perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian mengenai fenomena perilaku menyimpang di kalangan pelajar ini berada di SMA Negeri 8 Surakarta yang berlokasi di Jl. Sumbing VI No. 49, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Surakarta. SMA Negeri 8 Surakarta berbatasan dengan Jalan Brigjen Katamso di sebelah utara, SMP Muhammadiyah Surakarta di sebelah timur, kemudian di sebelah selatan berbatasan dengan permukiman penduduk
Kampung Kandangsapi, dan di sebelah barat berbatasan
dengan Jalan Tentara Pelajar. Sebelumnya gedung SMA Negeri 8 Surakarta merupakan hibah dari SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa) yang didirikan pada tahun 1984 yang kemudian dialihfungsikan secara resmi menjadi SMA Negeri 8 Surakarta dengan SK Penegerian Nomor: 0106/O/1996 pada tanggal 23 April 1996. Tahun 1995/1996 merupakan awal tahun ajaran baru bagi SMA Negeri 8. Tenaga pengajar yang berjumlah enam orang sebagian besar berasal dari SMA Negeri 6 Surakarta, sementara untuk tenaga administrasi yang berjumlah sebelas orang berasal dari SGPLB. Pada awal berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, pembiayaan ditunjang dengan dana SPP dan BP3, sehubungan SMA Negeri 8 Surakarta belum mendapatkan alokasi dana DIK dari pemerintah. Kemudian dalam perkembangannya sampai saat ini SMA Negeri 8 Surakarta dilengkapi sarana dan prasarana yang lengkap dan mempunyai luas tanah 3.342 m² dengan luas bangunan ± 3.300 m². SMA Negeri 8 Surakarta merupakan Pilot Project Sekolah Berkarakter yang memiliki visi yaitu Meningkat Dalam Prestasi Akademik dan Unggul Dalam Prestasi Non Akademik Berdasarkan Imtaq dan Berwawasan Lingkungan. Hal ini berarti bahwa SMA Negeri 8 Surakarta bertujuan untuk menjadi sekolah pelopor yang mengedepankan karakter kepada peserta didiknya dalam mencapai prestasi baik commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akademik maupun non akademik secara seimbang sesuai dengan imtaq dan juga berwawasan lingkungan. Adapun indikatornya adalah sebagai berikut:1) Meningkat dalam prestasi nilai UAN, 2) Unggul dalam ketertiban dan kedisiplinan, 3) Unggul dalam pengamalan keagamaan dan kepedulian sosial, 4) Unggul dalm bidang olahraga dan seni, 5) Meningkat dalam bidang ilmu dan teknologi, 6) Unggul dalam bidang keterampilan. Berdasarkan visi di atas, maka misi yang diterapkan oleh SMA Negeri 8 Surakarta adalah sebagai berikut: 1) Melaksanakan pembelajaran secara efektif sehingga peserta didik dapat berkembang secara optimal sesuai dengan yang dimiliki, 2) Menegakkan ketertiban dan kedisiplinan sebagai konsep dasar menuju sukses, 3) Menumbuhkan penghayatan agama yang dianut dan juga budaya bangsa sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak, 4) Menerapkan etika pergaulan yang saling salam, sapa dan senyum sehingga terjadi persaudaraan dan kesetiakawanan sejati, saling asah, asih dan asuh, 5) Mendorong dan membantu setiap peserta didik untuk mengenali potensi diri, sehingga bisa dikembangkan secara optimal, 6) Mengenalkan dan menggunakan serta mengembangkan hasil-hasil teknologi modern, 7) Mendorong semangat kerja dengan mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada, sehingga memiliki tanggung jawab dan dedikasi tinggi, 8) Membudayakan hidup sehat dan berwawasan lingkungan. Sementara untuk menunjang kegiatan belajar mengajar serta menciptakan peserta didik yang berkualitas di SMA Negeri 8 Surakarta dilengkapi dengan fasilitas antara lain: a) 30 ruang kelas berkapasitas 30 hingga 35 siswa, yang dilengkapi LCD disetiap ruangnya. Dan khusus untuk ruang kelas XII terpasang CCTV, b) Laboratorium fisika, c) Laboratorium kimia, d)Laboratotium biologi, e)Laboratorium IPS, f) Laboratotium komputer, g) Aula (gedung serba guna), h) Gedung olahraga, i) Ruang multimedia , j) Mushola, k) Koperasi sekolah, l) Kantin, m) Ruang OSIS, n) Ruang Pramuka, o) UKS, p) Perpustakaan. Semua fasilitas tersebut dikelola secara langsung oleh pihak sekolah yang terdiri dari guru, karyawan maupun peserta didik commit to user
secara bersama-sama dan bertanggung jawab. Apabila terjadi kerusakan secara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sengaja pada fasilitas tersebut, pihak sekolah tentu akan memberikan sanksi sesuai ketentuan atau tata tertib yang berlaku. Saat ini SMA Negeri 8 Surakarta secara keseluruhan memiliki 83 tenaga pengajar, 24 karyawan dan 796 pelajar yang terbagi dari kelas X hingga XII berdasarkan kategori program MIA maupun IIS. Yang terdapat pada tabel sebagai berikut: Tabel 4.1 Jumlah Pelajar SMA Negeri 8 Surakarta Program /Jurusan IPA IPS Jumlah
X 100 186 286
Kelas XI 101 164 265
XII 100 145 245
Jumlah
301 495 796
Sumber : Data jumlah pelajar SMA Negeri 8 Surakarta tahun pelajaran 2014/2015
Menyikapi banyaknya jumlah peserta didik, SMA Negeri 8 Surakarta yang merupakan Pilot Project Sekolah Berkarakter, berusaha mengedepankan karakter dalam menegakkan ketertiban dan kedisiplinan di lingkungan sekolah dengan kiatkiat pembinaan kesiswaan yang dibina oleh Waka Kesiswaan dan guru Bimbingan Konseling. Salah satu wujud pembinaan yang dilakukan adalah dengan menempatkan 28 hingga 32 siswa di setiap kelasnya. Dengan jumlah siswa yang ideal, diharapkan akan mempermudah wali kelas ataupun pihak sekolah untuk mengontrol perilaku para pelajar. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling dan Waka Kesiswaan pada 13 Maret 2015, 3 tahun pertama SMA Negeri 8 Surakarta resmi dibuka tepatnya pada tahun 1998, mulai terjadi persoalan pelanggaran tata tertib sekolah oleh pelajar. Hal ini disebabkan fasilitas sekolah yang pada saat itu belum memadai. Salah satunya yaitu tidak adanya pagar pembatas yang mengelilingi sekolah. Sehingga pelajar menjadi lebih leluasa ketika hendak meninggalkan sekolah tanpa ijin, karena batas antara lingkungan sekolah dengan lingkungan sekitarnya belum ada. Selanjutnya, dari faktor tenaga pengajar yang jumlahnya cenderung sedikit. Yaitu hanya 6 orang untuk commit tenaga pengajar to user tetap dan 5 orang untuk pengajar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak tetap. Sehingga fungsi pengawasan serta pembinaan kepada pelajar juga belum maksimal. Kemudian dari faktor dana yang belum dikelola dengan baik, SMA Negeri 8 Surakarta hanya membuka pendaftaran untuk 6 kelas. Dimana untuk satu kelasnya terdiri dari 40 siswa. Sehingga jumlah siswa secara keseluruhan yaitu 240 siswa. Dengan jumlah siswa yang terlalu banyak di setiap kelasnya, situasi belajar di dalam kelas kurang kondusif serta tenaga pengajar cenderung mengalami kesulitan dalam mengawasi para siswa. Oleh sebab itu SMA Negeri 8 Surakarta memandang bahwa kehadiran tata tertib di sekolah sangat diperlukan. Terlebih dalam perkembangannya, perilaku menyimpang para pelajar yang ditinjau dari tata tertib sekolah menjadi beragam. Data jenis pelanggaran siswa pada tahun ajaran 2014/2015 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.2 Rekapitulasi Data Jenis Pelanggaran Siswa SMA Negeri 8 Surakarta No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jenis Pelanggaran
Kredit
Berambut panjang/gondrong (bagi lakilaki) Seragam dan atribut tidak sesuai aturan Tidak mengikuti upacara tanpa sebab Meninggalkan kelas saat KBM sedang berlangsung tanpa seizin guru Menciptakan kegaduhan sehingga mengganggu KBM Membuat coretan pada inventaris sekolah atau dinding Tidak masuk sekolah berturut-turut tanpa keterangan Masuk/ keluar sekolah dengan cara melompat atau menerobos pagar Menghisap rokok di liangkungan sekolah Penyalahgunaan uang SPP Berlaku tidak sopan terhadap guru/ karyawan
5
12. 13.
Berurusan dengan pihak yang berwajib Pencurian
14. 15.
Pemalsuan data atau nilai rapor Perkelahian
Tindak Lanjut
Teguran oleh BK
5 5 10 10 10 25
Penggilan orang tua oleh wali kelas
25 25 25 50
50 75
Panggilan orang tua oleh BK dan surat peringatan tertulis Peringatan tertulis dan skorsing 3 hari efektif
75-100 100 Dikembalikan kepada orang tua
Sumber: Rekapitulasi Data Jenis Pelanggaran Siswa SMA Negeri 8 Surakarta 2014/2015
Dari data yang terdapat pada Tabel 4.2, dapat dikatakan bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan siswa memiliki kredit pelanggaran yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat keseriusan pelanggaran yang dilakukan. Sementara untuk proses tindak lanjut yang dilakukan sekolah, juga berbeda-beda disesuaikan dengan kredit dan jenis pelanggaran. Apabila kredit pelanggaran berada pada kisaran 5 hingga 20, maka pelanggar yang bersangkutan diberi sanksi berupa teguran, baik dari Bimbingan Konseling (BK) maupun wali kelas. Untuk kredit pelanggaran mencapai 25, maka dilakukan pemanggilan orang tua oleh wali kelas. Kredit pelanggaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mencapai 35 hingga 50 dilakukan pemanggilan orang tua oleh BK dan peringatan tertulis. Kemudian kredit pelanggaran mencapai 75, dilakukan skorsing selama 3 hari efektif dan juga surat peringatan tertulis. Sementara kredit mencapai 85 hingga 90, mendapat peringatan tertulis dan dilakukan skorsing selama 6 hingga 10 hari efektif. Untuk kredit pelanggaran mencapai angka 100 atau lebih, pelaku pelanggaran dikemballikan kepada orang tua. Maka dalam pelaksanaannya, pengawasan terhadap tata tertib di SMA Negeri 8 Surakarta bukan hanya menjadi tanggung jawab guru, melainkan juga seluruh warga sekolah yang dikoordinasi oleh Waka Kesiswaan, guru BK (Bimbingan Konseling) dan Tim STP2K (Satuan Tugas Pelaksanaan dan Pembinaan Kesiswaan) yang beranggotakan guru ataupun karyawan yang diberikan tugas, wewenang serta tanggung jawab untuk menegakkan ketertiban dan kedisiplinan di sekolah. Tim STP2K diketuai oleh Drs. Sri Waluyo, beranggotakan Drs. Sutoto, Ari Rajasa, S.Pd, Suharnanik, S.Pd dan Dwiyanto Ariwibowo, S.Psi. Berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan pelajar di sekolah akan ditindak lanjuti sesuai dengan mekanisme penanganan pelanggaran tata tertib di SMA Negeri 8 Surakarta. Sehingga SMA Negeri 8 dipilih sebagai lokasi penelitian yang didasarkan atas ketersediaan sumber data serta pertimbangan peneliti untuk memperoleh gambaran mengenai fenomena perilaku menyimpang di kalangan pelajar, dengan memfokuskan pada persepsi siswa mengenai perilaku menyimpang, faktor yang melatarbelakangi munculnya perilaku menyimpang serta strategi sekolah dalam menanggulangi adanya perilaku menyimpang.
