Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Akar Nanas Kering dan Hidroponik Akar nanas kering yang digunakan dalam penelitian ini merupakan akar nanas yang tertanam dalam tanah, berwarna coklat dan berupa suatu serabut yang menempel pada bagian seperti bonggol. Akar dipisahkan dari bonggolnya dengan cara dipotong – potong. Teksturnya berbentuk silinder agak kecil memanjang. Setelah dikeringkan dan digiling menjadi serbuk halus, terasa menjadi lebih ringan. Gambar IV.1 dan IV.2 berikut ini menampilkan akar nanas yang sudah kering dan serbuknya setelah digiling.
Gambar IV.1 Akar nanas kering
Gambar IV.2 Serbuk akar nanas kering
Akar nanas hidroponik berwarna putih kehijauan dan berbentuk serabut dengan tekstur silinder memanjang dan mengandung air. Akar hidroponik ditampilkan pada Gambar IV.3.
Gambar IV.3 Akar nanas hidroponik IV.2 Penyiapan Krim Santan Krim santan yang dipakai merupakan krim bagian atas dari suatu santan yang terlihat lebih kental dan berwarna putih agak krem. Berdasarkan hasil VCO yang didapat maka dapat dipakai suatu pola pembuatan krim santan untuk mendapatkan jumlah VCO yang sesuai dengan hasil percobaan yaitu : Tabel IV.1 Pola pembuatan krim santan (tidak murni) Jumlah Air
Massa kelapa parut
Jumlah buah kelapa
Volume krim santan
( ml )
( gram )
( butir )
( ml )
450
750
2
400
900
1500
4
800
1350
2250
6
1200
1800
3000
8
1600
57
Pola pembuatan krim pada tabel 1V.1 dijadikan acuan untuk membuat krim santan sebagai bahan untuk percobaan pembuatan VCO selanjutnya. IV.3 Pembuatan VCO dan Randemen Yang Dihasilkan Setelah proses inkubasi yang cukup lama, selama 20 jam maka campuran krim santan dengan akar nanas kering atau akar nanas hidroponik diamati dan dicoba dilakukan pengerjaan berikutnya. IV.3.1 Pembuatan VCO dengan Serbuk Akar Nanas Kering Hasil pengamatan dari pengujian yang pertama memberikan data bahwa blondo dan serbuk akar berada di lapisan paling atas, menutupi minyak yang berada di lapisan kedua. Air berada pada lapisan ketiga yaitu lapisan paling bawah. Setelah dipisahkan dengan penyaringan dan dikeringkan dengan zeolit diperoleh VCO berwarna jernih dan berbau harum / gurih / enak. Fenomena ini dapat dilihat pada Gambar IV.4.
Gambar IV.4 Campuran krim santan (tidak murni) dan akar nanas kering setelah 20 jam. Lapisan paling atas berupa blondo, bila dilihat dari atas akan tampak seperti pada Gambar IV.5. Ketika blondo diambil untuk dipisahkan maka akan terlihat lapisan
58
VCO seperti yang disajikan pada Gambar IV.6 dan IV.7 sedangkan blondo yang sudah terpisah ditampilkan pada Gambar IV.8.
Gambar IV.5 Lapisan atas berupa blondo
Gambar IV.6 Lapisan kedua berupa VCO
59
Gambar IV.7 Lapisan kedua berupa VCO, dilihat dari samping
Gambar IV.8 Blondo Setelah proses penyaringan dan pengeringan oleh zeolit, VCO dipisahkan lalu diukur volumenya dan ditentukan randemennya (Lampiran 1). Gambar IV.9 menampilkan proses penyaringan VCO dan Gambar IV.10 menunjukkan VCO hasil penyaringan.
60
Gambar IV.9 Proses penyaringan VCO
Gambar IV.10 VCO hasil penyaringan Tabel IV.2 berikut menampilkan randemen VCO yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungan antara perbandingan massa akar kering dan volume krim santan (tidak murni), untuk 3 variasi kelapa yaitu jenis kelapa tua, kelapa setengah tua dan kelapa lebih muda.
