46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
4.1.1. Letak Geografis Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari lima daerah kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila dilihat bentang alamnya secara makro, wilayah Kabupaten Bantul terdiri dari daerah dataran yang terletak pada bagian tengah dan daerah perbukitan yang terletak pada bagian timur dan barat, serta kawasan pantai di sebelah selatan. Kondisi bentang alam tersebut relatif membujur dari utara ke selatan. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07º44'04" - 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, di sebelah utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia (Gambar 6).
Gambar 6. Peta Kabupaten Bantul
47
4.1.2. Pembagian Administratif Secara administratif Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan yang dibagi menjadi 75 desa dan 933 pedukuhan. Luas wilayah Kabupaten Bantul adalah 50.685 Ha. Berdasarkan RDTRK dan Perda mengenai batas wilayah kota, maka status desa/kalurahan dapat dipisahkan sebagai desa/kelurahan pedesaan dan perkotaan. Secara umum jumlah desa yang termasuk dalam wilayah perkotaan sebanyak 41 desa, sedangkan desa yang termasuk dalam kawasan pedesaan sebanyak 34 desa. Pembagian administrasi dan luas masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah desa, pedukuhan, dan luas kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2005
1
Srandakan
2
Jumlah Pedukuhan 43
2
Sanden
4
62
2.316
3
Kretek
5
52
2.677
4
Pundong
3
49
2.368
5
Bambanglipuro
3
45
2.270
6
Pandak
4
49
2.430
7
Pajangan
3
55
3.325
8
Bantul
5
50
2.195
9
Jetis
4
64
2.447
10
Imogiri
8
72
5.449
11
Dlingo
6
58
5.587
12
Banguntapan
8
57
2.848
13
Pleret
5
47
2.297
14
Piyungan
3
60
3.254
15
Sewon
4
63
2.716
16
Kasihan
4
53
3.238
17
Sedayu
4
54
3.436
75
933
50.685
No.
Kecamatan
Jumlah
Jumlah Desa
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2006:55.
Luas (Ha) 1.832
48
4.1.3. Penduduk Berdasarkan catatan dari Dinas Pendaftaran Penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Bantul akhir tahun 2005 adalah 809.971 jiwa yang tersebar di 75 Desa dan 17 Kecamatan. Dari jumlah tersebut, 397.276 jiwa adalah laki-laki dan 412.710 jiwa adalah perempuan. Dengan luas wilayah 506,85 km2 , kepadatan penduduk Kabupaten Bantul tahun 2005 adalah 1.598 jiwa per km2 . Dengan jumlah KK sebesar 204.568, maka rata-rata dalam satu KK terdapat 3,96 jiwa. Jumlah penduduk masing-masing kecamatan di Kabupaten Bantul dapat dilihat di Tabel 5. Tabel 5. Jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2005 No. Kecamatan 1 Srandakan
KK 7.689
Laki-laki Perempuan 14.256 15.173
Jumlah 29.429
2
Sanden
8.781
16.611
17.584
34.195
3
Kretek
7.839
15.091
16.225
31.316
4
Pundong
7.651
15.982
17.123
33.105
5
Bambanglipuro
10.460
20.836
22.460
43.296
6
Pandak
12.306
24.103
24.718
48.821
7
Bantul
14.266
28.970
30.339
59.309
8
Jetis
14.135
24.474
26.009
50.483
9
Imogiri
13.752
27.800
29.497
57.297
10
Dlingo
9.298
18.074
19.127
37.201
11
Pleret
11.558
17.103
17.404
34.507
12
Piyungan
10.705
18.850
19.553
38.403
13
Banguntapan
18.078
39.657
40.552
80.209
14
Sewon
24.904
39.087
38.592
77.679
15
Kasihan
16.175
39.617
39.807
79.424
16
Pajangan
7.254
14.870
15.668
30.538
17
Sedayu
9.716
21.880
22.879
44.759
204.568
397.261
412.710
809.971
Jumlah
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2006:53.
49
4.1.4. Potensi Daerah a. Kerajinan Kerajinan di Kabupaten Bantul memiliki peran yang besar, tidak saja dalam penyerapan tenaga kerja yang mencapai lebih dari 60 ribu orang, tetapi juga karena perannya dalam mendukung sektor-sektor lainnya, seperti pariwisata, perdagangan, perindustrian dan sebagainya. Peran industri kerajinan sangat dirasakan dalam tata kehidupan masyarakat lantaran sebarannya yang hampir merata di seluruh wilayah. Lebih dari itu, sekitar 60% dari total ekspor kerajinan di DIY diproduksi pengrajin Bantul. Keunikan perajin Bantul adalah keahlian yang diperoleh secara turun temurun dan para perajin tradisional yang tinggal di sebuah dusun/desa biasanya memiliki keahlian memproduksi karya kerajinan yang sejenis. Dengan banyaknya warga yang bergelut di kerajinan sejenis, dalam perkembangannya desa tersebut menjadi pusat atau sentra suatu produk kerajinan. Para pembeli dan pecinta karya seni tradisional selain dapat memilih berbagai alternatif produk dari perajin yang berbeda sekaligus berwisata menikmati alam atau keunikan desa setempat dan juga dapat melihat proses pembuatan sebuah karya kerajinan.
