Bab IV Hasil dan Pembahasan
Kajian mengenai korosi dan inhibisi korosi pada logam Cu-37Zn dalam larutan Ca(NO3)2 dan NaCl (komposisi larutan uji, tiruan larutan uji di lapangan) melalui penentuan
laju
korosi
yang
dilakukan
secara
Spektroskopi
Impedansi
Elektrokimia (EIS). Untuk menganalisis lapisan hasil korosi dan efektivitas inhibisi pada permukaan logam, terhadap kupon Cu-37Zn, dilakukan analisis permukaan dengan SEM. Kinerja inhibitor terhadap korosi Cu-37Zn dalam lingkungan larutan uji dibandingkan satu sama lain, dengan memperhatikan aspek konsentrasi inhibitor, muatan, gejala pembentukan misel molekul inhibitor dan isoterm adsorpsinya. IV.1
Penentuan Larutan Uji Komposisi Larutan Tiruan Paling Korosif Terhadap Runner Turbin di Lingkungan PLTA Saguling
Untuk mengetahui komposisi larutan tiruan paling korosif terhadap perilaku korosi logam Cu-37Zn yang disebabkan keberadaan ion klorida (sebagai larutan NaCl) dan ion sulfida, dilakukan pengukuran impedansinya pada berbagai variasi konsentrasi ion-ion tersebut. Untuk larutan NaCl, variasi konsentrasinya dimulai dari 53 ppm sampai 98 ppm. Pada rentang variasi konsentrasi tersebut diperoleh konsentrasi paling korosif untuk larutan NaCl adalah 78 ppm (setara dengan 47,3 ppm ion klorida). Sedangkan untuk ion sulfida, variasi konsentrasinya dimulai dari 5 ppm sampai 25 ppm. Hasil yang diperoleh pada rentang variasi konsentrasi tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi ion sulfida paling korosif adalah 15 ppm. Penentuan besarnya konsentrasi paling korosif ion-ion tersebut terhadap logam Cu-37Zn dilakukan berdasarkan besarnya tahanan polarisasi (RP) permukaan logam. Jika nilai tahanan polarisasinya (RP) besar berarti laju korosinya rendah, namun sebaliknya jika nilai tahanan polarisasinya (RP) kecil berarti laju korosinya akan tinggi.
IV.1.1 Larutan Tiruan yang Mengandung NaCl Perilaku korosi dan inhibisi suatu logam (Cu-37Zn) akan sangat bergantung pada komposisi anion dari elektrolit dalam larutan. Dalam larutan yang mengandung ion klorida (Cl-), logam dapat mengalami kerusakan akibat korosi setempat (Frankel, 1998 dalam Yatiman, 2006) karena ion klorida (Cl-) merupakan ion yang agresif yang menyebabkan pecahnya selaput pasif protektif dan menimbulkan serangan korosi setempat pada potensial di atas potensial korosi sumuran (Bundjali, 2005). Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan penentuan konsentrasi ion klorida (sebagai larutan NaCl) sebagai acuan kondisi paling korosif pada lingkungan di PLTA Saguling. Data hasil pengukuran impedansi optimasi larutan NaCl (ion klorida) yang memberikan kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling terhadap korosi logam Cu-37Zn (Lampiran C.2 dan C.3) yang disajikan pada Gambar IV.1, memperlihatkan bahwa tahanan (RP) permukaan logam semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi NaCl sampai konsentrasi 78 ppm (sebanding dengan ion klorida ~ 47,3 ppm) yang berarti laju korosi material runner turbin semakin meningkat. Meningkatnya laju korosi pada material runner turbin menunjukkan adanya proses pelarutan Cu oleh ion klorida dalam larutan membentuk produk korosi, CuCl.
Rp (kohm.cm2)
200 170 140 110 80 50 53
58
63
68
73
78
83
88
93
98
Konsentrasi NaCl (ppm)
Gambar IV.1
Optimasi larutan NaCl (ion klorida) yang memberikan kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling.
