BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut berguna untuk mempertajam hasil pencitraan dari lamun yang selanjutnya menghasilkan peta tematik yang berupa hasil peta sebaran lamun. 4.1.1. Klasifikasi Citra Proses pengklasifikasian diolah dengan software ER Mapper yang didasarkan pada algoritma lyzenga sebagai kunci interpretasi. Sebelumnya kita melakukan praproses citra ( Lampiran 1) sebelum masuk ke klasifikasi citra. Kelas yang dihasilkan pada unsupervised classification adalah kelas spektral dimana kelas didasarkan pada nilai natural spektral citra. Banyaknya kelas diperlihatkan pada histogram hasil algoritma lyzenga yang diwakili oleh puncakpuncak nilai piksel yang dominan (Lampiran 4) dan hasil citra dari klasifikasi algoritma lyzenga (Lampiran 5). Klasifikasi citra dibagi menjadi 20 kelas agar lebih memudahkan dalam penggabungan kelas mengingat jumlah kelas yang dihasilkan diperkirakan sekitar 100 kelas yang selanjutnya di reclass menjadi 7 kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang hidup, karang mati, pecahan karang, darat dan laut dalam sesuai kunci interpretasi yang digunakan (Siregar 1995) (Lampiran 6). Proses klasifikasi juga di reclass kembali untuk menggabungan kelas yang sama dengan menggunakan ArcToolbox dengan ekstensi Reclassify pada Software Arc GIS 9.3 berdasarkan nilai-nilai data raster citra. Hasil reklasifikasi dilakukan pengeditan warna dan interpretasi kelas serta diberi label. Pengeditan dilakukan untuk memperbaiki keakuratan kondisi sebenarnya dan menghilangkan fitur yang tidak diinginkan setelah diidentifikasi seperti awan, pecahan karang, dan karang mati sehingga pada akhirnya hanya mempunyai 5 kelas. Hasil tersebut masih perlu diakurasikan dengan pemeriksaan langsung dengan survei lapangan 28
29
sehingga hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk peta tematik sebagai informasi sebaran dan kondisi lamun di perairan Bintan Timur. 4.1.2. Peta Tematik Sebaran Ekosistem Lamun Hasil data citra yang telah di olah dapat dijadikan sebagai informasi sebaran ekosistem padang lamun di Perairan Bintan Timur dan disajikan dalam bentuk peta tematik sebaran ekosistem lamun yang diolah menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. (Gambar 7, 8, 9, 10 dan 11). Panjang keseluruhan garis pantai pada peta adalah 25,254 Km dan luas padang lamun adalah 455.132 ha, dimana panjang garis pantai dan luas lamun dari setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 6. Penghitungan ini di dapat dari pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Stasiun 1 merupakan stasiun yang memiliki sebaran lamun yang paling luas dibanding tiga stasiun yang lain yaitu seluas 264,89 ha dan merupakan kondisi
lamun yang baik. Pada peta dapat dilihat adanya seberan terumbu karang yang berada didepan ekosistem lamun di banding pada stasiun yang lainya hal ini disebabkan adanya asosiasi antara ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang yang berjalan dengan baik, berupa ekosistem lamun sebagai penahan sedimen yang baik sebelum sedimen masuk dan merusak ekosistem terumbu karang, hal ini menyebabkan pertumbuhan terumbu karang yang baik sehingga terdapat terumbu karang yang cukup luas. Menurut (Supriadi 2008) ekosistem terumbu karang sebagai pelindung bagi ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove dari hempasan gelombang dan arus yang datang dari laut lepas, sehingga jika kondisi terumbu karang yang baik dan banyak dapat membantu ekosistem lamun dari hempasan gelombang dan arus. Pada stasiun 2 masih terdapat terumbu karang walaupun lebih sedikit dibandingkan dengan stasiun 1, sedangkan pada stasiun 3 dan stasiun 4 tidak ditemukannya terumbu karang di karenakan luasan lamun yang sedikit yaitu hanya sebesar 56.572 ha pada stasiun 3 dan 34.107 ha pada stasiun 4 ditambah lagi dengan kondisi perairan yang sangat buruk seperti salinitas pada stasiun 4 hanya sebesar 25,75‰ jauh dibawah standar baku mutu yaitu antara ±35‰ ±40‰ (waycot et al 2007). Kadar oksigen terlarut pada stasiun 4
