BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Analisis Diagnosis Kasus Laminitis berdasarkan Klinis dan Penyebab Laminitis Kuda yang didiagnosis menderita laminitis terdiri atas tiga ekor kuda
betina dan tiga ekor kuda jantan. Kuda betina terdiri atas Kuda I, Kuda II, dan Kuda III, sedangkan kuda jantan terdiri atas Kuda IV, Kuda V, dan Kuda VI. Kuda I didiagnosis menderita laminitis pada kedua kakinya, Kuda II, III,V, dan VI didiagnosis menderita laminitis pada keempat kakinya, sedangkan Kuda IV didiagnosis menderita laminitis pada satu kakinya. Parameter pemeriksaan klinis berdasarkan pada panas di kaki, pincang, posisi tubuh/berdiri, kondisi tubuh dan gejala klinis lain yang timbul. Hasil pemeriksaan klinis dari keenam kuda terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pemeriksaan klinis terhadap kuda yang didiagnosis menderita laminitis Kuda
Pincang
I
++
II III
+++ ++++
IV
+
Gejala Klinis Posisi Kondisi tubuh tubuh/berdiri Berdiri dengan Gemuk satu kaki lebih ke depan Berbaring Kurus Posisi berdiri khas Kurus
Berdiri dengan Medium satu kaki lebih ke depan V ++ Posisi berdiri Gemuk dengan satu kaki lebih ke depan dan kadang-kadang berbaring VI ++++ Berbaring Kurus Posisi berdiri khas dengan kedua kaki depan lebih ke depan +: ringan, ++: sedang, +++: parah, ++++: sangat parah
Gejala klinis lain yang terlihat Urin berwarna merah Diare -
Diare
Gejala klinis yang dapat menunjukkan kuda menderita laminitis adalah posisi berdiri yang khas dengan dua kaki depan yang lebih menjulur ke depan, posisi tersebut sebagai upaya mempertahankan kaki agar tetap menopang tubuh
walaupun dengan menggunakan tumit (heel) (Pollitt 2008). Gejala klinis lain terhadap kuda yang menderita laminitis adalah panas pada dorsal permukaan dinding kuku, peningkatan pulsus digitalis, peka terhadap pengujian pada kuku, pembengkakan coronary band, dan perubahan posisi berdiri. Gejala klinis yang parah dapat diikuti dengan rotasi dan menembusnya os phalanx III ke bagian sole (Stokes et al. 2004). Faktor penyebab terjadinya laminitis berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan pada keenam ekor kuda dapat dikelompokkan sebagai akibat dari: 1) gangguan metabolik (metabolic syndrome); 2) trauma; 3) perawatan yang kurang baik, serta 4) nutrisi (Tabel 3). Kellon (2007) mengemukakan bahwa kuda yang menderita laminitis pada keempat kakinya dikarenakan gangguan metabolik, sedangkan yang menderita laminitis pada satu atau kedua kakinya disebabkan penyakit lain selain dari gangguan metabolik. Menurut Frank et al. (2010) metabolic syndrome atau Equine Metabolic Syndrome (EMS) adalah gangguan kompleks dengan komponen utama terdiri atas peningkatan adiposity, IR (Insulin Resistence), dan laminitis. Tabel 3 Faktor penyebab terjadinya laminitis Kuda I
Durasi penanganan laminitis 6 bulan
II
8 bulan
III
6 bulan
IV
3 bulan
V
1,5 tahun
VI
4 bulan
Penyebab dan predisposisi Sole pressure dan peladaman/sole hemaatoma Over feeding/over weight Metabolic syndrome (retained placenta) Metritis Metabolic syndrome (Post kolik/diare hebat) Endotoxemia Over feeding/over weight Sole hematoma, stone brush Over feeding/over weight Sole hematoma Metabolic syndrome (Post kolik) Endotoxemia
Kasus laminitis yang terjadi akibat gangguan metabolik pada kuda II, III, dan VI mencakup retained placenta post partus, dan post kolik yang disertai diare hebat. Retained placenta dapat didefinisikan sebagai kegagalan pengeluran semua atau sebagian dari membran fetus dalam 3 jam terakhir post partus (Sevinga et al. 2004). Membran fetus yang tetap berada dalam rahim akan menjadi racun yang secara sistemik masuk mengikuti sirkulasi darah dan menyebabkan sirkulasi
terganggu sampai terjadi hemolisis yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya laminitis. Laminitis yang terjadi pada kuda betina akibat retained placenta juga diyakini sebagian besar akibat proliferasi bakteri gram negatif dalam placenta yang kemudian terjadi endotoxemia (Kellon 2007). Kuda II didiagnosis menderita laminitis selama kurang lebih 8 bulan, gejala klinis yang terlihat selama kuda tersebut menderita laminitis yaitu selalu berbaring, terjadi perubahan struktur pada bagian telapak kaki (sole) menjadi lebih cembung (convex sole), serta mengalami kekurusan karena nafsu makan berkurang. Laminitis yang terjadi pada Kuda II karena kuda tersebut menderita metritis yaitu penyakit