20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sejarah dan Perkembangan Lankap Situ Gintung Permasalahan air telah dimulai sejak tahun 1848 ketika terjadi kekeringan di pulau Jawa yang menimbulkan bencana kelaparan dan merenggut korban lebih dari 300.000 orang. Pada saat itu, Gubernur Jendral J.J. Rochussen mengusulkan kepada Kerajaan Belanda untuk membuat sistem pengairan guna menjamin ketahanan pangan. Usulan ini ditanggapi dengan dibentuknya Burgelijke Openbare Werken (BOW) pada tahun 1855, yang kemudian beralih nama menjadi Departemen
Pekerjaan
Umum.
Departemen
BOW
merencanakan
dan
melaksanakan proyek irigasi secara besar-besaran untuk mengantisipasi permasalahan air pada musim kemarau dan musim hujan (Hamin, 2003). Menurut Soehoed (2006), hingga awal abad ke-20 produksi beras dengan atau tanpa pengairan teknis di Pulau Jawa cukup untuk kebutuhan masyarakat Jawa, bahkan masih bisa mengekspor beras ke wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Semenjak awal tahun 1930-an mulai tampak kecendrungan peningkatan jumlah penduduk sehingga kebutuhan pangan juga meningkat. Pengamanan persediaan pangan di Pulau Jawa dengan tradisi pertanian sawah basahnya membawa dampak perluasan wilayah sawah yang berpengairan teknis dan juga menuntut pengendalian air yang lebih luas. Maka pada tahun 1920-an dan 1930an telah dilaksanakan berbagai proyek pengairan teknis yang cukup luas. Pembangunan bendungan Situ Gintung pada awalnya berguna untuk memenuhi kebutuhan irigasi persawahan. Menurut Departemen PU (2009), Situ Gintung sebenarnya terbentuk secara alamiah melalui proses geologi dan hidraulik yakni sebuah tubuh air yang terperangkap dalam sebuah cekungan pada punggungan besar diantara lembah-lembah lainnya. Kemudian pada tahun 19321933, Belanda membentuk tanggul atau tubuh bendungan setinggi 16 m disebelah hilir cekungan sehingga terbentuklah waduk air (tandon air, water reservoir atau storage). Waduk ini berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan (DTH) yang terkait dengan cekungan tersebut dan keperluan irigasi sawah
21 Sebelum menjadi waduk air atau situ, masyarakat menggunakan daerah ini sebagai lahan pertanian dan menyebutnya sawah dalam karena jika matahari belum tepat diatas kepala maka tanah sawah tidak akan panas. Setelah waduk atau situ terbentuk penggunaan air lebih banyak digunakan untuk keperluan irigasi. Perbandingan dua buah peta yakni peta tahun 1910 dan peta tahun 1934 (Gambar 3 dan 4) memperlihatkan bahwa bentuk situ berubah menjadi lebih luas dan terjadi pula perubahan posisi pemukiman yang awalnya berada di selatan situ berpindah ke barat daya situ Di tahun 1945-1970 mulai terjadi pembangunan pemukiman dan tanah disekitarnya mulai diperdagangkan. Sekitar tahun 1957 terdapat beberapa rumah yang dibangun di areal bawah bendungan. Perubahan yang sangat pesat terjadi pada tahun 1970, saat itu dilakukan pembuatan jalan di depan situ dan juga terjadi eksploitasi situ sebagai kawasan wisata dengan pengawasan di bawah Dinas Irigasi Jawa Barat. Perubahan penggunaan lahan ini menyebabkan penurunan luas situ. Luas area Situ Gintung awalnya seluas 31 Ha dengan kedalamanan rata-ratanya mencapai 10 m dan kapasitas penyimpanannya mencapai 2,1 juta m3. Berdasarkan data tahun 2008, luas situ tinggal 21,4 Ha dengan kedalaman ratarata sekitar 4 m dan kapasitas penyimpanannya sebesar 690.561 m3. Pada tahun 1991, Proyek Irigasi Jawa Barat telah melakukan rehabilitasi pintu-pintu air Situ Gintung. Berhubung daerah irigasi tersebut telah berubah fungsi menjadi pemukiman, maka kedua pintu air itu tidak difungsikan lagi. Berdasarkan Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan dan PP No. 23 tahun 1982 tentang Irigasi, Situ Gintung beserta daerah irigasinya dikelola oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat Seksi Pengairan Tangerang. Namun, pada tahun 2001 terjadi pemisahan Banten dari Propinsi Jawa Barat, sehingga sebagai pengelolaan Situ Gintung diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Banten yakni kepada Badan Transportasi dan Sumber Daya Air Provinsi Banten.
22
Sumber: http://www.kit.nl/smartsite.shtml
Gambar 3. Peta Situ Gintung tahun 1910.
Sumber: http://www.kit.nl/smartsite.shtml
Gambar 4. Peta Situ Gintung tahun 1934.
23 Kemudian di tahun 2007, pengoperasian dan pemeliharaan Situ Gintung menjadi tanggung jawab Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWS). Di akhir tahun 2007, BBWS mengadakan pertemuan konsultasi publik dan inspeksi tahunan Gintung dan menyatakan bahwa tidak ditemukan hal yang mencurigakan terhadap kerusakan yang dilaporkan oleh masyarakat. Kemudian BBWS memutuskan untuk membangun Jogging Track untuk mencegah pengokupasian lahan. Pembuatan Jogging track ini mulai dilakukan pada tahun 2008, disamping itu dilakukan pula pengerukan dan pembangunan batas situ untuk melestarikan situ. Pada tanggal 27 Maret 2009, bendungan ini mengalami keruntuhan dan menyebabkan bencana (Gambar 5). Bencana yang terjadi termasuk jenis bencana banjir bandang (debit flows) dengan diikuti gerakan tanah (longsoran) pada gawir tanggul.
Sumber: Dinas PU
Sumber: Dinas PU
Gambar 5. Tanggul yang telah runtuh dan banjir di Hilir.
Daerah yang mengalami kerusakan akibat keruntuhan tanggul situ dimulai dari tanggul hingga Kali Pesanggrahan. Luas daerah yang terkena bencana (zona terdampak) ini adalah 8,45 Ha. Zona terdampak terdiri dari 8 RT (Rukun Tetangga) yakni RT 01/RW08, RT 04/ RW 11, RT 05/RW 11, RT 03/RW 08, RT 04/ RW02, RT 04/RW 08, RT 03/RW 10 dan RT 03/RW 02 (Gambar 6). Total bangunan yang mengalami kerusakan adalah 165 unit. Bangunan yang rusak ringan sebanyak 70 unit, rusak berat sebanyak 70 unit, dan bangunan hancur 25 unit. Daerah yang terkena bencana dan persebaran bangunan yang mengalami kerusakan dapat dilihat pada Gambar 7.
24
Tanpa Skala
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan
Gambar 6. Batas administrasi RT/RW daerah bencana
25
Tanpa Skala Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan
Gambar 7. Persebaran bangunan yang rusak.
