BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Gejala
Klinis
Benih
Lele
Sangkuriang
yang
terinfeksi
Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan tubuh ikan dan tingkah laku benih lele. Perubahan tingkah laku yang diamati seperti uji refleks, respon terhadap pakan, dan pergerakan renang benih lele. Benih lele menunjukkan gejala klinis dalam waktu 20 jam setelah dilakukan penyuntikan bakteri Aeromonas hydrophila. Gejala klinis yang pertama tampak berupa peradangan (inflamasi) yang dicirikan dengan tanda warna kemerahan pada bekas suntikan. Gejala ini terlihat merata pada semua tubuh benih lele kemudian benih lele direndam selama 48 jam dengan larutan filtrat simplisia kulit buah manggis sesuai dengan konsentrasi perlakuan. Peradangan yang timbul sesuai dengan pendapat Oliver et al (1981) dalam Riyanto (1993), patogen Aeromonas hydrophila mendegradasi jaringan organ tubuh serta mengeluarkan toksin yang disebarkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah sehingga menyebabkan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah sehingga menimbulkan warna kemerahan pada tubuh ikan. Pengamatan hari ke-2 setelah penginfeksian (perendaman ke-24 jam), peradangan (inflamasi) berubah menjadi nekrosis disertai pendarahan (hemoragi) (Gambar 4a) dan beberapa benih
lele sudah mengalami tukak pada otot
(Gambar 4b).
nekrosis
4a. Nekrosis Disertai Hemoragi
25
26
tukak
4b. Tukak Gambar 4a-b. Gejala klinis pada benih lele sangkuriang yang terserang bakteri Aeromonas hydrophila Sumber : Dokumentasi Pribadi 2013 Pada hari ke-3 setelah penginfeksian (perendaman ke-48 jam), benih yang hidup masih menunjukkan gejala klinis tukak (borok) semakin membesar dan perlakuan A (0 ppm) hampir 20 % mengalami kematian. Hal ini sesuai dengan pendapat Ayuningtyas (2008), peradangan berubah menjadi hemoragi, nekrosis dan tukak pada lele dumbo (Clarias sp.) yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Pada hari ke-10 setelah penginfeksian, benih lele pada semua perlakuan perendaman larutan filtrat simplisia kulit buah manggis mengalami penyembuhan luka pada tubuh sedangkan perlakuan kontrol proses penyembuhannya belum maksimal. Penyembuhan yang terjadi berupa penutupan luka karena tukak. Jaringan-jaringan otot tersusun kembali dan jaringan kulit terbentuk dan menutup bekas luka. Hal ini semakin menguatkan bahwa efektivitas larutan kulit buah manggis dalam menghambat dan mengobati lele yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Penyembuhan yang terjadi pada lele berupa sembuh secara total maupun hanya secara parsial (masih terlihat gejala klinis) (Gambar 5a). Pada hari ke-16, semua perlakuan mengalami penyembuhan total terhadap luka yang diakibatkan oleh infeksi bakteri Aeromonas hydrophila (Gambar 5b).
Tukak mengecil
5a. Tukak Mengecil
27
5b. Benih Lele Sembuh Total Gambar 5a-b. Penyembuhan Tukak Sumber: Dokumentasi Pribadi 2013 Uji refleks ikan dilakukan selama penelitian dengan cara menepuk dinding akuarium pada setiap perlakuan. Gerak refleks ikan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Uji Refleks Benih Lele Sangkuriang
Hari ke
A B 1 2 3 1 2 1 2 + + + 3 + + + + + 4 + + + + + 5-21 + + + + + Keterangan : (+) Adanya refleks (- ) Tidak adanya refleks
3 + + + +
Perlakuan C 1 2 3 + + + + + + + + + + + +
1 + + + +
D 2 + + + +
3 + + + +
1 + + + +
Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa benih lele sangkuriang tanpa perendaman larutan filtrat simplisia kulit buah manggis pada perlakuan A (0 ppm) tidak memberikan respon terhadap kejutan hingga hari kedua setelah perlakuan . Hal ini
menunjukkan bahwa setelah benih lele diinfeksi dengan bakteri Aeromonas hydrophila dengan volume 0,1 mL/ikan secara intramusculer, benih lele mendapat serangan dari bakteri Aeromonas hydrophila sehingga mengalami penurunan respon terhadap kejutan. Pada hari kedua, perlakuan B (1000 ppm), C (1500 ppm), D (2000 ppm) dan E (2500 ppm) memberikan respon terhadap kejutan sedangkan A (0 ppm) belum menunjukkan respon. Pada hari ke-3 sampai hari ke-21 (akhir pengamatan), benih
lele pada semua perlakuan mulai memberikan respon refleks dengan cara menjauhi sumber tepukan pada dinding akuarium.