Ketika konsentrasi NaCl ditambahkan lagi (> 78 ppm), tahanan polarisasi (RP) pada permukaan logam cenderung meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa produk korosi berupa CuCl hasil pelarutan logam Cu oleh ion klorida akan menempel pada permukaan logam membentuk lapisan tipis sehingga dapat menghalangi proses korosi lebih lanjut pada permukaan material uji. (Antonijevic dkk., 2005). Berdasarkan hasil pengukuran yang sudah dilakukan, diperoleh bahwa kondisi tiruan larutan uji paling korosif di lingkungan PLTA Saguling adalah ketika konsentrasi larutan uji mengandung NaCl 78 ppm (sebanding dengan ion klorida ~ 47,3 ppm). IV.1.2 Penentuan Konsentrasi Ion Sulfida Paling Korosif Ion sulfida termasuk salah satu anion yang sangat agresif menyebabkan terjadinya korosi pada logam Cu-37Zn. Keberadaan ion sulfida di lingkungan sering dijumpai pada daerah-daerah perbukitan/pegunungan sebagaimana halnya di lingkungan PLTA Saguling yang berada di daerah perbukitan. Untuk mengetahui pengaruh ion sulfida yang dapat memberikan kondisi paling korosif di lingkungan PLTA Saguling maka dilakukan optimasi konsentrasi ion sulfida paling korosif pada kondisi larutan kalsium nitrat dan larutan NaCl paling korosif. Berdasarkan data hasil pengukuran impedansi terhadap logam Cu-37Zn (Lampiran C.4 dan C.5) yang disajikan pada Gambar IV.2, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ion sulfida dalam larutan uji, laju korosi logam Cu37Zn juga akan semakin tinggi. Kenyataan ini dapat dilihat dari besarnya tahanan polarisasi (RP) permukaan logam yang semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi ion sulfida (sampai 15 ppm). Efek ion sulfida akan mulai melemah terhadap laju korosi Cu-37Zn dalam larutan uji ketika konsentrasi ion sulfida lebih besar dari 15 ppm (tahanan polarisasi permukaan logam semakin
meningkat). Hal ini disebabkan oleh mulai terbentuknya produk korosi Cu2S hasil pelarutan Cu oleh ion sulfida yang stabil dan akan menempel pada permukaan elektroda membentuk lapisan tipis yang dapat menghalangi proses korosi lebih lanjut meskipun konsentrasi ion sulfida ditambahkan lagi (> 15 ppm). Fakta lain yang dapat diterangkan adalah besarnya nilai OCP yang menjadi lebih negatif dengan meningkatnya konsentrasi ion sulfida yang ditambahkan pada larutan uji. Indikasi ini menunjukkan bahwa ion sulfida akan meningkatkan proses pelarutan anodik logam Cu dari pada penurunan reaksi katodiknya.
Rp (kohm.cm2)
80 70 60 50 40 30 0
5
10
15
20
25
Konsentrasi Ion Sulfida (ppm)
Gambar IV.2
Pengaruh ion sulfida terhadap korosifitas larutan tiruan kondisi air lingkungan di PLTA Saguling.
Fakta ini sejalan dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Gudas dan Hack (1979) (dalam Rahmouni dkk., 2005) yang menunjukkan bahwa keberadaan ion sulfida dapat meningkatkan laju korosi yang signifikan pada campuran tembaga (Cu-10Ni). Kehadiran ion sulfida 0,01 ppm, mampu memperlemah ikatan antara Cu dan O atau Cu dengan (OH) yang mengakibatkan laju korosi logam Cu akan semakin cepat, karena ikatan logam Cu dengan ion sulfida dapat membentuk Cu(H2S)ads kompleks atau pembentukan ikatan logam Cu dan ion sulfida. (Panasenko, 1972) (dalam Rahmouni dkk., 2005). Fakta ini diperkuat dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Rahmouni dkk., 2005 pada medium 3% NaCl yang menunjukkan bahwa laju korosi logam Cu akan semakin meningkat dengan penambahan ion sulfida sampai 10 ppm.