26 Pada tanggal 27 Maret 2010, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi bendungan yang telah runtuh dan menyatakan situasi tersebut sebagai bencana alam. Lalu pada tanggal 31 Maret 2009 Wakil Presiden Republik Indonesia menyatakan rekronstruksi Bendungan Gintung dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kementrian Pekerjaan Umum. Desain rekonstruksi Bendungan Gintung mulai dilakukan oleh Unit Riset dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum di bulan April hingga Juni 2009 2009. Kegiatan rekonstruksi sudah mulai dilakukan semenjak tanggal 3 Desember 2009 oleh PT. Nindya Karya-Bhumi Karsa JO dan diawasi oleh PT. Indra Karya (persero), Virama Karya, Konsultan KSO Harfarm Dian
4.2. Kondisi Biofisik Situ Gintung 4.2.1 Lokasi, Luas, Batas dan Aksesbilitas Secara administrasi Situ Gintung terletak di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lokasi Kelurahan Cirendeu dekat ibu kota kecamatan dengan jarak 5 km dan dari ibu kota negara DKI Jakarta hanya berjarak 25 km. Luas kelurahan ini adalah 308 Ha dengan batas di sebelah utara dan timur adalah Kelurahan Lebak Bulus (DKI Jakarta), di sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Pisangan (Tangerang Selatan) dan di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pisangan dan Kelurahan Rempoa (Tangerang Selatan). Peta lokasi Situ Gintung ditunjukkan pada Gambar 8.
Tanpa Skala
Gambar 8. Peta wilayah administrasi Situ Gintung
27 Letak Situ Gintung berada di sebelah barat daya kota DKI Jakarta. Situ ini terdiri dari bagunan tubuh tanggul, bangunan gelontor atau pelimpahan (spillway) dan bangunan pengambilan (intake). Bangunan gelontor (spillway) pada tanggul utama Situ Gintung berada pada posisi geografis 6°18’06” LS dan 106°45’46” BT. Jalan akses ke lokasi bendungan yakni Jalan Gunung Indah merupakan pelebaran gang perumahan mulai dari Jl. Ir. H.Juanda ke lokasi bendungan sepanjang 150 m dengan lebar jalan 6 m. Jl. Ir. H.Juanda termasuk dalam katagori jalan arteri sekunder yakni jalan yang menghubungkan Kota Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sementara itu, Jalan Gunung Indah merupakan jalan lokal atau jalan kelurahan yang menghubungkan antar RT. Aksesbilitas untuk mencapai lokasi ini sangat mudah karena didukung dengan keberadaan trasportasi umum seperti bis, angkutan kota dan ojeg. Hal ini karena di sepanjang Jl. Ir. Djuanda terdapat sejumlah pusat keramaian seperti Pasar atau Plaza Ciputat, kampus Universitas Islam Negeri dan Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan sebagainya (Gambar 9).
Ke Lebak Bulus
Situ Gintung UIN Ke Pasar Ciputat
Gambar 9 . Aksesbilitas menuju situ.
28 Alur jalan yang dapat digunakan untuk mencapai lokasi bendungan sebagai berikut, dari arah Bogor mengikuti angkutan umum Merdeka-Parung hingga ke pasar Parung kemudian mengikuti angkot Parung-Ciputat hingga Plaza atau Pasar Ciputat, lalu mengikuti jalur Angkutan Kota trayek S10 yang menuju ke Lebak Bulus dan berhenti di gang ke arah situ, lalu jalan kaki sekitar 5 hingga 10 menit ke tanggul situ atau dengan mengunakan jasa transportasi ojeg. Sementara itu, dari arah Jakarta setelah tiba di Terminal Lebak Bulus dapat juga mengikuti jalur angkutan umum S10 hingga ke gang Situ Gintung kemudian berjalan kaki selama 5 hingga 10 menit atau menggunakan jasa ojeg untuk mencapai bendungan. Selain mengikuti jalur angkutan S10, dapat pula mengikuti jalur angkutan D15 (Pamulang-Lebak bulus) atau 106 (Parung-Lebak bulus) lalu berhenti di Jalan Gunung Indah, kemudian berjalan kaki sekitar 20 menit atau menggunakan jasa ojeg untuk mencapai bendungan.
4.2.2. Penggunaan Lahan Berdasarkan data dari Kelurahan Cirendeu tahun 2006, luas Kelurahan Cirendeu sebesar 319,5 Ha. Lahan di kelurahan ini digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti untuk pemukiman sebesar 252,3 Ha, kuburan 2 Ha, lahan pertanian
5 Ha, taman 4,5 Ha luas taman, 35,7 Ha perkantoran dan
prasarana umum seluas 20 Ha. Daerah observasi memiliki luas sebesar 96,7 Ha dengan menggunakan batas jalan yakni sebelah utara berbatasan dengan Jalan Ir.H.Juanda, sebelah barat berbatasan dengan Jalan Kertamukti, sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Tarumanegara dan sebelah timur berbatasan dengan Jalan Gunung Indah Raya. Lahan di daerah observasi ini digunakan sebagai pemukiman, ISCI (lapangan olah raga), area pendidikan yakni UIN dan Tk Tunas Matahari, tempat wisata dan kebun (Gambar 10) . Kawasan Situ Gintung mengalami perubahan penggunaan lahan sehingga penutupan lahannya juga berubah. Perubahan ini dapat dilihat dalam peta penutupan penutupan lahan 1934 dan 2007. Dengan membandingkan penutupan lahan antara tahun 1934 dan 2007 (Gambar 11 dan 12) terlihat bahwa area bervegetasi seperti kebun dan sawah menyempit sedangkan area pemukiman
29 meluas. Luasan kebun dan sawah pada tahun 1934 mencapai 59.2 % dari luas area sedangkan pada tahun 2007 sawah sudah tidak ada dan luas kebun hanya 11.9% dari luas area. Pemukiman pada tahun 1934 hanya 4 % namun pada tahun 2007 telah mencapai 57.7%. Pembangunan pemukiman pada tahun 1934 hanya berada di sebelah selatan situ namun di tahun 2007 pemukiman ini telah mengelilingi situ bahkan telah melewati garis sempadan situ
(Lap. olah raga)
Gambar 10. Penggunaan lahan tahun 2011
30
Gambar 11. Peta penutupan lahan (landcover) tahun 1934 Gambar 12. Peta penutupan lahan (landcover) tahun 2007
4.2.3. Topografi Kota Tangerang Selatan sebagian besar merupakan dataran rendah dengan topografi yang relatif datar. Kemiringan tanah rata-rata 0-3 % dan ketinggian wilayahnya antara 0-25 m dpl. Kemiringan tanah di wilayah ini dapat dibagi menjadi dua yakni daerah dengan kemiringan 0-3% dan daerah dengan kemiringan 3-8%. Daerah dengan kemiringan 0-3 % meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Serpong dan
31 Kecamatan Serpong Utara. Daerah dengan kemiringan 3-8 % meliputi Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Setu (Gambar 13).
Sumber: Bappeda Tangerang Selatan
Gambar 13 . Peta topografi Kota Tangerang Selatan.