B. Deskripsi Temuan Penelitian Tata tertib sekolah diperlukan sebagai pegangan agar tidak terjadi perilaku yang menyimpang di lingkungan sekolah. Tata tertib termasuk dalam aturan tertulis yang digunakan sabagai salah satu cara pihak sekolah melakukan interaksi kepada seluruh warganya. Sehingga dengan adanya tata tertib yang berlaku di sekolah dapat commit to user
dijadikan cara untuk memantau segala tingkah laku setiap siswa yang memiliki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
potensi untuk melakukan penyimpangan, meskipun tidak semua penyimpangan perilaku yang dilakukan siswa diatur dalam aturan tata tertib. Keberadaan tata tertib menjadi indikator perilaku yang ideal bagi siswa di dalam sekolah. Sehingga untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang, setiap perilaku yang tidak sesuai atau menyimpang dari tata tertib akan mendapatkan sanksi sesuai dengan aturan yang ada. Sekolah adalah lembaga pendidikan yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas moral, pengetahuan, keterampilan dan sosial anak didik (Asmani,2011:15). Atas hal tersebut, tugas proses pendidikan adalah memotong mata rantai perilaku menyimpang baik itu pada level kasat mata (perilaku yang terlihat) maupun pada level kesadaran dan bawah sadar. Jalan terbaik adalah suatu formasi pengawasan serta penanganan berlanjut dari rumah sampai bangku sekolah. Maka disini sekolah memiliki peran yang cukup penting dalam perkembangan pembentukan intelektual, emosional maupun spiritual para pelajarnya. Di SMA Negeri 8 Surakarta tentu memiliki tata tertib yang dijadikan pedoman untuk menjaga citra SMA Negeri 8 Surakarta pada umumnya dan pedoman dalam menjaga perilaku para warga sekolahnya. Keanekaragaman karakteristik pada warga di sekolah utamanya yaitu para siswa, menciptakan pandangan dan pemaknaan yang berbeda mengenai tata tertib sekolah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sikap siswa yang mematuhi tata tertib dan siswa yang melanggar tata tertib. Pada pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa pelanggaran tata tertib adalah wujud dari adanya perilaku menyimpang. Munculnya perilaku menyimpang di kalangan para pelajar tidak terlepas dari adanya persepsi para pelajar mengenai perilaku menyimpang itu sendiri baik persepsi yang berasal dari pelaku penyimpangan maupun orang di luar pelaku penyimpangan tersebut. Selain itu juga pentingnya mengetahui faktor yang melatarbelakangi munculnya perilaku tersebut di kalangan pelajar, serta strategi yang diterapkan sekolah dalam menanggulangi perilaku menyimpang di kalangan pelajar, agar permasalahan mengenai perilaku menyimpang di kalangan para pelajar dapat diatasi secara maksimal dan tidak terulang kembali.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peneliti terlebih dahulu mendeskripsikan mengenai data penelitian yang diperoleh melalui observasi dan wawancara. Informan dalam penelitian ini, peneliti dapatkan dari informan yang memiliki karakteristik sebagai siswa yang berperilaku menyimpang maupun yang tidak menyimpang. Karakteristik ini diperoleh melalui rekomendasi dari guru Bimbingan Konseling (BK) yang bersangkutan berdasarkan data catatan pelanggaran siswa di SMA Negeri 8 Surakarta pada tahun ajaran 2014/2015. Informan tersebut terdiri dari 8 siswa (dengan menggunakan inisial), antara lain: SY, YN, TW, HN, NV, FR, DV dan RI. Kemudian 1 guru Bimbingan Konseling (BK), Wakasek Kesiswaan, dan 1 anggota tim Satuan Tugas Pelaksana Pembinaan Kesiswaan (STP2K). Pengumpulan data oleh peneliti melalui proses observasi wawancara mendalam. Observasi telah dilakukan oleh peneliti sejak akhir bulan Februari 2015 di lingkungan SMA Negeri 8 Surakarta. Keberadaan observasi sangat penting guna mengetahui karakteristik lokasi maupun subyek penelitian. Kemudian dari mempelajari kondisi serta karakteristik lokasi dan subyek penelitian, peneliti lantas melakukan wawancara mendalam kepada para informan berdasarkan kategori yang sudah ditentukan sebelumnya. Karena pihak sekolah tidak berkenan memberikan izin untuk wawancara di luar jam sekolah, maka wawancara mendalam pun dilakukan di dalam lingkungan sekolah saat jam sekolah berlangsung dengan berkoordinasi dengan guru BK, Waka Kesiswaan maupun guru mata pelajaran. Beruntung guru BK mempersiapkan salah satu ruangan konseling bagi peneliti untuk dijadikan tempat wawancara. Sehingga hal ini memberikan kenyamanan serta keleluasaan bagi informan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti. Untuk lebih jelasnya, peneliti menguraikan data penelitian sebagai berikut: 1.
Persepsi Perilaku Menyimpang di Kalangan Pelajar
a.
Perspektif dari Pelajar yang Berperilaku Menyimpang Perilaku menyimpang di kalangan pelajar merupakan salah satu masalah
krusial yang dipandang sebagai penghambat proses pendidikan. Berdasarkan hasil commit to user
penelitian, berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelajar dianggap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai suatu kewajaran atau bahkan menjadi suatu kebiasaan. Seperti dalam hal terlambat, membolos, keluar saat jam pelajaran, yang pada awalnya terjadi karena ketidaksengajaan ataupun ulah iseng justru kemudian menjadi proses pembiasaan. Hal ini terungkap berdasarkan penuturan salah satu informan berinisial NV dari kelas XI IIS 6, sebagai berikut: “Saya lumayan sering nglanggar mbak, ya telat, keluar waktu pelajaran. Awalnya takut karena masih kelas X, masih baru. Tapi habis itu ya biasa mbak. Lha gimana lagi, soalnya susah bangun pagi, tidurnya kemaleman terus mbak. Bangun-bangun udah jam 7, nyampe sini jam 8an. Kalo keluar pas pelajaran itu ya paling ke kantin, maem” (L/NV/21/05/15) Informan NV mengaku bahwa perilaku sering terlambat sekolah ini muncul sejak duduk di bangku SMA. Saat SMP dulu dia jarang sekali terlambat, sebab sebelum berangkat sekolah ia terlebih dahulu harus menjemput pacarnya, sehingga bisa berangkat sekolah bersama dan kemungkinan untuk terlambat juga kecil. Akan tetapi karena semenjak SMA mereka berbeda sekolah serta karena kebiasaan untuk susah bangun pagi dan tidur kemalaman, menjadikan perilaku tersebut sebagai suatu hal yang wajar. Informan juga mengaku bahwa sudah hafal dengan jadwal para guru piket yang berjaga di gerbang depan sekolah. Menurutnya, guru piket akan kembali masuk ke kantor saat sudah jam 8 lebih. Sehingga NV pun akan masuk sekolah melalui gerbang sekitar jam 8 lebih tanpa halauan dari guru piket. Untuk perilakunya yang keluar saat jam pelajaran berlangsung diakui oleh NV karena ia merasa lapar, sehingga istirahat sejenak di kantin untuk makan. Sejalan dengan NV, terlambat merupakan suatu kebiasaan juga disampaikan oleh FR dari kelas XI IIS 4. Seperti berikut ini, “Kalo saya memang sering terlambat mbak. Udah kebiasaan itu bangun siang, soalnya malem susah banget tidur. Aku insomnia mbak soale” (L/FR/10/8/15) Pernyataan kedua informan yaitu NV dan FR juga disampaikan oleh RI, informan lain dari kelas XI IIS 1 yang sering sekali terlambat dan membolos karena kebiasaan. Mengungkapkan pernyataannya sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Aku sih sebenernya ngga suka telat kak. Awal-awal dulu itu soalnya pas mau berangkat ke sekolah agak males soalnya kebiasaan pas liburan kan bangun siang terus, begitu udah sekolah jadi males bangun pagi. Pernah juga telat tapi ngga disengaja, waktu itu mau ke sekolah, eh di depan SMA 1 sana ada kecelakaan, itu kan jadi macet. Akhirnya aku mesti muter dulu cari jalan lain, makanya nyampe sini jadi telat. Terus, pernah telat karena mesti isi bensin dulu di pom. Kalo pagi kan rame juga to pomnya, yaudah nyampe sini telat. Nah, makin kesini sering dihafali guru karena sering telat. Yaudah deh akhirnya kalo udah ngrasa telat diterusin mbolos sekalian aja. Kalo bolos pelajaran, aku ngga pernah kak” (L/RI/10/8/15) Keterlambatan informan juga pernah terjadi karena hal-hal yang tidak disengaja olehnya. Rumah RI yang berada di sekitar Stasiun Balapan membuatnya mencari jalan pintas lain menuju sekolah saat di depan SMA Negeri 1 Surakarta terjadi kecelakaan. Karena merasa sudah terlalu dihafali oleh guru mengenai perilaku terlambatnya itu, informan pun lebih memilih untuk membolos apabila sudah merasa bahwa jam pelajaran dimulai. Meski ia mengaku di awal terlambatnya atas hal-hal yang tidak terduga dan ketidaksengajaan tetapi justru menjadi kebiasaan. Ia mengaku perilakunya tersebut tidak diketahui oleh orang tuanya. Ketidaksengajaan dalam hal terlambat yang berubah menjadi kebiasaan juga pernah dialami oleh TW yang berasal dari kelas XI IIS 6. Karena ketidaksengajaan tersebut, membuatnya harus mendapat poin karena melanggar tata tertib sekolah. Berikut penuturannya, “Aku telat itu ngga sengaja og mbak, lha gara-gara jemput NV sik. Dia kalo ngapa-ngapain lama og mbak. Aku suruh nunggu, jadine yo telat. Tapi karena tiap hari suruh jemput dia, ya malah jadi biasa telat” (L/TW/21/5/15) Sementara terlambat dan membolos sebagai perilaku yang disengaja diungkapkan oleh HN. Penuturannya sebagai berikut, “Aku lumayan mbolos sama telat mbak. Itu memang tak sengaja og, biasanya aku ngeBBM temenku yang udah dateng, ada pengumuman apa ndak gitu. Kalo ada BBM jam pertama kosong yawis nelat atau mbolos sekalian” (L/HN/10/8/15) Dari hasil wawancara tersebut, informan memang sudah merencanakan untuk commit user dari cara HN dari kelas XI IIS 4 terlambat ataupun membolos. Hal ini dapatto dilihat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk mengetahui situasi dan kondisi kelas sebelum ia sampai di sekolah dari temantemannya yang sudah datang terlebih dahulu. Sehingga begitu ada kesempatan, dipergunakan oleh informan untuk terlambat maupun membolos. Untuk memastikan informasi yang diberikan oleh para informan, peneliti pun mencocokkan dengan informasi yang telah diberikan oleh guru Bimbingan Konseling (BK) saat proses observasi sebelumnya. Berikut penuturannya, “Rata-rata disini melanggarnya itu memang terbanyak terlambat mbak. Karena siswa yang sekolah di SMA 8 memang rumahnya banyak yang jauh, ada yang sampai Jaten, Fajar Indah sana. Untuk sekali dua kali masih dimaklumi, akan tetapi seringnya sama anak-anak yang lain dijadikan kebiasaan. Alasannya rumahnya jauh, begitu saya cek di kantor ternyata rumahnya cuma di utara Kali Biru situ. Trus banyak yang alasan bangun kesiangan, itu umum sekali. Bermacam-macam alasan. Kalau untuk yang keluar ke kantin, itu kita sudah mencoba melakukan pendekatan ke warung sekitar sekolah ” (L/BK/25/2/15) Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat diketahui bahwa pelajar yang berperilaku menyimpang memanfaatkan situasi dari SMA Negeri 8 Surakarta yang pada awalnya memberikan toleransi atas keterlambatan bagi pelajar yang lokasi rumahnya jauh dari sekolah. Yang kemudian atas informasi dari guru Bimbingan Konseling, toleransi yang diberikan sekolah tersebut menjadi disalahgunakan oleh pelajar yang tidak bertanggung jawab. Hingga pada akhirnya berbagai macam alasan diberikan pada saat pelajar tersebut melakukan bentuk perilaku menyimpang yang lainnya dan berujung pada kebiasaan yang sering dilakukan. b.