nonsistemik bakterial pada saluran reproduksi kuda. Infeksi bakteri tersebut akibat acute endometritis, vaginitis, cervicitis yang berlangsung secara bersamaan dan mengeluarkan cairan mucopurulent vaginal discharge dalam jumlah sedikit maupun dalam jumlah banyak (Timoney 2011). Kolik adalah gangguan pencernaan yang sering terjadi pada kuda dan bukan suatu penyakit tetapi gejala umum yang berasal dari nyeri di daerah abdominal (Foreman 2004). Menurut Cohen & Gibbs (1999) kolik sangat penting karena menjadi salah satu penyebab kematian pada kuda. Laminitis yang terjadi pada Kuda III dan Kuda VI diakibatkan kolik yang disertai dengan diare hebat yang selanjutnya mengakibatkan endotoxemia dalam tubuh kuda tersebut. Endotoxemia yang terjadi pada kuda dewasa dapat dipengaruhi oleh gangguan pada saluran pencernaan seperti radang usus dan ischemia akibat infeksi bakteri pada rongga pleura dan peritoneum (Moore 2005). Kolik dan endotoxemia dapat saling berhubungan satu sama lain karena kolik dapat terjadi akibat perkembangan endotoxemia dalam tubuh dengan persentase yang tinggi. Endotoxemia terjadi karena zat beracun/toksin yang dihasilkan bakteri gram negatif beredar dalam darah dan menjadi salah satu penyebab terjadinya laminitis. Kuda III memperlihatkan gejala klinis berupa diare hebat, urin berdarah, posisi berdiri khas akibat kolik, disertai dengan rotasi os phalanx III namun belum disertai dengan menembusnya os phalanx III bagian sole. Gejala klinis yang sama diperlihatkan oleh Kuda VI yang menderita laminitis akibat kolik dan endotoxemia, tetapi pada kuda ini sudah disertai dengan rotasi dan menembusnya os phalanx III ke bagian sole.
Laminitis yang diderita oleh kuda I, IV, dan V terjadi akibat trauma dan nutrisi karena pemberian grain (biji-bijian) yang terlalu tinggi. Selain itu, pada Kuda I diikuti dengan kelainan konformasi dari struktur kaki low heel (tumit yang terlalu rendah) dan flat sole. Gejala klinis yang terlihat pada Kuda I yaitu recurrent lameness, keadaan ini kuda akan mengalami kepincangan yang berulang dan terus menerus, dan sakit disertai panas pada bagian kuku saat dilakukan palpasi dan manipulasi. Tumit (heel bulbs) adalah bagian kuku yang akan mengalami kontak pertama kali dengan tanah sehingga berat tubuh akan menumpu pada bagian ini. Bagian tumit yang terlalu rendah (low heel) mempercepat kaki mencapai tanah sehingga berat tubuh akan ditransfer ke bagian sole. Bagian dalam sole juga terdapat banyak pembuluh darah dan saraf yang apabila terlalu banyak mengalami tekanan karena menopang berat tubuh akan menyebabkan terjadinya gangguan suplai darah dan oksigen. Hal tersebut yang dapat menjadi faktor pendukung terjadinya laminitis (Bergsten 2003). Kuda I, Kuda IV dan Kuda V menderita laminitis akibat trauma karena adanya kesalahan pada saat penapalan. Gejala klinis yang ditampilkan dari keadaan tersebut yaitu recurrent lameness dan sakit yang disertai panas pada bagian kuku saat dilakukan palpasi dan manipulasi. Menurut Bergsten (2003), kesalahan pada saat penapalan sering disertai dengan kesalahan pemotongan kuku atau saat kuku dibersihkan. Kesalahan tersebut dapat mengakibatkan peradangan pada daerah corium hingga terjadi edema dan pendarahan. Pendarahan pada corium akan terus berkembang hingga mencapai tanduk kuku (horn capsule) yang selanjutnya membentuk ulkus pada telapak kaki, white line pada dinding luar kuku, dan area toe. Perubahan posisi tulang dapat terjadi akibat ulkus dan pendarahan pada telapak kaki tersebut, dan terkadang membentuk cincin laminitic saat terjadi gangguan pertumbuhan tanduk kuku berikutnya. Penyebab dari laminitis yang menyerang Kuda I, Kuda IV, dan Kuda V juga akibat gangguan nutrisi karena kuda-kuda tersebut diberikan grain (bijibijian) dalam jumlah banyak, sehingga terjadi akumulasi grain. Grain yang terakumulasi tidak dapat dicerna di foregut (usus halus), sehingga dipindahkan ke hindgut (usus besar) dan difermentasi di sekum. Biji-bijian yang difermantasi
dalam sekum menyebabkan proliferasi bakteri gram positif yang memproduksi asam laktat dan terjadi peningkatan keasaman (asidosis) (Mallem et al. 2003; Bailey et al. 2003). Menurut Ross dan Williams (2005), konsumsi grain (bjibijian) dalam jumlah banyak dapat menghasilkan konsentrasi pati yang tinggi dan proliferasi bakteri di hindgut seperti Streptococcus bovis, Streptococcus dan Lactobacillus spp equines.