Situ Gintung merupakan lembah aliran Sungai Pesangrahan. Bentuknya berupa cekungan yang memanjang dari selatan ke utara dengan daerah yang lebih tinggi (punggungan) di bagian selatan. Kemudian, di atas punggungan tersebut terbebani tanggul dan konstruksi pelimpah yang terbuat dari pasangan batu. Pada waktu itu, penambahan beban tanggul dimaksudkan untuk memperoleh kapasitas tampungan yang lebih besar sekitar 2.000.000 m3. Bentuk tanah daerah yang terkena bencana berupa daerah yang relative datar. Daerah hilir berupa lembah relatif bergelombang lemah yang dibatasi oleh lereng terjal (tanggul situ).
4.2.4. Hidrologi Secara hidrologis fungsi Situ Gintung adalah sebagai daerah konservasi, resapan dan pengendalian banjir. Situ ini juga merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Cisadane yang merupakan salah satu sungai utama di Provinsi
32 Banten dan Jawa Barat dengan sumber air berasal dari Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Sungai ini mengalir ke Laut Jawa dan bendungan kali Pesangrahan dengan arah aliran dari Selatan ke Utara. Panjang sungai sekitar 80 km. Sumber air Situ Gintung berasal dari dua buah mata air yang menjadi sungai yang mengalir dari arah Selatan Situ (Gambar 14). Kedua sungai ini menjadi penampungan air hujan dan juga penampungan air dari drainase pemukiman yang ada di hulu. Daerah aliran sungai yang dimiliki kedua sungai ini seluas 3,2 Km2. Kedua sungai ini bermuara di Situ Gintung.
Sungai Pesangrahan
Tanpa Skala
Sumber: Dinas PU Kota Tangerang Selatan
Gambar 14. Arah aliran air.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, kualitas air di Situ Gintung telah tercemar meski pun begitu kualitas airnya masih memenuhi kualitas mutu kelas III (golongan c dan d) menurut peraturan pemerintah RI No 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
33 Nilai BOD dan COD di ketiga titik telah melebihi nilai baku mutunya (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa danau tersebut telah tercemar bahan organik. Hasil pengukuran Nitrit adalah 0,051 mg/l, 0,061 mg/l dan 0,047 mg/l. Hasil pengukuran Nitrat 0,09 mg/l, 0,08 mg/l dan 0,08 mg/l. Sementara itu, hasil pengukuran Amonium sebesar 2,41 mg/l, 2,54 mg/l dan 2,08 mg/l. Menurut kriteria eutrifikasi OCDE 1982, nilai senyawa nitrogen total (Nitrait, Amonium dan Nitrogen organik) yang lebih dari 0,086 mg/l sudah dapat memacu pertumbuhan ganggang dan pada nilai senyawa Nitrogen lebih dari 0,3 mg/l perairan waduk terlihat banyak alga (alga bloom). Jika alga bloom telah terjadi air danau tidak baik untuk sumber air minum karena ganggang dapat menyebabkan zat racun microcytein dan bau yang tidak sedap. Pertumbuhan ganggang ini juga dapat teransang bila kadar posfat air sangat tinggi. Kadar logam berat seperti Fe, As, F, Cd, Zn, Cu dan Pb masih berada dibawah baku mutu sehingga dapat dikatakan pencemaran logam berat di Situ Gintung belum membahayakan. Selain itu, secara visual kondisi air sungai di Situ Gintung keruh dan berwarna keabu-abuan, berbau khas limbah domestik yang telah terdekomposisi, dasar sungai terdapat sendimen berwarna hitam, di sungai ini juga dapat ditemukan berbagai sampah seperti sampah daun, plastik, kertas dan lain-lain. Pencemaran Situ Gintung terkait pula dengan kondisi disekitar anak kali Pesanggrahan khususnya dibagian hulu yang terdapat area pemukiman padat. Kegiatan masyarakat seperti pencucian bekas alat atau wadah pupuk buatan lalu membuangnya ke kali akan meningkatkan kadar klorin dalam air. Selain itu, pembuangan sampah seperti daun, plastik, kertas dan lain-lain ke dalam kali juga berpengaruh dalam penurunan kualitas air.
Tabel 4. Kualitas air Situ Gintung No
1
Parameter
Amonia Bebas (NH3-
Satuan
Baku mutu
Hasil Pengukuran Lokasi A
Lokasi B
Likasi C
mg/l
-
0,011
0,011
0,012
Amoniia total (NH3-N) mg/l
-
2,41
2,54
2,08
N) 2
34 Lanjutan Tabel 4. Kualitas air Situ Gintung No
Parameter
Satuan
Baku mutu
Hasil Pengukuran Lokasi A
Lokasi B
Likasi C
3
Besi (Fe)
mg/l
0,3
1,96
1,69
8,47
4
Deterjen (MBAS)
mg/l
0,2
0,453
0,385
0,275
5
Flourida (F)
mg/l
1,5
0,093
0,039
<0,05
6
Fosfat Ortho (PO4-
mg/l
1
0,32
0,361
0,1
7
Fosfat Total (PO4-P) mg/l
-
0,433
0,157
0,232
8
Kadmium (Cd)
mg/l
0,01
<0,004
<0,004
<0,004
9
BOD
mg/l
6
7,4
8,3
20,2
10
COD
mg/l
50
18,1
21,4
53,6
11
Kromium (Cr)
mg/l
0,05
<0,018
<0,018
<0,018
12
Mangan (Mn)
mg/l
0,1
<0,007
<0,007
<0,007
13
Nitrat (NO3-N)
mg/l
20
0,09
0,08
0,09
14
Nitrit (NO3-N)
mg/l
0,06
0,054
0,06
0,047
15
Seng (Zn)
mg/l
0,05
<0,007
<0,007
<0,007
16
Tembaga (Cu)
mg/l
0,02
<0,016
<0,016
<0,016
17
Timbal ( Pb)
mg/l
0,03
<0,021
<0,021
<0,021
18
Klorida
mg/l
0,03
26,4
25,2
24,5
P)
Sumber: Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Air keterangan :
Lokasi A: Saluran UIN sebelum Situ Gintung. Lokasi B: Saluran sebelum Situ Gintung. Lokasi C: Saluran setelah Situ Gintung
4.2.5. Iklim Suhu rata-rata bulanan kawasan Situ Gintung berdasarkan Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II yang diukur dari stasiun Pondok Betung. Suhu rata-rata Ciputat dari Januari 2000-Desember 2009 berkisar antara 26,64ºC28,3ºC. Suhu rata-rata terendah (26,64 ºC) terjadi pada bulan Febuari dan suhu
35 rata-rata tertinggi (28,3 ºC ) terjadi pada bulan Oktober. Berdasarkan data kelembaban udara kawasan Situ Gintung dapat dilihat bahwa kelembaban udara rata-rata tahunan tercatat antara 71,4%-86,4%. Kelembaban minimum (71,4%) terjadi pada bulan September, sedangkan kelembaban maksimum (86,4%) terjadi pada bulan Februari. Penyinaran matahari bulanan rata-rata yang terjadi berkisar antara 16,7 % hingga 63,7%. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang dianggap menyebabkan kerusakan tanggul Situ Gintung. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun memiliki rata-rata sebesar 335 mm/bulan. Disekitar Desa Cirendeu terdapat empat pos hujan yakni pos hujan Pondok Betung, Krukut Hulu, Lebak Bulus, dan Pintu Air Ciputat. Posisi kempat pos hujan ini dapat dilihat pada Gambar 15.
