BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok dipilih karena merupakan biomasa limbah pertanian yang dapat dijadikan model biomassa lainnya sebab onggok yang merupakan hasil samping proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka masih memiliki kandungan bahan organik yang cukup tinggi, berbentuk padatan, dan jumlahnya yang melimpah. Onggok ini berbentuk serbuk dengan warna cokelat keputihan dan memiliki tekstur yang kasar serta berserabut karena terdiri atas serat-serat yang tidak hancur secara sempurna.
Gambar 14. Onggok Kering Onggok yang dijadikan bahan dalam penelitian ini dianalisis karakteristiknya sesuai prosedur analisa proksimat seperti kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat, serta analisis van soest, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa ligniselulosa yang terdiri atas kadar lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Tujuan analisa proksimat adalah untuk menentukan komponen dan kadar bahan yang terkandung didalamnya. Hal tersebut terkait dengan perlakuan yang akan dilakukan pada penelitian ini sehingga perlu menentukan ada atau tidaknya bahan tambahan serta dapat mengikuti perubahan karakteristik onggok baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tabel 5. Hasil Analisa Karakteristik Onggok Komponen Hasil Penelitian (%BK) Air 7 Abu 1,44 Protein 0,42 Lemak 1,17 Karbohidrat 68.93 Selulosa 64,03 Hemiselulosa 16,11 Lignin 17,53 Pengujian kadar air dilakukan untuk menentukan banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan karena kadar air berpengaruh terhadap daya tahan, kesegaran, penampakan, tekstur, dan cita rasa. Hasil dari pengujian diketahui bahwa onggok mengandung sebanyak 7 % air dari bobot keringnya. Hal itu menandakan bahwa onggok memiliki daya tahan yang baik karena berada dalam
21
kondisi yang kering sehingga tidak terjadi pembusukan oleh mikroba. Penampakannya pun kasar dan teksturnya keras karena masih mengandung serat dan serabut dari pengolahan tapioka yang tidak hancur sempurna. Hasil pengukuran kadar air ini digunakan untuk menghitung seberapa banyak air yang ditambahkan dalam proses pretreatment hingga kadar airnya meningkat menjadi 85% seperti pada metode penelitian. Jika kadar air onggok sebesar 7%, maka didapatkan persentasi total padatan sebesar 93% karena total padatan dalam suatu bahan terdiri atas air dan padatan, sedangkan kadar abu onggok yang diuji sebesar 1.44%. Pengujian ini erat kaitannya dengan banyaknya bahan organik pada onggok. Abu yang ada merupakan senyawa unsur mineral bukan organik sementara bobot yang hilang adalah senyawa organiknya sehingga jika kadar abu rendah maka hal itu menunjukkan bahwa tingginya bahan organik pada onggok. Kadar protein diujikan untuk mengetahui kadar nitrogen pada onggok sehingga dapat menentukan banyaknya nutrien yang ditambahkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Berdasarkan hasil pengujian kadar protein sebesar 0.42%. Rendahnya kadar tersebut merupakan indikator bahwa ketika onggok akan diolah menjadi biogas perlu penambahan nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan mikroorganisme. Sementara itu, komposisi dan kadar senyawa ligniselulosa onggok yang diuji, digunakan untuk mengetahui jenis pemilihan mikroorganisme yang sesuai dan memiliki kemampuan dalam merombak senyawa tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan pretreatment untuk menguraikan sejumlah padatan tersebut agar menghasilkan senyawa yang mudah larut dan dapat dijadikan sebagai sumber karbon untuk substrat pengolahan onggok selanjutnya seperti pembuatan biogas. Selain itu, diketahui pula persentasi volatile solid yang menjadi parameter ukur untuk menyatakan seberapa besar beban pencernaan yang harus dilakukan oleh bakteri (Parlina, 2009). Volatile solid yang terdapat dalam onggok tapioka ini sebesar 92%. Menurut Parlina (2009), konsentrasi padatan volatil yang cukup tinggi akan menambah beban pretreatment atau penguraian bakteri sehingga harus dilakukan peningkatan kadar air dari padatan yang ada sehingga menurunkan konsentrasi padatan volatil. Dengan menurunnya konsentrasi padatan volatil, maka semakin berkurang pula beban pencernaan yang dilakukan oleh mikroorganisme dalam melakukan penguraian