BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Pemodelan Downscaling Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST) Percobaan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
pelatihan jaringan saraf tiruan (JST) backpropagation dengan jumlah neuron pada hidden layer sebanyak 50 dan 100 buah neuron. Terdapat dua buah model JST yang digunakan dalam penelitian ini, pertama model JST menggunakan jumlah neuron pada hidden layer sebanyak 50 dan 100 dengan parameter menggunakan algoritma pelatihan Levenberg-Marquardt dan nilai gradien minimum sebesar untuk selanjutnya disebut JST-1, sedangkan yang kedua, model JST menggunakan jumlah neuron pada hidden layer sebnayak 50 dan 100 dengan menggunakan parameter algoritma pelatihan Levenberg-Marquardt dan nilai gradien minimum sebesar
, untuk selanjutnya disebut JST-2.
Jumlah neuron hidden layer pada percobaan ini pertama kali dilakukan dengan jumlah 50 dan 100 buah. Jumlah ini digunakan hanya untuk melihat terlebih dahulu jumlah neuron hidden layer mana yang terbaik pada penelitian ini. Setelah dilakukan percobaan, maka dihasilkan jumlah dengan neuron hidden layer sebanyak 100 buah lebih baik dari 50 buah. Hasil ini dapat dilihat dari rataan nilai NRMSE dan korelasi pada setiap model JST (JST-1 dan JST-2) untuk jumlah neuron hidden layer
50 dan 100 (Tabel 4). Dengan demikian percobaan
selanjutnya untuk setiap model luaran GCM hanya menggunakan jumlah neuron hidden layer sebanyak 100 buah. Tabel 4 Rataan nilai NRMSE dan korelasi pada hidden layer 50 dan 100 JST-1
JST-2
Rataan Hidden 50 Hidden 100 Hidden 50 Hidden 100 NRMSE
11.4893
11.1775
11.8449
11.6729
Korelasi
0.4887
0.5171
0.4599
0.4859
Nilai hasil rataan model berdasarkan luaran GCM secara keseluruhan (6 model GCM) dengan menggunakan JST-1 dan JST-2 dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13. Jika melihat dari grafik hasil tersebut, pola yang dihasilkan oleh JST-1 dan JST-2 dapat mengikuti pola hasil observasi lapangan secara
25
langsung meskipun ada beberapa model GCM yang menunjukan hal sebaliknya, seperti pada model luaran GCM MIUB. Pada bulan Februari, rataan pada curah hujan hasil observasi menunjukan adanya penurunan akan tetapi hasil yang diperoleh
model GCM MIUB mengalami peningkatan. Hal ini terjadi baik
menggunakan model JST-1 ataupun model JST-2.
Gambar 12 Grafik hasil perbandingan rataan observasi bulanan dengan hasil prediksi luaran seluruh model GCM untuk JST-1.
Gambar 13 Grafik hasil perbandingan rataan observasi bulanan dengan hasil prediksi luaran seluruh model GCM untuk JST-2.
26
Untuk bulan Januari, model yang dihasilkan JST dengan menggunakan model luaran yang dapat mendekati hasil observasi adalah MRI untuk JST-1 dan CGCM_T47 untuk JST-2. Pada bulan Februari, hasil prediksi yang mendekati haasil observasi adalah model luaran GCM MRI untuk kedua model JST. Pada bulan Maret, model luaran GCM GISS untuk kedua model JST mendekati dengan hasil observasi. Untuk bulan April, model luaran GCM yang mendekati hasil observasi adalah GISS untuk JST-1 dan CGCM_T47 untuk JST-2. Pada bulan Mei, model luaran MRI untuk JST-1dan JST-2 berhasil mendekati hasil observasi. Pada bulan Juni, model luaran GCM GISSAOM untuk JST-1 dan CGCM_T47 untuk JST-2 berhasil mendekati dengan hasil observasi. Pada bulan Juli, September, Oktober, dan Nopember hasil luaran GCM MRI dengan kedua model JST berhasil mendekati hasil observasi. Sedangkan pada bulan Agustus, nilai hasil prediksi JST dengan luaran GCM CGCM_T63 berhasil mendekati nilai hasil observasi. Pada bulan Desember, nilai hasil observasi berhasil didekat oleh model luaran GCM CGCM_T47 untuk JST-1 dan GCM MRI untuk model JST-2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa prediksi curah hujan setiap bulan dapat didekati dengan menggunakan model luaran GCM yang berbeda. Hasil grafik jika seluruh nilai prediksi yang dihasilkan JST-1 dan JST-2 dengan rataan hasil enam model GCM Gambar 14 dan Gambar 15 untuk seluruh periode (22 tahun) serta Gambar 16 dan Gambar 17 untuk rataan bulanan dalam periode tersebut.