Sumber: Dinas PU
Gambar 15. Lokasi pos hujan sekitar Situ Gintung.
4.2.6 Geologi Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan umumnya adalah batuan alluvium, yang terdiri dari batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Berdasarkan klasifikasi dari United Soil Classification System, batuan ini mempunyai kemudahan dikerjakan atau workability yang baik sampai sedang, unsur ketahanan terhadap erosi cukup baik oleh karena itu wilayah Kota Tangerang Selatan cukup layak untuk kegiatan perkotaan (Bappeda,2010).
36 Jenis tanah dan batuan di kawasan Situ Gintung dipengaruhi oleh proses geologi yang terjadi disekitarnya seperti kegiatan gunung api di selatan dan kondisi morfologi yang melandai ke arah utara serta proses pasang surut di masa lalu. Kawasan Situ Gintung terbentuk oleh endapan fluvial yang membawa material gunung berapi dari Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Dago. Pengaruh pasang surut ditandai oleh endapan yang mengandung organik. Karakteristik jenis tanah pada tubuh tanggul berupa lempung lanaunan, kaku (stiff), mempunyai plastisitas yang tinggi dan berwarna merah kecoklatan. Sedangkan tanah dibawah tanggul berupa lempung lanauan, hasil pelapukan lahar, kaku (stiff), mempunyai plastisitas yang tinggi mengandung bahan organik dan bekas akar-akar tumbuhan dan warnanya coklat kehitaman. Dibawahnya adalah kolongmerat berlapuk sedang yang terselang-seling dengan batu pasir lanauan, tersementasi buruk hingga sedang, berlapis-lapis dan mudah tergerus. Jenis batuannya terdiri dari batu pasir tufan dan kolongmerat atau kipas aluvium (Qav) dan aluvium (Qa). Hal ini dapat terlihat dari Gambar 16. Satuan batu pasir tufan dan kolongmerat atau kipas aluvium (Qav) adalah endapan yang dipengaruhi oleh kegiatan gunung berapi pada masa Pleistosen. Diduga satuan ini berada pada umur Pleistosen akhir atau lebih muda. Satuan ini terhampar sangat luas dari selatan hingga ke utara dan memiliki ketebalan mencapai 300 m. Sedangkan Aluvium (Qa) merupakan endapan yang terdiri dari lempung, pasir, krikil kerakal dan bongkah. Endapan ini meliputi endapan pantai, sungai dan rawa.
37
Sumber: Bappeda Tangerang Selatan
Gambar 16. Kondisi geologi
4.2.7. Vegetasi dan Satwa Tanaman yang terdapat di kawasan Situ Gintung terdiri dari tanaman buah, tanaman penghijauan dan tanaman hias. Tanaman budidaya dan penghijauan dominannya terdapat di daerah sempadan situ sedangkan tanaman hias kebanyakan berada di pemukiman. Tanaman buah yang dapat ditemui adalah, Pisang (Musa sp), Kelapa (Cocus nucifera), Rambutan (Naphelium lappaceum), Pepaya (Carica papaya), Mangga (Manggifera indica), Sawo (Acras zapota), Anggur (vitis vinifera), Jambu air (Sizigium aqueum) dan Jambu mete ( Anacardium occidentale L.). Tanaman penghijauan yang ditemui adalah Angsana (Pterocarpus indicus), Akasia (Acasia auriculiformis), Palem raja (Roystonia regia), Pinus (Pinus mercusii), Albisia ( Albizzia falcata), Randu (Ceiba pentadra), Bambu (Bambusa vulgaris), Pinang (arenga cathecu), Gelongan tiang (Polyalthia longifolia), dan Sengon (Paraserianthes falcataria). Di daerah waduk jenis tumbuhan yang mendominasi adalah jenis Pohon Jati (Tectona grandis), Kayu Pisang (Querus indica), Gadong (Bischofia javanica), Hantap (Sterculia macrophylla) dan Bayur (
38 Pterospernium sp). Di daerah pemukiman dapat ditemui tanaman hias seperti
Hanjuang
(Cordyline sp), Eurpobia (Eurphobia milii), Palem weregu (Rhapis excelsa), Palisota (Palysota barteri), Soka (Ixora sp), Pacar air (Impatiens sp), Beras tumpah (Dieffenbachia sp), Melati (Jasminum sp) dan sebagainya. Satwa yang ditemukan di sekitar danau berasal dari jenis burung atau aves, ampibi, dan reptil. Jenis burung diantaranya adalah Anis (Zoothera sp), Tekukur (Geopelia striorta), Kapinis (Apus affinis), Burung Gereja (Passer montanus), dan Pipit (Lonchura leucogastroides). Hewan reptil yang terlihat adalah Kadal (Mabouya multifasciata) dan jenis ampihi yang hidup disana adalah katak (Rana cancrinora) dan Kodok (Bufo sp).
4.3. Struktur Bangunan Elemen Bersejarahan 4.3.1 Badan Air Pada awalnya badan air Situ Gintung terbentuk secara alami akibat proses geologi berupa cekungan air dalam lembah. Menurut Wayono dalam Rosnila (2004) pembentukan situ-situ di Jabodetabek dipengaruhi oleh proses geologi. Pada masa Miosen bentangan alam membujur dari arah timur ke barat, kemudian di masa antara Pliosen dan Plistosen terjadi aktivitas gunung –gunung berapi yakni gunung berapi di bagian selatan dan gunung berapi di Banten Barat akibatnya hamparan bentangan alam berubah arah menjadi dari utara ke selatan, pada masa ini distribusi endapan vulkaniknya mengendap di cekungan-cekungan yang akhirnya membentuk situ-situ. Kondisi badan air Situ Gintung saat ini mulai kembali tergenangi oleh air (Gambar 17). Saat ini sudah digunakan oleh masyarakat sebagai area rekreasi dengan kegiatan seperti bermain air. Kondisi air didekat bendungan terlihat jernih namun sudah terdapat sampah-sampah.
39
Gambar 17. Kondisi badan air
4.3.2. Bendungan Bendungan Situ Gintung dibangun pada masa penjajahan Belanda tahun 1932-1933 terbuat dari tanah urungan. Bendungan ini terdiri dari 3 komponen utama yakni bangunan tubuh tanggul, bangunan glontor atau pelimpahan (spillway) dan bangunan pengambilan (intake). Sebelum terjadi bencana keruntuhan Situ Gintung data teknis Situ Gintung adalah sebagai berikut: • volume tampungan
: 690.561
• Luas tampungan
: 22,78 Ha
• Elevasi dasar situ
: +85,00 m
• Elevasi puncak tanggul
:+ 100 m
• Bangunan pelimpahan (spillway) o lebar
: 11 m
o Elevasi mercu
: +97,50 m
o Elevasi Banjir
: +99,17 m
o Elevasi lantai muka
: + 96,00 m
o Elevasi tanah hilir
: +96,00 m
o Elevasi lantai kotak olak
: +95,00 m
Bangunan tubuh tanggul situ terbuat dari tanah urugan. Di atas tanggul ini dulu berdiri sebuah rumah. Hal ini menunjukan telah terjadi pelanggaran garis sempadan situ. Gambar 18 dan 19.
