19
Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Biodiesel
Minyak jelantah semula bewarna coklat pekat, berbau amis dan bercampur dengan partikel sisa penggorengan. Sebanyak empat liter minyak jelantah mula-mula didiamkan selama 24 jam kemudian disaring menggunakan kertas saring dan diperoleh minyak jelantah yang bebas dari partikel padatan, tetapi masih berbau amis dan bewarna coklat. Proses pembuatan biodiesel dengan menggunakan bahan baku minyak jelantah dalam penelitian ini tidak dilakukan pemurnian minyak jelantah lebih dahulu dengan tujuan untuk memperkecil biaya produksi, Penyaringan dengan menggunakan kertas saring whatman 41 dengan tujuan untuk memisahkan partikel-partikel padatan yang ada pada minyak jelantah, setelah disaring minyak jelantah siap untuk ditransesterifikasi.. Proses transesterifikasi dilakukan dengan mengambil sebanyak 200 mL minyak jelantah ditempatkan di dalam labu leher tiga yang telah dilengkapi magnet pengaduk, termometer, dan kondensor. Minyak dipanaskan hingga suhu 60ºC, lalu ditambahkan 80 mL metanol dan 3 gr KOH yang telah dilarutkan lebih dahulu sebelumnya dalam metanol. Campuran ini dipanaskan di atas penangas air dan diaduk selama
satu jam pada suhu 60ºC. Kondensotr ferfungi untuk
mendinginkan uap yang keluar selama proses tranesterifikasi dan akhirnya diembunkan, sehingga tidak ada uap yang keluar dari tabung leher tiga. Uap yang terbentuk ini merupakan uap alkohol, karena alkohol memiliki titik didih yang paling rendah diantara campuran yang ada dalam labu leher tiga. Dengan digunakan kondensor ini menyebabkan alkohol yang digunakan tidak ada yang hilang selama proses tranesterifikasio dan mencegah timbulnya ledakan. Setelah reaksi berjalan selama satu jam reaksi dihentikan dan hasil reaksi dimasukkan ke dalam corong pisah dan campuran ini akan memisah setelah didiamkan selama 24 jam. Hasil reaksi transesterifikasi seperti yang terlihat pada Gambar 4.1 di bawah:
20
A B
Gambar 4-1 Fase biodiesel (A) dan fasa gliserol (B) Pemisahan dilakukan untuk memisahkan antara lapisan atas dan lapisan bawah. Terbentuknya dua lapisan disebabkan perbedaan kopolaran antara biodiesel dan gliserol. Biodiesel bersifat non polar sedang gliserol polar, biodiesel terletak pada lapisan atas karena memiliki berat jenis yang lebih kecil dari gliserol. Setelah terpisah biodiesel dicuci dengan air hingga warna air pencuci jernih. Warna air pencuci pertama yang digunakan keruh, setelah warna larutan pencuci jernih kemudian dikeringkan dengan menggunakan CaCl2 dan dilakukan karakterisasi. Biodiesel yang dihasilkan seperti nampak pada Gambar 4.2 berikut ini:
Gambar 4-2 Biodiesel
21
4.2 Modifikasi Biodiesel
Modifikasi biodiesel dilakukan dengan membuat percabangan asetil pada rantai karbon metil ester yang memiliki ikatan rangkap, menggunakan bahan baku biodiesel minyak jelantah. Pembuatannya dilakukan dengan mengambil sebanyak 50 mL biodiesel ditambah 20 mL asam asetat glasial dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang telah dilengkapi dengan pengaduk, dan dilakukan pengadukan selama 20 menit pada suhu 25ºC kemudian ditambah 15 mL H2O2 dan diaduk selama satu jam pada suhu 5ºC. Selanjutnya dimasukkan dalam corong pisah dan dibiarkan selama dua jam, membentuk dua lapisan, lapisan atas bewarna coklat merupakan epoksida lapisan bawah jernih. lapisan atas diambil dan dicuci dengan aquades hingga warna larutan pencuci jernih dan larutan bersifat netral, untuk mengetahui larutan hasil pencuci bersifat netral atau belum digunakan indikator kertas lakmus biru. Bila warna kertas lakmus biru tetap bewarna biru setelah diberi larutan yang telah digunakan untuk mencuci maka pencucian dihentikan, setelah itu dikeringkan dengan menggunakan CaCl2 (sebagai larutan A). Penambahan H2O2 berfungsi sebagai oksidator, hasil reaksinya berupa epoksida. Reaksi pembentukan epoksida dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini O
O + H2O2
7C
7
O
-H2O
OCH3
Asam Oleat
C 7
7
OCH3
epoksi metil setearat
Gambar 4-3 Reaksi pembentukan epoksida Reaksi pembentukan epoksida merupakan reaksi kesetimbangan,
agar semua
oleat yang ada teroksidasi semua maka hidrogen peroksida yang digunakan berlebih. Disamping epoksida yang terbentuk, metil asetil hidroksi palmitat juga dihasilkan yang merupakan reaksi asetilasi tahap satu.