sebesar
30
4,4mgL-1s,
sedangkan
menurut
(Effendi
2003)
dimana
perairan
yang
diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memilih kadar oksigen tidak kurang dari 5mgL-1, subtrat yang terdapat pada stasiun 4 dan stasiun 3 lebih berlumpur dibandingkan dengan stasiun 1 dan stasiun 2 yang subtratnya sebagian besar adalah pasir sehingga kecerahan perairan bisa rendah. Kecerahan berpengaruh terhadap cahaya yang masuk keperairan untuk kepentingan fotosintesis lamun, dengan kondisi parameter perairan dan subtrat seperti itu tidak baik untuk pertumbuhan pada ekosistem lamun maupun ekosistem terumbu karang. Tabel 6. Panjang Garis Pantai dan Luas Lamun Stasiun
Panjang Garis Pantai (km)
Luas lamun (ha)
Stasiun 1
6.907
264,89
Stasiun 2
6.052
99,563
Stasiun 3
6.061
56,572
Stasiun 4
6.504
34,107
Jumlah
25.254
455,132
Gambar 7. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Bintan Timur
31
Gambar 8. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Stasiun 1
Gambar 10. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Stasiun 3
Gambar 9. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Stasiun 2
Gambar 11. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Stasiun 4
32
4.2. Kondisi Parameter Perairan Pengamatan parameter lingkungan fisika dan kimia perairan di lakukan pada saat perairan pasang yaitu pada kisaran pukul 08.00 -12.00 WIB pengambilan sampel dilakukan 4 pengulangan di setiap stasiun (Lampiran 10). Hasil dari penghitungan parameter perairan dilapangan seperti : suhu, salintas, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), kecepatan arus, kedalaman, kecerahan disajikan dalam bentuk grafik yang disatukan dari setiap stasiun agar lebih muda dianalisis perbedaan setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 12.
6
87.5 6.275 25.75
30
80 70
Kedalaman (m) DO (mg/L)
60
pH
50
Suhu (C)
40
Kecerahan (%)
30
Arus (cm/s)
20
8
1
28.075 1.805
34.175
34.975 1.1175
34.325 12
32.3 1.3475
35.075
30.55 13
2
1.22
3
90
4.4
5 4
100
5.7
5.575
7
7.775
100
6.6
8
7.125
7.675
9
100
100
Parameter Perairan Setiap Stasiun
Salinitas (‰)
10 0
0 1
2
Stasiun
3
4
Gambar 12. Grafik Parameter Parairan Setiap Stasiun
Pada stasiun 1 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan didapatkan : suhu sebesar 30,55 °C, kedalaman 1,22 m, kecerahan sebesar 100%, DO sebesar 6,6 mgL-1, arus sebesar 0.13 ms-1, pH sebesar 7,67, dan salinitas sebesar 35,075‰. Kondisi dari perairan tersebut sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun, dikarenakan nilai-nilai tersebut masih masuk dalam baku mutu yang baik untuk pertumbuhan lamun. Pada stasiun 2 dan stasiun 3 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan hasilnya tidak terlalu berbeda didapatkan berturut-turut : suhu sebesar 32,3 °C dan
33
34,9 °C, kedalaman 1,34 m dan 1,11 m , kecerahan sebesar 100% dan 100%, DO sebesar 5,57 mgL-1 dan 5,7 mgL-1, arus sebesar 0.12 ms-1dan 0.08 ms-1, pH sebesar 7,12 dan 7,77, dan salinitas sebesar 34,32‰ dan 34,17‰. Dibandingkan dengan stasiun 1 parameter di stasiun 2 dan stasiun 3 tidak sebagus pada stasiun 1 namun nilai tersebut masih masuk dalam nilai standar baku mutu yang baik untuk pertumbuhan lamun. Pada stasiun 4 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan didapatkan : suhu sebesar 28,07 °C, kedalaman 1,8 m, kecerahan sebesar 87,5%, DO sebesar 4,4 mgL-1, arus sebesar 0.3 ms-1, pH sebesar 6,27, dan salinitas sebesar 25,75‰. Kualitas perairan di stasiun 4 ada beberpa parameter yang di bawah baku mutu seperti DO hanya 4,4 mgL-1, menurut (Effendi 2003) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memilih