40
Sumber: BBWS CC
Gambar 18. Gambar penampang memanjang tanggul sebelum jebol.
Sumber: BBWS CC
Gambar19. Gambar penampang memanjang tanggul sewaktu akan jebol.
Bangunan pelimpahan ( spillway ) terbuat dari pasangan batu kali. Di atas bangunan ini terdapat sebuah jembatan dengan lebar kira-kira 1,5 m dan panjang sekitar 12 m yang berfungsi sebagai penghubung pemukiman di bagian barat dan timur Situ Gintung (Gambar 20 dan 21). Jembatan ini memiliki dua pilar setebal 2 x 50 cm dan di bagian bawah spillway terdapat kolam olak yang terlihat seperti kumbangan (Gambar 22).
41
Gambar 20.Bagian hulu spillway dilihat Gambar 21.Bagian hulu spillway dilihat dari tanggul bagian kiri
dari tanggul bagian kanan (sebelum
(sebelum runtuh)
runtuh)
Sumber: Departemen PU
Gambar 22. Denah dan potongan spillway.
42 Situ Gintung memiliki 2 buah pintu irigasi yang terletak di sebelah barat dan sebelah timur (Gambar 23). Kedua pintu outlet ini terbuat dari pasangan batu kali. Di tahun 1990 terjadi perbaikan pintu yang dibantu oleh Dit. Irigasi. Kondisi bendungan saat ini sudah lebih baik dari pada kondisi sebelumnya (Gambar 24). bendungan telah dibangun kembali dari konstruksi beton dengan spesifikasi sebagai berikut: • Tipe: gergaji (1 buah) dilengkapi 2 pintu • Lebar total : 15 m • Lebar pelimpahan: 11,2 m • Elevasi tanggul +100.00 • Elevasi mercu pelimpah +97,00~+97,50’ • Elevasi muka air normal +96,50~+97,00 • Jenis pintu: Pintu sorong • Elevasi dasar pintu +92,00
Gambar 23. Letak bagian-bagian bendungan sebelum bencana.
43
Gambar 24. Kondisi bendungan saat ini
4.3.3. Mesjid Jabalur Rahman Mesjid Jabalur Rahman diresmikan pada tanggal 26 Mei 2007 oleh H.Teuku Abdullah Laksamana sebagai Dewan Pembina Masjid. Mesjid ini berada sekitar 50 meter dari tanggul Situ Gintung yang runtuh. Bangunan ini tetap berdiri kokoh dan tidak rusak sedikitpun meskipun terkena bencana. Peristiwa ini serupa dengan peristiwa yang dialami oleh Mesjid Baiturrahman Banda Aceh yang tetap berdiri kokoh meskipun diterjang tsunami Gambar 25.
Gambar 25. Mesjid Jabalur Rahman ketika bencana dan kondisi saat ini
44 4.3.4. Penilaian Kuantitatif Penilaian kuantitatif ini dilakukan terhadap elemen bersejarahan yakni badan air, bendungan dan Masjid Jabalur Rahman pada saat ini (Tabel 5). Hasil penilaian ini menunjukan bahwa kondisi lanskap Situ Gintung berada dalam katagori potensial untuk digunakan sebagai area rekreasi atau wisata.
Tabel 5. Penilaian elemen bersejarahan NO
Element
Keunikan
Estetika
Keutuhan
Keaslian
Kondisi
Lingku
Total
fisik
-ngan
skor
1
Badan Air
3
2
2
2
2
1
12
2
Bendungan
3
2
3
1
3
1
13
3
Masjid
3
1
3
3
3
1
14
Jabalur Rahman
Keunikan badan air, bendungan dan mesjid Jabalur Rahman memiliki skor yang baik karena masing-masing memiliki kisah tersendiri namun saling terkait. Dari segi estetika badan air bernilai sedang karena bentukan lahannya masih menunjukan kekhasan suatu situ meskipun air yang tertampung saat ini masih sedikit. Sementara itu, bendungan memiliki nilai estetika sedang karena hasil rekontruksi bendungan masih menunjukan ke khasan bendungan dan mesjid Jabalur Rahman nilai estetikanya rendah karena bangunan ini memiliki bentuk arsitektur seperti mesjid pada umumnya. Keutuhan badan air bernilai sedang sebab keruntuhan situ hanya menyebabkan kehilangan airnya namun tidak mengubah struktur asli situ tersebut. Keutuhan bendungan dan mesjid bernilai baik karena keduannya mengalami tindakan pelestarian yang baik dan dapat mempertahankan keutuhan objek tersebut. Keaslian badan air bernilai sedang karena objek tersebut mengalami perubahan arsitektur namun keasliannya masih tetap tampak. Sedangkan bendungan bernilai rendah karena arsitektur bangunan tidak asli lagi. Sementara itu mesjid tidak mengalami perubahan sama sekali dari aslinya baik fungsi maupun arsitekturnya sehingga nilai keasliannya tinggi. Kondisi fisik badan air
45 dalam kondisi terawat dengan baik sementara itu bendungan dan mesjid kondisi fisiknya dalam keadaan yang sangat terawat. Sementara lingkungan sekitar kurang mendukung keberadaan Situ Gintung sehingga nilainya kecil. Total skor ketiga objek adalah 12, 13 dan 14. Hal ini menunjukan bahwa ketiga objek tersebut berada dalam katagori potensial untuk dijadikan tempat rekreasi dan wisata.
4.4. Kondisi Sosial Masyarakat Kelurahan Cirendeu memiliki penduduk sebanyak 23.428 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 11.936 jiwa dan wanita sebanyak 11.492 jiwa. Mata pencariannya adalah PNS, TNI, POLRI, pedagang, petani, karyawan, buruh, guru, dosen, dokter, karyawan. Bidan dan lainnya (Gambar 26).
Gambar 26. Jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan lainnya tidak jelas ruang lingkupnya. Jenis pekerjaan ini berupa usaha lokal yang mencakup modal yang cukup besar hingga jenis pekerjaan serabutan yang mengandalkan balas-jasa orang yang memberikan tugas. Sementara itu jenis pekerjaan pedagang sebagian besar adalah penyedia bahan kepentingan sehari-hari penduduk dan akomodasi lainnya. Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (2009), tidak ada peluang untuk jenis pekerjaan dibidang pertanian karena lahan pertanian sedikit dan peluang pekerjaan yang cukup terbuka adalah bidang pertukangan atau buruh konstruksi di kota-kota
46 seperti Tangerang dan Jakarta. Suku asli di kelurahan ini adalah Betawi atau Betawi pinggiran. Saat ini penduduk asli Kecamatan Ciputat Timur sebesar 40% sedangkan sisanya (60%) adalah pendatang dari berbagai macam wilayah. Meskipun begitu kehidupan sehari-hari antara para pendatang dan penduduk asli dapat berjalan dengan harmonis. Dikelurahan ini tidak hanya etnis yang beragam tapi agama yang dianut pun sangat beragam yakni agama Islam 19.434 jiwa, Kristen 2.361 jiwa, Katolik 1.562 jiwa, Hindu 116 jiwa dan Budha 69 jiwa.