61
Tabel IV.2 Penentuan randemen VCO dengan variasi kelapa Kelapa Tua
Gelas 1
Gelas 2
Gelas 3
Gelas 4
Gelas 5
150
100
150
-
-
1
1
3
-
-
1 : 150
1 : 100
1 : 50
-
-
20
25
30
-
-
13,33
25
20
-
-
Gelas 1
Gelas 2
Gelas 3
Gelas 4
Gelas 5
100
100
100
-
-
1
2
3
-
-
1 : 100
1 : 50
1 : 33,3
-
-
Volume VCO (ml)
10
15
7
-
-
Randemen VCO (%)
10
15
7
-
-
Gelas 1
Gelas 2
Gelas 3
Gelas 4
Gelas 5
Volume Krim Santan (tidak murni) (ml)
300
300
300
300
300
Massa Serbuk Akar Kering ( g )
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
1 : 300
1 : 150
1 : 100
1 : 75
1 : 60
7
25
25
10
10
2,33
8,33
8,33
3,33
3,33
Volume Krim Santan (tidak murni) (ml) Massa Serbuk Akar Kering ( g ) Perbandingan Serbuk Akar Kering dan Krim Santan (tidak murni) Volume VCO (ml) Randemen VCO (%)
Kelapa Setengah Tua Volume Krim Santan (tidak murni) (ml) Massa Serbuk Akar Kering ( g ) Perbandingan Serbuk Akar Kering dan Krim Santan (tidak murni)
Kelapa Lebih Muda
Perbandingan Serbuk Akar Kering dan Krim Santan (tidak murni) Volume VCO (ml) Randemen VCO (%)
Randemen VCO untuk setiap variasi kelapa dapat pula dilihat pada gambar IV.11, IV.12 dan IV.13.
25 20 15 % VCO
10 5 0 1
2
3
Massa Akar Kering : Volume Krim Santan
Gambar IV.11 Randemen VCO untuk kelapa tua
62
16 14 12 10 % VCO 8 6 4 2 0 1
2
3
Massa Akar Kering : Volume Krim Santan
Gambar IV.12 Randemen VCO dari kelapa setengah tua
% VCO
10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
Massa Akar Kering : Volume Krim Santan
Gambar IV.13 Randemen VCO dari kelapa lebih muda Untuk jenis kelapa tua, randemen VCO terbanyak hanya diperoleh 25 %, pada saat 1 gram akar dicampurkan dalam 100 ml krim santan (tidak murni) ( 1 : 100 ). Namun ketika massa serbuk akar kering yang digunakan sebanyak 3 gram dalam 150 ml santan ( 1 : 50 ), volume VCO yang diperoleh menjadi berkurang ( 20 % ). Begitu pula untuk 1 gram akar dalam 150 ml santan ( 1 : 150 ), volume VCO yang dihasilkan berkurang yaitu sekitar 13,33 % ( Tabel IV.2 dan Gambar IV.11). Hal ini menunjukkan bahwa volume VCO yang dihasilkan tergantung sekali pada perbandingan antara jumlah massa serbuk akar dan volume santan yang dipakai.
