BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Ciri-ciri Fenotip Sampel Ikan Cyprinid Uji
4.1.1 Ikan Mas Majalaya Sampel ikan mas Majalaya (MJ) didapatkan dari pembudidaya ikan mas di daerah Ibun, Majalaya, Jawa Barat. Ikan mas ini merupakan ikan mas berumur sekitar 5 bulan dengan panjang antara 20 – 22 cm. Ciri-ciri fisik sampel MJ (Gambar 13) adalah tubuhnya memanjang compressed (pipih) dan lebar, berwarna abu-abu pada bagian punggung dan putih pada bagian perut. Bagian kepala berbentuk segitiga berukuran kecil, letak mulut terminal, terdapat sepasang barbel (sungut) dan dapat disembulkan. Punggung agak tinggi dan melengkung sehingga dapat terlihat lengkungan agak tinggi antara kepala dan punggung, bentuk perut membulat. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak) berwarna abu-abu cerah, panjang pangkal ekor (caudal peduncle) lebih pendek dibandingkan dengan lebarnya, garis linear lateralis memanjang dan agak melengkung dari bagian atas operculum sampai ke pangkal ekor. Sirip dorsal terdiri dari beberapa baris duri halus letaknya sejajar dengan sirip ventral, sirip ventral berwarna putih terletak di bagian perut, sirip pectoral berada di bawah operculum, sedangkan sirip anal berada di belakang lubang anal dan sebelum pangkal ekor.
Gambar 13. Sampel Ikan Mas Majalaya (MJ) (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Ikan mas Majalaya memiliki beberapa ciri khas pada bagian tubuh yang terlihat jelas bila dibandingkan dengan strain ikan mas yang lainnya (Gambar 14),
37
38
yaitu ukuran kepalanya yang kecil berbentuk segitiga bila dilihat dari samping, punggung tinggi melengkung, sedangkan badannya membulat, lebar dan besar, sehingga membuat perbandingan antara besar kepala dengan besar tubuh terlihat begitu kontras. Selain itu ikan mas Majalaya memiliki tubuh yang relatif pendek bila dibandingkan dengan strain ikan mas lainnya (SNI : 01- 6130 – 1999).
Gambar 14. Ciri Khas Ikan Mas Majalaya (Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
4.1.2 Ikan Mas Rajadanu Sampel ikan mas Rajadanu (RD) didapatkan dari kolam pembudidaya ikan mas di daerah Cijambe, Subang, Jawa Barat. Sampel ikan mas Rajadanu merupakan ikan mas berumur sekitar 4 bulan dengan panjang antara 21 – 24 cm. Ciri-ciri fisik sampel RD (Gambar 15) adalah tubuhnya memanjang compressed (pipih), berwarna abu-abu kehijauan di bagian punggung, ke arah perut warnanya semakin memutih, dan pada bagian perut bawah berwarna putih. Bagian kepala agak melengkung ke bawah, letak mulut terminal, memiliki sepasang barbel (sungut) dan dapat disembulkan. Bagian punggung agak landai, sedangkan bagian perut agak membulat. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak) berwarna gelap kecoklatan, pangkal ekor (caudal peduncle) agak panjang dan agak lebar, garis linear lateralis memanjang dari operculum sampai ke pangkal ekor. Sirip dorsal terdiri dari beberapa baris duri halus letaknya sejajar dengan sirip ventral dan memanjang sampai ke pangkal ekor. Sirip pectoral berada di bawah operculum, sedangkan sirip anal berada tepat di belakang anal dan sebelum pangkal ekor.
39
Gambar 15. Sampel Ikan Mas Rajadanu (RD) (Sumber : Dokumentasi pribadi)
Ikan mas strain Rajadanu memiliki ciri khas pada punggungnya yang landai (rendah) dan tubuhnya memanjang (Gambar 16), sehingga bila dilihat secara teliti ikan mas Rajadanu seolah terlihat memiliki punggung yang panjang dan agak lurus. Ikan mas strain Rajadanu memiliki tubuh yang lebih memanjang dibandingkan dengan ikan mas Majalaya ataupun ikan mas Subang, dengan perut yang lebih membulat bila dibandingkan dengan ikan mas Subang. Selain itu bagian kepala ikan mas Rajadanu agak melengkung ke bawah bila dibandingkan dengan ikan mas Majalaya atau ikan mas Subang (Liptan IP2TP 2000).
Gambar 16. Ciri Khas Ikan Mas Rajadanu (Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
4.1.3 Ikan Mas Subang Sampel Ikan mas Subang (SB) didapatkan dari pembudidaya ikan mas di daerah Pabuaran, Subang, Jawa barat. Sampel SB merupakan ikan mas berumur sekitar dua bulan dengan panjang antara 5 – 7 cm. Ciri-ciri fisik sampel SB
40
(Gambar 17) adalah tubuhnya memanjang compressed (pipih), berwarna hijau kekuningan pada bagian punggung dan putih kekuningan pada bagian perut. Kepala berbentuk segitiga tidak sempurna, ukurannya agak besar dan pendek, letak mulut terminal, memiliki sepasang barbel (sungut) dan dapat disembulkan. Bagian punggung agak melenggkung ke atas sejajar dengan lekuk kepala, dan bagian perut membulat. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak) berwarna kekuningan, panjang pangkal ekor (caudal peduncle) lebih besar daripada lebarnya, garis linear lateralis memanjang dan agak melengkung dari bagian atas operculum hingga ke pangkal ekor. Sirip dorsal terdiri dari beberapa baris duri halus, sejajar dengan sirip ventral pada bagian perut. Sirip pectoral berada di bawah operculum, sedangkan sirip anal berada di belakang lubang anal dan sebelum pangkal ekor.
Gambar 17. Sampel Ikan Mas Subang (SB) (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Ikan mas Subang sekilas mirip dengan ikan mas Rajadanu (Gambar 18), tetapi bila dilihat secara teliti ada beberapa perbedaan yang sedikit mencolok. Perbedaan ikan mas Subang dengan ikan mas Rajadanu bisa dilihat dari tinggi punggunya, punggung ikan mas Subang lebih tinggi dari punggung ikan mas Rajadanu, namun lebih rendah dari punggung ikan mas Majalaya (Khairuman dkk. 2008). Selain itu lekukan antara bagian kepala dengan punggung tidak terlalu jelas terlihat, sehingga membuat garis kepala dengan garis punggung seolah terlihat sejajar (linear). Bagian perut ikan mas Subang terlihat lebih rata bila dibandingkan dengan ikan mas Majalaya ataupun ikan mas Rajadanu. Ikan mas Subang juga
41
memiliki pangkal ekor (caudal peduncle) yang lebih panjang dibandingkan dengan lebarnya, hal ini berbeda dengan ikan mas Majalaya dan Rajadanu yang memiliki pangkal ekor (caudal peduncle) yang relatif lebih lebar.
