BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pojok Bursa Efek Indonesia Universitas Mercu Buana dengan data yang diambil adalah harga penutupan dari tahun 2009-2015, untuk IHSG. Sedangkan untuk tingkat suku bunga SBI, tingkat inflasi dan nilai tukar data diambil berdasarkan laporan publikasi di www.bi.go.id; dan untuk produk domestik bruto data diambil berdasarkan laporan publikasi di www.bps.go.id.
B. Deskripsi Variabel Penelitian Dalam penelitian ini, terdapat 5 (lima) variabel yang akan dianalisis, dimana kelima variabel tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu variabel dependen yang digunakan adalah IHSG; dan variabel independen yang digunakan adalah Inflasi, Suku Bunga SBI, Nilai Tukar (Kurs), dan PDB. 1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Menurut Samsul (2006:179), indeks harga saham adalah harga saham yang dinyatakan dalam angka indeks. Widoatmojo (2008), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan harga saham secara umum yang tercatat di bursa efek. Secara
80 http://digilib.mercubuana.ac.id/
81
matematis, historical volatility untuk setiap saham dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Parkinson, 1980):
PV =
1 n
1n (
Ht ) Lt
Keterangan : PV
: High–Low Volatility Estimator
1n
: logaritma natural
n
: jumlah observasi
Hi
: Intraday High Price
Li
: Intraday Low Price Perkembangan IHSG di Bursa Efek Indonesia untuk periode
tahun 2009-2015 dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut. GAMBAR 4.1 GRAFIK PERKEMBANGAN IHSG
IHSG 6,000
Point
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015 Periode
Sumber: Data yang diolah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
82
Seiring dengan perkembangan yang terjadi di pasar modal, pergerakan IHSG mengalami periode naik dan turun. Berdasarkan gambar 4.1 yang tersaji diatas dapat dilihat bahwa volatilitas yang tinggi terjadi pada tahun 2013 dan tahun 2015 di akhir-akhir bulan. Menurut Hamid (2009), pergerakan harga saham merupakan suatu yang dinamis, dimana perubahannya dipengaruhi oleh banyak faktor internal maupun eksternal. Kemampuan dalam memilih waktu yang tepat, baik dalam membeli maupun menjual saham tentunya sangat berpengaruh terhadap keuntungan yang akan diperoleh. Prinsip dasar dari transaksi perdagangan yang menguntungkan ialah membeli pada harga yang rendah dan menjual pada harga yang tinggi (buy low sell high), karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi harga saham, maka tentu sulit untuk menilai apakah harga saham saat ini rendah atau tinggi, terutama untuk memprediksi harga saham untuk waktu yang akan datang.
2. Tingkat Inflasi Syamsudin (2009:125) mengemukakan bahwa inflasi adalah peningkatan harga-harga yang mencakup seluruh barang dan jasa. Dua teori inflasi yang dikemukakannya mencakup teori kuantitas uang dan teori permintaan dan penawaran inflasi. Teori kuantitas uang menyangkut suatu peningkatan kuantitas uang sebagai penyebab, walaupun tidak selamanya peningkatan kuantitas uang selalu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
83