Bakteri
tersebut
tidak
hanya
menurunkan pH
usus, tetapi juga membunuh bakteri menguntungkan dalam usus. Menurut Pollitt (2008), keadaan tersebut membunuh dan melisiskan sebagian besar bakteri sehingga mengakibatkan pengeluaran toksin yang berasal dari dinding sel dan material genetik dari bakteri tersebut (endotoksin, eksotoksin, microbial DNA). Permeabilitas usus meningkat akibat iritasi lapisan usus oleh keasaman yang tinggi, kemudian menyebabkan endotoksin dan eksotoksin akan diserap ke dalam darah. Endotoxemia dalam sirkulasi sangat menggangu terutama di bagian ekstremitas dan dapat menyebabkan laminitis (Pollitt & Visser 2010; Tóth et al. 2009).
4.2
Pembagian Tingkat Keparahan Laminitis berdasarkan Interpretasi Radiograf Pollitt (2001) menyatakan bahwa pembagian grade (tingkat) keparahan
laminitis berawal pada tahun 1948 dicetuskan oleh Nils Obel seorang dokter hewan yang berasal dari Swedia. Pembagian tersebut berdasarkan kaitan antara kepincangan dengan keparahan yang terlihat secara klinis. Kuda dengan grade (tingkat) I ditandai dengan menopang berat badan pada satu kaki dan bergantian ke kaki lainnya, tetapi kuda masih dapat bergerak bebas. Grade (tingkat) II kepincangan jelas terlihat terutama saat berputar dan menyeret saat berjalan. Pada grade (tingkat) III kuda tidak mau bergerak dan menolak saat kaki diangkat karena rasa sakit yang diderita. Grade (tingkat) IV merupakan tingkatan paling parah yakni kuda lebih sering berbaring, tidak mau bergerak maupun berjalan. Redden (1998) telah membagi grade (tingkat) keparahan laminitis berdasarkan gejala klinis, terapi yang dilakukan dan prognosis. Grade (tingkat) I biasanya tidak disertai dengan rotasi dan menembusnya os phalanx III ke bagian sole, grade (tingkat) II terjadi rotasi sebesar 5°, grade (tingkat) III rotasi os
phalanx III sebesar 5°-10° dan grade (tingkat) IV rotasi os phalanx III lebih dari 10° dan disertai penetrasi os phalanx III ke bagian sole. Menurut Floyd (2007a) banyak sistem yang digunakan untuk menentukan grade (tingkat) keparahan laminitis. Akan tetapi, sistem yang banyak digunakan pada saat ini merupakan gabungan dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiograf, dan venogram untuk melihat keparahan laminitis. Penentuan tingkat keparahan laminitis berdasarkan hasil pemeriksaan radiograf terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pemeriksaan radiograf dan penentuan tingkat keparahan laminitis Kuda
Posisi Kaki
PA
Lebar Zona H-L (mm)
Jarak EPSDT/SDW Tingkat CB (°) (mm) (mm) I RF 5 21/25 20 14/25 I LF 10 21/22 19 15/30 II II RF 12 22/39 20 1/30 II LF 17 28/35 18 1/38 III RH 11 20/21 15 20/23 II LH 8 18/21 16 20/20 I III RF 5 23/24 20 1/10 I LF 9 25/28 25 4/11 I RH 8 31/32 23 3/17 I LH 9 25/27 25 3/15 I IV LF 14 25/32 22 16/40 III V RF 12 24/27 17 4/20 II LF 9 16/17 17 11/13 I RH 6 19/19 20 4/10 I LH 8 16/17 15 8/26 I VI RF 28 36/46 5 22/54 IV LF 55 50/60 30 0/45 IV RH 11 20/26 19 8/22 II LH 10 22/28 17 18/30 II Nilai normal* 3-5 15-19 ±14 20/23 CB: coronary band, EP: extensor process, H-L: horn-lamellar, LF: left fore, LH: left hind, RF: right fore, RH: right hind, PA: palmar angle, P3: os phalanx III; SDT: sole depth at tip dari P3, SDW: sole depth at wings dari P3 *(Floyd 2007a).