kadar oksigen tidak kurang dari 5 mgL-1. Salinitas hanya sebesar 25,75‰ menurut (Waycott et al. 2007) Salinitas yang ideal bagi kehidupan lamun adalah senilai ±35‰ - ±40‰. Sehingga perairan di stasiun 4 termasuk perairan yang tidak baik untuk pertumbuhan lamun. Perbedaan kualitas air di setiap stasiun disebabkan karena kondisi lingkungan yang berbeda dari setiap stasiun seperti adanya muara sungai yg besar pada stasiun 4 hal ini dapat mempengaruhi parameter salinitas karena perbedaan salinitas pada air tawar yang lebih rendah dibandingkan dengan air laut, semakin besar debit air yang masuk ke perairan laut maka semakin tinggi juga pengaruh ke salinitasnya. Akitifitas manusia disekitar lingkungan stasiun juga mempengaruhi perbedaan dari setiap parameter perairan pada stasiun 1 tidak ada ditemukan nya aktifitas manusia yang mengganggu perairan sehingga keadaan parameter perairan di stasiun 1 lebih bagus di banding 3 stasiun lainnya. Berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan substrat pada setiap stasiun tidak jauh berbeda, sehingga peneliti menggunakan data sekunder dari Bappeda Kabupaten Bintan (2010) yang menyatakan substrat yang berada pada perairan Bintan Timur adalah pasir yaitu pada stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3 kecuali di daerah kawal atau stasiun 4 yang merupakan substrat pasir belumpur.
34
4.3. Kondisi Ekositem Lamun Survei lapangan dilakukan selama 10 hari yaitu pada tanggal 22 april sampai 2 Mei 2013. Pengambilan dan penghitungan sampel dilakukan saat perairan surut yaitu sekitar pukul 15.00 – 18.00 WIB. Pemeriksaan lapangan di lakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun pada empat stasiun yang berbeda agar dapat digabungkan hasilnya dengan peta sebaran lamun yang telah di dapat, dimana setiap stasiun ditentukan berdasarkan kondisi lingkungan sekitar. Hasil dari pengambilan data kondisi lamun mencakup persentasi jumlah jenis lamun, persentasi tutupan lamun dan biomassa lamun dapat dilihat pada Table 7. Tabel 7. Hasil Pengambilan Data Kondisi Lamun Stasiun
Jenis Lamun
Biomassa g(m2)-1
Persen Tutupan %
Stasiun 1
5
727.08
66
Stasiun 2
3
370.66
30
Stasiun 3
3
479.08
39
Stasiun 4
2
197.25
3
4.3.1 Persentase Jumlah Jenis Lamun Berdasarkan pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda, ditemukan 5 jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium dan Halophila spinulosa. Jenis lamun yang banyak ditemukan di perairan Bintan Timur adalah jenis Enhalus acoroide dan Thallasia hemprichi. Pada stasiun 1 merupakan stasiun yang paling banyak di temukan jenis lamun dibandingkan dengan stasiun 2, 3 dan 4. Hal ini disebabkan lokasi pada stasiun 1 merupakan lokasi yang masih dapat dikatakan alami karena belum terjadinya pencemaran lingkungan disekitar lokasi selain itu juga pada stasiun 1 merupakan lokasi yang sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun karena dari pengamatan parameter perairan di lapangan hasilnya masuk kedalam standar baku mutu untuk pertumbuhan lamun. Pada stasiun 2 dan stasiun 3 sama-sama hanya ditemukan tiga jenis lamun, hal ini dikarenakan lokasi pada stasiun 2 dan stasiun 3 yang berdekatan hanya
35
berjarak sekitar 3 Km di banding ke stasiun 1 berjarak 9 Km dan ke stasiun 4 berjarah 8 Km. Lingkungan pada stasiun 2 yang berdekatan dengan
tempat
