BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup dan dinyatakan sebagai perbandingan antara organisme yang hidup pada akhir periode dan organisme yang mati pada akhir periode (Effendi 1997). Oleh karena itu, tingkat kelangsungan hidup juga dapat menunjukkan banyaknya ikan yang mati selama satu periode tertentu. Dalam penelitian ini, secara kuantitatif tingkat kelangsungan hidup dapat diketahui dan dihitung dengan melakukan pengamatan dan pencatatan harian terhadap ikan yang mati selama penelitian. Tingkat kelangsungan hidup larva lele Sangkuriang dan setiap perlakuan pemberian pakan selama penelitian disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Tingkat Kelangsungan Hidup larva Lele Sangkuriang Jumlah Pemberian Daphnia Tingkat Kelangsungan Perlakuan Beku (%.BBhari¯¹) Hidup(%) ± SD 10 69,13±8,11 A B
15
66,13±5,54
C
20
77,25±3,30
D
25
77,75±10,02
Keterangan: BB= Bobot Biomassa, SD= Standar Deviasi Berdasarkan pengamatan selama 20 hari, rata-rata tingkat kelangsungan hidup larva lele Sangkuriang diperoleh pada setiap perlakuan berada pada kisaran antara 66,13-77,75% (Tabel 4 dan Lampiran 3). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Daphnia beku tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelangsungan larva lele Sangkuriang. Namun secara keseluruhan, pada pemberian Daphnia beku 25%.BBhari¯¹ menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada jumlah pemberian Daphnia beku sebesar 15%.BBhari¯¹ diduga karena Daphnia beku yang digunakan berasal 21
dari kultur massal dalam ukuran yang bervariasi dan tidak seragam sehingga tidak seluruhnya sesuai dengan bukaan mulut larva, terutama pada saat pertama kali larva mulai mengambil makanan dari luar tubuhnya, hal ini mempengaruhi jumlah mortalitas dan kelangsungan hidup larva lele Sangkuriang pada awal-awal masa pemeliharaan. Sedangkan tingginya tingkat kelangsungan hidup pada jumlah pemberian Daphnia beku sebesar 25%.BBhari¯¹ diduga karena jumlah pakan yang diberikan telah sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup pada periode awal perkembangan larva lele Sangkuriang. Selain untuk pertumbuhan, energi yang terserap (metabolic energy) digunakan untuk pemeliharaan tubuh yang selanjutnya dapat mempertahankan kelangsungan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (1997) bahwa kelangsungan hidup ikan pada fase larva sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan.
4.2 Efisiensi Pemberian Pakan Efisiensi Pemberian Pakan merupakan perbandingan antara pertambahan bobot tubuh yang dihasilkan dengan jumlah total pakan yang diberikan selama pemeliharaan. Semakin besar nilai efisiensi pemberian pakan maka semakin baik ikan memanfaatkan pakan yang diberikan sehingga semakin besar bobot daging yang dihasilkan (Djajasewaka 1985). Tabel 5. Rata-rata Efisiensi Pemberian Pakan larva Lele Sangkuriang Jumlah Pemberian Daphnia Efisiensi Pemberian Perlakuan Pakan ± SD Beku (%.BBhari¯¹) 10 87,26±14,21 A B
15
81,03±17,06
C
20
76,48±14,22
D
25
51,91±19,58
Keterangan: BB= Bobot Biomassa, SD= Standar Deviasi Berdasarkan pengamatan selama 20 hari, rata-rata efisiensi pemberian pakan larva lele Sangkuriang diperoleh pada setiap perlakuan berada pada kisaran 51,91%-87,26% (Tabel 5 dan Lampiran 7). Melihat dari hasil yang didapatkan tersebut, terdapat kisaran yang menunjukkan perbedaan yang cukup besar terutama antara jumlah pemberian daphnia beku sebesar 10% dan 25% yaitu
22
87,26% dan 51,91% walaupun dari hasil analisis ragam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Secara umum, efisiensi pemberian pakan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah pemberian daphnia beku mulai dari jumlah pemberian Dahnia beku sebesar 10%.BBhari¯¹ (87,26%) sampai dengan jumlah pemberian Daphnia beku sebesar 25%.BBhari¯¹ (51,91%). Menurunnya nilai efisiensi pakan diduga terkait erat dengan tipe/karakteristik pakan (daphnia beku) yang menyebar sewaktu diberikan kepada larva dan mengapung sejajar dengan permukaan air. Munandar (1999) menyatakan bahwa salah satu kelebihan daphnia beku diantaranya terapung atau tersuspensi. Hal ini mengakibatkan larva lele Sangkuriang kurang efisien dalam memanfaatkan pakan dan pada akhirnya mengakibatkan menurunnya pertumbuhan larva karena larva lele Sangkuriang memiliki kebiasaan cara memakan makanan di dasar perairan. Effendi (1997) mengemukakan
bahwa
kemudahan
dalam
pengambilan
makanan
akan
