14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Pemberian Mulsa Vertikal terhadap Sifat Fisik Tanah 4.1.1 Infiltrasi Kumulatif Hasil analisis sidik ragam menunjukan pemberian mulsa vertikal tidak berbeda nyata terhadap infiltrasi kumulatif (Tabel 2). Tampaknya perlakuan P1 mencapai laju infiltrasi kumulatif tertinggi 20,03 cm menit-1. Sedangkan untuk perlakuan P2 dan P0 infiltrasi kumulatifnya lebih rendah dari P1. Tabel 2. Infiltrasi Kumulatif dengan Perlakuan Mulsa Vertikal Perlakuan P0 P1* P2* KK (%)
Infiltrasi kumulatif (cm menit-1) 18,61 tn 20,03 17,83 52,58
tn= tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 * = Perlakuan di dalam mulsa
Kemampuan tanah menyerap air untuk perlakuan P1 lebih tinggi 2,2 kali dibandingkan dengan perlakuan P2 dan perlakuan P0 lebih tinggi 0,78 kali lebih tinggi dibandingkan perlakuan P2 (Gambar 1). Tingginya nilai infiltrasi kumulatif pada perlakuan P1 menunjukan penyerapan air yang lebih tinggi sehingga dapat menurunkan aliran permukaan. Untuk perlakuan P2 yang lebih rendah dari perlakuan P1 dan P0 diduga karena adanya pengolahan tanah dan pembuatan rorak yang menyebabkan tanah terdispersi dan ketidakstabilan agregat, bobot isi tanah meningkat sehingga sebagian pori hilang dan akan memperlambat laju penyerapan air. Menurut Plaster (2003) dalam Andayani (2009), kecapatan tanah untuk menginfiltrasikan air hujan dipengaruhi oleh keadaan fisik tanah tersebut. Beberapa sifat fisik tanah yang mempengaruhi infiltrasi adalah bobot isi, porositas, permeabilitas dan pF. Pengolahan tanah yang baik dapat menaikkan atau menurunkan sifat fisik tanah, sehingga pengolahan tanah mempunyai pengaruh dalam menentukan laju infiltrasi.
Infiltrasi Kumulatif (cm menit-1)
15
20.5 20 19.5 19 18.5 18 17.5 17 16.5 P0
P1 Perlakuan
P2
Gambar 1. Infiltrasi Kumulatif dengan Perlakuan Mulsa Vertikal 4.1.2 Bobot Isi Tanah Dari hasil analisis sidik ragam (Tabel 3) menunjukan bahwa mulsa vertikal tidak berbeda nyata terhadap bobot isi tanah. Perlakuan P2 (kedalaman 0,5 m) menunjukan bobot isi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 (kedalaman 0,4 m) dan P0 (kontrol). Tabel 3. Bobot isi Tanah dengan Perlakuan Mulsa Vertikal Perlakuan P0 P1* P2* KK (%)
Bobot Isi (g cm-3) 1,136 tn 1,150 1,183 5,90
tn= tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 * = Perlakuan di dalam mulsa
Perlakuan P2 memperoleh bobot isi tertinggi yakni 1,183 g cm-3 atau 0,047 kali lebih tinggi dibandingkan P0 (kontrol) dan 0,033 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan P1 (Gambar 2). Hal ini diduga karena tingginya bobot isi tanah pada perlakuan P2 dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, dimana bahan mineral lebih tinggi dibandingkan dengan bahan organik. Semakin rendahnya bahan organik tersebut menyebabkan semakin rendah pada jumlah mikroorganisme di dalam tanah yang berfungsi mengurai atau membuat pori-pori dalam tanah. Januardin (2008) mengatakan bahwa penurunan kandungan bahan organik maka berakibat kurang terikatnya butir-butir primer menjadi agregat olah bahan organik sehingga porositas tanah menurun.