senyawa ligniselulosanya. Serat terdiri atas bagian yang dapat larut dalam air dan tidak dapat larut dalam air. Serat yang larut dalam air antara lain terdiri atas pektin, getah tanaman, dan gum sedangkan serat yang tidak larut dalam air antara lain terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Umumnya, tanaman mengandung kedua-duanya tetapi lebih didominasi oleh serat yang tidak larut. Kandungan selulosa dan hemiselulosa pada onggok diduga berasal dari lapisan mesocarp yang merupakan lapisan paling tebal pada ubi kayu, sebagian besar kandungan gizi ubi kayu terdapat pada bagian ini. Sedangkan kandungan lignin berasal dari lapisan endocarp yang merupakan lapisan keras dan strukturnya seperti kayu. Serat tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia maupun hewan. Kandungan serat kasar pada onggok, yaitu sebesar 10,87% (Siagian, 2011). Besarnya kandungan serat kasar pada limbah onggok ini menunjukkan bahwa onggok merupakan limbah ligniselulosa. Kandungan ligniselulosa yang terdapat dalam onggok harus dilakukan pretreatment sebelum dilakukan proses selanjutnya. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan lignin yang melindungi selulosa dan hemiselulosa sehingga menyebabkan sulit diurai. Dengan adanya penambahan campuran inokulum mikroorganisme, maka lignin akan tedegradasi sehingga selulosa dan hemiselulosa akan terpecah menjadi gula-gula sederhana (monosakarida) sehingga dapat masuk ke dalam sel bakteri tertentu untuk diproses menjadi produk yang diinginkan.
22
4.2 Karakteristik Onggok Setelah Pretreatment 4.2.1 Chemical Oxygen Demand Onggok COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan atau senyawa organik dapat teroksidasi secara kimia. Artinya, semakin banyak senyawa organik yang dioksidasi maka jumlah kebutuhan oksigennya meningkat dan meningkatkan pula nilai COD-nya. Bahan organik tersebut dioksidasi oleh kalium bikromat sebagai sumber oksigen. Besarnya nilai COD total dihitung dari COD terlarut dan yang tersuspensi. COD total pada suatu biomassa bernilai tetap sedangkan pada proses pretreatment ini diukur COD terlarutnya sehingga nilainya akan terus naik seiring dengan waktu proses dan inokulum yang ditambahkan. Dengan menggunakan kalium bikromat diperkirakan 95% bahan organik dapat dioksidasi (Nurhasanah 2009). CaHbOc + Cr2O7-2 + H+ CO2 + H2O + Cr3+ Reaksi tersebut perlu ditambahkan perak sulfat dan pemanasan sebagai katalisator. Semakin besar nilai COD-nya maka semakin banyak senyawa organik yang dioksidasi. Jika setelah pretreatment mengalami kenaikan nilai COD maka telah terjadi degradasi partikel pada onggok menjadi senyawa yang lebih sederhana. Perhitungan nilai COD ini dilakukan pada sampel onggok yang terlarutnya sehingga disebut sebagai COD terlarut karena COD total suatu bahan terdiri atas COD terlarut dan COD bahan yang tidak larut. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh bahwa pada konsentrasi campuran inokulum 5 g/100 g TS sesuai pada gambar 15. 3500 inokulum 5%
COD terlarut (mg/l)
3000
kontrol
2500 2000 1500 1000 500 0 0
4
8 12 16 Waktu (jam) Gambar 15. Grafik Kenaikan COD Pretreatment Onggok Dengan Inokulum 5% Pada saat jam ke-0 baik kontrol maupun perlakuan belum menunjukkan adanya senyawa organik yang diurai karena mikroba masih dalam fase adaptasi sehingga nilai COD terlarutnya masih rendah. Untuk kontrol 43 mg/l sedangkan perlakuan inokulum 5% pada jam tersebut sebesar 63 mg/l. Ketika jam ke-4 nilai COD terlarutnya meningkat menjadi 251 mg/l, jam ke-8 terjadi kenaikan lagi menjadi 608 mg/l. Kenaikan ini disebabkan telah terjadi pertumbuhan mikroba yang menghidrolisis komponen ligniselulosa menjadi monomer terlarut. Pada jam ke-8 hingga ke-12 COD terlarut meningkat tajam menjadi 1699 mg/l. Kenaikan pada jam ini adalah yang paling tinggi dibandingkan pada jam sebelumnya dan jam ke-16 yang hanya mengalami kenaikan sebesar 337 mg/l. Hal itu disebabkan karena pada rentang waktu jam ke-8 dan ke-12 terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada tahap eksponensial sehingga jumlah populasi mikroba bertambah banyak dan mampu mengurai substrat komponen ligniselulosa. Dengan demikian, penambahan inokulum 5% dapat berpengaruh terhadap degradasi senyawa ligniselulosa pada onggok.
