BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Karakteristik Biofisik Kecamatan Andong, Klego, dan Simo Berdasarkan hasil analisis sistem informasi geografi terhadap kondisi biofisik
lahan di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo untuk budidaya ubi kayu adalah: -
Rerata suhu tahunan di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo antara 22-28°C. Menurut Djaenudin dkk (2003), wilayah ini termasuk kelas S1 (sangat sesuai).
-
Curah hujan tahunan di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo adalah antara 1.000-2.000 mm (S1/sangat sesuai), 600-1.000 mm dan 2.000-3.000 mm (S2/cukup sesuai).
-
Lereng di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo sangat bervariasi, yaitu <8,00% (S1/sangat sesuai), 8,00-16,00% (S2/cukup sesuai), 16,00-30,00 (S3/sesuai marginal), dan >30,00% (N/tidak sesuai).
-
Tekstur tanah di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo termasuk kelas agak halus, sedang (S1/sangat sesuai), serta halus dan agak kasar (S2/cukup sesuai).
-
Kandungan hara N total tanah di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo adalah 0,20-0,50% (harkat sedang, kelas S2/cukup sesuai) dan 0,10-0,20% (harkat rendah, kelas S3/sesuai marginal).
-
Kandungan hara P2O5 tanah di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo adalah >0,04% (harkat tinggi, kelas S1/sangat sesuai).
-
Kandungan hara K2O tanah di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo adalah >0,04% (harkat tinggi, kelas S1/sangat sesuai).
-
Kandungan bahan organik tanah di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo adalah 2,00-4,00% (harkat sedang, kelas S2/cukup sesuai) dan 1,00-2,00% (harkat rendah, kelas S3/sesuai marginal).
-
Nilai KTK tanah di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo adalah >25,00 cmol (harkat tinggi, kelas S1/sangat sesuai) dan 16,00-25,00 cmol (harkat sedang, kelas S2/cukup sesuai).
-
Nilai derajat keasaman tanah di Kecamatan Andong, Klego, dan Simo adalah 5,20-7,00 (S1/sangat sesuai).
18
4.2.
Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu di Kecamatan Andong
4.2.1. Faktor Pembatas Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu dan Pemetaan Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu Dari hasil tahapan pencocokan (matching) antara karakteristik biofisik (variabel tanah dan iklim) di Kecamatan Andong dengan karakteristik kesesuaian tanaman ubi kayu menurut Djaenudin (2003), terdapat faktor pembatas maksimal yaitu kelompok tekstur tanah, KTK, dan lereng. Dari proses matching tersebut, masing-masing faktor digunakan untuk menentukan bobot pada ekstensi ModelBuilder ArcView 3.2, sehingga dihasilkan peta kesesuaian tanaman ubi kayu di Kecamatan Andong, sebagai berikut:
Gambar 4.1. Peta kesesuaian tanaman ubi kayu di Kecamatan Andong pada skala 1:50.000 (dicetak pada kertas ukuran A0)
19
Tabel 4.1. Tabel Luas Lahan Sesuai Kelas Kesesuaian untuk Kecamatan Andong Desa Andong Beji Gondangrawe Kacangan Kadipaten Kedungdowo Kunti Mojo Munggur Pakang Pakel Pelemrejo Pranggong Semawung Sempu Senggrong Total Persentase (%) Sumber: hasil analisis primer
S1 301,84 323,86 286,24 289,21 333,77 304,20 359,08 331,91 255,59 345,40 294,79 191,58 316,02 339,07 682,78 290,14 5.245,46 89,56
S2 19,29 32,27 0,11 0,11 122,42 23,06 67,30 0,22 0,54 0,00 4,30 109,86 39,65 76,44 68,13 2,70 566,40 9,67
Luas (ha) S3 N 4,15 0,00 9,89 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,57 0,00 1,55 0,00 3,40 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,92 0,00 0,16 0,00 1,15 0,00 1,12 0,00 0,00 0,00 32,91 0,00 0,56 0,00
Tidak ada data 0,00 0,00 0,20 0,00 2,12 1,51 0,77 0,00 0,00 0,00 1,66 1,40 0,60 0,52 2,43 1,17 12,38 0,21
4.2.2. Deskripsi Kesesuaian Lahan di Kecamatan Andong Kecamatan Andong memiliki kesesuaian lahan sebagai berikut: 1.
Kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai) merupakan lahan yang sangat sesuai untuk
budidaya ubi kayu dan dibutuhkan sangat sedikit material tambahan (input), seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk. Pada kelas S1, tanaman budidaya dapat menghasilkan 100,00-80,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di Kecamatan Andong, kelas lahan S1 tersebar di semua desa. Total luas lahan S1 adalah 5.245,46 ha atau 89,56% dari total luas kecamatan. 2.
Kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) merupakan lahan dengan faktor pembatas
yang akan memengaruhi produktivitas umbi ubi kayu, sehingga perlu material tambahan (input) seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk. Pada kelas lahan S2, tanaman budidaya dapat menghasilkan antara 80,00-60,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di Kecamatan Andong, wilayah yang memiliki lahan kelas S2 adalah Desa Andong (19,29 ha), Beji (32,27 ha), Gondangrawe (0,11 ha), Kacangan (0,11 ha), Kadipaten (122,42 ha), Kedungdowo (23,06 ha), Kunti (67,30 ha), Mojo (0,22 ha), Munggur (0,54 ha), Pakel (4,30 ha), Palemrejo (109,86 ha), Pranggong (39,65 ha),
20
Semawung (76,44 ha), Sempu (68,13 ha), Senggrong (2,70 ha). Total luas lahan kelas S2 adalah 566,40 ha atau 9,67% dari total luas kecamatan. Faktor pembatas pada wilayah-wilayah S2 adalah (1) tekstur tanah termasuk kelompok tanah halus (liat berpasir, liat, liat berdebu) atau tanah agak kasar (lempung berpasir). Tekstur sangat memengaruhi pertumbuhan tanaman, khususnya bagian umbi. Untuk memperbaiki tekstur tanah dapat dilakukan pengolahan tanah dan penambahan bahan organik. (2) Nilai KTK pada kelas tanah S2 adalah ≤16,00. KTK tanah dapat memengaruhi pengikatan ion hara
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Untuk
meningkatkan nilai KTK dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik. (3) Lereng pada kelas S2 adalah antara 8,00-16,00%, yang berarti memiliki tingkat bahaya erosi antara rendah-sedang. Menurut Djaenudin dkk (2011), pada kelas tanah dengan tingkat bahaya erosi rendah-sedang, jumlah tanah yang hilang adalah 0,15-1,80 cm.tahun-1. Untuk meminimalkan bahaya erosi yang disebabkan oleh kelerengan, maka dibuat terasering. 3.
Kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) merupakan lahan dengan faktor pembatas
berat sehingga produktivitas umbi ubi kayu akan terpengaruh. Pada kelas lahan S3 perlu material tambahan (input) seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk yang lebih banyak daripada kelas tanah S2. Tanaman budidaya dapat menghasilkan antara 60,00-40,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di Kecamatan Andong, wilayah yang memiliki lahan kelas S3 adalah Desa Andong (4,15 ha), Beji (9,89 ha), Kadipaten (6,57 ha), Kedungdowo (1,55 ha), Kunti (3,40 ha), Palemrejo (4,92 ha), Pranggong (0,16 ha), Semawung (1,15 ha), Sempu (1,12 ha). Total luas lahan kelas S3 adalah 32,91 ha atau 0,56% dari total luas kecamatan. Faktor pembatas pada wilayah-wilayah S3 adalah (1) tekstur tanah termasuk kelompok tanah sangat halus (dominan liat). Tekstur sangat memengaruhi pertumbuhan tanaman, khususnya bagian umbi. Untuk memperbaiki tekstur tanah dapat dilakukan pengolahan tanah dan penambahan bahan organik. (2) Nilai KTK pada kelas tanah S3 adalah ≤16,00. KTK tanah dapat memengaruhi pengikatan ion hara yang dibutuhkan tanaman. Untuk meningkatkan nilai KTK dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik. (3) Lereng pada kelas S3 antara 16,00-30,00%, yang berarti bahwa pada wilayah ini memiliki tingkat bahaya erosi berat. Menurut Djaenudin dkk (2011), pada kelas tanah dengan tingkat bahaya erosi berat, jumlah tanah hilang adalah 1,80-4,80 cm.tahun-1. Untuk meminimalkan bahaya erosi karena kelerengan, maka dibuat terasering.
21
4.
Berdasarkan pengolahan data menggunakan ekstensi ModelBuilder ArcView 3.2,
di Kecamatan Andong tidak terdapat kelas kesesuaian N (tidak sesuai), sedangkan margin error (tidak ada data) pada pengolahan data Kecamatan Andong adalah 0,21%.
Tabel 4.2. Tabel Potensi Produksi dan Potensi Kesesuaian Menurut Kelas Kesesuaian Potensi Produksi Kelas Kesesuaian Potensi Deskripsi Potensi Kesesuaian Menurut Kelas Lahan (ton.ha-1) (ton.ha-1) Kesesuaian* (%) S1 40,00 100,00-80,00 40,00-32,00 S2 40,00 80,00-60,00 32,00-24,00 S3 40,00 60,00-40,00 24,00-16,00 Keterangan: * Sys dkk (1991)
4.2.3. Verifikasi Kesesuaian Lahan di Kecamatan Andong Berdasarkan verifikasi dengan mewawancarai petani di Kecamatan Andong, hasil rataan tanaman ubi kayu cukup bervariasi. (1) Wagimin, 69 tahun, petani asal Dusun Ngoyog, Desa Beji menanam ubi kayu jenis Gatotkaca yang rata-rata menghasilkan umbi basah 3,33 ton.ha-1. Desa Beji memiliki 88,48% lahan kelas S1. (2) Tukiran, 50 tahun, petani asal Dusun Pakel, Desa Pakel menanam ubi kayu jenis yang sama, rata-rata menghasilkan umbi basah 15,00 ton.ha-1. Desa Pakel memiliki 98,02% lahan kelas S1 (3) Sunardi, 85 tahun, petani asal Dusun Beran, Desa Pranggong menanam ubi kayu jenis Gatotkaca, rata-rata menghasilkan umbi basah 3,20 ton.ha-1. Desa Pranggong memiliki 88,66% lahan kelas S1 (4) Kawoco, 70 tahun, petani asal Dusun Kadipaten, Desa Kadipaten menanam ubi kayu kuning yang rata-rata menghasilkan umbi basah sebanyak 20,00 ton.ha-1. Desa Kadipaten memiliki 71,80% lahan kelas S1. Rata-rata produksi petani tersebut (data primer) adalah 10,38 ton.ha-1. Periode budidaya tanaman berkisar antara 6-12 bulan.