Dari hasil penentuan kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling diperoleh ketika komposisi larutan uji mengandung kalsium nitrat, Ca(NO3)2 : 5,3 ppm, NaCl : 78 ppm dan ion sulfida : 15 ppm. IV.2
Efisiensi Daya Inhibisi Beberapa Inhibitor yang digunakan Pada Korosi Cu-37Zn
Kinerja inhibitor korosi terhadap material uji dilakukan dengan menggunakan metode EIS yang memantau aspek-aspek seperti tahanan larutan (Rs), tahanan polarisasi (RP) elektroda dan kapasitansi lapisan rangkap listrik (CDL). Semua aspek tersebut peka terhadap adsorpsi dan pembentukan selaput tipis pada permukaan material uji, oleh karena itu dengan metode EIS diperoleh informasi mengenai perilaku korosi material uji dengan hadirnya inhibitor. Terbentuknya selaput tipis pada permukaan material uji dapat berfungsi sebagai lapisan isolator listrik, dengan demikian hambatan polarisasi (RP) tersebut akan meningkat yang disertai dengan penurunan kapasitansi lapisan rangkap listriknya. Parameter kinerja inhibitor dinyatakan dengan % Efisiensi (% EI) atau % Perlindungan (% P) yang diungkapkan sebagai :
% EI =
Rp ( inh ) - Rp x 100 Rp ( inh )
(IV.1)
dengan RP(inh) dan RP berturut-turut adalah tahanan polarisasi dengan inhibitor dan tahanan polarisasi tanpa inhibitor. IV.2.1 Pengukuran Efisiensi Daya Inhibisi Benzotriazol (BTAH) Benzotriazol merupakan inhibitor konvensional yang banyak digunakan sebagai inhibitor untuk logam tembaga maupun campurannya dengan daya inhibisi mencapai 84% pada kondisi NaCl 0,58 M, ion sulfida 2,0 ppm dengan konsentrasi benzotriazol sebesar 10-3 M, yang diuji menggunakan metode pengurangan berat sampel (Hegazy dkk., 2001). Tingginya daya inhibisi benzotriazol pada logam
tembaga maupun campurannya dapat dijelaskan melalui dua mekanisme yaitu : pertama adalah pembentukan lapisan tipis protektif dari Cu(I)BTA pada permukaan logam, dengan terjadinya reaksi : +
Cu(aq) + BTAH(aq)
Cu(I)BTAH(s) +
+
H(aq)
(IV.2)
Sedangkan mekanisme yang kedua diduga melalui dua tahap yakni penyerapan benzotriazol oleh logam Cu membentuk Cu:BTAH(ads) terlebih dahulu kemudian spesi itu akan teroksidasi membentuk senyawa komplek Cu(I)BTA. Berdasarkan data hasil pengukuran impedansi logam Cu-37Zn pada kondisi larutan tiruan paling korosif Ca(NO3)2 5,3 ppm, NaCl 78 ppm dan ion sulfida 15 ppm (Lampiran C.6 dan C.7), yang disajikan pada Gambar IV.3, diperoleh bahwa daya inhibisi optimum benzotriazol pada korosi campuran logam Cu-37Zn diperoleh pada penambahan inhibitor sebesar 80 ppm dengan daya inhibisi sebesar 40,74%.
Efisiensi Inhibitor (%EI)
45 40 35 30 25 20 20
40
60
80
100
Konsentrasi BTAH (ppm)
Gambar IV.3 Efisiensi daya inhibisi benzotriazol pada kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling Fakta tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan tahanan polarisasi (RP) material uji yang berarti menurunnya laju korosi Cu-37Zn dengan semakin meningkatnya konsentrasi benzotriazol yang ditambahkan dalam larutan uji.