Perspektif dari Pelajar yang Tidak Berperilaku Menyimpang Pernyataan dari para informan di atas, dilengkapi pula oleh hasil wawancara
terhadap informan lain sebagai kategori pelajar yang tidak berperilaku menyimpang. Informan SY berasal dari kelas XI IA 1. Penuturan SY disampaikan sebagai berikut, “Kalo saya lihat di SMA 8 itu banyak yang melanggar mbak, banyak yang menyimpang. Bukan cuma anak MIA, tapi IIS juga. Meski memang pelakunya rata-rata dari anak IS. Kalo aku liat sih memang kebiasaan yaa. Yang telat, colut sama yang kena point memang rata-rata yang itu-itu aja orangnya. Padahal perilaku kaya gitu bikin kita yang rugi. Prestasi jadi turun” commit to user (L/SY/12/5/15)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan prestasi yang membuatnya menduduki peringkat 1 paralel kelas XI ini, informan memiliki anggapan bahwa teman-temannya yang berperilaku menyimpang memang menjadikan kegiatan tersebut sebagai suatu kebiasaan. Apalagi yang selama ini berperilaku seperti itu memang lebih sering adalah orang yang sama. Artinya memang telah banyak melakukan pelanggaran di sekolah. Selain itu ia menilai perilaku yang dilakukan para informan lain membuat diri mereka menjadi rugi. Karena prestasi yang cenderung menurun. Penuturan SY pun, diamini oleh YN dan DV yang berasal dari kelas yang berbeda yaitu XI MIA 2 dan XI MIA 3. Keduanya mengaku belum pernah sama sekali berperilaku menyimpang di sekolah. Berikut pernyataannya, “Di kelasku sih jarang mbak, ada paling ya 1 atau 2 orang yang terlambat. Setahuku memang lebih banyak anak IS. Masag temenku yang rumahnya Jaten aja ngga telat, mereka yang rumahnya deket malah telat, malah santaisantai. Itu ndak wajar sih, harusnya mereka memperbaiki diri biar yang lain ndak ikut-ikutan. Kan itu perbuatan salah ta” (L/YN/12/5/15) Kemudian penuturan dari DV, disampaikan seperti berikut ini, “Aku denger dari temen-temen memang gitu mbak. Yang sering telat, mbolos, colut itu ya anak-anak yang sering bikin ulah. Aku ngga suka sama kelakuan kaya gitu mbak. Harusnya bisa tertib, ngga usah dilanggar. Kan bisa kena point” (L/DV/12/5/15) Dari penuturan DV, dapat dilihat bahwa pelaku penyimpangan yang ada di sekolah memang sering dilakukan oleh pelajar yang memang sebelumnya sering membuat ulah atau masalah. Informan juga menyatakan pendapat tentang ketidaksukaannya terhadap perilaku tersebut. Karena selain melanggar tata tertib juga menyebabkan pelakunya mendapatkan point atas pelanggaran yang dilakukan. Pernyataan ketiga informan di atas, diamini oleh Wakasek Kesiswaan yang melihat bahwa perilaku antara pelajar dari program MIA dan IIS memiliki perbedaan. Rata-rata yang melakukan pelanggaran tata tertib merupakan pelajar yang berasal dari program IIS,meski tidak menutup kemungkinan ada juga pelajar yang melanggar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berasal dari program MIA. Sehingga pendapat pelajar tersebut tentang perilaku menyimpang juga memiliki perbedaan. Penuturannya sebagai berikut, “Kalau untuk anak MIA ya jelas beda pendapatnya mbak. Mereka itu lebih tertib, lebih mudah untuk diatur. Bukan saya mau membedakan, tapi kenyataan di lapangan memang seperti itu. Jadi memang wajar kalo mereka tidak suka dengan perilaku yang melanggar seperti itu” (L/Waka/12/8/15) Berdasarkan pendapat para informan diatas baik dari yang masih ataupun pernah melakukan perilaku menyimpang dengan yang tidak pernah ataupun belum berperilaku menyimpang, memiliki persepsi yang berbeda mengenai perilaku menyimpang. Persepsi dari informan NV,FR, RI, HN dan TW sebagai pelajar yang berperilaku menyimpang, menganggap bahwa perilaku menyimpang yang selama ini mereka lakukan pada awalnya adalah karena sebuah ketidaksengajaan, seperti bangun kesiangan, macet dijalan, kesiangan karena harus menjemput teman yang lain, hingga pada akhirnya membuat mereka menjadi terbiasa untuk melakukan perilaku tersebut dan menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar. Meski ada pula informan yang memang secara sengaja berperilaku terlambat, membolos atau keluar saat jam pelajaran. Sementara informan yang lain yaitu SY,YN dan DV, mempersepsikan perilaku menyimpang yang ada di sekolah merupakan perilaku yang tidak tertib terhadap peraturan sekolah dan seolah para pelakunya rata-rata dilakukan oleh orang yang sama. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua kategori informan (pelajar yang berperilaku menyimpang dan pelajar yang tidak berperilaku menyimpang) memberikan persepsi yang berbeda mengenai perilaku menyimpang di sekolah. Yaitu bahwa pelajar yang berperilaku menyimpang mempersepsikan perilaku menyimpang tersebut sebagai hal yang wajar melalui proses pembiasaan. Munculnya kebiasaan didasari atas respon
ketidaksengajaan, yang kemudian
dilakukan berulang - ulang sehingga mereka menjadi terbawa arus dan pada akhirnya terbiasa berperilaku menyimpang dan itu dianggap suatu perbuatan yang wajar untuk dilakukan. Sedangkan pelajar yang tidak berperilaku menyimpang, mempersepsikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa perilaku menyimpang yang muncul tersebut karena perilaku yang memang tidak patuh terhadap tata tertib sekolah. Selain perilaku tersebut merugikan diri sendiri dan mempengaruhi pelajar yang lain juga dapat mengganggu prestasi di sekolah. Sehingga mereka melihat perilaku tersebut sebagai suatu hal yang tidak wajar. 2. Faktor yang Melatarbelakangi Munculnya Perilaku Menyimpang di Kalangan Pelajar Dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti, dapat dikatakan bahwa faktor yang metarbelakangi munculnya perilaku menyimpang di kalangan pelajar terbagi menjadi 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari hal-hal dalam diri pelaku penyimpangan, sementara faktor eksternal berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar diri pelaku penyimpangan. a. Faktor Internal Informan menyebut bahwa faktor munculnya perilaku menyimpang yang dilakukan berasal dari dalam diri informan itu sendiri. Hal ini dapat mengenai kebiasaan, kepribadian, faktor umur, jenis kelamin, gaya hidup atau paham yang telah dipelajari atau mengikat diri informan sebelumnya. 1) Kebiasaan Berdasarkan pembahasan mengenai persepsi perilaku menyimpang, beberapa informan seperti NV, FR, TW dan RI menyebutkan bahwa perilaku menyimpang yang mereka lakukan terjadi karena ketidaksengajaan yang berujung pada kebiasaan. Kebiasaan inilah yang menjadi faktor internal yang melatarbelakangi mereka dalam berperilaku menyimpang. Konsep kebiasaan muncul karena kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Demikian penuturan informan NV, “Udah biasa absen upacara aku mbak. Ya upacara hari senin apa hari-hari laine. Lha almamaterku hilang og” (L/NV/21/5/15)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebiasaan untuk menghindari pelajaran tertentu sebagai faktor yang melatarbelakangi perilaku menyimpang juga disampaikan oleh informan TW, FR dan HN berikut ini, “Aku kebiasaan mbolos pas hari Kamis mbak. Soalnya takut ada pelajaran Bhs. Inggris. 2 jam pula. kalo yang Sabtu aku tetep masuk soale Bhs. Inggrise cuma sejam” (L/TW/21/5/15) “Kalo aku kebiasaan mbolos pas pelajaran Pkn kak. Gurunya sampai hafal og. Aku ngga paham soal pasal-pasal. Tugasnya sering ngga aku kerjain. Makanya pernah diancam ngga naik kelas” (L/FR/10/8/15) “Aku lebih sering bolos pelajaran pas Kimia peminatan mbak. Ngga mudeng og, paling ya ke kantin atau mainan hp” (L/HN/10/8/15) Sementara kebiasaan karena adanya rasa malas yang didasari bukan bersekolah di tempat yang diinginkan, disampaikan oleh informan NV seperti berikut, “Males juga ke sekolah mbak. Pacarku ndak sekolah disini, dia milih di SMK. Lha aku pinginnya juga ndak disini, temenku kebanyakan di Muhammadiyah” (L/NV/21/5/15) Pengakuan serupa juga disampaikan oleh informan RI seperti berikut ini, “Aku di awal-awal itu males kak. Malesnya karena ngga ada temenku yang sekolah disini. Hampir semuanya di SMA 6. Dulu aku daftar disana, optimis keterima disana, eh tapi malah disini. Ada sih yang dari SMP ku sekolah disini. Tapi aku ngga terlalu kenal dan deket” (L/FR/10/8/15) Dari kedua pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa informan kurang merasa nyaman dan malas untuk bersekolah lantaran SMA Negeri 8 Surakarta bukanlah sekolah yang menjadi pilihan pertama mereka. Sehingga di awal masuk sekolah, infroman tersebut cenderung malas untuk berangkat sekolah. Saat peneliti mengkonfirmasi pernyataan para informan tersebut, Drs. Sutoto selaku anggota Tim STP2K pun memberikan penuturan seperti berikut ini, “Memang rata-rata alasan siswa dalam menyimpang dari tata tertib sekolah itu karena kebiasaan yang melekat pada diri mereka mbak. Seperti saat terlambat kan rata-rata alasannya karena bangun kesiangan. Itu kan jadi kebiasaan. Sudah tahu masuknya disini jam 06.45, harusnya kan datang lebih pagi dari commit to user itu” (L/STP2K/13/3/15)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari penuturan tersebut, dapat diketahui bahwa rata-rata kegiatan yang sering dilakukan kemudian mengalami proses pembiasaan dijadikan alasan para pelaku penyimpangan untuk berperilaku menyimpang di sekolah. Kebiasaan yang muncul berasal dari kegiatan yang dilakukan berulang-ulang. Untuk itu Tim STP2K sendiri menghimbau siswa untuk taat terhadap tata tertib sekolah. Dalam hal ini yaitu tidak terlambat karena aturan masuk pada pukul 06.45 WIB sudah begitu jelas bagi warga SMA Negeri 8 Surakarta. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa informan NV memulai kebiasaan tidak mengikuti upacara hari Senin dan hari-hari besar lainnya karena almamater yang hilang. Di SMA Negeri 8,
selain topi, almamater juga
menjadi perlengkapan yang wajib dikenakan saat mengikuti upacara. NV mengaku merasa kesulitan mendapatkan almamater yang baru. Solusi untuk meminjam almamater kepada kakak kelas juga urung dilakukan karena merasa tidak kenal dekat. Sedangkan informan TW, FR dan HN, dengan menghindari mata pelajaran karena merasa takut, tidak menyukai atau kesulitan memahami mata pelajaran tertentu, membuat mereka memiliki kebiasaan untuk membolos saat mata pelajaran tersebut. Informan lebih memilih keluar ke kantin, ataupun sengaja tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Guru mata pelajaran tersebut hafal dengan kebiasaan informan untuk membolos pelajaran dan memberi peringatan bahwa tidak akan naik kelas. Sementara NV dan RI merasa malas karena bukan bersekolah di sekolah yang mereka inginnkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kegelisahan-kegelisahan dalam diri, kegiatan berulang-ulang yang menjadi proses pembiasaan yang muncul dalam bentuk rasa malas, tidak suka, dan merasa kesulitan ataukurang fokus terhadap kegiatan sekolah atau mata pelajaran tertentu yang dilakukan secara terus-menerus, pada akhirnya membuat mereka memilih untuk cenderung menghindari kegiatan sekolah atau mata pelajaran tersebut, melaksanakan dengan terpaksa atau dengan kata lain memilih untuk berperilaku menyimpang. 2) Kepribadian (Personalilty)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepribadian merupakan suatu organisasi yang dinamis pada sistem psikomatis dalam individu yang turut serta menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Konsep dari kepribadian terlihat dari pernyataan informan TW sebagai berikut, “Kalo aku sebenernya agak takut og mbak kalo diajak ke kantin pas pelajaran atau ke mushola kaya gini tadi, soale pointku udah banyak. Tapi aku segan dan ngga enak juga sama NV atau sama yang lain, yaudah aku ngikut sama mereka mereka aja” (L/TW/21/5/2105) Perihal kepribadian juga dapat diketahui dari pernyataan SY sebagai berikut, “Saya belum pernah melanggar mbak, soalnya menurut saya itu cuma bikin kita rugi sendiri, terutama dalam hal prestasi. Selain itu juga dapat point” (L/SY/12/5/2015) Berdasarkan pernyataan informan, dapat diketahui bahwa kepribadian yang dimiliki oleh TW sebenarnya adalah seorang yang takut dalam melanggar aturan sekolah. Akan tetapi kepribadian tersebut sedikit demi sedikit mengalami kegoyahan, hal ini dapat dilihat dari tindakan yang kemudian dilakukan oleh informan untuk tetap mengikuti kemauan teman-temannya untuk pergi ke kantin atau memilih tidur di mushola
saat
pelajaran
berlangsung
demi
menyesuaikan
dirinya
dengan
lingkungannya, dalam hal ini yaitu lingkungan teman (peer groupnya). Sementara SY memiliki kepribadian yang taat dalam mematuhi peraturan, menunjukkan kepribadiannya tersebut dengan tetap menjadi pelajar yang berprestasi dan tidak melaggar peraturan yang ada. Hal tersebut dilakukan sebagai cara menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepribadian dari seseorang menentukan kedudukan dan peranannya dalam berbagai kelompok sosial serta mempengaruhi kesadaran dirinya dalam melakukan suatu tindakan atau perilaku tertentu. 3) Jenis Kelamin Perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi tindakan atau perilaku dari seseorang. Faktor jenis kelamin dalam mempengaruhi perilaku menyimpang di commit to user YN sebagai berikut, sekolah dapat diketahui dari pernyataan informan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Disini sih menurut saya pelaku penyimpangannya banyak dilakukan sama anak-anak cowok og mbak” (L/YN/12/5/2015) Beberapa kasus pelanggaran lain seperti membolos, terlambat, tidak tertib saat melaksanakan saat upacara mayoritas dilakukan oleh siswa laki-laki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor jenis kelamin utamanya dalam hal ini yaitu laki-laki mendominasi pelaku penyimpangan di sekolah. Faktor yang melatarbelakangi dapat berasal dari diri individu tersebut yang tengah mengalami masa pubertas, dimana emosi dari anak laki-laki biasanya cenderung meluap-luap, tidak terkontrol dan pola pikirnya masih sulit untuk diarahkan daripada anak perempuan, maka secara tidak langsung hal ini akan mempengaruhi perilaku yang ditunjukkan kepada orang lain. 4) Umur Dari beberapa informan, diketahui bahwa usia mereka berkisar antara 15 hingga 17 tahun. Usia tersebut masuk dalam kategori remaja yang mengalami masa pubertas dan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa dan seringkali ditandai dengan adanya krisis kepribadian. Ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik dan psikis yang sangat cepat menyebabkan kegelisahan-kegelisahan internal, sehingga menimbulkan rasa tertekan, goncangan emosional, rasa ingin tahu yang menonjol, yang kemudian hal-hal tersebut mengarah pada aktivitas perilaku menyimpang di kalangan pelajar.
