kesediaan membayar dari setiap individu untuk mendapatkan perbaikan kualitas lingkungan akibat adanya ekstraksi sumberdaya. Adapun langkah-langkah analisis yang digunakan untuk menilai program konservasi sumberdaya air adalah sebagai berikut: 1.
Menetapkan harga bayangan kerusakan lingkungan Diperoleh dengan persamaan: Nilai lingkungan (per bulan) / jumlah KK
2.
Menentukan nilai rata-rata WTP Diperoleh dari hasil kuisioner, yang berupa Nilai Max. WTP, Nilai Min WTP, dan Nilai Rata-rata WTP dari responden
3.
Menetapkan Bid Curve Merupakan hubungan anatara harga bayangan dengan rata-rata WTP
4.
Mengagregatkan data Merupakan tabulasi hasil kuisioner dan perhitungan manfaat ekonomi dari program perbaikan lingkungan.
Besarnya nilai program perbaikan lingkungan melalui upaya konservasi sumberdaya air merupakan hasil perkalian antara nilai WTP rata-rata dari responden dengan jumlah penduduk yang terdapat di wilayah kajian. Sampel di ambil di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Jumlah warga yang tinggal di desa ini sebanyak 4393 jiwa, dengan jumlah KK sebanyak 1034 jiwa. Sampel diambil sebanyak 200 KK di desa tersebut. Jumlah sampel dinilai sudah cukup untuk mewakili seluruh penduduk yang ada diwilayah ini. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan sampel adalah warga masyarakat yang telah lama tinggal di daerah tersebut, dengan lama tinggal kurang lebih 20 tahun sejak perkebunan tersebut ada.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Dayun merupakan pemekaran dari Kecamatan Siak setelah terbentuknya Kabupaten Siak berdasarkan
Perda No. 13 Tahun 2001. Kecamatan ini terletak 24 km dari ibukota kabupaten dengan jarak tempuh sekitar ¼ jam ke arah barat daya dari Siak Sri Indrapura. Kecamatan Dayun merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Siak. Kecamatan ini merupakan tempat pertama untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak oleh PT. Perkebunan Nusantara Lima yang telah dimulai sejak tahun 1985. Secara geografis wilayah Kecamatan Dayun terletak pada posisi 1o18’21’’LU - 0o14’49’’LU dan 105o50’20’’ BT - 102o10’59’’BT. Kecamatan Dayun memiliki Luas 1373,34 Km2 dengan batasbatas wilayahnya adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mempura dan Kecamatan Siak 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kerinsi Kanan dan Kabupaten Pelalawan 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sungai Apit 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Koto Gasib dan Tualang Jumlah penduduk Kecamatan Dayun, pada tahun 2008 sebanyak 24.266 jiwa, yang tersebar pada 11 desa. Desa-desa yang ada berasal dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dari PTPN V yang mengembangkan komoditas kelapa sawit, para pendatang karyawan dan sub-kontraktor pada PT CPI. Kondisi meteorologi dan klimatologi Kecamatan Dayun untuk curah hujan, termasuk ke dalam tipe curah hujan Equatorial, dimana dalam setiap bulan terjadi kejadian hujan, dengan puncak musim hujannya pada bulan Februari dan November. Curah hujan rata-rata yang turun dalam setahun di wilayah ini adalah sebesar 2657 mm/tahun, dengan suhu udara rata-rata bulanannya sebesar 26,8 oC. Kecamatan Dayun sebagian besar terdiri dari dataran rendah di bagian timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Secara umum ketinggian wilayahnya berada antara 1-103 m dpl. Pada umumnya struktur tanah terdiri dari tanah Podsolik Merah Kekuningan dari batuan, alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Dengan kondisi wilayah dan iklim seperti ini, wilayah ini sebagian besar sangat cocok untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. PT. Perkebunan Nusantara Lima merupakan salah satu perusahaan milik negara yang mengembangkan perkebunan kelapa