penginapan atau hotel sedangkan pada stasiun 3 berdekatan dengan tempat makan atau restoran dimana hal ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dari limbah pembuangan hotel dan restoran yang dapat mempengaruhi kualitas perairan. Pada stasiun 4 sangat sedikit ditemukan jenis lamun yaitu hanya terdapat dua jenis lamun, hal ini di karenakan lokasi pada stasiun 4 merupakan daerah yang kondisi parametr perairan yg paling buruk dari 3 stasiun lainnya ditambah lagi lokasi stasiun 4 yang berdekatan dengan pemukiman warga sehingga tingkat pencemaran di lokasi tersebut lebih tinggi dibanding 3 stasiun lainnya yang tidak ada pemukiman warga. Pencemaran-pencemaran dapat ditimbulkan dari aktifitas warga seperti tumpahan bahan bakar minyak dari kapal-kapal nelayan yang berlabuh disekitar perairan stasiun 4 dan pengecatan kapal yang dilakukan langsung didekat perairan. Pada stasiun 1 ditemukan jenis lamun yang paling banyak yaitu Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium dan Halophila spinulosa (Lampiran 7) . Jenis lamun Enhalus acoroides merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu dengan persentase sebesar 44,81%,
Thallasia
hemprichi
26,41%,
Cymodocea
rotundata
16,03%,
Syringodium isoetifolium 8,0% dan Halophila spinulosa 4,71%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 13.
8%
5%
Stasiun 1 Enhalus acoroides
16%
45%
26%
Thalasia hemprichi Cymodecea rotundata syringodium isoetifolium Halophila spinulosa
Gambar 13. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 1
36
Pada stasiun 2 ditemukan jenis lamun lebih sedikit dibandingkan stasiun 1 hanya tiga jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi dan Cymodocea rotundata (Lampiran 7). Jenis lamun Enhalus acoroides
tetap
merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu dengan persentase sebesar 65,16%, Thallasia hemprichi 24,71% dan Cymodocea rotundata 10,11%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 14.
Stasiun 2 10% Enhalus acoroides Thalasia hemprichi
25% 65%
Cymodecea rotundata
Gambar 14. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 2 Pada stasiun 3 ditemukan jenis lamun tidak jauh berbeda dengan stasiun 2 tetapi lebih sedikit dibandingkan stasiun 1. Persentase jenis lamun pada stasiun 3 yaitu Enhalus acoroides 62,59%, Thallasia hemprichi 24,42% dan Cymodocea rotundata 12,97%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 15.
Stasiun 3 13% Enhalus acoroides Thalasia hemprichi
24% 63%
Cymodecea rotundata
Gambar 15. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 3 Pada stasiun 4 ditemukan jenis lamun yang paling sedikit dibandingkan stasiun 1, 2 dan 3 hanya ditemukan dua jenis lamun yaitu Enhalus acoroides dan Thallasia hemprichi (Lampiran 7) dengan masing-masing persentase Enhalus
37
acoroides sebesar 80% dan Thallasia hemprichi sebesar 20%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 16.
Stasiun 4 20% Enhalus acoroides Thalasia hemprichi 80%
Gambar 16. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 4 4.3.2. Analisis Data Biomasa Lamun Berdasarkan data pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda, ditemukan 5 jenis lamun yang berbeda pula, dimana setiap pengambilan sampel dilakukan tiga kali pengulangan disetiap stasiun. Penghitungan biomassa lamun yang digunakan adalah jenis lamun Enhalus acoroides karena jenis lamun Enhalus acoroides yang paling banyak ditemukan disetiap stasiun dibandingkan dengan jenis lamun yang lainya. Pada stasiun 1 dapat kita lihat berat biomassa lamun Enhalus acoroides sebesar 636,25 g(m2)-1, 684,25 g(m2)-1, dan 860,75 g(m2)-1 dengan rata-rata dari tiga kali pengulangan tersebut adalah 727,08 g(m2)-1. Pada Stasiun 2 berat biomassa lamun Enhalus acoroides sebesar 441,75 g(m2)-1, 354,25 g(m2)-1 dan 316 g(m2)-1 dengan rata-rata dari tiga kali pengulangan tersebut adalah 370,66 g(m2)-1. Pada stasiun 3 tidak jauh berbeda dengan stasiun 2 yaitu sebesar 553,25 g(m2)-1, 391 g(m2)-1 dan 493 g(m2)-1 dengan rata-rata 479,08 g(m2)-1. Pada stasiun 4 berat biomassa lamun yang paling kecil yaitu sebesar 233,5 g(m2)-1, 190,5 g(m2)-1 dan 167,75 g(m2)-1 dengan rata-rata dari tiga kali pengulangan tersebut adalah 197,25 g(m2)-1 (Lampiran 8). Perbandingan persentase dari ke 4 stasiun di atas dapat dilihat pada Gambar 17.