23
Pada konsentrasi inokulum 7.5% hasil yang diperoleh menunjukan kenaikan COD terlarut yang lebih tinggi daripada konsentrasi inokulum 5%. Hal itu disebabkan karena populasi mikroba pada konsentrasi ini jauh lebih banyak dari konsentrasi sebelumnya sedangkan substrat masih mencukupi sehingga dapat meningkatkan efektifitas dari perombakan limbah onggok tersebut oleh mikroba. Tingginya kenaikan nilai COD terlarut juga karena dipengaruhi oleh bentuk partikel onggok yang halus dan kecil sehingga memperluas bidang permukaan sehingga dapat dirombak secara spesifik sempurna di semua bagian permukaan onggok. 3500
COD terlarut (mg/l)
3000 kontrol
2500
inokulum 7.5%
2000 1500 1000 500 0 0
4
8 12 16 waktu (jam) Gambar 16. Grafik Kenaikan COD Pretreatment Onggok Dengan Inokulum 7.5% Pada jam ke-0 hingga ke-12 kenaikan COD terlarut pada konsentrasi ini tidak berbeda jauh dengan konsentrasi inokulum sebelumnya. Akan tetapi, pada jam ke-16 terjadi kenaikan COD terlarut yang lebih tinggi, yaitu mencapai 2239 mg/l dibandingkan konsentrasi inokulum 5% pada jam yang sama sebesar 2036 mg/l. Hal itu menandakan bahwa semakin banyak konsentrasi inokulum yang ditambahkan, semakin banyak pula bahan organik dari senyawa ligniselulosa yang dapat diurai menjadi monomer terlarut sehingga menyebabkan nilai COD terlarutnya mengalami kenaikan yang lebih tinggi pula seperti yang ditunjukkan pada gambar 16. Pada konsentrasi 10% atau 10 gram inokulum dalam 100 gram padatan terjadi kenaikan COD terlarut yang lebih signifikan dibandingkan konsentrasi sebelumnya karena onggok yang digunakan diduga masih mengandung unsur pati sehingga ikut teroksidasi saat pengujian COD terlarut dan menambah beban pretreatment onggok. Walaupun besarnya kandungan pati tidak dianalisis secara kuantitatif hanya kualitatif dengan meneteskan larutan iodine dan terlihat warna biru pada onggok tetapi jelas perubahan warna itu menandakan masih banyak mengandung unsur pati. Oleh karena itu, peningkatan degradasi senyawa organik terlarut terjadi pada perlakuan inokulum 10% saat jam ke-16 sedangkan pada jam sebelumnya kenaikan nilai COD tidak berbeda jauh dengan konsentrasi sebelumnya.
24
3500 kontrol
COD terlarut (mg/l)
3000
inokulum 10%
2500 2000 1500 1000 500 0 0
4
8
12
16
Waktu (Jam) Gambar 17. Grafik Kenaikan COD Pretreatment Onggok Dengan Inokulum 10% Kenaikan nilai COD terlarut pada konsentrasi ini meningkat dari jam ke-0 hingga ke-12 dari 43 hingga 1766 mg/l. Akan tetapi, besarnya kenaikan ini tidak berbeda jauh dengan konsentrasi sebelumnya. Perbedaan yang paling signifikan terjadi pada jam ke-16, yaitu sebesar 3167 mg/l atau terjadi kenaikan COD terlarut 1401 mg/l setelah jam ke-12. Hal ini juga membuktikan bahwa dengan penambahan katalisator berupa inokulum campuran yang lebih banyak dapat meningkatkan COD terlarut pada proses pendegradasian biomassa onggok seperti pada gambar 17. Berdasarkan hasil pengujian sidik ragam (lampiran 3) diperoleh hasil bahwa pada setiap perlakuan antara faktor konsentrasi dan taraf waktu pretreatment menunjukkan setiap perlakuan tersebut berbeda nyata. Pada uji lanjut Duncan atau pembeda diperoleh bahwa konsentrasi inokulum campuran 10% pada jam ke-16 adalah kondisi terbaik untuk penguraian biomassa onggok karena nilai COD terlarutnya paling tinggi. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya konsentrasi inokulum yang ditambahkan, semakin banyak pula senyawa ligniselulosa yang terdegradasi menjadi bahan organik terlarut. Kenaikan nilai COD terlarut mengikuti grafik eksponensial yang sesuai dengan grafik pertumbuhan mikroba. Kenaikan ini menunjukan bahwa telah terjadi penguraian senyawa organik menjadi lebih sederhana. Pengujian menggunakan analisis COD ini menjadi parameter yang akurat karena menghitung jumlah oksidan yang digunakan untuk mengkonversi senyawa organik polimer. Pengonversian tersebut jelas akan menambah jumlah senyawa organik karena dalam bentuk yang lebih sederhana atau monomer sakarida. Pembentukan monosakarida ini penting bagi proses pengolahan onggok selanjutnya karena faktor utama yang mempengaruhinya adalah keseimbangan nutrien, rasio antara unsur karbon dan nitrogen sebesar 600:7, serta pH yang stabil (Nurhasanah, 2009).