Tabel 4.3. Tabel Produksi Potensi dan Produksi Rata-Rata Kecamatan Andong Nilai Potensi dan Produksi Ubi Kayu (ton.ha-1) Potensi produksi deskripsi 40,00 Potensi kesesuaian minimal S1 (sangat sesuai) 32,00 Potensi kesesuaian minimal S2 (cukup sesuai) 24,00 Potensi kesesuaian minimal S3 (sesuai marginal) 16,00 Produksi rata-rata di Kecamatan Andong (89,56% S1) (primer) 10,38 Produksi rata-rata di Kecamatan Andong (89,56% S1) (sekunder) 18,00 Produksi rata-rata di Kecamatan Andong (89,56% S1) (BPS, 2012) 24,20
22
Informasi dari Tri Ismail, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kecamatan Andong, rata-rata produksi (data sekunder) adalah 18,00 ton.ha-1. Informasi-informasi di atas, diolah pada Tabel 4.3. Dari hasil verifikasi lapangan, rata-rata produksi ubi kayu di Kecamatan Andong adalah 10,38 ton.ha-1 (data primer) dan 18,00 ton.ha-1 (data sekunder). Nilai ini di bawah potensi kesesuaian minimal S1 (32,00 ton.ha-1). Hal ini karena teknologi budidaya tanaman ubi kayu yang dilakukan petani masih kurang tepat, seperti: -
Sebagian petani tidak melakukan pengolahan tanah sebelum menanam, sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal. Pengolahan tanah (medium tanam) diperlukan agar setiap komponen tekstur tanah teraduk, sehingga perkembangan akar lebih baik. Menurut Sundari (2010), tujuan utama pengolahan tanah adalah untuk memperbaiki struktur tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan konservasi tanah.
-
Aktivitas pemeliharaan yang kurang intensif, seperti tidak ada penyiangan, pendangiran,
dan
pembumbunan.
Penyiangan
berfungsi
meminimalkan
kompetisi antara tanaman dengan gulma. Menurut Wargiono (2007) dalam Sundari (2010), gulma dapat menyebabkan produktivitas turun hingga 75,00%. Pendangiran berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah dapat dengan mudah mengikat udara dan air. Pembumbunan berfungsi untuk menggemburkan tanah (Sundari, 2010) dan menutup akar tanaman agar tidak berada di permukaan tanah. Akar tanaman di permukaan tanah menyebabkan umbi tidak berkembang optimal, karena tidak menyerap air dengan baik. Menurut De Silva (2007) dalam Sundari (2010), pembumbunan paling efektif dilakukan pada saat umur tanaman 2-4 bulan. -
Kondisi lahan penanaman yang tidak sesuai dengan syarat tumbuh. Sebagian besar petani menanam ubi kayu di pekarangan rumah atau lahan dengan naungan. Tanaman ubi kayu
yang ternaungi menyebabkan dominasi
pertumbuhan tajuk, yang disebabkan oleh reaksi hormon auksin. Menurut Audus (1972) dalam Gardner dkk (2008), auksin dapat rusak karena sinar, sehingga lama penyinaran yang relatif panjang dimaksudkan untuk memaksimalkan perkembangan umbi, yang didorong oleh aktivitas auksin yang berpindah ke bawah. Gerakan polaritas auksin bersifat basipetal, yaitu dari ujung ke basal dan juga pengaruh geotropisme (gravitasi) (Gardner, 2008). Naungan juga menyebabkan kelembapan tinggi sehingga tanaman rentan terhadap serangan 23
bakteri Xanthomonas campestris pathovar manihotis, yang menyebabkan penyakit hawar daun (bacterial blight disease). Kerugian akibat penyakit ini dapat mencapai 100,00%. Untuk mengelola penyakit ini adalah dengan memotong batang tanaman sakit (Semangun, 1990; 2006; 2008). -
Sebagian petani menanam ubi kayu dengan jarak tanam yang terlalu rapat sekitar 50 cm x 50 cm, sehingga menyebabkan kompetisi antar-individu tinggi. Individu tanaman berkompetisi dalam memperoleh cahaya matahari, ruang pertumbuhan, dan hara, yang menyebabkan produksi umbi rendah. Jarak tanam yang ideal adalah 100 cm x 100 cm (Tongglum dkk, 2001) atau 100 cm x 80 cm (Saleh dkk, 2014).
-
Petani menggunakan stek dari bagian ujung, tengah, maupun pangkal batang. Pemilihan stek pada bagian ujung menyebabkan pertumbuhan batang memanjang karena kandungan asam indolasetat (IAA). Menurut Went (1926) dalam Salisbury dan Ross (1995), IAA pada ujung batang (koleoptil) memacu pemanjangan ujung batang. Pemilihan stek pada bagian pangkal menyebabkan pertumbuhan terhambat karena reproduksi sel rendah. Pemilihan stek yang baik adalah 20-25 cm dari ujung batang atau 15-20 cm dari pangkal (BIP Papua, 1995), sepanjang 20 cm (Tongglum dkk, 2001).
4.3.
Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu di Kecamatan Klego
4.3.1. Faktor Pembatas Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu dan Pemetaan Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu Dari hasil tahapan pencocokan (matching) antara karakteristik biofisik (variabel tanah dan iklim) di Kecamatan Klego dengan karakteristik kesesuaian tanaman ubi kayu menurut Djaenudin (2003), terdapat faktor pembatas maksimal yaitu kelompok tekstur tanah, KTK, dan lereng. Dari proses matching tersebut, masing-masing faktor digunakan untuk menentukan bobot pada ekstensi ModelBuilder ArcView 3.2, sehingga dihasilkan peta kesesuaian tanaman ubi kayu di Kecamatan Klego, sebagai berikut:
24
Gambar 4.2. Peta kesesuaian tanaman ubi kayu di Kecamatan Klego pada skala 1:50.000 (dicetak pada kertas ukuran A0) Tabel 4.4. Tabel Luas Lahan Sesuai Kelas Kesesuaian untuk Kecamatan Klego Luas (ha) Desa S1 S2 S3 N Tidak ada data Bade 234,43 52,30 0,74 0,00 0,00 Banyuurip 350,14 86,19 3,08 0,00 0,20 Blumbang 365,02 40,70 26,88 0,00 0,98 Gondanglegi 296,58 301,77 7,20 0,00 3,48 Jaten 194,70 42,04 72,53 0,00 1,32 Kalangan 246,09 153,01 84,91 0,00 0,00 Karanggatak 180,39 131,66 7,30 0,00 0,70 Karangmojo 215,76 35,73 5,42 0,00 0,84 Klego 267,37 57,66 0,97 0,00 1,33 Sangge 285,30 93,26 34,93 0,00 0,00 Sendangrejo 329,59 223,55 113,13 0,00 0,00 Sumberagung 388,03 88,28 4,25 0,00 1,09 Tanjung 369,25 129,32 68,10 0,00 0,86 Total 3.722,63 1.435,46 429,43 0,00 10,81 Persentase (%) 66,50 25,64 7,67 0,00 0,19 Sumber: hasil analisis primer
25
4.2.3. Deskripsi Kesesuaian Lahan di Kecamatan Klego Kecamatan Klego memiliki kesesuaian lahan sebagai berikut: 1.
Kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai) merupakan lahan yang sangat sesuai untuk
budidaya ubi kayu dan dibutuhkan sangat sedikit material tambahan (input), seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk. Pada kelas S1, tanaman budidaya dapat menghasilkan 100,00-80,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di Kecamatan Klego, kelas lahan S1 tersebar di semua desa. Total luas lahan S1 (sangat sesuai) adalah 3.722,63 ha atau 66,50% dari total luas kecamatan. 2.
Kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) merupakan lahan dengan faktor pembatas
yang akan memengaruhi produktivitas umbi ubi kayu, sehingga perlu material tambahan (input) seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk. Pada kelas lahan S2, tanaman budidaya dapat menghasilkan antara 80,00-60,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di Kecamatan Klego, wilayah yang memiliki kelas lahan S2 adalah Desa Bade (52,30 ha), Banyuurip (86,19 ha), Blumbang (40,70 ha), Gondanglegi (301,77 ha), Jaten (42,04 ha), Kalangan (153,01 ha), Karanggatak (131,66 ha), Karangmojo (35,73 ha), Klego (57,66 ha), Sangge (93,26 ha), Sendangrejo (223,55 ha), Sumberagung (88,28 ha), Tanjung (129,32 ha). Total luas lahan kelas S2 adalah 1.435,46 ha atau 25,64% dari total luas kecamatan. Faktor pembatas pada wilayah-wilayah S2 adalah (1) tekstur tanah termasuk kelompok tanah halus (liat berpasir, liat, liat berdebu) atau tanah agak kasar (lempung berpasir). Tekstur sangat memengaruhi pertumbuhan tanaman, khususnya bagian umbi. Untuk memperbaiki tekstur tanah dapat dilakukan pengolahan tanah dan penambahan bahan organik. (2) Nilai KTK pada kelas tanah S2 adalah ≤16,00. KTK tanah dapat memengaruhi pengikatan ion hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Untuk meningkatkan nilai KTK dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik. (3) Lereng pada kelas S2 adalah antara 8,00-16,00%, yang berarti memiliki tingkat bahaya erosi antara rendah-sedang. Menurut Djaenudin dkk (2011), pada kelas tanah dengan tingkat bahaya erosi rendah-sedang, jumlah tanah yang hilang adalah 0,15-1,80 cm.tahun-1. Untuk meminimalkan bahaya erosi yang disebabkan oleh kelerengan, maka dibuat terasering. 3.
Kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) merupakan lahan dengan faktor pembatas
berat sehingga produktivitas umbi ubi kayu akan terpengaruh. Pada kelas lahan S3 perlu material tambahan (input) seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk yang lebih banyak daripada kelas tanah S2. Tanaman budidaya dapat menghasilkan antara 60,00-40,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di Kecamatan 26
Klego, wilayah yang memiliki lahan kelas ini adalah Desa Bade (0,74 ha), Banyuurip (3,08 ha), Blumbang (26,88 ha), Gondanglegi (7,20 ha), Jaten (72,53 ha), Kalangan (84,91 ha), Karanggatak (7,30 ha), Karangmojo (5,42 ha), Klego (0,97 ha), Sangge (34,93 ha), Sendangrejo (113,13 ha), Sumberagung (4,25 ha), Tanjung (68,10 ha). Total luas lahan kelas S3 adalah 429,43 ha atau 7,67% dari total luas kecamatan. Faktor pembatas pada wilayah-wilayah S3 adalah (1) tekstur tanah termasuk kelompok tanah sangat halus (dominan liat). Tekstur sangat memengaruhi pertumbuhan tanaman, khususnya bagian umbi. Untuk memperbaiki tekstur tanah dapat dilakukan pengolahan tanah dan penambahan bahan organik. (2) Nilai KTK pada kelas tanah S3 adalah ≤16,00. KTK tanah dapat memengaruhi pengikatan ion hara yang dibutuhkan tanaman. Untuk meningkatkan nilai KTK dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik. (3) Lereng pada kelas S3 antara 16,00-30,00%, yang berarti bahwa pada wilayah ini memiliki tingkat bahaya erosi berat. Menurut Djaenudin dkk (2011), pada kelas tanah dengan tingkat bahaya erosi berat, jumlah tanah hilang adalah 1,80-4,80 cm.tahun-1. Untuk meminimalkan bahaya erosi karena kelerengan, maka dibuat terasering. 4.