E 2 + + + +
3 + + + +
28
Hasil pengamatan terhadap respon benih lele terhadap pakan setelah perendaman larutan filtrat simplisia kulit buah manggis mengalami penurunan respon terhadap pakan (Tabel 2). Pada hari pertama, benih lele tidak menunjukkan respon terhadap pakan (-) karena benih lele sudah terinfeksi sehingga tidak menunjukkan respon terhadap pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nabib dan Pasaribu (1989), penolakan terhadap makanan sering dialami pada ikan yang tidak sehat. Tabel 2. Respon Benih Lele Sangkuriang Terhadap Pakan hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 1021
1 + + ++ ++ ++ ++ ++ ++
A 2 + + ++ ++ ++ ++ ++ ++
3 + + ++ ++ ++ ++ ++ ++
1 + + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
B 2 + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
3 + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
Perlakuan C 1 2 + + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
3 + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
1 + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
D 2 + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
3 + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
1 + + ++ ++ ++ ++ ++ ++
Keterangan : (++) Respon pakan normal (+) Respon pakan rendah (-) Respon pakan tidak ada Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa benih lele tanpa perendaman larutan filtrat kulit buah manggis pada perlakuan A (0 ppm) tidak merespon pakan hingga hari ke-2 setelah perendaman. Pada hari ke-2, perlakuan B (1000 ppm), C (1500 ppm), dan sebagian D (2000 ppm) memberikan respon terhadap pakan tetapi masih rendah sedangkan pada perlakuan E (2500 ppm), benih lele tidak memberikan respon terhadap pakan. Hal ini diduga karena tingginya kadar tanin memberikan rasa pahit sehingga mempengaruhi nafsu makan pada benih lele. Menurut Jasni dkk (1999) bahwa tanin dalam konsentrasi tinggi tidak langsung beracun tetapi menyebabkan pengendapan protein sehingga sistem pencernaan tidak efisien. Pada hari ke-3 dan ke-4, perlakuan A (0 ppm) dan E (2500 ppm) memberikan respon terhadap pakan tetapi masih rendah. Perlakuan perlakuan B (1000 ppm), C (1500 ppm), dan D (2000
E 2 + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
3 + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
29
ppm) benih lele sudah menunjukkan respon normal terhadap pakan. Hal ini disebabkan karena benih lele tidak stres dan mengalami masa penyembuhan dengan perendaman larutan filtrat simplisia kulit buah manggis. Pada hari ke-5, benih lele pada semua perlakuan sudah menunjukkan respon terhadap pakan normal sampai hari ke-21 (akhir pengamatan).
4.2 Kelangsungan Hidup Benih Lele Sangkuriang Hasil pengamatan kelangsungan hidup harian benih lele selama penelitian yaitu pengobatan (2 hari) dan pemeliharaan (21 hari) dapat dilihat pada Gambar 6.
100
Kelangsungan Hidup Harian
90 80 70
A (0 ppm)
SR (%)
60
B (1000 ppm)
50
C (1500 ppm)
40 30
D (2000 ppm)
20
E (2500 ppm)
10 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Hari Pengamatan
Gambar 6. Grafik Kelangsungan Hidup Harian Pada Gambar 6, mortalitas (kematian) pengamatan harian dapat dilihat pada hari ke-1 (perendaman ke- 24 jam) hampir semua perlakuan mengalami mortalitas (kematian). Mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan A (0 ppm) hampir 20 % sedangkan yang terendah pada perlakuan C (1500 ppm). Pengamatan hari kedua (perendaman ke- 48 jam), mortalitas tertinggi pada perlakuan A (0 ppm) sedangkan perlakuan yang lain mengalami penurunan mortalitas benih lele tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh bercak merah pada
30
lele telah berubah menjadi hemoragi pada tubuh benih lele sehingga menyebabkan sistem imun tubuh benih lele melemah. Pada hari ke-5, tingkat kematian menurun pada perlakuan B (1000 ppm), C (1500 ppm), D (2000 ppm) dan E (2500 ppm) yang diduga karena efek dari larutan filtrat simplisia kulit buah manggis yang diberikan sehingga bakteri Aeromonas hydrophila tidak mampu berkembang (bakteristatik). Pada hari ke-7, kematian benih lele pada perlakuan A (0 ppm) masih tinggi. Hal ini diduga dimana aktivitas bakteri Aeromonas hydrophila masih ada pada benih lele yang mengakibatkan luka belum mengalami penyembuhan dan dapat menyebabkan kematian pada perlakuan A (0 ppm). Kematian benih lele berlangsung sampai pada hari ke-11 di mana hari berikutnya kelangsungan hidup benih lele tetap hingga akhir penelitian. Kelangsungan hidup benih lele mengalami penurunan pada perlakuan E (2500 ppm) dibandingkan dengan perlakuan B (1000 ppm), C (1500 ppm), dan D (2000 ppm). Hal ini disebabkan oleh batas konsentrasi yang diberikan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila melebihi dari batas maksimal yang diperlukan sehingga memunculkan efek samping yang membahayakan benih lele. Konsentrasi yang digunakan melebihi konsentrasi ambang batas dapat mengakibatkan kematian pada benih lele. Menurunnya tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan E (2500 ppm) selain karena infeksi Aeromonas hydrophila dapat juga disebabkan oleh zat antibakteri yang terdapat dalam kulit buah manggis berupa saponin. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun (Gambar 7).