63
Ada perbandingan jumlah serbuk akar dan volume santan tertentu atau bahkan kondisi tertentu yang optimum untuk mendapatkan VCO dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itu diperlukan pengujian berikutnya untuk lebih mengetahui hal tersebut. Percobaan selanjutnya masih menggunakan santan (tidak murni) yang berasal dari kelapa setengah tua, dengan jumlah serbuk akar yang bervariasi yaitu 1 g, 2 g dan 3 g dengan volume krim santan (tidak murni) yang tetap (100 ml) dapat menghasilkan VCO yang dapat dipisahkan dari blondonya, meskipun volume yang diperoleh tidak sebanyak percobaan sebelumnya. Volume VCO yang dihasilkan berturut-turut adalah 10 ml , 15 ml dan 7 ml. Dengan melihat perbandingan massa akar dengan volume santan 1 : 100 ; 1 : 50 ; 1 : 33,3, ternyata jumlah VCO terbanyak dihasilkan pada perbandingan 1 : 50, dengan hasil randemen VCO sebesar 15 % ( Tabel IV.2 dan Gambar IV.12 ). Hal ini membuktikan bahwa jumlah VCO yang maksimum sangat ditentukan oleh perbandingan antara massa serbuk akar nanas kering dan volume krim santan (tidak murni). Hal lain yang menentukan adalah jenis buah kelapa yang digunakan kurang tua, sehingga minyak yang terkandung dalam santan jumlahnya sedikit.2 Pengulangan pembuatan VCO menggunakan jenis kelapa lebih muda, dengan variasi massa akar kering 1 g , 2 g , 3 g , 4 g dan 5 g dan volume krim santan yang sama yaitu 300 ml, berhasil dengan cukup baik meskipun volume VCO yang diperoleh tidak sebanyak sebelumnya. Pada perbandingan jumlah massa akar dan volume krim santan ( tidak murni ) yaitu 1 : 300 ; 1: 150 ; 1: 100 ; 1 : 75 ; 1 : 60 ( Tabel IV.2 dan Gambar IV.13 ), dapat dilihat bahwa jumlah VCO cukup banyak, dihasilkan oleh 2 gram akar kering dalam 300 ml krim santan ( tidak murni ) ( 1 : 150 ) dan 3 gram akar kering dalam 300 ml krim santan ( tidak murni ) (1 : 100), keduanya memiliki randemen VCO yang sama yaitu 8,33 %. Pada perbandingan 1 : 75 dan 1 : 60 maka randemen VCO yang dihasilkan berkurang, keduanya memiliki nilai randemen
64
yang sama pula yaitu 3,33 %. Berarti ada penurunan randemen sekitar 5 % ketika volume krim santan berkurang dari volume optimumnya pada saat diekstraksi oleh protease yang terkandung dalam serbuk akar nanas kering. Ini membuktikan bahwa protease ( akar nanas ) dan substrat ( santan ) memiliki perbandingan jumlah yang optimum untuk dapat memproduksi VCO dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan melihat hasil randemen yang ada, secara umum dapat dikatakan bahwa VCO yang dihasilkan dengan menggunakan akar nanas kering tidaklah terlalu banyak. Hal ini dapat disebabkan oleh kelapa yang digunakan kurang tua sehingga kandungan minyak dalam kelapa sedikit atau kelapa yang dipakai sebetulnya sudah cukup tua tetapi jenis kelapa atau varietasnya tidak unggul.2 Kemungkinan lain adalah kondisi optimum dari krim santan yang dipakai, misalnya keasaman, kurang sesuai dengan protease dari serbuk akar nanas kering. Untuk itu perlu dilakukan optimasi kondisi dan analisa atau karakterisasi terhadap jenis protease yang digunakan. Selain itu, adanya inhibitor dapat pula menjadi faktor penyebab tidak terbentuknya VCO. Pada pembuatan VCO menggunakan santan murni dengan berbagai variasi massa akar nanas kering dan volume santan murni tidak menghasilkan VCO. Hal ini dapat disebabkan karena terlalu pekatnya substrat ( krim santan murni ) sehingga aktivitas protease tidak optimum. Pada kondisi ini terbentuk krim ( koloid ) yang pekat, sehingga minyak tidak dapat dipisahkan karena bercampur menjadi satu dengan blondo. Hal ini dapat diamati dengan jelas pada Gambar IV.14.
