Digitally signed by Institut Teknologi Bandung DN: cn=Institut Teknologi Bandung, o=Digital Library, ou=UPT Perpustakaan ITB,
[email protected], c=ID Date: 2013.06.13 14:38:58 +07'00'
BAB IV Hasil Dan Pembahasan IV.1
Analisis Prekursor kejadian Curah Hujan Ekstrim
Hujan lebat yang berlangsung berjam-jam untuk daerah yang cukup luas dan ditambah dengan banjir kiriman yang dibawa oleh sungai di DKI Jakarta terutama sungai Ciliwung, Pasanggrahan dan Sunter merupakan faktor penyebab banjir. Faktor pendukung lain adalah kerusakan infrastruktur akibat perubahan topografi yang terus bertambah, karena DKI Jakarta merupakan daerah urban (Liong et al., 2004). Perbandingan analisis dinamika atmosfer terbentuknya awan konvektif sebagai penyebab banjir di DKI Jakarta, sangat penting untuk diteliti mengingat pola tersebut terjadi pada saat kejadian banjir besar berlangsung.
200 180
2002
2007
2003
2004
160
Curah Hujan (mm)
140 120 100 80 60 40 20 0 21-Jan 22-Jan 23-Jan 24-Jan 25-Jan 26-Jan 27-Jan 28-Jan 29-Jan 30-Jan 31-Jan 1-Feb
2-Feb
3-Feb
4-Feb 5-Feb
6-Feb
7-Feb
8-Feb
9-Feb
Harian
Gambar IV.1. Curah Hujan harian rata-rata 11 stasiun pengamatan daerah DKIJakarta tanggal 21 Januari – 9 Februari tahun 2002, 2003, 2004 dan 2007. Kajian dinamika atmosfer dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis exploratif data pengamatan iklim. Sebagaimana Gambar IV.1, menunjukan grafik kejadian curah hujan pada saat banjir tahun 2002, 2003, 2004 dan tahun 2007 di DKI Jakarta. Curah hujan rata-rata harian di DKI-Jakarta tertingi pada saat banjir tahun 2002 mencapai 143 mm untuk tanggal 29 Januari 2002, sementara untuk tahun 2007 curah hujan rata-rata tertinggi mencapai 180 mm tanggal 1 Februari 2007. Curah hujan penyebab banjir tersebut termasuk curah hujan ekstrim, karena sebagaimana dalam Gambar IV.2 dengan probabilitas di bawah 15% untuk
43
periodisitas curah hujan 20 tahunan (tahun 1988-2008). Sebagai bahan perbandingan untuk tahun 2003 dan 2004 dimana DKI Jakarta mengalami banjir tahunan, dengan curah hujan sedikit di atas curah hujan normal. Hasil peratarataan curah hujan stasiun klimatologi di daerah Jakarta, diasumsikan mewakili kondisi klimatologi daerah tersebut. Sebelas stasiun pengamatan klimatologi, meliputi; stasiun BMKG (1060,86! BT, 60,16! LS), Cengkareng (1060,65! BT, 60,11! LS), Ciledug (1060,71! BT, 60,27! LS), Depok (1060,85! BT, 60,39! LS), Halim (1060,88! BT, 60,28! LS), Pakubuana (1060,78! BT, 60,25! LS), Tanjung Priok (1060,88! BT, 60,11! LS), Tanggerang (1060,62! BT, 60,18! LS), Tambun (1070,07! BT, 60,19! LS), Kedoya (1060,75! BT, 60,17! LS) dan Pasar Minggu (1060,76! BT, 60,27! LS).
Probabilitas (%)
100
10
1
0.1
0.01 0-10
10.-20
20-30
30-40
40-50 50-60 60-70 70-80 Curah Hujan (mm/hari)
80-90
90-100
100>
Gambar IV.2.Histogram Curah Hujan harian rata-rata 11 stasiun pengamatan daerah DKI-Jakarta tahun 1988-2008 Iklim di Benua Maritim Indonesia (BMI) tidak selamanya berada dalam kondisi normal, ada kalanya terjadi penurunan curah hujan mengakibatkan kekeringan dan pada saat yang lain mengalami peningkatan curah hujan hingga terjadi banjir. Perubahan besaran curah hujan sangat berkaitan dengan pola anomali dinamika awan, yang terjadi disertai perubahan parameter cuaca dalam waktu sesaat dan anomali iklim untuk jangka waktu yang lama. Perilaku sirkulasi anomali atmosfer tersebut, ditinjau dari tiga aspek yaitu; faktor perubahan global, regional dan lokal.
