Bab IV Hasil dan Pembahasan
IV.1 Perumusan Lingkup Studi dan Skenario Perencanaan
Secara geografis wilayah studi merupakan wilayah di bagian paling Barat dari Nusantara dan ujung bagian Utara dari pulau Sumatera. Dengan mengambil suatu garis batasan (cordon line) wilayah studi maka pergerakan keluar (external trips) dari wilayah studi pada saat ini hanya dilakukan ke bagian Selatan yaitu provinsi Sumatera Utara. Kajian ini difokuskan pada sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan lebih fokus lagi pada sistem jaringan jalan yang berada pada wilayah daratan. Masih terdapat beberapa ruas jalan provinsi yang berada di luar dari wilayah daratan, seperti di Sabang, kawasan Pulau Aceh, Simeulue dan kawasan Pulau Banyak. Dari penjelasan tersebut, maka dalam pemodelan transportasi, yang menjadi zona eksternal dari studi ini adalah: Provinsi Sumatera Utara di bagian Selatan, Sabang di bagian utara dan Simeulue di bagian Barat dari wilayah studi. Untuk lebih jelasnya tentang wilayah studi ini dapat dilihat pada Gambar IV.1.
Objek studi adalah jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi NAD. Salah satu koridor jalan nasional dalam wilayah studi adalah bagian dari lintas Sumatera yang dikenal dengan jalan Lintas Timur. Lintas Timur ini membentang dari Banda Aceh di bagian Utara menuju ke bagian Tenggara sampai di perbatasan Sumatera Utara sepanjang 488 km. Kota-kota besar yang dilalui lintas timur ini adalah: Sigli-Bireuen, Lhok Seumawe, Lhok Sukon, Langsa dan Kuala Simpang. Koridor jalan nasional lainnya adalah Lintas Barat Sumatera. Lintas Barat ini membentang dari Banda Aceh di bagian Utara menuju Selatan sampai di perbatasan Provinsi Sumatera Utara sepanjang 595 km. Kota-kota yang dilalui lintas Barat ini adalah: Calang, Maulaboh, Blang Pidie, Tapak Tuan dan Subulussalam.
130
Gambar IV.1 Wilayah Studi Penelitian Sumber: BAPPEDA NAD (2006)
Jaringan jalan provinsi dalam wilayah studi ini, secara fungsional terdapat jalan kolektor primer dan sekunder. Di samping itu terdapat juga jalan provinsi di daerah pulau. Mengingat studi ini dilakukan untuk jalan antar kota dan pengambilan zona studi kabupaten/kota dalam provinsi NAD, maka jaringan jalan provinsi yang menjadi objek kajian adalah jalan dengan status kolektor primer. Dengan demikian jalan-jalan yang termasuk di dalamnya adalah penghubung antar ibukota kabupaten/kota. Untuk lebih jelasnya jaringan jalan yang menjadi objek kajian dapat dilihat pada Gambar IV.2.
131
P. Aceh
LEGENDA Ibu Kota Kabupaten Jalan Nasional Jalan Provinsi Batas Provinsi Batas Kabupaten P. Banyak
Sungai
Gambar IV.2 Jaringan Jalan Objek Penelitian Sumber: Dinas Praswil NAD (2005)
Secara garis besar dari sisi tinjauan geometrik jalan, terdapat dua nilai yang menentukan kinerja suatu ruas jalan. Ukuran pertama adalah kualitas perkerasan dan kedua adalah daya tampung yang berkaitan dengan kapasitas jalan. Kualitas perkerasan akan menurun seiring dengan berjalannya waktu, di antaranya akibat beban lalu lintas maupun faktor cuaca. Untuk mempertahankan kualitas
132
perkerasan agar selalu berada dalam kondisi mantap maka diperlukan penanganan jalan seperti: rutin, berkala dan peningkatan struktur.
Sementara berkaitan dengan kapasitas, lebih banyak ditentukan oleh faktor pertumbuhan lalu lintas. Pertumbuhan lalu lintas yang berdampak pada menurunnya kinerja jalan, ditangani dengan melakukan peningkatan kapasitas melalui cara pelebaran perkerasan atau pembangunan jalan baru. Sejalan dengan IRMS disebutkan bahwa terdapat lima jenis program penanganan jalan, yaitu: rutin, berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan baru.
Dalam konteks penanganan sistem jaringan jalan dilakukan dalam dua istilah, perencanaan (planning) dan pemrograman (programming). Planning berkaitan dengan penetapan tahun tinjauan perencanaan dan prediksi kebutuhan transportasi. Sementara programming adalah upaya penyusunan tindakan penanganan apa yang harus dikerjakan pada masing-masing tahun tinjauan. Dengan demikian masing-masing kegiatan perencanaan dan pemrograman mempunyai kriteria dan metode yang berbeda.
Dari penjelasan di atas, dalam konteks perencanaan dalam penelitian ini dilakukan untuk perencanaan: jangka pendek. Perencanaan jangka pendek tahunan dilakukan pada lima tahun pertama. Untuk keperluan perencanaan, analisis kebutuhan transportasi dikaitkan dengan RTRW provinsi NAD tahun 2006 dan
Revisi
Tatrawil NAD tahun 2007. Tahun dasar perencanaan dimulai tahun 2007. Selanjutnya dilakukan tinjauan tiap tahun sampai 2011. Sementara dalam konteks programming, hal yang dilakukan adalah bagai mana menentukan jenis penanganan sistem jaringan jalan untuk masing-masing ruas untuk setiap jaringan pada setiap tahun tinjauan dalam perencanaan.
Pelaksanaan program penanganan sistem jaringan jalan sangat tergantung pada jumlah biaya yang diperlukan dan yang dapat disediakan. Besarnya biaya yang diperlukan untuk penanganan jalan tergantung pada tujuan penanganan tersebut.
133
Tingkat kerusakan perkerasan lama, menentukan jenis penanganan untuk perbaikan perkerasan. Di samping itu diperlukan juga untuk penambahan kapasitas, hingga lahir jenis penanganan pelebaran perkerasan. Sedangkan untuk tujuan yang lebih luas dan menyeluruh diperlukan penanganan dengan melakukan pembangunan jalan baru. Jumlah biaya penanganan jalan yang diperlukan sangat besar, sebagai gambaran bahwa perkiraan biaya penanganan jalan nasional dengan fungsi arteri untuk tahun 2007 untuk rutin adalah sebesar 40-50 juta rupiah dan biaya pembangunan jalan baru adalah 10-15 milyar rupiah per kilometer panjang jalan (Dep. PU, 2007).
Kondisi saat ini di Indonesia bahwa umumnya jumlah biaya yang diperlukan untuk keperluan penanganan jalan lebih besar dari jumlah yang dapat disediakan. Artinya, tidak semua keperluan biaya dapat disediakan, dengan demikian tidak semua keperluan penanganan dapat dilaksanakan. Untuk itu model perangkingan penanganan harus dilakukan dengan kondisi keterbatasan biaya (budget constrained). Asumsi yang digunakan adalah bahwa jalan yang seharusnya ditangani pada tahun rencana, bila tidak dapat ditangani, maka akan menjadi prioritas pada tahun berikutnya. Sebagai ilustrasi, pada penelitian disertasi ini dilakukan skenario ketersediaan biaya penanganan hanya 75% dan 50% dari yang diperlukan dan hanya dilakukan pada tahun rencana 2007, 2008 dan 2009.
IV.2 Perumusan Penentu Kebijakan
Di balik lahirnya suatu keputusan tertentu, dipastikan bahwa ada pihak yang bertindak selaku pengambil keputusan (decision maker). Pihak tersebut dapat bersifat organisasi maupun pribadi. Keputusan yang diambil oleh pihak pengambil keputusan akan mempengaruhi pihak lain yang sering disebut sebagai stakeholders. Pengaruh tersebut baik yang berdampak menguntungkan maupun yang merugikan. Keputusan yang paling tepat adalah bila keputusan yang diambil telah sejalan juga dengan keinginan pihak stakeholders, karena stakeholders juga ada kalanya memiliki program dan minimal pandangan yang harus sejalan dengan program pengambil keputusan, hingga stakeholders juga mempunyai persepsi
134
tentang bagaimana sesuatu hal harus diputuskan. Kedua belah pihak disebut sebagai penentu kebijakan. Keputusan dalam pengelolaan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah studi, ada di Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi NAD. Dalam penentuan program di tingkat provinsi, dalam hal ini dibentuk tim teknis yang anggotanya ditambah instansi Dinas Perhubungan dan Bappeda Provinsi NAD. Dengan demikian, maka yang ditetapkan sebagai pengambil keputusan dalam penelitian disertasi ini adalah: Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Dinas Perhubungan, dan Bappeda Provinsi NAD.
Dalam penelitian ini, selain telah menetapkan pihak pengambil keputusan juga telah dikumpulkan data kuesioner untuk memperoleh gambaran komponen mana dari stakehoders yang dirasa penting dan tingkat kepentingannya terlibat sebagai penentu kebijakan. Di samping hal tersebut pada kuesioner masih dibuka kesempatan untuk menambahkan instansi, badan atau pribadi yang kiranya penting untuk dimasukkan sebagai stakehoders menurut pandangan para penentu kebijakan. Sejalan dengan contoh kuesioner seperti pada Lampiran A, maka bobot tertinggi 5 untuk amat sangat penting dan 1 untuk tidak penting untuk perannya dalam pengambilan keputusan.
Kepada pihak pengambil keputusan dan stakeholders ditanyakan tingkat kepentingan instansi dalam pengambilan keputusan. Hasil analisis dikelompokkan berdasarkan kelompok pengambil keputusan dan stakeholders. Jawaban dari beberapa responden selanjutnya dirata-ratakan. Hasil rekapitulasi jawaban tersebut untuk masing-masing kelompok pengambil keputusan dan stakeholders, seperti yang dapat dilihat pada Tebel IV.1.
Dari Tabel IV.1 tersebut, dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan persepsi terhadap tingkat pentingnya pihak dimaksud yang perlu dilibatkan dalam perencanaan pemrograman tersebut. Dari semua instansi, badan, dan organisasi yang ditawarkan maka terlihat bahwa semua dirasa perlu untuk terlibat mulai dari sedang dan sangat penting, namun karena keterbatasan sumber daya maka
135
stakehoders dalam analisis hanya dibatasi pada instansi terkait di tingkat kabupaten/kota dan ditambah dari perguruan tinggi.