38
Biomassa Stasiun 1
11%
Stasiun 2 41% 27%
Stasiun 3 Stasiun 4
21%
Gambar 17. Presentase Biomassa dari Setiap Stasiun Dapat dilihat dari gambar di atas bahwa nilai berat biomassa lamun Enhalus acoroides pada stasiun 1 merupakan nilai biomassa yang tertinggi dibandingkan dari stasiun lainnya, hal ini di sebabkan daun-daun dari lamun Enhalus acoroides distasiun 1 masih sangat bagus dan meliliki kerapatan yang tinggi, sehingga mempunyai berat yang lebih tinggi di banding pada stasiun 2 dan stasiun 3 yang mempuyai biomassa lebih kecil dibanding stasiun 1 walaupun demikian perbedaan yang sangat mencolok terdapat pada stasiun 4 dengan kerapatan yang sangat rendah dan kulitas daun-daun lamun yang tidak bagus. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan pada setiap stasiun berbeda-beda dan lokasi pada stasiun 4 berdekatan dengan permukiman warga dan pelabuhan nelayan sehingga pengaruh pencemaran yang terjadi juga lebih tinggi. 4.3.3. Persentase Penutupan Lamun Berdasarkan data pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda, ditemukan persentase penutupan yang berbeda-beda. Pengambilan data dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada setiap stasiun. Persentase penutupan lamun dapat kita lihat dari seberapa banyak sub-transek yang tertutupi oleh lamun, jumlah sub-transek sebanyak 25 sub-transek dimana transek kuadrat tersebut mempunyai ukuran sebesar 1m x 1m.
39
Hasil penghitungan dilapangan menunjukan bahwa nilai persentase penutupan yang tertingi pada stasiun 1 yaitu sebesar 66% hal ini menunjukan bahwa lingkungan distasiun 1 sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun, dibandingkan stasiun 2 dan stasiun 3 yang memiliki nilai persentase yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 30% dan 39% hal ini dikarenakan lokasi pada stasiun 2 dan stasiun 3 yang berdekatan sehingga kondisi lingkungan perairan tersebut tidak jauh berbeda. Pada stasiun 4 memiliki perbedaan yang signifikan lebih rendah persentasi penutupan lamun dibandingkan dengan 3 stasiun yang lainnya, dimana nilai persentase penutupan lamun stasiun 4 hanya sebesar 3% hal ini dikarenakan kondisi parameter perairan yang tidak mendukung untuk pertumbuhan lamun dan pada stasiun 4 lokasinya berdekatan dengan muara sungai yang cukup besar sehingga perairan tersebut dapat mengalami perubahan dari setiap parameter perairan dimana perubahan yang secara drastis akan sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perkembangan lamun. Pada stasiun 1 jumlah sub-transek yang tertutupi lamun adalah 21, 23, dan 22 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 22 sub transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun pada stasiun 1 sebesar 66% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 1 dapat kita lihat pada Gambar 18.
Stasiun 1 Penutupan Lamun Sisa Penutupan 34% 66%
Gambar 18. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 1 Pada stasiun 2 jumlah sub-transek yang tertutupi oleh lamun adalah 20, 11 dan 10 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 13.6 sub transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun
40
pada stasiun 2 sebesar 30.5% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 2 dapat kita lihat pada Gambar 19.
Stasiun 2 Penutupan Lamun Sisa Penutupan
30% 70%
Gambar 19. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 2 Pada stasiun 3 jumlah sub-transek yang tertupi oleh lamun adalah 12, 18 dan 15 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 15 sub transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun pada stasiun 3 sebesar 39% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 3 dapat kita lihat pada Gambar 20.