Gambar 18. Ciri Khas Ikan Mas Subang (Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
4.1.4 Grass Carp Sampel grass carp (GC) milik Aldino Rafiq (FPIK Unpad 2010) yang didapatkan dari toko ikan hias di Kota Bandung, Jawa Barat. Sampel GC merupakan grass carp berumur sekitar 2 tahun, dengan panjang antara 40 – 45 cm. Ciri-ciri fisik sampel GC (Gambar 19) adalah tubuhnya berbentuk silinder memiliki panjang yang lebih besar daripada lebarnya, berwarna putih keabuan pada bagian punggung dan putih pada bagian perut. Kepala berbentuk segitiga tumpul ukurannya cukup besar, letak mulut terminal, tidak terdapat barbel (sungut) tidak dapat disembulkan. Punggung sejajar dengan kepala dan lurus, sedangkan bagian perut agak membulat. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak) berwarna abu-abu gelap, pangkal ekor (caudal peduncle) lebih panjang daripada lebarnya, garis linear lateralis memanjang dari operculum ke pangkal ekor. Sirip dorsal hanya terdiri dari beberapa baris duri halus, ukurannya cukup tinggi dan berada sejajar dengan sirip ventral, sirip ventral berwarna putih berada di bagian perut agak belakang. Sirip pectoral berada di belakang operculum, sedangkan sirip anal terdapat di belakang lubang anal dan sebelum pangkal ekor.
42
Gambar 19. Sampel Grass Carp (GC) Penampakan grass carp sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan ikan mas ataupun giant barb (Gambar 20), bentuk tubuh yang panjang merupakan ciri khas ikan pemakan gulma air dari keluarga Cyprinid ini. Ciri khas lain selain tubuhnya yang panjang diantaranya adalah, sirip dorsal yang dimiliki oleh grass carp berukuran pendek dan cukup tinggi terletak tepat di punggung bagian tengah tubuhnya, sirip caudal ikan ini juga memiliki bentuk yang sekilas mirip seperti kuas. Ikan ini juga memiliki mata yang relatif kecil bila dibandingkan dengan ikan mas. Selain itu grass carp juga memiliki pangkal ekor (caudal peduncle) yang relatif panjang (Shireman and Smith 1983).
Gambar 20. Ciri Khas Grass Carp (Sumber : http://www.dec.ny.gov/animals/52767.html)
4.1.5 Giant Barb Sampel giant barb (GB) milik Aldino Rafiq (FPIK Unpad 2010) yang didapatkan dari toko ikan hias di Kota Jakarta, sampel GB merupakan giant barb berumur sekitar 2 bulan dengan panjang anatara 8 – 10 cm. Ciri-ciri fisik sampel GB (Gambar 21) adalah tubuhnya memanjang berbentuk stream-line (torpedo),
43
berwarna agak gelap. Kepala berbentuk segitiga tidak sempurna, ukurannya sekitar 1/3 dari besar tubuhnya, letak mulut terminal, tidak ada barbel (sungut) dan dapat disembulkan. Punggung bagian depan melengkung ke atas dan ukurannya besar, semakin ke belakang ukurannya semakin mengecil, sedangkan bagian perut agak lurus dan sejajar dengan garis kepala. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak) berwarna gelap transparan, pangkal ekor (caudal peduncle) lebih panjang dibandingkan lebarnya. Sirip dorsal memanjang letaknya tepat di atas lekukan punggung, sirip pectoral berada di bawah operculum, sirip ventral berada di bagian perut, sedangkan sirip anal berada di belakang lubang anal dan memanjang ke arah pangkal ekor.
Gambar 21. Sampel Giant Barb (GB) (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Bentuk tubuh giant barb sekilas terlihat mirip seperti ikan mas (Gambar 22), namun ketika dilihat secara teliti ikan ini memiliki ciri khas yang unik dan sangat jelas berbeda bila dibandingkan dengan ikan mas. Giant barb memiliki bentuk tubuh yang terlihat mirip seperti roket (bagian depan tubuhnya besar dan agak mengecil di bagian belakang), dengan kepala yang cukup besar dan agak lebar, ukuran kepalanya sekitar 1/3 dari ukuran tubuhnya. Ikan ini juga memiliki bentuk punggung yang unik, yakni terlihat tinggi dan melengkung seperti punuk unta, pada bagian belakang punggung ini terdapat sirip dorsal yang memanjang sepanjang lekuk punggungnya, sirip dorsal berbentuk segitiga bagian pangkalnya agak melengkung dengan ujung sirip yang agak runcing. Sirip pectoral, ventral dan anal terlihat berbentuk segitiga yang nampak seperti ujung
44
pisau belati, sedangkan sirip caudal-nya berbentuk seperti bumerang (bercagak) dengan ujung yang agak lancip (Rainboth 1996).
Gambar 22. Ciri Khas Giant Barb (Sumber : http://photos.zoochat.com/large/img_55414-242702.jpg)
4.2
Isolasi DNA Genom Ikan Cyprinid Uji DNA diisolasi dari kelima sampel ikan uji dengan menggunakan kit
Wizard® Genomic DNA Purification (Promega). Proses isolasi DNA secara garis besar memiliki empat tahapan, pertama adalah tahapan pemecahan dinding sel, kedua adalah tahapan ekstraksi DNA dari inti sel, ketiga adalah tahapan pengendapan (presipitasi) DNA, dan keempat adalah tahapan pencucian DNA (Rafsanjani 2011). Sampel yang akan diisolasi DNA-nya diambil dari jaringan sirip sehingga DNA genom ikan dapat diperoleh tanpa harus membunuh ikan terlebih dahulu. Pemecahan dinding sel dilakukan dengan pemberian nucleic lysis solution pada sampel, setelah dinding sel pecah maka DNA pada inti sel dapat diekstraksi. RNAse solution ditambahkan pada sampel untuk mengekstraksi DNA dan menghilangkan RNA yang masih menempel pada isolat. Setelah itu dilakukan pengendapan DNA dengan menambahkan protein precipitation solution pada sampel. Proses pencucian DNA dilakukan dengan menggunakan ethanol 70 %, pencucian ini dilakukan untuk membilas sisa-sisa bahan ekstraksi, sisa-sisa
45
protein dan garam-garam, serta senyawa-senyawa lainnya yang ikut mengendap bersama isolat DNA (Lampiran 2). Setelah proses isolasi selesai maka dilakukan pengujian kualitas DNA dengan melakukan elektroforesis dan perhitungan konsentrasi DNA menggunakan alat
spektrofotometrik
(Pranawaty dkk.
2012).
Elektroforesis
dilakukan
menggunakan gel agarose dengan konsentrasi 1 % (agarose serbuk 0,4 gr + larutan TBE buffer 40 ml) pada beda potensial sebesar 75 V selama satu jam. Hasil elektroforesis dapat dilihat dengan melakukan visualisasi gel agarose di atas UV transiluminator. Sebelum melakukan visualisasi gel agarose di atas UV transiluminator, gel agarose terlebih dahulu direndam di dalam larutan EtBr (etidium bromide) untuk pewarnaan DNA. Larutan EtBr akan memendarkan DNA pada gel agarose yang disinari oleh sinar UV dengan panjang gelombang l = 312 nm pada UV transiluminator. Hasil elektroforesis kelima DNA sampel uji (Gambar 23) menunjukkan bahwa hasil isolasi DNA memiliki kualitas yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terlihatnya smear yang tebal pada hasil elektroforesis. Smear akan terlihat dari hasil isolasi DNA genom pada gel agarose apabila masih terdapat kontaminan seperti sisa-sisa isolat, RNA, protein, ataupun senyawa kontaminan lainnya pada DNA tersebut, atau karena kualitas DNA yang kurang baik.