Berdasarkan pengolahan data menggunakan ekstensi ModelBuilder ArcView 3.2,
di Kecamatan Klego tidak terdapat kelas kesesuaian N (tidak sesuai), sedangkan margin error (tidak ada data) pada pengolahan data Kecamatan Klego adalah 0,19%.
Tabel 4.5. Tabel Potensi Produksi dan Potensi Kesesuaian Menurut Kelas Kesesuaian Potensi Produksi Kelas Kesesuaian Potensi Deskripsi Potensi Kesesuaian Menurut Kelas Lahan (ton.ha-1) (ton.ha-1) Kesesuaian* (%) S1 40,00 100,00-80,00 40,00-32,00 S2 40,00 80,00-60,00 32,00-24,00 S3 40,00 60,00-40,00 24,00-16,00 Keterangan: * Sys dkk (1991)
4.3.2. Verifikasi Kesesuaian Lahan di Kecamatan Klego Berdasarkan verifikasi dengan mewawancarai petani di Kecamatan Klego, hasil rataan tanaman ubi kayu cukup bervariasi. (1) Sumiyati, 35 tahun, petani asal Dusun Gondanglegi, Desa Gondanglegi menanam ubi kayu kuning, rata-rata menghasilkan umbi basah 7,00 ton.ha-1. Desa Gondanglegi memiliki 48,70% lahan kelas S1. (2) Sukardi, 50 tahun, petani asal Dusun Karanganyar, Desa Klego menanam ubi kayu jenis Gatotkaca, Karnama, Rendani dan lokal yang rata-rata seluruhnya menghasilkan umbi basah 11,00 ton.ha-1. Desa Klego memiliki 81,68% lahan kelas S1.
27
(3) Matori, 65 tahun, petani asal Dusun Sumber, Desa Sumberagung menanam ubi kayu jenis Gatotkaca yang rata-rata menghasilkan umbi basah 8,57 ton.ha-1. Desa Sumberagung memiliki 80,56% lahan kelas S1 (4) Sukir, 85 tahun, petani asal Dusun Karanglo, Desa Kalangan menanam ubi kayu jenis Gatotkaca yang rata-rata menghasilkan umbi basah 7,50 ton.ha-1. Desa Kalangan memiliki 50,84% lahan kelas S1. Rata-rata produksi petani tersebut (data primer) adalah 8,52 ton.ha-1. Periode budidaya tanaman berkisar antara 6-12 bulan. Informasi dari Jumeri, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kecamatan Klego, ratarata produksi (data sekunder) adalah 16,91 ton.ha-1. Informasi-informasi di atas, diolah pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Tabel Potensi dan Produksi Rata-Rata Ubi Kayu di Kecamatan Klego Nilai Potensi dan Produksi Ubi Kayu (ton.ha-1) Potensi produksi deskripsi 40,00 Potensi kesesuaian minimal S1 (sangat sesuai) 32,00 Potensi kesesuaian minimal S2 (cukup sesuai) 24,00 Potensi kesesuaian minimal S3 (sesuai marginal) 16,00 Produksi rata-rata di Kecamatan Klego (66,50% S1) (primer) 8,52 Produksi rata-rata di Kecamatan Klego (66,50% S1) (sekunder) 16,91 Produksi rata-rata di Kecamatan Klego (66,50% S1) (BPS, 2012) 23,99 Dari hasil verifikasi lapangan, rata-rata produksi ubi kayu di Kecamatan Klego adalah 8,52 ton.ha-1 (data primer) dan 16,91 ton.ha-1 (data sekunder). Nilai ini di bawah potensi kesesuaian minimal S1 (32,00 ton.ha-1). Hal ini karena teknologi budidaya tanaman ubi kayu yang dilakukan petani masih kurang tepat, seperti: -
Sebagian petani tidak melakukan pengolahan tanah sebelum menanam, sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal. Pengolahan tanah (medium tanam) diperlukan agar setiap komponen tekstur tanah teraduk, sehingga perkembangan akar lebih baik. Menurut Sundari (2010), tujuan utama pengolahan tanah adalah untuk memperbaiki struktur tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan konservasi tanah.
-
Aktivitas pemeliharaan yang kurang intensif, seperti tidak ada penyiangan, pendangiran,
dan
pembumbunan.