65
Gambar IV.14 Koloid krim santan dan blondo setelah 20 jam. Tidak terbentuknya VCO memberikan gambaran bahwa minyak yang terkandung dalam santan tidak dapat terekstraksi oleh protease. Kemungkinan baru terjadi degradasi polisakarida atau degradasi dinding sel oleh enzim pendegradasi karbohidrat saja yaitu karbohidrase.8 Faktor lain yang dapat menjadi penyebab adalah adanya inhibitor sehingga produk VCO yang diharapkan tidak terbentuk.15 IV.3.2 Pembuatan VCO dengan Akar Nanas Hidroponik Percobaan 1 dilakukan menggunakan akar nanas hidroponik sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 gram, dengan volume krim santan (tidak murni) masing-masing sebanyak 20 ml. Percobaan 2, masing – masing menggunakan 1 gram akar nanas hidroponik dengan volume krim santan ( tidak murni ) berturut – turut 50, 100, 150, 200 dan 250 ml ( Tabel IV.3 ).
66
Tabel IV.3 Pembuatan VCO dengan akar nanas hidroponik Percobaan 1
Gelas 1
Gelas 2
Gelas 3
Gelas 4
Gelas 5
20
20
20
20
20
1
2
3
4
5
1 : 20
1 : 10
1 : 6,7
1:5
1:4
Volume VCO (ml)
-
-
-
-
-
Randemen VCO (%)
-
-
-
-
-
Gelas 1
Gelas 2
Gelas 3
Gelas 4
Gelas 5
50
100
150
200
250
1
1
1
1
1
1 : 50
1 : 100
1 : 150
1 : 200
1 : 250
Volume VCO (ml)
-
-
-
-
-
Randemen VCO (%)
-
-
-
-
-
Krim Santan (tidak murni) (ml) Akar Nanas Hidroponik (g) Perbandingan Serbuk Akar Kering
dan
Krim Santan (tidak murni)
Percobaan 2 Krim Santan (tidak murni) (ml) Akar Nanas Hidroponik (g) Perbandingan Serbuk Akar Kering Krim Santan (tidak murni)
dan
Dalam percobaan ini VCO terbentuk tetapi bercampur dengan krim santan (blondo) dan tidak bisa dipisahkan, meskipun dengan bantuan sentrifugasi. Kadar VCO yang terbentuk sangat sedikit sehingga tidak dapat terukur. VCO yang terbentuk cukup jernih tetapi berbau agak masam. Tidak terbentuknya VCO kemungkinan disebabkan oleh jenis protease yang terkandung dalam akar nanas hidroponik tidaklah sejenis dengan protease yang terdapat pada akar kering, sehingga ekstraksi tidak terjadi secara optimum. IV.4 Karakterisasi VCO VCO yang dihasilkan dari bahan serbuk akar nanas kering dan santan (tidak murni) dikarakterisasi untuk mengetahui kualitasnya. Karakterisasi meliputi warna, aroma, kadar air, bilangan asam, bilangan iodium dan kandungan asam lemak. IV.4.1 Warna Semua VCO yang dihasilkan memiliki warna yang jernih (bening).
67
IV.4.2 Aroma Aroma VCO tercium harum / enak atau gurih seperti khas bau minyak kelapa asli. IV.4.3 Kadar Air VCO yang diperoleh mempunyai kadar air 0,44 %. Nilai ini berada pada rentang kadar air yang ditentukan oleh Asian and Pacific Coconut Community (APCC) yang berkisar pada rentang 0,1 – 0,5 %. IV.4.4 Penentuan Bilangan Asam Bilangan asam adalah jumlah miligram basa yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dalam 1 gram minyak/lemak. Penentuan bilangan asam dilakukan untuk mengetahui derajat hidrolisis suatu minyak atau lemak. Pada reaksi hidrolisis, minyak atau lemak akan dirubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol dengan adanya air. Proses ini menyebabkan minyak menjadi rusak, yang ditandai dengan perubahan bau dan rasa minyak yang tengik. Bilangan asam ditentukan melalui metoda titrasi asam basa, yaitu dengan menghitung jumlah KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak. Jika bilangan asam suatu minyak atau lemak bernilai tinggi artinya minyak telah terhidrolisis. Pada penelitian ini, bilangan asam dari VCO yang dihasilkan adalah 0,41. Menurut standar APCC, VCO memiliki nilai bilangan asam maksimal sebesar 0,5. Hal ini menunjukkan VCO yang diperoleh berada dalam rentang standar APCC. IV.4.5 Penentuan Bilangan Iodium Bilangan iodium adalah jumlah gram iod yang dapat diserap oleh 100 gram zat kimia. Bilangan iodium dapat menunjukkan derajat kejenuhan asam lemak yang terdapat dalam minyak. Ikatan rangkap yang terdapat dalam asam lemak dapat bereaksi dengan senyawa iod melalui reaksi adisi.