b. Pertanian, Peternakan dan Perikanan Luas lahan di Bantul yang digunakan untuk kegiatan produksi pertanian (sawah, tegal dan kebun campur) meliputi hampir 400 juta m2 atau mencakup sekitar 79% dari seluruh wilayah Kabupaten ini. Potensi persawahan berjumlah sekitar 16.500 Ha, terdiri dari irigasi teknis sekuas 1.200 Ha lebih, irigasi setengah teknis sekitar 12.500 Ha, irigasi sederhana lebih dari 580 Ha, irigasi desa/non PU seluas 2.100 Ha lebih. Komoditas pertanian yang dominan di Bantul adalah tanaman pangan dan holtikultura, dengan produksi padi per tahun mencapai sekitar 157 ribu ton, jagung 23 ribu ton, ubi kayu 30 ribu ton, kedelai 8 ribu ton, bawang merah 167 ribu ton, dan cabai 72 ribu ton. Sedangkan hasil buah-buahan antara lain, mangga 41 ribu kuintal setahun dan pisang sekitar 21 ribu kuintal. Sementara itu, di bidang peternakan, populasi sapi mencapai sekitar 38 ribu ekor, kambing 24 ribu ekor, domba 16 ribu ekor, ayam kampung 890 ribu ekor, ayam ras/broiler 690 ribu ekor, itik 70 ribu ekor, dan puyuh 132 ribu ekor. Telur
50
ayam yang dihasilkan pertahun sekitar 43 juta butir, sedangkan telur itik 5 juta butir. Di sektor perikanan darat (ikan tawar), Bantul menghasilkan produksi ikan budidaya (kolam dan sawah) pertahun sekitar 490 ton dan ikan tangkapan 400 ton.
c. Wisata Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Bantul diarahkan untuk membuat pariwisata menjadi sektor andalan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tahun 2000, kontribusi dari pariwisata terhadap PAD Rp 1,788 milyar dan ditargetkan pada tahun 2004 menjadi Rp 5 milyar. Sasaran lain dari pembangunan pariwisata adalah meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara dari 2.517 orang per bulan pada tahun 2000 menjadi 2.726 orang per bulan di tahun 2004. Sedangkan wisatawan nusantara dari 123.350 orang per bulan di tahun 2000 menjadi 134.100 orang per bulan di tahun 2004. Kabupaten Bantul memiliki berbagai obyek wisata yang menarik baik wisata alam, obyek wisata buatan maupun petilasan bersejarah. Selain memiliki pemandangan alam yang menawan, banyak obyek wisata yang memiliki nilai spiritual dan mitos bagi masyarakat Jawa. Wisata alam pantai selatan masih menjadi tujuan favorit wisatawan. Pemerintah Kabupaten Bantul berupaya mengembangkan sektor wisata, dengan dengan mengembangkan kawasan wisata baru seperti Pasar Seni Gabusan, mengembangkan wisata minat khusus dan membangun infrastruktur pendukung pariwisata. Selain itu Kabupaten Bantul memiliki potensi wisata budaya, karena masyarakat Bantul secara turun-temurun berpegang teguh pada adat dan budaya Jawa yang adiluhung. Di berbagai wilayah di Kabupaten Bantul terdapat tradisi yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi, yakni upacara ritual tradisional sebagai sarana mengungkapkan rasa syukur atas limpahan rejeki dari Tuhan dan juga sebagai penghormatan kepada leluhur. Upacara ritual yang diselenggarakan dikenal dengan upacara merti dusun, labuhan, dan sebagainya. Kesenian tradisional seperti wayang, karawitan, tari-tarian masih terus dilestarikan oleh masyarakat Bantul. Berbagai kiat untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan melalui Program Pengembangan Produk Pariwisata dan Program Pemasaran Pariwisata. Program
51
pengembangan produk pariwisata, antara lain dalam bentuk kegiatan seperti pengembangan fisik obyek wisata, penambahan daya tarik wisata, penyusunan kawasan pantai selatan, pembentukan desa wisata dan kerajinan, mendorong sektor swasta di bidang kepariwisataan dan lain-lain. Sedangkan untuk program pemasaran pariwisata dalam bentuk kegiatan peningkatan daya tarik dan informasi pariwisata, sosialisasi program wisata Kabupaten Bantul, promosi wisata ke luar daerah dan pelaksanaan event-event wisata.