Gambar 23. DNA Genom Ikan Uji (Tanda (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
)
46
Perhitungan kemurnian DNA juga perlu dilakukan untuk memastikan kualitas sampel hasil isolasi DNA genom secara kuantitatif menggunakan alat spektrofotometrik dengan melakukan perbandingan nilai absorban A260 nm dengan A280 nm (Lampiran 3). Hasil perhitungan konsentrasi DNA (Tabel 3) menunjukkan nilai yang berbeda-beda pada setiap sampelnya. Perbandingan nilai absorban A260 nm dengan A280 nm terendah diperoleh dari sampel grass carp (GC) sebesar 1,761 dan yang tertinggi diperoleh dari sampel ikan mas Subang (SB) sebesar 1,936. Rata-rata perbandingan nilai absorban A260 nm dengan A280 nm dari semua sampel berada pada angka 1,761 – 1,936. Hal ini menunjukkan bahwa sampel memenuhi persyaratan kemurnian DNA untuk proses amplifikasi, dimana syarat DNA bisa dinyatakan murni dan memenuhi persyaratan kemurnian untuk analisis molekuler bila rasio dari kedua nilai absorban A260 nm dengan A280 nm berada di antara 1,8 – 2,0 (Sambrook et al. 1989), meskipun sampel GC memiliki nilai perbendingan sebesar 1,761 layak sebagai DNA template untuk proses amplifikasi DNA karena nilai tersebut masih mendekati nilai minimum 1,8. Tabel 3. Hasil Perhitungan Kemurnian DNA Genom Ikan Cyprinid Uji No. 1. 2. 3. 4. 5.
Sampel MJ RD SB GC GB
Abs260 nm 0,163 0,221 0,182 0,456 0,123
Abs280 nm 0,088 0,118 0,094 0,259 0,064
Kemurnian DNA 1,852 1,873 1,936 1,761 1,922
Kemurnian DNA yang baik sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pada proses amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR, apabila DNA yang dijadikan sebagai template atau cetakan kurang murni atau bahkan tidak murni kemungkinan besar primer tidak akan bisa menempel pada sekuen DNA yang akan diamplifikasi karena terhalang oleh kontaminan-kontaminan yang ada pada isolat DNA genom, sehingga hal ini dapat mengakibatkan gagalnya proses amplifikasi DNA. Selain kualitas DNA template optimasi primer juga menjadi penentu keberhasilan proses amplifikasi DNA.
47
4.3
Amplifikasi DNA dan Analisis Polimorfisme Setelah didapatkan DNA dengan kualitas yang baik maka selanjutnya
DNA tersebut akan dijadikan sebagai template pada proses amplifikasi DNA. Sebelum melakukan amplifikasi perlu dilakukan optimasi primer untuk mencari tempratur annealing yang tepat sehingga primer dapat menepel secara optimal pada DNA genom yang dijadikan sebagai template. Tempratur annealing yang akan digunakan dicari melalui perkiraan dengan melakukan penyesuaian terhadap melting temperature (Tm) dari masing-masing primer (McPherson and Moller 2006). Amplifikasi DNA genom dilakukan dengan metode RAPD-PCR (random amplified polymorphic DNA – polymerase chain reaction) menggunakan empat jenis primer OPA, yaitu OPA-2, OPA-3, OPA-5, dan OPA-13. Setelah proses amplifikasi menggunakan keempat primer tersebut selesai kemudian sampel dielektroforesis pada gel agarose dengan konsentrasi 1,4 % (agarose serbuk 0,4 gr + larutan TBE buffer 40 ml), hasil yang didapatkan yaitu hanya ada tiga jenis primer yang menghasilkan beragam pita polimorfik (OPA-2, OPA-3, dan OPA-13), sedangkan primer OPA-5 tidak mampu memunculkan pita polimorfik dari DNA ikan Cyprinid uji (Lampiran 4). Dari ketiga primer inilah kemudian dilakukan analisis polimorfik untuk mencari tingkat kekerabatan ikan Cyprinid uji. Amplifikasi
DNA
sampel
dengan
menggunakan
primer
OPA-2
menghasilkan beragam pita-pita polimorfik dengan besaran amplikon antara 467 bp – 2.515 bp (Gambar 24). Sumur M merupakan marker DNA ladder 1 kb dengan jarak basa mulai dari 250 bp sampai dengan 10.000 bp. Penggunaan marker DNA ladder 1 kb ini tepat karena DNA sampel target yang teramplifikasi berkisar antara 450 – 2550 bp (Lampiran 5). Sumur MJ memunculkan 3 pita (Gambar 24), 2 diantaranya adalah pita polimorfik (906 bp, 581 bp) dan 1 pita monomorfik yang sejajar dengan pita yang muncul pada sumur RD dan SB (698 bp) (Tabel 4), hal ini menunjukkan bahwa ikan mas Majalaya memiliki perbedaan dibandingkan dengan ikan mas Rajadanu ataupun ikan mas Subang meskipun ikan mas Majalaya masih memiliki kesamaan dengan ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang, perbedaan ini terlihat dari
48
bentuk tubuh ikan mas Majalaya yang khas dimana punggungnya tinggi dan perutnya besar membulat serta panjang tubuh relatif pendek, selain itu ukuran kepala ikan mas Majalaya relatif lebih kecil (Gambar 14). Sumur RD dan sumur SB (Gambar 24) memunculkan 2 pita pada lokasi yang sama (698 bp, 467 bp) (Tabel 4), penggunaan primer OPA-2 menunjukkan bahwa ikan mas Rajadanu dan ikan Mas Subang memiliki tingkat kesamaan genetik yang sangat dekat, hal ini dibuktikan dengan miripnya ciri fenotip antara ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, walaupun sebenarnya terdapat sedikit perbedaan antara ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk kepala, punggung dan perut yang berbeda antara ikan mas Radajadu dengan ikan mas Subang.