menyebabkan inflasi. Teori permintaan dan penawaran inflasi yaitu membedakan antara pasar komoditas dengan pasar faktor yang samasama pentingnya. Menurut Waluyo (2009:160), ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur inflasi, diantaranya: a. General Price Cara umum yang digunakan untuk menghitung inflasi adalah dengan angka-angka harga umum (general price). Dalam banyak penelitian empiris, khususnya di negara berkembang, pengamat ekonomi sering dihadapkan pada suatu kesulitan untuk mendapatkan angka-angka harga umum. Berbagai cara untuk mendapatkan taksiran harga umum dan laju inflasi telah banyak dicoba, walaupun penafsiran yang satu dengan yang lain menghasilkan angka dan pengaruh yang berbeda. b. Angka Deflator Produk Nasional Bruto (GNP Deflator) Kelemahan dari cara ini adalah sulitnya diperoleh angka deflator PNB bulanan, triwulanan, semesteran. Sehingga hanya mempunyai angka deflator dan laju inflasi tahunan. c. Indeks Harga Konsumen Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan dalam menghitung inflasi. Hal ini disebabkan data Indeks Harga Konsumen dapat diperoleh dalam bentuk bulanan, triwulan ataupun tahunan. Untuk indonesia data Indeks Harga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
84
Konsumen cukup mudah diperoleh baik dari laporan BPS, BI atau lembaga lainnya. Model dari Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah sebagai berikut: LI =
IHK − IHK IHK
× 100
Dimana: LI = Laju Inflasi pada periode t IHK = Indeks Harga Konsumen periode t IHK
= Indeks Harga Konsumen periode t-1
d. Atas Harga Yang Diharapkan Cara ini menitik beratkan pada perhitungan harga dan laju inflasi pada periode yang berlaku, dan yang ditonjolkan adalah peranan harga yang diharapkan pada periode yang akan datang. Masalah yang dihadapi dalam penentuan atas harga pengharapan adalah kesulitan untuk mengamati perilaku masyarakat dan pemerintah dalam perekonomian. e. Indeks Harga Dalam Negeri dan Luar Negeri Kesulitan dalam hal ini adalah menentukan Indeks Harga Dalam Negeri dan proporsinya terhadap Indeks Harga Umum. Sejauh ini, biasanya Indeks Harga Ekspor dipakai sebagai pendekatan terhadap Indeks Harga Luar Negeri, akan tetapi tidak diketahui proporsinya terhadap Indeks Harga Umum. Laju
inflasi
merupakan
suatu
indikator
yang
sangat
menentukan perekonomian makro disuatu negara. Jika inflasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
85
bermasalah akan menyebabkan ketidakstabilan suatu perekonomian yang akhirnya akan memperburuk kinerja perekonomian suatu negara. Oleh sebab itu, pemerintah disudutkan agar segera menangani masalah yang terjadi pada inflasi (Widodo, 2011).
3. Tingkat Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Prastowo (2011:9), mendefinisikan suku bunga sebagai tingkat pengembalian aset yang mempunyai risiko mendekati nol. Menurut Case dan Fair (2007:635), suku bunga merupakan pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman. Suku bunga dalam pengertian Sertifikat Bank Indonesia atau BI rate, dimana BI rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Peningkatan suku bunga membuat nilai imbal hasil dari deposito dan obligasi menjadi lebih menarik, sehingga banyak investor pasar modal yang mengalihkan portofolio sahamnya. Meningkatnya aksi jual dan minimnya permintaan akan menurunkan harga saham dan sebaliknya.
4. Nilai Tukar (Kurs) Menurut
Madura
(2007:86)
menyatakan
bahwa
kurs
merupakan perbandingan nilai antara dua mata uang. Kurs atau nilai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
86
tukar adalah harga-harga dari mata uang luar negeri (Dornbusch, 2008:46). Kurs berubah atau bergerak setiap saat, kondisi ini memaksa para pemegang mata uang asing memperoleh kesempatan untuk mendapatkan keuntungan maupun kerugian akibat perubahan tersebut.
5. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Berdasarkan Badan Pusat Statistik, salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Pada dasarnya, PDB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi akan diukur melalui perkembangan PDB yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Adapun cara perhitungannya, sebagai berikut: ∆ PDB =
PDB − PDB ( − 1) × 100% PDB ( − 1)
Dimana : ∆ PDB = Pertumbuhan ekonomi (rate of growth) PDB = Produk domestik bruto − 1 = Tahun sebelum
http://digilib.mercubuana.ac.id/
87
C. Analisis Stasioneritas Data 1. Uji Stasioneritas Dalam pengujian ini akan dilihat apakah data yang ada terkena akar unit atau tidak. Hipotesis akan dirumuskan sebagai berikut: H : y = 0, artinya terdapat unit root (data tidak stasioner) H : y ≠ 0, artinya tidak terdapat unit root (data stasioner) Tabel 4.1 Uji Akar Unit Augmented Dickey Fuller (ADF)–test pada tingkat Level Variabel
ADF test
Level CV 5%
IHSG -2.730358 -2.896779 INF -3.236432 -2.897223 SBI -1.880566 -2.897223 KURS 0.815069 -2.896779 PDB -1.624792 -2.896779 Sumber: Data yang diolah, Lampiran 2
Prob.* 0.0732 0.0214 0.3398 0.9938 0.4655
Ho = Tidak Stasioner Ha = Stasioner Menerima Ho Menolak Ho Menerima Ho Menerima Ho Menerima Ho
Pada hasil uji di tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa data dari ke empat
variabel
(IHSG,
INF,
KURS,
dan
PDB)
menujukkan
ketidakstasioneran sedangkan pada variabel SBI menunjukkan data yang stasioner, pada tingkat level. Hal tersebut mengacu pada syarat yang telah ditentukan jika nilai PP-test lebih kecil daril nilai Critical Value 5% (PPtest < CV 5%) maka data dianggap tidak stasioner begitupun sebaliknya. Maka kesimpulan yang diambil adalah diterimanya Ho pada variabel IHSG, INF, KURS, dan PDB; sedangkan pada variabel SBI Ho ditolak yang artinya data sudah stasioner. Dalam hal ini, langkah selanjutnya yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
88
harus diambil adalah melakukan uji Derajat Integrasi, agar semua variabel data yang diuji mengalami kestasioneran pada tingkat yang sama.
2. Uji Derajat Integrasi Pada uji akar unit ADF-test, menghasilkan bahwa ke empat data yang diolah menujukkan hasil ketidakstasioneran, maka hal selanjutnya yang dilakukukan adalah proses diferensiasi data. Uji data yang mengalami proses diferensiasi disebut dengan uji derajat integrasi. Tabel 4.2 Uji Akar Unit Augmented Dickey Fuller (ADF)–test pada tingkat First Difference Variabel
ADF-test IHSG -8.424022 INF -5.473088 SBI -4.903239 KURS -6.751941 PDB -5.321528 Sumber: Lampiran 3
First Difference CV 5% -2.897223 -2.897223 -2.897223 -2.897223 -2.898145
Prob.* 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000
Ho = Tidak Stasioner Ha = Stasioner Menolak Ho Menolak Ho Menolak Ho Menolak Ho Menolak Ho
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa data yang diuji pada semua variabel sudah stasioner pada first difference. Hal tersebut mengacu pada syarat yang telah ditentukan jika nilai PP-test lebih besar daril nilai Critical Value 5% (ADF-test < CV 5%) maka data dianggap telah stasioner. Maka kesimpulan yang diambil adalah diterimanya Ho pada semua data yang telah diolah yang artinya kesemua data sudah stasioner
http://digilib.mercubuana.ac.id/
89
pada first difference. Sehingga pengujian dapat dilanjutkan ketahap selanjutnya yaitu menentukan lag optimal.