b. Faktor Eksternal Faktor eksternal merupakan faktor mengenai hal-hal yang berada di luar diri pelaku penyimpangan yang menyebabkan munculnya perilaku menyimpang. Di dalamnya bisa terkait dengan, teman, orang tua, sekolah, media massa ataupun hal-hal lain yang memiliki andil menjadi penyebab perilaku menyimpang. Beberapa informan di bawah ini, memberikan pernyataan mengenai berbagai faktor eksternal, yaitu 1) Pengaruh teman.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Teman menjadi salah satu faktor yang membuat informan tersebut berperilaku menyimpang. Pengaruh teman dapat dilihat dari bagaimana interaksi antara informan dengan lingkungan peer group di sekitarnya. Berikut penuturan dari informan FR, “Kalo colut, aku memang biasanya juga ada temen yang ngajak kak. Masuk sekolah dulu, nanti tengah-tengah pelajaran kalo ada kesempatan colut lewat pintu belakang. Motor ditinggal, biasanya ditungguin temenku di sekitar sini. Habis itu ke wedangan atau ke Ringin Semar, sekitar SMA 7. Pernah juga ke tempat bilyard. Nanti pulang sekolah balik lagi ambil motor” (L/FR/10/8/15) Teman informan yang mengajak untuk colut tersebut biasanya berasal dari SMA lain, meski terkadang teman informan sama-sama berasal dari SMA 8. Jalan pintas sebagai akses untuk keluar dari sekolah ini berada di belakang sekolah, FR mengaku bahwa banyak siswa terutama laki-laki yang sering melewati jalan pintas tersebut. Untuk lokasi yang dipilih saat colut juga berada jauh dari area sekolah. FR memilih wedangan yang ada di daerah Mojosongo dan daerah Ringin Semar yang ada di sekitar SMA Warga, daerah sekitar SMA Negeri 7 Surakarta, bahkan ke tempat bilyard. Senada dengan FR, pengaruh teman untuk berperilaku menyimpang juga disampaikan oleh NV dan HN sebagai berikut, “Buat colut makan ke kantin, aku biasanya diajak teman atau kadang ya aku ngajak teman mbak. Kalo sendiri ndak enak, aku biasanya ngajak diajak TW” (L/NV/21/5/15) “Aku kalo untuk colut ndak pernah mbak. Kalo mbolos, memang aku niati hari itu untuk membolos. Itu biasanya ya diajakin temen atau aku gantian ngajakin temen. Jauh aku biasanya kalo mbolos sekolah. Biasanya ke Tawangmangu, ke Kemuning. Kadang- kadang ke Alun-alun Kidul, pernah juga rame-rame sama FR nonton bola di Semarang” (L/HN/10/8/15) Berdasarkan wawancara tersebut, terdapat dua perbedaan. Yaitu informan NV mengaku diajak ataupun bergantian mengajak temannya untuk sebatas keluar saat jam pelajaran dan lokasinya masih di dalam lingkungan sekolah, yaitu kantin. Sementara HN memang lebih memilih untuk sengaja membolos sekolah daripada untuk colut. Menurut pengakuannya colut tolebih commit user beresiko ketahuan guru, membolos
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diyakini lebih aman. Karena besoknya ia bisa membuat surat ijin palsu atas ketidakhadirannya di sekolah pada hari sebelumnya. Sementara informan juga memilih tempat yang jauh dari jangkauan guru saat membolos karena tempat yang jauh dirasa lebih aman dan tidak was-was jika sewaktu-waktu dicari oleh guru. Memilih lokasi yang aman atas ajakan dari teman juga disampaikan oleh informan RI berikut ini, “Kalo aku kumpulnya sama temen-temen satu kompleks mbak, itu juga temen-temen SMP ku dulu. Biasanya di salah satu rumah temen, disana ya ngobrol aja. Kalo di rumah lebih aman, soalnya orang tua juga lagi kerja trus sewaktu-waktu ditanya kan bisa alasan kalo memang pulang pagi” (L/RI/10/8/15) Peneliti pun melakukan cross check pernyataan para informan dengan Wakasek Kesiswaan. Berikut penuturannya, “Memang saya sendiri pernah menjumpai anak-anak itu sewaktu bergerombol di daerah Mipitan sana mbak. Saya datangi itu pada kocar-kacir, saya perhatikan memang bukan dari anak SMA 8 saja, tapi dari sekolah lain juga. Bisa mereka ini diajak keluar atau justru mengajak. Teman memang berpengaruh sekali” (L/Waka/12/8/15) Berdasarkan penuturan informan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh teman menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya perilaku menyimpang. Pelaku penyimpangan yang merupakan pelajar Sekolah Menengah Atas termasuk dalam kategori remaja yang mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa, dan seringkali ditandai dengan adanya krisis kepribadian. Dorongan untuk mendapatkan kebebasan, rasa ingin tahu yang menonjol, solidaritas kelompok yang begitu tinggi, kesemuanya itu diperoleh dari lingkungan teman. Hingga pada akhirnya mengarah pada perilaku menyimpang. Rata-rata informan melakukan colut atau membolos sekolah dengan memilih tempat yang lokasinya jauh dari lingkungan sekolah. Dari para informan beralasan bahwa lokasi yang jauh membuat perilaku yang mereka lakukan menjadi lebih aman jauh dari jangkauan guru, serta tidak merasa was-was apabila sewaktu-waktu pihak sekolah melakukan pencarian. Meski commitmengelabuhi to user begitu cara yang informan lakukan untuk sekolah juga tergolong berani,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu membuat surat ijin palsu atas ketidakhadiranya di sekolah. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat dari Wakasek Kesiswaan yang menilai bahwa lingkungan teman sangat berpotensi membawa pengaruh terhadap munculnya perilaku menyimpang di kalangan pelajar. 2) Keluarga. Merupakan faktor kedua penyebab munculnya perilaku menyimpang. Demikian penuturan dari informan HN, “Jujur mbak, bapak ibuku udah pisah. Aku tinggalnya berdua di rumah nenek di deket RS.Dr Oen. Ya kadang ngrasa males aja ke sekolah kalo inget masalah itu” (L/HN/10/8/15) HN merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Orang tuanya bercerai sejak ia masih SMP, sementara adik perempuannya iku dengan ibu. Informan mengaku kedua orangtuanya sudah sama-sama menikah. Ibu tinggal di daerah Kampung Kandangsapi, sementara sang ayah tinggal di daerah Sriwedari. Meski begitu silatrahmi informan dengan kedua orang tuanya cukup baik. Hanya saja HN yang hanya tinggal berdua dengan neneknya merasa kurang diperhatikan oleh orang tua. Sebab itu ia melampiaskan rasa kecewanya dengan malas untuk bersekolah. Informan FR juga mengungkapkan faktor keluarga menjadi salah satu alasannya menyimpang, ungkapannya sebagai berikut, “Ibu udah meninggal sejak SD kak, kalo bapak kerja dagang sama yang lainlain. Kalo kakak ada, tapi udah nikah, jadi ya beda rumah. Di rumah sering sepi, makanya HN tak suruh sering ke rumah” (L/FR/10/8/15) Sama halnya dengan FR yang merasa kesepian di rumah, informan NV juga mengungkapkan hal sebagai berikut, “Bapak meninggal beberapa tahun yang lalu mbak, kalo ibu sibuk jualan di sekitar Pasar Panggungrejo dari pagi sampai malem. Saya sebenernya ngrasa kurang perhatian, kesepian makanya saya cari perhatian di luar” (L/NV/2/5/15) FR hanya tinggal di rumah bersama ayahnya. Sementara kakak perempuan satu-satunya sudah menikah beberapa tahun yang lalu, sehingga tinggal bersama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suaminya di lain rumah. Meski masih sama-sama tinggal di Solo, karena sibuk bekerja dan kepentingan lainnya membuat FR seriing merasa kurang diperhatikan, sehingga FR sering melampiaskan perasaannya tersebut bersama dengan temantemannya, HN salah satunya. Hal serupa juga dialami oleh NV yang ibunya sibuk berjualan, sehingga ia merasa waktu dan perhatian yang diberikan ibunya selaku orang tua tunggal menjadi berkurang. Merasa kurang diperhatikan dan kesepian saat berada di rumah bagi informan. Pernyataan tersebut turut diamini oleh guru BK, seperti berikut ini, “Memang mbak, dari beberapa siswa yang saya bina selama ini merasa bahwa kurang perhatian dari orang tua. Makanya mereka nakalnya di sekolah. Karena orang tua mereka kebanyakan memang bekerjanya dagang, kan tidak kenal waktu seperti itu” (L/BK/24/2/15) Berdasarkan informasi dari wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain teman, keluarga juga menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya perilaku menyimpang. Anggota keluarga yang tidak lengkap, yang disebabkan karena meninggal atau proses perceraian, kemudian terlalu sibuk bekerja, menjadikan peran dan fungsi yang ada di dalam suatu keluarga tersebut menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya atau mengalami ketimpangan. Hal ini kemudian secara psikologis memberikan dampak yang negatif kepada para informan, salah satunya yaitu kurangnya perhatian dan komunikasi yang baik dari orang tua sehingga mereka bertindak untuk menarik perhatian dari orang lain yang kemudian menjadi berperilaku menyimpang. 3) Pihak sekolah. Merupakan pihak yang turut serta memberikan pengaruh terhadap munculnya perilaku menyimpang di kalangan pelajar. Berikut penuturan yang disampaikan oleh informan YN, “Kalo menurutku ya mbak, guru itu juga bisa jadi penyebab perilaku menyimpang. Disini kan banyak guru yang merokok di sekolah, nah anakanak disini kan pasti mikirnya guruku aja ngrokok di sekolah, kenapa aku engga, gitu. Trus ada juga guru yang cenderung genit sama murid yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cewek, trus akhirnya siswanya itu ya cenderung berani sama guru. Kadang ngga pake bahasa yang sopan ke guru” (L/YN/12/5/2015) Informasi yang diberikan oleh YN, menandakan bahwa perilaku menyimpang yang muncul di sekolah karena adanya proses identifikasi oleh siswa dari guru yang ada di lingkungan tersebut. Hal ini juga ditunjang melalui observasi yang dilakukan peneliti sebelumnya yang melihat bahwa ada guru yang merokok, bermain catur di lingkungan sekolah , dan secara tidak sadar guru tersebut akan memberikan contoh yang tidak baik bagi siswa yang ada di sekitarnya. Terlebih lagi ketika ada guru yang bertingkah genit kepada siswa, cenderung menjadikan guru tersebut kurang memiliki wibawa di mata siswa. Sehingga akhirnya siswa pun cenderung bertindak berani dan tidak sopan kepada guru tersebut. Hal serupa juga diungkapkan oleh FR, yang bertindak berani terhadap guru mata pelajaran PKn. Informan seringkali tidak memperhatikan pelajaran dan tidak mengerjakan tugas, bahkan menggangu kelas lain saat pelajaran tersebut berlangsung. Atas perilakunya tersebut ia pernah diminta untuk keluar dari kelas oleh guru yang bersangkutan. Ungkapannya sebagai berikut, “Aku pernah ganggu kelas IIS 3 kak. Aku udah tau sebenere kalo yang ngajar Bu PKn itu. Memang aku sengaja. Gurune itu ngga enak banget og. Killer terus cerewet. Pelajarane susah, pasal-pasal gitu. Jarang banget ngerjain tugas, pernah dianter keluar kelas juga og” (L/FR/10/8/15) FR mengaku berani mengganggu kelas lain karena mengetahui guru mata pelajaran tersebut berada di kelas sebelah yaitu kelas XI IIS 3. Kemudian tindakannya ini didukung oleh XI IIS 3 itu sendiri. Karena dia berpendapat bahwa sebenarnya informan dan teman-temannya yang lain memang sejak awal tidak menyukai guru tersebut. Sehingga menjadi malas saat pelajaran dan cenderung berperilaku menyimpang. Informan NV pernah nekat tidur di musholla sekolah saat pelajaran berlangsung, sementara HN mengaku, selain sering terlambat karena kebiasaan bangun siang, juga didukung oleh guru piket yang cenderung bersikap sabar. Berikut ulasannya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Ini tadi aku ketangkep tidur di musholla sama Pak Dwi mbak. Sebenere pelajaran Bhs. Indonesia enak banget. Gurunya ndak galak, baik, sabar banget malah. Makanya saya berani keluar” (L/NV/21/5/15) Memang sebelum wawancara ini dilakukan dengan peneliti, informan NV tengah tidur di mushola. Pak Dwi, salah satu guru BK sekaligus anggota Tim STP2K mengetahui hal ini lantas membawanya ke ruang konseling. “Telat selain karena kebiasaan juga soale guru piket yang jaga di depan sana itu asyik-asyik mbak. Ya cuma beberapa sih memang. Paling kalo telat disuruh baris-berbaris, suruh ngerjain soal di ruang guru. Terakhir paling di BK dikasih point, udah” (L/HN/10/8/15) Pernyataan dari HN yang melihat bahwa guru piket bersikap sabar, cenderung membuat HN mengulang kembali kebiasaan terlambatnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari informan YN seperti berikut ini, “Guru piket terkadang juga guru BK, itu perannya kurang tegas mbak. Kalo ada yang mbolos, telat, gitu-gitu cuma ditanya-tanyai aja. Kalo seperti itu kan pelakunya belum kapok. Menurut saya langsung aja dikasih hukuman biar kapok” (L/YN/12/5/15) Peranan dari guru piket maupun guru BK yang belum begitu tegas, menjadi pertimbangan YN bahwa para pelaku penyimpangan akan mengulang kembali perilakunya tersebut. Informan menilai hukuman yang tepat akan membuat mereka yang berperilaku menyimpang akan menjadi jera. Selain dari pihak guru, pengaruh tata tertib yang dirasa longgar juga diungkapkan informan DV dan YN berikut ini, “Menurut saya peraturan disini ini termasuk longgar mbak, rata-rata yang melanggar masih tetep kaya‟ gitu kok. Melanggar terus” (L/DV/12/5/15) “Disini itu kalo menurut saya point yang diberikan kurang efektif. Trus perubahan yang terjadi ya sebenernya ngga ada mbak. Mereka kaya‟nya biasa-biasa aja deh, tetap suka telat, mbolos gitu. Tapi untuk strateginya memang bagus ” (L/YN/12/5/15) Dari pernyataan informan tersebut diketahui bahwa tata tertib di SMA Negeri 8 Surakarta cenderung longgar. Karena menurut informan masih banyak pelajar yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melanggar tata tertib, kemudian perubahan yang terjadi juga belum terlalu banyak. Tetapi pada dasarnya informan menghargai strategi yang diterapkan oleh sekolah. Pada hasil observasi sebelumnya, peneliti memang secara langsung menjumpai beberapa perilaku dari guru yang sebenarnya tidak baik untuk ditiru atau dilakukan di sekolah. Beberapa perilaku diantaranya yang peneliti jumpai adalah merokok di lingkungan sekolah, ada beberapa guru yang bermain catur di dekat area parkir, dan berlaku genit atau menggoda pada beberapa pelajar yang terlihat menarik. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perilaku guru yang ada di sekolah cenderung menjadi cerminan akan reaksi yang diberikan oleh pelajar. Ketika guru merokok di lingkungan sekolah, maka pelajarnya akan melakukan hal yang sama, meniru apa yang dilakukan oleh guru meskipun guru tidak sadar akan perilaku yang diperbuat. Sementara sikap ketegasan dan wibawa sebagai tenaga pendidik sudah seharusnya diperlukan oleh guru. Hal ini selain dapat membangun image yang dapat disegani dan dihormati oleh pelajar di sekolah juga sebagai bentuk sikap dalam menjaga hubungan yang harmonis dan berlandaskan tata krama dengan para warga sekolah, terlebih dengan pelajar. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pembangkangan dan pelecehan dan juga agar pelajar lebih menghargai keberadaan guru melalui perilaku yang sopan santun. Kemudian perlu adanya cara untuk meningkatkan pelaksaan tata tertib agar sesuai dengan tujuan dari tata tertib sekolah itu sendiri. Dari hasil penelitian, faktor terakhir yang melatarbelakangi munculnya perilaku menyimpang adalah, 4) Pengaruh media. Dalam hal ini, informan mengaku berperilaku menyimpang karena adanya game maupun internet. Berikut penuturan dari para informan NV dan TW, “Aku seringnya ke PS-an Panggungrejo mbak. Disana kan jauh dari sekolah. Awale iseng lama-lama seru, enakan disana. Ngrasa males pelajaran, colutnya kesitu” (L/NV/21/5/15) Pernyataan dari NV dibenarkan olehtoinforman YN. Berikut pernyataannya, commit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Denger-denger dari temenku sih ya mbak, katanya mereka yang sering membolos, colut itu perginya ke PS-an daerah Panggungrejo sana. Rata-rata memang anak cowok yang kaya‟ gitu” (L/YN/12/5/15) Hasil wawancara yang diberikan oleh informan NV dan YN memiliki kesamaan, bahwa salah satu penyebab berperilaku menyimpang yaitu terpengaruh adanya game dan keduanya juga memberikan informasi yang sama terkait keberadaan Play Station, yaitu di daerah Panggungrejo. Masih mengenai game, informan TW memberikan ungkapan seperti berikut ini, “Aku sejak SMP udah hobi ke game online mbak. Itu kan habis UN ta, ngga ada kerjaan yaudah sering ngabisin waktu disana. Trus malah kecanduan sampe SMA. Sehari bisa 5 sampai 7 jam. Pernah digrebek sama masku di warnet, tapi aku kabur. Motorku tapi diambil” (L/TW/21/5/15) Senada dengan TW, informan HN mengungkapkan hal yang sama, “Suka ke game online sejak SMP, dulu ikut-ikut temen. Tapi habis itu lebih sering sendiri. Biasanya 3 sampai 4 jam mbak, tapi sekarang jarang kesana, ngga pernah malah” (L/HN/10/8/15) Dari pernyataan kedua informan tersebut, dapat diketahui bahwa TW dan HN mulai mengenal game online sejak duduk di bangku SMP. Waktu yang mereka habiskan cukup lama disana, berkisar antara 3 hingga 7 jam. Keduanya juga samasama mengakui kecanduan game online hingga masuk SMA, meski untuk saat ini mereka jarang atau bahkan tidak pernah lagi mengunjungi counter game online Kecanduan dengan perkembangan internet juga sempat dialami oleh informan RI, ia mengungkapkan bahkan sampai membolos kegiatan ekstrakurikuler, dan menunda mengejakan tugas serta berbohong pada orang tua demi menikmati internet gratis di sekolah. Berikut penuturannya, “Dulu sempet kak kecanduan internet, ya lumayan seringlah. Main FB, twitter. Disini Wifi-nya kenceng banget. Ngga ada buffering kalo lagi nonton di Youtube. Makanya aku dulu pernah bolos ekskul, nunda ngerjain tugas, gara-gara internetan itu. Trus pulang ke rumahnya sore, bohong sama mama kalo habis ngerjain tugas. Tapi habis itu lama-lama mamaku curiga, trus ketahuan juga” (L/RI/10/8/15) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RI mengaku untuk saat ini, sudah tidak berperilaku seperti itu lagi. Selain membuang waktu, dirinya juga seringkali menunda-nunda mengerjakan tugas dan belajar. Pernyataan RI diperkuat oleh pernyataan dari Wakasek Kesiswaan pada saat observasi seperti berikut ini, “Kalo bel pulang udah berbunyi itu ya mbak, harusnya kan siswa langsung keluar sekolah, pulang ke rumah. Ndak boleh sebenarnya bergerombol di parkiran. Boleh sampai disini jam 5 sore bagi yang sedang ada ekskul, tapi lha ya namanya anak-anak kalo liat ada internet gratis itu kan ya ndak ndang pulang. Kata penjaga sekolah juga begitu, sampai sore itu masih rame, pada ngumpul pakai laptop pake internet gratis itu. Yasudah dibiarkan” (L/Waka/13/3/15) Memang SMA Negeri 8 Surakarta memberlakukan toleransi bagi siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler untuk boleh berada di sekolah sampai pukul 17.00 WIB. Tetapi kemudian kenyataannya, dengan adanya fasilitas Wifi gratis, membuat mereka yang tidak ada kegiatan eksrakurikuler pun menjadi tetp berada di sekolah hingga sore. Meski tahu ini tidak sesuai aturan sekolah, tapi penjaga sekolah saat mengetahui hal tersebut justru melakukan pembiaran. Selain itu, menurut pengamatan Wakasek Kesiswaan, siswa di SMA Negeri 8 Surakarta saat ini lebih mudah mengakses internet di manapun, terutama di kelas saat pelajaran berlangsung menggunakan smartphone. Sehingga kecanduan internet ini juga mengganggu konsentrasi dan kelangsungan kegiatan belajar mengajar, kecuali guru telah mengijinkan sebelumnya untuk menggunakan akses internet di dalam kelas. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh media internet dan perkembangan teknologi belum sepenuhnya dimaknai dan dipergunakan secara bijaksana terutama oleh para pelajar. Terbukti kebanyakan dari informan justru mengalami kecanduan game dan berperilaku menyimpang. Sementara untuk pengadaan fasilitas internet gratis di sekolah, juga seharusnya dikelola secara baik dan tetap dilakukan pengawasan. Agar fungsi dari internet yang sedianya sebagai sarana dalam menunjang kegiatan belajar mengajar menjadi di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekolah tetap efektif dan membawa manfaat bagi para penggunanya. Sehingga pengawasan dari orang tua dan guru sangat diperlukan seiring perkembangan di dunia teknologi, agar teknologi yang seharusnya memberi kemudahan dalam kehidupan tidak menjerumuskan pengguna dari teknologi itu sendiri.
3.
Strategi Sekolah dalam Menanggulangi Perilaku Menyimpang di Kalangan Pelajar Disiplin di sekolah sering didefinisikan dengan prosedur yang terfokus pada
konsekuensi pemberian hukuman untuk menekan perilaku menyimpang para siswa. Tanpa guru tersebut mengetahui maksud dari perilaku siswa tersebut ataupun mempertimbangkan alasan maupun faktor-faktor apa yang melatarbelakangi ataupun bagaimana persepsi siswa dalam memandang perilaku menyimpang tersebut. Sehingga yang terjadi kebanyakan adalah siswa yang bersangkutan langsung diberi sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Tak jarang dari mereka justru mengulang perilaku yang sama. Untuk meminimalisir terjadinya perilaku menyimpang pelajar di lingkungan sekolah, maka SMA Negeri 8 Surakarta melakukan beberapa strategi, diantaranya a)
Home Visit Home visit sebagai salah satu strategi dari SMA Negeri 8 Surakarta dalam
menanggulangi perilaku menyimpang di kalangan pelajar pernah diterapkan pada salah satu informan NV. Penuturannya sebagai berikut, “Pak Dwi waktu dulu itu pernah ke rumah saya mbak. Soalnya saya ngga masuk seminggu kalo ngga salah. Yang nemui ibu, saya tidur di depan tv” (L/NV/21/5/15) Pak Dwiyanto S.Psi selaku guru Bimbingan Konseling (BK) yang membina informan NV membenarkan hal tersebut. “Memang benar mbak, dulu saya pernah melakukan home visit ke rumah NV. Pada saat itu diketahui NV ini membolos selama 1 minggu. Lantas saya ke rumahnya. Saya bicara dengan ibunya, memang dikatakan bahwa selama 3 hari NV sakit, untuk hari commit setelahnya to usermemang mengakui malas sekolah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian ketika saya tanyakan surat ijin, ibunya mengatakan bahwa tidak sempat membuat karena sibuk berjualan di warung, begitu mbak” (L/BK/Mei/15) Salah satu bentuk strategi yang diterapkan oleh sekolah adalah melakukan home visit. Tanggung jawab ini secara langsung diserahkan kepada guru Bimbingan Konseling (BK). Sehingga kesimpulannya home visit merupakan wujud konseling kepada siswa yang dianggap membutuhkan pendampingan dari Bimbingan Konseling yang secara langsung melakukan ke kunjungan ke rumah. Hal ini juga untuk memastikan kondisi dan situasi dari siswa melalui pendekatan secara kekeluargaan. Untuk itu saat NV diketahui tidak masuk selama 1 minggu berturut-turut, pihak Bimbingan Konseling segera melakukan kunjungan ke rumah. Selain home visit, strategi lain yang diterapkan oleh pihak sekolah yaitu, b) Pemanggilan orang tua Bimbingan Konseling juga melakukan pemanggilan terhadap orang tua kepada pelajar yang diketahui melakukan pelanggaran dengan kredit pelanggaran yang mencapai angka 35. Beberapa informan yang pernah dikenai sanksi pemanggilan orang tua, diantaranya RI, FR dan HN. Demikian penuturannya, “Kan aku dulu sering terlambat trus sekalian aja aku bolos kak. Nah, mamaku selama ini ngga tau, soalnya kan begitu udah telat, aku langsung ke rumah temen ngga pulang ke rumah atau masuk sekolah. Mamaku taunya setelah poinku lumayan banyak, akhirnya dipanggil ke sekolah itu” (L/RI/10/8/15) Ibu dari informan RI memang dipanggil ke sekolah oleh wali kelas perihal perilaku membolos yang sering dilakukan. Menurut informan, ibunya mengaku terkejut atas hal tersebut, karena selama ini perilaku RI baik di rumah maupun ketika SMP dulu tidak pernah melanggar tata tertib sekolah. Sehingga setelah adanya pemanggilan tersebut, ibu dari informan menjadi lebih protektif fan selalu mengingatkan untuk menjadi lebih tertib. Dan jika sadar telah terlambat sekolah, lebih baik tetap masuk sekolah daripada harus membolos. RI pun mengaku menjadi lebih terbuka dengan ibunya dan tidak mengulangi perilaku tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara itu, penuturan FR tentang pemanggilan orang tua diungkapkan sebagai berikut, “Orang tuaku pernah dipanggil sekolah og kak. Udah 2 kali. Yang pertama itu soalnya keseringan mbolos sama telat. Nah kalo yang kedua itu, duh aku isin eg. Anu mbak, gara-gara ketangkep satpol pp. Kapok aku sampai orang tua dipanggil og” (L/FR/10/8/15) FR sudah 2 kali ini mendapatkan pemanggilan orang tua dari sekolah. Pemanggilan