Gambar 24. Hasil Amplifikasi DNA (OPA-2) (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Keterangan: M = Marker 1 kb MJ = Ikan mas Majalaya RD = Ikan mas Rajadanu
SB = Ikan mas Subang GC = Grass carp GB = Giant barb
49
Sumur GC memunculkan 5 pita (Gambar 24), dengan 4 diantaranya adalah pita polimorfik (2515 bp, 1181 bp, 1069 bp, 769 bp) dan 1 pita monomorfik (698 bp) yang sejajar dengan ketiga strain ikan mas (Tabel 4). Adanya 4 pita polimorfik menunjukkan bahwa secara fenotip maupun genotip grass carp sangat berbeda jauh dengan ikan mas walaupun ada sedikit kesamaan dengan ketiga ikan tersebut. Perbedaan ini sangat terlihat jelas dengan bentuk tubuh grass carp yang memanjang, sirip dorsal yang pendek dan cukup tinggi, ukuran mata yang relatif kecil, dan sirip caudal yang seperti kuas (Gambar 20). Tabel 4. Tabel Polimorfik dan Monomorfik OPA-2 Base Pair (bp) 2515 1749 1181 1069 999 906 769 698 616 581 540 467
MJ
RD
SB
GC --*
GB --*
--* --* --* --* --
--
--
--* ---*
--* --* --
--
Keterangan: -- = Pita Monomorfik | --* = Pita Polimorfik
Sumur GB memunculkan 4 pita (Gambar 24) dan keempatnya merupakan pita polimorfik (1749 bp, 999 bp, 616 bp, 540 bp) (Tabel 4). Pita-pita polimorfik ini menunjukkan bahwa giant barb memiliki cukup banyak ciri khas yang tidak ditemukan pada ikan uji lainnya. Ciri fenotip yang khas pada giant barb diantaranya adalah, bentuk kepalanya yang besar dan lebar memiliki ukuran sekitar 1/3 dari besar tubuhnya, tubuhnya sendiri berbentuk seperti roket, bagian punggungnya mirip seperti punuk unta karena bentuknya yang tinggi dan melengkung, pada lekuk punggung bagian belakang terdapat sirip dorsal yang khas berbentuk segitiga dimana bagian pangkalnya agak melengkung dan memiliki ujung yang agak lancip, selain itu sirip pectoral, ventral dan anal juga memiliki bentuk yang khas seperti ujung pisau belati, sedangkan sirip caudal-nya
50
memiliki bentuk seperti bumerang dengan ujung sirip yang agak runcing (Gambar 22). Amplifikasi
DNA
sampel
dengan
menggunakan
primer
OPA-3
memunculkan banyak pita polimorfik dan monomorfik yang lebih beragam bila dibandingkan dengan hasil amplifikasi DNA sampel menggunakan primer OPA-2. Pita-pita yang muncul pada gel agarose memiliki besaran amplikon yang beragam mulai dari 338 bp – 1755 bp (Gambar 25). Sumur M merupakan marker DNA ladder 1 kb dengan jarak basa mulai dari 250 bp sampai dengan 10.000 bp. Penggunaan marker DNA ladder 1 kb ini tepat karena DNA sampel target yang teramplifikasi berkisar antara 300 – 1800 bp (Lampiran 6). Penggunaan primer OPA-3 untuk mengamplifikasi DNA sampel ikan mas Majalaya memunculkan 7 pita yang berbeda (Gambar 25), dimana 2 pita diantaranya merupakan pita polimorfik (688 bp, 608) dan 5 pita lainnya adalah pita monomorfik (1337 bp, 1041 bp, 981 bp, 543 bp, 419 bp) (Tabel 5). Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer OPA-3 ini menunjukkan bahwa cukup banyak sekuen DNA ikan mas Majalaya yang komplementer dengan sekuen primer OPA-3. Kedua pita polimorfik yang muncul menunjukkan bahwa ikan mas Majalaya memiliki keragaman berbeda dari ikan mas uji lainnya, hal ini sesuai dengan ciri khas fenotip dari tubuh ikan mas Majalaya yang memiliki punggung tinggi, badan besar membulat dan panjang tubuhnya relatif pendek, serta ukuran kepala yang relatif lebih kecil (Gambar 14). Ikan mas Majalaya memiliki tingkat kesamaan genetik yang lebih dekat dengan ikan mas Rajadanu dibandingkan dengan ikan mas Subang, hal ini ditunjukkan dengan adanya lima pita monomorfik yang sama pada sampel ikan mas Rajadanu (1337 bp, 1041 bp, 981 bp, 543 bp, 419 bp), sedangkan hanya ada empat pita monomorfik yang sama pada sampel ikan mas Subang (1337 bp, 1041 bp, 981 bp, 543 bp). Ikan mas Majalaya juga memiliki beberapa kesamaan genetik dengan giant barb, hal ini ditunjukkan dengan adanya pita monomorfik dengan besar fragmen 1041 bp dan 981 bp yang juga ditemukan pada sampel giant barb. Penggunaan primer OPA-3 dalam mengamplifikasi DNA sampel ikan mas Rajadanu dan DNA sampel ikan mas Subang menghasilkan cukup banyak pita
51
monomorfik yang sama untuk kedua sampel ini. Ada 4 pita monomorfik yang sama-sama muncul pada sumur RD maupun sumur SB (Gambar 25), besaran fragmen keempat pita monomorfik tersebut terdiri dari 1337 bp, 1041 bp, 981 bp, dan 543 bp (Tabel 5). Munculnya 4 pita monomorfik yang sama mengindikasikan bahwa ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang memiliki tingkat kesamaan genetik yang sangat dekat, meskipun pada sampel ikan mas Rajadanu terdapat 2 pita monomorfik yang berbeda (781 bp, 419) dan 1 pita polimorfik (621 bp) (Tabel 5). Dua pita monomorfik yang berbeda pada sampel ikan mas Rajadanu satu diantaranya sejajar dengan pita monomorfik yang muncul pada sumur GC (781 bp), dan sisanya sejajar dengan pita monomorfik yang muncul pada sumur MJ (419 bp).
Gambar 25. Hasil Amplifikasi DNA (OPA-3) (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Keterangan: M = Marker 1 kb MJ = Ikan mas Majalaya RD = Ikan mas Rajadanu
SB = Ikan mas Subang GC = Grass carp GB = Giant barb
52
Kemunculan pita monomorfik yang berbeda dan pita polimorfik pada sampel RD menandakan bahwa terdapat beberapa perbedaan genetik antara ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, perbedaan tersebut dapat dilihat dari bentuk tubuh ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, ikan mas Rajadanu memiliki ciri khas pada kepalanya yang agak melengkung ke bawah, punggungnya yang landai (rendah) dan bentuk tubuhnya yang agak pipih memanjang (Gambar 16), sedangkan ikan mas Subang memiliki bentuk tubuh dengan punggung agak tinggi dan perut yang relatif datar (Gambar 18). Salah satu pita monomorfik pada sampel RD yang sama dengan pita monomorfik yang terdapat pada sampel GC menunjukkan adanya sedikit kesamaan antara ikan mas Rajadanu dengan grass carp, sedangkan satu pita monomorfik lainnya yang sama dengan pita monomorfik pada sampel MJ menunjukkan bahwa ikan mas Rajadanu juga memiliki tingkat kesamaan genetik yang cukup dekat dengan ikan mas Majalaya. Ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang juga memiliki kesamaan genetik yang serupa dengan ikan mas Majalaya dan giant barb yakni pada pita monomorfik berukuran 1041 bp dan 981 bp. Penggunaan primer OPA-3 dalam amplifikasi DNA sampel grass carp memunculkan 4 pita berbeda (Gambar 25), primer OPA-3 hanya mampu memunculkan 3 pita polimorfik saja (1755 bp, 1478 bp, 621 bp) (Tabel 5) dimana sebelumnya pada penggunaan primer OPA-2 mampu memunculkan 4 pita polimorfik. Hal ini disebabkan karena sekuen gen polimorfik pada DNA grass carp ada yang tidak komplementer dengan sekuen primer OPA-3. Ketiga pita polimorfik yang muncul pada agarose bisa jadi merupakan representasi dari tiga ciri khas fenotip grass carp (bentuk tubuh, sirip dorsal, sirip caudal atau mata) (Gambar 20). Penggunaan primer OPA-3 dalam amplifikasi DNA sampel giant barb mampu memunculkan lebih banyak pita polimorfik maupun monomorfik bila dibandingkan dengan hasil amplifikasi menggunakan primer OPA-2 (Gambar 25). Ada 6 pita polimorfik yang berhasil diamplifikasi oleh primer OPA-3 (1639 bp, 814 bp, 737 bp, 561 bp, 474 bp, 338 bp) (Tabel 5), keenam pita polimorfik ini kemungkinan merupakan gambaran dari ciri khas fenotip giant barb yang berbeda
53
dengan keempat sampel lainnya, perbedaan tersebut dapat dilihat dari bentuk kepala, bentuk punggung, bentuk sirip (dorsal, pectoral, ventral, anal), dan sirip caudal (Gambar 22). Tabel 5. Tabel Polimorfik dan Monomorfik OPA-3 Base Pair (bp) 1755 1639 1478 1337 1041 981 901 814 781 737 688 621 608 561 543 474 419 338
MJ
RD
SB
GC
GB
--* --* --* ----
-----*
----
----*
--
---*
--* --* --* --* --
--
--
--
---* --*
Keterangan: -- = Pita Monomorfik | --* = Pita Polimorfik
Penggunaan primer OPA-13 untuk mengamplifikasi sampel ikan Cyprinid uji menghasilkan cukup banyak ragam pita yang muncul dari hasil amplifikasi DNA genom (Gambar 26). Pita yang muncul memiliki besaran fragmen mulai dari 390 bp – 1957 bp (Lampiran 7). Tetapi setelah melakukan analisa dan perbandingan data didapatkan hasil yang tidak konsisten dan tidak sesuai, dimana pada penggunaan primer OPA-13 hampir seluruh pita yang muncul merupakan pita monomorfik baik pada sampel MJ, RD, SB, dan GC. Pita polimorfik yang muncul hanya terdapat pada sampel grass carp dan giant barb saja, sedangkan pada sampel ikan mas sama sekali tidak ditemukan pita polimorfik.