4.5. Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat diperoleh melalui wawancara 34 orang penduduk dengan panduan kuesioner. Sebagian besar responden adalah pria (79,42 %) dengan penduduk aslinya sebanyak 15 orang sedangkan pendatang sebanyak 19 orang. Rentang usia responden sangat beragam dimulai dari usia 23 tahun hingga usia 60 tahun. Mereka sebagian besar berkerja sebagai wiraswasta. Pendidikan terakhir mereka juga sangat bervariasi dan yang terbanyak adalah SMA (16
jumlah responden
orang). Variasi ini dapat dilihat dalam diagram berikut (Gambar 27). 20 15 10 5 0 tidak sekolah
SD
SMP
SMA
D3
Sarjana
jenis pendidikan
Gambar 27. Diagram variasi jenis pendidikan responden.
Lama responden tinggal disini juga bervariasi 14,71 % telah tinggal kurang dari 5 tahun, 8,82% selama 5-10 tahun, 2,94 % selama 11-15 tahun, 23,53% selama 15-20 tahun, 5,88% 21-30 tahun, dan 32,35 % selama lebih dari 40 tahun. Mereka merasa betah tinggal disana. Mereka tinggal disana karena keluarga mereka tinggal disana 64,71%, pekerjaan 20,59% dan lainnya 14,71 %.
47 Terdapat beragam jawaban dalam perubahan yang terjadi. Jumlah responden yang menyatakan banyak perubahan sebanyak 26 orang, sedikit perubahan 3 orang, dan tidak berubah 5 orang. Hal ini berkaitan dengan lama mereka tinggal disana. Semakin lama mereka tinggal disana maka semakin banyak perubahan yang terlihat. Meskipun keadaan telah berubah para responden tidak terlalu terganggu dengan perubahan tersebut. Sebanyak 58,82 % responden merasa biasa saja terhadap perubahan, 32,35% responden mengatakan lingkungan masih nyaman atau lebih nyaman dan 8,32% responden mengatakan tidak nyaman. Ada berbagai macam perubahan yang terjadi. Menurut responden perubahan yang paling menonjol terjadi berturut-turut adalah perubahan lingkungan atau lanskap kawasan, aktivitas masyarakat dan lainnya. Sebanyak 18 responden mengatakan perubahan lanskap yang terjadi adalah kebun berubah menjadi pemukiman, sebanyak 6 responden menyatakan perubahan terjadi dari empang menjadi pemukiman dan sebanyak 5 responden mengatakan bahwa perubahan yang terjadi dari sawah menjadi pemukiman. Berdasarkan hasil wawancara, terjadinya perubahan diawali dengan pembangunan Jalan Gunung indah. Jalan tersebut membuat akses masuk ke kawasan lebih mudah dan menjadikannya wilayah yang terbuka (tidak terisolir). Kemudahan akses ini memicu masuknya para pendatang dan kemudian menetap disana. Kedatangan mereka membuat kawasan semakin ramai dan pembangunan pemukiman semakin meningkat. Responden yang mengaku menghetahui sejarah Situ Gintung sebanyak 20 orang dan yang tidak tahu ada 14 orang. Mereka menghetahui sejarah tersebut dari cerita orang tua dan pengalaman mereka. Selain itu mereka juga menghetahui karakteristik lanskap disana yakni sebagai kebun campuran 79,3 % responden dan lahan pertanian 20,7 % responden. Mayoritas responden mengetahui fungsi situ sebagai area konservasi 30,51%, rekreasi 28,81%, irigasi 25,42% dan budidaya ikan 15,25%. Diantara semua fungsi tersebut fungsi yang paling diharapkan tetap ada adalah rekreasi dan konservasi. Seluruh responden menyatakan bahwa Situ Gintung perlu dilestarikan karena situ tersebut dapat menambah kenyamanan kota, memiliki pemandangan
48 yang bagus, memiliki sejarah, menjamin ketersediaan air tanah dan sebagainya. Meskipun begitu, responden yang ikut berpatisipasi dalam pelestarian hanya 12 orang. Bentuk partisipasi mereka seperti ikut kegiatan penanaman pohon (reboisasi) dan ikut masyarakat peduli Situ Gintung. Semua responden beranggapan bahwa bendungan harus dibangun kembali. Ada 4 responden yang berharap situ tersebut dibangun seperti bendungan semula yakni bendungan urugan karena terlihat lebih alami. Dua puluh lima responden berharap situ dibangun dengan konstruksi yang lebih kokoh dan 5 responden tidak mengharapkan apapun dan mengikuti kebijakan pemerintah.
4.6. Pengelolaan Lanskap 4.6.1. Pengelolaan Situ Gintung Laksono (2010) mengatakan bahwa Situ Gintung merupakan kewenangan dan tanggung jawab yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai CiliwungCisadane (BBWS CC). Hal ini berdasarkan pada peraturan menteri pekerjaan umum No 13/PRT/M/2006 tanggal 17 Juli 2006 dan peraturan menteri pekerjaan umum no 114 tahun 2006 tentang kriteria dan penempatan wilayah sungai. Lebih lanjut Laksono (2010) juga mengungkapkan kelemahan dan kekurangan dalam pengelolaan Situ Gintung yakni tidak adanya dana yang dialokasikan secara khusus dan rutin atau secara berkala terhadap situ-situ yang ada. Tidak adanya sistem pendanaan yang jelas untuk setiap situ dan dana operasional sebatas untuk petugas kebersihan dan penjaga pintu air. Dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan tidak ada pengawasan dan pemantauan langsung terhadap kondisi situ baik fisik /non fisik yang dilakukan secara berkala. Pengawasan dan pemantauan hanya dilakukan bila ada laporan warga. Berdasarkan hasil wawancara BBWS CC bertangung jawab terhadap pengelolaan konstruksi bendungan, badan air dan daerah hilir yang terkena dampak. Pada saat ini telah disusun rencana kegiatan pengelolaan salah satunya adalah pengerukan sendimentasi yang akan dilakukan setiap tahun. Kegiatan pengelolaan yang berkaitan dengan kebersihan dan keamanan situ belum disusun dan nanti akan dibuat berdasarkan kesepakatan dengan Bappeda Tangerang Selatan.
49 Pada saat ini masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan situ terutama dalam menjaga kebersihan situ. Setiap malam diadakan pembersihan situ dari sampah-sampah. Aksi bersih-bersih ini didanai dari uang retribusi yang didapatkan dari pengunjung dan pedagang situ sebesar Rp 2.000,00/ orang.