44
IV.1.1 Faktor Perubahan Lokal IV.1.1.1
Analisis Vektor Angin
Pola pergerakan vektor angin menunjukan adanya rotasi sirkulasi angin (vortex) di Selatan Pulau Jawa saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2002 dan 2007. Fenomena vortex (depresi tropis) dimulai tanggal 23 Januari 2002 hingga berakhir 26 Januari 2002 dan tanggal 1 Februari untuk periode tahun 2007 sebagaimana Gambar IV.3a, gerak turbulensi vektor angin akan menyebabkan terjadinya curah hujan yang tinggi. Dalam penelitianya Tangang et al., 2008 menyimpulkan bahwa Borneo vortex merupakan salah satu penyebab terjadinya curah hujan ekstrim di Peninsular Malaysia tahun 2006/2007 dan diperkuat oleh cold surge serta periode MJO yang terjadi secara simultan.
Timbulnya pembangkitan vortex skala meso, akibat pusat tekanan rendah di atas Selat Sunda dan di Samudera Hindia yang mengakibatkan peningkatan instabilitas angin secara menegak dan menjadi kondisi kondusif sebagai pembentukan awan cumulus
melalui
proses
konveksi.
Sirkulasi
siklonik
yang
konvergen
menyebabkan penumpukkan massa udara dan uap air, sehingga meningkatkan perawanan. Besarnya curah hujan ada hubungan atau kaitannya dengan pola streamline, yaitu vortex dan garis konfluensi pada paras 850 mb dan dibarengi oleh shear antisiklonik pada paras 200 mb dan adanya siklon tropis yang berasal dari Samudera Pasifik Utara bagian Barat Daya (Prawirowardoyo et al., 1982; Zhi dan Kun, 2003; Chang et al., 2000; Wang et al., 1993; Hai et al., 2007).
Sebagaimana dalam Gambar IV.3 a fenomena hujan ekstrim di DKI Jakarta diperkuat oleh kejadian vortex (depresi tropis) tanggal 29 Januari 2002 dan 1 Februari 2007 untuk periode 2002 dan 2007. Pola vortex pada periode tersebut di atas, mengindikasikan penyebab terjadinya curah hujan ekstrim. Hal ini terlihat dari pergerakan sirkulasi vektor angin, yang arahnya tegak lurus daerah Jakarta. Tanpa melihat faktor penyebab karena ditarik oleh vortex atau terdorong oleh kejadian cold surge, arah vektor angin tersebut mengakibatkan kejadian updraft yang dapat menimbulkan pertumbuhan awan konvektif. Indikasi pertumbuhan konvektif terukur pada data infra red (IR 1) dalam Gambar IV.8 a dan IV.8b.
45
m/s kg/m2
29-1-02, 12
m/s kg/m2
1-2-2007,12 Gambar IV.3.a.Vektor angin (m/s) ( ) dan Precipitable Water (kg/m2) (shading area) Jakarta 29-1-2002 dan1-2-2007, 12.00 UTC
46
m/s kg/m2
29-1-2005, 12 UTC
m/s kg/m2
30-1-2006, 12 UTC
Gambar IV.3.b.Vektor angin (m/s) ( ) dan Precipitable Water (kg/m2) (shading area) Jakarta 29-1-2005 dan 30-1 2006, 12.00 UTC.
47
Adapun hasil data pengukuran menunjukan kejadian yang sama (vortex) sebagaimana terlihat pada Gambar IV.3b untuk periode tahun 2005 dan 2006 pada tanggal 29 Januari 2005 dan 30 Januari 2006 pukul 12.00 UTC, namun tidak menyebabkan pergerakan vektor angin menjadi tegak lurus. Hal ini tidak mengakibatkan terjadinya updraft, sehingga tidak terjadi pertumbuhan awan konvektif yang besar.