54
Gambar 26. Hasil Amplifikasi DNA (OPA-13) (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Keterangan: M = Marker 1 kb
SB = Ikan mas Subang
MJ = Ikan mas Majalaya
GC = Grass carp
RD = Ikan mas Rajadanu
GB = Giant barb
Pita polimorfik yang muncul pada sampel GC hanya berjumlah 1 pita saja (1957 bp), sedangkan ada 9 pita polimorfik yang muncul pada sampel GB (1417 bp, 1177 bp, 1073 bp, 1005 bp, 993 bp, 702 bp, 615 bp, 519 bp, 437 bp) (Tabel 6). Banyaknya pita monomorfik yang muncul pada gel agarose mengindikasikan bahwa primer OPA-13 lebih komplementer terhadap sekuen DNA monomorfik pada sampel ikan Cyprinid uji (terutama pada sampel ikan mas dan grass carp) dibandingkan dengan sekuen DNA polimorfik-nya. Kemungkinan hal ini terjadi karena sekuen primer OPA-13 tidak komplementer sama sekali dengan gen polimorfik pada DNA ikan mas uji, dan sedikit sekuen primer yang komplementer dengan gen polimorfik pada DNA grass carp. Primer OPA-13 hanya komplementer dengan sekuen gen polimorfik pada DNA giant barb saja.
55
Tabel 6. Tabel Polimorfik dan Monomorfik OPA-13 Base Pair (bp) 1957 1873 1618 1417 1350 1177 1113 1073 1005 993 957 874 824 702 632 615 519 455 437 390
MJ
RD
SB
---
---
GC --*
---
----
---
---
---
GB
--* ---* ---* --* --* ----*
--
--
---* --*
--
---*
--
--
--
Keterangan: -- = Pita Monomorfik | --* = Pita Polimorfik
Penggunaan dua jenis primer OPA (OPA-2 dan OPA-3) menghasilkan beragam pita polimorfik yang muncul pada beberapa sampel ikan Cyprinid uji. Hasil amplifikasi DNA menggunakan primer OPA-2 berhasil memunculkan 2 pita polimorfik pada sampel MJ, 4 pita polimorfik pada sampel GC, dan 4 pita polimorfik pada sampel GB, sedangkan hasil amplifikasi DNA menggunakan primer OPA-2 berhasil memunculkan 2 pita polimorfik pada sampel MJ, 3 pita polimorfik pada sampel GC, dan 6 pita polimorfik pada sampel GB. Kemunculan pita-pita polimorfik ini dapat dibandingkan dengan ciri-ciri fenotip masing-masing ikan uji yang khas untuk mencari tahu efektifitas primer dalam mengamplifikasi DNA sampel. Berdasarkan perbandingan jumlah pita polimorfik yang muncul pada gel agarose dengan ciri-ciri fenotip yang khas dari sampel ikan Cyprinid uji maka bisa disimpulkan bahwa penggunaan primer OPA-2 dan OPA-3 memiliki kemampuan yang sama untuk mengamplifikasi pita polimorfik pada sampel MJ dimana hasil amplifikasi menunjukkan adanya 2 pita
56
polimorfik yang teramplifikasi, jumlah pita polimorfik ini sesuai dengan jumlah ciri khas fenotip sampel MJ. Primer OPA-3 lebih komplementer dengan sekuen gen polimorfik RD dibandingkan dengan OPA-2, karena berhasil memunculkan 1 pita polimorfik pada sampel RD yang menunjukkan bahwa RD memiliki ciri khas berbeda dibandingkan dengan dua ikan mas lainnya. Primer OPA-2 lebih komplementer dengan sekuen gen polimorfik pada DNA grass carp bila dibandingkan dengan primer OPA-3, karena primer OPA-2 mampu memunculkan 4 pita polimorfik yang jumlahnya sesuai dengan ciri khas fenotip sampel GC, sedangkan primer OPA-3 hanya mampu memunculkan 3 pita polimorfik saja. Primer OPA-3 memunculkan lebih banyak pita polimorfik pada sampel GB bila dibandingkan
dengan
primer
OPA-2,
dimana
primer
OPA-3
mampu
memunculkan 6 pita polimorfik, sedangkan primer OPA-2 hanya mampu memunculkan 4 pita polimorfik saja, meskipun demikian penggunaan primer OPA-2 ataupun OPA-3 sudah sesuai dengan ciri khas fenotip pada sampel GB. Penggunaan primer OPA-2 maupun OPA-3 tidak dapat memunculkan pita polimorfik pada sampel SB, hal ini disebabkan karena kedua sekuen primer ini tidak ada yang komplementer dengan sekuen gen polimorfik pada DNA sampel SB. Pita polimorfik yang muncul pada setiap sampel belum tentu merupakan representasi dari ciri khas fenotip yang ada pada masing-masig ikan uji, karena sifat primer yang menempel secara acak tidak dapat diketahui dengan jelas apakah sekuen primer tersebut menempel pada sekuen gen polimorfik yang diekspresikan menjadi fenotip, atau bukan merupakan sekuen gen polimorfik yang diekspresikan menjadi fenotip (Liu and Cordes 2004). 4.4
Analisis Kekerabatan Ikan Cyprinid Uji Setelah melakukan pengamatan dan analisis polimorfisme dari hasil
amplifikasi DNA ikan Cyprinid uji, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis kekerabatan pada ikan yang diujikan. Pola pita yang muncul pada gel agarose diterjemahkan kedalam data numerik tanpa membedakan tebal atau tipisnya pita DNA. Penerjemahan pola pita dilakukan dengan memberikan angka (0) bila tidak ditemukan pita pada sampel, dan angka (1) bila ditemukan pita pada
57
sampel menggunakan primer OPA-2 (Lampiran 8), OPA-3 (Lampiran 9) dan OPA-13 (Lampiran 10). Penentuan ada atau tidak adanya pita pada gel agarose dilakukan dengan bantuan beberapa software komputer, diantaranya adalah Coreldraw X6, dan Microsoft Excel 2007 (Lampiran 11). Setelah pita-pita yang muncul pada gel agarose diterjemahkan menjadi data numerik dalam bentuk matriks biner, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan
koefisien
kesamaan
(simple
matching)
dari
data
tersebut
(Lampiran 12). Berdasarkan hasil perhitungan koefisien kesamaan (simple matching)
selanjutnya
pohon
kekerabatan
(fenogram)
dibuat
dengan
menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Averages) melalui program NTSYS-PC. Pohon kekerabatan (fenogram) ini menunjukkan persentase tingkat kesamaan genetik dan hubungan kekerabatn antara masing-masing sampel yang diujikan. Pohon kekerabatan (fenogram) yang diperoleh berdasarkan pita-pita teramplifikasi (polimorfik dan monomorfik) menggunakan primer OPA-2 (Gambar 27), OPA-3 (Gambar 28) dan OPA-13 (Gambar 29) memiliki hasil yang berbeda. Perbedaan hasil fenogram ini merupakan konsekuensi logis dari adanya perbedaan pola pita teramplifikasi pada gel agarose, karena penggunaan primer RAPD untuk mengamplifikasi sekuen DNA pada suatu organisme uji memiliki prinsip amplifikasi DNA polimorfik secara acak. Fenogram hasil analisis UPGMA dengan menggunakan primer OPA-2 (Gambar 27) menunjukkan dari 5 sampel ikan Cyprinid uji diperoleh 3 kelompok, dimana kelompok pertama terdiri dari sampel MJ, sampel RD, dan sampel SB dengan nilai koefisien kesamaan sebesar 0,40. Nilai koefisien ini berarti bahwa ketiga sampel MJ, RD, dan SB memiliki 40 % kesamaan genetik, dengan demikian ketiga sampel ini masih memiliki tingkat kekerabatan yang cukup dekat. Kelompok kedua terdiri dari sampel RD dan SB dengan nilai koefisien kesamaan sebesar 1,00. Hal ini berarti bahwa antara sampel RD dengan sampel SB memiliki 100 % kesamaan genetik, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampel RD identik dengan sampel SB dan kekerabatan antara kedua sampel tersebut sangat dekat. Kelompok ketiga terdiri dari sampel MJ, RD, dan SB dengan sampel GC,