68
Penentuan bilangan iodium dilakukan melalui metoda titrasi. Semakin kecil nilai bilangan iodium maka kandungan asam lemak jenuh yang terdapat dalam minyak semakin banyak. Sebaliknya makin tinggi bilangan iodium maka semakin banyak kandungan asam lemak tak jenuhnya, karena makin banyak ikatan rangkap yang dapat diadisi oleh I2 . APCC menetapkan standar bilangan iodium untuk VCO sebesar 8 – 10. VCO yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai bilangan iodium 9,6. Hal ini menunjukkan bahwa sampel VCO berada dalam rentang standar APCC. IV.4.6 Penentuan Komposisi Asam Lemak Komposisi asam lemak dalam VCO ditentukan dengan kromatografi gas. Dalam hal ini, waktu retensi untuk setiap asam lemak berbeda, tergantung pada spesifikasi dan kondisi alat kromatografi gas yang digunakan. Pemisahan yang terjadi dalam kolom berlangsung secara bertahap, bergantung pada berat molekul sampel. Asam lemak dengan berat molekul lebih kecil akan keluar terlebih dahulu atau akan melewati kolom lebih cepat. Berdasarkan hal ini, maka puncak – puncak asam lemak dalam bentuk esternya akan teramati berturut –turut metil laurat, metil miristat dan metil palmitat. Kromatogram untuk standar metil laurat, metil miristat dan metil palmitat ditunjukkan pada Gambar IV.15.
Methyl Laurat Methyl Myristat Methyl Palmitate
Gambar IV.15 Kromatogram standar metil laurat, metil miristat dan metil palmitat
69
Kromatogram VCO hasil isolasi ditunjukkan pada Gambar IV.16.
Gambar IV.16 Kromatogram VCO hasil isolasi Berdasarkan Gambar IV.15 dan IV.16 dapat disimpulkan bahwa dalam sampel VCO secara kualitatif terkandung metil laurat ( pada puncak 12,812 ) dan metil miristat ( pada puncak 15,447 ). Metil palmitat tidak terdeteksi dalam VCO yang diperoleh. Komposisi ester asam lemak pada sampel VCO ditentukan dengan GCMS, dengan membandingkan persen relatif jumlah senyawa yang ditunjukkan dengan perbandingan luas area puncak setiap senyawa. Hasil GCMS ditampilkan dalam Tabel IV.4 ( Gambar GCMS dan analisis hitungannya dalam Lampiran 5). Tabel IV.4 Komposisi asam lemak dalam VCO Komposisi Senyawa (%) Sampel VCO Jumlah
Metil laurat
Asam laurat
Metil Miristat
Asam Miristat
34,13
38,55
11,58
7.81
72,68
19,39
Metil
Asam
Palmitat
Palmitat
-
-
Bila mengacu pada kandungan asam lemak pada VCO bedasarkan standar mutu VCO AFCC, maka komposisi asam-asam lemak yang terdeteksi dalam sampel
70
memenuhi standar, meskipun kandungan asam palmitat tidak dapat diketahui sehingga tidak dapat dibandingkan dengan standar APCC. IV.5 Isolasi Protease dari Serbuk Kering Akar Nanas Hasil isolasi protease dari serbuk kering akar nanas berupa suatu ekstrak berwarna coklat. Crude ekstrak ini kemudian digunakan untuk percobaan selanjutnya (fraksinasi dengan amonium sulfat ). IV.6 Fraksinasi Fraksinasi terhadap crude ekstrak dilakukan dengan hasil fraksinasi berupa fraksi 1 – fraksi 5. Masing-masing fraksi yang diperoleh berupa suatu protein yang