25
4.2.2
Total Solid Onggok
Sebagai data pendukung telah terjadi hidrolisis biomassa onggok oleh mikroorganisme, selain dilihat dari kenaikan jumlah senyawa organik yang larut melalui pengukuran COD juga dapat dianalisis bahan yang tidak larutnya dengan TSS (Total Suspended Solid). Besarnya padatan yang tidak larut berkebalikan dengan yang larut, artinya semkin banyak total padatan tersuspensi maka bahan yang terlarut sedikit dan nilai COD-nya pun rendah sedangkan jika total padatan tersuspensi semakin berkurang maka bahan yang terlarut banyak dan nilai COD-nya tinggi sehingga perbandingan antara kenaikan dan penurunan keduanya sama. Dengan demikian, seiring dengan analisis COD yang telah dilakukan dan mengalami kenaikan maka total padatannya pun akan menurun. Pengukurannya dilakukan dengan cara menyaring hasil pretreatment dengan kertas saring Whatman 41. Hasil penyaringan yang tertinggal pada kertas saring dianggap sebagai total padatan. Substrat yang lolos dari kertas saring adalah serat atau padatan yang telah terhidrolisis menjadi gula sederhana. Adanya bagian serat atau total padatan yang terdegradasi dapat diamati dari penurunan persentasi TS pada biomassa tersebut. Total Solid (TS) adalah semua zat yang masih ada atau tesisa setelah penguapan pada suhu 103-105o C. Total padatan ini dapat terbagi atas zat padat yang terlarut dan yang tersuspensi. Zat padat yang tersuspensi (Suspended Solid) dapat mengendap secara gravitasi, sedangkan yang terlarut (Dissolved Solid) tidak dapat mengendap. Padatan ini dapat berupa zat organik maupun anorganik (Rohmah, 2008). Dalam penelitian ini, digunakan kertas saring Whatman 41 untuk menyaring limbah onggok yang telah mengalami pretreatment dengan masing-masing perlakuan. Banyaknya bahan organik tak terlarut berupa serat yang belum terdegradasi oleh mikroorganisme ini ditunjukkan oleh tidak lolosnya bahan organik tersebut pada kertas saring. Sementara bahan organik terlarut yang telah terdegradasi oleh mikroorganisme dapat lolos dari kertas saring Berdasarkan hasil pengujian dengan parameter variabel yang sama, diperoleh bahwa terjadi penurunan padatan dari 15% menjadi 6% atau turun setengahnya. Artinya, bahwa terdapat sejumlah padatan yang larut akibat penguraian oleh mikroorganisme. Padatan berupa partikel yang masih tersisa adalah yang tidak larut atau tidak terdegradasi. Kemampuan dalam mengurai padatan onggok saat pretreatment cenderung stabil disetiap jamnya seperti pada grafik 18 penurunan total padatan yang tidak terlarut. 15
inokulum 7.5% inokulum 10%
% TSS
12
inokulum 5%
9 6 3 0 0
4
8 12 Waktu (Jam) Grafik 18. Penurunan Nilai TSS Pretreatment Onggok
16
26
Jika dibandingkan dengan setiap konsentrasi inokulum yang ditambahkan, penambahan 10% inokulum adalah penurunan total padatan yang paling besar dari 15% mendekati 5% hingga jam ke-16, sedangkan untuk konsentrasi lainnya pada jam terakhir berkurang masing-masing 7% dan 8% untuk konsentrasi 5% dan 7.5%. Akan tetapi, penurunan padatan ini tidak menunjukan perbandingan yang sama dengan kenaikan nilai COD. Artinya, jika terjadi kenaikan COD sebesar 80% maka penurunan padatannya pun semestinya bernilai sama. Penyebab utama hal ini dikarenakan selama proses degradasi menghasilkan senyawa lain selain gula sederhana yang terjadi akibat perubahan gula atau monosakarida menjadi produk turunannya yang ikut teroksodasi oleh kalium bikromat. Produk turunan tersebut juga masih mengandung unsur karbon atau organik sehingga berpengaruh saat pengukuran analisis COD terlarut. Salah satu turunan monosakarida itu dimungkinkan penyebab perbandingan kenaikan COD lebih besar dibandingkan dengan penurunan TSS sehingga perbandingan keduanya tidak sama. Derivat monosakarida diantaranya adalah sebagai berikut (Mussato, 2004). 