Tabel IV.1
Tingkat kepentingan keterlibatan instansi sebagai penentu kebijakan berdasarkan persepsi pengambil keputusan dan stakeholders Bobot
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Instansi Dinas Praswil Propinsi Departemen PU BAPPEDA Propinsi BAPPENAS Dishub Propinsi DPRD Propinsi Dinas PU/Praswil Kab./Kota Departemen Perhubungan Perguruan Tinggi BAPPEDA Kab./Kota LSM Dishub Kab./Kota Tokoh Masyarakat DPRD Kab./Kota Organisasi Profesi
Pengambil Keputusan
Stakeholders
4.25 4.25 4.25 3.58 3.58 3.33 3.33 3.33 2.92 2.92 2.83 2.75 2.33 2.33 2.08
4.34 3.79 4.20 3.52 3.77 3.07 3.66 3.32 3.48 3.45 2.68 3.33 2.59 2.57 2.43
Keterangan bobot: 1 = tidak penting 3 = penting 5 = amat sangat penting
2 = sedang 4 = sangat penting
IV.3 Perumusan Kriteria dan Analisis Bobot Kriteria Pemrograman
IV.3.1 Perumusan Kriteria
Dalam penetapan suatu keputusan, tentu harus didasarkan kepada kriteria. Dengan demikian perumusan kriteria perlu dilakukan secara hati-hati. Perumusan keputusan yang paling mudah dilakukan adalah bila menggunakan kriteria yang sedikit dan dengan besaran yang kuantitatif. Namun kriteria yang sedikit dan hanya mempertimbangkan kriteria yang bersifat kuantitatif belum tentu dapat mewakili semua aspirasi baik bagi pengambil keputusan maupun bagi
136
stakeholders. Untuk itu perlu dirumuskan semua kriteria yang dapat mewakili keputusan pmrograman, artinya secara komprehensif, baik kriteria yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Kriteria yang dibangun dapat menjadi luas hingga sering membingungkan, untuk itu perlu dilakukan pengelompokkan kriteria hingga menjadi kriteria yang lebih general. Kriteria-kriteria tersebut dapat terdiri dari sub-sub kriteria hingga kriteria menjadi lengkap. Dalam kondisi ideal kriteria dan sub-kriteria dapat digali dari pihak penentu keputusan, dimulai dari proses usulan kriteria dalam bentuk long list menjadi short list, namun hal ini tentu memerlukan waktu penelitian dan biaya yang lebih lama.
Kriteria dan sub-kriteria dalam penelitian ini dirumuskan terlebih dahulu. Selanjutnya responden memberikan penilaian untuk menghasilkan bobot kriteria, sub-kriteria dan alternatif. Kriteria yang dirumuskan untuk perencanaan pemrograman jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi NAD ada yang bersifat kuantitatif, namun ada juga yang bersifat kualitatif. Kriteria dan sub kriteria yang dirumuskan kemudian diberikan pembobotan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders. Kriteria dan Sub-kriteria yang dirumuskan sebagai yang dapat dilihat pada Tabel IV.2. Dalam analisis simulasi penanganan program maka kriteria yang digunakan untuk proses top down adalah kriteria teknis, dalam tabel tersebut empat sub-kriteria pada kriteria peningkatan layanan transportasi langsung menjadi kriteria pada proses top down ini. Sementara untuk proses gabungan top down dan bottom up maka empat kriteria pada tabel tersebut bersama dengan masing-masing sub kriterianya dianalisis dalam memperoleh skala prioritas penanganan.
IV.3.2 Analisis Bobot Kriteria
Dari kuesioner yang diedarkan ke responden baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan bobot kriteria. Analisis dilakukan dengan menggunakan program komputer MS EXCEL dengan menggunakan metode analisis pada Sub-bab III.10. Mengacu pada kuesioner yang digunakan, untuk pertanyaan dalam penentuan: program penanganan, dalam
137
penetuan bobot kriteria dan sub-kriteria, terdapat dua format yang digunakan. Format pertama adalah dengan memberikan rangking/urutan tingkat kepentingan dari setiap pilihan. Format kedua adalah dengan model pertanyaan perbandingan berpasangan (pair-wise comparisson). Maksud dari kuesioner untuk menampilkan kedua format tersebut adalah untuk memperoleh informasi dengan lengkap dan memudahkan bagi setiap responden. Karena jawaban yang diisikan pada format pertama (model rangking) akan menjadi panduan untuk menjawab kuesioner pada format kedua (perbandingan berpasangan).
Tabel IV.2 No.
Kriteria dan Sub-kriteria Penyusunan Program Penanganan Jaringan Jalan Kriteria
Sub Kriteria
1.
Pengembangan wilayah
1. 2. 3. 4. 5.
Kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan Keterkaitan antar PKN, PKW dan PKL Peningkatan kawasan tertinggal Pengembangan kawasan khusus Keterpaduan antar moda transportasi
2.
Efisiensi Ekonomi
1. Total biaya yang dibutuhkan 2. Kelayakan ekonomi 3. Penghematan Biaya Operasi Kendaraan (BOK)
3.
Peningkatan Layanan Transportasi
1. 2. 3. 4.
4.
Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan
1. Dampak terhadap kelestarian kawasan 2. Dampak terhadap ganti rugi lahan 3. Terciptanya lapangan kerja
Indeks Aksessibilitas Indeks Mobilitas Tingkat kinerja lalu lintas (V/C) Kondisi kerusakan jalan
Ketika memasuki tahap analisis penentuan bobot pilihan, jawaban yang menggunakan perbandingan berpasangan, lebih dari 50% dari jawaban responden tidak konsisten (inconsistent). Syarat konsisten adalah dengan perolehan Indeks Konsistensi (CI) dan Rasio Konsistensi (CR). Penetapan suatu matriks analisis dianggap konsisten jika nilai CR lebih kecil atau sama dengan 0,1. Analisis konsistensi pembobotan ini mengacu pada penjelasan di bab III pada bagian III.10.2. Artinya adalah, responden sulit membandingkan secara berpasangan sesuai dengan arahan pada bagian awal dari kusioner. Semakin banyak pilihan
138
yang harus diberikan penilaian berpasangan, maka semakin besar kemungkinan tidak konsisten. Jumlah maksimum pilihan yang paling mungkin bagi manusia untuk memberikan penilaian perbandingan berpasangan adalah sembilan (Saaty, 1994). Untuk itu dalam analisis ini digunakan format pertanyaan pertama (sistem rangking) untuk memperoleh bobot alternatif, kriteria dan sub-kriteria.
Analisis penentuan bobot kriteria dari penentu kebijakan pmrograman ditampilkan pada Lampiran B. Bobot kriteria dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders selanjutnya dirata-ratakan, analisis dapat dilihat pada Lampiran C. Bobot kriteria rata-rata yang diperoleh untuk masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.3 dan Gambar IV.3.
Tabel IV.3
Bobot Kriteria Pihak Pengambil Keputusan dan Stakeholders Bobot
No.
Kriteria
Pengambil Keputusan
Stakeholders
1.
Pengembangan wilayah
0,256
0,270
2.
Efisiensi Ekonomi
0,207
0,213
3.
Peningkatan Layanan Transportasi
0,402
0,322
4.
Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan
0,136
0,195
Baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders secara garis besar memberikan pola yang yang sama terhadap kriteria penanganan. Artinya, jika diurut dalam bentuk rangking, kriteria peningkatan layanan transportasi menempati rangking pertama, kriteria pengembangan wilayah rangking kedua, kriteria efisiensi ekonomi rangking ketiga, dan kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan menempati rangking ke empat. Namun demikian, dari pihak pengambil keputusan, bobot kriteria dengan besaran yang cukup signifikan diberikan pada kriteria peningkatan layanan transportasi sebesar 0,402. Dapat dibaca di sini bahwa kriteria pihak pengambil keputusan lebih dominan diwakili oleh kriteria nyang sangat teknis dan terukur.
139
Pengambil Keputusan Stakeholders
0,4
Lingk & Sosial Berkelanjutan
Peningkatan Layanan Transp
0,0
Efisiensi Ekonomi
0,2
Pengembangan wilayah
bobot kriteria
0,6
kriteria
Gambar IV.3 Perbandingan bobot kriteria antara pengambil keputusan dan stakeholders Bobot kriteria yang diperoleh dari stakeholders lebih terdistribusi. Walaupun kriteria layanan transportasi menempati rangking pertama dengan bobot 0,322 namun bobot yang lain lebih merata dan lebih besar dibandingkan dengan bobot yang diberikan oleh pengambil keputusan. Artinya adalah, bobot kriteria yang diberikan oleh stakeholders lebih terdistribusi dengan kriteria yang lain, tidak tertumpu semata-mata pada kriteria yang sangat teknis, yaitu kriteria peningkatan layanan transportasi.
Masing-masing kriteria memiliki sub-kriteria. Dengan menggunakan formula yang sama pada analisis bobot kriteria, maka dilakukan juga analisis bobot untuk masing-masing sub-kriteria. Pada bagian berikut ini ditampilkan analisis bobot sub-kriteria dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders. Dengan demikian dapat dilihat perbandingan nilai bobot sub-kriteria yang diberikan oleh kedua pihak.
IV.3.2.1 Analisis Bobot Sub-kriteria Pengembangan Wilayah
Perbandingan bobot sub-kriteria pengembangan wilayah yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.4 dan
140
Gambar IV.4. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan adalah untuk kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan, sementara dari stakeholders diberikan pada bobot peningkatan kawasan tertinggal. Bobot terkecil diberikan oleh kedua pihak pada sub kriteria pengembangan kawasan khusus.
Tabel IV.4
Bobot Sub-Kriteria Pengembangan Wilayah Bobot
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kriteria
Pengambil Keputusan
Stakeholders
0,262
0,211
0,211
0,192
0,212
0,287
0,094
0,144
0,221
0,165
Kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan Keterkaitan antar PKN, PKW dan PKL Peningkatan kawasan tertinggal Pengembangan kawasan khusus Keterpaduan antar moda transportasi
Pengambil Keputusan Stakeholders
Multi moda transportasi
Pengemb. Kaw. khusus
Hirarki jaringan jalan
0,0
Peningk. kaw. tertinggal
0,2
Kaitan ant. PKN, PKW & PKL
bobot sub-kriteria
0,4
sub-kriteria
Gambar IV.4 Perbandingan bobot sub-kriteria pengembangan wilayah antara pengambil keputusan dan stakeholders.
141
IV.3.2.2 Analisis Bobot Sub-kriteria Efisiensi Ekonomi
Perbandingan bobot sub-kriteria efisiensi ekonomi yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.5 dan Gambar IV.5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan dan stakeholders diberikan pada sub-kriteria kelayakan ekonomi. Persepsi pengambil keputusan juga memberikan bobot yang cukup signifikan untuk sub-kriteria penghematan biaya operasi kendaraan (BOK). Sementara kedua pihak memberikan bobot terkecil kepada sub kriteria total biaya yang dibutuhkan.
Tabel IV.5
Bobot Sub-kriteria Efisiensi Ekonomi Bobot
No.
Pengambil Keputusan
Stakeholders
0,208
0,252
0,401
0,468
0,391
0,280
Total biaya yang dibutuhkan Kelayakan ekonomi Penghematan Biaya Operasi Kendaraan (BOK)
Pengambil Keputusan Stakeholders 0,6 0,4
0,2
Kelayakan ekonomi
Tot. biaya yg dibutuhkan
0,0
Penghematan BOK
bobot sub-kriteria
1. 2. 3.
Kriteria
sub-kriteria
Gambar IV.5 Perbandingan bobot sub-kriteria Efisiensi Ekonomi antara pengambil keputusan dan stakeholders
142
IV.3.2.3 Analisis Bobot Sub-Kriteria Peningkatan Layanan Transportasi
Perbandingan bobot sub-kriteria peningkatan layanan transportasi yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.6 dan Gambar IV.6. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh PK jatuh pada sub-kriteria tingkat kinerja lalu lintas dan peringkat kedua adalah bobot kondisi kerusakan jalan juga dengan dengan bobot yang cukup besar. SH memberikan bobot terbesar pada sub-kriteria kondisi kerusakan jalan dan juga memberikan bobot yang cukup berimbang antara subkriteria indeks aksessibilitas dan tingkat kinerja lalu lintas.
Tabel IV.6
Bobot Sub-kriteria Peningkatan Layanan Transportasi Bobot
No.
Kriteria
Pengambil Keputusan
Stakeholders
1.
Indeks Aksessibilitas
0,193
0,238
2.
Indeks Mobilitas
0,155
0,175
3.
Tingkat kinerja lalu intas (V/C)
0,344
0,234
4.