4.6.2. Rencana Rekonstruksi Bappeda Kota Tangerang Selatan, 2009, Situ Gintung akan ditata kembali sebagai daerah konservasi air melalui tindakan rehabilitas dan rekonstruksi. Penataan kembali dilakukan pada daerah hilir yang terkena dampak bencana. Penataan tersebut meliputi area konstruksi kaki tanggul yang termasuk dalam area sempadan situ, badan sungai sebagai pengendali banjir, infrastruktur lingkungan. Infrastruktur lingkungan mencangkup jalan lingkungan yang baru, jalan inspeksi sepanjang sungai, jalan inspeksi tanggul, jembatan pedestrian (sepanjang jalur inspeksi), gardu listrik, saluran drainase dan lokasi tempat pembuangan sampah dan jaringan air bersih. Rencana penggunaan lahan di daerah hilir ini dapat dilihat pada Gambar 28. Tanpa Skala
6
Legenda:
4 3 6
5
3 2
1
4 6
1. Area konstruksi kaki tanggul Situ Gintung 2. Badan sungai / kanal sebagai pengendali banjir. 3. Perumahan. 4. Bangunan non perumahan eksisting. 5. Fasilitas lingkungan 6. RTH 7. Infrastruktur lingkungan (tersebar di daerah hilir yang terkena bencana)
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan.
Gambar 28. Rencana penggunaan lahan pada daerah hilir.
50 Selain itu dilakukan juga penataan pemukiman dengan pengkavlingan, perpetakan dan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Area yang memiliki bangunan non perumahan seperti kampus UMJ dan mesjid tidak diubah. Selain itu, dilakukan juga pembangunan fasilitas lingkungan yakni monument peringatan (civic center / situ center), taman bermain, fasilitas olah raga, warung dan ruang terbuka hijau. Ruang Terbuka Hijau tersebar di sepanjang alignment sungai dengan batas garis sempadan sungai, perumahan, tempat pemakaman umum Raudhatul Jannah dan di tempat lainnya seperti daerah yang berbatasan dengan Town House Jl.Gunung Raya dan daerah depan Fakultas Hukum UMJ. Rekonstruksi dilakukan pada bangunan bendungan dengan wilayah sempadan situ 50 m (Gambar 29, dan 30). Wilayah sempadan situ ini akan ditata menjadi ruang terbuka hijau dan bisa digunakan sebagai tempat rekreasi bagi penduduk. Sedangkan pada areal situ, Situ Gintung yang akan dibangun mempunyai elevasi lebih rendah 50 cm dari tinggi elevasi awalnya. Ketinggian badan tanggul terutama di bagian puncak tidak berubah yaitu 15 meter dari elevasi tanah di hilir bendungan. Desain Situ Gintung juga dilengkapi dengan jalur evakuasi dan kanal serta saluran selebar 6 meter memanjang 1 km menuju Sungai Pesangrahan. Sementara itu di sisi kanan dan kiri dibuat sempadan sungai dengan lebar masing-masing 10 meter. Daerah sempadan ini akan digunakan sebagai jalur hijau atau ruang terbuka hijau dan jalan inspeksi yang juga sebagai jalur evakuasi. Untuk itu pemukiman atau lahan yang sudah terbangun disekitar bendungan terpaksa akan direlokasi. Biaya penanganan Situ Gintung sebesar Rp. 97 Miliyar. Dana tersebut akan dialokasikan untuk biaya rekontruksi bangunan utama tanggul, rekonstruksi alur sungai sepanjang 1.025 m dan pembebasan tanah untuk alur sungai di hilir pelimpahan.
51
Sumber:Departemen Pekerjaan umum
Gambar 29. Bendungan yang baru tahun 2011
Sumber:Departemen Pekerjaan umum
Gambar 30. Potongan bendungan tahun 2011
4.7.
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Keberadaan
Situ
Gintung
Berdasarkan Analisis SWOT Dalam analisis SWOT ( kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman ) faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Situ Gintung dapat dibagi menjadi dua yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam kawasan yakni kondisi fisik situ dan sempadannya serta pengelolaan situ. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar kawasan misalnya kondisi lanskap disekitar bendungan, kebijakan pemerintah dan masyarakat. Faktor internal dapat ditinjau berdasarkan aspek kekuatan
52 (strength) dan kelemahan (weakness) sedangkan faktor eksternal dapat ditinjau berdasarkan aspek peluang (opportunity) dan ancaman (treath). Analisis faktorfaktor tersebut dirangkumkan dalam bentuk matriks (Gambar 31).
Gambar 31. Matriks analisis SWOT
KONDISI INTERNAL
KEKUATAN (S) • Badan air masih ada. • Bendungan baru telah dibangun kembali sehingga fungsi situ sebagai resapan air dapat terjaga. • Situ masih memiliki sempadan yang alami. • Kawasan teresebut potensial untuk dijadikan area rekreasi atau wisata.
KELEMAHAN (W) • Di daerah sempadan terdapat area terbangun • Tidak adanya pendanaan yang khusus dan rutin dalam pengelolaan situ. • Tidak adanya pengawasan dan pemantauan langsung terhadap kondisi situ yang dilakukan secara berkala.
PELUANG (O) • Pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melindungi kawasan • Adanya tindakan revitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. • Adanya kebutuhaan ruang terbuka hijau dari masyarakat. • Adanya kepedulian masyarakat terhadap keberlanjutan situ.
Strategi SO • Menetapkan kawasan sebagai ruang terbuka yang harus dilindungi namun juga tetap dapat dimanfaatkan untuk rekreasi. • Melakukan penataan ruang kawasan situ untuk mengakomodasi fungsi situ sebagai daerah resapan dan area rekreasi.
Strategi WO • Adanya peraturan dari pemerintah yang tegas untuk menindak lanjuti berkembangnya kawasan yang semakin padat. • Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar masyarakat, organisasi dan pemerintah dalam pemanfaatan, pemeliharaan dan pengawasan.
ANCAMAN (T) • Terjadinya perubahan fungsi lahan disekitar situ yang dapat menimbulkan pendangkalan situ dan pencemaran air • Lanskap sekitar situ berupa pemukiman yang membuang air limbah dan sampah rumah tangga ke dalam situ. • Ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan pemerintah. • Belum adanya zonasi pelestarian kawasan lindung dalam RTRW Kota Tangerang Selatan.
Strategi ST • Melakukan pembatasan terhadap kegiatan yang dikhawatirkan akan menyebabkan lebih rusaknya fungsi situ. • Mengajak masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan. • Melakukan pemantauan secara periodik terhadap pemanfaatan situ agar tidak melebihi kapasitas daya dukung situ
Strategi WT • Adanya ketegasan dari pemerintah dalam memberikan izin mendirikan bangunan. • Penetapan zona pelestarian yang membatasi antara area yang dilindungi dengan area untuk pemanfaatan lainnnya. • Melakukan penataan chatchmen area .
KONDISI EKSTERNAL
53 4.7.1 Faktor Internal Faktor internal ditinjau dari aspek kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Kekuatan (strength) yang dimiliki kawasan tersebut adalah (1) badan air masih ada, (2) bendungan baru telah dibangun kembali sehingga fungsi situ sebagai resapan air tetap terjaga, (3) situ masih memiliki sempadan yang bersifat alami, (4) kawasan tersebut potensial untuk dijadikan area rekseasi atau wisata. Sementara itu kelemahannya (weakness) adalah (1) di daerah sempadan terdapat area terbangun, (2) tidak adanya pendanaan yang khusus dan rutin dalam pengelolaan situ, dan (3) tidak adanya pengawasan dan pemantauan langsung terhadap kondisi situ yang dilakukan secara berkala Pada saat ini badan air masih ada dan bendungan telah berdiri kembali sehingga fungsi situ sebagai daerah resapan air dapat bertahan. Situ masih memiliki sempadan alami tetapi pada sempadan ini juga telah terjadi perubahan alih fungsi lahan menjadi area terbangun. Setelah kejadian bencana dan telah direkonstruksi kawasan ini masih memiliki elemen-elemen yang penting yakni badan air, bendungan dan Mesjid Jabalur Rahman. Berdasarkan penilaian dengan criteria Mackinnon dalam Hendry 2008 terhadap elemen-elemen ini, kawasan tersebut potensial untuk dijadikan area rekreasi atau wisata. Laksono (2010) mengungkapkan kelemahan dalam pengelolaan lankap Situ Gintung yakni tidak adanya pendanaan yang khusus dan rutin, dan tidak adanya pengawasan dan pemantauan langsung terhadap kondisi situ yang dilakukan secara berkala.