22 Dengan menggunakan labu leher tiga yang lain direaksikan 60 mL etil asetet dengan 4 mL HClO4 dan 4 mL anhidrida asetat pada suhu 5ºC, setengah jam kemudian ditambah 16 mL anhidrida asetat dan dibiarkan kembali selama satu jam, maka terbentuk hasil reaksi berupa larutan berwarna kuning muda (sebagai larutan B). Reaksi asetilasi dilakukan dengan mereaksikan larutan A dan larutan B pada suhu 25ºC selama 10 menit sambil diaduk kemudian dicuci dan dikeringkan mengunakan CaCl2. Hasil reaksi ini merupakan biodiesel terasetilasi. Mekanisme pembentukan biodiesel terasetilasi melalui dua tahap yakni: tahap epoksidasi dan tahap asetilasi. Pada tahap epoksidasi ikatan rangkap pada asam lemak teroksidasi oleh hidrogen peroksida membentuk epoksida. Sedang pada tahap asetilasi terjaadi protonasi epoksida oleh HClO4 mengakibatkan pembukaan cincin dan terbentuk karbon bermuatan positip, atom karbon bermuatan positip ini akan diserang oleh nukleofil, sebagai nukleofilnya asam asetat glasial. Reaksi berikutnya terjadi melalui protonasi gugus karbonil yang ada pada asam asetat anhidrat dengan menggunakan hidrogen peroksida sehingga terbentuk atom karbon bermuatan positip. Atom karbon bermuatan positip ini akan diserang oleh nukleofil yang dimiliki biodiesel khususnya pada gugus OH. Secara lengkap reaksi asetilasi ini dapat dilihat pada Gambar 4. 4 berikut ini:
23
Reaksi Asetilasi ke 1 +
O
O
H O
+H
O
C
C OCH3
7
7
7
OCH3
7
Epoksi metil setearat
O OH
OH
O
O
+
+ H3CC
C
7
OCH3
7
-
O
C 7
Asam asetat glasial
7
OCH3
O C
CH3
O
9-Hidroksi 10-Asetil metil stearat Reaksi Asetilasi ke 2
O
O
O
O+H
H+ O
O
O
OH
O+H
O
+
C 7
7
OCH3
O
O C
+
CH3
O
O
__
OH O CH3
C O
O C
7
OCH3
7
O C
CH3
O
9,10-diasetil metil stearat
Gambar 4-4 Mekanisme reaksi pembentukan cabang diasetil pada rantai karbon.
24
Setelah terbentuk biodiesel terasetilasi kemudian dilakukan karakterisasi dengan menggunakan KLT, FTIR, dan GC-MS. Bila dibandingkan penampakan warna biodiesel dengan biodiesel yang telah dimodifikasi. Separti yang tampak pada Gambar 4.5 dibawah ini:
A
B
Gambar 4-5 Biodiesel (A) dan biodiesel termodifikasi (B)
4.3 Uji Karakterisasi
4.3.1
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Pemisahan campuran menggunakan kromatografi prinsipnya memisahkan komponen-komponen penyusun campuran berdasarkan perbedaan migrasi atau distribusi dari komponen punyusun campuran dalam dua fase yang berbeda; yaitu fase diam dan fase gerak. Senyawa yang memiliki afinitas besar terhadap fase gerak akan tertahan lama pada fase gerak, dan sebaliknya yang memiliki afinitas kecil akan tertahan lama di fase diam. Pada mulanya sebelum dilakukan pengujian menggunakan KLT dicari eluen yang tepat untuk minyak jelantah. Eluen dikatakan tepat bila menghasilkan nilai Rf 0,5.