D. Penentuan Lag Optimal Salah satu permasalahan yang terjadi dalam uji stasioneritas adalah menentukan lag optimal. Jika lag yang dimasukkan terlalu sedikit maka residual dari regresi akan menampilkan proses white noise sehingga model tidak dapat mengestimasi error yang sebenarnya secara tepat. Namun sebaliknya, jika dimasukkan lag yang terlalu banyak, maka kemampuan untuk menolak Ho akan berkurang karena penambahan parameter yang terlalu banyak akan mengurangi derajat bebas. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan melihat panjang lag maksimum agar sistem VAR berada dalam kondisi stabil, apabila sistem VAR stabil maka seluruh roots memiliki modulus lebih kecil dari satu. Begitu pun sebaliknya, jika nilai modulus lebih besar dari satu maka hal tersebut menunjukkan adanya ketidakstabilan. Sistem VAR yang berada dalam keadaan stabil ditunjukkan pada tabel 4.3 berikut:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
90
TABEL 4.3 PENGUJIAN KESTABILAN SISTEM VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(IHSG) D(INF) D(SBI) D(KURS) D(PDB) Exogenous variables: C Lag specification: 1 10 Root Modulus 0.257520 - 0.958721i 0.992704 0.257520 + 0.958721i 0.992704 0.945864 + 0.296019i 0.991103 0.945864 - 0.296019i 0.991103 -0.490874 + 0.841231i 0.973974 -0.490874 - 0.841231i 0.973974 0.654241 + 0.715568i,, dst 0.969572,, dst No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. Sumber: Data yang diolah, Lampiran 4 Dari tabel diatas terlihat lag specification berada pada Lag 10 dengan nilai modulus 0.992704 yang lebih kecil dari satu sehingga sistem VAR berada pada keadaan stabil. Pemilihan lag specification yang melebihi lag 10 akan menghasilkan nilai modulus yang bernilai melebihi satu sehingga kondisi kestabilan pada VAR tidak terpenuhi. Setelah mendapatkan lag maksimum hingga lag 10, maka selanjutnya akan dipilih lag optimal diantara lag 1 hingga lag 10. Dalam menentukan lag optimal, dapat digunakan kriteria yang mempunyai final prediction error correction (FPE) atau jumlah dari AIC, SIC, HQ yang paling kecil diantara lag lain yang diajukan. Hasil penentuan lag optimal terlihat pada gambar 4.2 berikut:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
91
GAMBAR 4.2 HASIL PENGUJIAN LAG OPTIMAL
Sumber: Data yang diolah Dari hasil pengolahan data pada gambar diatas dapat dilihat bahwa dalam pengujian lag optimal pada Indeks Harga Saham Gabungan, kandidat yang disarankan (bertanda bintang) adalah lag 0 dan lag 1. Dimana kriteria LR, FPE, AIC berada pada lag 1 sedangkan kriteria SC dan HQ berada pada lag 1. Karena Lag 0 tidak dapat dimasukkan sebagai lag optimal, maka lag yang akan diambil sebagai lag optimal adalah lag 1.
E. Uji Kointegrasi Multivariat : Johansen Test Keberadaan variabel yang stasioner pada derajat yang sama dapat mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang dari variabel-variabel
http://digilib.mercubuana.ac.id/
92
tersebut. Oleh karena itu, dilakukan pengujian kointegrasi (Johansen Cointegration). Uji ini berdasarkan pada kerangka model VAR dengan memasukkan komponen error-correction untuk membuktikan keberadaan kointegrasi yang biasanya disebut Vector Error Correction Model (VECM). Sebelum melakukan uji kointegrasi, tentukan terlebih dahulu asumsi deterministic yang paling tepat untuk digunakan dalam pengujian kointegrasi. Hasil output penentuan asumsi deterministic terlihat sebagai berikut: GAMBAR 4.3 PENENTUAN ASUMSI PADA UJI KOINTEGRASI
Sumber: Data yang diolah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
93
Dari kelima asumsi yang ada, terlihat pada gambar 4.3 output Johansen Cointegration Test diperoleh asumsi 4. Dimana y tidak memiliki trend dan persamaan kointegrasi memiliki intercept dan tidak ada trend. Dalam pengujian kointegrasi, ada atau tidaknya keseimbangan jangka panjang antar variabel diidentifikasikan dengan cara membandingkan antara nilai estimasi trace statistic dengan nilai kritisnya (critical value) dengan tingkat signifikansi 5%. Jika nilai estimasi trace statistic lebih besar daripada nilai kritisnya pada tingkat signifikansi 5%, maka disimpulkan bahwa vektor kointegrasi pada tingkat signifikan 5%. Hasil analisis uji kointegrasi Johansen di tunjukkan pada tabel 4.4 dibawah ini.