IV.1.2. Faktor Perubahan Regional IV.1.2.1
MJO (Madden Julian Oscillation)
MJO dicirikan oleh adanya perjalanan gugus awan (SCC: super cloud cluster) ke arah Timur dengan kecepatan 5m/s. Awal pertumbuhan SCC dimulai dari Samudra Hindia dengan satu periode dalam waktu 40-50 hari, meskipun dalam beberapa kasus bisa menjadi 30-60 hari. Madden Julian Oscillation (MJO) memberikan pengaruh kuat terhadap pola curah hujan tropis, dengan periode 1,5 bulanan dan periode yang lebih pendek (intra-musim) ketika pengaruh musim dominan (Seto, 2004).
Perubahan periodisitas MJO terlihat menuju dominant dari tahun 2002 hingga tahun 2007, sebagaimana Gambar IV.4. Madden Julian Oscillation (MJO) adalah sebuah sirkulasi yang memiliki struktur baroklinik sederhana, dicirikan dengan daerah konveksi kuat dan gerakan vertikal serta berbatasan dengan daerah down welling dan konveksi tertekan. Adapun cirinya adalah adanya pertumbuhan awan skala besar dari samudra Hindia menuju samudra Pasifik bagian Barat, karena pada massa ini MJO sedang mengalami massa aktif, maka akibatnya akan meningkatkan curah hujan dan menimbulkan angin yang kuat (Wheeler et al., 2004).
Pola MJO untuk tahun 2002 dan 2007 sebagaimana dalam Gambar IV.4, terlihat kejadian MJO untuk tahun-tahun dimana DKI Jakarta terjadi banjir besar. Untuk tahun 2002 bulan Januari-Februari terlihat pola yang aktif dari MJO, sementara untuk tahun 2007 pada bulan Januari-Februari tidak aktif. Hal tersebut
48
menunjukan bahwa keberadaan MJO tidak menunjukan faktor dominan penyebab curah hujan ekstrim di DKI-Jakarta (Syamsudin, 2007). Jakarta
Jakarta
Gambar IV.4. Diagram Hovmoller anomali data OLR tahun 2002 dan 2007. (Sumber: http://www.cpc.ncep.noaa.gov)
49
IV.1.2.2
Multivariat ENSO Index (MEI) dan Dipole Mode Index (DMI)
Adanya perubahan gejala alam global lain, yaitu kejadian El Niño ataupun La Niña makin berkembang. Dari pengamatan data Sea Surface Temperature (SST) yang dianalisis berdasarkan pengaruh perubahan anomali iklim, diperoleh analisis bahwa untuk periodisitas El Niño 1991–1994 terpanjang dan El Niño 1997/1998 dengan intensitas terbesar dan tercepat dari kejadian sebelumnya, sebaliknya La Niña kurang berkembang seperti kondisi sebelumnya. Fenomena di atas, mengakibatkan perubahan pola angin musim di wilayah Indonesia dan sekitar sejak tahun 1991 hingga kini. Diduga pola perubahan tersebut akan mempengaruhi perubahan iklim (Diaz et al., 2001).
Gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia, akan menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang mengakibatkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Hal ini akan mengakibatkan SST di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan. Perbedaan SST yang membentuk dua kutub positif dan negatif di Samudera Hindia, disebut sebagai Dipole Mode Event (DME) atau Indian Ocean Dipole (IOD).