4.1.5. Daerah Rawan Bencana Faktor pembatas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi alam yang sulit untuk ditaklukkan (dilawan) dan umumnya berhubungan dengan potensi bencana yang bersifat menghambat pelaksanaan pembangunan maupun merusak hasil-hasil pembangunan. Pengelolaan faktor pembatas bertujuan untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dengan jalan menginventarisasi jenis bencana serta melokalisir daerah bencana. Hasil analisis data menunjukkan bahwa di Kabupaten Bantul terdapat kawasan-kawasan yang relatif rawan terhadap bencana. Secara berurutan dapat dikelompokkan berdasarkan jenis bencananya sebagai berikut :
a. Daerah Rawan Banjir Daerah rawan banjir umumnya dikaitkan dengan suatu Daerah Aliran Sungai. Untuk sungai Oya, daerah rawan bencana terdapat di pedukuhan Jetis, Lemahrubuh, Lanteng, Kajor, Siluk, Plemantung, dan Putat. Daerah di sekitar sungai Celeng yang perlu diwaspadai adalah pedukuhan Nogosari dan Tilaman, Desa Wukirsari; pedukuhan Salaman, Desa Karangtalun; pedukuhan Kradenan, Desa Girirejo; pedukuhan Mojolegi, Karangtengah, dan Pucunggrowong, Desa Karangtengah; serta pedukuhan Ketos dan Dogongan, Desa Sriharjo. Sedangkan daerah rawan bencana yang terletak di sekitar sungai Opak terdapat di pedukuhan Singosaren, Manggung, Demi, dan Garjoyo, Desa Wukirsari; pedukuhan Tlogo, Desa Kebon Agung; pedukuhan Ngemprongan, Desa Karangtalun; pedukuhan Sungapan, Desa Sriharjo; pedukuhan Nagsri, Potrobayan, Seyegan, Tulung, dan Kalisat, Desa Srihardono; pedukuhan Gunungpuyuh, Krapyak, Jetis, dan
52
Semampir, Desa Panjangrejo; pedukuhan Nambangan, Biro, dan Ngentak, Desa Seloharjo; pedukuhan Colo, Mersan, Gading Daton, Gading Lumbung, Gadingharjo, Kalipakel, Mriyan, Tegalsari, Busuran, dan Metuk, Desa Donotirto; pedukuhan Karang dan Kalangan, Desa Tirtohargo; dan pedukuhan Sono, Samiran, Bungkus, dan Kretek, Desa Parangtritis. Untuk daerah sekitar sungai Progo, kawasan rawan bencana banjir terletak di Pedukuhan Ngentak, Kwaru, Babadan, Bodowaluh, dan Bibis, Desa Poncosari.
b. Daerah Rawan Longsor Daerah yang terletak di lereng-lereng perbukitan adalah daerah yang dapat dikatakan daerah rawan bencana tanah longsor. Lokasi yang perlu diwaspadai terdapat di Pedukuhan Maladan dan Lo Putih, Desa Jatimulyo; Pedukuhan Sukorame dan Cempluk, Desa Mangunan; Pedukuhan Bulusari, Sanansari, dan Rejosari, Desa Srimartani; Pedukuhan Karangasem dan Kedungbuweng, Desa Wukirsari; Pedukuhan Siluk, Srunggo, Kajor, dan Kalidadap, Desa Selopamioro; dan Pedukuhan Kalijoho, Desa Argosari.
c. Daerah Rawan Kekeringan Daerah yang terletak di perbukitan secara umum adalah daerah yang dapat dikatakan sebagai kawasan kekeringan. Pada beberapa lokasi perlu mendapat perhatian seperti Pedukuhan Pakis, Desa Dlingo; Pedukuhan Seropan, Desa Muntuk; Pedukuhan Bulusari, Rejosari, Sanansari, dan Petir, Desa Srimartani; Pedukuhan Dermojurang, Geger, dan Tempel, Desa Seloharjo; seluruh kawasan Desa Triharjo; Pedukuhan Beji, Desa Sendangsari; Pedukuhan Pringgading dan Gupakwarak, Desa Guwosari; Pedukuhan Sabranglor dan Sabrangkidul, Desa Triwidadi; Pedukuhan Sambikerep, Kenalan, Pereng, Sribitan, Bogem, dan Karangjati, Desa Bangunjiwo; Pedukuhan Gunungsempu, Desa Tamantirto; Pedukuhan Jetis, Desa Argosari; dan Pedukuhan Cawan dan Sukoharjo, Desa Argodadi.
53
4.2. Karakteristik Personal Responden Responden dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul. Karakteristik personal responden yang diteliti meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan ketokohan. Data hasil penelitian karakteristik personal responden dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi responden menurut karakteristik yang diamati No 1.
Karakteristik Responden Umur (tahun)
Kategori
< 41 > 41 2. Jenis Kelamin Pria Wanita 3. Pendidikan SD SLTP SLTA Diploma Sarjana 4. Pekerjaan PNS Petani Pegawai Swasta Wiraswasta 5. Pendapatan < Rp 1.629.165 > Rp 1.629.165 6. Ketokohan Agama Pendidikan Politik Pemuda Wanita Sosial Sumber: Data primer hasil penelitian
Jumlah (Orang) 42 49 63 28 5 7 38 13 28 22 19 28 22 57 34 15 11 20 15 15 15
Persentase (%) 46,2 53,8 69,2 30,8 5,5 7,7 41,8 14,2 30,8 24,2 20,8 30,8 24,2 62,6 37,4 16,5 12,0 22,0 16,5 16,5 16,5
4.2.1. Umur Berdasarkan hasil penelitian, umur responden dikategorikan berdasarkan di bawah rataan dan di atas rataan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia termuda 21 tahun dan tertua 65 tahun, dengan usia rataan 41 tahun. Dengan demikian, sebagian besar responden merupakan umur dengan keadaan di atas usia rataan (53,8%). Dilihat dari usia rata-rata dan kisaran usia, responden dalam penelitian ini tergolong usia produktif. Pemuka pendapat dengan usia ini
54
mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik serta memiliki kemampuan daya pikir untuk memecahkan permasalahan di masyarakat. Responden yang berusia lebih tua lebih dihormati oleh masyarakat, sebagai panutan atau tempat bertanya ketika mengalami permasalahan dalam penanganan bencana.