58
dimana nilai koefisien kesamaannya sebesar 0,28. Nilai ini menunjukkan bahwa antara ketiga sampel ikan mas yang diujikan (MJ, RD, SB) memiliki 28 % kesamaan genetik dengan sampel GC, hal ini berarti bahwa ikan mas memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan grass carp. Sampel GB pada analisis ini tidak termasuk kedalam kelompok apapun. Sampel GB dengan keempat sampel lainnya memiliki nilai koefisien kesamaan sebesar 0,00 yang berarti bahwa sampel GB dengan keempat sampel tersebut sama sekali tidak memiliki kesamaan genetik, dalam kata lain sampel GB memiliki tingkat kekerabatan yang sangat jauh dengan sampel uji lainnya.
Gambar 27. Fenogram Ikan Cyprinid Uji (OPA-2) (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Keterangan: MJ = Ikan mas Majalaya
GC = Grass carp
RD = Ikan mas Rajadanu
GB = Giant barb
SB = Ikan mas Subang
Fenogram hasil analisis UPGMA dengan menggunakan primer OPA-3 (Gambar 28) memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan hasil fenogram sebelumnya. Fenogram di bawah menunjukkan bahwa dari 5 sampel ikan Cyprinid uji diperoleh 4 kelompok, dimana kelompok pertama masih terdiri dari tiga sampel ikan mas uji (MJ, RD, SB) dengan nilai koefisien kesamaan sebesar
59
0,67. Nilai ini lebih besar daripada nilai koefisien kesamaan pada fenogram OPA-2 sebelumnya, penggunaan OPA-3 mendeteksi bahwa antara ketiga sampel ikan mas uji memiliki kesamaan genetik sebesar 67 %, hal ini menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan antara ketiga sampel tersebut dekat.
Gambar 28. Fenogram Ikan Cyprinid Uji (OPA-3) (Sumber: Dokumentasi Pribadi) Keterangan: MJ = Ikan mas Majalaya
GC = Grass carp
RD = Ikan mas Rajadanu
GB = Giant barb
SB = Ikan mas Subang
Kelompok kedua masih terdiri dari dua sampel yang sama yaitu sampel RD dan SB, namun pada fenogram OPA-3 ini nilai koefisien kesamaan antara sampel RD dengan sampel SB lebih kecil dari hasil sebelumnya, yakni nilai koefisien kesamaannya hanya 0,80 saja. Adanya penurunan nilai koefisien persamaan menunjukkan bahwa antara ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang memiliki beberapa perbedaan genetik, sehingga tingkat kesamaan genetiknya hanya sebesar 80 % yang semula 100 % pada fenogram OPA-2, meskipun demikian kedua sampel ini masih tergolong memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Kelompok ketiga terdiri dari tiga sampel ikan mas uji (MJ, RD, SB) dengan sampel SB, nilai koefisien kesamaannya sebesar 0,33.
60
Komposisi ikan pada kelompok kedua dari hasil fenogram OPA-3 terdapat perbedaan, dimana sampel GB menjadi salah satu jenis ikan yang termasuk kedalam kelompok ini menggantikan sampel GC, sedangkan sebelumnya sampel GB pada fenogram OPA-2 tidak termasuk pada kelompok manapun. Fenogram OPA-3 ini menunjukkan bahwa antara ketiga sampel ikan mas uji dengan sampel giant barb memiliki kesamaan genetik sebesar 33 %, hal ini juga berarti bahwa ikan mas memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan giant barb. Kelompok terakhir terdiri dari tiga sampel ikan mas dan sampel giant barb dengan sampel GC. Nilai koefisien kesamaan pada kelompok ini sebesar 0,05, hal ini berarti sampel GC hanya memiliki 5 % kesamaan genetik dengan keempat sampel lainnya. Fenogram OPA-3 ini menunjukkan bahwa sampel GC sangat jauh berbeda dengan keempat sampel lainnya, dengan demikian bisa dipastikan hubungan kekerabatan antara grass carp dengan ikan mas atau giant barb sangat jauh. Fenogram hasil analisis UPGMA dengan menggunakan primer OPA-13 (Gambar 29) menunjukkan hasil yang cukup berbeda jauh dengan kedua fenogram sebelumnya. Fenogram di bawah menunjukan dari 5 sampel ikan Cyprinid uji didapatkan 4 kelompok yang terdiri dari, kelompok pertama terdiri dari tiga sampel ikan mas (MJ, RD, SB) dengan nilai koefisien kesamaannya sebesar 0,67. Nilai koefisien ini sama dengan kelompok pertama pada hasil fenogram OPA-3, hal ini menunjukkan bahwa pada fenogram OPA-13 ketiga ikan mas uji memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan nilai kesamaan genetik sebesar 67 %. Kelompok kedua pada fenogram OPA-13 masih terdiri dari sampel ikan mas Rajadanu dengan sampel ikan mas Subang dengan nilai koefisien kesamaan yang lebih besar dari hasil fenogram OPA-3 yakni 0,92, nilai ini menunjukkan bahwa pada fenogram OPA-13 sampel RD dengan sampel SB memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan perbedaan genetik sebesar 8 % saja, atau dengan kata lain sampel RD dengan sampel SB memiliki 92 % kesamaan genetik. Fenogram OPA-3 kurang tepat dalam mengelompokkan sampel GC dengan sampel GB kedalam satu kelompok (kelompok ketiga) dengan nilai koefisien kesamaan sebesar 0,44. Nilai ini menunjukkan bahwa grass carp
61
dengan giant barb memiliki kesamaan genetik yang cukup dekat bila dibandingkan dengan ikan mas, padahal bila dilihat dari ciri fenotipnya grass carp dengan giant barb memiliki bentuk tubuh yang sangat jauh berbeda. Pengelompokan ini bisa dipastikan menunjukkan ketidak akuratan primer OPA-13 dalam menggambarkan hubungan kekerabatan antara grass carp dengan giant barb, karena pada faktanya giant barb secara umum lebih menyerupai ikan mas daripada grass carp, sedangkan grass carp jelas sangat berbeda bila dibandingkan dengan ketiga sampel ikan mas maupun giant barb. Kelompok terakhir adalah gabungan antara kelompok pertama dengan kelompok ketiga (ikan mas dengan grass carp dan giant barb), pengelompokan ini masih dapat ditolerir walaupun pada kelompok ketiga terdapat kerancuan, karena kemungkikan ikan mas masih memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan grass carp maupun giant barb mengingat kelima ikan yang diujikan merupakan satu famili Cyprinidae.