sawit di Kecamatan Dayun. Perkebunan ini telah dimulai sejak tahun 1985 di dua tempat, yaitu kebun Sei Buatan dan kebun Lubuk Dalam. Luas area perkebunan milik PTPN V di Kecamatan Dayun saat ini adalah sebesar 3276,63 Ha. Perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini mengalami perkembangan pesat, yang dilakukan baik oleh masyarakat, pemerintah daerah, maupun oleh pihak swasta. Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta yang berada di wilayah ini antara lain adalah PT. Sinar Mas, PT. Astra, PT. Teguh Karsa, dan beberapa perusahaan lainnya. Pemerintah Daerah Kabupaten Siak cukup serius dalam usaha pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun. Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Siak menyebutkan dimana perkebunan kelapa sawit milik pemda yang tengah dikembangkan di wilayah ini adalah sebesar 7500 Ha pada program pengembangan perkebunan kelapa sawit tahap satu (I) tahun 2008. 4.2 Analisis Neraca Air 4.2.1 Neraca Air Umum Analisis neraca air umum memberikan informasi mengenai hubungan yang terjadi antara besarnya curah hujan yang terjadi dengan besarnya nilai evapotranspirasi yang terjadi. Neraca air umum juga memberikan informasi pola hujan yang terjadi pada suatu wilayah. Informasi ini berfungsi untuk melihat apakah ketersediaan air pada suatu lahan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air melalui proses evapotraspirasi (ETp). Data hujan yang digunakan dalam analisis ini merupakan data hujan bulanan dalam jangka waktu 30 tahun (periode 1979-2009) dengan peluang 70%. Peluang 70% dinilai lebih realistis untuk terjadi diwilayah ini mengingat besarnya fluktuasi curah hujan bulanan pertahunnya yang cukup besar. Berdasarkan hasil ploting data hujan, dalam setiap bulannya terjadi kejadian hujan dengan besar yang berbeda setiap bulannya. Artinya tidak ada bulan-bulan dengan curah hujan nol. Hal ini sesuai dengan posisi lintang dari wilayah ini, dimana Kecamatan Dayun terletak di wilayah khatulistiwa, sehingga menurut klasifikasi iklim Koppen, wilayah Kecamatan Dayun termasuk kedalam tipe iklim Af. Besarnya curah hujan rata-rata dengan peluang 70% berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 1989 mm/tahun. Hasil analisis yang dilakukan pada penelitian ini memberikan informasi pola hujan yang terjadi di
11
Kecamatan Dayun termasuk kedalam kategori equatorial dengan puncak hujannya pada bulan April dan bulan November, masingmasing besarnya adalah 227 mm dan 241 mm, dan curah hujan minimumnya terjadi pada bulan Juni sebesar 99 mm (Gambar 3).
Gambar 3
tanah yang ada. Berdasarkan data yang diperoleh dari PTPN V, jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Dayun adalah jenis tanah PMK (Podzolik Merah Kuning) atau menurut klasifikasi USDA termasuk kedalam kategori jenis tanah Ultisol. Nilai Kapasitas Lapang untuk jenis tanah ini adalah sebesar 200 mm, sedangkan nilai Titik Layu Permanen untuk jenis tanah ini adalah sebesar 80 mm. Hasil perhitungan neraca air lahan terlihat pada gambar berikut.
Hasil Perhitungan Neraca Air Umum Kecamatan Dayun
Pada bulan JJA (Juni, Juli, Agustus), besarnya curah hujan yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Artinya periode musim kemarau untuk wilayah Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April. Besarnya ETPadj (evapotranspirasi terkoreksi) berdasarkan hasil perhitungan neraca air umum pada Gambar 3 adalah sebesar 1677 mm/tahun. Pendugaan besarnya ETPadj dilakukan melalui pendekatan persamaan empiris dengan Metode Thornwhite. Analisis data iklim yang digunakan dalam persamaan empiris ini adalah data suhu rata-rata bulanan. Besarnya ETPadj dalam setiap bulannya hampir sama, namun pada bulan Februari besarnya ETPadj yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan besarnya ETPadj pada bulan-bulan lainnya. Hal ini lebih disebabkan oleh besarnya faktor koreksi lintang wilayah Kecamatan Dayun pada bulan Februari lebih kecil dan jumlah hari pada bulan Februari juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, besarnya ETPadj pada bulan Februari lebih kecil dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. 4.2.2 Neraca Air Lahan Analisis neraca lahan merupakan analisis lanjutan dari analisis neraca umum. Analisis neraca air lahan berfungsi untuk melihat ketersediaan air pada suatu lahan disertai dengan periode defisit dan surplus pada lahan tersebut. Pada analisis neraca air lahan digunakan faktor KL dan TLP dari jenis