4.2.2. Jenis Kelamin Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 69,2% pria dan 30,8% wanita. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran kaum perempuan di tengah masyarakat sudah cukup baik. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terbukanya peran perempuan di berbagai sektor kehidupan secara profesional. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang membuka ruang bagi peran perempuan di berbagai bidang, sehingga kegiatan masyarakat tidak lagi didominasi oleh laki-laki, tetapi wanita juga banyak berperan sesuai dengan bidang keahliannya. Responden pria banyak beraktivitas di bidang teknis dalam penanganan bencana, seperti pencarian bantuan dan penyaluran bantuan kepada masyarakat. Sedangkan responden wanita banyak yang berperan dalam pemulihan yang bersifat psikis melalui berbagai kegiatan kewanitaan seperti PKK, posyandu dan pengajian rutin untuk ibu-ibu.
4.2.3. Pendidikan Dalam penelitian ini tingkat pendidikan yang diamati adalah pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai sarjana. Pendidikan responden terdiri dari SD 5,5%, SLTP 7,7%, SLTA 41,8%, Diploma 14,2% dan Sarjana 30,8%. Kondisi responden yang berpendidikan SLTA sampai sarjana menunjukkan faktor pendidikan mempengaruhi ketokohan seseorang di masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan dalam menerima dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Tokoh masyarakat yang mempunyai pendidikan lebih tinggi mempunyai akses informasi lebih baik dibandingkan dengan berpendidikan lebih rendah. Dalam hal ini, lebih sering berkomunikasi dengan tim manajemen pelaksana penanganan bencana. Sedangkan responden yang berpendidikan lebih rendah, lebih banyak berhubungan dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya.
55
4.2.4. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan responden yaitu PNS 24,2%, Petani 20,8%, Pegawai Swasta 30,8% dan Wiraswasta 24,2%. Responden yang paling banyak bekerja di sektor swasta seperti pegawai di perusahaan dan instansi swasta. Setelah itu PNS di berbagai instansi pemerintah dan wiraswasta yang bergerak di sektor perdagangan, kerajinan dan properti. Jumlah petani lebih sedikit karena di lokasi penelitian, petani biasanya berpendidikan relatif lebih rendah dan kurang memiliki akses sebagai pemuka pendapat. Jenis pekerjaan yang ditekuni pemuka pendapat banyak berpengaruh terhadap ketokohannya. Hal ini disebabkan ada jenis pekerjaan yang mampu mengangkat peran seseorang menjadi tokoh masyarakat, karena adanya struktur sosial, status sosial, status ekonomi, status kepangkatan dan sebagainya. Di antaranya, jenis pekerjaan yang langsung melayani anggota masyarakat seperti aparat pemerintah, guru dan da’i. Jenis pekerjaan tersebut menyebabkan pemuka pendapat sering berhubungan dengan masyarakat sekitarnya.
4.2.5. Pendapatan Pendapatan responden berkisar Rp 420.000 - Rp 10.000.000, sehingga diperoleh pendapatan rataan Rp 1.629.165. Kemudian diperoleh jumlah responden yang memiliki pendapatan di bawah sama dengan rataan 62,6% dan di atas rataan 37,4%. Melihat rataan pendapatan tersebut dapat dijelaskan bahwa pendapatan mempunyai peranan bagi ketokohan. Sebab orang yang memiliki pendapatan tinggi masih dipandang mempunyai pengaruh bagi masyarakat sekitarnya, terutama menyangkut aktivitas sosial. Responden yang memiliki pendapatan tinggi sebagian besar berasal dari wiraswasta dan PNS yang memiliki masa kerja cukup lama. Sedangkan responden yang memiliki pendapatan rendah umumnya dari petani dan pegawai swasta. Tingkat pendapatan masyarakat ini berhubungan dengan aktivitas komunikasi dan menyerap informasi. Responden yang memiliki pendapatan tinggi biasanya banyak memiliki sumber informasi. Hal ini memungkinkannya menyerap berbagai informasi lebih banyak dan lebih cepat untuk disebarkan kepada masyarakatnya. Selain itu, pada masyarakat juga masih ada stigma bahwa orang yang memiliki
56
status lebih tinggi secara ekonomi lebih mudah dimintai bantuan, sehingga ditokohkan oleh masyarakat sekitarnya akibat kedermawanan bila ada kegiatankegiatan sosial di masyarakat.