Seperti halnya El Niño, kejadian IOD direpresentasikan dengan satu indeks yang diberi nama Dipole Mode Index (DMI), yaitu perbedaan SST di bagian barat Samudera Hindia (500 – 700 BT, 100 LS – 100 LU) dan SST di bagian timur Samudera Hindia (900 – 1100 BT, 100 LS – ekuator). Semakin besar nilai indeks ini, semakin kuat sinyal IOD dan semakin besar akibat yang ditimbulkan. Jika di Samudera Pasifik, El Niño memiliki kembarannya yaitu La Niña, maka IOD di Samudera Hindia juga berpasangan; positif IOD (pIOD) dan negatif IOD (nIOD). Kondisi pIOD menyebabkan kekeringan (sama halnya dengan El Niño) sementara nIOD (memiliki sifat yang sama dengan La Niña) akan meningkatkan curah hujan. Lain halnya dengan El Niño-La Niña yang mencapai puncaknya pada akhir/awal tahun (Desember–Februari). Evolusi IOD dimulai pada bulan Juni/Juli dan akan mencapai puncaknya pada bulan September – Oktober. Maka jika terjadi kombinasi El Niño di Samudera Pasifik dan pIOD di Samudera Hindia, Indonesia
50
akan mengalami bencana kekeringan yang sangat parah akibat kemarau yang berkepanjangan dari bulan Juli hingga Februari tahun berikutnya. Hal ini pernah kita alami pada tahun 1997/1998 (Tjasyono et al., 2006).
1975/1976
0.3
1995/1996
0.8
0.2 0.6
0.1 MEI
0.4
-2.5
0 -2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
-0.1
0.2
MEI
-0.2
-0.8
-0.3
0 -0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
-0.2
-0.4
-0.5
-0.4
DMI
2001/2002
0.4
DMI
2006/2007
2
0.3 1.5
0.2
MEI
0.1
-0.4
1
0 -0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.1 0.5
-0.2
-0.4
MEI
-0.3 0
-0.5
0
0.5
1
1.5
-0.5 -0.5
-0.6 DMI
DMI
Gambar IV.5. a) MEI vs DMI Juli 1975/ 1976, Juli 1995/1996, Juli 2001/2002 dan Juli 2006/2007 ( = Januari, = Juli data awal tahun)
Sebagaimana Gambar IV.5a. dengan dasar analisis kombinasi Multivariat ENSO Index (MEI) negatif dan Dipole Mode Index (DMI) negatif diartikan saling memperkuat terjadinya fenomena curah hujan ekstrim, maka pola kombinasi untuk tahun 1975/1976, 1995/1996 dan 2001/2002 akan memenuhi syarat konsistensi fenomena tersebut. Namun sebagaimana terjadi dari kombinasi MEI dan DMI khususnya tahun 2006/2007 menjadi tidak lazim, karena kombinasi tersebut menjadi memperlemah kedudukan DMI yang negatif.
51
2002/2003
0.8
2003/2004
1 0.8
0.6
0.6
0.4 0.4
0.2
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
MEI
MEI
0.2
0
-0.2
0 -0.1
-0.2
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
-0.2
-0.4
-0.4
-0.6
-0.6 -0.8
-0.8 DMI
DMI
2004/2005
0.4
2005/2006
0.3 0.2
0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
MEI
MEI
0.1
0
-0.8
0 -0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
-0.1
-0.2
-0.2
-0.4 -0.3
-0.6
-0.4 -0.5
-0.8
-0.6
-1 -0.7
-1.2
-0.8
DMI
DMI
Gambar IV.5. b) MEI vs DMI Juli 2002/2003, Juli 2003/2004, Juli 2004/2005 dan Juli 2005/2006 ( = Januari, = Juli data awal tahun)
Adapun Gambar IV.5b dengan dasar kombinasi Multivariat ENSO Index (MEI) positif dan Dipole Mode Index (DMI) negatif diartikan saling memperlemah sehingga terjadi fenomena tahun-tahun normal, untuk tahun 2002/2003, 2003/2004 dan 2004/2005 masih terpenuhi kondisi tersebut. Namun untuk tahun 2005/2006 hal tersebut menjadi tidak lazim karena kondisi MEI negatif dan DMI negatif, artinya menjadi anomali untuk kondisi normal.