31
. Gambar 7. Kondisi Air Berbusa dengan Kadar Saponin Tinggi Sumber : Dokumentasi Pribadi 2013 Saponin masuk ke dalam tubuh melalui proses osmoregulasi kemudian masuk ke aliran darah yang mengakibatkan rusaknya jaringan insang yang dicirikan dengan insang ikan menjadi berwarna merah dan bengkak. Insang yang membengkak mengganggu proses pernafasan yang mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam tubuh (Rudiyanti dan Ekasari 2009). Menurut Tompo et al. (2010) menyatakan saponin pada konsentrasi 2,5 ppm dapat membuat pingsan ikan bandeng (Chanos sp.) pada menit ke-12,7. Selain itu, menurut Rudiyanti dan Ekasari (2009), kandungan saponin yang tinggi mengakibatkan permukaan air tertutup busa dan menyebabkan cahaya masuk ke dalam perairan berkurang. Menurut Munro 1982 dalam Hanafi 2006, terjadinya kematian ikan oleh bakteri Aeromonas hydrophila karena mampu menghasilkan eksotoksin dikenal sebagai produk ekstraseluler meliputi hemolisin, enterotoksin, sitotoksin dan protease. Produksi toksin ekstraseluler mengandung enzim protease dan hemolisin dan bersifat racun bagi ikan. Aeromonas hydrophila juga memproduksi endotoksin yang dihasilkan di dalam tubuh Aeromonas hydrophila dan hanya dibebaskan jika Aeromonas hydrophila tersebut hancur (Pelczar dan Chan 1988 dalam Husein 1993). Endotoksin yang diproduksi Aeromonas hydrophila terdiri dari protein, lipid dan polisakarida. Endotoksin atau lipopolisakarida (LPS) dari bakteri Gram negatif adalah toksik karena dapat menginduksi berbagai kondisi patologi termasuk shock, hemoragi, demam dan kematian.
32
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian maka tingkat kelangsungan hidup benih lele pada tiap-tiap konsentrasi larutan filtrat simplisia kulit buah manggis memperlihatkan perbedaan (Gambar 8).
SR (%)
Kelangsungan Hidup 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
78,33
83,33 71,67 56,67
21,67
0
1000
1500
2000
2500
Konsentrasi (ppm) Gambar 8. Grafik Kelangsungan Hidup Benih Lele Sangkuriang
Pada Gambar 8 terlihat bahwa perlakuan C (1500 ppm) menghasilkan kelangsungan hidup tertinggi dan berturut-turut diikuti oleh perlakuan B (1000) ppm dan D (2000 ppm) kemudian perlakuan E (2500 ppm) yang memberikan tingkat kelangsungan hidup terendah. Tingginya mortalitas pada konsentrasi E (2500 ppm) diduga penggunaan larutan filtrat kulit buah manggis dengan konsentrasi E (2500 ppm) sangat tinggi sehingga mengakibatkan keracunan pada benih lele dan juga disebabkan oleh infeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan larutan filtrat kulit buah manggis memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup benih lele yang diinfeksi Aeromonas hydrophila. Hasil uji Duncan pada selang kepercayaan 95% didapatkan bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup benih lele sangkuriang pada perlakuan B (1000 ppm), C (1500 ppm), dan D (2000 ppm) menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan A (0 ppm) dan E (2500 ppm) (Tabel 3).