4.2.6. Ketokohan Pemuka pendapat adalah seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat di lingkungannya. Ketokohan ini tumbuh karena orang tersebut menjadi panutan dan sumber informasi bagi masyarakat. Hal itu berdasarkan sikap percaya masyarakat terhadap tokoh dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan responden tokoh politik 22,0%, tokoh agama 16,5%, tokoh pemuda 16,5%, tokoh wanita 16,5%, tokoh sosial 16,5% dan tokoh pendidikan 12,0%. Berdasarkan persepsi responden, ada beberapa tokoh masyarakat yang memiliki peran ganda atau memiliki lebih dari satu ketokohan. Keadaan ini menunjukkan bahwa seseorang yang ditokohkan lebih dari satu jenis ketokohan, disebabkan perannya dalam masyarakat lebih aktif, partisipatif dan kosmopolit. Namun dalam penelitian ini yang dilihat salah satu ketokohan yang lebih dominan. Peran tokoh politik dalam kegiatan penanganan bencana umumnya dalam hal kebijakan pengelolaan bantuan di masyarakatnya. Tokoh politik juga banyak berperan dalam mengusahakan bantuan untuk masyarakat di lingkungannya, dengan akses kepada pengambil keputusan dan tim manajemen penanganan bencana. Tokoh agama berperan dalam pengajian-pengajian dan kegiatan keagamaan lainnya. Berdasarkan pengakuan responden, setelah terjadi bencana minat masyarakat untuk mengikuti kegiatan keagamaan lebih tinggi. Hal ini tidak terlepas dari peran tokoh agama yang giat menumbuhkan nilai-nilai religius di masyarakat. Tokoh pemuda berperan dalam menggerakkan pemuda-pemuda di masyarakat pasca bencana, terutama pada masa tanggap darurat. Tokoh pendidikan ditokohkan karena profesinya sebagai pendidik, dalam hal ini tokoh pendidikan berperan dalam sosialisasi kesiapsiagaan bencana kepada anak-anak sekolah. Sedangkan tokoh wanita, ditokohkan karena aktivitasnya di berbagai kegiatan kewanitaan seperti pengajian ibu-ibu, posyandu, arisan dan PKK.
57
4.3. Perilaku Komunikasi Perilaku komunikasi merupakan sikap dan tindakan responden terhadap komunikasi mengenai penanganan bencana, meliputi respons terhadap media massa, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana dan sikap terhadap opini publik.
4.3.1. Respons terhadap Media Massa Respons terhadap media massa diukur dengan lamanya responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar dengan satuan jam dalam satu minggu (Tabel 7). Media massa merupakan sumber informasi penting untuk meningkatkan pengetahuan. Dengan merespons media massa, pemuka pendapat dapat menambah wawasan untuk disebarkan kepada masyarakat. Tabel 7. Distribusi responden menurut respons terhadap media massa
Perilaku Komunikasi Respons terhadap media massa 1. Lamanya menonton TV
Kategori (Jam)
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Tidak pernah < 3 jam 3 – 5 jam >5 jam
0 28 45 18
0 30,8 49,4 19,8
Tidak pernah < 3 jam 3 – 5 jam >5 jam
4 44 35 8
4,4 48,4 38,5 8,7
surat Tidak pernah < 3 jam 3 – 5 jam >5 jam Sumber: Data primer hasil penelitian
4 7 68 12
4,4 7,7 74,7 13,2
2. Lamanya mendengar radio
3. Lamanya kabar
membaca
a. Menonton Televisi Berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan pada Tabel 7 diketahui bahwa semua responden menonton televisi. Sebagian besar responden menonton televisi antara 3 – 5 jam dalam satu minggu (49,4%). Hal itu menunjukkan bahwa televisi
58
cukup berperan sebagai sumber informasi masyarakat. Media televisi yang bersifat audio visual merupakan media komunikasi yang paling menarik bila dibandingkan media massa lain. Hal itu dapat dipahami, karena televisi dalam menyajikan berita atau informasi selain disampaikan secara lisan, juga didukung oleh gambar. Siaran televisi mudah dipahami oleh masyarakat dari segala usia dan pendidikan. Apalagi di Yogyakarta terdapat beberapa stasiun televisi lokal yang mengedepankan lokalitas dalam siarannya. Televisi lokal tersebut membantu penyebaran informasi, karena banyak menyajikan berita dan tayangan budaya Yogyakarta.
b. Mendengar Radio Respons pemuka pendapat terhadap radio kurang begitu baik, karena sebagian besar responden mendengar radio < 3 jam (48,4%), bahkan ada yang tidak pernah mendengar radio (4,4%). Kurang tertariknya responden mendengar radio, karena media ini hanya bersifat audio, sehingga cenderung memilih menonton media audio visual. Saat ini radio kurang populer di masyarakat, sebab semakin banyak stasiun televisi nasional dan lokal yang mulai menggeser peran radio. Siaran radio juga biasanya hanya selintas dan banyak mengalami gangguan penerimaan akibat faktor cuaca.