Dari pola anomali kedua periode di tahun-tahun tersebut, yaitu tahun 2005/2006 dan 2006/2007 kondisi MEI dan DMI mengalami perubahan fasa, sehingga untuk
52
analisis kasus curah hujan ekstrim maupun kondisi normal mengindikasikan kombinasi tersebut menjadi faktor yang tidak dominan (Gambar IV.5c). MEI
DMI
700
CH
600
(MEI x 10, DMI
0.3
500
0.1
400
-0.1
300
-0.3
200
-0.5
100
-0.7
0
Curah Hujan (mm/bln)
0.5
1-Jul-75 1-Jan-78 1-Jul-80 1-Jan-83 1-Jul-85 1-Jan-88 1-Jul-90 1-Jan-93 1-Jul-95 1-Jan-98 1-Jul-00 1-Jan-03 1-Jul-05 Bulan
Gambar IV.5c. MEI, DMI vs curah hujan (CH) bulan Januari dan Juli tahun 19752007 DKI Jakarta (tanda = MEI, DMI CH tahun banjir Jakarta) IV.1.2.3
Monsun
Monsun didefinisikan sebagai angin yang berubah arah selama setahun atau angin yang bertiup musiman. Menurut Khromov daerah monsun adalah daerah dengan angin yang berbalik arah paling sedikit 1200 antara bulan Januari dan Juli.
Gambar IV.6. Analisis spektra wavelet data curah hujan pentad daerah Jakarta tahun 1990-2007. Beberapa penelitian mengenai pengaruh monsun terhadap variabilitas curah hujan, dilakukan Chang et al. (2004) analisis curah hujan terhadap aliran monsun dan topografi di atas Indochina. Hasil penelitianya menunjukan selama musim dingin terdapat pergerakan vektor angin dekat pantai menuju deretan pegunungan di sekitar pantai di Viet Nam, Malaysia dan sepanjang sisi Timur Filipina. Pergerakan vektor angin dekat pantai berkontribusi maksimum pada curah hujan monsun musim dingin di wilayah ini.
53
Pengetahuan mengenai struktur dan sifat sistem konveksi di daerah monsun dunia, baik di darat maupun di laut diperoleh dari studi kasus dan kegiatan lapangan (field campaigns) terbatas. Bukti dari studi ini mengindikasikan karakteristik sistem konveksi kuat (deep convection) pada bermacam-macam wilayah monsun mempunyai kemiripan satu sama lain (Houze et al., 1981, Johnson dan Houze, 1987). Adapun untuk wilayah DKI Jakarta yang merupakan wilayah pengaruh monsun, pada bulan Januari dipengaruhi angin Baratan dengan nilai persistensi angin sebesar 0,8 sedangkan angin pada bulan Juli dikuasai angin Timuran (pesistensi anginya sebesar 0,6). Sebagaimana pada Gambar IV.6 terlihat pola monsun (periodisitas tahunan) dari analisis spektra wavelet data curah hujan DKI Jakarta tahun 1990 sampai 2007 cukup dominan. Hal tersebut mengindikasikan pengaruh monsun kurang mendominasi analisis kejadian curah hujan ekstrim, karena pola monsun tersebut hampir tiap tahun terjadi (Banu dan Suriamiharja, 2004; Tjasyono et al., 2008).
IV.1.3 Faktor Perubahan Global IV.1.3.1
Indeks Sunspot.
Fenomena curah hujan ekstrim ditinjau dari efek global terlihat pada perubahan indeks sunspot maksimum untuk hujan ekstrim 2002 dan minimum untuk tahun 2007 (Gambar IV.7a). Ketika aktivitas matahari minimum, akan mengakibatkan fluks sinar kosmik maksimum yang memungkinkan timbulnya tutupan awan. Secara fisis akan menghalangi irradiansi masuk ke permukaan dan terjadi pendinginan, sehingga mempengaruhi curah hujan.
Beberapa penelitian membuktikan adanya keterkaitan antara aktivitas matahari dan sejumlah unsur iklim di bumi, dengan korelasi yang kuat. Korelasi yang terjadi misalnya, kaitan antara panjang siklus sunspot dengan suhu permukaan dalam selang 130 tahun terakhir (Friis dan Lassen, 1991). Kemudian diperkuat penelitian lain dengan pembuktian secara empirik keterkaitan aktivitas matahari dengan suhu global, ketinggian atmosfer bertekanan 30 mb dan rata-rata tahunan suhu permukaan di Belahan Bumi Utara (BBU) (Djamaludin, 2008).
54