Gambar 4
Hasil Perhitungan Neraca Air Lahan Kecamatan Dayun
Curah hujan yang turun pada bulan Juni, Juli, dan Agustus besarnya lebih kecil dibandingkan dengan besar ETPadj yang terjadi. Kondisi ini mengakibatkan adanya defisit pada lahan, karena besarnya curah hujan yang terjadi mengakibatkan adanya perbedaan antara ETPadj dengan evapotranspirasi aktual (ETA). Besarnya ETA yang terjadi dalam setahun berdasarkan hasil analisis yang dilakukan adalah sebesar 1655 mm. Besarnya defisit yang terjadi adalah sebesar ETPadj – ETA. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya defisit air pada ke tiga bulan tersebut secara kumulatif mencapai 22 mm. Dengan demikian, bulan JJA termasuk kedalam kategori musim kemarau untuk wilayah Kecamatan Dayun. Periode surplus terjadi pada bulan selain bulan JJA. Besarnya Surplus kumulatif dari bulanbulan selain bulan JJA dalam setahun adalah sebesar 412 mm (Gambar 4). Hal ini akan berpengaruh terhadap jenis tanaman yang ada diwilayah ini. Apabila wilayah ini dirancang untuk tanaman pertanian, maka pada bulan JJA diperlukan suplai air tambahan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat terjadinya defisit air, seperti adanya irigasi. Namun apabila wilayah ini dirancang untuk perkebunan, maka perlu memperhatikan faktor solum (kedalaman
perakaran) dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Secara umum, kedalamn perakaran untuk tanaman perkebunan adalah sebesar 60 cm. Pada bulan JJA, besarnya curah hujan yang turun lebih kecil dibandingkan dengan nilai KL yang ada. Namun, besarnya curah hujan yang terjadi pada ketiga bulan tersebut masih berada diatas nilai TLP dari jenis tanah yang ada sehingga masih mampu mencukupi kebutuhan evapotranspirasi baik potensial maupun aktual, sehingga nilai kadar air tanah dan water holding capacity tidak akan mengalami gangguan. 4.2.3 Neraca Air Tanaman Neraca air tanaman merupakan salah satu pendekatan untuk menetukan besarnya kebutuhan air suatu tanaman. Berdasarkan literatur yang ada, kebutuhan air suatu tanaman dapat dihitung berdasarkan jumlah air yang dievapotranspirasikan oleh tanaman itu sendiri (crop evapotranspiration, ETc). Setiap tanaman memiliki koefisien tanaman (crop coeficien) yang akan mempengaruhi besarnya ETc yang terjadi. Pada penelitian ini, tutupan lahan yang ada mengalami perubahan, dimana tutupan lahan sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah berupa hutan alami dan setelah adanya perkebunan kelapa sawit menjadi tanaman kelapa sawit. Nilai Kc rata-rata untuk jenis hutan adalah sebesar 0,87-0,89 (Shuttleworth 1988, dalam Van der Wert 1994), sedangkan untuk tanaman kelapa sawit adalah sebesar 0,93 untuk tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari 7 tahun (Harahap 1999). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya ETc untuk tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan besarnya ETc untuk hutan. Besarnya ETc untuk tanaman kelapa sawit adalah 1560 mm/tahun, sedangkan besarnya ETc untuk hutan adalah 1492 mm/tahun. Perubahan tutupan lahan antara landcover hutan dengan landcover tanaman kelapa sawit meningkatkan kebutuhan air tanaman sebesar 67 mm/tahun. Adanya peningkatan ETc dari lahan sebelum konversi (landcover hutan) dan setelah konversi (landcover tanaman kelapa sawit) akan mempengaruhi ketersediaan air yang ada pada lahan tersebut. Perbedaan landcover antara sebelum adanya perkebunan kelapa sawit (Gambar 5) dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit (Gambar 6) menyebabkan adanya penurunan nilai surplus air yang ada pada lahan tersebut. Besarnya penurunan surplus akibat adanya perbedaan landcover antara sebelum dan
sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 50 mm per tahun.
Gambar 5
Neraca Air Tanaman Sebelum Adanya Perkebunan Kelapa Sawit.
Gambar 6
Neraca Air Tanaman Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit.