c. Membaca Surat Kabar Surat kabar bagi sebagian orang merupakan media prestisius, karena tidak semua orang bisa memilikinya. Namun bagi pemuka pendapat, surat kabar menjadi media penting sebagai sumber informasi. Berdasarkan penelitian, 74,7% responden membaca surat kabar antara 3 – 5 jam dalam satu minggu. Hal ini disebabkan informasi yang disajikan surat kabar lebih lengkap, dilengkapi data dan banyak narasumber. Surat kabar juga dapat dibaca berulang-ulang, mudah dibawa dan dapat didokumentasikan oleh pembaca. Masyarakat memanfaatkan media massa dengan beragam tujuan, sesuai dengan fungsi media massa, yaitu sumber informasi, pendidikan dan hiburan. Dalam penelitian ini diteliti tujuan responden menonton televisi, mendengar radio
59
dan membaca surat kabar. Tujuan ini dibagi menjadi tiga, yaitu menambah pengetahuan, hiburan dan mengisi waktu luang (Tabel 8). Tabel 8. Tujuan responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar
1. Menambah pengetahuan
Persentase (%) Radio Surat Kabar 59,3 40,2 87,4
2. Hiburan
13,2
18,4
12,6
27,5
41,4
0
Tujuan
3. Mengisi waktu luang Sumber: Data primer hasil penelitian
Televisi
Sebagian besar responden memanfaatkan media massa untuk menambah pengetahuan, terutama surat kabar yang mencapai 87,4%. Kedalaman informasi yang disajikan surat kabar menjadikan surat kabar sebagai media untuk menambah pengetahuan, lalu sarana hiburan umumnya yang memanfaatkan radio (18,4%), begitu juga untuk mengisi waktu luang (41,4%). Hal ini dapat dipahami, karena untuk mendengar radio dapat dilakukan dengan santai dan sambil istirahat. Manfaat yang diperoleh responden dari media massa terkait dengan penanganan bencana dikategorikan tiga hal, yaitu informasi penyaluran bantuan, informasi rehabilitasi dan rekonstruksi dan kebijakan penanganan bencana. Pada masa pasca bencana, keberadaan media massa sebagai sumber informasi menjadi penting, karena perkembangan penanganan bencana selalu disiarkan oleh media massa. Pemuka pendapat memerlukan informasi dari media massa untuk mengetahui kondisi terbaru terkait penanganan bencana. Berdasarkan informasi dari media massa, pemuka pendapat dapat melakukan langkah-langkah strategis bagi masyarakat di lingkungannya. Berikut ini manfaat media massa bagi responden dalam penanganan bencana (Tabel 9).
60
Tebel 9. Manfaat responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar Persentase (%) Televisi Radio Surat Kabar 22,6 50 24,7
Manfaat 1. Informasi penyaluran bantuan 2. Informasi rehabilitasi rekonstruksi
dan
3. Kebijakan penanganan bencana Sumber: Data primer hasil penelitian
26,2
20,3
23,4
51,2
29,7
51,9
Informasi penyaluran bantuan sebagian besar diperoleh dari siaran radio (50%), karena radio lokal secara rutin menyiarkan perkembangan penyaluran bantuan kepada masyarakat. Sedangkan informasi tentang rehabilitasi dan rekonstruksi sebagian besar diperoleh dari televisi (26,2%). Menurut responden, televisi lokal sering menayangkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam sesi berita daerah. Kemudian surat kabar mempunyai peranan penting dalam menginformasikan kebijakan penanganan bencana (51,9%) melalui berita-berita penanganan bencana di Yogyakarta.
4.3.2. Intensitas Pertemuan dengan Pelaksana Penanganan Bencana Dalam membantu penanganan bencana di lingkungannya, pemuka pendapat juga berkomunikasi dengan berbagai pihak, terutama pelaksana penanganan bencana. Komunikasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi teknis tentang perkembangan penanganan bencana. Menurut responden komunikasi ini penting untuk berkoordinasi dan menghindari miskomunikasi antara masyarakat dengan pelaksana penanganan bencana. Dari informasi yang diperoleh melalui pertemuan
tersebut,
responden
kemudian
melakukan
sosialisasi
kepada
masyarakatnya. Dalam penelitian kemudian intensitas pertemuan dijabarkan menjadi jumlah bertemuan dalam satu minggu, tujuan komunikasi, tempat, jadwal dan waktu yang efektif (Tabel 10).
61
Tabel 10. Intensitas pertemuan pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana No. 1.
Intensitas pertemuan Jumlah pertemuan < 2 dalam satu minggu > 2
2.