Adanya pergeseran OCP dari potensial korosi yang negatif menuju kearah potensial yang lebih positif menunjukkan bahwa benzotriazol berlaku sebagai inhibitor anodik. Inhibitor jenis ini mampu menghambat proses anodik yang berarti mencegah proses terjadinya pelarutan Cu menjadi Cu2+. Rendahnya daya inhibisi benzotriazol juga diduga karena adanya persaingan antara ion sulfida (15 ppm) dan benzotriazol (80 ppm) dalam berikatan dengan logam Cu. Hegazy dkk. (2001) menyatakan bahwa antara ion sulfida dan benzotriazol mengalami persaingan dalam menyerang sisi aktif dari permukaan logam Cu dalam medium yang sama. Benzotriazol akan mampu menginhibisi permukaan logam Cu yang mengandung ion sulfida ketika konsentrasi benzotriazol yang ditambahkan sangat besar. (besarnya konsentrasi benzotriazol yang ditambahkan sekitar 40 kali lebih besar dari besarnya konsentrasi ion sulfida). Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Al Kharafi dkk. (2007) yang menyimpulkan bahwa keberadaan ion sulfida dalam medium klorida pada korosi logam Cu akan dapat menurunkan kemampuan benzotriazol dalam memproteksi logam Cu dari serangan korosi. Fakta ini didukung pula oleh kenyataan bahwa konstanta kestabilan senyawa Cu2S adalah 1047, sedangkan konstanta kestabilan senyawa Cu(I)BTA komplek adalah 102, indikasi ini menunjukkan bahwa ion sulfida dapat berikatan dengan Cu(I) jauh lebih mudah dibandingkan dengan benzotriazol. Akibatnya ion sulfida dapat memisahkan ion Cu(I) dari Cu(I)BTA kompleks sesuai reaksi : Cu(I)BTA
+ HS-(aq)
CuS
+ BTAH
+
e-
(IV.3)
Sedangkan pengaruh konsentrasi inhibitor benzotriazol terhadap tegangan permukaan pada suhu kamar (Lampiran D) disajikan dalam Gambar IV.4. Bila dibandingkan dengan Gambar IV.3, yang merupakan data hasil pengukuran impedansi menunjukkan bahwa konsentrasi kritis misel benzotriazol adalah sekitar 40 ppm. Akan tetapi berdasarkan data hasil pengukuran impedansi pada inhibitor benzotriazol memiliki daya inhibisi terbesar pada konsentrasi 80 ppm.
Hasil ini sedikit berbeda kalau dihubungkan dengan konsentrasi kritis misel surfaktan, namun secara umum pola serapan logam terhadap inhibitor benzotriazol relatif konstan mulai pada konsentrasi penambahan inhibitor sebesar
Tegangan Permukaan (mN/m)
40 ppm (sesuai dengan konsentrasi kritis misel surfaktan). 72.5 72 71.5 71 70.5 70 20
40
60
80
100
Konsentrasi BTAH (ppm)
Gambar IV.4 Pengaruh konsentrasi inhibitor benzotriazol terhadap tegangan permukaan larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling
IV.2.2 Pengukuran Efisiensi Daya Inhibisi Sistein (Cys) Sistein merupakan salah satu inhibitor korosi yang efektif pada korosi tembaga dalam medium netral dan asam klorida (Ismail, 2007) dan sudah mulai banyak digunakan sebagai inhibitor karena sistein termasuk senyawa organik yang ramah lingkungan dengan daya inhibisi yang sangat tinggi. Secara umum sistein dapat berfungsi sebagai inhibitor karena molekulnya dapat teradsorpsi pada permukaan logam. Sistein hadir sebagai senyawa zwiter ion dalam medium netral. Struktur zwiter ion ini dapat tertarik pada sisi katoda dari permukaan logam. Ion klorida akan teradsorpsi pada permukaan logam dengan membentuk jembatan penghubung antara logam dengan muatan sistein yang sangat positif dan keadaan ini akan memfasilitasi proses adsorpsi sistein pada permukaan logam. Menurut Zhang dkk. (2005) sistein dapat menjadi inhibitor yang baik karena adanya gugus –SH (gugus merkapto), hal ini disebabkan karena atom S memiliki
orbital 3d yang jarak elektronnya sangat jauh dari inti sehingga daya tarik ke inti sangat kecil. Akibatnya elektron ini cenderung dipakai untuk berikatan dengan elektron yang tidak berpasangan pada orbital 3d dari atom Cu. Faktor inilah yang memberikan kemampuan daya inhibisi sistein sangat tinggi karena akan mampu menutupi sisi permukaan logam Cu yang berpeluang mengalami korosi. Berdasarkan data hasil pengukuran impedansi logam Cu-37Zn (Lampiran C.8 dan C.9) pada kondisi larutan tiruan paling korosif Ca(NO3)2 5,3 ppm, NaCl 78 ppm dan ion sulfida 15 ppm, diperoleh bahwa daya inhibisi optimum sistein pada korosi campuran logam Cu-37Zn diperoleh pada penambahan inhibitor sebesar 25 ppm dengan daya inhibisi sebesar 68,16%. Fakta ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan tahanan polarisasi (RP) material uji yang berarti menurunnya laju korosi Cu-37Zn dengan semakin meningkatnya konsentrasi sistein yang ditambahkan dalam larutan uji. Adanya pergeseran OCP dari potensial korosi yang negatif menuju kearah potensial yang lebih positif menunjukkan bahwa sistein berlaku sebagai inhibitor anodik. Inhibitor jenis ini mampu menghambat proses anodik yang berarti mencegah proses terjadinya pelarutan Cu menjadi Cu2+.