Setelah dilakukan kombinasi eluen antara heksana dan eter didapat
perbandingan volume heksan dan eter sebesar 8:2. Seperti terlihat pada Gambar 4.6 berikut ini:
25
Gambar 4-6 Hasil KLT minyak jelantah Setelah didapat perbandingan volume eluen selanjutya eluen ini digunakan untuk melakukan KLT biodiesel dan biodiesel terasetilasi. Hasil uji ini terlihat pada Gambar 4. 7 berikut:
1
2
3
Gambar 4-7 Hasil KLT (1) minyak jelantah, (2) biodiesel, dan (3)biodiesel terasetilasi. Dari hasil ini terlihat adanya perbedaan Rf antara komponen utama minyak jelantah, biodiesel, dan biodiesel terasetilasi. Pada minyak jelantah adanya dua noda pada Rf 0,5 dan 0,35 pada biodiesel juga ada dua noda tetepi Rf nya berbeda yaitu 0,4 dan 0,75 sedang pada biodiesel terasetilasi ada empat noda masingmasing memiliki RF
0,02; 0,25; 0,5; dan 0,72. Dari data ini terlihat ada
perbedaan senyawa utama penyusun minyak jelantah, biodiesel dan biodiesel terasetilasi karena tiap noda yang dihasilkan memiliki nilai Rf yang berbeda.
26
4.3.2
Uji FTIR (Fourier Trnsform Infra Red)
Uji FTIR dilakukan bertujuan untuk mengetahui gusus fungsi yang ada dalam senyawa. Uji ini hanya dilakukan pada biodiesel dan biodiesel terasetilasi. Dari hasil uji FTIR untuk biodiesel didapat sepektrum seperti yang tampak pada Gambar 4.8 di bawah ini:
90
3000
848.68
723.31
1058.92
4500 4000 3500 Biodesel minyak jelantah
1743.65
0
2854.65
2924.09
15
1197.79 1170.79
1462.04
30
1438.90
45
1246.02
1359.82
1116.78
60
1016.49
75
879.54
3466.08
588.29
%T
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
50 1
Gambar 4.8 Spektrum biodiesel dari minyak jelantah Untuk mempermudah menganalisis hasil sepektrum biodiesel, perlu diperhatikan sinyal-sinyal penting. Sinyal yang perlu diperhatikan tercantum dalam Table 4. 1 berikut ini:
27 Tabel 4-1 Bilangan gelombang puncak penting dalam spektrum FTIR. Bilangan
Gugus Fungsi
Dugaan
Jenis vibrasi
3010,00
C=C
Alkena
ulur
800-1000
=CH
Alkena
Tekuk
CH
Alkana
ulur
C=O
Karboksilat
ulur
C-H
Alkana
tekuk
1359,82
C-H
Alkana
tekuk
1242,02
C-O
ester
ulur
Gelombang(cm-1)
2924,09 2854,65 *1743,65 1462,04 1438,90
Dari sinyal yang muncul dapat diduga kemungkinan reaksi antara minyak jelantah dengan metanol menghasilkan senyawa ester, ini diperkuat adanya sinyal yang kuat pada bilangan gelombang 1242,02; 1743,65 cm-1 dan rantai karbonnya memiliki ikatan rangkap yang ditunjukan pada bilangan gelombang 3010,00 cm-1. dan untuk lebih menyakinkan kembali dapat dilihat pada bilangn gelombang antara 800-1000 yang merupakan fibrasi tekuk dari alkena tengah. Hasil FTIR untuk biodiesel terasetilasi seperti tampak pada Gambar 4.9 berikut:
650.01
588.29
723.31
852.54
879.54 1242.16
1197.79
30
1438.90
1462.04
45
1170.79
1369.46
1116.78
60
1020.34
3508.52
75
603.72
90 %T
4500 4000 Biodesel asetilasi
3500
3000
1741.72
0
2854.65
2924.09
15
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
Gambar 4-9 Spektrum biodiesel termodifiksi dari minyak jelantah
500 1/cm
28 Dari hasil uji ini nampak sepektrum yang dihasilkan relatif sama dengan sepektrum pada biodiesel, kemiripan sinyal yang dihasilkan disebabkan karena gugus fungsi yang dimiliki antara biodiesel dan biodiesel terasetilasi sama, kecuali di rantai karbonnya.