TABEL 4.4 HASIL DARI JOHANSEN COINTEGRATION TEST 0.05 Hypothesized Trace Statistic Critical Value No. Of CE(s) None * 86.46537 79.34145 At most 1 50.10403 55.24578 At most 2 27.53306 35.01090 At most 3 13.17419 18.39771 At most 4 1.637280 3.841466 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Sumber : Data yang diolah, Lampiran
Prob.** 0.0131 0.1314 0.2508 0.2305 0.2007
Dari hasil uji kointegrasi pada tabel 4.4 di atas, terdapat 1 vektor yang mempunyai nilai trace statistic lebih besar dibandingkan nilai kritisnya pada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
94
tingkat signifikan 5%. Hal ini menunjukkan adanya kointegrasi (hubungan keseimbangan jangka panjang) antara IHSG dengan variabel makroekonomi yang diuji. Walaupun terdapat keseimbangan jangka panjang, dalam jangka pendek mungkin saja antara variabel-variabel yang diuji tidak mencapai keseimbangan. Dalam hal ini, keinginan jangka pendek pelaku ekonomi belum tentu sama dengan apa yang terjadi sebenarnya. Karena adanya ketidaksamaan tersebut maka diperlukan suatu penyesuain (adjusment). Model
yang
memasukkan
penyesuaian
untuk
melakukan
koreksi
ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang dalam Johansen test disebut dengan Vector Error Correction Model (VECM). Maka, untuk menentukan apakah variabel bebas berpengaruh atau tidaknya terhadap variabel terikat, diperlukan model VECM untuk dijadikan kesimpulannya.
F. Model VECM (Vector Error Correction Model) Hasil dari pengolahan pada uji VECM didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan jangka panjang dan jangka pendek antara variabel dependen (IHSG) dengan variabel independen (INF, SBI, KURS, dan PDB). Berdasarkan lag optimal yang didapat yaitu dengan menggunakan lag 1, maka hasil model VECM secara jangka panjang terlihat dalam tabel 4.5 dibawah ini:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
95
TABEL 4.5 MODEL VECM JANGKA PANJANG Jangka Panjang Variabel Koefisien T-Statistik LNIHSG(-1) 1.000000 INF(-1) -0.247919 -3.57488 SBI(-1) -0.045535 -0.16607 LNKURS(-1) 1.161853 2.78039 PDB(-1) -0.045131 -0.16631 C -19.32183 Sumber : Data yang diolah, Lampiran Ketentuannya:
Keterangan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan
= 5% : ± 1.98118 (Signifikan)
Pada tabel 4.5 diatas merupakan hasil analisis VECM yang digunakan untuk melihat pengaruh variabel yang signifikan dalam jangka panjang. Kesimpulannya adalah variabel Inflasi (INF) dan Nilai Tukar (KURS) berpengaruh secara signifikan terhadap IHSG yang dimasing-masing variabel tersebut memiliki nilai t-statistik yang signifikan yaitu lebih besar dari nilai ttabel (1.98118). Dimana nilai t-statistik inflasi sebesar -3.57488 dengan nilai koefisiennya sebesar -0.247919. Tanda negatif pada nilai koefisien diartikan sebagai adanya pengaruh yang berlawanan arah antar variabel. Jika nilai inflasi mengalami kenaikan sebesar 1% maka IHSG akan mengalami penurunan sebesar 0.247919 point. Dan untuk variabel nilai tukar nilai tstastistiknya sebesar 2.78039 dengan nilai koefisien sebesar 1.161853. Tanda positif pada nilai koefisien diartikan bila terjadi kenaikan pada nilai tukar sebesar Rp 1, maka juga akan menyebabkan kenaikan pada IHSG sebesar 1.161853.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
96
Sedangkan untuk variabel Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Pertumbuhan Produk Domestic Bruto (PDB) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG, dimana masing-masing variabel memiliki nilai t-statistik yang lebih kecil dari nilai t-tabelnya dengan taraf signifikansi 5%, dimana nilai t-statistik untuk variabel suku bunga SBI sebesar -0.16607 dan untuk pertumbuhan PDB sebesar -0.16631. Maka, persamaan yang dihasilkan dari VECM tersebut adalah: LNIHSG = – 19.32183 –0.247919*INF(-1) – 0.045535*SBI(-1) + 1.161853*LNKURS(-1) – 0.045131*PDB(-1) Berdasarkan persamaan VECM yang telah terbentuk diatas, maka disimpulkan bahwa secara jangka panjang variabel inflasi memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap IHSG. Dan variabel nilai tukar memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap IHSG. TABEL 4.6 MODEL VECM JANGKA PENDEK Jangka Pendek Variabel Koefisien T-Statistik CointEq1 -0.180415 -3.52604 D(LNIHSG(-1)) 0.065599 0.54632 D(INF(-1) -0.085794 -2.08321 D(SBI(-1) -0.526191 -2.11824 D(LNKURS(-1)) -0.076980 -0.28413 D(PDB(-1) -0.092375 -0.74598 R-squared 0.302288 Adj. R-squared 0.246471 Sumber: Data yang diolah, Lampiran Ketentuannya:
= 5% : ± 1.98118 (Signifikan)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Keterangan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan
97
Pada tabel 4.6 diatas merupakan hasil analisis VECM yang digunakan untuk melihat pengaruh variabel yang signifikan dalam jangka pendek. Kesimpulan yang didapatkan bahwa variabel inflasi dan suku bunga SBI memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap IHSG, dimana masing-masing variabel tersebut memiliki nilai t-statistik yang lebih besar dibandingkan nilai t-tabelnya. Dimana, nilai t-statistik variabel inflasi sebesar -2.08321 dengan nilai koefisiennya sebesar -0.085794. Tanda negatif pada koefisien diartikan jika tingkat inflasi mengalami kenaikan sebesar 1% maka akan berpengaruh pada menurunnya IHSG sebesar 0.085794 point. Dan untuk variabel suku bunga SBI nilai t-statistiknya sebesar -2.11824 dengan nilai koefisien sebesar -0.526191. Tanda negatif pada koefisien diartikan sebagai adanya pengaruh yang berlawanan arah antara suku bunga SBI dengan IHSG. Jika tingkat suku bunga SBI mengalami kenaikan sebesar 1% maka nilai IHSG akan mengalami penurunan sebesar 0.526191 point. Sedangkan untuk variabel nilai tukar dan Pertumbuhan Produk Domestic Bruto (PDB) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG, dimana masing-masing variabel memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai t-tabelnya dengan taraf signifikansi 5%, dimana nilai t-statistik untuk variabel nilai tukar sebesar -0.28413 dan untuk pertumbuhan PDB sebesar 0.74598. Maka, persamaan yang dihasilkan dari VECM tersebut adalah:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
98
LNIHSG = 0.013231 – 0.085794*D(INF(-1)) – 0.526191*D(SBI(-1)) – 0.076980*D(LNKURS(-1)) – 0.092375*D(PDB(-1)) – 0.180415*CointEq1 Berdasarkan persamaan VECM yang telah terbentuk diatas, maka disimpulkan bahwa secara jangka pendek antara variabel inflasi dan nilai tukar memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap IHSG.
G. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Pengaruh Inflasi (INF) terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) a) Jangka Pendek Hasil estimasi jangka pendek pada variabel inflasi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan. Dimana, hasil ini membuktikan bahwa adanya perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tatom (2002) dan Murni (2010), dimana pada hasil penelitiannya menjabarkan bahwa faktor inflasi berpengaruh secara positif terhadap indeks harga saham. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya hubungan inflasi dengan kemampuan daya beli masyarakat, dimana jika tingkat inflasi mengalami kenaikan maka akan membuat kemampuan daya beli masyarakat yang menurun sehingga akan membuat para investor menilai rendah pada investasi di pasar modal. Sehingga inflasi yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
99
meningkat akan membuat indeks harga saham gabungan menjadi turun. b) Jangka Panjang Hasil estimasi jangka panjang pun menunjukkan hasil yang sama, yaitu variabel inflasi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa para investor tidak akan tertarik dengan kegiatan berinvestasi di pasar modal jika tingkat inflasi yang ada mengalami kenaikan. Maka, kesimpulannya baik secara jangka pendek maupun jangka panjang inflasi akan berpengaruh secara negatif terhadap IHSG. Selain itu, hasil ini membuktikan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Sukadani (2015) sesuai dan memiliki hasil estimasi yang sama dengan penelitian ini.