Gambar 29. Fenogram Ikan Cyprinid Uji (OPA-13) (Sumber: Dokumentasi Pribadi) Keterangan: MJ = Ikan mas Majalaya
GC = Grass carp
RD = Ikan mas Rajadanu
GB = Giant barb
SB = Ikan mas Subang
62
Berdasarkan hasil analisa polimorfik dan fenogram (OPA-3) sebelumnya, bila ketiga jenis ikan mas dianalisis untuk mencari strain ikan mas yang memiliki potensi sifat unggul tanpa memasukkan grass carp ataupun giant barb, maka didapatkan hasil ikan mas yang masih memiliki potensi sifat unggul adalah ikan mas strain Majalaya dan ikan mas strain Rajadanu, hal ini didasarkan kepada munculnya pita polimorfik dari masing-masing ikan mas Majalaya (688 bp, 608 bp) maupun ikan mas Rajadanu (901 bp, 781 bp) (Tabel 7), pita-pita polimorfik yang muncul ini bisa jadi merupakan salah satu gen pengendali sifatsifat unggul dari ikan mas tersebut (contoh, gen pengendali laju pertumbuhan) selain dari gen yang diekspresikan menjadi fenotip. Tabel 7. Tabel Polimorfik dan Monomorfik Sampel Ikan Mas (OPA-3) Base Pair (bp) 1337 1041 981 901 781 688 608 543 419
MJ
RD
SB
----
-----* --*
----
--* --* ----Keterangan: -- = Pita Monomorfik | --* = Pita Polimorfik
--
Ikan mas Rajadanu memiliki potensi yang lebih unggul daripada ikan mas Majalaya. Keunggulan ikan mas Rajadanu bila dibandingkan dengan kedua ikan mas uji lainnya adalah dari laju pertumbuhannya yang cepat yakni 1,62 % dari bobot ikan per hari, sendangkan ikan mas Majalaya sebesar 1,40 % dari bobot ikan per hari, dan ikan mas Subang sebesar 1,33 % dari bobot ikan per hari. Selain itu ikan mas Rajadanu memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dimana ikan ini hidup. Meskipun tidak ada pita polimorfik yang muncul pada ikan mas Subang, ikan mas ini masih memiliki sedikit keunggulan dibandingkan dengan kedua ikan mas lainnya. Ikan mas Subang memiliki tingkat kelangsungan hidup tertinggi diantara ketiga jenis ikan mas yang dujikan dengan nilai sebesar 99,67 %, sedangkan ikan mas Rajadanu memiliki tingkat
63
kelangsungan hidup sebesar 95,67 %, dan ikan mas Majalaya sebesar 93,67 % (Pratama 2010). Karena memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan ikan mas, grass carp dan giant barb memiliki potensi untuk dikawin silangkan dengan ikan mas sebagai program perbaikan kualitas genetik ikan mas yang mengalami penurunan, karena kedua ikan ini masih memiliki cukup banyak keragaman genetik bila dibandingkan dengan ikan mas yang diujikan. Selain itu kedua jenis ikan ini juga terkenal dengan laju pertumbuhannya yang cepat, grass carp dapat tumbuh dengan cepat dan bisa mencapai berat maksimum 35 kg di alam (Weimin 2004) laju pertumbuhan ikan ini sekitar 0,91 kg per bulan, ikan muda biasanya tumbuh lebih cepat dari ikan dewasa, dan ikan betina tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ikan jantan (Sutton et al 2012), sedangkan giant barb bisa tumbuh dari 2 sampai 4 kg selama delapan bulan (Leelapatra et al. 2000 dalam Mattson 2002). 4.5
Perbandingan Keakuratan Primer Suatu primer bisa dinyatakan baik apabila komplementer dengan sekuen
DNA sampel dan mampu untuk memunculkan banyak pita polimorfik dari setiap sampel yang diujikan, selain itu primer yang baik juga akan menghasilkan data analisis polimorfisme maupun fenogram hubungan kekerabatan yang konsisten dan sesuai dengan karakteristik ikan uji. Keakuratan penggunaan primer OPA-2, OPA-3 dan OPA-13 dalam menganalisa polimorfisme dan hubungan kekerabatan antar ikan Cyprinid uji pada penelitian ini dapat diuji dengan cara membandingkan antara hasil analisis polimorfisme dan analisis kekerabatan (fenogram) dengan karakteristik fenotip ikan uji (Tabel 8). Berdasarkan hasil fenogram OPA-2 (Gambar 27) di atas, sampel MJ memiliki kesamaan genetik sebesar 40 % dengan sampel RD maupun sampel SB, hal ini berarti bahwa sampel MJ memiliki 60 % perbedaan genetik dibandingkan dengan kedua sampel tersebut dan menunjukkan bahwa antara ikan mas Majalaya dengan ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang memiliki kekerabatan yang cukup dekat. Perbedaan antara sampel MJ dengan sampel RD dan sampel SB
64
dibuktikan dengan bentuk tubuhnya yang khas dan berbeda bila dibandingkan dengan sampel RD maupun sampel SB. Ciri khas fenotip sampel MJ adalah tubuhnya membulat besar, dan lebar dengan punggungnya yang tinggi. Selain itu ikan ini memiliki panjang tubuh yang relatif pendek dengan kepalanya yang relatif kecil. Berbeda dengan sampel RD yang memiliki bentuk tubuh agak pipih memanjang dengan punggungnya yang landai (rendah) dan kepalanya yang agak panjang serta moncongnya agak melengkung ke bawah, ataupun sampel SB yang memiliki punggung yang agak tinggi dengan perutnya yang agak rata dan pangkal ekornya yang relatif lebih panjang. Tabel 8. Ciri Khas Fenotip Ikan Cyprinid Uji Ikan Cyprinid
Kepala
Ciri Khas Fenotip Tubuh
MJ
Bentuk segitiga, ukurannya kecil, letaknya sejajar dengan garis tubuh
Punggung tinggi, perut membulat, relatif pendek
RD
Bentuk moncong mulut agak melengkung ke bawah
Punggung landai (rendah), perut agak membulat, tubuh memanjang
SB
GC
GB
Bentuk segitiga runcing, agak panjang dan lebar, sejajar dengan lekuk tubuh Bentuk segitiga runcing, ukurannya agak kecil, sejajar dengan garis punggung, tanpa barbell Bentuk seperti setengah lingkaran, ukurannya besar agak lebar, tanpa barbell
Caudal Pangkal ekor agak lebar, sirip caudal bercagak ujungnya membulat bagian bawah lebih panjang Pangkal ekor agak panjang dan agak lebar, sirip caudal bercagak ujungnya membulat bagian bawah lebih panjang
Punggung agak tinggi, perut relatif datar, tubuh agak memanjang
Pangkal ekor panjang, sirip caudal bercagak ujungnya membulat dan panjangnya sama
Punggung rata dengan garis kepala (rata), perut agak membulat, tubuh silinder panjang
Pangkal ekor relatif panjang dan agak lebar, sirip caudal bercagak seperti kuas