Biodiesel yang terbentuk dari asam lemak tak jenuh
memiliki ikatan rangkap sedang pada biodiesel terasetilasi tidak. Perbedaan ini terlihat pada spektrum yang muncul di bilangan gelombang 3010,00 cm-1, sedang pada biodiesel terasetilasi tidak. Perbedaan ini menjadi sangat berarti karena memang pada modifikasi ini bertujuan untuk menghilangkan ikatan rangkap yang ada pada biodiesel, menjadi ikatan tunggal dengan reaksi asetilasi. Tetapi pada bilangan gelombang 800-1000 yang merupakan fibrasi tekuk dari alkena baik pada biodiesel dan biodiesel terasetilsi masih muncal tetapi dengan intensitas yang berbeda, dimana pada biodiel terasetilasi lehih pendek puncaknya, hal ini menunjukan bahwa masih ada ikatan rangkap dua yang berada di tengah pada biodiesel terasetilasi, tetapi jumlahnya sedikit karena sebagian sudah mengalami asetilasi. Sampai tahap ini ada kemungkinan senyawa yang menjadi target terbentuk. Fakta ini juga didukung oleh adanya spektrum massa yang dihasilkan oleh GC-MS dengan adanya ion molekul m/z 414 yang merupakan masa molekul target dan memiliki nilai Rf 25,583.
4.4 Uji GC-MS
Pada uji ini bertujuan untuk mengetahui massa molekul relatif, persen, dan pola pemotongan yang terjadi pada senyawa penyusun campuran. Hasil uji ini dapat dilihat pada Lampiran D. Dari hasil GS menyatakan bahwa campuran yang dihasilkan mengandung 12 jenis senyawa yang ditunjukan dengan adanya 12 puncak dengan waktu retensi yang berbeda-beda, tetapi ada puncak yang sangat berdekatan seperti pada puncak nomor empat dan lima. Enam, tujuh, dan delapan serta pada puncak nomor 10, 11 dan 12. Bila diekspan menghasilkan empat kelompok puncak yaitu: 1 pada Rf 19; 2. pada Rf antara 21-22; 3. pada Rf 23-24; dan 4. pada Rf 25- 26. Hal ini sama dengan hasil dari KLT yang didapat empat noda. Pada data GS dihasilkan 12 puncak karena GS merupakan instrumen yang lebih baik untuk memisahkan
29 senyawa debandingkan dengan KLT sehingga senyawa yang memiliki berbedaan kepolaran yang kecil dapat dipisahkan sedang dengan
KLT tidak dapat
dipisahkan. Bila dilihat dari data MS (pada lampiran D) terlihat penyusun campuran ada senyawa yang memiliki perbandingan M/Z 414, merupakan puncak ke 12 dengan nilai Rf 25,583 sejumlah 12,52%. Massa molekul relatif ini sesuai dengan massa senyawa terget (9,10-diasetil metil stearat). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sintesis diasetil stearat dalam campuran biodiesel minyak jelantah telah berhasil dilakukan, walaupun dari hasil fragmentasinya tidak terlihat jelas.
4.4.1
Uji Aditif Penurun Titik Awan
Pada uji aditif penurun titik awan, biodiesel yang terasetilasi dicampurkan dengan biodiesel dari minyak sawit dengan perbandingan persen volume biodiesel terasetilasi berturut-turut: 0%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 10%, dan 20%. Sebelum dilakukan untuk uji aditif, biodiesel terasetilasi hasil sintesis ini ditentukan titik awannya, setelah itu dilakukan uji aditif. Hasil Uji yang dilakukan didapat hasil seperti tertera pada Tabel 4.2 berikut ini: Tabel 4-2 Uji penurunan titik awan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
% Volume Biodiesel terasetilasi 0 1 2 3 4 5 10 20 100
% Volume Biodiesel 100 99 98 97 96 95 90 80 0
Pengukuran Suhu (ºC) t1
t2
t3
trata-rata
16,3 15,0 14,0 14,3 14,0 14,0 12,2 12,0 11,5
16,0 14,8 14,2 14,0 14,0 13,0 12,0 12,5 10,7
16,2 15,0 14,6 14,2 14,0 13,4 12,4 12,0 10,5
16,2 14,9 14,3 14,2 14,0 13,5 12,2 12,2 10,9
30 Biodiesel terasetilasi memiliki titik awan rata-rata 10,9ºC. pada uji aditif persen volum yang efektif antara 5% sampai 10% (titik awan 13,5ºC s/d 12,2ºC), bila diberikan dalam jumlah yang lebih besar lagi titik awan relatif tidak menurun lagi, ini terlihat pada penambahan 20% biodiesel terasetilasi titik awan tetap 12,2ºC. Jadi dalam uji ini biodiesel yang telah diberi aditif mengalami penurunan titik awan dari 16,2 ºC menjadi 12,2ºC atau terjadi penurunan titik awan 4ºC.