Kondisi kerusakan jalan
0,309
0,353
Pengambil Keputusan
Kondisi kerusakan jalan
Tkt kinerja lalin (V/C)
0,0
Indeks Mobilitas
0,2
Indeks Aksessibilitas
bobot sub-kriteria
Stakeholders
0,4
sub-kriteria
Gambar IV.6 Perbandingan bobot sub-kriteria peningkatan layanan transportasi antara pengambil keputusan dan stakeholders.
143
IV.3.2.4 Analisis Bobot Sub-Kriteria Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan
Perbandingan bobot sub-kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan yang diberikan oleh PK dan SH dapat dilihat pada Tabel IV.7 dan Gambar IV.7. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan dan stakeholders adalah pada sub-kriteria dampak terhadap kelestarian kawasan. SH juga memberikan bobot yang cukup signifikan untuk sub-kriteria terciptanya lapangan kerja. Kedua pihak memberikan bobot terkecil kepada sub-kriteria dampak terhadap ganti rugi lahan.
Tabel IV.7
Bobot Sub-kriteria Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan Bobot
No.
Kriteria
Pengambil Keputusan
Stakeholders
1.
Dampak terhadap kelestarian kawasan
0,470
0,409
2.
Dampak terhadap ganti rugi lahan
0,240
0,250
3.
Terciptanya lapangan kerja
0,290
0,340
Pengambil Keputusan Stakeholders
bobot sub-kriteria
0,6
0,4
0,2
sub-kriteria
Terciptanya lap. kerja
Dpk thd ganti rugi lahan
Dpk thp kelestarian kaw.
0,0
Gambar IV.7 Perbandingan bobot sub-kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan antara pengambil keputusan dan stakeholders
144
IV.4 Perumusan Alternatif dan Bobot Alternatif Penanganan
Dari kuesioner yang diedarkan ke responden baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan bobot alternatif. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode yang sama untuk memperoleh bobot kriteria. Hasil bobot alternatif dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders selanjutnya dirata-ratakan. Bobot alternatif rata-rata yang
diperoleh
untuk
masing-masing
pihak
pengambil
keputusan
dan
stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.8 dan Gambar IV.8.
Tabel IV.8
Bobot Alternatif Pihak Pengambil Keputusan dan Stakeholders Bobot
No.
Kriteria
Pengambil Keputusan
Stakeholders
1.
Pemeliharaan rutin
0,301
0,270
2.
Pemeliharaan berkala
0,274
0,213
3.
Peningkatan jalan
0,308
0,322
4.
Pembangunan jalan baru
0,117
0,195
Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa pihak pengambil keputusan memberikan bobot terbesar pada alternatif peningkatan jalan, dengan bobot hampir berimbang dengan pemeliharaan rutin. Stakeholders juga memberikan bobot terbaik yang cukup menonjol pada peningkatan jalan, diikuti dengan bobot yang hampir berimbang pada pemeliharaan rutin dan berkala. Sementara untuk alternatif pembangunan jalan baru, baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders tidak memberikan prioritas yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari perolehan bobot yang mereka berikan hanya dikisaran 0,1.
Hasil analisis pada sub bab IV.3 selanjutnya digunakan dalam perencanaan pemrograman penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi. Sementara hasil analisis pada sub bab IV.4 tidak digunakan dalam analisis penentuan program penanganan, akan tetapi hasil ini dapat menjadi masukan berupa aspirasi penentu kebijakan terhadap tingkat kepentingan alternatif penanganan jalan.
145
Pengambil Keputusan Stakeholders
Bobot Alternatif Pilihan
0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 Pembangunan jalan baru
Peningkatan jalan
Pemeliharaan berkala
Pemeliharaan rutin
0
Alternatif Pilihan
Gambar IV.8 Perbandingan Bobot Pilihan Penanganan pihak PK dan SH
IV.5 Hasil Pemodelan Transportasi
IV.5.1 Sistem Zona
Untuk keperluan pemodelan transportasi maka wilayah penelitian dibagi menjadi beberapa zona sebagai agregasi wilayah pembangkit/penarik (asal/tujuan) perjalanan. Zona dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni: 1. Zona internal, yaitu zona yang berada di dalam garis batas wilayah studi, 2. Zona eksternal, yaitu zona yang berada di luar garis batas wilayah studi yang digunakan untuk mencerminkan kondisi di luar wilayah studi.
Pembagian zona pada studi ini didasarkan pada batas administrasi kabupaten/kota. Jika dilihat dari administrasi dan geografi wilayah, Provinsi NAD memiliki 21 kabupaten/kota. Dua kabupaten/kota terletak di daerah pulau yang terpisah dengan daratan Provinsi NAD, yaitu Sabang dan Simeulue. Pertimbangan teknis dan objek kajian (jalan nasional dan provinsi), artinya pergerakan antar kota, maka Sabang dan Simelue dimasukkan sebagai zona eksternal. Zona eksternal yang lain
146
yang dimasukkan adalah kota Medan dan sekitarnya. Data nomor zona dan nama zona untuk wilayah studi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel IV.9 berikut.
Tabel IV.9 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Zona Banda Aceh Aceh Besar Pidie Bireun Lhokseumawe Aceh Utara Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Gayo Lues Aceh Tenggara
Nama dan Nomor Zona
Nomor Zona
No
Nama Zona
1001 1002 1003 1004 1005 1006 1007 1008 1009 1010 1011
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Barat Daya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Jaya Aceh Tengah Bener Meriah Simeulue Sabang Medan
Nomor Zona 1012 1013 1014 1015 1016 1017 1018 1019 1020 1021 1022
Keterangan: zona no 20, 21, dan 22 adalah zona eksternal
IV.5.2 Sistem Jaringan Jalan
Jaringan jalan terdiri dari ruas jalan atau link yang umumnya diberi atribut panjang, kapasitas, dan kecepatan operasinya. Pertemuan antar ruas jalan disebut dengan simpul atau node yang dapat berupa persimpangan jalan (dengan atau tanpa lampu pengatur lalu lintas), sedangkan untuk studi jaringan transportasi regional antar kota simpul dapat berupa kota.
Setiap ruas jalan yang dikodefikasi harus dilengkapi dengan beberapa atribut ruas yang menyatakan perilaku, ciri, dan kemampuan ruas jalan dalam mengalirkan arus lalu lintas. Beberapa atribut tersebut adalah panjang ruas, kecepatan ruas (kecepatan arus bebas atau kecepatan sesaat), dan kapasitas ruas yang dinyatakan dalam bentuk Satuan Mobil Penumpang (smp) per jam. Pada Gambar IV.10 disajikan model sistem jaringan jalan di wilayah kajian.
147
Keterangan: Pusat Zona Node Link Centroid Connector
Gambar IV.9 Model Sistem Jaringan Jalan di Wilayah Studi (Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005))
IV.5.3 Persamaan Bangkitan/Tarikan
Hal ini mencakup bangkitan dan tarikan pergerakan pada suatu wilayah studi. Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalulintas. Hasil keluaran dari analisis bangkitan dan tarikan lalulintas adalah berupa jumlah kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Dalam analisisnya, bangkitan pergerakan harus dianalisis secara terpisah dengan tarikan pergerakan. Jadi, tujuan akhir analisis tahapan bangkitan pergerakan adalah menaksir setepat mungkin bangkitan dan tarikan pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan pergerakan pada masa mendatang.
148
Model bangkitan/tarikan dikembangkan dari data OD Nasional 2001 dan data sosio-ekonomi pada tahun yang sama. Dengan metoda step-wise, fungsi yang mengkaitkan antara data sosio-ekonomi (yang terukur dan terdapat data tahunannya) dengan bangkitan/tarikan. Bentuk persamaan yang dipilih adalah persamaan regresi linier berganda. Dan sesuai dengan metoda step-wise, maka untuk model bangkitan/tarikan adalah persamaan yang memiliki nilai parameterparameter statistik tertinggi (dari alternatif yang ada) dan persamaan konsisten dengan hipotesa umum (misalnya semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi pula jumlah bangkitan/tarikan atau semakin tinggi PDRB suatu zona, semakin
tinggi
juga
bangkitan/tarikannya).
Langkah
analisis
model
bangkitan/tarikan pergerakan, dapat dilihat pada Lampiran D. Persamaan bangkitan/tarikan untuk penumpang dan barang adalah:
1. Persamaan Bangkitan Penumpang: Oi = 652949,24+0.808 (Jlh Penduduk Zona i)+13.245(Jlh kendaraan zona i) 2. Persamaan Tarikan Penumpang: Dd = 531561,89 +82.7868 (Jumlah PDRB Zona d)+9.34 (Jlh kendaraan zona d) 3. Persamaan Bangkitan Barang: Oi = 306607,54+47.201 (Jlh PDRB Zona i)+4.745(Jlh kendaraan zona i) 4. Persamaan Tarikan Barang: Dd = 621500,188 +0,6587 (Jlh Penduduk Zona d)
Pada tabel berikut disajikan bangkitan/tarikan tiap tahun tinjauan baik untuk penumpang maupun barang.
149
Tabel IV.10 Bangkitan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) No.
Bangkitan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) 2007 2008 2009 2010
Nama Zona 2006
2011
1
Aceh Singkil
853,319
856,829
860,409
864,059
867,781
871,577
2
Aceh Selatan
994,779
1,001,430
1,008,223
1,015,161
1,022,249
1,029,488
3
Aceh Tenggara
830,963
833,707
836,498
839,337
842,225
845,162
4
Aceh Timur
1,175,701
1,185,578
1,195,662
1,205,956
1,216,467
1,227,199
5
Aceh Tengah
1,138,783
1,149,202
1,159,860
1,170,762
1,181,915
1,193,324
6
Aceh Barat
902,046
906,616
911,281
916,041
920,898
925,856
7
Aceh Besar
1,182,844
1,193,011
1,203,394
1,213,996
1,224,824
1,235,882
8
Pidie
1,442,578
1,457,489
1,472,712
1,488,255
1,504,123
1,520,325
9
Bireun
1,550,830
1,569,697
1,588,990
1,608,720
1,628,898
1,649,533
10
Aceh Utara
2,165,115
2,197,897
2,231,435
2,265,747
2,300,853
2,336,771
11
Aceh Barat Daya
1,009,281
1,017,051
1,025,000
1,033,133
1,041,454
1,049,969
12
Gayo Lues
735,300
736,660
738,044
739,455
740,891
742,354
13
Aceh Tamiang
1,019,285
1,026,107
1,033,069
1,040,176
1,047,430
1,054,834
14
Nagan Raya
821,907
825,004
828,165
831,390
834,681
838,039
15
Aceh Jaya
795,910
798,655
801,459
804,322
807,246
810,233
16
Banda Aceh
3,564,011
3,634,327
3,706,371
3,780,185
3,855,812
3,933,297
17
Langsa
1,554,470
1,575,632
1,597,306
1,619,503
1,642,238
1,665,523
18
Lhokseumawe
1,743,582
1,769,431
1,795,909
1,823,031
1,850,812
1,879,269
19
Bener Meriah
2,459,607
2,503,574
2,548,625
2,594,786
2,642,087
2,690,553
20
Simeulue
749,365
751,058
752,783
754,542
756,335
758,164
21
Sabang
716,403
717,691
719,007
720,353
721,728
723,134
22
Medan
18,133,447
19,674,069
21,360,734
23,207,439
25,229,520
27,443,788
Sumber: Hasil Analisis
Tabel IV.11 Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) No.