Gambar 14 Grafik perbandingan hasil rataan prediksi seluruh GCM dengan rataan hasil observasi curah hujan menggunakan model JST-1.
27
Gambar 15 Grafik perbandingan hasil rataan prediksi seluruh GCM dengan rataan hasil observasi curah hujan menggunakan model JST-2.
Gambar 16 Grafik perbandingan rataan bulanan hasil prediksi seluruh GCM dengan rataan bulanan hasil observasi curah hujan menggunakan model JST-1.
28
Gambar 17 Grafik perbandingan rataan bulanan hasil prediksi seluruh GCM dengan rataan bulanan hasil observasi curah hujan menggunakan model JST-2. Rataan nilai korelasi dan nilai NRMSE untuk hasil prediksi menggunakan JST-1 dan JST-2 hampir sama. Rataan nilai korelasi untuk JST-1 adalah 0.427 dan untuk JST-2 adalah 0.423. Sedangkan untuk rataan nilai NRMSE pada JST-1 adalah 12.167 dan pada JST-2 adalah 12.191. Karena rataan nilai korelasi dan NRMSE pada JST-1 sedikit lebih baik dari JST-2 maka akan dibahas hasil dari setiap stasiun dengan menggunakan JST-1. Perbedaan antara JST-1 dan JST-2 adalah JST-2 memerlukan lebih banyak waktu pelatihan dibandingkan dengan JST-1. Hal ini dikarenakan parameter yang diubah adalah parameter gradien minimum. Parameter gradien minimum merupakan salah satu parameter untuk memberhentikan pelatihan pada JST. Jika parameter ini diperkecil, maka pelatihan tidak akan berhenti sampai mencapai nilai gradien minimum yang telah ditentukan. 4.2
Hasil Prediksi Untuk Setiap Stasiun Hujan Hasil korelasi yang diperoleh setiap stasiun hujan setelah melakukan
pelatihan dan pengujian dengan menggunakan JST-1 dan JST-2 dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil yang tertinggi diperoleh stasiun Bondan dengan nilai korelasi
29
sebesar 0.4976 dan hasil yang terendah diperoleh stasiun Krangkeng dengan nilai korelasi sebesar 0.3704. Tabel 5 Rataan korelasi setiap stasiun Stasiun
Rataan Korelasi
Bangkir
0.4294
Bondan
0.4976
Cidempet
0.4271
Cikedung
0.4384
Jatibarang
0.3915
Jatinyuat
0.3992
Kedokan
0.3784
Krangkeng
0.3704
Lohbener
0.4442
Sudikampiran
0.4452
Sudimampir
0.4124
Sukadana
0.4791
Sumurwatu
0.4128
Grafik perbandingan antara hasil observasi pada stasiun Bondan dengan hasil prediksi dengan menggunakan pelatihan JST dapat dilihat pada Gambar 18 sedangkan untuk stasiun Krangkeng dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil prediksi pada kedua stasiun tersebut (Bondan dan Krangkeng) menunjukkan pola yang mengikuti hasil observasinya. Akan tetapi pada hasil yang ditunjukkan pada stasiun Krangkeng, terdapat beberapa titik yang masih jauh untuk didekati oleh hasil prediksi. Hal ini juga menunjukkan bahwa nilai korelasi yang dihasilkan stasiun Krangkeng lebih kecil dari nilai korelasi yang dihasilkan oleh stasiun Bondan.
30
Gambar 18 Grafik perbandingan hasil observasi pada stasiun Bondan dengan hasil prediksi.
Gambar 19 Grafik perbandingan hasil observasi pada stasiun Krangkeng dengan hasil prediksi. Sebaran lokasi stasiun pengamatan dan nilai korelasi juga sedikit berpengaruh. Nilai korelasi stasiun pengamatan yang berada dekat dengan laut (Sudimampir, Jatinyuat, Krangkeng, Kedokan Bunder) cenderung memiliki nilai
31
korelasi yang rendah. Sebaliknya, lokasi pengamatan yang jauh dari laut (Bangkir, Cidempet, Lohbener, Sukadana, Bondan, Sudikmapiran, Cikedung) cenderung memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi. Peta sebaran lokasi beserta besar kecilnya nilai korelasi dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Sebaran lokasi stasiun serta besaran nilai korelasi.