Efisiensi Inhibitor (%EI)
80 70 60 50 40 30 5
10
15
20
25
30
35
Konsentrasi Sistein (ppm)
Gambar IV.5 Efisiensi daya inhibisi sistein pada kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling
Sedangkan pengaruh konsentrasi inhibitor sistein terhadap tegangan permukaan pada suhu kamar (Lampiran D) disajikan dalam Gambar IV.6. Bila dibandingkan dengan Gambar IV.5, yang merupakan data hasil pengukuran impedansi menunjukkan bahwa konsentrasi kritis misel sistein adalah sekitar 25 ppm. Hasil ini sesuai dengan hasil pengukuran impedansi inhibitor sistein yang memiliki daya inhibisi terbesar dengan penambahan sampai 25 ppm. Hasil tersebut juga mendukung fakta bahwa dengan penambahan konsentrasi surfaktan dapat menjadi indikator untuk menentukan konsentrasi kritis misel berdasarkan
Tegangan Permukaan (mN/m
data hasil pengukuran impedansinya. 70 69.6 69.2 68.8 68.4 68 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Konsentrasi Sistein (ppm)
Gambar IV.6
Pengaruh konsentrasi inhibitor sistein terhadap tegangan permukaan larutan tiruan yang paling korosif di lingkungan PLTA Saguling
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan komposisi larutan uji yang mengadung Ca(NO3)2 5,3 ppm, NaCl 78 ppm dan ion sulfida 15 ppm, diperoleh fakta bahwa daya inhibisi sistein pada konsentrasi 25 ppm sebesar 68,16%, sedangkan benzotriazol pada konsentrasi 80 ppm sebesar 40,74%. Dengan demikian daya inhibisi sistein lebih baik dibandingkan dengan daya inhibisi benzotriazol dalam medium netral. Fakta ini melengkapi informasi yang telah disimpulkan oleh Zhang dkk. (2005) yang menyatakan bahwa daya inhibisi sistein lebih besar dari pada benzotriazol dalam medium asam (HCl 0,5 M).
IV.3
Isoterm Adsorpsi
Secara umum, molekul inhibitor dapat terikat pada permukaan logam melalui adsorpsi yang tergolong adsorpsi fisik (fisisorpsi) dan/atau adsorpsi kimia (khemisorpsi). Pada adsorpsi fisik, molekul inhibitor terikat oleh gaya van der Waals yang pada interaksi ini menghasilkan ikatan yang lemah antara inhibitor dengan permukaan logam. Molekul-molekul yang terserap secara fisik tetap mempertahankan identitasnya karena energi yang tersedia tidak cukup untuk membentuk ikatan kimia dengan logam. Sedangkan pada khemisorpsi proses serapan terjadi dengan pembentukan ikatan kovalen hasil interaksi molekulmolekul inhibitor tersebut dengan permukaan logam membentuk ikatan yang lebih kuat. Besarnya bagian permukaan logam yang tertutupi inhibitor (benzotriazol dan sistein) Θ, pada berbagai konsentrasi dihitung berdasarkan data impedansi hasil pengukuran, dengan persamaan :
%Θ =
Rp ( inh ) - Rp Rp ( inh )
(IV.4)
dengan Θ adalah fraksi permukaan logam yang tertutupi inhibitor, RP(inh) dan RP berturut-turut adalah tahanan polarisasi dengan inhibitor dan tahanan polarisasi tanpa inhibitor. Untuk memperoleh lebih banyak informasi tentang interaksi antara inhibitor (benzotriazol dan sistein) dengan permukaan logam dapat di uji menggunakan persamaan isoterm Langmuir : Θ =
K .c 1 + K .c
(IV.5)
Isoterm adsorpsi Langmuir didasarkan pada tiga asumsi: adsorpsi molekulmolekul inhibitor pada permukaan logam membentuk lapisan molekul tunggal, semua sisi permukaan logam bersifat homogen dan tidak ada antaraksi lateral antar molekul yang teradsopsi.