Nama Zona 2006
Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) 2007 2008 2009 2010
2011
1
Aceh Singkil
835,381
837,134
838,924
840,751
842,615
844,518
2
Aceh Selatan
975,191
978,925
982,743
986,646
990,637
994,718
3
Aceh Tenggara
743,483
744,275
745,084
745,911
746,755
747,618
4
Aceh Timur
1,347,767
1,353,182
1,358,715
1,364,368
1,370,145
1,376,048
5
Aceh Tengah
1,169,308
1,175,880
1,182,606
1,189,489
1,196,533
1,203,742
6
Aceh Barat
857,184
859,463
861,794
864,177
866,614
869,107
7
Aceh Besar
1,111,264
1,116,687
1,122,234
1,127,909
1,133,714
1,139,652
8
Pidie
1,032,022
1,039,235
1,046,624
1,054,195
1,061,951
1,069,897
9
Bireun
1,317,716
1,328,884
1,340,321
1,352,034
1,364,030
1,376,316
10
Aceh Utara
2,481,743
2,501,751
2,522,248
2,543,247
2,564,758
2,586,796
11
Aceh Barat Daya
961,864
966,853
971,959
977,184
982,533
988,008
12
Gayo Lues
734,406
734,971
735,548
736,136
736,736
737,349
13
Aceh Tamiang
899,657
903,056
906,533
910,090
913,729
917,452
14
Nagan Raya
829,885
831,482
833,113
834,779
836,481
838,221
150
Tabel IV.11 Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) (lanjutan) No.
Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) 2007 2008 2009 2010
Nama Zona 2006
15
Aceh Jaya
2011
968,108
969,836
971,599
973,397
975,231
977,102
16
Banda Aceh
2,708,635
2,756,670
2,805,901
2,856,357
2,908,071
2,961,072
17
Langsa
1,407,756
1,422,053
1,436,698
1,451,700
1,467,068
1,482,811
18
Lhokseumawe
2,719,834
2,737,636
2,755,869
2,774,543
2,793,669
2,813,259
19
Bener Meriah
1,977,863
2,008,290
2,039,471
2,071,424
2,104,170
2,137,728
20
Simeulue
988,311
989,395
990,496
991,615
992,751
993,905
21
Sabang
925,289
926,412
927,553
928,712
929,890
931,087
22
Medan
13,089,754
14,162,827
15,338,678
16,627,173
18,039,125
19,586,386
Sumber: Hasil Analisis
Tabel IV.12 Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun) No.
Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun)
Nama Zona 2006
2007
2008
2009
2010
2011
1
Aceh Singkil
476,298
477,210
478,140
479,089
480,057
481,044
2
Aceh Selatan
551,302
553,225
555,191
557,200
559,253
561,353
3
Aceh Tenggara
425,741
426,150
426,568
426,995
427,431
427,876
4
Aceh Timur
760,381
763,179
766,037
768,956
771,938
774,983
5
Aceh Tengah
655,041
658,409
661,855
665,381
668,988
672,680
6
Aceh Barat
487,170
488,342
489,540
490,766
492,018
493,299
7
Aceh Besar
624,848
627,633
630,481
633,394
636,373
639,420
8
Pidie
574,392
578,065
581,829
585,684
589,633
593,679
9
Bireun
728,113
733,812
739,648
745,625
751,745
758,012
10
Aceh Utara
1,369,919
1,380,113
1,390,554
1,401,250
1,412,207
1,423,431
11
Aceh Barat Daya
540,359
542,914
545,528
548,203
550,941
553,742
12
Gayo Lues
421,130
421,424
421,723
422,029
422,341
422,659
13
Aceh Tamiang
508,754
510,498
512,283
514,108
515,975
517,884
14
Nagan Raya
473,302
474,128
474,971
475,832
476,711
477,609
15
Aceh Jaya
552,110
553,011
553,928
554,864
555,819
556,792
1,428,951
1,453,365
1,478,387
1,504,032
1,530,315
1,557,252
771,563
778,849
786,312
793,956
801,786
809,807
16
Banda Aceh
17
Langsa
18
Lhokseumawe
1,511,481
1,520,562
1,529,862
1,539,385
1,549,139
1,559,127
19
Bener Meriah
1,056,279
1,071,754
1,087,611
1,103,861
1,120,514
1,137,579
20
Simeulue
565,394
565,972
566,558
567,153
567,757
568,370
21
Sabang
529,351
529,948
530,553
531,169
531,793
532,428
22
Medan
6,773,524
7,318,796
7,916,278
8,570,983
9,288,404
10,074,562
Sumber: Hasil Analisis
151
Tabel IV.13 Tarikan Pergerakan Barang (ton/tahun) No.
Nama Zona 2006
Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun) 2007 2008 2009 2010
2011
1
Aceh Singkil
719,184
720,404
721,640
722,890
724,157
725,439
2
Aceh Selatan
746,926
748,517
750,127
751,758
753,410
755,082
3
Aceh Tenggara
735,141
736,591
738,060
739,547
741,054
742,579
4
Aceh Timur
832,224
834,890
837,589
840,323
843,091
845,894
5
Aceh Tengah
735,305
736,743
738,198
739,672
741,165
742,676
6
Aceh Barat
729,904
731,263
732,639
734,033
735,444
736,873
7
Aceh Besar
825,182
827,763
830,376
833,023
835,703
838,417
8
Pidie
938,810
942,805
946,850
950,946
955,094
959,294
9
Bireun
856,534
859,491
862,485
865,516
868,586
871,695
10
Aceh Utara
950,701
954,836
959,023
963,262
967,554
971,901
11
Aceh Barat Daya
696,529
697,476
698,435
699,406
700,389
701,384
12
Gayo Lues
667,635
668,218
668,809
669,407
670,012
670,625
13
Aceh Tamiang
776,529
778,499
780,495
782,516
784,562
786,635
14
Nagan Raya
696,125
697,072
698,031
699,002
699,985
700,981
15
Aceh Jaya
674,927
675,587
676,255
676,931
677,616
678,309
16
Banda Aceh
782,989
785,021
787,078
789,161
791,270
793,406
17
Langsa
712,798
713,959
715,134
716,324
717,529
718,750
18
Lhokseumawe
715,152
716,339
717,541
718,757
719,990
721,238
19
Bener Meriah
700,585
701,584
702,596
703,620
704,657
705,707
20
Simeulue
669,822
670,445
671,075
671,714
672,360
673,016
21
Sabang
640,869
641,110
641,354
641,601
641,851
642,104
22
Medan
1,980,524
1,998,871
2,017,465
2,036,311
2,055,411
2,074,769
Sumber: Hasil Analisis
Selanjutnya besar bangkitan/tarikan dalam satuan pergerakan/tahun (penumpang) dan ton/tahun (barang) akan dikonversikan ke dalam satuan smp/jam. Metoda konversi ke dalam satuan smp/jam, adalah: a. Penumpang, asumsi 5 pergerakan sama dengan 1 smp dan nilai k = 0,11, (jalan luar kota, dalam MKJI 1997), b. Barang, asumsi 8 ton sama dengan 1 kendaraan truk sedang dengan nilai emp = 4,2 (daerah luar kota dengan gradien 5%) dan nilai k = 0,11 (jalan luar kota, dalam MKJI 1997).
152
Tabel IV.14 Total Bangkitan Penumpang dan Barang (smp/jam) No.
Nama Zona 2006
1 2
Total Bangkitan Pergerakan (smp/jam) 2007 2008 2009 2010
2011
Aceh Singkil Aceh Selatan
127 147
127 148
128 149
128 149
128 150
129 151
3
Aceh Tenggara
117
118
118
118
118
119
4 5
Aceh Timur Aceh Tengah
191 172
192 173
193 175
194 176
195 177
197 178
6
Aceh Barat
131
132
132
133
133
134
7
Aceh Besar
170
171
172
173
175
176
8
Pidie
178
179
181
182
184
186
9
Bireun
209
211
213
215
217
219
10 11
Aceh Utara Aceh Barat Daya
347 146
351 147
355 148
358 149
362 150
366 151
12
Gayo Lues
111
111
111
111
111
112
13
Aceh Tamiang
142
143
143
144
145
146
14
Nagan Raya
124
125
125
125
126
126
15
Aceh Jaya
135
136
136
136
137
137
16 17
Banda Aceh Langsa
441 216
449 218
457 221
466 223
475 226
483 229
18
Lhokseumawe
344
347
350
353
357
360
19
Bener Meriah
315
320
326
331
337
342
20
Simeulue
135
135
135
135
135
136
21
Sabang
127
127
127
127
128
128
22
Medan
2,165
2,344
2,540
2,755
2,990
3,248
Sumber: Hasil Analisis
Tabel IV.15 Total Tarikan Penumpang dan Barang (smp/jam) No.
Nama Zona 2006
Total Tarikan Pergerakan (smp/jam) 2007 2008 2009 2010
2011
1
Aceh Singkil
194
198
202
206
211
216
2
Aceh Selatan
210
214
218
223
228
234
3
Aceh Tenggara
191
195
198
203
207
212
4
Aceh Timur
252
257
263
269
276
282
5
Aceh Tengah
221
226
231
236
242
247
6
Aceh Barat
198
202
206
210
215
220
7
Aceh Besar
234
239
244
250
256
262
8
Pidie
250
255
261
268
274
281
9
Bireun
254
260
267
273
280
287
10
Aceh Utara
355
364
373
382
392
403
11
Aceh Barat Daya
199
203
208
212
217
222
12
Gayo Lues
177
181
184
188
192
196
13
Aceh Tamiang
210
214
219
223
229
234
14
Nagan Raya
190
193
197
201
206
210
15
Aceh Jaya
196
199
203
207
212
216
153
Tabel IV.15 Total Tarikan Penumpang dan Barang (smp/jam) (lanjutan) No.
Nama Zona 2006
Total Tarikan Pergerakan (smp/jam) 2007 2008 2009 2010
2011
16
Banda Aceh
340
350
360
372
383
396
17
Langsa
234
239
245
251
258
264
18
Lhokseumawe
328
335
343
351
360
369
19
Bener Meriah
272
280
287
295
304
313
20
Simeulue
196
200
204
208
212
217
21
Sabang
186
190
193
197
201
205
22
Medan
1,305
1,410
1,527
1,657
1,802
1,964
Sumber: Hasil Analisis
IV.5.4 Penentuan Matriks Asal Tujuan (MAT)
Bangkitan pergerakan memperlihatkan banyaknya lalulintas yang dibangkitkan oleh
setiap
tata
guna
lahan,
sedangkan
sebaran
perjalanan/pergerakan
menunjukkan ke mana dan dari mana lalulintas tersebut. Dibentuknya Matriks Asal-Tujuan (MAT) adalah cara yang sering digunakan oleh perencana untuk menggambarkan pola pergerakan tersebut.
Matriks Asal Tujuan (MAT) dibentuk dari matriks biaya dan besarnya bangkitan/tarikan (Tabel
IV.14 dan Tabel IV.15) dari tiap zona dengan
menggunakan model gravity (GR). Matriks biaya dalam hal ini yang digunakan adalah jarak antar pusat zona. Penggunaan variabel jarak adalah sesuai dengan studi Isya et al. (2006). Pada Tabel IV.16 disajikan matriks jarak yang digunakan sebagai fungsi hambatan. Jarak tersebut merupakan jarak antar pusat zona dengan perjalanan darat jalan raya. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer C++.