mempengaruhi pertumbuhan. Rendahnya nilai efisiensi pemberian pakan yang dihasilkan oleh jumlah pemberian Daphnia beku sebesar 25%.BBhari¯¹ diduga karena jumlah pakan yang diberikan terlalu banyak sehingga banyak pakan yang terbuang dan kurang dimanfaatkan oleh ikan karena ikan mempunyai batas maksimal untuk mengkonsumsi pakan sesuai dengan kapasitas lambung (Subamia dkk. 2003). Pemberian pakan yang melebihi kebutuhan maksimal ikan akan menyebabkan energi untuk pertumbuhan menjadi berkurang akibat energi pakan yang diperoleh lebih banyak yang hilang dalam proses metabolisme tubuh. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan maka akan mengakibatkan stress pada larva sehingga menyebabkan energi hilang dan akhirnya pertumbuhan ikan menurun. Watanabe (1988) dalam Cintiadewi (2009) menyatakan bahwa energi awal digunakan untuk melakukan aktifitas biologis (bernafas, berenang, proses metabolisme dan perawatan/maintenance) atau adaptasi terhadap lingkungan dan apabila ada kelebihan energi maka digunakan untuk membangun jaringan baru untuk pertumbuhan. Dengan demikian, jumlah energi yang tersisa untuk pertumbuhan akan berkurang sehingga laju pertumbuhan menurun. Hal ini
23
dipertegas oleh pernyataan Khadarani dkk. (2002) bahwa jumlah pemberian pakan yang optimal akan memberikan efisiensi pakan yang lebih baik karena pemberian pakan yang berlebih dapat menurunkan efisiensi pemberian pakan.
4.3 Laju Pertumbuhan Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran baik panjang, bobot maupun volume dalam kurun waktu tertentu dan merupakan suatu proses biologis yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol diantaranya adalah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor eksternal yang paling mempengaruhi pertumbuhan ialah pakan yang diberikan dan suhu perairan (Effendi 1997). Tabel 6. Rata-rata Laju Pertumbuhan Harian Larva Lele Sangkuriang Jumlah Pemberian Daphnia Laju Pertumbuhan Perlakuan Beku (%.BBhari¯¹) Harian±SD 10 7,69±1,17 A B
15
8,62±1,61
C
20
9,99±0,78
D
25
9,24±1,55
Keterangan: BB= Bobot Biomassa, SD= Standar Deviasi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Daphnia beku memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan bobot larva lele Sangkuriang (Tabel 6 dan Lampiran 8). Senada dengan penelitian Cintiadewi (2009) bahwa pemberian dapnia beku juga tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan Patin siam. Berbeda dengan penelitian Munandar (1999) terhadap benih ikan Nila merah dengan bobot rata-rata 0,18-0,31 gram yang menunjukkan bahwa pemberian daphnia beku memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan
dan
sintasan,
dimana
pemberian
Daphnia
beku
sebesar
10%.BBhari¯¹ menghasilkan laju pertumbuhan harian dan laju sintasan tertinggi sedangkan pemberian daphnia beku sebesar 4%.BBhari¯¹ menghasilkan laju 24
pertumbuhan dan laju sintasan terendah. Dengan demikian, pemberian Daphnia beku dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup memberikan pengaruh yang berbeda tergantung dari jenis, umur dan ukuran ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (1997) bahwa faktor dalam dan luar yang mempengaruhi pertumbuhan diantaranya adalah jumlah, ukuran dan kualitas makanan yang tersedia, faktor kualitas air, umur, dan ukuran ikan serta
Rata-rata Bobot Biomassa (gram)
kematangan gonad. 30 25
A: 10%.BBhari¯¹
20
B: 15%.BBhari¯¹
15
C: 20%.BBhari¯¹ D: 25%.BBhari¯¹
10 5 0 0
5
10
15
20
Waktu Pengamatan (hari ke-)
Keterangan: BB= Bobot Biomassa Gambar 5. Pertumbuhan Bobot Biomassa Larva Lele Sangkuriang Gambar 5 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan laju pertumbuhan bobot larva lele Sangkuriang seiring dengan bertambahnya umur larva. Hal ini menunjukan selama penelitian, larva lele sangkuriang dari setiap perlakuan dapat memanfaatkan pakan Daphnia beku yang diberikan untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan larva lele Sangkuriang cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya persentase jumlah pemberian daphnia beku sampai dengan 20%.BBhari¯¹, kemudian menurun pada pemberian 25%.BBhari¯¹. Hal ini sesuai dengan pernyataan Warren dan Davis dalam Setyanova (2003) bahwa sampai batas tertentu peningkatan pemberian pakan terhadap ikan menghasilkan suatu pertumbuhan yang semakin meningkat tetapi peningkatan pemberian pakan yang melewati batas tertentu akan menghasilkan pertumbuhan yang menurun. Jumlah pemberian Daphnia beku sebesar 20%.BBhari¯¹ menghasilkan pertumbuhan bobot
25
tertinggi sedangkan jumlah pemberian Daphnia beku 10%.BBhari¯¹ menghasilkan pertumbuhan bobot terendah.