Penurunan surplus akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Debit pada penelitian ini dihitung berdasarkan pendekatan persamaan empiris yang dikembangkan oleh FJ. Mock 1973. Debit estimasi antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan, dimana besarnya debit sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2708 m3/s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m3/s. Perhitungan debit estimasi menggunakan inputan nilai surplus dan nilai run off hasil analisis dengan menggunakan metode neraca air Thornwhite. Penurunan debit berarti berkurangnya nilai air tersedia yang mampu dimanfaatkan oleh berbagai stakeholder pengguna air, dan salah satunya adalah sektor domestik. Pengaruh lain dari adanya alih fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman perkebunan monokultur seperti perkebunan kelapa sawit adalah adanya peningkatan nilai run off (limpasan permukaan). Berdasarkan hasil penelitian mengenai erosi seperti yang dijelaskan pada buku Siklus Hidrologi Indonesia, nilai koefisien limpasan permukaan
13
untuk landcover hutan adalah sebesar 3 % dari surplus air yang ada, sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit, nilai koefisien limpasanya adalah sebesar 40% dari surplus air yang ada. Penelitian ini menggunakan asumsi dimana intersepsi oleh tajuk tanaman kelapa sawit tidak diperhitungkan dan lahan perkebunan kelapa sawit hanya berupa tanaman kelapa sawit itu sendiri. Pada Gambar 5 dan Gambar 6, dapat dilihat dimana besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan besarnya run off untuk landcover hutan. Besarnya run off untuk landcover hutan adalah sebesar 16 mm, sedangkan besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 200 mm. Artinya landcover hutan mampu menahan air limpasan pada saat terjadinya hujan dan menyimpan air lebih banyak sehingga mampu dimanfaatkan untuk sektor kebutuhan air lainnya. Kemampuan hutan untuk menahan laju aliran permukaan lebih besar dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan hutan memiliki serasah yang padat serta akar dari tanaman di hutan cenderung mampu menahan laju aliran, sehingga laju aliran permukaan dapat dihambat. Hutan berfungsi sebagai pengatur tata air pada sistem neraca air yang terdapat pada suatu lahan. Fungsi ini akan hilang pada saat terjadi konversi lahan ke tanaman monukultur seperti perkebunan kelapa sawit. Secara umum, perbandingan kondisi hidrologi suatu wilayah dengan adanya hutan dan tanpa adanya hutan adalah sebagai berikut: • Terjadi peningkatan erosi dan sedimentasi • Peningkatan volume limpasan • Peningkatan intensitas banjir dan kemarau Kondisi ini sejalan dengan paparan Menteri Pekerjaan Umum pada Seminar Pelestarian dan Penyelamatan DAS Siak Tahun 2007 dimana terdapat fluktuasi debit yang besar antara musim hujan dan kemarau (Qmaks: 1.700 m3/detik, Qmin: 45 m3/detik, Qmaks/Qmin: 37,8). Angka ini menjelaskan dimana pada saat musim hujan, jumlah air yang ada akan berlebihan dan menyebabkan terjadinya banjir. Namun, pada saat musim kemarau tiba, jumlah air yang ada akan sangat kurang dan berada di bawah batas lestari sungai. Oleh karena itu, hutan sangat berperan penting dalam menjaga tata air pada sistem neraca air pada suatu lahan.
4.3 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit Kebutuhan air tanaman kelapa sawit didapatkan dari hasil analisis neraca air tanaman kelapa sawit. Hasil analisis neraca air tanaman kelapa sawit menjelaskan dimana dalam setahun, kebutuhan rata-rata perkebunan kelapa sawit mencapai nilai 1560 mm/tahun. Nilai ini kemudian dikonversi berdasarkan data luas area perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kecamatan Dayun. Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Siak Tahun 2008 menjelaskan dimana luas areal perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun mencapai 21.949 Ha. Dari data luas area tersebut, maka total kebutuhan air untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun mencapai 42.728 liter/ha/hari. Kebutuhan air ini diperkirakan akan semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di kecamatan ini serta adanya peningkatan luasan areal perkebunan kelapa sawit di wilayah ini. Dalam satu hektar lahan perkebunan kelapa sawit, berdasarkan data yang diperoleh dari PTPN V, jumlah batang pohon kelapa sawit sebanyak 143 batang/pokok. Dengan jumlah ini, maka dapat diestimasikan jumlah kebutuhan air untuk satu pohon kelapa sawit dalam sehari mencapai 0,012 m3/s per harinya 4.4 Estimasi Debit (Q) Model neraca air lahan yang dikembangkan oleh Thornwhite hanya mampu mengestimasi neraca air sampai pada taraf run off yang terjadi pada suatu lahan. Untuk menghitung jumlah debit yang terjadi digunakan pendekatan yang di kembangkan oleh FJ. Mock (1937). Metode Mock menggunakan pendekatan luas DAS dalam analisis perhitungan debit. Menurut Hariadi (2006) yang telah melakukan penelitian mengenai potensi ketersediaan air di wilayah Kabupaten Siak, luas DAS Siak yang terletak di wilayah Kecamatan Dayun (DAS Buatan) memiliki luas sebesar 2050 km2. Besarnya debit perhitungan antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan seperti yang terlihat pada Gambar 7. Pola debit estimasi yang terjadi berdasarkan hasil analisis dengan Metode Mock mengikuti pola curah hujan rata-rata yang ada. Pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi, debit yang terjadi juga tinggi, begitu juga dengan sebaliknya. Dengan hasil ini, pendekatan perhitungan debit estimasi dengan Metode Mock dapat digunakan untuk menetukan
jumlah ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, umur responden berada pada kisaran 37 tahun sampai 59 tahun dengan ratarata umurnya 50 tahun. b.