MAT Tahun Dasar 2007 diperoleh dengan menggunakan “Prior Matrix” hasil sebaran pergerakan bangkitan tarikan dengan metoda gravity yang kemudian dikalibrasi dengan data volume lalu lintas Tahun 2007 hasil survey sehingga diperoleh hasil berupa “Up To Date MAT”. Proses estimasi MAT dengan data arus lalu lintas disebut dengan proses ME2 (Matrix Estimation from Maximum Entropy) yang telah tersedia dalam software SATURN.
154
Tabel IV.16 Matriks Jarak Antar Zona (Km) Nama & No. Zona
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Banda Aceh
1
0
52
112
218
274
305
392
436
470
315
319
578
472
125
244
300
389
449
673
434
42
647
Aceh Besar
2
52
0
80
186
242
273
360
404
438
283
287
556
450
177
296
352
441
501
725
486
94
615
Pidie
3
112
80
0
106
162
193
311
355
389
203
207
476
370
237
356
412
501
561
661
546
154
566
Bireuen Lhokseumawe
4 5
218
186
106
0
56
87
205
249
283
97
101
370
264
343
462
518
650
590
555
652
260
460
274
242
162
56
0
31
149
193
227
153
157
426
320
399
518
574
594
534
499
708
316
404
Aceh Utara
6
305
273
193
87
31
0
118
162
196
294
298
567
461
395
514
570
594
536
468
704
347
373
Aceh Timur
7
392
360
311
205
149
118
0
44
78
302
306
575
469
491
636
692
624
564
529
826
434
255
Langsa
8
436
404
355
249
193
162
44
0
34
346
350
619
513
561
677
647
532
472
367
867
478
211
Aceh Tamiang
9
470
438
389
283
227
196
78
34
0
380
384
653
547
530
573
543
428
368
333
763
512
177
Bener Meriah
10
315
283
203
97
153
294
302
346
380
0
20
289
183
440
559
615
704
687
652
749
357
557
Aceh Tengah
11
319
287
207
101
157
298
306
350
384
20
0
269
163
409
528
584
673
691
656
718
361
496
Aceh Tenggara
12
578
556
476
370
426
567
575
619
653
289
269
0
106
598
509
479
363
303
268
699
620
227
Gayo Lues
13
472
450
370
264
320
461
469
513
547
183
163
106
0
572
614
584
469
409
374
538
514
333
Aceh Jaya
14
125
177
237
343
399
395
491
561
530
440
409
598
572
0
119
175
264
324
514
309
167
917
Aceh Barat
15
244
296
356
462
518
514
636
677
573
559
528
509
614
119
0
56
145
205
395
190
286
798
Nagan Raya
16
300
352
412
518
574
570
692
647
543
615
584
479
584
175
56
0
83
143
333
246
342
736
A Barat Daya
17
389
441
501
650
594
594
624
532
428
704
673
363
469
264
145
83
0
60
310
189
431
713
Aceh Selatan
18
449
501
561
590
534
534
564
472
368
687
691
303
409
324
205
143
60
0
190
129
491
593
Aceh Singkil
19
673
725
661
555
499
468
529
367
333
652
656
268
374
514
395
333
310
190
0
319
715
403
Simeulue
20
434
486
546
652
708
704
826
867
763
749
718
699
538
309
190
246
189
129
319
0
476
722
Sabang
21
42
94
154
260
316
347
434
478
512
357
361
620
514
167
286
342
431
491
715
476
0
689
Medan
22
647
615
566
460
404
373
255
211
177
557
496
227
333
917
798
736
713
593
403
722
689
0
155
Metode yang digunakan dalam analisis MAT adalah metode Gravity Model jenis dua batasan seperti yang telah disampaikan pada bagian II.4.4.5 tentang Gravity Model. Hasil analisis untuk satu tahun tinjauan seperti yang dapat dilihat pada Tabel IV.17 disajikan MAT tahun 2007.
Tabel IV.17 Matriks Asal Tujuan (smp/jam) tahun 2007 Banda Aceh Aceh Besar
Zona Banda Aceh Aceh Besar Pidie Bireun
Lhokseumawe Aceh Utara Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Gayo Lues Aceh Tenggara Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Barat Daya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Jaya Aceh Tengah Bener Meriah Simeulue Sabang Medan
0 66 30 9 6 8 5 2 2 3 3 3 3 3 7 4 24 3 3 5 66 15
97 0 27 6 4 5 3 1 1 2 1 1 2 1 3 2 8 2 2 2 11 9
Pidie
49 30 0 22 12 13 6 2 3 4 3 2 3 2 3 2 8 6 4 3 8 15
Bireun
Lhokseu mawe
14 7 22 0 42 33 8 3 3 5 3 1 3 1 2 1 4 12 10 2 3 16
8 4 9 35 0 120 10 3 3 3 2 1 3 1 1 1 2 5 4 1 2 15
Aceh Utara
11 5 11 27 121 0 21 6 6 3 2 2 4 1 2 1 4 3 2 2 2 26
Aceh Timur
Langsa
Aceh Tamiang
7 3 5 8 12 25 0 43 25 3 1 2 4 1 1 1 3 3 2 2 2 46
3 1 2 3 4 8 48 0 45 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 32
4 2 3 3 5 8 27 43 0 1 1 2 5 1 1 1 2 1 1 1 1 54
Gayo Lues
Aceh Tenggara
7 3 5 7 5 4 3 1 1 0 30 3 7 2 2 2 3 9 6 4 2 37
5 2 3 4 3 3 2 1 1 28 0 5 11 3 2 2 2 4 3 2 1 64
Aceh Aceh Aceh Barat Selatan Singkil Daya
7 2 3 2 2 3 2 2 3 4 6 0 18 42 8 12 5 1 1 27 2 15
6 2 3 3 4 6 4 4 6 7 12 15 0 6 5 6 5 2 1 12 2 44
8 2 3 1 2 2 2 1 2 3 4 44 8 0 12 24 7 1 1 14 2 10
Aceh Barat
16 4 5 3 2 3 2 1 1 2 3 8 6 11 0 44 22 1 1 14 3 9
Nagan Raya
11 3 4 2 2 2 2 1 1 2 3 12 7 23 46 0 12 1 1 9 2 9
Aceh Jaya
Aceh Tengah
46 10 9 4 3 5 3 1 2 2 2 4 4 5 18 9 0 2 1 8 8 8
7 3 7 16 8 5 4 1 2 9 4 1 2 1 1 1 2 0 84 1 2 12
Bener Simeulue Sabang Medan Meriah
6 2 6 13 7 4 3 1 1 6 3 1 1 1 1 1 2 88 0 1 1 8
12 4 4 3 2 3 2 1 2 4 3 25 14 13 14 9 9 2 1 0 3 18
Selengkapnya MAT tiap tahun tinjauan ditampilkan pada Lampiran E. IV.5.5 Kinerja Jaringan Jalan
Garis keinginan (desire line) menggambarkan besarnya pergerakan antar zona di wilayah kajian. Garis keinginan merupakan bentuk grafis dari MAT. Nama ini diberikan karena pola pergerakan selain mempunyai dimensi jumlah pergerakan, juga mempunyai dimensi ruang yang lebih mudah digambarkan secara grafis.
Dari matriks asal tujuan (MAT) dapat diketahui arus pergerakan antar zona tetapi tidak diketahui gambaran arahan atau orientasi pergerakan tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan garis keinginan (desire line) yang menunjukkan gambaran pergerakan yang terjadi, meskipun ada juga kelemahannya berupa tidak tepatnya informasi arus pergerakan (besar arus pergerakan dinyatakan dengan tebal garis keinginan). Garis keinginan (desire line) dan demand flow untuk dua tahun tinjauan di wilayah kajian disajikan pada Gambar IV.10 dan IV.11.
156
97 11 8 3 2 3 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 6 1 1 2 0 5
12 5 8 8 10 16 24 15 26 15 27 5 18 3 3 3 4 5 3 7 3 0
Keterangan gambar (smp/jam) 200
Gambar IV.10
100
0
Desire Line Tahun 2007
(Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005))
Keterangan gambar (smp/jam) 3.000 1.500 0
Gambar IV.11
Demand Flow Tahun 2007
(Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005))
157
Pada tiap tahun kajian akan dilakukan analisis kinerja operasional sistem jaringan jalan hasil simulasi pembebanan lalu lintas. Kinerja operasional sistem jaringan jalan yang perlu dilihat dalam penelitian ini adalah degree of saturated atau V/C Ratio (perbandingan Volume dengan Kapasitas), kecepatan pada ruas jalan, serta parameter International Roughness Index (IRI) dalam menentukan kondisi konstruksi jalan. Analisis kapasitas dapat dilihat pada Lampiran F dan Kinerja jaringan pada Lampiran G. Sebagai contoh hasil analisis kinerja jaringan seperti yang dapat dilihat pada Tabel IV.18. Tabel IV.18 Kinerja Jaringan Jalan Tahun 2007 Tahun 2007 No
Nama Ruas
1 Banda Aceh-Indrapuri 2 Indrapuri-Seulimeun 3 Seulimum-Padangtiji 4 Seulimum-Padangtiji 5 Seulimum-Padangtiji 6 Padangtiji-Sigli 7 Padangtiji-Sigli 8 Sigli-Beureunuen 9 Beureunuen-Uleglee 10 Uleglee-Bireuen 11 Bireuen-Geurugok 12 Geurugok-Kruenggeukuh 13 Kruenggeukuh-Lhokseumawe 14 Lhokseumawe-Bayu 15 Bayu-Blangjuron 16 Blangjruen-Pantonlabu 17 Pantonlabu-Peureulak 18 Pereulak-Bayeun 19 Bayeun-Langsa 20 Langsa-Tualangcut Sumber: Hasil Analisis
Kec (Km/jam)
VCR
IRI Akhir
31.80 22.89 23.60 22.84 22.84 22.79 22.81 22.12 23.77 23.26 23.83 23.83 24.87 26.04 24.40 24.15 24.15 24.35 22.53 24.65
0.46 0.46 0.42 0.49 0.49 0.50 0.49 0.58 0.39 0.35 0.49 0.49 0.41 0.24 0.43 0.39 0.39 0.47 0.44 0.19
2.73 2.86 2.83 3.48 4.09 3.98 3.06 3.07 3.30 3.23 2.98 3.28 3.15 4.18 2.53 2.71 3.37 2.87 3.37 3.38
IV.6 Penilaian Kriteria
Kriteria prioritasi program penanganan jaringan jalan dapat dispesifikasi dari sasaran penyelenggaraan jaringan jalan. Adapun peranan jalan seperti dalam amanat UU No. 38 Tahun 2004, disampaikan bahwa: “jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan serta
158
dipergunakan
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat”.
Selain
itu
disampaikan juga bahwa “jalan mempunyai peranan untuk mendorong pengembangan semua satuan wilayah pengembangan, dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata”. Tujuan tersebut dapat diekstraksi sebagai berikut, yakni: efisiensi operasi, efektifitas dorongan bagi pengembangan ekonomi, pemerataan akses, fungsi sosial, dan fungsi hankam.
Dari sasaran pengembangan sistem transportasi wilayah, sejumlah kepentingan lainnya dan batasan/hambatan dalam penyelenggaraan jaringan jalan dapat dispesifikasi menjadi sejumlah kriteria yang berkenaan dengan tujuan/sasaran pengembangan sistem jaringan jalan di Provinsi NAD, seperti yang telah disampaikan pada anak sub bab IV.3.1
Proses penilaian kinerja suatu usulan terhadap kriteria penanganan jaringan jalan dilakukan dengan memberikan skor yang dilakukan oleh pakar (expert judgement) yang berkompeten di bidang transportasi, khususnya jalan. Dalam hal ini skor diberikan dengan skala antara 0 s/d 10, di mana angka 10 diberikan untuk usulan penanganan yang mampu memenuhi syarat kriteria yang tertinggi, dan sebaliknya angka 0 diberikan untuk penilaian terendah. Sehubungan dengan adanya kriteria yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, maka proses skoring untuk kedua jenis kriteria tersebut dibedakan. Penilaian terhadap tiap kriteria dijabarkan sebagai berikut.