4.7.2.Faktor Eksternal Faktor ekternal ditinjau dari aspek peluang (opportunity) dan ancaman (treaths). Peluang (opportunity) kawasan ini adalah (1) pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melindungi kawasan, (2) adanya tindakan revitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah, (3) adanya kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) dari masyarakat, dan (4) adanya kepedulian masyarakat terhadap keberlanjutan situ. Sementara itu ancaman (threats) terhadap keberlanjutan kawasan ini yakni (1) perubahan fungsi lahan disekitar situ, (2) Lanskap sekeliling situ berupa pemukiman yang membuang air limbah dan sampah rumah tangga ke dalam situ, (3)ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan pemerintah, dan (4) belum
54 adanya zonasi kawasan lindung dalam RTRW Kota Tangerang Selatan. Pemerintah telah melakukan upaya pelestarian dengan mengeluarkan peraturan-peraturan seperti Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung menyebutkan bahwa sempadan situ adalah kawasan yang harus dilindungi dari interversi manusia berkisar 50-100 m dari bibir situ. Selain itu, pemerintah juga melakukan tindakan pelestarian secara nyata yakni dengan merevitalisasi situ. Adanya kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) dari masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara masyarakat dapat diajak untuk ikut dalam melestarikan situ seperti kegiatan reboisasi dan membentuk kelompok peduli Situ Gintung. Wirausahawan yang berada disekitar situ berharap agar kawasan tersebut dibuka sebagai tempat wisata atau tempat rekreasi sehingga banyak orang yang datang dan penghasilan mereka bertambah Ancaman terbesar bagi kelestarian situ adalah terjadinya perubahan fungsi lahan disekitar situ. Konversi lahan yang tinggi akan mempercepat pendangkalan dan penyusutan lahan situ sehingga situ tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Konversi lahan terbesar adalah perubahan lahan menjadi pemukiman, pembuangan limbah dan sampah rumah tangga ke dalam situ dapat mengancam keberadaan situ karena menurunkan kualitas air situ dan mengganggu ekosistem Situ Gintung . Pembangunan pemukiman hingga garis sempadan situ menunjukan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap peraturan pemerintah. Hal ini dapat disebabkan karena masyarakat tidak tahu batas area yang boleh dipergunakan sebab tidak ada batas nyata di kawasan. Dalam kompilasi data untuk penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan belum terdapat zonasi pelestarian untuk kawasan lindung.
4.8. Usulan Pelestarian Berdasarkan hasil analisis kondisi lanskap dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan situ, bendungan dan lanskap, Situ Gintung merupakan kawasan situ yang memilki banyak fungsi seperti resapan air, area rekreasi dan sebagainya. Fungsi-fungsi ini masih diperlukan oleh masyarakat oleh karena itu bendungan dan lanskap Situ Gintung perlu dilestarikan dan dilindungi.
55 4.8.1. Konsep dan Strategi Pelestarian Berdasarkan Matriks SWOT Konsep pelestarian bendungan dan lanskap Situ Gintung adalah melestarikan dan melindungi lanskap Situ Gintung agar terjaga kualitas, fungsi dan keberlanjutannya. Untuk mewujudkan konsep ini diusulkan strategi pelestarian yang disusun berdasarkan hasil analisis SWOT. Dari matriks analisis SWOT (Gambar 30), dapat dibuat strategi berdasarkan kekuatan dan peluang (SO), kekuatan dan ancaman (ST), kelemahan dan peluang (WO), dan kelemahan dan ancaman (WT).
Strategi SO yakni: • Menetapkan kawasan sebagai ruang terbuka yang harus dilindungi namun juga tetap dapat dimanfaatkan untuk rekreasi. • Melakukan penataan ruang kawasan situ untuk mengakomodasi fungsi situ sebagai daerah resapan dan area rekreasi
Strategi ST yakni: • Melakukan pembatasan terhadap kegiatan yang dikhawatirkan akan menyebabkan lebih rusaknya fungsi situ. • Mengajak masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan • Melakukan pemantauan secara periodik terhadap pemanfaatan situ agar tidak melebihi kapasitas daya dukung situ
Strategi WO yakni: • Adanya peraturan dari pemerintah yang tegas untuk menindak lanjuti berkembangnya kawasan yang semakin padat • Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar masyarakat, organisasi dan pemerintah dalam pemanfaatan, pemeliharaan dan pengawasan
56 Strategi WT yakni: • Adanya ketegasan dari pemerintah dalam memberikan izin mendirikan bangunan • Penetapan zona pelestarian yang membatasi antara area yang dilindungi dengan area untuk pemanfaatan lainnnya • Melakukan penataan catchmen area 4.8.3. Zonasi Pelestarian Sebagai kawasan yang dilindungi Situ Gintung belum memiliki zonasi untuk perlindungan dan pengelolaan. Oleh karena itu perlu dibuat zonasi untuk mempermudah pengeloalaan, pemeliharaan dan pengawasan situ. Zona pelestarian yang diusulkan terdiri dari zona inti dan zona penyangga. (Gambar 32). Zona inti adalah zona yang sangat penting dalam mempertahankan keberadaan situ dan fungsinya sebagai daerah resapan air serta memiliki elemenelemen kesejarahan yang penting untuk dilindungi. Zona inti ini terdiri dari badan air situ, bendungan, mesjid dan sempadan situ yakni 50 meter dari badan air. Upaya pelestariannya meliputi tindakan rekonstruksi dan rehabilitas yang telah dilakukan pemerintah.
Zona Inti Zona Penyanggga
Gambar 32. Skema zonasi pelestarian
Selanjutnya adalah zona penyangga atau buffer. Zona penyangga ini berada di sekeliling zona inti dan berfungsi untuk mendukung keberlanjutan zona inti. Zona ini memerlukan pemantauan atau pengawasan yang tinggi agar tidak terjadi penambahan bangunan. Upaya pelestariannya meliputi tindakan revitalisasi lingkungan. Penentuan zona penyangga dengan mempertimbangkan kondisi fisik disekitar lanskap situ, terutama terkait area yang masih banyak ruang terbuka
57 hijau dan batas-batas fisik berupa jalan yang dapat mempermudah dalam pengeolaan. Lebar zona penyangga sekitar 100 m. Gambar 33 menunjukan zonasi pelestarian.
Gambar 33.Zonasi pelestarian kawasan Situ Gintung.