Gambar 7
Perbandingan Debit Antara Sebelum dan Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya debit estimasi hasil perhitungan yang terjadi di Kecamatan Dayun sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2708 m3/s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m3/s. Adanya perubahan landcover pada suatu lahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit secara tidak langsung akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan air antara hutan dan tanaman kelapa sawit yang akan mempengaruhi nilai surplus air yang ada, yang pada akhirnya nilai surplus akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Dari hasil analisis ini terjadi penurunan debit yang mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun sebesar 349 m3/s per tahunnya. 4.5 Analisis Ekonomi Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit Estimasi nilai ekonomi lingkungan dilakukan dengan menggunakan metode Contingent Valuation Method (CVM) alat analisis berupa kuisioner yang diberikan kepada masyarakat yang tinggal disekitar perkebunan kelapa sawit. Sampel diambil di Desa Sawit Permai, dengan jumlah 200 KK dari 1034 KK yang ada di desa ini. 4.5.1 Karakteristik Umum dan Kondisi Sosial Ekonomi Responden a.
Umur
Gambar 9 Pekerjan Responden. Secara umum, pekerjaan responden adalah petani kelapa sawit. Namun, sebanyak 27 % dari total responden merupakan wiraswasta. c.
Pendidikan
Gambar 10 Pendidikan Responden. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, tingkat pendidikan responden adalah sebagai berikut: SD 29 %, SMP 38,5 %, SMA 28,5 %, dan Sarjana 4 %. d.
Pendapatan
Gambar 11 Pendapatan Responden. Pendapatan rata-rata responden berdasarkan hasil kuisioner dalam sebulan sebesar Rp 3.080.500. Pendapatan maksimumnya sebesar Rp 4.500.000 dan pendapatan minimumnya sebesar Rp 1.500.000. e.
Gambar 8 Umur Rata-rata Responden.
Pekerjaan
Perkembangan perkebunan kelapa sawit Sebanyak 67,5% dari total responden yang ada menyatakan bahwa perkembangan perkebunan kelapa sawit di wilayah ini sangat berkembang, 31,5% responden menyatakan
15
cukup berkembang, dan sebanyak 1% responden menyatakan tidak berkembang secara baik (Gambar 12)
menurun dan terjadi kekurangan air pada saat musim kemarau. b.
Perubahan cuaca Sebanyak 17% dari responden yang ada memberikan pendapat bahwa perubahan cuaca terjadi saat setelah adanya perkebunan, terutama suhu udara yang dirasakan semakin meningkat sejak adanya perkebunan ini. c.
Gambar
12 Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit.
4.5.2 Nilai Ekonomi Kelapa Sawit a.
b.
Perkebunan
Biaya pemeliharaan tetap per bulan Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, biaya tetap yang umumnya dikeluarkan oleh petani sawit di desa ini adalah pupuk dan pembayaran buruh waktu pemanenan. Jasa buruh dalam pemanenan Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, sebanyak 79,5 % responden menggunakan jasa buruh waktu pemanenan TBS (Tandan Buah Segar). Upah yang dikeluarkan sebesar 10% dari harga TBS yang dikeluarkan baik oleh perusahaan maupun dari pasar.
4.5.3 Nilai Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit Dampak lingkungan yang dirasakan oleh responden yang tinggal di sekitar perkebunan akibat adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Gambar 13 Dampak Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Responden. a.
Ketersediaan air Sebanyak 22% dari total responden menyatakan bahwa sejak adanya perkebunan kelapa sawit kondisi ketersediaan air semakin
Kondisi tanah Sebanyak 24% dari responden memberikan pendapat bahwa kondisi tanah sejak ditanami tanaman kelapa sawit menjadi tandus dan gersang. Kondisi ini mengakibatkan para penduduk kesulitan untuk bisa menanam tanaman lain selain tanaman kelapa sawit. d.
Keanekaragaman hayati Sebanyak 20% dari responden memberikan pendapat bahwa adanya konversi lahan dari hutan alami ke perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan beberapa spesies baik flora maupun fauna yang ada di wilayah tersebut. e.