16
Menurut Winarti (2012), Semakin tingginya bobot isi dengan semakin dalamnya lapisan tanah dapat disebabkan karena pada lapisan bawah tanah kandungan bahan organik cenderung lebih rendah dari pada lapisan-lapisan tanah bagian atasnya. Kandungan bahan orgnik pada suatu jenis tanah yang sama berbeda dengan kedalaman tanah yang berbeda. Semakin dalam suatu tanah semakin berkurang kandungan bahan organiknya, demikian pula dengan pengolahan tanah, semakin sering tanah di olah, semakin berkurang kandungan bahan organik (Hasibuan, 2005 dalam Ginting, 2009). Pengelolaan lahan juga turut andil dalam proses pemadatan tanah dimana partikel yang halus akan
Bobot isi (g cm-3)
mengisi pori tanah sehingga bobot isi tanah akan bertambah besar (Monde, 2010). 1,190 1,180 1,170 1,160 1,150 1,140 1,130 1,120 1,110 P0
P1 Perlakuan
P2
Gambar 2. Keragaan Bobot isi dengan Perlakuan Mulsa Vertikal 4.1.3 Total Ruang Pori Dari hasil analisis sidik ragam (Tabel 4) menunjukan bahwa mulsa vertikal tidak berbeda nyata terhadap total ruang pori tanah. Perlakuan P0 (kontrol) menunjukan ruang pori tanah yang lebih banyak dibandingkan P2 (kedalaman 0,5 m) dan P1 (kedalaman 0,4).
17
Tabel 4. Total ruang pori dengan Perlakuan Mulsa Vertikal Total Ruang Pori (%) 57,22 tn 56,36 55,18 4,69
Perlakuan P0 P1* P2* KK (%) tn= tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 * = Perlakuan di dalam mulsa
Perlakuan P0 memperoleh total ruang pori terbanyak yakni 57,22 % atau 0,86 kali lebih tinggi dari P1 dan 2,04 kali lebih tinggi dari perlakuan P2 (Gambar 3). Ruang pori yang tinggi menunjukan kepadatan tanah yang rendah. Hal ini diduga karena P0 (kontrol) tidak diberikan perlakuan rorak, sehingga tanah tidak terdispersi akibat dari pengolahan tanah. Kestabilan agregat dapat meningkatkan total ruang pori. Menurut Andayani (2009), beberapa sifat fisik tanah dapat mengalami perubahan karena pegelolaan tanah. Sebelumnya Suryatmojo (2006) dalam Januardin (2008), menjelaskan porositas yang tinggi maka akan dapat menyimpan air dalam jumlah yang besar, sehingga air hujan yang datang akan dapat meresap atau mengalami infiltrasi dengan cepat tanpa terjadi aliran permuikaan. Total Ruang Pori (%)
57.5 57 56.5 56 55.5 55 54.5 54 P0
P1 Perlakuan
P2
Gambar 3. Keragaan Total Ruang Pori dengan Perlakuan Mulsa Vertikal
18
4.1.4 Kadar Air Dari hasil analisis sidik ragam (Tabel 5) menunjukan bahwa mulsa vertikal tidak berbeda nyata terhadap kadar air tanah. Kadar air yang tinggi menunjukan kelembaban tanah yang tinggi. Tabel 5. Kadar Air dengan Perlakuan Mulsa Vertikal Kadar Air (%) 6,36 tn 7,79 12,05 3,03
Perlakuan P0 P1* P2* KK (%) tn= tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 * = Perlakuan di dalam mulsa
Perlakuan P2 (kedalaman 0,5m) menunjukan tingginya kadar air tanah dibandingkan dengan P1 (kedalaman 0,4m) dan P0 (kontrol). Perlakuan P2 memperoleh kadar air tertinggi yakni 12,05 % atau 4,26 kali lebih tinggi dari P1 dan 5,69 kali lebih tinggi dari perlakuan P0 (Gambar 4). Hal ini di duga dengan kedalaman 0,5m sudah mendekati lapisan kedap air sehingga kadar air dan kelembaban tanahnya tinggi. Menurut Asdak (2002) dalam Januardin (2008), berkurangnya laju infiltrasi karena bertambahnya kadar air dan kelembaban dari tanah, sehingga menyebabkan butiran tanah berkembang, dengan demikian menutup pori-pori tanah. 14 Kadar Air (%)