Persamaan (IV.5) dapat disederhanakan menjadi :
1 c +c = K Θ
(IV.6)
dengan c adalah konsentrasi inhibitor dan K adalah konstanta kesetimbangan adsorpsi yang berkaitan dengan energi bebas adsorpsi ΔGads oleh ungkapan : K =
1 c pelarut
exp ( -
ΔG ads ) RT
(IV.7)
dengan Cpelarut menunjukkan konsentrasi pelarut (air), 55,5 mol/L, R adalah konstanta gas universal (8,314 J/mol. K), dan T adalah suhu mutlak (K). Dengan membuat grafik c/Θ sebagai fungsi c (konsentrasi inhibitor, mol/L) akan diperoleh nilai 1/K yang merupakan titik potong garis grafik pada sumbu c/Θ (pada c ≈ 0) Berdasarkan hasil pengukuran impedansi efisiensi inhibisi benzotriazol dan sistein pada logam Cu – 37Zn diperoleh data yang ditunjukkan pada Tabel IV.1 sebagai berikut : Tabel IV.1
Permukaan yang tertutupi pada Cu-37Zn sebagai fungsi konsentrasi benzotriazol dan sistein pada kondisi tiruan larutan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling.
Konsentrasi inhibitor BTAH (mM) Blanko
Permukaan logam yang tertutupi (Θ )
Konsentrasi inhibitor Sistein (mM)
Permukaan logam yang tertutupi (Θ )
-
Blanko
-
20
0,2144
5
0,3840
30
0,3325
10
0,5930
40
0,3941
15
0,6393
60
0,3944
20
0,6419
80
0,4074
25
0,6816
100
0,3944
35
0,6752
Berdasarkan Persamaan IV.6 dan data pada Tabel IV.1, hasil pengaluran c/Θ sebagai fungsi c diperoleh nilai 1/K grafik untuk benzotriazol dan sistein berturutturut adalah 0,0314 dan 0,0051, sehingga akan diperoleh harga K sebesar 31,847 untuk benzotriazol dan 196,078 untuk sistein.
Konsentrasi BTAH (M) /
0.3 0.25
y = 2.1168x + 0.0314 2
R = 0.9648
0.2 0.15 0.1 0.05 0 0.0E+00
2.0E-02
4.0E-02
6.0E-02
8.0E-02
1.0E-01
1.2E-01
Konsentrasi BTAH (M)
Gambar IV.7 Adsorpsi isoterm Langmuir dari Cu-37Zn yang mengandung inhibitor benzotriazol pada kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling
Konsentrasi Sistein (M)/
0.06 0.05
y = 1.3029x + 0.0051 2
0.04
R = 0.9882
0.03 0.02 0.01 0 0.E+00
5.E-03
1.E-02
2.E-02
2.E-02
3.E-02
3.E-02
4.E-02
4.E-02
Konsentrasi Sistein (M)
Gambar IV.8 Adsorpsi isoterm Langmuir dari Cu-37Zn yang mengandung inhibitor sistein pada kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling
Dengan menggunakan Persamaan IV.7 akan diperoleh hubungan besarnya nilai K dengan besarnya energi bebas adsorpsi (ΔGads) untuk setiap inhibitor. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan diperoleh energi bebas adsorpsi (ΔGads) untuk benzotriazol dan sistein berturut-turut adalah –18,53 kJ/mol dan –23,03 kJ/mol. Jika besarnya –ΔGads adalah 20 kJ/mol atau lebih kecil hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara inhibitor dan permukaan logam adalah fisisorpsi. Ini berarti bahwa molekul inhibitor terikat menggunakan gaya van der Waals yang pada interaksi ini menghasilkan ikatan yang lemah. Jika energi bebas adsorpsinya, – ΔGads sebesar 40 kJ/mol atau lebih besar menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara inhibitor dan permukaan logam adalah khemisorpsi membentuk ikatan yang lebih kuat secara kimiawi. (Kosec dkk., 2007 dan Ismail, 2007) Dari hasil perhitungan berdasarkan data pada Tabel IV.1, menggunakan Persamaan (IV.6) dan Persamaan (IV.7) diperoleh besarnya energi bebas adsorpsi (ΔGads) dari benzotriazol dan sistein pada kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling secara berurutan adalah –18,53 kJ/mol dan –23,03 kJ/mol. Hal ini menunjukkan bahwa baik benzotriazol maupun sistein teradsorpsi pada permukaan logam secara fisisorpsi. Fakta ini juga sesuai dengan apa yang disimpulkan oleh Ismail (2007), yang menyatakan bahwa adsorpsi sistein pada logam Cu menunjukkan adsorpsi secara fisik. IV.4