Kesulitan menanam tanaman lain Sebanyak 17% dari responden memberikan pendapat bahwa sejak adanya perkebunan kelapa sawit mengalami kesulitan untuk menanam jenis tanaman lain, terutama jenis tanaman pangan. Hal ini disebabkan kondisi tanah yang telah digunakan untuk perkebunan cenderung lebih gersang sehingga tanaman lain tidak mampu tumbuh di tanah tersebut. 4.5.4 Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Nilai ekonomi lingkungan perkebunan kelapa sawit didekati sebagai dampak langsung yang diterima oleh masyarakat sekitar perkebunan akibat adanya perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini memfokuskan penilaian ekonomi lingkungan berdasarkan penurunan ketersediaan air oleh perkebunan kelapa sawit. Nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit akan terasa pada saat musim kemarau. Musim kemarau di Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA. Perbedaan ETc dari perubahan landcover hutan ke perkebunan kelapa sawit menyebabkan adanya perbedaan jumlah defisit, dimana landcover perkebunan kelapa sawit memberikan nilai defisit yang lebih besar dibandingkan dengan landcover hutan. Perbedaan landcover ini adalah sebesar 5 mm
yang merupakan kumulatif dari tiga bulan (JJA). Berdasarkan data yang diperoleh dari PDAM Kab. Siak, rata-rata harga air per liter mencapai Rp 150. Nilai lingkungan yang dihasilkan adalah sebesar Rp 7.500.000. Nilai pendapatan petani sawit selama tiga bulan secara rata-rata adalah sebesar Rp 9.241.500. Nilai pendapatan petani sawit kemudian diasumsikan sebagai nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit. Pada saat musim kemarau, perkebunan kelapa sawit merugikan terhadap lahan karena besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit menyebabkan meningkatnya nilai defisit air, namun pada saat musim penghujan, perkebunan kelapa sawit akan menguntungkan karena dapat mengurangi resiko banjir yang terjadi di wilayah setempat. Namun demikian, ada kemungkinan bencana banjir terjadi bukan di wilayah kecamatan ini melainkan di kecamatan lain yang topografinya lebih rendah dari kecamatan Dayun, sehingga air limpasan dari perkebunan kelapa sawit akan menimbulkan banjir di wilayah kecamatan lainnya. Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya. Hasil ini sejalan dengan kondisi yang terjadi dilapangan. Dalam rentang tahun 19862005 penduduk sekitar sedikitnya telah melakukan pendalaman sumur rata-rata 3 kali. Artinya dalam skala waktu 6 tahun sekali, para penduduk akan melakukan pendalaman sumur. Saat ini kedalaman sumur milik penduduk Desa Sawit Permai Kecamatan Dayun Kabupaten Siak mencapai 15 meter. Biaya yang dikeluarkan untuk pendalaman sumur sebesar Rp 150.000 per meter kedalaman. Untuk memperbaiki dan mengantisipasi masalah kekurangan ketersediaan air di wilayah ini, maka diperlukan adanya program konservasi air secara baik serta alokasi sumberdaya air berdasarkan kebutuhan yang ada. Dalam kuisioner yang diberikan kepada responden, responden diberikan gambaran kondisi lingkungan apabila terjadi penambahan jumlah luasan areal perkebunan kelapa sawit, maka secara langsung para responden juga harus menanggung kerugian lingkungan berupa kelangkaan sumberdaya air dan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memenuhi kebutuhan air. Upaya konservasi yang dapat dilakukan adalah peremajaan kembali hutan alam sebagai media konservasi alami. Sebanyak 73 % dari total responden setuju dengan adanya program peremajaan
hutan di wilayah ini. Alasan terbanyak dari responden adalah hutan memiliki fungsi penting dalam mengatur suplai air pada saat musim hujan dan musim kemarau (39,7%). Alasan lain adalah untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang ada (38,3%). Alasan terakhir adalah hutan berfungsi dalam pengembalian keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna di wilayah ini (21,9%). Sebanyak 27% responden tidak setuju dengan adanya program peremajaan hutan di wilayah ini. Alasanya terbesarnya adalah hutan dalam fungsinya tidak mampu menambah nilai pendapatan dari masyarakat sekitar (17,8%). Pendapat lainnya adalah perkebunan kelapa sawit memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan dari hutan (41,8%). Pendapat berikutnya adalah membuka hutan berarti menambah lapangan pekerjaan dan penghasilan, sedangkan meremajakan hutan berarti berkurangnya lapangan perkerjaan yang ada (40,4%). 4.5.5 Analisis WTP Program Konservasi Sumberdaya Air a. Harga Bayangan Kerusakan Lingkungan Kerusakan lingkungan akibat perkebunan kelapa sawit yang dirasakan oleh responden berdasarkan kuisioner diantaranya adalah kesulitan mendapatkan air. Hasil analisis CVM menyebutkan dimana dalam waktu 6 tahun, sedikitnya penduduk sekitar melakukan pendalaman sumur untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan air untuk keperluan domestik. Adanya alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan adanya peningkatan kebutuhan air sebesar 67 mm/tahun. Artinya apabila terjadi penambahan luasan perkebunan kelapa sawit sebanyak 1 hektar, maka jumlah air yang hilang adalah sebanyak 67 mm/tahunnya atau setara dengan 670.000 liter/ha/tahun. Harga air berdasarkan data dari PDAM Tirta Siak adalah sebesar Rp 150/liter. Nilai air yang hilang apabila terjadi peningkatan luas perkebunan kelapa sawit seluas satu hektar adalah sebesar Rp 100.500.000 per tahunnya atau setara dengan Rp 8.375.000 per bulannya. Jumlah KK yang terdapat di Desa Sawit Permai adalah sebanyak 1.034 KK. Dengan demikian, total kerugian yang harus dibayar oleh setiap KK di desa Sawit Permai adalah sebesar Rp 8.100/KK/ha/bulan.