12 10 8 6 4 2 0 P0
P1 Perlakuan
P2
Gambar 4. Keragaan Kadar Air dengan Perlakuan Mulsa Vertikal
19
4.2 Pertumbuhan Jagung 4.2.1 Diameter Batang Dari hasil analisis sidik ragam ketiga perlakuan yang diujicobakan tidak berbeda nyata terhadap diamater batang setelah berbunga pada taraf uji BNT 0,05% (Tabel 6). Tetapi terdapat perlakuan terbaik dari ketiga perlakuan yang diujicobakan. Perlakuan P2 memperoleh diameter batang terbesar yakni 2,010 cm atau 0,097 kali lebih besar diameter batangnya jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan (kontrol) dan 0,05 kali lebih besar dengan perlakuan P1. Hal ini diduga pemberian mulsa vertikal mampu menampung air hujan sehingga ketersediaan air dalam tanah tersedia dan akan digunakan oleh tanaman pada saat tanaman kekurangan suplai air. Harjadi (1986) dalam Yakup (2008) melaporkan peningkatan ketersediaan air didalam tanah akan meningkatkan proses fotosintesis tanaman, sehingga karbohidrat yang dihasilkan juga meningkat dan dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tabel 6. Rataan Diameter Batang dengan Pemberian Mulsa Vertikal Perlakuan
Diameter Batang (cm)
P0
1,913 tn
P1*
1,960
P2*
2,010
KK %
4,38
tn= tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 * = Perlakuan di dalam mulsa
4.2.2 Tinggi Tanaman Dari hasil analisis sidik ragam ketiga perlakuan yang diujicobakan tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman setelah berbunga pada taraf uji BNT 0,05% (Tabel 7). Pada perlakuan P2 memperlihatkan tinggi tanaman terbaik yakni 189,600 cm atau 11,02 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan P0 atau tanpa perlakuan dan 3,963 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan P1. Hal ini diduga pemberian mulsa vertikal pada tanah berlereng mampu menyediakan air didalam tanah dan akan mempengaruhi proses pertumbuhan dari tanaman tersebut. Menurut Hakim et al. (1986) dalam Yakup (2008) menyatakan ketersedian air diperlukan untuk sintesis karbohidrat dan
20
berperan sebagai pengangkut dalam proses translokasi zat-zat makanan/unsure hara yang dipergunakan untuk pertumbuhan tanaman. Tabel 7. Rataan Tinggi Tanaman dengan Pemberian Mulsa Vertikal Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm)
P0
178,580 tn
P1*
185,637
P2*
189,600
KK %
5,28
tn= tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 * = Perlakuan di dalam mulsa
4.2.3 Jumlah Daun Dari hasil analisis sidik ragam pada taraf uji BNT 0,05% perlakuan P2 berbeda nyata dengan perlakuan P1 untuk parameter jumlah daun, tetapi tidak berbeda nyata dengan P0 (Tabel 8). Hal ini diduga karena kadar air yang terdapat pada perlakuan P2 tersedia atau terpenuhi jika dibandingkan dengan perlakuan P1 yang kadar airnya lebih rendah. Pernyataan tersebut sesuai dengan data kadar air didalam tanah yang ditunjukan pada Gambar 4. Lebih lanjut Rismanneswati, (2006) menyatakan pemberian mulsa dilakukan untuk meningkatkan jumlah air yang masuk kedalam tanah dan menigkatkan daya menyimpan air dari tanah. Tabel 8. Rataan Jumlah Daun dengan Pemberian Mulsa Vertikal Perlakuan
Jumlah Daun (helai)
P0
10,10ab
P1*
9,77b
P2*
10,18a
BNT 0,05 %
0,38
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 * = Perlakuan di dalam mulsa