Stasiun 3 39%
Penutupan Lamun Sisa Penutupan
61%
Gambar 20. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 3 Pada stasiun 4 jumlah sub-transek yang tertupi oleh lamun adalah 5, 3 dan 6 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 4,6 sub transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun pada stasiun 4 sebesar 3,2% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 4 dapat kita lihat pada Gambar 21.
41
Stasiun 4 3%
Penutupan Lamun Sisa Penutupan
97%
Gambar 21. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 4 4.3.4. Kondisi Ekosistem Lamun Kondisi ekosistem lamun yang berada pada perairan Bintan Timur di bagi menjadi tiga klasifikasi kondisi lamun yaitu buruk, sedang dan baik. Pengamatan kondisi ekosistem lamun dilakukan di masing-masing stasiun. Hasil pengamatan tiap stasiun dari kondisi lamun berbeda-beda, di mana stasiun 1 memiliki kondisi ekosistem lamun baik dengan persentasi IKL 73,33%, stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki kondisi lamun yang sama yaitu sedang dengan persentasi IKL 46,66%, berbeda hal nya dengan stasiun 4 yang memilki kondisi lamun yang buruk dengan persentasi IKL 20% (Lampiran 11). Meningkatnya lahan terbangun atau lahan terbuka hasil aktifitas manusia dan kegiatannya di wilayah pesisir pantai dapat menjadi salah satu ancaman bagi ekosistem lamun terutama akan meningkatkan suplai sedimen terlarut dan sedimentasi ke perairan dan meningkatnya muatan nutrien (Duarte 2002). Penyebab perbedaan kondisi ekosistem lamun dari setiap stasiun dikarenakan beberapa faktor diantaranya : perbedaan kualitas perairan, aktifitas masyrakat disekitarnya, pelabuhan nelayan, muara sungai yang besar. Pada stasiun 4 memiliki nilai persentasi IKL yang paling rendah hal ini dikarenakan hasil dari perhitungan jumlah jenis, biomassa dan persen penutupan pada stasiun 4 sangat rendah dibandingkan tiga stasiun lainnya, dimana kondisi perairan pada stasiun 4 banyak nilai yang tidak mencakup nilai baku mutu untuk kondisi yang baik dalam pertumbuhan lamun. Nilai parameter perairan pada stasiun 4 yang
42
buruk disebabkan oleh banyaknya aktifitas masyrakat sekitar yang kurang peduli dengan pencemaran yang dilakukannya seperti diantaranya membuang air limbah rumah seperti air bekas mandi, pencucian baju yang langsung dibuang ke perairan laut karena rumah masyarakat sekitar berupa rumah panggung yang berada langsung di atas perairan langsung dan aktifitas yang paling merusak perairan yaitu adanya kegiatan nelayan yang memperbaiki kapalnya langsung di perairan tersebut dari membuang oli-oli bekas sampai pengecatan lambung-lambung kapal, ditambah lagi lokasi stasiun 4 yang berdekatan dengan muara sungai yang cukup besar dan membawa air tawar masuk ke perairan laut sekitar. Bandingkan dengan stasiun 1 yang kondisi ekosistem lamun yang baik, dimana lokasi tersebut sangat jauh dari aktifitas masyarakat yang dapat merusak dan mencemari perairan sehingga stasiun 1 sangat cocok dan baik untuk pertumbuhan lamun. Menurut (Short dan Echeverria 2000) salah satu sebab kerusakan lamun karena kurangnya kesadaran manusia terhadap nilai dan fungsi ekosistem lamun. Pembangunan wilayah pesisir dengan konsep “sustainable tourism” dapat dijadikan alternatif dalam pemecahan masalah pemanfaatan ruang perairan pantai. Setelah mendapatkan kondisi dari ekosistem lamun dari setiap stasiun pengamatan maka kita akan mendapatkan hasil peta berupa sebaran dan kondisi ekosistem lamun di perairan Bintan Timur Kepulauan Riau (Gambar 22).
43
Gambar 22. Peta Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Bintan Timur.