terendapkan, yang berwarna coklat. Masing – masing fraksi dilarutkan kembali dalam 2 ml bufer fosfat 0,05 M pH 7. Setiap fraksi kemudian dilakukan pengujian untuk mengetahui aktivitas dan kadar proteinnya. V.7 Dialisis Proses dialisis dilakukan dengan membran semipermiable. Molekul protein yang berukuran besar akan tertahan dalam membran, sedangkan molekul yang ukurannya kecil dapat lolos melalui pori dan larut dalam buffer dialisis yang digunakan. Proses dialisis dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi zat terlarut. Oleh sebab itu penggantian buffer selama proses dialisis harus dilakukan. Dialisis dilakukan pada suhu 4 - 8 0C, agar stabilitas protein tetap terjaga. Dialisis dapat dianggap selesai bila penambahan larutan barium klorida pada buffer dialisis tidak menghasilkan endapan putih.29 Dalam percobaan ini, hasil dialisis yang diperoleh untuk setiap fraksi protein 1 sampai dengan 5 adalah 2, 1, 3, 4 dan 3,2 ml. IV.8 Karakterisasi protease IV.8.1 Penentuan Konsentrasi Protein Penentuan konsentrasi protein dilakukan dengan metoda Lowry, menggunakan larutan standar BSA dalam berbagai konsentrasi yaitu 0, 20, 40, 80, 120, 160 dan 200 μg/ml. Absorban larutan standar dan sampel fraksi – fraksi protease diukur
71
dengan spektronic 20 pada λ 750 nm, setelah penambahan reagen Folin Ciocalteu. Hasil yang diperoleh ditampilkan pada Tabel IV.5. Tabel IV.5 Konsentrasi protein hasil fraksinasi Konsentrasi No.
Sampel
μg / ml
mg / ml
mg / ml
(pengenceran 10 x )
( pengenceran 10 x )
( awal )
1.
Crude
227,813
0,228
2,278
2.
F1
316,563
0,317
3,166
3.
F2
179,063
0,179
1,791
4.
F3
214,688
0,215
2,147
5.
F4
229,063
0,229
2,291
6.
F5
74,688
0,075
0,747
Dari tabel IV.5 dapat dilihat bahwa konsentrasi protein yang terbesar terdapat pada Fraksi 1 (F1) yaitu sekitar 3,166 mg/ml. Sedangkan fraksi 5 memiliki nilai konsentrasi yang paling rendah yaitu 0,747 mg/ml. IV.8.2 Penentuan Aktivitas Protease Aktivitas protease ditentukan dengan metoda Horikoshi. Pada metoda ini kasein digunakan sebagai substrat. Protease yang ada akan menghidrolisis kasein untuk menghasilkan asam amino. Besarnya aktivitas protease ditentukan berdasarkan jumlah tirosin yang dihasilkan dari hidrolisis kasein, yang dapat ditentukan secara spektrometri pada λ 275 nm. λ 275 nm merupakan panjang gelombang maksimum untuk penyerapan sinar UV oleh protein yang mengandung residu asam amino aromatik seperi tirosin dan triptophan. Protein yang mengandung sedikit residu asam amino aromatik mempunyai absorsifitas yang rendah pada λ 275 nm. Satu unit aktivitas protease didefinisikan sebagai jumlah enzim yang diperlukan untuk menghasilkan material yang larut dalam campuran TCA, yang eqivalen
72
dengan 1 mg tirosin yang dihasilkan oleh 0,1 ml larutan enzim dari larutan kasein 1 % (b/v) per detik pada pH 8,0 dan suhu 37 0C. Aktivitas protease pada setiap fraksi ditunjukkan pada tabel IV.6. Tabel IV.6 Penentuan Aktivitas protease No .