Penyiangan
berfungsi
meminimalkan
kompetisi antara tanaman dengan gulma. Menurut Wargiono (2007) dalam Sundari (2010), gulma dapat menyebabkan produktivitas turun hingga 75,00%. Pendangiran berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah dapat
28
dengan mudah mengikat udara dan air. Pembumbunan berfungsi untuk menggemburkan tanah (Sundari, 2010) dan menutup akar tanaman agar tidak berada di permukaan tanah. Akar tanaman di permukaan tanah menyebabkan umbi tidak berkembang optimal, karena tidak menyerap air dengan baik. Menurut De Silva (2007) dalam Sundari (2010), pembumbunan paling efektif dilakukan pada saat umur tanaman 2-4 bulan. -
Kondisi lahan penanaman yang tidak sesuai dengan syarat tumbuh. Sebagian besar petani menanam ubi kayu di pekarangan rumah atau lahan dengan naungan. Tanaman ubi kayu
yang ternaungi menyebabkan dominasi
pertumbuhan tajuk, yang disebabkan oleh reaksi hormon auksin. Menurut Audus (1972) dalam Gardner dkk (2008), auksin dapat rusak karena sinar, sehingga lama penyinaran yang relatif panjang dimaksudkan untuk memaksimalkan perkembangan umbi, yang didorong oleh aktivitas auksin yang berpindah ke bawah. Gerakan polaritas auksin bersifat basipetal, yaitu dari ujung ke basal dan juga pengaruh geotropisme (gravitasi) (Gardner, 2008). Naungan juga menyebabkan kelembapan tinggi sehingga tanaman rentan terhadap serangan bakteri Xanthomonas campestris pathovar manihotis, yang menyebabkan penyakit hawar daun (bacterial blight disease). Kerugian akibat penyakit ini dapat mencapai 100,00%. Untuk mengelola penyakit ini adalah dengan memotong batang tanaman sakit (Semangun, 1990; 2006; 2008). -
Sebagian petani menanam ubi kayu dengan jarak tanam yang terlalu rapat sekitar 50 cm x 50 cm, sehingga menyebabkan kompetisi antar-individu tinggi. Individu tanaman berkompetisi dalam memperoleh cahaya matahari, ruang pertumbuhan, dan hara, yang menyebabkan produksi umbi rendah. Jarak tanam yang ideal adalah 100 cm x 100 cm (Tongglum dkk, 2001) atau 100 cm x 80 cm (Saleh dkk, 2014).
-
Petani menggunakan stek dari bagian ujung, tengah, maupun pangkal batang. Pemilihan stek pada bagian ujung menyebabkan pertumbuhan batang memanjang karena kandungan asam indolasetat (IAA). Menurut Went (1926) dalam Salisbury dan Ross (1995), IAA pada ujung batang (koleoptil) memacu pemanjangan ujung batang. Pemilihan stek pada bagian pangkal menyebabkan pertumbuhan terhambat karena reproduksi sel rendah. Pemilihan stek yang baik adalah 20-25 cm dari ujung batang atau 15-20 cm dari pangkal (BIP Papua, 1995), sepanjang 20 cm (Tongglum dkk, 2001). 29
4.4.
Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu di Kecamatan Simo
4.4.1. Faktor Pembatas Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu dan Pemetaan Kesesuaian Tanaman Ubi Kayu Dari hasil tahapan pencocokan (matching) antara karakteristik biofisik (variabel tanah dan iklim) di Kecamatan Simo dengan karakteristik kesesuaian tanaman ubi kayu menurut Djaenudin (2003), terdapat faktor pembatas maksimal yaitu kelompok tekstur tanah, KTK, dan lereng. Dari proses matching tersebut, masing-masing faktor digunakan untuk menentukan bobot pada ekstensi ModelBuilder ArcView 3.2, sehingga dihasilkan peta kesesuaian tanaman ubi kayu di Kecamatan Simo, sebagai berikut:
Gambar 4.3. Peta kesesuaian tanaman ubi kayu di Kecamatan Simo pada skala 1:50.000 (dicetak pada kertas ukuran A0). 4.4.2. Deskripsi Kesesuaian Lahan di Kecamatan Simo Kecamatan Simo memiliki kesesuaian lahan sebagai berikut: 1.
Kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai) merupakan lahan yang sangat sesuai untuk
budidaya ubi kayu dan dibutuhkan sangat sedikit material tambahan (input), seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk. Pada kelas S1, tanaman budidaya dapat menghasilkan 100,00-80,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di
30
Kecamatan Simo, kelas lahan S1 tersebar di semua desa. Total luas lahan S1 adalah 4.069,48 ha atau 77,57% dari total luas kecamatan.
Tabel 4.7. Tabel Luas Lahan Sesuai Kelas Kesesuaian untuk Kecamatan Simo Luas (ha) Desa S1 S2 S3 N Tidak ada data Bendungan 345,88 2,40 37,88 0,00 1,08 Blagung 399,68 1,05 0,00 0,00 0,64 Gunung 348,66 365,15 45,42 0,00 3,25 Kedunglengkong 338,23 120,45 6,79 0,00 0,00 Pelem 274,46 44,32 31,58 0,00 2,14 Pentur 167,09 193,10 14,36 0,00 4,11 Simo 361,51 1,82 0,11 0,00 0,33 Sumber 258,05 14,19 0,16 0,00 0,12 Talakbroto 169,51 119,84 29,83 0,00 0,94 Temon 393,50 6,20 0,56 0,00 2,16 Teter 358,79 1,21 43,14 0,00 0,36 Wates 422,22 37,44 0,84 0,00 0,00 Walen 231,91 40,91 2,00 0,00 1,09 Total 4.069,48 948,08 212,67 0,00 16,21 Persentase (%) 77,57 18,07 4,05 0,00 0,31 Sumber: hasil analisis primer 2.
Kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) merupakan lahan dengan faktor pembatas
yang akan memengaruhi produktivitas umbi ubi kayu, sehingga perlu material tambahan (input) seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk. Pada kelas lahan S2, tanaman budidaya dapat menghasilkan antara 80,00-60,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di Kecamatan Simo, wilayah yang memiliki lahan kelas S2 adalah Desa Bendungan (2,40 ha), Blagung (1,05 ha), Gunung (365,15 ha), Kedunglengkong (120,45 ha), Pelem (44,32 ha), Pentur (193,10 ha), Simo (1,82 ha), Sumber (14,19 ha), Talakbroto (119,84 ha), Temon (6,20 ha), Teter (1,21 ha), Wates (37,44 ha), Walen (40,91 ha). Total luas lahan kelas S2 adalah 948,08 ha atau 18,07% dari total luas wilayah kecamatan. Faktor pembatas pada wilayah-wilayah S2 adalah (1) tekstur tanah termasuk kelompok tanah halus (liat berpasir, liat, liat berdebu) atau tanah agak kasar (lempung berpasir). Tekstur sangat memengaruhi pertumbuhan tanaman, khususnya bagian umbi. Untuk memperbaiki tekstur tanah dapat dilakukan pengolahan tanah dan penambahan bahan organik. (2) Nilai KTK pada kelas tanah S2 adalah ≤16,00. KTK tanah dapat memengaruhi pengikatan ion hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
31
tanaman. Untuk meningkatkan nilai KTK dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik. (3) Lereng pada kelas S2 adalah antara 8,00-16,00%, yang berarti memiliki tingkat bahaya erosi antara rendah-sedang. Menurut Djaenudin dkk (2011), pada kelas tanah dengan tingkat bahaya erosi rendah-sedang, jumlah tanah yang hilang adalah 0,15-1,80 cm.tahun-1. Untuk meminimalkan bahaya erosi yang disebabkan oleh kelerengan, maka dibuat terasering. 3.
Kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) merupakan lahan dengan faktor pembatas
berat sehingga produktivitas umbi ubi kayu akan terpengaruh. Pada kelas lahan S3 perlu material tambahan (input) seperti pengolahan tanah, pengairan, bahan organik, dan pupuk yang lebih banyak daripada kelas tanah S2. Tanaman budidaya dapat menghasilkan antara 60,00-40,00% dari potensi hasil (Sys dkk, 1991). Di Kecamatan Simo, wilayah yang memiliki lahan kelas S3 adalah Desa Bendungan (37,88 ha), Gunung (45,42 ha), Kedunglengkong (6,79 ha), Pelem (31,58 ha), Pentur (14,36 ha), Simo (0,11 ha), Sumber (0,16 ha), Talakbroto (29,83 ha), Temon (0,56 ha), Teter (43,14 ha), Wates (0,84 ha), Walen (2,00 ha). Total luas lahan kelas S3 (sesuai marginal) adalah 212,67 ha atau 4,05% dari total luas kecamatan. Faktor pembatas pada wilayahwilayah S3 adalah (1) tekstur tanah termasuk kelompok tanah sangat halus (dominan liat). Tekstur sangat memengaruhi pertumbuhan tanaman, khususnya bagian umbi. Untuk memperbaiki tekstur tanah dapat dilakukan pengolahan tanah dan penambahan bahan organik. (2) Nilai KTK pada kelas tanah S3 adalah ≤16,00. KTK tanah dapat memengaruhi pengikatan ion hara yang dibutuhkan tanaman. Untuk meningkatkan nilai KTK dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik. (3) Lereng pada kelas S3 antara 16,00-30,00%, yang berarti bahwa pada wilayah ini memiliki tingkat bahaya erosi berat. Menurut Djaenudin dkk (2011), pada kelas tanah dengan tingkat bahaya erosi berat, jumlah tanah yang hilang adalah 1,80-4,80 cm.tahun-1. Untuk meminimalkan bahaya erosi yang disebabkan oleh kelerengan, maka dibuat terasering. 4.
Berdasarkan pengolahan data menggunakan ekstensi ModelBuilder ArcView 3.2,
di Kecamatan Simo tidak terdapat kelas kesesuaian N (tidak sesuai), sedangkan margin error (tidak ada data) pada pengolahan data Kecamatan Simo adalah 0,31%.
4.4.3. Verifikasi Kesesuaian Lahan di Kecamatan Simo Berdasarkan verifikasi dengan cara mewawancarai petani di Kecamatan Simo, hasil rataan tanaman ubi kayu cukup bervariasi. (1) Antok, 40 tahun, petani asal Dusun Tewel, Desa Temon menanam ubi kayu hibrida yang rata-rata menghasilkan umbi 32
basah 20,00 ton.ha-1. Desa Temon memiliki 97,78% lahan kelas S1. (2) Mulyadi, 52 tahun, petani asal Dusun Tempuran, Desa Simo menanam ubi kayu jenis Gatotkaca yang rata-rata menghasilkan umbi basah 30,00 ton.ha-1. Desa Simo memiliki 99,38% lahan kelas S1. (3) Dalami, 58 tahun, petani asal Dusun Sanggrahan, Desa Pelem menanam ubi kayu jenis Gatotkaca yang rata-rata menghasilkan umbi basah 12,00 ton.ha-1. Desa Pelem memiliki 77,86% lahan kelas S1. (4) Sumadi, 50 tahun, petani asal Dusun Tegalrejo, Desa Pentur menanam ubi kayu jenis Gatotkaca, Bayeman, Ketan (lokal) yang rata-rata seluruhnya menghasilkan umbi basah sebanyak 12,00 ton.ha-1. Desa Pentur memiliki 44,13% lahan kelas S1. (5) Tukinah, 70 tahun, petani asal Dusun Sentul, Desa Talakbroto menanam ubi kayu jenis Menthik yang rata-rata menghasilkan umbi basah 9,00 ton.ha-1. Desa Talakbroto memiliki 52,95% lahan kelas S1. Rata-rata produksi petani tersebut (data primer) adalah 16,60 ton.ha-1. Periode budidaya tanaman berkisar antara 6-12 bulan. Informasi dari Sumbul, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kecamatan Simo, rata-rata produksi (data sekunder) adalah 19,94 ton.ha-1. Informasi-informasi di atas, diolah pada Tabel 4.9.