2. Pengaruh Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) a) Jangka Pendek Hasil estimasi jangka pendek pada variabel suku bunga SBI memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan. Dimana, hasil tersebut sesuai dengan teori yang telah dijabarkan oleh Keynes dan Nopirin (1997), yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga yang meningkat akan menyebabkan penurunan pada nilai harga saham di bursa efek,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
100
begitu pun sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena kemungkinan pihak investor akan lebih tertarik untuk menginvestasikan modalnya ke dalam bentuk saham jika tingkat suku bunga SBI yang berlaku mengalami penurunan, sehingga keuntungan yang didapat oleh investor akan lebih besar. Serta, dalam hasil ini telah memberikan implikasi teoritis bahwa secara impiris semakin meningkatnya suku bunga SBI akan memberikan pengaruh yang negatif (berlawanan arah) terhadap IHSG. b) Jangka Panjang Hasil estimasi jangka panjang pada variabel suku bunga SBI tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG. Hal ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang investor tidak ingin menginvestasikan dananya dalam kegiatan investasi manapun yang akan membuat tingkat risiko menjadi lebih tinggi. Selain itu, investor akan enggan melakukan kegiatan investasi jika tidak adanya kepastian mendapatkan keuntungan timbal balik yang besar dalam jangka panjang.
3. Pengaruh Nilai Tukar (Kurs) terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) a) Jangka Pendek Hasil estimasi jangka pendek pada variabel nilai tukar tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks harga saham
http://digilib.mercubuana.ac.id/
101
gabungan. Hal ini membuktikan bahwa dalam jangka pendek para investor lebih memperhitungkan faktor spekulasi lainnya, sehingga nilai tukar tidak terlalu mempengaruhinya. b) Jangka Panjang Hasil estimasi jangka pendek pada variabel nilai tukar memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan. Hal ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang perusahaan-perusahaan mampu mengatasi dampak positif akibat apresiasi Rupiah. Sehingga perusahaan yang berorientasi pada ekspor akan mengalami kenaikan pada harga sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Serta hasil ini membuktikan bahwa perekonomian yang meningkat di Indonesia membuat kepercayaan para investor untuk menginvestasikan dananya ke pasar modal Indonesia akan ikut meningkat.
4. Pengaruh Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) a) Jangka Pendek Hasil estimasi jangka pendek pada variabel pertumbuhan PDB tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap indeks harga saham gabungan. Hal tersebut dapat terjadi karena pada dasarnya motif-motif spekulasi masih banyak mendominasi sehingga faktor-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
102
faktor fundamental, seperti PDB tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap indeks harga saham gabungan. b) Jangka Panjang Hasil estimasi jangka panjang pada variabel pertumbuhan PDB juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap indeks harga saham gabungan. Dalam hal peningkatan PDB dalam suatu negara
mengindikasikan
adanya
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat di negara tersebut. Adanya peningkatan tersebut akan mendorong masyarakat untuk melakukan konsumsi barang dan jasa sehingga memperluas perkembangan investasi dalam sektor riil (Kewal, 2012). Tetapi dalam hasil penelitian ini adanya sektor riil tidak diikuti dengan adanya peningkatan investasi di pasar modal. Maka, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pemerataan kesejahteraan masyarakat. Karena meningkatnya PDB belum tentu akan meningkatkan pendapatan per kapita setiap individu sehingga pola investasi di pasar modal tidak terpengaruhi oleh adanya peningkatan PDB.
http://digilib.mercubuana.ac.id/