17
b. Rata-Rata WTP Penduduk Desa Sawit Permai Berdasarkan hasil kuisioner yang diberikan kepada responden, sebanyak 73% dari responden setuju dengan adanya program konservasi sumberdaya air di wilayah ini. Dukungan dan keikutsertaan masyarakat dalam upaya pengelolaan sumberdaya air di wilayah ini terlihat dari keinginan membayar (Willingness To Pays) untuk program ini. Besarnya WTP dari setiap individu dapat ditentukan melalui contingen valuation method. Hubungan antara total WTP yang sanggup dibayarkan oleh masyarakat sekitar perkebunan dengan jumlah KK yang sanggup membayar WTP terlihat pada Gambar 14. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, nilai rata-rata WTP masyarakat Desa Sawit Permai untuk program reboisasi hutan sebesar Rp 26.400, dengan nilai WTP maksimumnya sebesar Rp 45.000, dan WTP minimumnya Rp 5.000.
Gambar 14
Hubungan Antara Besar WTP dengan Jumlah Responden.
Hasil analisis data menyebutkan bahwa 53% dari responden nilai WTP nya berada dibawah nilai rata-rata WTP dan 47% dari responden nilai WTP nya berada diatas nilai rata-rata WTP. c. Menetapkan bid curve Bid curve merupakan hubungan antara nilai riil total kerusakan lingkungan yang harus di bayarkan oleh setiap KK dengan total kemampuan membayar (WTP) dari setiap KK. Berikut hubungan antara nilai riil total kerusakan lingkungan dengan kemampuan membayar dari setiap KK di Desa Sawit Permai. P merupakan garis/tingkat harga. Wilayah II merupakan wilayah total kerugian yang seharusnya dibayar oleh setiap KK, sedangkan wilayah I merupakan wilayah kemampuan yang mampu dibayar oleh setiap KK di Desa Sawit Permai (Gambar 15).
Gambar 15 Bid curve WTP Masyarakat Desa Sawit Permai Total kerusakan lingkungan yang seharusnya dibayar oleh penduduk di desa sawit permai adalah sebesar Rp 8.375.000/ha/bulan. Kemampuan penduduk Desa Sawit Permai untuk membayar kerusakan lingkungan ini adalah sebesar Rp 27.300.000/ha/bulan. Dengan demikian didapatkan nilai surplus konsumen penduduk untuk program konservasi sumberdaya air sebesar Rp 18.850.000/ha/bulan. Nilai surplus konsumen ini menunjukan besarnya nilai manfaat ekonomi dari adanya program konservasi sumberdaya air yang di inginkan oleh penduduk di Desa Sawit Permai Kecamatan Dayun Kabupaten Siak. d. Mengagregatkan data Data yang di agregatkan merupakan data hasil kuisioner mengenai jumlah WTP rata-rata yang sanggup di bayarkan oleh setiap KK untuk program konservasi sumberdaya air di wilayah penelitian. Adapun tabulasi hasil kuisioner mengenai WTP rata-rata dengan jumlah responden yang sanggup membayar pada tingkat tersebut terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Besarnya Rata-Rata WTP Yang Sanggup Dibayar dengan Jumlah Responden WTP (Rp) 5000-10000 10001-15000 15001-20000 20001-25000 25001-30000 30001-35000 35001-40000 40001-45000
Rata-rata (Rp) 7500 12500.5 17500.5 22500.5 27500.5 32500.5 37500.5 42500.5
Responden
%
10 20 24 23 26 24 15 4 146
6.8 13.7 16.4 15.8 17.8 16.4 10.3 2.7
Besarnya nilai ekonomi program konservasi sumberdaya air yang diberikan oleh penduduk desa sawit permai merupakan hasil perkalian antara rata-rata WTP dengan jumlah KK yang ada di desa tersebut. Nilai ekonomi perbaikan lingkungan berupa
Nilai (Rp) 75000 250010 420012 517511.5 715013 780012 562507.5 170002 3490068