Tujuan komunikasi
Kategori
Mencari informasi Mendapatkan bantuan Memberi informasi 3. Tempat Posko pemerintah Posko LSM Posko Mahasiswa Kepala Desa Tokoh masyarakat Lokasi pengungsian Posko darurat 4. Jadwal Hari kerja Hari libur 5. Waktu Pagi (08.00 – 12.00) Siang (12.00 – 16.00) Sore (16.00 – 19.00) Malam (19.00 ke atas) Sumber: Data primer hasil penelitian
Jumlah (orang)
Persentase (%) 48 52,75 43 47,25 54 20 17 17 25 6 11 21 6 5 47 44 31 11 24 25
59,3 22,0 18,7 18,7 27,5 6,6 12,1 23,1 6,6 5,5 51,6 48,4 34,1 12,1 26,4 27,5
Responden di lokasi penelitian melakukan pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana antara 1 - 7 kali dalam satu minggu dengan rataan pertemuan 2 kali dalam satu minggu. Responden yang melakukan pertemuan kurang dari rataan (52,75%) dan lebih dari rataan (47,25%). Besarnya persentase responden yang melakukan pertemuan kurang dari rataan disebabkan kesibukan responden dengan pekerjaan atau aktivitas lain. Sedangkan responden yang sering melakukan pertemuan, biasanya merupakan pengurus kelompok masyarakat (pokmas) atau fasilitator sosial (fasos) dalam kegiatan penanganan bencana. Tujuan komunikasi sebagian besar untuk mencari informasi (59,3%) dan mendapatkan bantuan (22,0%). Hanya sedikit responden yang berperan sebagai pemberi informasi (18,7%). Hal ini menunjukkan bahwa responden berperan sebagai sumber informasi bagi masyarakat, karena itu mencari informasi ke berbagai pihak terkait dengan penanganan bencana di wilayahnya. Responden yang berperan sebagai pemberi informasi adalah yang terlibat sebagai fasilitator
62
sosial penanganan bencana, sehingga secara rutin melaporkan kondisi masyarakat tempatnya bertugas kepada KMK (Konsultan Manajemen Kabupaten). Tempat berkomunikasi sebagian besar di posko LSM (27,5%), tokoh masyarakat (23,1%) dan posko pemerintah (18,7%). Responden sebagian besar beralasan bahwa posko LSM lebih terbuka bagi masyarakat yang ingin berhubungan terkait penanganan bencana. LSM juga dinilai lebih kooperatif dalam menghadapi pengaduan penanganan bencana. Sedangkan tokoh masyarakat menurut responden dijadikan tempat konsultasi, karena dianggap sebagai panutan warga bila mengalami permasalahan. Responden yang berkomunikasi dengan pemerintah biasanya yang bekerja sebagai aparat pemerintah dan fasilitator sosial. Menurut responden jadwal pertemuan yang paling efektif adalah hari kerja (51,6%). Hal ini disebabkan pada hari kerja komunikasi dapat dilakukan secara formal dan sesuai dengan jadwal kerja institusi formal. Responden mengaku bila berkonsultasi pada hari kerja lebih mudah mendapatkan informasi dan data. Sedangkan komunikasi pada hari libur biasanya dilakukan di tempat-tempat informal. Waktu pertemuan paling efektif pagi hari, antara jam 08.00 – 12.00 (34,1%) atau malam hari jam 19.00 ke atas (27,5%). Waktu ini berkaitan dengan jadwal kerja responden dan tempat konsultasi. Responden yang tidak terikat jam kerja biasanya berkonsultasi pada jam kerja. Sedangkan responden yang terikat jam kerja seperti PNS atau pegawai swasta berkonsultasi pada malam hari. Pada pagi hari komunikasi dilakukan secara formal di kantor atau posko. Namun pada malam hari bisa dilakukan secara tidak formal di rumah yang bersangkutan.
4.3.3. Sikap terhadap Opini Publik Dalam penanganan bencana terdapat opini yang berkembang di masyarakat. Hal ini disebabkan karena berbagai permasalahan sejak masa tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Opini publik ini bersifat individu masyarakat korban bencana atau dalam kelompok. Umumnya opini yang berkembang disebabkan karena kurangnya komunikasi antara pelaksana penanganan bencana dengan masyarakat. Distribusi bantuan yang tidak merata dan tidak tepat sasaran
63
juga menyebabkan terjadinya opini publik. Dalam penelitian ini sikap pemuka pendapat terhadap opini publik dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sikap terhadap opini publik Sikap terhadap opini Kategori publik 1. Sikap terhadap opini Sangat negatif masyarakat Negatif Tidak tahu Positif Sangat positif 2. Sikap terhadap Tidak mendukung penanganan bencana Kurang mendukung oleh pemerintah Mendukung Sangat mendukung 3. Sikap terhadap Tidak mendukung Kurang mendukung penanganan bencana Mendukung LSM Sangat mendukung 4. Sikap terhadap Sesuai prosedur penanganan Tidak sesuai bencana 5. Cara penanganan yang Langsung tepat Struktural Sumber: Data primer hasil penelitian No.