Berdasarkan pemeriksaan radiograf pada satu kuda dapat menderita laminitis dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat terjadi tergantung pada penyebab dan predisposisi dari laminitis tersebut. Laminitis akibat gangguan metabolik menginduksi terjadinya laminitis pada keempat kaki, sedangkan laminitis akibat selain dari gangguan metabolik menginduksi terjadinya laminitis pada satu atau kedua kaki. Namun penentuan derajat keparahan pada setiap kaki tidak dapat dilihat berdasarkan gejala klinis (Kellon 2007). Pemeriksaan selanjutnya dilakukan terhadap perubahan yang terjadi pada unsur/jaringan sekitar laminae di antara os phalanx III dengan wall (Floyd 2007a).
Gambaran perubahan yang terjadi pada tiap kaki dari setiap kuda terlihat pada Tabel 5. Tabel 5 Gambaran perubahan jaringan antara os phalanx III dan permukaan wall Perubahan jaringan antara os phalanx III dan permukaan wall Kuda I II
Keterangan RF + +
LF + +
RH +
LH +
Gas terlihat di antara wall dan corium pada bagian tip os phalanx III (LF, RH, LH) III + + + + Gas terlihat di antara wall dan corium (RF. LF, RH) IV + Gas terlihat di antara wall dan corium V + + + + VI + + + + Gas terlihat di antara wall dan corium (RF, LF, LH) Rotasi dan penetrasi os phalanx III (LF) LF: left fore, LH: left hind, RF: right fore, RH: right hind +: ada perubahan, - : tidak ada perubahan
Menurut Farrow (2006), pengambilan radiograf dari sisi lateral (lateral view) dapat menggambarkan keparahan rotasi os phalanx III dengan melihat hubungan antara os phalanx III dengan dinding kuku. Keparahan yang terlihat berupa degenarasi kaki akibat laminitis dan terlepas/bergesernya os phalanx III dari posisi normal. Floyd (2007a) menyatakan keparahan rotasi menjadi indikasi penentuan grade (tingkat) keparahan laminitis. Radiograf kuda dengan grade (tingkat) I adalah terbentuknya garis halus berwarna lebih hitam (lucent) terbatas pada permukaan dorsal os phalanx III. Grade (tingkat) II terbentuknya garis halus berwarna lebih hitam (lucent) yang lebih luas daripada tingkat I dan garis halus tersebut terdapat di distal dan ujung bawah os phalanx III. Grade (tingkat) III terlihat disorganisasi laminae dorsalis dengan corium disertai peningkatan warna kehitaman pada kedua daerah tersebut, sedangkan radiograf pada grade (tingkat) IV terjadi rotasi cranial yang ditandai dengan warna lebih hitam di sepanjang permukaan dorsal dan distal os phalanx III dan lebih luas pada bagian distal, juga disertai menembusnya os phalanx III ke bagian sole. Gambaran yang terlihat sebagai garis halus berwarna lebih hitam (lucent) pada saat terjadi rotasi os phalanx III merupakan akumulasi gas. Gas tersebut terbentuk diantara os phalanx III dan dinding kuku akibat kontaminasi atmosfir
(atmospheric contamination) oleh penetrasi os phalanx III yang menembus sole atau oleh drainage pada bagian coronary band. Pendapat lain menyatakan bahwa gas tersebut dapat dilepaskan dari hemoglobin sekunder untuk disintegrasi sel darah merah sebagai suplai daerah ekstremitas. Selain itu, laminitis dapat mempengaruhi konstruksi dari dinding kuku, permukaan dinding kuku akan terlihat bergelombang dan jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut menggunakan venogram akan terlihat kerusakan pada pembuluh darah di bagian dalam (Farrow 2006). Perubahan struktural os phalanx III tidak terjadi pada kasus laminitis akut dan subakut, terkecuali telah terjadi rotasi yang parah sebelumnya dan diikuti dengan penetrasi sampai fraktur ujung os phalanx III, serta osteomyelitis (Farrow 2006). Secara umum, kombinasi rotasi, perpindahan os phalanx III, dan gas pada bagian laminae bukan pertanda baik untuk pemulihan secara fungsional. Euthanasia menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan kasus laminitis jika sudah terjadi penetrasi os phalanx III baik dengan atau tanpa fraktur dan disertai infeksi (Herthel & Hood 1999). Akan tetapi, jika sembuh dari kondisi tersebut hewan akan berada dalam keadaan cacat kronis seumur hidup (Morgan & Grosenbaugh 1999).