4.4 Kualitas Air Dalam budidaya ikan, kualitas air merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha budidaya. Menurut Effendi (1997), kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup ikan. Parameter kualitas air yang diamati selama penelitian meliputi suhu, oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH) dan amoniak. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kualitas air masih dalam kisaran yang layak untuk pemeliharaan larva ikan lele Sangkuriang (Tabel 7 dan Lampiran 10), sehingga tinggi rendahnya pertumbuhan sepenuhnya disebabkan oleh adanya perbedaan perlakuan. Tabel 7. Kisaran Parameter Kualitas Air Selama penelitian Parameter Perlakuan DO Ammonia Suhu pH (mgL¯¹) (mgL¯¹) (°C) A 25 3,33-5,00 7,22-8,14 0,13-0,30 B
25
3,60-5,02
7,20-8,16
0,13-0,32
C
25
3,53-5,30
7,31-8,13
0,13-0,37
D
25
3,13-5,68
7,23-7,97
0,13-0,44
Kisaran layak lele Sangkuriang
20-30(a)
≥2(a)
6,5-8(b)
<0,5(b)
Keterangan:
(a)
Khairuman (2002) dan (b)Suyanto (2007)
Suhu media percobaan selama penelitian menunjukkan 25°C. kisaran suhu tersebut masuk dalam kisaran optimum bagi larva ikan lele Sangkuriang karena pada kisaran suhu tersebut metabolism ikan dapat berlangsung dengan baik sehingga pertumbuhan larva lele Sangkuriang akan berlangsung dengan baik. Suhu optimum untuk pertumbuhan lele Sangkuriang adalah 20-30°C. Kadar oksigen terlarut (DO) selama penelitian ini berkisar antara 3,13-5,68 mgL¯¹. secara umum, lele Sangkuriang dapat hidup dalam air dengan kandungan oksigen 0,3-0,5 mgL¯¹. Namun demikian untuk meningkatkan produktivitas ikan, 26
kandungan oksigen terlarut sebaiknya dijaga pada level diatas 4 mgL¯¹. kandungan oksigen 1 mgL¯¹ dapat menyebabkan laju pertumbuhan ikan terhambat (Sucipto dan Priartono 2007). Jadi bisa dikatakan pada penelitian ini kisaran tersebut sangat baik untuk pertumbuhan larva lele Sangkuriang karena konsumsi akan oksigen sangat terpenuhi. Hasil pengukuran Derajat Keasaman (pH) selama penelitian menunjukkan kisaran antara 7,22-8,16. sementara itu nilai kisaran pH ini baik untuk kehidupan lele Sangkuriang. Menurut Khairuman (2002) pH air yang ideal untuk pertumbuhan lele berkisar antara 6,5-8. Dalam hal ini, nilai pH media percobaan masih berada pada kisaran layak untuk larva lele Sangkuriang. Kadar ammonia (NH3) dalam perairan selama penelitian berkisar antara 0,13-0,44 mgL¯¹. keadaan ini masih sesuai untuk pemeliharaan lele Sangkuriang karena menurut Boyd (1990) pertumbuhan ikan akan terhambat jika kadar ammonia diperairan lebih dari 0,5mgL¯¹ karena nafsu makan ikan berkurang.
27