Kontrol
Δ
[Tirosin]
Aktivitas Total
Sampel
Absorbans
mg/ml
(unit)
Aktivitas Spesifik (unit/mg)
-4
1,438 . 10-4
1.
Crude
0,117
0,039
3,275 . 10
2.
F1
0,004
0,012
0,975 . 10-4
0,308 . 10-4
3.
F2
0,025
0,017
1,400. 10-4
0,782 . 10-4
4.
F3
0,155
0,049
4,050 . 10-4
1,886 . 10-4
5.
F4
0,047
0,022
1,850 10-4
0,808 . 10-4
6.
F5
0,013
0,014
1,158 . 10-4
1,551 . 10-4
Dari Tabel IV.6 dapat diketahui bahwa fraksi 3 (F3) memiliki perubahan nilai absorbansi tertinggi yaitu 0,155 dan konsentrasi tirosin yang dihasilkannya memiliki nilai tertinggi pula ( 0,049 mg/ml ). Nilai aktivitas total F3 adalah 4,050 . 10-4 unit, merupakan aktivitas tertinggi dibandingkan fraksi – fraksi lainnya. Aktivitas spesifik F3 adalah 1,886 . 10-4 unit/mg, merupakan aktivitas tertinggi dibandingkan dengan fraksi – fraksi lainnya. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa protease hasil isolasi terdapat pada fraksi 3 (F3). IV.8.3 Optimasi pH Optimasi pH terhadap kerja protease dilakukan pada fraksi 3 ( F3 ) dengan rentang pH 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Pengerjaan dilakukan dengan buffer fosfat 0,05 M pada suhu 37 0C. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar IV.17.
73
Absorbans
KURVA OPTIMASI pH 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
2
4
6
8
10
pH
Gambar IV.17 Optimasi pH pada aktivitas protease Berdasarkan Gambar IV.17 terlihat bahwa aktivitas tertinggi protease berada pada pH 8, meskipun pada pH 5 protease juga menunjukkan aktivitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan aktivitas pada pH 6 dan 7. Berdasarkan hal ini maka protease yang ada dapat digolongkan sebagai protease basa dengan pH optimum 8. !V.8.4 Optimasi Suhu Optimasi suhu dilakukan pada rentang 25 0 C, 37 0 C , 49 0 C dan 61 0 C pada pH 8. Buffer yang digunakan adalah bufer fosfat 0,05 M. Hasil pengujian ditampilkan pada Gambar IV.18.
74
ABSORBANS
OPTIMASI SUHU 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
20
40
60
80
SUHU (CELCIUS)
Gambar IV.18 Optimasi suhu pada aktivitas protease Berdasarkan Gambar IV.18 dapat diketahui bahwa suhu optimum untuk aktivitas protease adalah 37 0C. Pada suhu di atas suhu optimum protease mengalami denaturasi akibat pemanasan. IV.8.5 Optimasi Konsentrasi Substrat Optimasi konsentrasi substrat dilakukan pada rentang konsentrasi kasein 0,1 % , 0,25 %, 0,5 %, 1 %, 1,5 % dan 2 %. Hasil pengujian ditampilkan pada Gambar IV.19. OPTIMASI KONSENTRASI SUBSTRAT
Delta Absorbans
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
Konsentrasi Kasein
Gambar IV. 19 Optimasi substrat pada aktivitas protease
75
Berdasarkan Gambar IV.19 dapat dikatakan bahwa pada konsentraasi awal kasein yang rendah yaitu 0,1 % , aktivitas protease sangat tinggi. Aktivitas protease mengalami penurunan ketika konsentrasi kasein 0,25 %, 1 % dan 1,5 % sedangkan pada konsentrasi kasein 0,5 % dan 2 % protease tidak menunjukkan adanya aktivitas atau absorbansinya sama dengan nol. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi kasein yang optimum untuk aktivitas protease adalah 1 %. IV.8.6 Penggolongan Jenis Protease Penggolongan protease dilakukan dengan mempelajari pengaruh penambahan CaCl2, EDTA dan PMSF pada aktivitas protease. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel IV.7. Tabel. IV.7 Pengaruh penambahan EDTA, CaCl2 dan PMSF terhadap aktivitas protease ZAT