Pengaruh Suhu Terhadap Efisiensi Daya Inhibisi Beberapa Inhibitor yang digunakan Pada Korosi Cu-37Zn
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam proses korosi terutama dalam lingkungan yang mengandung air. Dengan adanya kenaikan suhu perlakuan pada larutan uji menyebabkan mobilisasi ion dalam larutan semakin tinggi karena adanya peningkatan energi kinetik, hal ini memungkinkan ion-ion dalam larutan akan semakin agresif dalam menyerang logam (terutama bagi ion-ion agresif korosi) akibatnya laju korosi pada logam akan semakin tinggi.
Takasaki dan Yamada (2007), melaporkan bahwa laju korosi pada baja karbon di lingkungan anion agresif (ion klorida, Cl- dan ion sulfat, SO42-) meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur. Pada konsentrasi anion dan temperatur yang rendah, laju korosi juga akan rendah demikian pula sebaliknya jika konsentrasi anion dan temperaturnya tinggi maka laju korosi suatu logam juga akan semakin tinggi. Sedangkan pada logam Cu dan campuran logamnya yang mengandung lebih dari 15% seng akan mengalami peluruhan seng (dezincification) sebagai akibat adanya pengaruh lingkungan yang mengandung sulfida yang tinggi. Proses hilangnya seng biasanya dipercepat oleh tingginya temperatur dan naiknya kandungan klorida. Fakta ini sesuai dengan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dimana semakin tinggi suhu perlakuan pada logam Cu-37Zn dalam larutan yang mengandung Ca(NO3)2 5,3 ppm, NaCl 78 ppm dan ion sulfida 15 ppm, menunjukkan bahwa laju korosi semakin meningkat dengan meningkatkan suhu perlakuan dari 25°C sampai 55°C. IV.4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Efisiensi Daya Inhibisi Benzotriazol (BTAH) Berdasarkan data hasil pengukuran impedansi logam Cu-37Zn (Lampiran C.10) yang disajikan pada Gambar IV.9, menunjukkan bahwa dengan naiknya suhu perlakuan dari 25°C sampai 55°C diperoleh kemampuan inhibitor benzotriazol melindungi permukaan logam semakin berkurang (besarnya tahanan polarisasi (RP) material uji semakin menurun). Hal ini dapat dijelaskan karena dengan naiknya suhu perlakuan pada larutan uji akan menyebabkan naiknya energi kinetik pada larutan dan akan mengakibatkan mobilisasi ion dalam larutan semakin tinggi sehingga ion-ion dalam larutan akan semakin agresif dalam menyerang logam.
Kenyataan ini diperkuat oleh fakta bahwa benzotriazol teradsorpsi pada permukaan logam secara fisik (fisisorpsi) yang berarti tidak ada interaksi yang kuat secara kimiawi antara inhibitor dengan permukaan logam karena hanya menggunakan gaya van der Waals. Oleh karena itu adanya kenaikan suhu perlakuan akan semakin memperlemah ikatan van der Waals yang terjadi antara inhibitor dengan permukaan logam Cu-37Zn. Hal ini yang diduga akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya kemampuan inhibitor dalam
Efisiensi Inhibisi BTAH (%EI)
melindungi permukaan logam dari serangan ion-ion agresif korosi.