program reboisasi dari penduduk di Desa Sawit Permai adalah sebesar Rp 3.500.000 /ha/bulan. Besaranya nilai ekonomi program konservasi sumberdaya air memberikan nilai manfaat ekonomi sebesar Rp 18.850.000/ha/bulan. Perhitungan estimasi nilai lingkungan diatas merupakan perhitungan nilai lingkungan yang terjadi pada kondisi dimana wilayah tersebut mengalami kekurangan sumberdaya air. Kondisi saat ini menjelaskan dimana nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit terhadap sumberdaya air belum dirasakan oleh warga sekitar perkebunan kelapa sawit, mengingat sumberdaya air belum menjadi barang yang langka, artinya ketersediaan air masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun. Kemungkinan lain yang terjadi adalah nilai lingkungan ini dirasakan oleh penduduk lain yang tinggal di wilayah yang dekat dengan perkebunan ini, seperti di kecamatan lain yang merasakan adanya dampak lain berupa banjir yang menjadi lebih sering terjadi setelah adanya perkebunan kelapa sawit. Namun demikian, hasil ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab utama terjadinya banjir yang menjadi lebih sering terjadi di wilayah Kabupaten Siak.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kondisi neraca air umum di wilayah Kecamatan Dayun memberikan informasi dalam setiap bulannya terjadi kejadian hujan dengan besar yang berbeda setiap bulannya. Besarnya curah hujan rata-rata dengan peluang 70% berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 1989 mm/tahun, dengan puncak hujannya pada bulan April dan bulan November, masing-masing besarnya adalah 227 mm dan 241 mm. Periode musim kemarau untuk wilayah Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April. Besarnya ETPadj (evapotranspirasi terkoreksi) berdasarkan hasil perhitungan neraca air adalah sebesar 1677 mm/tahun. Periode defisit di Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA. Besarnya defisit air pada ke tiga bulan tersebut secara kumulatif mencapai 22 mm. Perbedaan landcover antara sebelum adanya perkebunan kelapa sawit dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit menyebabkan
adanya penurunan nilai surplus air yang ada pada lahan tersebut sebesar 50 mm per tahun. Debit estimasi antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan, dimana besarnya debit sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2708 m3/s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m3/s. Adanya alih fungsi lahan dari hutan ke tanaman monokultur seperti perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap peningkatan aliran limpasan langsung (run off). Besarnya run off untuk landcover hutan adalah sebesar 16 mm, sedangkan besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 200 mm. Kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang ada di Kecamatan Dayun adalah sebesar 42.728 liter/ha/hari. Besarnya kebutuhan air untuk satu batang pohon tanaman kelapa sawit adalah sebesar 0,012 m3/s per harinya. Berdasarkan hasil analisis debit estimasi, terjadi penurunan debit yang mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun sebesar 349 m3/s per tahunnya. Estimasi nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit dilihat dari segi konsumsi sumberdaya air adalah sebesar Rp 7.500.000, yang dihitung berdasarkan perbedaan landcover hutan dan tanaman kelapa sawit pada saat musim kemarau (JJA). Besarnya WTP rata-rata penduduk Desa Sawit Permai Kecamatan Dayun adalah Rp 26.400, dengan nilai WTP maksimum dan minimumnya masing-masing sebesar Rp 45.000 dan Rp 5.000. Besarnya surplus konsumen yang menunjukan nilai manfaat dari adanya program konservasi sumberdaya air adalah Rp 18.850.000/Ha/bulan. Nilai surplus konsumen ini menunjukan besarnya nilai manfaat ekonomi dari adanya program konservasi sumberdaya air yang di inginkan oleh penduduk di desa Sawit Permai Kecamatan Dayun Kabupaten Siak. 5.2 Saran Penelitian ini masih bersifat tahap awal sehingga dianjurkan terdapat penelitian lebih lanjut mengenai nilai ekonomi lingkungan perkebunan kelapa sawit. Masalah lingkungan menjadi esensial di masa mendatang sehingga penelitian mengenai dampak lingkungan suatu sumberdaya masih sangat dibutuhkan. Parameter nilai lingkungan dalam penelitian ini hanya berasal dari konsumsi sumberdaya air. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan dengan memasukan parameter