Absorbans Blanko
F 3 + EDTA
0
F 3 + CaCl2
0
F 3 + PMSF
0
Fraksi 3 ( F 3 ) tanpa penambahan zat
0
Kontrol enzim
Enzim
0,038
0,000
0,038
0,000
0,003
0,193
0,003
0,193
0,214
0,214
0,214
0,214
0,168
0,323
Δ A rata - rata 0,038 0,190 0,000 0,155
Dari Tabel IV.7 dapat disimpulkan bahwa EDTA dapat menurunkan aktivitas protease, CaCl2 meningkatkan aktivitas protease sedangkan PMSF menurunkan aktivitas protease bahkan menghentikan aktivitasnya. Adanya penghambatan aktivitas protease oleh EDTA disebabkan oleh EDTA membentuk khelat dengan protein sehingga mempengaruhi konformasi sisi aktif enzim yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim terhadap substrat. Hal ini menunjukkan bahwa protease yang dipunyai adalah termasuk protease logam. Kesimpulan ini dikonfirmasi
76
dengan melihat pengaruh CaCl2, yang dapat meningkatkan aktivitas protease, PMSF menurunkan bahkan menghentikan aktivitas enzim, karena PMSF akan berinteraksi dengan residu asam amino serin sehingga menyebabkan penurunan aktivitas protease terhadap substrat. Hal ini mengindikasikan bahwa golongan protease hasil isolasi adalah protease serin. IV.8.7 Penentuan Berat Molekul Hasil SDS PAGE menunjukkan pita – pita protein yang dapat dipisahkan. Hasil SDS page diperiksa dan ternyata yang dapat teramati hanya pita – pita marker protein standar yang nampak, sementara sampel berupa crude memperlihatkan gambaran adanya tiga pemisahan pita tetapi masih terlihat samar, bahkan fraksi 3 (F3) yang memiliki aktivitas tertinggi tidak menunjukkan adanya pita – pita pemisahan. Hasil pemisahan protein dalam SDS PAGE ditunjukkan pada gambar IV.20.
150 kDa 100 kDa 75 kDa 50 kDa
167,340
25 kDa
151,182
15 kDa
119,922
10 kDa
Marker
Crude
F3
Gambar IV.20 Hasil SDS PAGE untuk protease ekstrak kasar (crude) Pita – pita pemisahan yang terlihat samar ini bisa disebabkan oleh konsentrasi protease berkurang, akibat pelarutan protease hasil freeze drying pada saat preparasi sampel tidak maksimal sehingga protease yang larut hanya sedikit.
77
Sedangkan pada fraksi 3 sama sekali tidak menunjukkan adanya pita, diperkirakan pada saat preparasi sampel, sangat sedikit sekali protein yang larut. Adanya beberapa pita menunjukkan bahwa protease memang terdapat dalam sampel crude tetapi masih berupa campuran protein belum mencapai pada pembuktian berupa protease yang murni dengan berat molekul yang tepat, karena masih harus dilakukan suatu proses pemurnian yang lebih lanjut untuk dapat membuktikan berat molekul protease yang sesungguhnya. Jadi dalam crude diperkirakan masih terdapat enzim-enzim lain selain protease. Bromelain tidak murni terdiri dari protease, tetapi juga mengandung komponen lain seperti fosfatase, glukosidase, peroksidase,
selulase,
glikoprotein
dan
karbohidrat.29
Namun
demikian
berdasarkan hasil SDS PAGE, bisa ditentukan nilai berat molekul campuran protein yang terdapat pada serbuk akar nanas yang tengah diteliti. Berdasarkan pada kurva standar marker protein rekombinan maka nilai berat molekul protein untuk setiap pita adalah pita ke satu 167,340 kDa, pita ke dua 151,182 kDa dan pita ke tiga 119,922 kDa.
78