tersebut dihadiri oleh kakak perempuannya. Pada pemanggilan pertama oleh wali kelas, terkait dengan kredit pelanggarannya dalam hal terlambat dan membolos yang sudah mencapai angka 35. Sementara untuk pemanggilan yang kedua oleh Bimbingan Konseling terkait dengan perihal berurusan dengan pihak berwajib, yaitu Satpol PP. Pemanggilan orang tua atas kasus berurusan dengan pihak yang berwajib juga dialami oleh HN. Berikut penuturannya, “Pernah dipanggil kesini ibuku mbak, soalnya dulu pernah ketangkep satpol pp sama FR itu juga. Itu sampai masuk og beritanya di koran. Malu banget” (L/HN/10/8/15) Wakasek Kesiswaan pun membenarkan hasil wawancara tersebut. Beliau menuturkan bahwa kejadian tersebut bermula saat FR, HN dan satu temannya lagi meminta izin untuk melakukan cap tiga jari ijazah di SMP tempat mereka berasal. Akan tetapi setelah urusan di sekolah selesai, mereka lantas tidak kembali lagi ke SMA Negeri 8 Surakarta, melainkan ngopi dan nongkrong di daerah Manahan. Berikut pernyataannya, “Duh mbak, saya benar-benar malu waktu itu. Lha wong paginya petugas Satpol PP Solo itu datang kesini loo. Sidak, apa ada yang mbolos apa ndak gitu. Memang kepala Satpol PP itu kenalan saya, sering saya minta tolong buat ngecek kesini. Lha kok siangnya saya sama Pak Dwi itu ditelfon suruh datang ke kantornya sana, soalnya ada anak SMA 8 yang terjaring razia. Jan isin tenan itu mbak” (L/Waka/12/8/15) Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa pemanggilan orang tua bagi informan RI tergolong pada kasus yang ringan. Terkait dengan kasus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keterlambatan. Sementara untuk informan FR dan HN tergolong kasus yang termasuk berat. Karena kredit untuk pelanggaran berurusan dengan pihak yang berwajib yaitu Satpol PP sebanyak 50. Dari pernyataan para informan yang merasa malu saat dilakukan pemanggilan orang tua, dapat disimpullkan bahwa strategi tersebut cukup efektif dilakukan. Tujuan utama dari pemanggilan orang tua ini memang selain menjalin komunikasi dengan orang tua perihal perilaku pelajar di sekolah, juga untuk membuat agar pelajar yang berperilaku menyimpang merasa kapok atau jera untuk mengulangi perbuatannya kembali. Karena dengan adanya prosedur, ini artinya sekolah menginginkan kerja sama dan koordinasi dengan orang tua dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku pelajar. c)
Teguran Wali Kelas Selain dari pihak Bimbingan Konseling, wali kelas juga memiliki andil dalam
melakukan strategi untuk mengatasi perilaku menyimpang. Seperti penuturan informan TW berikut ini, “Dulu pas aku sering terlambat, mbolos itu wali kelas sering nasihati og mbak. Katanya kalo sering ngga masuk bisa ngga naik kelas. Sempet telefon orang tua juga og” (L/TW/21/5/15) Sayangnya saat peneliti hendak melakukan konfirmasi dengan wali kelas informan, wali kelas yang bersangkutan sedang dalam masa cuti. Sehingga keterangan ini hanya peneliti dapat dari informan TW saja yang mengaku sering dinasihati hingga orang tuanya sempat dihubungi oleh wali kelas perihal perilakunya yang sering terlambat dan membolos. Meski demikian dapat disimpulkan bahwa wali kelas selaku orang tua di dalam kelas, diharapkan dapat menjalin komunikasi terhadap anak didiknya di kelas, sehingga wali kelas dapat menjadi penengah dalam penyelesaian permasalahan ketika terjadi perilaku penyimpang pelajar, utamanya perilaku menyimpang yang terjadi di dalam kelas. d) Sidak Tim STP2K Strategi lainnya yang diterapkan sekolah yaitu dengan cara melakukan sidak (inspeksi mendadak) bagi Tim STP2K dan to patroli commit user di sekitar area sekolah bagi Satpam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekolah. Informan NV pernah tertangkap oleh anggota Tim STP2K saat tengah bergerombol di daerah Mipitan. Berikut penturannya, “Iyaa og mbak, pernah ketangkep sama anak-anak di Mipitan. Lha itu lagi males pelajaran og, ya colut janjian disana. Baru itu nongkrong disana, baisane kan di tempat PS-an. Eh malah ketangkep ta”(L/NV/21/5/15) Hal tersebut dikonfirmasi dan disampaikan oleh Drs. Sutoto, selaku Tim STP2K sebagai berikut, “Disini tiap pagi ke kelas-kelas ada sidak dari STP2K mbak. Itu untuk memastikan kehadiran siswa. Siang nanti juga disidak lagi. Ini untuk mengurangi aksi membolos di tengah-tengah jam pelajaran. Nah kalo satpamnya juga keliling di area sekolah. Ada juga yang keliling keluar sekolah. Bahkan sampai Mipitan sana itu. Soalnya menurut warga, anak-anak SMA 8 suka ada yang nongkrong disana. Memang itu gerombolannya si NV pernah tertangkap. Langsung dibawa balik ke sekolah, diproses dikasih point ” (L/STP2K/12/8/2015) Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa Tim STP2K yang berada di bawah naungan Wakasek Kesiswaan dibantu dengan satpam sekolah berusaha untuk meminimalisir para pelajar dalam berperilaku seperti membolos, terlambat, keluar di tengah jam pelajaran maupun perilaku menyimpang lainnya. Dengan adanya kegiatan rutin seperti ini, angka kasus pelanggaran siswa di SMA Negeri 8 Surakarta diharapkan dapat ditekan. e)
Revisi Tata Tertib Sekolah Program baru yang dilakukan guna menanggulangi perilaku menyimpang di
kalangan siswa yaitu dengan cara melibatkan siswa dalam melakukan revisi terhadap tata tertib sekolah. Program ini tergolong baru karena dilaksanakan sejak tahun 2009. Pernyataan YN tentang adanya revisi terhadap tata tertib sekolah adalah sebagai berikut, “Pas masuk kelas X kemarin ada seperti itu mbak. Jadi di kelas anak-anak ngajuin usulan ke MPK, nah MPKnya itu nanti dikumpulin di aula. Ngomong langsung ke kepsek, guru-guru gitu. Ya habis itu nanti dicari bagaimana solusinya gitu”(L/YN/12/5/15) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pernyataan informan YN dibenarkan oleh Wakasek kesiswaan. Berikut penuturan Wakasek Kesiswaan, “Sejak 2009, mulai ada revisi tentang tata tertib sekolah mbak. Ini siswa dilibatkan. Tiap tahun ajaran baru baisanya, ya mulai dari kelas X sampai XII melalui MPK. Tempatnya di aula serba guna sana” (L/Waka/12/8/15) Pada masa Ibu AD. Gayatri, M.Pd, M.M menjabat sebagai kepala di SMA Negeri 8 Surakarta, beliau membuat kebijakan baru dengan melakukan revisi terhadap tata tertib sekolah dengan melibatkan siswa secara langsung yang diwakilkan melalui MPK (Majelis Perwakilan Kelas). Hal ini selain dilakukan untuk mengenal pelajar SMA Negeri 8 secara dekat juga untuk melatih para pelajar untuk menyampaikan pendapatnya di depan publik. Sehingga apabila ada tata tertib yang dianggap merugikan siswa akan dipertimbangkan untuk dihilangkan atau sekiranya tata tertib tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi SMA Negeri 8 Surakarta saat ini, maka akan diperbaharui. f)
Mengundang Tokoh Masyarakat sebagai Pembicara Program baru lain yang diterapkan yaitu dengan mengundang tokoh-tokoh
masyarakat untuk dijadikan pembina saat upacara hari Senin. Pengakuan informan DV sebagai berikut, “Iya mbak, kadang-kadang pas upacara yang jadi pembinanya pak polisi, macam-macam pokoknya. Sebagian besar memperhatikan, tapi ada juga yang tetep rame sendiri” (L/DV/12/5/15) Meski banyak yang memperhatikan, tapi tentu tetap ada pelajar yang kurang memperhatikan. Pernyataan DV dikuatkan oleh Wakasek Kesiswaan. Berikut penuturan dari Wakasek Kesiswaan, “Disini uniknya kalo pas upacara itu pembinanya ganti-ganti mbak. Biasanya tokoh yang diundang itu ya Kapolsek, Koramil, Kepala Satpol PP kenalan saya itu, bisa juga dokter puskesmas deket sini. Itu biar siswa sini itu bisa belajar dari apa yang disampaikan beliau-beliau itu. Biar lebih pada nggatekne begitu” (L/Waka/12/8/15) Memang pihak dari SMA Negeri 8 Surakarta mengundang pihak-pihak yang commit to user narasumber atau pembina upacara dianggap berwenang dan ahli di bidangnya sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk mengkomunikasikan pesan secara langsung kepada juga sebagai upaya sekolah untuk memberikan contoh yang baik kepada pelajar SMA Negeri 8 Surakarta. g) Kunjungan Rutin ke SMA Taruna Nusantara Satu program lagi yang sedang diterapkan, yaitu secara rutin melakukan kunjungan ke SMA Taruna Nusantara yang berada di Magelang. Hal ini sebagai upaya sekolah untuk mengajarkan kedisiplinan dan ketertiban agar dapat diterapkan terhadap pelajar di SMA Negeri 8 Surakarta. Seperti ungkapan dari Wakasek Kesiswaan berikut ini, “SMA 8 juga menjadi rutin kunjungan ke SMA Taruna mbak, biar anak-anak itu bisa belajar disiplin dari sana. Ini juga biar predikat pilot project sekolah berkarakter itu tetap ada di SMA kita mbak” (L/Waka/12/8/15) h) Tes Urine dan Cek Darah Sementara itu, strategi yang masih dipertahankan oleh SMA Negeri 8 Surakarta yaitu dengan rutin 3 bulan sekali mengadakan tes urine dan cek darah yang dilakukan oleh Badan Narkotika Kota Surakarta dan PMI. Hal ini dilakukan guna mencegah adanya praktik serta indikasi para pelajar mengkonsumsi narkoba, terjangkit virus HIV/AIDS ataupun kehamilan. Berikut penuturan Pak Dwiyanto, S.Psi selaku guru Bimbingan Konseling, “Atas usulan dari dokter puskesmas setempat, disini diadakan cek darah mbak. Di dekat SMA 8 kan ada Bank PMI. Trus ya sekalian saja sekolah mengundang BNK, takutnya jaman sekarang ada siswa yang memakai narkoba dan virus lain. Itu jadwalnya rutin 3 bulan sekali, atau paling tidak ya menyesuaikan dengan instansi terkait” (L/BK/25/2/15) Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategistrategi baru yang diterapkan SMA Negeri 8 Surakarta berfungsi sebagai inovasi baru untuk mencegah dan meminimalisir perilaku menyimpang di kalangan pelajar yang semakin beragam. Sehingga dengan strategi yang lama telah dipertahankan maupun strategi baru yang sama-sama dilakukan secara rutin, pihak sekolah berharap angkaangka kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pelajar SMA Negeri 8 Surakarta dapat ditekan. Dan juga demi mempertahankan predikat Pilot Project Sekolah Berkarakter commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang mengedepankan karakter dalam mencapai prestasi baik akademik maupun non akademik secara seimbang dan sesuai dengan imtaq dan berwawasan lingkungan yang telah disandang SMA Negeri 8 Surakarta selama ini.
C. Temuan Hasil Penelitian dihubungkan dengan Teori 1. Persepsi Perilaku Menyimpang dalam Konsep I and me Perilaku menyimpang di kalangan pelajar bukanlah sesuatu hal yang baru bagi masyarakat. Bahkan dari hasil penelitian mendapatkan fakta bahwa permasalahan mengenai perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelajar dimulai sejak 3 tahun SMA Negeri 8 Surakarta berdiri, yaitu pada tahun 1998. Artinya sebelum masyarakat Indonesia memasuki masa millennium, permasalahan ini sudah terjadi bahkan mungkin jauh sebelum era 90an. Yang membedakan adalah seiring perkembangan zaman, permasalahan mengenai perilaku menyimpang di kalangan pelajar ini semakin beragam. Penyimpangan bukanlah pembawaan sejak lahir, melainkan hasil sebagai akibat dari suatu proses interaksi sosial tertentu. Ketika terjadi interaksi sosial, secara sadar ataupun tidak kita akan menangkap dan membangun pemahaman kemudian memaknai
berbagai
fenomena
yang
senantiasa
mengitarinya.
Proses
menginterpretasikan fenomena yang terlihat tersebut dinamakan sebagai persepsi dan termasuk menjadi bagian dari realitas sosial. Persepsi kaitannya dengan perilaku menyimpang dapat dipahami melalui teori interaksionis simbolik George Herbert Mead mengenai konsep I and me. I merupakan saya atau dikatakan oleh Mead bahwa I bertindak diri sebagai subjek yang menjadi bagian yang memperhatikan diri saya sendiri, sebagai suatu proses pemikiran dan proses tindakan yang aktual. Atau bisa dikatakan bahwa I merupakan aspek diri yang bersifat non reflektif dan me merupakan merupakan aku yang memandang diri sebagai objek, yang berarti bahwa individu itu memperoleh makna-makna yang diartikan oleh orang lain di sekelilingnya. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa commit to user
pelajar di SMA Negeri 8 Surakarta memberikan persepsi yang berbeda mengenai
perpustakaan.uns.ac.id
perilaku menyimpang.