A. Pengembangan Wilayah Kriteria pengembangan wilayah terdiri dari 5 (lima) sub-kriteria, antara lain: 1. Hirarki jaringan jalan, Hirarki ruas jalan berdasarkan fungsi (Arteri, Kolektor Primer atau Kolektor Sekunder), di mana untuk ruas hirarki arteri diberi nilai 10, ruas hirarki kolektor primer diberi nilai 8, dan ruas hirarki kolektor sekunder diberi nilai 6. 2. Keterkaitan antar PKN, PKW, PKL,
159
Kota dengan hirarki PKN, PKW, PKL yang dihubungkan oleh setiap ruas, di mana untuk kota hirarki PKN diberi nilai 10, kota hirarki PKW diberi nilai 8, dan kota hirarki PKL diberi nilai 6. 3. Peningkatan kawasan tertinggal, Kawasan tertinggal di sekitar tiap ruas jalan. Ruas jalan akan memperoleh nilai 10 atau menjadi prioritas penanganan jika di sekitar ruas jalan tersebut terdapat kawasan tertinggal berdasarkan RTRW Provinsi NAD. 4. Pengembangan kawasan khusus, Kawasan khusus di sekitar tiap ruas jalan. Ruas jalan akan memperoleh nilai 10 atau menjadi prioritas penanganan jika di sekitar ruas jalan tersebut terdapat kawasan khusus berdasarkan RTRW Provinsi NAD. Hal ini karena penanganan ruas jalan di sekitar kawasan khusus akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah. Nilai 10 diberikan untuk kawasan Kapet Bandar Aceh Darussalam, nilai 8 diberikan untuk kawasan potensi khusus, nilai 6 diberikan untuk kawasan andalan berkembang, nilai 4 diberi untuk kawasan prospektif untuk berkembang dan nilai 2 diberi untuk kawasan kritis. 5. Keterpaduan antar moda transportasi. Simpul yang yang terkait dengan setiap ruas jalan, seperti jalan raya, jalan rel, moda udara dan moda laut. Ruas jalan yang terkait dengan simpul terbanyak akan menjadi prioritas penanganan atau diberi nilai tinggi.
B. Efisiensi Ekonomi Kriteria efisiensi ekonomi terdiri dari 3 (tiga) sub-kriteria, antara lain: 1. Total biaya, Skoring total biaya didasarkan terhadap biaya penanganan setiap ruas jalan. Ruas jalan dengan biaya penanganan yang kecil akan menjadi prioritas. Hal ini didasarkan terhadap keterbatasan dana yang tersedia.
160
2. Kelayakan ekonomi, Kelayakan ekonomi didasarkan terhadap besarnya potensi wilayah dan jumlah penduduk yang dianggap menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan perekonomian wilayah dengan adanya penanganan ruas jalan. 3. Penghematan BOK. Skoring sub-kriteria ini didasarkan terhadap besarnya penghematan biaya operasional kendaraan (BOK) di tiap ruas jalan tanpa dan dengan adanya penanganan.
C. Peningkatan Layanan Transportasi Kriteria peningkatan layanan transportasi terdiri dari 4 (empat) sub-kriteria, antara lain: 1. Indeks aksesibilitas, Sumbangan ruas jalan bagi mobilitas penduduk di kabupaten/kota yang dilalui oleh masing-masing ruas jalan diperoleh dari besarnya indeks mobilitas ruas jalan terhadap indeks mobilitas wilayah dimana ruas jalan tersebut berada. 2. Indeks mobilitas, Sumbangan ruas jalan bagi aksesibilitas penduduk di kabupaten/kota yang dilalui oleh masing-masing ruas jalan diperoleh dari besarnya indeks aksesibilitas ruas jalan terhadap indeks aksesibilitas wilayah dimana ruas jalan tersebut berada. 3. Tingkat kinerja lalu lintas (Volume/Capacity), Ruas jalan dengan tingkat kinerja yang rendah yang digambarkan dengan nilai VCR yang tinggi, akan menjadi prioritas penanganan. 4. Kondisi kerusakan jalan (International Roughness Index (IRI)). Ruas jalan dengan kondisi kerusakan jalan rusak berat yang digambarkan dengan nilai IRI yang tinggi, akan menjadi prioritas penanganan.
161
D. Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan Kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan terdiri dari 4 (empat) sub-kriteria, antara lain: 1. Dampak kelestarian lingkungan, Dampak terhadap kelestarian lingkungan didasarkan terhadap keberadaan kawasan lindung di wilayah Provinsi NAD. 2. Dampak terhadap ganti rugi, Dampak terhadap ganti rugi didasarkan terhadap harga satuan pekerjaan di setiap wilayah dimana ruas jalan tersebut berada. 3. Penciptaan lapangan kerja. Skoring dalam hal penciptaan lapangan kerja didasarkan pada jumlah tenaga kerja di wilayah dimana ruas jalan tersebut berada. Penanganan ruas jalan diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan. Hasil skoring kriteria untuk masing-masing ruas jalan dapat dilihat pada bagian Lampiran H.
IV.7 Penyusunan Prioritas Penanganan Jalan
Pada bagian ini akan disampaikan mengenai proses dan hasil prioritasi kegiatan penanganan jalan di wilayah studi. Proses prioritasi dilakukan dengan alat bantu metoda Analisis Multi Kriteria (AMK). Prioritas penanganan jalan tersebut ditinjau dengan 2 (dua) skenario kriteria penanganan, yakni: a. Metoda top-down, yaitu metoda penentuan prioritas penanganan jalan berdasarkan masukan dan rencana atau kriteria dari pengambil keputusan dengan kriteria seperti yang telah disampaikan pada bagian IV.3.1. b. Metoda kombinasi bottom-up dengan top-down, yaitu metoda penentuan prioritas penanganan jalan berdasarkan masukan dan rencana atau kriteria gabungan dari pengambil keputusan dan stakeholders, seperti yang telah disampaikan juga pada bagian IV.3.1.
162
Terdapat dua hal penting dalam penentuan rangking prioritas, pertama bobot kriteria dan kedua adalah skoring ruas jalan untuk kriteria yang ditinjau. Dasar penetapan skoring, seperti yang dikemukakan Nazir (2005). Metode analisis perangkingan dilakukan berdasarkan metode analisis perangkingan yang disampaikan pada sub-bab III.10. bagian penentuan prioritas penanganan jalan.
Kenyataannya permasalahan keterbatasan biaya penyelenggaraan pembinaan jalan menyebabkan tidak semua ruas dapat tertangani sesuai dengan kebutuhan penanganan. Untuk itu dalam dalam analisis ini dilakukan tinjauan untuk dua skenario pembiayaan. Skenario tersebut adalah: a. Skenario 1, yaitu 100% total biaya penanganan jalan tersedia. Dengan skenario ini semua jalan akan dapat tertangani setiap tahunnya. b. Skenario 2, yaitu hanya 50% dari total biaya penanganan jalan tersedia. Dengan skenario ini hanya sebagian jalan yang tertangani sesuai urutan prioritas penanganan. Sisanya menjadi prioritas pada tahun berikutnya.
IV.7.1 Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan
IV.7.1.1 Metoda Top-Down
Metoda Top-Down (TD) dalam aplikasi penelitian ini adalah metoda penentuan prioritas program penanganan jalan berdasarkan kriteria teknis terukur dari kriteria Peningkatan Layanan Transportasi dengan empat sub-kriterianya. Bobot kriteria dan sub-kriteria metode TD ini merupakan hasil analisis bobot hasil wawancara dari pihak pengambil keputusan. Pada Tabel IV.19 berikut disajikan urutan prioritas penanganan ruas jalan di Provinsi NAD berdasarkan metoda TD dengan skenario 1 penanganan. Urutan prioritas dianalisis untuk semua tahun tinjauan.
163
Tabel IV.19 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Dengan Metoda TD dengan Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Ruas Banda Aceh-Indrapuri Indrapuri-Seulimeun Seulimum-Padangtiji Seulimum-Padangtiji Seulimum-Padangtiji Padangtiji-Sigli Padangtiji-Sigli Sigli-Beureunuen Beureunuen-Uleglee Uleglee-Bireuen Bireuen-Geurugok Geurugok-Kruenggeukuh Kruenggeukuh-Lhokseumawe Lhokseumawe-Bayu Bayu-Blangjuron Blangjruen-Pantonlabu Pantonlabu-Peureulak Pereulak-Bayeun Bayeun-Langsa Langsa-Tualangcut Tualangcut-Batas Sumut Meulaboh-Kualatuha Kualatuha-Lamie Lamie-Aluebili Aluebili-Blangpidie Blangpidie-Tapaktuan Tapaktuan-Bakongan Bakongan-Kruengluas Bakongan-Kruengluas Kruengluas-Penanggalan Penanggalan-Batas Sumut Seulimum-Jantho Keumala-Tangse Tangse-Geumpang Angkop-Takengon Takengon-Isak Isak-Uwak Uwak-Rikitgaib Rikitgaib-Blangkejeren Blangkejeren-Kutacane Blangkejeren-Kutacane
Tahun 2007 29 36 44 15 16 18 35 21 27 17 19 24 40 48 41 47 22 30 32 56 54 14 26 43 4 1 9 33 31 13 5 55 46 25 12 57 45 42 50 23 37
164
Rangking Tahun Tahun 2008 2009 37 42 43 21 35 27 31 26 33 20 23 29 45 53 14 49 28 38 40 56 54 19 34 46 4 1 12 9 11 16 5 57 52 32 24 47 30 17 36 13 25
37 42 43 16 31 25 27 24 30 17 15 26 45 54 10 47 23 34 38 56 53 19 32 46 5 1 8 35 39 12 4 57 51 29 21 48 28 13 33 9 22
Tahun 2010
Tahun 2011
43 47 53 28 30 35 49 36 19 14 11 16 34 45 26 41 13 23 22 52 44 9 17 33 4 1 5 20 18 8 12 51 57 56 32 54 42 37 46 15 24
44 48 55 26 27 30 51 36 19 14 13 16 29 45 25 38 12 22 21 54 39 9 17 31 4 2 5 20 18 8 11 53 59 58 35 56 41 37 47 15 24
Tabel IV. 19 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Dengan Metoda TD dengan Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan (Lanjutan) No 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Nama Ruas Kutacane-Batas Sumut Bireuen-Blang Kuyu Blang Kuyu-Sp Tiga Sp. Tiga-Takengon Peureulak-lokop Lokop-Pinding Blangkejeren-Pinding Angkop-Simpang Kelaping Simpang Kelaping-Beutong Beutong-Bungangtalu Beutong-Bungangtalu Bungangtalu-Jeuram Jeuram-Kualatuha Geumpang-Tutut Tutut-Meulaboh Beutong-Jagong Jagong-Isak Banda Aceh-Ulele Ulele-Lhoknga Lhoknga-Lhong Lhoknga-Lhong Lhong-Lhokkruet Lhokkruet-Calang Calang-Meulaboh Calang-Meulaboh Tangse-Lhokkruet
Tahun 2007 2 3 8 53 34 7 38 52 49 51 39 10 28 6 20 58 59 11
Rangking Tahun Tahun 2008 2009 2 3 6 55 39 8 41 51 48 50 44 18 7 10 22 58 59 15
2 3 6 55 40 7 41 52 49 50 44 14 36 18 20 58 59 11
Tahun 2010
Tahun 2011
2 3 7 48 29 6 31 39 38 40 25 27 21 55 50 60 61 67 65 66 63 62 64 58 59 10
1 3 6 50 32 7 34 42 40 43 28 33 23 57 52 64 67 66 63 65 61 60 62 46 49 10
Keterangan: ruas 59 -66 diasumsikan beroperasi kembali tahun 2010 Sumber: Hasil Analisis
IV.7.1.2 Metoda Kombinasi Top Down dan Bottom-Up
Metoda kombinasi bottom-up dan Bottom-Up adalah metoda penentuan prioritas penanganan jalan berdasarkan bobot kinerja hasil wawancara dari para PK dan SH untuk penanganan jaringan jalan di provinsi NAD. Pada Tabel IV.20 berikut disajikan urutan prioritas penanganan ruas jalan di Provinsi NAD berdasarkan metoda bottom-up, juga dianalisis untuk semua tahun tinjauan.