33
Tabel 3. Rata-rata Kelangsungan Hidup Lele Sangkuriang
Konsentrasi Simplisia Kelangsungan Hasil Signifikasi Kulit Buah Manggis Hidup (%) Transformasi (0,05) (ppm) Arcsin 21,67 27,71 a A (0) 78,33 62,48 c B (1000) 83,33 66,26 c C (1500) 71,67 57,98 c D (2000) 56,67 48,93 b E (2500) Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata menurut uji Duncan Pada Tabel 3, Perlakuan B (1000 ppm), C (1500 ppm), dan D (2000 ppm) kelangsungan hidup relatif sama dibandingkan perlakuan A (0 ppm) dan E (2500 ppm) karena larutan tersebut masih mampu ditolerir oleh benih lele. Bahan-bahan aktif yang terkandung dalam larutan tersebut masih dapat bekerja dalam menghambat pertumbuhan Aeromonas hydrophila. Kelangsungan hidup pada perlakuan D (2000 ppm) lebih rendah daripada perlakuan B (1000 ppm) dan C (1500 ppm) diduga karena larutan filtrat simplisia kulit buah manggis pada konsentrasi D (2000 ppm) masih bersifat toksik bagi benih lele tetapi rendah. Menurut Poeloengan dan Praptiwi 2010, Larutan filtrat simplisia kulit buah manggis dapat menyembuhkan luka karena senyawa-senyawa yang terkandung dalam kulit buah manggis ialah saponin, tanin dan flavanoid. Menurut
Cowan
1999,
mekanisme
antibakteri
dari
tanin
yaitu
mendenaturasi protein bakteri dan menghilangkan fungsi protein bakteri. Target dari tanin membentuk komplek dengan permukaan adhesi, enzim pada membran, dan polipeptida dinding sel bakteri sedangkan saponin merupakan zat aktif yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel. Apabila saponin berinteraksi dengan sel bakteri, maka bakteri tersebut akan pecah atau lisis. Selain itu,menurut Lesmanawati 2006, saponin mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan penambah vitalitas karena mampu memperbaiki struktur maupun fungsi sel-sel tubuh. Selanjutnya menurut Rahman 2008, flavanoid bekerja dengan membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta dinding sel mikroba. Flavonoid bersifat lipofilik akan merusak
34
membran mikroba. Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi perdarahan atau pembengkakan pada luka. Perlakuan C (1500 ppm) menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi benih lele yaitu 83,33 % karena pemberian konsentrasi larutan filtrat simplisia telah efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan sebesar 1500 ppm.
4.3 Kualitas Air Pengamatan kualitas air digunakan sebagai parameter pendukung selama penelitian berlangsung. Kondisi kualitas air sebagai media pemeliharaan lele sangkuriang dalam kondisi terkontrol. Pengamatan dilakukan pada minggu pertama, kedua, dan ketiga (Tabel 4).
Tabel 4. Kualitas Air Rata-rata Pada Minggu Pertama, Kedua, dan Ketiga Parameter Suhu ( C)
DO (mg/L) pH
Amonia
h1 h2 h3 h1 h2 h3 h1 h2 h3 h1 h2 h3
A 23,7 23,7 23,77 4,65 4,73 4,62 7,74 7,64 7,63 0,03 0,003 0,02
Perlakuan B C 24,13 23,83 24 23,9 24,1 23,9 4,69 4,35 4,62 4,7 4,73 4,69 7,37 7,72 7,48 7,58 7,61 7,58 0,01 0,02 0,03 0,03 0,03 0,02
D 23,87 23,6 23,8 4,72 4,68 4,73 7,68 7,76 7,75 0,02 0,05 0,07
E 23,9 23,9 23,9 4,75 4,72 4,65 7,61 7,69 7,6 0,02 0,05 0,07
Ratarata 23,9 23,8 23,9 4,63 4,69 4,68 7,62 7,63 7,63 0,02 0,03 0,04
Optimal
20-30
3,0-5,0
6,5-8
<1
Keterangan : h1 = minggu ke- 1 h2 = minggu ke- 2 h3 = minggu ke- 3 Pada Tabel 4, terlihat dari hasil pengamatan kualitas air didapatkan bahwa suhu rata-rata 23,70C, rata-rata pH 7,6, rata-rata DO 4,6 mg/ L, dan amonia
35
0,03 mg/L. Menurut Khairuman dan Amri (2002), kualitas air yang optimal untuk kehidupan lele adalah perairan dengan suhu 20-30°C, oksigen terlarut (DO) minimum 3 mg/L, pH atau derajat keasaman 6.5-8 sedangkan untuk amonia total, konsentrasi yang baik untuk budidaya lele menurut Mahyuddin (2007) adalah maksimum 1 mg/L. Berdasarkan Tabel 4, kualitas air selama penelitian memenuhi syarat optimum untuk budidaya lele sehingga kematian bukan disebabkan oleh kualitas air tetapi diakibatkan serangan bakteri Aeromonas hydrophila.