digilib.uns.ac.id
Ungkapan informan
NV, TW, FR, RI dan HN yang
memaknai perilaku menyimpang sebagai suatu hal yang wajar, kemudian informan SY,YN, dan DV sebagai perilaku yang tidak wajar tentu dilatarbelakangi oleh persepsi yang mereka miliki. Persepsi menunjukkan bahwa individu yang berbeda dapat melihat realitas sosial yang sama, namun memahaminya secara berbeda pula. Tergantung dari pengalaman dan pengetahuan yang telah dipelajari dalam melihat suatu realitas sosial tersebut. Konsep I yang bertindak sebagai subjek, ada pada diri pelaku penyimpangan. Para informan yang berperilaku menyimpang, bertindak tanpa mencampuradukkan ingatan - ingatan dari tindakan di masa lampau atau antisipasi di masa yang akan datang. Hal ini dapat diketahui dari informan NV yang sering terlambat sekolah. Tindakan non reflektifnya ini tidak dia hubungkan dengan ingatan masa lampau ketika duduk di bangku SMP yang pernah melakukan tindakan serupa ataupun antisipasi terhadap hal di masa mendatang, dalam hal ini tertangkap oleh guru kemudian diberi poin atau mekanisme kedisiplinan lainnya. Hal ini juga berlaku bagi informan FR, yang merasa kebiasaan bangun siang sudah menjadi hal yang biasa dan wajar, sehingga perilaku terlambat cenderung menjadi suatu tindakan yang spontanitas. Perilaku NV dan FR yang meski terlambat namun tetap datang ke sekolah tersebut merupakan respons perilaku aktual dari individu pada momen eksistensinya sekarang ini terhadap tuntutan situasi yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan atau rencana-rencana saat ini yaitu tuntutan atau kebutuhan untuk tetap masuk sekolah. Para pelaku penyimpangan yang bertindak sebagai I ini merasa ada ruang untuk spontanitas dan kebebasan terhadap perilaku yang dilakukan. Sehingga saat HN tidak ketahuan guru saat membolos dan NV yang berhasil keluar dari kelas saat pelajaran untuk tidur di mushola atau sekadar makan di kantin, merasakan adanya ruang untuk kebebasan dan spontanitas dalam situasi atau kesempatan atas perilaku yang dilakukan. Selain sebagai I, informan dalam penelitian ini juga bertindak sebagai me, commit to user
yang menggambarkan dirinya sebagai orang lain yang melihat atas perilaku
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyimpang yang dilakukan. Dari ungkapan SY, YN dan DV yang memaknai perilaku menyimpang di sekolahnya sebagai perilaku yang tidak wajar, dapat diketahui bahwa informan tersebut berada pada dimensi me. Dimana menurut dimensi ini, konsep diri dari orang di luar dimensi (pelaku penyimpangan) cenderung tidak sesuai dalam beberapa hal dengan harapan-harapan orang lain yang terdapat di dalam kelompok atau dimensi ini. Maksudnya adalah dimensi me memandang dan memaknai perilaku menyimpang termasuk di dalamnya yaitu pelaku penyimpangan sebagai sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kehendak dan harapan dari masyarakat, yaitu untuk berperilaku tertib atau mematuhi norma. Sehingga hasilnya individu yang berada dalam dimensi me ini menentang atau berusaha untuk mengubah perilaku menyimpang yang ada sesuai dengan harapan mereka atau masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari ungkapan YN yang memandang perilaku menyimpang sebagai suatu perilaku yang mengganggu sehingga harapannya adalah memberi hukuman yang pantas kepada para pelaku penyimpangan untuk membuat mereka jera. Pun dengan pernyataan SY yang melihat perilaku menyimpang tersebut sebagai hal yang merugikan diri sendiri dan tidak menghasilkan prestasi, sehingga bertentangan dengan harapan sekolah dalam mencetak pelajar yang berkualitas unggul. Dalam memahami makna tindakan seseorang, seseorang tersebut tidak hanya sekadar melaksanakan, tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berpikir dan perilaku orang lain (Max Weber dalam Campbell, 2001:204). Hal ini mengarah pada suatu tindakan bermotif serta tujuan yang hendak dicapai atau in order to motive. Atau dengan kata lain sebuah tindakan atau tingkah laku menuntut suatu pemahaman ke dalam pikiran dan perasaan para pelakunya agar dapat menjelaskan motif serta maksud yang dituju. Karena tindakan yang muncul dari manusia dipengaruhi oleh motivasi yang sebelumnya telah dibentuk oleh konstruksi berpikir manusia itu sendiri. Sama halnya ketika terjadi penyimpangan perilaku di kalangan pelajar, tentu akan menciptakan persepsi dan pemaknaan yang tidak sama dari individu yang bersangkutan. Dimana persepsi itu sendiri berhubungan dengan tindakan atau sikap commit to user
sebagai tindak lanjut atas pemahaman suatu hal. Sebab persepsi pada umumnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berlangsung tidak sadar dan berangsur-angsur perlahan. Maka berlangsunglah proses interpretasi dari tingkah laku menyimpang. Berlangsung pula pembentukan pola tingkah laku yang kemudian dirasionalisasikan secara sadar untuk kemudian dikembangkan menjadi tindakan atau kebiasaan-kebiasaan yang normal ataupun kebiasaan yang menyimpang dari pola tingkah laku umum tergantung dari persepsi individu tersebut. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa perilaku menyimpang di kalangan pelajar yang menjadi realitas sosial memiliki persepsi yang berbeda. Aktor memilih, memeriksa,
berpikir,
mengelompokkan
dan
mentransformir
makna
dalam
hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya (Mead dalam Ritzer,2012:605-606). Sehingga bagi pelaku penyimpangan yang bertindak dan berada dalam dimensi I, memaknai perilaku tersebut sebagai perilaku yang wajar atas ruang kebebasan dan spontanitas yang didapatkan karena kesadaran subjektif yang dimiliki sebelumnya. Sementara bagi individu yang diluar dimensi I, atau berada di dalam dimensi me, memaknai perilaku menyimpang sebagai hal yang tidak wajar karena tidak sesuai dan bertentangan dengan harapan-harapan dari individu kelompok tersebut, dan berusaha untuk menentang dan mengembalikan agar sesuai dengan harapan-harapan mereka. Sebab sejatinya menurut Herbert Marcuse dalam Akhyar Yusuf Lubis (2015:17) kesadaran subjektif merupakan suatu kesadaran yang dimiliki oleh seorang individu dan berbeda dari kesadaran individu yang lain. Sehingga karena tindakan yang ditunjukkan individu berhubungan dengan konteks dimana hal itu disampaikan dan pengetahuan serta pengalaman sebelumnya dalam memberi makna, maka tindakan dari manusia adalah wujud tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri juga mengalami perbedaan. Kesimpulan dari penjelasan tersebut adalah persepsi manusia tentang realitas sosial sangat dipengaruhi oleh struktur kesadaran subjektif yang dikembangkan melalui interaksi dan komunikasi. Saat perilaku menyimpang telah terorganisasi secara subjektif dalam diri individu, maka akan ditransformasikan atau diubah dalam commit to user
bentuk peranan-peranan aktif tertentu. Selanjutnya dijadikan kebiasaan atau kriteria
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosial yang menetap guna mendapatkan status sosial. Individu yang menyimpang itu menyadari betul peranan patologis yang dilakukannya. Peranan tersebut dianggap wajar oleh pribadi yang bersangkutan, namun dianggap menyimpang oleh sebagian besar anggota masayarakat lainnya. Sehingga perilaku menyimpang bersifat relatif, karena apa yang merupakan penyimpangan dalam suatu kelompok dapat merupakan konformitas dalam kelompok lain. Sebagai konsekuensinya, kita harus memandang perilaku menyimpang dari dalam kerangka berpikir kelompok itu sendiri, karena pemaknaan merekalah yang mendasari perilaku yang mereka tunjukkan.
2. Proses Munculnya Perilaku Menyimpang Perubahan tingkah laku dari normal menjadi abnormal yang berlangsung dengan tiba-tiba dan drastis itu jarang terjadi (Kartini Kartono,2005:35). Hal ini disebabkan karena ada serangkaian transformasi persiapan yang mengawali berlangsungnya perubahan menuju perilaku menyimpang. Sehingga sebelumnya ada pertumbuhan dari potensi dan kecenderungan yang berlangsung dari hari ke hari. Pikiran merupakan suatu proses, dengan proses itu individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, Mead dalam (Robert M.Z Lawang,1990:10). Dari adanya pikiran atau kesadaran yang sebelumnya merupakan potensi cadangan atau suatu kecenderungan maka akan muncul proses tindakan. Dimana tindakan itu tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi kesatuan yang saling berhubungan dan bergantung melalui proses interaksi. Pada pembahasan Bab IV bagian B, diketahui bahwa faktor yang menjadi latar belakang munculnya perilaku menyimpang di kalangan pelajar diantaranya adalah karena faktor internal yang berasal dari diri sendiri dan faktor eksternal yang berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar diri. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa faktor internal yang berada dalam diri diantaranya adalah kesadaran subjektif
yang
mengalami
proses
pembiasaan.
Menurut
Mead
dalam
(Poloma,2007:256), manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam commit to user
pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Seperti yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diungkapkan HN saat dia mencoba mencari tahu situasi dan keadaan di sekolahnya melalui teman informan sebelum ia memutuskan untuk benar-benar melakukan perilaku terlambat atau membolos. Atau seperti yang terjadi ketika FR colut dari sekolah dan memilih tempat yang berada jauh dari sekolah sehingga lebih merasa aman dari jangkauan guru. Maka dari ungkapan informan tersebut dapat dikatakan bahwa sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya, individu mencoba terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu melalui pertimbangan pemikirannya. Karena itu, dalam proses tindakan manusia terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului proses tindakan yang sebenarnya. Mead juga menambahkan bahwa persepsi tentang dunia luar dan kesadaran subjektif saling memiliki ketergantungan. Maka ketika perilaku menyimpang dipersepsikan sebagai hal yang wajar bagi pelaku penyimpangan, perilaku tersebut cenderung dilakukan secara berulang karena sebelumnya telah ada pertimbangan pemikiran yang mempengaruhi kesadaran subjektif individu tersebut. Hubungan antara I dan me juga dapat bersifat saling tergantung secara dinamis. Hal ini dapat dijelaskan saat seseorang melakukan suatu perilaku menyimpang, maka dirinya bertindak sebagai I, akan tetapi jika pada saat yang sama ia memikirkan potensi atau implikasi yang akan terjadi atas perilakuyang ia perbuat, maka seketika itu juga dirinya dipengaruhi oleh me. Ungkapan dari HN bahwa dirinya memilih untuk membolos tetapi juga memikirkan untuk membuat surat ijin palsu agar bisa lolos dari jeratan pelanggaran tata tertib merupakan wujud dari adanya hubungan antara I yang dipengaruhi oleh me. Artinya ketika ia melakukan suatu kegiatan spontan, secara bersamaan ia juga memikirkan implikasi dan upaya untuk mengantisipasi reaksi dari pihak lain. Faktor internal lain yaitu kepribadian (personality), faktor jenis kelamin dan umur yang masing-masing memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan B. Simandjuntak (1984:113) yang melihat bahwa kepribadian seseorang dapat diketahui dari sikap dan tingkah laku dalam mengadakan commit to user
interaksi dengan lingkungannya, dan tingkah laku ini erat hubungannya dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebutuhannya. Sehingga apabila dikaitkan dengan faktor jenis kelamin dan umur, dalam diri siswa yang masuk dalam kategori remaja akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis. Dalam diri remaja tersebut banyak potensi yang dapat mengarah pada hal yang positif danhal yang negatif. Perkembangan sifat ini tergantung pada lingkungan. Jika lingkungan menyediakan hal-hal yang positif, maka individu akan menjadi seseorang yang berpikir dan berperilaku baik, akan tetapi jika lingkungan menyediakan hal-hal yang negative besar kemungkinan individu akan menjadi seorang yang berperilaku menyimpang. Dengan pandangan dari B. Simandjuntak berarti seseorang dapat mencapai kebutuhannya
tidak
semata
mengikuti
kemauannya,
akan
tetapi
perlu
mempertimbangkan norma-norma masyarakat yang berlaku dimana mereka berada. Kemudian faktor eksternal dari luar diri yang melatarbelakangi munculnya perilaku menyimpang, erat kaitannya dengan interaksi yang dilakukan dengan lingkungan sosial mulai dari keluarga, teman, sekolah, dan hal-hal lain di luar diri individu. Interaksi secara bertahap membuat individu memperoleh kesadaran tentang konsep diri, hal ini hampir sama dengan proses munculnya pikiran (Watson dalam IB.Wirawan,2012:111). Konsep diri juga pada akhirnya menunjuk pada identitas diri yang dinyatakan oleh orang lain. Dengan kata lain, manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandang orang lain. Sebagai akibatnya,
mereka
mempersepsikan
perilakunya
dengan
sengaja
untuk
membangkitkan tipe respons tertentu dari orang lain. Dari hasil penelitian menunjuk pada ungkapan NV, yang sengaja tidak masuk tanpa keterangan selama 1 minggu , kemudian atas perilakunya ini membangkitkan respons dari pihak sekolah melalui Bimbingan Konseling untuk melakukan home visit. Selain itu juga dari wawancara peneliti dengan informan FR, yang sengaja mengganggu dan membuat kegaduhan pada kelas lain saat pelajaran PKn untuk membangkitkan respons dari guru mata pelajaran yang bersangkutan. Juga pada TW dan HN yang sengaja untuk menghindari mata pelajaran tertentu. Respons guru yang bersangkutan atas perilaku menyimpang commit to user
ketiga informan tersebut yaitu dengan memberi ancaman tidak naik kelas. Maka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat dikatakan bahwa tidak harus ada suatu maksud pada pihak individu untuk mengkomunikasikan pesan. Individu itu hanya memulai tindakannya sendiri yang merangsang orang lain atas tindakan yang mereka lakukan. Mead menyebutkan bahwa konsep diri seseorang itu diperoleh dengan jalan mengambil peran perspektif orang lain dan melihat dirinya sendiri sebagai objek melalui sosialisasi (Poloma,2007:257). Sosialisasi tersebut melewati tahapan mulai dari play stage (pengambilan peran dari orang-orang yang ada di sekelilingnya, seperti ayah, ibu dan kerabat lainnya), tahapan berikutnya adalah game stage (pembentukan konsep diri ini telah melibatkan individu lain,seperti teman), kemudian yang terakhir ada generalized others, dimana tahapan terakhir dalam proses sosialisasi yang mengarahkan perilaku individu agar sejalan dan sesuai yang dikehendaki oleh masyarakat. Ketika muncul perilaku menyimpang, opini tentang proses sosialisasi yang kurang atau tidak sempurna dari pelaku penyimpangan tersebut tidak bisa diabaikan. Hal ini dapat diketahui dari ungkapan HN saat dirinya merasa kurang diperhatikan lantaran orang tuanya yang telah bercerai sejak ia duduk di bangku SMP. Begitu pula saat informan FR dan NV yang merasa kesepian saat berada di rumah, karena salah satu orang tua yang telah meninggal dan saat ini menjadi lebih sibuk untuk bekerja sebagai orang tua tunggal. Pernyataan dari para informan tersebut diamini oleh guru Bimbingan Konseling yang membenarkan bahwa permasalahan yang terjadi dalam lingkungan keluarga para informan tersebut, secara tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan psikologis yang berakibat pada perilaku menyimpang yang mereka lakukan. Konsep diri juga dikemukakan oleh Charles Horton Cooley (Bernard Raho,2007:105) melalui konsep looking-glass self yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melihat dirinya sebagaimana ia melihat objek yang berada di luar dirinya. Hal ini berarti bahwa kita harus bisa membayangkan bagaimana kita tampil dihadapan orang lain, kemudian membayangkan bagaimana penilaian orang lain terhadap penampilan kita tersebut dan yang terakhir kita bisa commit to user
mengembangkan perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan kita terhadap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penilaian orang lain. Konsep diri ini dapat diketahui dari ungkapan SY dan YN bahwa apabila informan tersebut tidak pernah melanggar tata tertib dan berperilaku menyimpang di sekolah. Dalam penuturannya
informan mengungkapkan bahwa
menyimpang hanya merugikan diri sendiri dan dapat mengganggu teman-teman lain untuk ikut menyimpang, ketidaksukaannya terhadap perilaku menyimpang juga didukung dengan ungkapannya yang melihat hal tersebut tidak menghasilkan prestasi. Justru hanya mendapatkan label sebagai anak nakal dan pembuat ulah baik dari guru maupun teman-temannya yang lain. Dari pernyataan SY dan YN dapat diketahui bahwa self yang mereka tampilkan dapat membuat penonton memberikan definisi tentang diri mereka (aktor) sesuai dengan keinginan aktor itu sendiri. Pernyataan tentang tidak setuju dan ketidaksukaan terhadap perilaku menyimpang, membawa mereka pada konsep diri pelajar yang berperilaku patuh dan taat terhadap tata tertib sekolah dan tidak melanggar aturan yang ada. Akan tetapi kenyataannya konsep diri yang diidealkan tidak selalu merupakan sesuatu yang bersifat positif. Individu yang secara konsisten menerima reaksi negatif dari orang lain atau mengalami kesulitan dalam membentuk identitas peran yang diidealkannya, mungkin akhirnya melihat dirinya secara negatif, juga kalau terkadang predikat tersebut didukung oleh orang lain. Sama seperti ungkapan FR yang sering mendapat labeling sebagai siswa yang nakal dari kalangan guru ataupun siswa lainnya, terutama atas perilaku terlambat, membolos dan beberapa perilaku menyimpang yang ia lakukan. Pemberian labelling atas perilakunya tersebut merupakan wujud reaksi negatif dari orang lain. Yang pada akhirnya informan melihat dirinya sendiri secara negatif, yaitu sebagai anak nakal. Sehingga kesimpulannya konsep diri memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku kita dan terhadap interpretasi kita mengenai reaksi-reaksi orang lain. Setiap tindakan yang kita tampilkan, dalam hal tertentu merupakan ungkapan dari konsep diri kita, dan setiap reaksi orang lain memiliki potensi untuk memperkuat atau merusakkan konsep diri yang kita miliki.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor eksternal lainnya yang turut menjadi latar belakang munculnya perilaku menyimpang berasal dari sekolah. Mulai dari guru yang bersikap kurang tegas, tata tertib sekolah yang dianggap longgar serta beberapa hal yang terkait lainnya. Lingkungan sekolah yang menurut Zainal Aqib (2011:120) memiliki karakteristik dan motivasi perilaku yang berbeda-beda dari setiap warga sekolahnya. Selain itu menurut kondisi persekolahan, sistem pengajaran di sekolah yang tidak menguntungkan
akan
menjuruskan
anak
kepada
perilaku
menyimpang
(B.Simandjuntak,1984:10). Hal ini mengacu pada kondisi siswa yang akan bosan
pada pelajaran sehingga tidak mencapai hasil yang baik, kemudian ketidaksanggupan atau minat yang kurang terhadap pelajaran yang disampaikan guru membuat ketidakpuasan siswa atas kondisi sekolah yang mengakibatkan siswa sering meninggalkan sekolah. Sehingga secara tidak langsung akan memberi dampak pada kehidupan masyarakat sekolah itu sendiri. Untuk itu menurut Heider dalam (Agus Abdul Rahman, 2013:174), diperlukan adanya kebutuhan untuk memahami (need of cognition) dan kebutuhan untuk mengendalikan (need of control).