165
Tabel IV.20 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Dengan Metoda TD dan BU dengan Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama Ruas Banda Aceh-Indrapuri Indrapuri-Seulimeun Seulimum-Padangtiji Seulimum-Padangtiji Seulimum-Padangtiji Padangtiji-Sigli Padangtiji-Sigli Sigli-Beureunuen Beureunuen-Uleglee Uleglee-Bireuen Bireuen-Geurugok Geurugok-Kruenggeukuh Kruenggeukuh-Lhokseumawe Lhokseumawe-Bayu Bayu-Blangjuron Blangjruen-Pantonlabu Pantonlabu-Peureulak Pereulak-Bayeun Bayeun-Langsa Langsa-Tualangcut Tualangcut-Batas Sumut Meulaboh-Kualatuha Kualatuha-Lamie Lamie-Aluebili Aluebili-Blangpidie Blangpidie-Tapaktuan Tapaktuan-Bakongan Bakongan-Kruengluas Bakongan-Kruengluas Kruengluas-Penanggalan Penanggalan-Batas Sumut Seulimum-Jantho Keumala-Tangse Tangse-Geumpang Angkop-Takengon Takengon-Isak Isak-Uwak Uwak-Rikitgaib Rikitgaib-Blangkejeren Blangkejeren-Kutacane
Tahun 2007 15 20 24 26 9 2 5 8 22 25 12 3 1 4 11 6 10 16 13 35 34 17 30 37 18 7 23 48 45 29 21 40 32 31 42 57 52 56 54 47
166
Rangking Tahun Tahun 2008 2009 15 23 25 27 9 2 4 7 22 24 11 3 1 5 12 8 10 18 13 36 34 16 30 37 17 6 21 51 48 29 19 42 33 31 43 57 54 56 53 47
15 23 25 27 9 2 4 8 22 24 11 3 1 5 12 6 10 20 13 35 31 19 30 37 18 7 21 51 48 28 16 42 34 32 43 57 54 56 53 46
Tahun 2010
Tahun 2011
20 28 37 35 19 12 15 17 21 23 8 2 1 4 6 5 7 16 10 33 30 13 26 32 14 3 18 51 42 24 27 44 49 59 36 64 58 61 53 43
20 28 35 33 19 12 14 17 21 23 10 2 1 4 6 5 8 15 9 32 27 13 25 30 16 3 18 50 38 24 26 42 46 58 59 63 57 60 52 41
Tabel IV.20 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Dengan Metoda TD dan BU dengan Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan (Lanjutan) No 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Nama Ruas Blangkejeren-Kutacane Kutacane-Batas Sumut Bireuen-Blang Kuyu Blang Kuyu-Sp Tiga Sp. Tiga-Takengon Peureulak-lokop Lokop-Pinding Blangkejeren-Pinding Angkop-Simpang Kelaping Simpang Kelaping-Beutong Beutong-Bungangtalu Beutong-Bungangtalu Bungangtalu-Jeuram Jeuram-Kualatuha Geumpang-Tutut Tutut-Meulaboh Beutong-Jagong Jagong-Isak Banda Aceh-Ulele Ulele-Lhoknga Lhoknga-Lhong Lhoknga-Lhong Lhong-Lhokkruet Lhokkruet-Calang Calang-Meulaboh Calang-Meulaboh Tangse-Lhokkruet
Tahun 2007 46 19 14 33 44 28 41 43 49 55 53 50 36 39 38 27 58 59 51
Rangking Tahun Tahun 2008 2009 49 20 14 35 46 26 39 41 45 52 50 44 32 38 40 28 58 59 55
49 17 14 36 45 26 39 41 47 52 50 44 33 38 40 29 58 59 55
Tahun 2010
Tahun 2011
50 11 9 31 46 22 34 39 41 52 47 40 25 29 60 48 66 67 54 57 56 55 65 63 45 38 62
48 7 11 31 47 22 34 37 40 53 49 39 43 29 65 45 66 67 51 56 55 54 64 62 44 36 61
Sumber: Hasil Analisis
Untuk melihat perbandingan perubahan rangking antara proses TD dan kombinasi TD-BU maka dapat diplot ke dalam grafik seperti yang dapat dilihat pada Gambar IV.13 (hanya contoh untuk tahun 2007). Terdapat perbedaan rangking untuk setiap ruas yang menandakan terjadinya perubahan skala prioritas.
167
TD
TD-BU
60
Rangking
50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nomor ruas jalan Gambar IV.12
Perbandingan prioritas penanganan antara proses TD dan gabungan TD-BU.
IV.7.2 Skenario 2 Biaya Penanganan Jalan
Skenario 2 biaya penanganan jalan adalah dilakukan dengan asumsi bahwa biaya penanganan yang dapat dialokasikan hanya 50% dari total kebutuhan biaya penanganan dalam satu tahun. Analisis perangkingan skenario 2 ini dilakukan untuk tahun tinjauan 2008 dan 2009. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel IV.21 dan analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran I.
Dari Tabel IV.21 tersebut dapat dilihat bahwa, prioritas penanganan pada ruas jalan yang sama dapat dillihat perbedaannya untuk tahun yang berbeda. Perbedaan prioritas penanganan juga dapat dilihat atas dasar bobot kriteria dari pengambil keputusan (disebut dengan metode top-down) dan kombinasi pengambil keputusan dan stakeholders (disebut dengan top-down dan bottom-up).
168
Tabel IV.21 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Berdasarkan Skenario 2 Biaya Penanganan dengan Metoda TD dan Kombinasi TD- BU Top-Down No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Nama Ruas Banda Aceh-Indrapuri Indrapuri-Seulimeun Seulimum-Padangtiji Seulimum-Padangtiji Seulimum-Padangtiji Padangtiji-Sigli Padangtiji-Sigli Sigli-Beureunuen Beureunuen-Uleglee Uleglee-Bireuen Bireuen-Geurugok Geurugok-Kruenggeukuh Kruenggeukuh-Lhokseumawe Lhokseumawe-Bayu Bayu-Blangjuron Blangjruen-Pantonlabu Pantonlabu-Peureulak Pereulak-Bayeun Bayeun-Langsa Langsa-Tualangcut Tualangcut-Batas Sumut Meulaboh-Kualatuha Kualatuha-Lamie Lamie-Aluebili Aluebili-Blangpidie Blangpidie-Tapaktuan Tapaktuan-Bakongan Bakongan-Kruengluas Bakongan-Kruengluas Kruengluas-Penanggalan Penanggalan-Batas Sumut Seulimum-Jantho Keumala-Tangse Tangse-Geumpang Angkop-Takengon Takengon-Isak Isak-Uwak Uwak-Rikitgaib Rikitgaib-Blangkejeren Blangkejeren-Kutacane Blangkejeren-Kutacane Kutacane-Batas Sumut Bireuen-Blang Kuyu Blang Kuyu-Sp Tiga
Tahun 2008 37 42 43 21 35 27 31 26 33 20 23 29 45 53 14 49 28 38 40 56 54 19 34 46 4 1 12 9 11 16 5 57 52 32 24 47 30 17 36 13 25 2 3 6
169
Tahun 2009 37 42 43 16 31 25 27 24 30 17 15 26 45 54 10 47 23 34 38 56 53 19 32 46 5 1 8 35 39 12 4 57 51 29 21 48 28 13 33 9 22 2 3 6
Top-Down dan BottomUp Tahun Tahun 2008 2009 15 14 24 23 16 15 25 22 9 8 3 3 1 1 7 6 23 24 26 25 12 11 4 4 2 2 5 5 10 9 8 7 11 10 19 18 13 12 35 33 33 30 17 20 30 29 36 36 18 19 6 21 22 35 47 43 44 41 28 27 20 16 40 39 32 32 31 31 55 55 57 57 53 53 56 56 52 51 45 47 48 48 21 17 14 13 34 34
Tabel IV.21 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Berdasarkan Skenario 2 Biaya Penanganan dengan Metoda TD dan Kombinasi TD- BU (Lanjutan) Top-Down No 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Nama Ruas Sp. Tiga-Takengon Peureulak-lokop Lokop-Pinding Blangkejeren-Pinding Angkop-Simpang Kelaping Simpang Kelaping-Beutong Beutong-Bungangtalu Beutong-Bungangtalu Bungangtalu-Jeuram Jeuram-Kualatuha Geumpang-Tutut Tutut-Meulaboh Beutong-Jagong Jagong-Isak Banda Aceh-Ulele Ulele-Lhoknga Lhoknga-Lhong Lhoknga-Lhong Lhong-Lhokkruet Lhokkruet-Calang Calang-Meulaboh Calang-Meulaboh Tangse-Lhokkruet
Tahun 2008 55 39 8 41 51 48 50 44 18 7 10 22 58 59 15
Tahun 2009 55 40 7 41 52 49 50 44 14 36 18 20 58 59 11
Top-Down dan BottomUp Tahun Tahun 2008 2009 41 42 27 26 39 38 38 40 43 45 51 52 49 49 42 44 46 46 37 37 50 50 29 28 58 58 59 59 54 54 51 55
Sumber: Hasil Analisis
Untuk melihat perbandingan prioritas dan jenis program penanganan untuk suatu ruas jalan pada tahun tinjauan (hanya untuk tahun 2008 dan 2009) atas dasar kriteria dari pengambil keputusan (top-down) dan kriteria dari gabungan pengambil keputusan dan stakeholders (top-down dan bottom-up), dapat dilihat pada Tabel IV.22 berikut.