40
30
20 25
35
45
55
Suhu (C)
Gambar IV.9
Pengaruh suhu terhadap efisiensi daya inhibisi 80 ppm benzotriazol pada kondisi larutan tiruan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling
IV.4.2 Pengaruh Suhu Terhadap Efisiensi Daya Inhibisi Sistein (Cys) Berdasarkan data hasil pengukuran impedansi logam Cu-37Zn (Lampiran C.11) yang disajikan pada Gambar IV.10, menunjukkan bahwa dengan naiknya suhu perlakuan dari 25°C sampai 55°C diperoleh kemampuan inhibitor sistein melindungi permukaan logam semakin berkurang (besarnya tahanan polarisasi (RP) material uji semakin menurun). Hal ini dapat dijelaskan karena dengan naiknya suhu perlakuan pada larutan uji akan menyebabkan naiknya energi kinetik pada larutan dan akan mengakibatkan mobilisasi ion dalam larutan semakin tinggi sehingga ion-ion dalam larutan akan semakin agresif dalam menyerang logam.
Kenyataan ini diperkuat oleh fakta bahwa sistein teradsorpsi pada permukaan logam secara fisik (fisisorpsi) yang berarti tidak ada interaksi yang kuat secara kimiawi antara inhibitor dengan permukaan logam karena hanya menggunakan gaya van der Waals. Oleh karena itu adanya kenaikan suhu perlakuan akan semakin memperlemah ikatan van der Waals yang terjadi antara inhibitor dengan permukaan logam Cu-37Zn. Hal ini yang diduga akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya kemampuan inhibitor dalam melindungi permukaan logam
Efisiensi Inhibisi Sistein (%EI)
dari serangan ion-ion agresif korosi. 75
60 45
30 15 25
35
45
55
Suhu (C)
Gambar IV.10 Pengaruh suhu terhadap efisiensi daya inhibisi 25 ppm sistein pada kondisi tiruan larutan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling
IV.5
Analisis permukaan hasil korosi dengan menggunakan SEM
Hasil pengamatan menggunakan SEM pada penampang lintang kupon Cu-37Zn sesudah 24 jam corrosion wheel test pada perlakuan suhu 25°C dan 55°C baik dengan penambahan inhibitor maupun tanpa inhibitor sistein dengan pembesaran sampai 7500 X ditunjukkan pada Gambar IV.11. Pada Gambar IV.11, terlihat bahwa kerusakan permukaan pada logam dengan meningkatnya suhu perlakuan akan semakin meningkat. Pada kupon logam terjadi korosi dan erosi sehingga permukaan logam terkorosi melebar hampir seragam pada permukaan logam.
(a)
(d1)
(b)
(c)
(d2)
(e)
Inset d2
Gambar IV.11 Penampang lintang kupon Cu-37Zn sesudah 24 jam corrosion wheel test pada kondisi tiruan larutan paling korosif di lingkungan PLTA Saguling. (a) Blanko (pembesaran 1.500x), (b) Suhu 25°C tanpa inhibitor (pembesaran 7.500x), (c) Suhu 25°C dengan inhibitor sistein 25 ppm (pembesaran 7.500x), (d1) Suhu 55°C tanpa inhibitor (pembesaran 2.500x), (d2) Suhu 55°C tanpa inhibitor (pembesaran 7.500x), dan (e) Suhu 55°C dengan inhibitor sistein 25 ppm (pembesaran 7.500x) Hasil pengamatan penampang lintang menggunakan analisis SEM menunjukkan hasil yang bersesuaian dengan hasil data pengukuran impedansinya (Lampiran C.11), yang memperlihatkan berkurangnya tahanan polarisasi (RP) logam Cu37Zn dengan naiknya suhu perlakuan dari 25°C sampai 55°C yang berarti laju korosi yang terjadi pada logam Cu-37Zn semakin tinggi. Fakta ini dapat terlihat dengan jelas ketika membandingkan bentuk kerusakan permukaan logam yang terkorosi pada suhu 25°C (Gambar IV.11.b) dan pada suhu 55°C (Gambar IV.11.d1 dan Gambar IV.11.d2).