Kebutuhan
memahami diperlukan untuk memahami lingkungan orang-orang yang ada di sekitar kita, utamanya di lingkungan sekolah. Selanjutnya kebutuhan untuk mengendalikan, maksud kebutuhan tersebut adalah sebagai tindak lanjut untuk memahami. Pemahaman mengenai karakteristik dan motivasi perilaku orang lain akan membuat kita lebih mudah dalam memprediksi dan menentukan apa yang sebaiknya kita lakukan. Seperti halnya saat ada siswa yang berperilaku menyimpang, maka baik siswa yang lain maupun pihak sekolah dan orang tua melalui kebutuhan ini dapat menentukan sikap dan perilaku yang paling tepat dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Sebab biasanya kebingungan dalam menangani siswa berperilaku menyimpang bersumber dari ketidaktauan dan ketidakmampuan mengendalikan lingkungan yang ada di sekitar kita. Oleh karena itu, supaya dapat memenuhi kedua kebutuhan tersebut, kita kemudian melakukan persepsi sehingga lingkungan sosial menjadi lebih bisa dipahami dan diprediksi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara faktor eksternal lain berasal dari pengaruh media. Ditunjukkan melalui ungkapan informan NV, HN dan TW yang menjadi kecanduan game online dan RI yang kecanduan internet sehingga mempengaruhi perilakunya di sekolah. Mulai dari rela colut saat sekolah belum usai hingga menunda-nunda untuk mengerjakan tugas. Hal ini berkaitan dengan berkembangnya dunia digital yang terkoneksi secara berlebihan dan tidak terkendali. Sehingga manusia cenderung mudah mengalami kecanduan pada hal-hal yang berkaitan dengan internet dan terasing secara sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Ridwan Sanjaya (2011:58) bahwa selama terkoneksi dengan dunia digital, umumnya akan membuat manusia menjauh dari teman dan keluarganya di kehidupan nyata. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi latar belakang munculnya perilaku menyimpang dapat berasal dari internal (dalam diri) dan eksternal (luar diri). Keduanya memiliki kesinambungan satu sama lain. Sehingga saat memaknai perilaku menyimpang, tidak hanya melihat dari satu sisi, akan tetapi mempertimbangkan hal yang lain agar penanggulangan terhadap perilaku menyimpang menjadi tepat dan tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. 3. Simbolisasi Tata Tertib Sekolah Sekolah merupakan kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari sebagian besar siswa siswa, guru dan anggota lainnya yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya (Maswardi Amin, 2011:61). Oleh sebab itu diperlukan adanya sebuah penyesuaian diri baik dengan lingkungan maupun masyarakat yang ada di dalam sekolah agar tercipta komunikasi, kerja sama serta suasana kehidupan yang harmonis. Dimana dalam proses interaksi di dalam lingkungan sekolah, terdapat nilai dan norma yang diatur dalam sebuah tata tertib sekolah guna memantau segala tingkah laku setiap siswa termasuk di dalamnya yang memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan. Meskipun tidak semua penyimpangan perilaku yang dilakukan diatur dalam tata tertib sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat merupakan suatu struktur historis yang sedikit demi sedikit diubah, dan perubahannya itu tidak lepas dari pola dasar yang terdahulu. Untuk merubahnya diperlukan individu yang terdidik, sehingga individu yang lahir dari kelompok itu perlu dididik guna mempertahankan pola dasar dari struktur masyarakat tersebut (B. Simandjuntak,1984:288). Pada dasarnya di lingkungan sekolah terdapat masyarakat yang hidup di dalamnya, yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa dan tokoh-tokoh pemegang peranan penting lainnya yang semuanya itu disebut sebagai masyarakat sekolah. Berhasil atau tidaknya mendidik individu dalam masyarakat tergantung pada ukuran norma yang dianut. Untuk itulah tata tertib sekolah merupakan salah satu wujud dari norma yang digunakan untuk pedoman dalam mengatur tingkah laku masyarakat di lingkungan sekolah. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki benda itu, dimana makna dari simbol-simbol itu merupakan hasil dari interaksi sosial di dalam masyarakat itu sendiri (Blumer dalam Poloma,2007:259). Hal ini mengandung pengertian bahwa interaksi antarmanusia dijembatani oleh penggunaan simbolsimbol, penafsiran, dan kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain. Penggunaan simbol dimaknai oleh Watson dalam (IB. Wirawan,2012:111) sebagai bentuk komunikasi yang dilakukan melalui isyarat. Hal ini berarti komunikasi simbolis pada masyarakat itu tidak hanya terbatas pada isyarat-isyarat fisik melainkan kata-kata yang mengandung arti dan dipahami bersama dan bersifat standar. Pengaplikasian simbol kata-kata ini dapat kita temui dalam tata tertib sekolah. Dimana dalam setiap kata-kata yang yang digunakan terdapat penggunaan simbol secara tidak terlihat yang (covert) yang menginspirasi pikiran dan kesadaran untuk berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan pada simbol tersebut. Atau seperti yang dikatakan oleh Achmad Fedyani (2005:294) bahwa dimana saja sistem simbol adalah pedoman bagi tindakan, sistem ini bekerja dalam konteks sosial. Konteks sosial yang dimaksud oleh Fedyani melingkupi tempat, organisasi, institusi, suku bangsa, kelompok kekerabatan, usia, jenis kelamin kelompok pekerjaan atau dimensi commit to user
sosial lainnya yang mendefinisikan, mengatur dan menentukan batas-batas peranan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan perilaku. Artinya ketika tata tertib digunakan sebagai suatu sistem simbol yang berada pada konteks institusi sekolah, tata tertib tersebut digunakan sebagai pedoman untuk mengatur dan menentukan batas-batas peranan dan perilaku masyarakat sekolah yang ada di dalamnya. Dalam pandangan simbolik, kombinasi antara simbol dan konteks tertentu akan memberikan makna dan interpretasi bagi tindakan dan perilaku dari manusia. Hal yang perlu ditekankan bagi sekolah adalah melihat bagaimana perilaku menyimpang yang terjadi sebagai suatu gejala yang tidak boleh disamakan dengan peristiwa lainnya dan perlu dicari indikator untuk melihat penyimpangan yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa SMA Negeri 8 Surakarta menerapkan beberapa strategi guna meminimalisir terjadinya perilaku menyimpang di sekolah. Mulai dari pembentukan Tim STP2K (Satuan Tugas Pelaksanaan dan Pembinaan Kesiswaan) dibawah naungan Wakasek Kesiswaan dalam meningkatkan mekanisme kedisiplinan pada pelaku pelanggaran, melakukan home visit sebagai wujud
pendampingan
dan
pemberian
konseling
secara
kekeluargaan.
Mempertahankan kegiatan tes urine dan cek darah secara berkala sebagai wujud pencegahan indikasi narkoba, HIV/AIDS pada siswa, hingga menerapkan inovasi strategi baru seperti, melakukan revisi terhadap tata tertib sekolah pada setiap tahun ajaran baru oleh kepala sekolah melalui Majelis Perwakilan Kelas (MPK). Hal ini dilakukan dengan tujuan melibatkan peran siswa secara langsung serta melatih agar pelajar terbiasa menyampaikan aspirasi diruang publik. Kemudian, mengundang pihak-pihak yang dianggap berwenang dan ahli di bidangnya sebagai narasumber atau pembina upacara untuk mengkomunikasikan pesan secara langsung kepada juga sebagai upaya sekolah untuk memberikan contoh yang baik kepada pelajar SMA Negeri 8 Surakarta. Dan yang terakhir yaitu, secara rutin melakukan kunjungan ke SMA Taruna yang berada di Magelang. Hal ini sebagai upaya sekolah untuk mengajarkan kedisiplinan dan ketertiban agar dapat diterapkan terhadap pelajar di SMA Negeri 8 Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dikatakan oleh Blumer sebelumnya bahwa diantara stimulus dan respons, terdapat penyisipan proses penafsiran yang menentukan respons terhadap stimulus, yaitu respons untuk bertindak berdasarkan simbol-simbol yang diinterpretasikan dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial dalam kaitannya dengan pembinaan tata tertib dan mekanisme kedisiplinan di SMA Negeri 8 Surakarta itu sendiri merupakan interaksi simbolik. Dengan kata lain, interaksi simbolik memandang manusia bertindak bukan semata-mata karena stimulus respons, melainkan juga didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan tersebut. Makna atas segala strategi yang diterapkan adalah sebagai tindakan pencegahan dan meminimalisir segala bentuk perilaku menyimpang di sekolah dan serta sebagai upaya dalam mempertahankan predikat Pilot Project Sekolah Berkarakter bagi SMA Negeri 8 Surakarta dalam mengedepankan karakter dalam mencapai prestasi baik secara akademis maupun non akademis yang sesuai dengan imtaq dan berwawasan lingkungan yang selama ini disandang, sekaligus mengubah pemikiran mengenai disiplin yang selama ini hanya terfokus pada prosedur pemberian hukuman, menjadi suatu paradigma baru sebagai langkah atau upaya sekolah dengan menjalin kerjasama orang tua untuk mengembangkan keberhasilan perilaku pelajar baik secara akademik maupun sosial. Seperti yang dikatakan oleh Hadi Supeno (2010:109) bahwa pendidikan harus mampu menggali dan mengembangkan potensi diri seorang anak sehingga mampu menikmati proses pendidikan, bukan merasa tersiksa dan bereaksi dengan melakukan pemberontakan deviasi sosial bahkan vandalisme budaya. Dengan begitu penyimpangan perilaku siswa dapat hadir dan diterima masyarakat dalam konteks dan batas-batas pencarian identitas diri dan ekspresi spontan manusiawi, tetapi bukan tindakan yang mendestruktif diri sang anak serta membahayakan bagi orang lain. Sehingga tujuan dari peraturan sosial lebih menciptakan kondisi yang membuat siswa tunduk pada norma untuk mencapai tertib sosial. commit to user