170
Tabel IV.22 Perbandingan urutan prioritas penanganan jalan Top-Down No
Nama Ruas
Lokasi (KM)
Tahun Tinjauan
Penanganan 100%
Top-Down dan Bottom-Up
Penanganan 50%
Penanganan 100%
Penanganan 50%
Jenis Jenis Jenis Jenis Rangking Rangking Rangking Rangking Penanganan Penanganan Penanganan Penanganan 1 Banda Aceh-Indrapuri
0+000 - 26+000
2 Seulimum-Padangtiji
41+000 - 57+000
3 Padangtiji-Sigli
105+000 - 112+000
4 Kruenggeukuh-Lhokseumawe 270+000 - 274+000 5 Lhokseumawe-Bayu
274+000 - 287+000
6 Bayu-Blangjuron
287+000 - 307+000
7 Langsa-Tualangcut
440+000 - 455+000
8 Tualangcut-Batas Sumut
455+000 - 491+000
9 Meulaboh-Kualatuha
244+000 - 262+000
10 Kualatuha-Lamie
262+000 - 305+000
11 Tapaktuan-Bakongan
449+000 - 505+000
2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009
Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin
30 31 44 44 35 35 40 40 48 48 39 38 56 56 53 50 14 14 26 27 9 8
171
Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala
37 37 43 43 31 27 45 45 53 54 14 10 56 56 54 53 19 19 34 32 12 8
Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin
15 15 25 25 4 4 1 1 5 5 12 12 36 35 34 31 16 19 30 30 21 21
Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala
15 14 16 15 1 1 2 2 5 5 10 9 35 33 33 30 17 20 30 29 22 35
Tabel IV.23 Perbandingan urutan prioritas penanganan jalan (Lanjutan) Top-Down No
Nama Ruas
Lokasi (KM)
Tahun Tinjauan
Penanganan 100%
Top-Down dan Bottom-Up
Penanganan 50%
Penanganan 100%
Penanganan 50%
Jenis Jenis Jenis Jenis Rangking Rangking Rangking Rangking Penanganan Penanganan Penanganan Penanganan 12
Bakongan-Kruengluas
13 Penanggalan-Batas Sumut
523+000 - 551+000 601+000 -619+000
14 Seulimum-Jantho
41+000 - 57+000
15 Tangse-Geumpang
172+000 - 210+000
16 Takengon-Isak
319+000 - 343+000
17 Uwak-Rikitgaib
379+000 - 446+000
18 Blangkejeren-Kutacane
543+000 - 583+000
19 Kutacane-Batas Sumut
583+000 - 615+000
20 Bireuen-Blang Kuyu
0+000 - 35+000
2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009
Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala Berkala Berkala Berkala Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin
32 32 4 4 55 55 25 26 57 57 42 42 34 34 2 2 3 3
Sumber: Hasil Analisis
172
Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala Berkala Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin
11 39 5 4 57 57 32 29 47 48 17 13 25 22 2 2 3 3
Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala Berkala Berkala Berkala Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin
48 48 19 16 42 42 31 32 57 57 56 56 49 49 20 17 14 14
Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Berkala Berkala Berkala Berkala Berkala Berkala Rutin Rutin Rutin Rutin
44 41 20 16 40 39 31 31 57 57 56 56 48 48 21 17 14 13
IV.8 Pembahasan
IV.8.1 Ketercapaian Tujuan Penelitian
Seperti yang telah disampaikan pada Bab 1 Pendahuluan tentang tujuan penelitian pengembangan metode perencanaan dalam kajian ini adalah suatu upaya perumusan metode perencanaan transportasi di era otonomi daerah. Isu strategis dalam menjalankan pemerintahan di era otonomi daerah adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance). Operasionalnya adalah pemerintahan yang bersifat: akuntabel, transparan, partisipatif, penguatan potensi daerah, pemerataan/berkeadilan, pembangunan yang tepat sasaran, dinamis dan bertahap.
Untuk itu pada uraian berikut akan disampaikan uraian capaian dalam kajian ini yang berkaitan dengan objektif yang telah disebutkan. Kesemua sifat objektif seperti yang telah disebutkan, merupakan hal yang saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Artinya pencapaian objektif yang satu akan merupakan ukuran pencapaian dari objektif yang lain juga.
Akuntabel, berkaitan dengan sifat bertanggung-jawab, baik oleh pribadi maupun kelompok. Seperti yang disebutkan dalam kamus Wikipedia bahwa sifat ini lebih difokuskan terhadap tanggung jawab terhadap tugas atau beban yang dilimpahkan kepada pribadi maupun kelompok dimaksud. Sifat bertanggung-jawab ini lebih dicerminkan oleh kepribadian yang muncul baik dari pribadi maupun kelompok, namun demikian sifat ini akan berjalan dengan baik bila ada kontrol/pengawasan dari luar. Kontrol tersebut dapat berjalan karena kriteria untuk pemrograman jelas dan terukur.
Transparan, berkaitan dengan keterbukaan dalam proses. Dalam proses perencanaan, suatu keputusan hasil perencanaan dapat dilihat alasan lahirnya suatu keputusan oleh kalangan yang lebih luas, dalam hal ini bukan hanya ditentukan oleh pengambil keputusan. Proses yang transparan dapat dilahirkan melalui proses yang partisipatif. Dalam kajian ini, proses transparan diperoleh
173
dengan memasukkan aspirasi pihak terkait berupa bobot kriteria perencanaan, karena keputusan program penanganan yang dilahirkan akan sangat dipengaruhi oleh kriteria dan bobot kriteria perencanaan.
Partisipatif, melibatkan pihak yang terkait pengambilan keputusan. Hal ini penting karena setiap hasil keputusan diimplementasikan akan mempengaruhi pihak tertentu, yang disebut sebagai stakeholders, baik secara positif maupun negatif. Untuk itu dalam proses perencanaan di sini telah melibatkan stakeholders yang terdiri dari instansi terkait di kabupaten/kota dan perguruan tinggi. Pelibatan tersebut dilakukan dengan memberikan bobot kriteria untuk melahirkan prioritas perencanaan dan juga program pengembangan wilayah.
Penguatan potensi daerah, masing-masing daerah kabupaten/kota mempunyai potensi keunggulan yang tidak sama. Dengan demikian arahan perencanaan pembangunan dalam RTRW juga akan berbeda. Dalam konteks perencanaan (planning) aspirasi masing-masing kabupaten/kota telah terakomodasi dalam hal hubungan tata ruang dan transportasi yang dimasukkan dalam proses pemodelan transportasi. Dalam konteks program (programming) penanganan, penguatan potensi daerah diakomodasi melalu penetapan kriteria, bobot kriteria dan skoring untuk perencanaan program. Dalam hal ini kriteria pemrograman yang menunjang penguatan potensi daerah adalah kriteria pengembangan wilayah.
Pemerataan, merupakan upaya pemerataan program penanganan secara proporsional. Dengan menggunakan metode AMK upaya pemerataan program penanganan dapat dicapai. Hal tersebut dapat dicapai bila terdapat satu atau lebih kriteria untuk pencapaian pemerataan, memperoleh bobot yang siknifikan, dan teliti dalam penetapan skoring. Dalam studi ini, objektive pemerataan jika proporsional terhadap setiap kabupaten/kota tidak dapat dilihat, namun pemerataan dalam arti proporsional atau berkeadilan diharapkan telah tercapai bila ditinjau secara sistem jaringan yang menyeluruh. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar IV.14.
174
Top Down
Top Down - Bottom Up
Gambar IV.14. Perbandingan Rangking Prioritas Program Penanganan Tahun 2007 (Peta dasar Dinas Praswil NAD 2005)
175
Dari Gambar IV.14 dapat dilihat perbandingan prioritas penanganan TD dan Kombinasi TD-BU. Hasil analisis perangkingan metode TD terlihat bahwa pada prioritas tertinggi dua puluh ruas untuk ditangani banyak terdapat di lintas baratselatan dan tengah. Namun bila melihat hasil analisis metode kombinasi TD-BU prioritas menjadi lebih bergeser ke lintas timur. Fenomena ini dapat dievaluasi berdasarkan kriteria perencanaan. Di mana pada metode TD dengan kriteria teknis jalan di lintas barat-selatan dan tengah kondisinya lebih buruk dan lalu lintas yang rendah sampai sedang dan Indeks Aksessibilitas dan Mobilitas yang lebih kecil. Bila menggunakan kriteria yang lebih luas, dengan tambahan kriteria Aspek pengembangan wilayah, aspek lingkungan, dan aspek efisiensi ekonomi menyebabkan ruas-ruas jalan di lintas timur yang lebih banyak menjadi prioritas.
Pembangunan tepat sasaran, merupakan suatu keharusan agar investasi yang dilakukan dalam program penanganan tidak sia-sia dan memberikan manfaat semaksimal mungkin. Dalam konteks perencanaan (planning) pembangunan yang tepat sasaran telah terakomodasi dalam hal hubungan tata ruang dan transportasi yang dimasukkan dalam proses pemodelan transportasi. Dalam konteks program (programming) penanganan, pembangunan tepat sasaran diakomodasi melalu penetapan kriteria, bobot kriteria dan skoring untuk perencanaan program.
Dinamis. merupakan suatu proses yang mengikuti perkembangan kebutuhan transportasi dan kebutuhan program penanganan sesuai dengan kemampuan pendanaan. Dalam konteks perencanaan, proses dinamis diperoleh dari hubungan RTRW dan transportasi yang diakomodasi dalam proses pemodelan transportasi. Sementara dalam konteks pemrograman (programming) proses dinamis diakomodasi dalam penetapan skoring kriteria untuk tiap-tiap ruas jalan.
Bertahap, merupakan suatu proses yang dilakukan yang tidak tuntas dalam sekali pengerjaan. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan biaya penanganan, sehingga diperlukan adanya prioritas dalam penanganannya. Proses pentahapan/prioritasi harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan penanganan dan dilakukan secara transparan. Dalam konteks planning, bertahap telah dilakukan sesuai dengan tahun
176
tinjauan perencanaan. Analisis kebutuhan transportasi dilakukan untuk masingmasing tahun tinjauan. Dalam konteks programming bertahap dilakukan terhadap ruas mana yang lebih dahulu ditangani dan program penanganan apa yang harus dilakukan pada masing-masing ruas tersebut. Metode yang telah digunakan adalah metode AMK.
IV.8.2 Pengembangan Penelitian Lanjutan
Lingkup penelitian atau kajian transportasi sangat luas. Hal tersebut sejalan dengan sifat kemultian dari transportasi seperti yang telah disampaikan pada Bab I Pendahuluan. Di samping topik sejenis dari penelitian ini, kajian selanjutnya juga dapat dilakukan dengan peninjauan bagian-bagian lain dari penelitian transportasi namun tetap dalam kerangka penelitian pendekatan partisipatif. Secara umum roadmap penelitian partisipatif seperti yang dapat dilihat pada Tabel IV.23. Dari tabel tersebut terdapat bagain-bagian yang masih kosong, artinya bagian tersebut dapat dilakukan penelitian untuk melanjutkan topik penelitian yang menggunakan penekatan partisipatif atau memasukkan proses bottom up.
Tabel IV.23 Roadmap Pengembangan Penelitian Pendekatan Partisipatif No. 1 2
3 4
5
Faktor yang ditinjau
1
6
Renc. Berikut -nya
9
9
9
9
9
9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Publikasi dari: 2 3 4 5 9
Type Kajian
Pengembangan Konsep Pengembangan Aplikasi Lingkup Nasional Kajian Provinsi Kabupaten/Kota Spesifik Moda Single moda transportasi Multi moda Aktor yang Regulator terlibat Operator User Metode Wawancara/Angket Partisipatif Media Cetak Elektronik Workshop/FGD
9
9
9
9 9
9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9
9
9 9 9
9
177
9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9
Tabel IV.23 Roadmap Pengembangan Penelitian Pendekatan Partisipatif (Lanjutan) Publikasi dari: No. 6
Faktor yang ditinjau Metode Analisa Keputusan
1
Musyawarah/Rapat AHP/AMK Analisis Kualitatif/ PROMETHEE Kuantitatif GPAP Concord Anl. SWOT Anl.
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Karsaman (1998) Napitupulu (2000) Winarso et.al (2003) Tanan (2005) Hadihardjono (2005) Isya (2008)
178
2
3
4
9 9 9
9
5
6
Renc. Berikutnya
9 9
9
9 9 9 9 9