1. Asam-asam Gugus fungsi pada monosakarida apabila mengalami oksidasi menjadi gugus karboksilat. Asam yang dibentuk disebut sebagai derivat monosakarida. Contoh oksidasi glukosa menghasilkan asam glukonat, asam glukarat dan asam glukuronat. Asam glukuarat mudah larut dalam air. Asam glukonat dan asam glukuronat sebagai hasil perombakan glukosa. Dari ketiga asam tersebut hanya asam glukuronat yang masih mempunyai sifat mereduksi. 2. Gula Amino Ada tiga senyawa yang penting dalam kelompok ini, yaitu D-Glukosamina, Dgalaktosamina dan D-manosamina. Pada umumnya senyawa-senyawa ini berikatan dengan asam uronat dan merupakan bagian dari mukopolisakarida. Asam hialuronat adalah suatu polimer yang terdiri atas unit-unit disakarida. Tiap unit terbentuk dari satu molekul Nasetilglukosamina dan 1 molekul asam glukuronat. 3. Alkohol Baik gugus aldehida maupun gugus keton pada monosakarida dapat direduksi menjadi gugus alkohol dan senyawa yang terbentuk adalah polihidroksi alkohol. Berikut ini adalah contoh reaksi reduksi beberapa monosakarida. Glukosa akan terbentuk sorbitol, dari manosa terbentuk manitol, sedangkan fruktosa akan membentuk manitol dan sorbitol. Reaksi reduksi ini dapat dilakukan dengan natrium amalgam atau dengan gas hidrogen pada tekanan tinggi atau dengan katalis logam.
27
4.3 Komposisi Ligniselulosa Onggok Berdasarkan hasil pengujian analisis komposisi senyawa ligniselulosa sebagai indikasi telah terjadi degradasi melalui pretreatment, dapat dilihat dari seberapa besar penurunan kandungan ligniselulosanya. Perbandingan rasio antara lignin dan hemiselulosa terhadap selulosa diperoleh seperti pada gambar 19. 30
Lignin : Selulosa Hemiselulosa : Selulosa
Persen (%)
25 20 15 10 5 0 Awal
5%
Perlakuan
7.50%
10%
Gambar 19. Perbandingan Senyawa Ligniselulosa Setelah Pretreatment Pada Jam Ke-16 Grafik tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan komposisi senyawa ligniselulosa sebelum dan sesudah pretreatment. Perbandingan antara senyawa lignin dan hemiselulosa terhadap selulosa pada awal atau sebelum pretreatment adalah 27% dan 25%. Perbandingan tersebut terus menurun pada perlakuan dengan penambahan inokulum 5%, 7.5%, dan 10 % hingga 11% dan 13%. Penurunan senyawa lignin lebih besar dibandingkan hemiselulosa terhadap selulosa. Hal itu dikarenakan bagian pertama yang mengalami degradasi adalah lignin sebab lignin adalah bagian yang menyelubungi senyawa lain didalamnya. Secara keseluruhan perbandingan senyawa ligniselulosa di awal dan di akhir pretreatment menurun sebesar 53%. Hal tersebut sesuai dengan persentasi penurunan padatan yang tidak terlarut. Dengan demikian, penambahan inokulum sebagai katalisator pada onggok dapat meningkatkan biodegradabilitas dalam menguraikan senyawa ligniselulosa menjadi gula sederhana dan penambahan inokulum sebesar 10% dalam waktu 16 jam merupakan kombinasi antara waktu dan konsentrasi inokulum yang dapat meningkatkan kinerja proses pendegradasian biomassa khususnya onggok yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
28