Tabel 4.8. Tabel Potensi Produksi dan Potensi Kesesuaian Menurut Kelas Kesesuaian Potensi Produksi Kelas Kesesuaian Potensi Deskripsi Menurut Kelas Potensi Kesesuaian Lahan (ton.ha-1) Kesesuaian (ton.ha-1) (Sys, 1991) (%) S1 40,00 100,00-80,00 40,00-32,00 S2 40,00 80,00-60,00 32,00-24,00 S3 40,00 60,00-40,00 24,00-16,00 Tabel 4.9. Tabel Potensi dan Produksi Rata-Rata Ubi Kayu di Kecamatan Simo Nilai Potensi dan Produksi Ubi Kayu (ton.ha-1) Potensi produksi deskripsi 40,00 Potensi kesesuaian minimal S1 (sangat sesuai) 32,00 Potensi kesesuaian minimal S2 (cukup sesuai) 24,00 Potensi kesesuaian minimal S3 (sesuai marginal) 16,00 Produksi rata-rata di Kecamatan Simo (77,57% S1) (primer) 16,60 Produksi rata-rata di Kecamatan Simo (77,57% S1) (sekunder) 19,94 Produksi rata-rata di Kecamatan Simo (77,57% S1) (BPS, 2012) 13,84 Dari hasil verifikasi lapangan, rata-rata produksi ubi kayu di Kecamatan Simo adalah 16,60 ton.ha-1 (data primer) dan 19,94 ton.ha-1 (data sekunder). Nilai ini di bawah potensi kesesuaian minimal S1 (32,00 ton.ha-1). Hal ini karena teknologi budidaya tanaman ubi kayu yang dilakukan petani masih kurang tepat, seperti: 33
-
Sebagian petani tidak melakukan pengolahan tanah sebelum menanam, sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal. Pengolahan tanah (medium tanam) diperlukan agar setiap komponen tekstur tanah teraduk, sehingga perkembangan akar lebih baik. Menurut Sundari (2010), tujuan utama pengolahan tanah adalah untuk memperbaiki struktur tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan konservasi tanah.
-
Aktivitas pemeliharaan yang kurang intensif, seperti tidak ada penyiangan, pendangiran,
dan
pembumbunan.
Penyiangan
berfungsi
meminimalkan
kompetisi antara tanaman dengan gulma. Menurut Wargiono (2007) dalam Sundari (2010), gulma dapat menyebabkan produktivitas turun hingga 75,00%. Pendangiran berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah dapat dengan mudah mengikat udara dan air. Pembumbunan berfungsi untuk menggemburkan tanah (Sundari, 2010) dan menutup akar tanaman agar tidak berada di permukaan tanah. Akar tanaman di permukaan tanah menyebabkan umbi tidak berkembang optimal, karena tidak menyerap air dengan baik. Menurut De Silva (2007) dalam Sundari (2010), pembumbunan paling efektif dilakukan pada saat umur tanaman 2-4 bulan. -
Kondisi lahan penanaman yang tidak sesuai dengan syarat tumbuh. Sebagian besar petani menanam ubi kayu di pekarangan rumah atau lahan dengan naungan. Tanaman ubi kayu
yang ternaungi menyebabkan dominasi
pertumbuhan tajuk, yang disebabkan oleh reaksi hormon auksin. Menurut Audus (1972) dalam Gardner dkk (2008), auksin dapat rusak karena sinar, sehingga lama penyinaran yang relatif panjang dimaksudkan untuk memaksimalkan perkembangan umbi, yang didorong oleh aktivitas auksin yang berpindah ke bawah. Gerakan polaritas auksin bersifat basipetal, yaitu dari ujung ke basal dan juga pengaruh geotropisme (gravitasi) (Gardner, 2008). Naungan juga menyebabkan kelembapan tinggi sehingga tanaman rentan terhadap serangan bakteri Xanthomonas campestris pathovar manihotis, yang menyebabkan penyakit hawar daun (bacterial blight disease). Kerugian akibat penyakit ini dapat mencapai 100,00%. Untuk mengelola penyakit ini adalah dengan memotong batang tanaman sakit (Semangun, 1990; 2006; 2008). -
Sebagian petani menanam ubi kayu dengan jarak tanam yang terlalu rapat sekitar 50 cm x 50 cm, sehingga menyebabkan kompetisi antar-individu tinggi. Individu tanaman berkompetisi dalam memperoleh cahaya matahari, ruang pertumbuhan, 34
dan hara, yang menyebabkan produksi umbi rendah. Jarak tanam yang ideal adalah 100 cm x 100 cm (Tongglum dkk, 2001) atau 100 cm x 80 cm (Saleh dkk, 2014). -
Petani menggunakan stek dari bagian ujung, tengah, maupun pangkal batang. Pemilihan stek pada bagian ujung menyebabkan pertumbuhan batang memanjang karena kandungan asam indolasetat (IAA). Menurut Went (1926) dalam Salisbury dan Ross (1995), IAA pada ujung batang (koleoptil) memacu pemanjangan ujung batang. Pemilihan stek pada bagian pangkal menyebabkan pertumbuhan terhambat karena reproduksi sel rendah. Pemilihan stek yang baik adalah 20-25 cm dari ujung batang atau 15-20 cm dari pangkal (BIP Papua, 1995), sepanjang 20 cm (Tongglum dkk, 2001).
35