Punggung tinggi, perut relatif datar, tubuh besar dan lebar
Pangkal ekor relatif pendek, sirip caudal bercagak seperti bumerang ujungnya agak runcing
65
Penggunaan primer OPA-2 tidak mampu menunjukkan perbedaan ciri fenotip antara sampel RD dengan sampel SB, hal ini ditunjukkan dengan nilai kesamaan genetik antara kedua sampel ini yang mencapai 100 %. Nilai kesamaan genetik ini jelas tidak tepat karena nyatanya antara sampel RD dengan sampel SB memiliki perbedaan yang cukup jelas, dimana RD memiliki tubuh pipih memanjang dengan punggungnya yang landai sedangkan SB memiliki punggung agak tinggi dengan perutnya yang agak datar. Hal ini menunjukkan bahwa primer OPA-2 memiliki ketidak akuratan dalam membedakan ciri fenotip antara sampel RD dengan sampel SB. Selain itu primer OPA-2 kurang tepat mengelompokkan sampel grass carp kedalam kelompok 3 dengan sampel ikan mas karena perbedaan antara ikan mas dengan grass carp sangat terlihat jelas. Contohnya dari bentuk tubuh saja sudah menunjukkan bahwa grass carp yang memiliki tubuh silinder dan panjang berbeda dengan ikan mas yang umumnya memiliki bentuk tubuh agak membulat, selain itu sirip dorsal pada grass carp juga berbeda dengan sirip dorsal pada ikan mas, begitupun dengan sirip caudal. Ketidak akuratan primer OPA-2 juga ditunjukkan dengan nilai koefisien kesamaan antara sampel GB dengan keempat sampel lainnya yang bernilai 0,00. Hal ini tidak tepat karena secara umum bentuk tubuh giant barb memiliki kesamaan dengan bentuk tubuh ikan mas, walaupun giant barb memiliki banyak ciri fenotip yang khas yang tidak dimiliki oleh strain ikan mas manapun. Berdasarkan hasil fenogram OPA-3 (Gambar 28) di atas, sampel MJ memiliki kesamaan genetik 67 % dengan sampel RD dan sampel SB, hal ini menunjukkan bahwa ikan mas Majalaya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang. Meskipun deimikan ikan mas Majalaya masih memiliki keragaman genetik dengan adanya 2 pita polimorfik yang teramplifikasi oleh primer OPA-2 maupun OPA-3. Penggunaan primer OPA-3 berhasil menunjukkan perbedaan antara ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, perbedaan ini ditunjukkan dengan adanya dua pita mononorfik yang berbeda pada ikan mas Rajadanu, meskipun bukan pita polimorfik yang muncul namun hal ini mengindikasikan bahwa antara ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang terdapat perbedaan yang nyata walaupun sekilas bentuk tubuh
66
keduanya nampak sama. Pengelompokan sampel giant barb dengan ketiga jenis ikan mas pada fenogram OPA-3 tepat, karena giant barb secara umum memiliki bentuk tubuh yang lebih mirip dengan ikan mas dibandingkan grass carp. Selain itu primer OPA-3 mampu untuk memunculkan 6 pita polimorfik pada sampel giant barb, jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan pita polimorfik yang dihasilkan oleh primer OPA-2 (4 pita). Posisi grass carp pada fenogram OPA-3 berada di kelompok 4, atau kelompok terakhir dengan nilai kesamaan genetik 5 %, hasil ini bisa dikatakan cukup akurat karena berdasarkan ciri fenotipnya grass carp memiliki bentuk tubuh yang paling berbeda dari keempat ikan uji lainnya. Berbedanya ciri fenotip grass carp sudah mengindikasikan bahwa ikan ini merupakan kerabat yang sangat jauh dengan ikan mas ataupun giant barb, namun tidak menutup kemungkinan bahwa grass carp masih memungkinkan untuk dikawinkan secara silang dengan ikan mas atau giant barb, ataupun dilakukan rekayasa genetik lainnya. Berdasarkan hasil fenogram OPA-13 (Gambar 29) di atas, sampel MJ memiliki kesamaan genetik sebesar 67 % dengan sampel RD dan SB, nilai ini sama dengan hasil fenogram OPA-3 yang menunjukkan bahwa ikan mas Majalaya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang. Meskipun nilai kesamaan genetik ketiga ikan mas ini sama dengan nilai kesamaan genetik pada fenogram OPA-3, tetapi tidak ada pita polimorfik yang muncul pada analisis polimorfisme OPA-13, bisa jadi hal ini disebabkan karena sekuen primer OPA-13 yang tidak komplementer dengan sekuen suatu gen penyandi (exon) yang terekspresi menjadi suatu fenotip pada ikan mas, namun komplementer dengan sekuen yang tidak diekspresikan (intron) menjadi fenotip sebagai akibat dari sifat primer RAPD yang menempel secara acak pada sekuen DNA genom sampel (Liu and Cordes 2004). Fenogram OPA-13 juga menunjukkan kekeliruan dalam mengelompokkan grass carp dan giant barb kedalam satu kelompok yang sama, ketidak akuratan ini dapat dibuktikan dengan melakukan perbandingan antara ciri fenotip dari grass carp dengan giant barb, dimana grass carp memiliki bentuk tubuh yang khas yaitu berbentuk silinder dan panjang, sedangkan giant barb memiliki bentuk tubuh seperti torpedo dan besar
67
serta bila dilihat secara umum giant barb lebih menyerupai ikan mas daripada dengan grass carp. Adanya ketidak akuratan hasil analisa polimorfisme dan analisa kekerabatan dengan fenotip ini membuat primer OPA-13 dinilai kurang tepat untuk menganalisa tingkat polimorfisme dan kekerabatan genetik antara ikan Cyprinid uji, oleh karenanya primer OPA-13 bukan primer yang ideal. Primer OPA-2 dapat memunculkan beragam pita polimorfik maupun monomorfik pada setiap sampel uji dan menghasilkan fenogram yang cukup baik, namun primer ini masih kurang akurat karena adanya beberapa hasil analisis yang menunjukkan ketidak konsistenan bila dibandingkan dengan karakteristik ikan uji. Berbeda halnya dengan OPA-3 yang mampu memunculkan lebih banyak ragam pita polimorfik dan monomorfik dari OPA-2, kemudian dari pola pita tersebut dihasilkan fenogram yang memiliki kesesuaian dengan ciri-ciri fenotip ikan uji. Secara keseluruhan OPA-3 lebih unggul daripada OPA-2, karena OPA-3 memberikan hasil analisa yang lebih akurat dan konsisten serta sesuai dengan karakteristik ikan uji, meskipun pada amplifikasi sampel GC pita polimorfik yang dihasilkan lebih sedikit.