Jumlah (orang) 0 10 0 65 16 0 13 63 15 1 11 63 16 79 12
Persentase (%) 0 11,0 0 71,4 17,6 0 14,3 69,2 16,5 1,1 12,1 69,2 17,6 86,8 13,2
49 42
53,8 46,2
Responden sebagian besar bersikap positif terhadap opini masyarakat (71,4%), karena beranggapan opini masyarakat penting untuk melihat ketimpangan-ketimpangan dalam penanganan bencana. Dengan adanya opini yang berkembang, pemuka pendapat dapat mengetahui sikap masyarakat terhadap penanganan bencana yang dilakukan di lingkungannya. Opini ini merupakan sumber informasi bagi pemuka pendapat untuk disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana. Pemuka pendapat menilai opini publik merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap cara-cara penanganan bencana, terutama pemerataan bantuan. Penanganan bencana yang dilakukan oleh pemerintah didukung oleh pemuka pendapat (69,2%). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam penanganan bencana di lingkungannya cukup baik dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pemerintah juga dinilai tanggap terhadap kebutuhan masyarakat
64
dalam kondisi darurat dan penyalurannya terkoordinir. Sementara pemuka pendapat yang kurang mendukung (14,3%) beranggapan pemerintah terlalu banyak mengumbar janji tidak pasti kepada masyarakat. Distribusi bantuan pemerintah di beberapa tempat terkesan lambat dengan birokrasi yang rumit. Pemuka pendapat juga menilai adanya ketidakadilan, penyimpangan dan indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam penanganan bencana oleh pemerintah. Pemuka pendapat sebagian besar mendukung penanganan bencana oleh LSM (69,2%). LSM dinilai lebih cepat tanggap dalam penanganan bencana dan bantuan yang diberikan langsung kepada sasaran. LSM dalam penanganan bencana juga mengedepankan aspirasi masyarakat. Sedangkan yang kurang mendukung (12,1%) beranggapan bantuan kemanusiaan kadang dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu. Distribusinya juga tidak merata dan kurang koordinasi dengan pemuka pendapat. Prosedur penanganan bencana di lokasi penelitian dinilai sesuai oleh pemuka pendapat (86,8%), karena dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku. Penanganan bencana dilakukan berdasarkan data di lapangan, kemudian koordinasi dengan pemuka pendapat untuk menentukan langkah-langkah dan kebijakan yang diambil. Sedangkan pendapat yang menilai tidak sesuai (13,2%) disebabkan karena belum merata dan ada yang tidak tepat sasaran. Selain itu informasi kepada masyarakat juga masih ada yang simpang siur, sehingga membingungkan korban bencana. Cara penanganan bencana menurut sebagian besar pemuka pendapat lebih baik dilakukan secara langsung (53,8%). Penyaluran secara langsung dinilai lebih efektif, karena tidak melalui birokrasi yang rumit dan langsung diterima masyarakat, terutama untuk bantuan yang sifatnya mendesak. Selain itu, bila disalurkan secara langsung dapat menghindari pemotongan-pemotongan oleh petugas atau aparat pemerintah. Sedangkan responden yang berpendapat lebih baik dilakukan secara struktural (46,2%) beralasan lebih terkoordinasi. Melalui struktural diperoleh data yang akurat tentang korban yang layak mendapat bantuan. Prosedur struktural juga dapat dikontrol dan dipertanggungjawabkan, karena tidak melanggar prosedur.
65
4.4. Keragaan Kelompok Dalam penanganan bencana di lokasi penelitian terdapat kelompok masyarakat (pokmas) yang beranggotakan 10 – 15 orang korban gempa. Pokmas dibentuk atas fasilitasi pemerintah untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan penyaluran bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pokmas ini merupakan media aspirasi masyarakat yang bersifat independen dan dijalankan dengan prinsip demokratis untuk kepentingan/kemaslahatan masyarakat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Keberhasilan partisipasi pokmas ini dipengaruhi oleh kondisi komunikasi di dalamnya seperti dalam struktur kelompok, pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok dan tujuan kelompok. Penilaian keragaan kelompok ini berdasarkan persentase skor pengolahan data hasil penelitian yaitu sangat rendah (0% - 20%), rendah (21% - 49%), cukup (41% - 60%), tinggi (61% - 80%) dan sangat tinggi (81% - 100%).
4.4.1 Struktur Kelompok Struktur kelompok merupakan perincian peranan dan posisi dalam kelompok yang ditunjukkan dengan berperannya responden dalam kelompok. Hasil penelitian tentang struktur kelompok masyarakat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Struktur kelompok masyarakat No 1. 2. 3.
Struktur Kelompok
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan kelompok Pembagian kerja kelompok Komunikasi timbal balik dalam kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 66,15 63,95 58,02 62,70
Keterlibatan responden dalam pengambilan keputusan di kelompoknya termasuk kategori kuat (66,15%), karena pemuka pendapat mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan di setiap rapat kelompok masyarakat terkait dengan penanganan bencana. Pembagian kerja kelompok memiliki skor
66
tinggi
(63,95%),
karena
kelompok
masyarakat
di
lokasi
penelitian
mengedepankan kerjasama dan gotong royong tanpa memandang status dan golongan. Namun komunikasi timbal balik hanya mempunyai skor cukup (58,02%). Hal ini disebabkan, masih banyak anggota kelompok masyarakat yang berperan sebagai pendengar atau penerima informasi, sehingga kurang terjadinya komunikasi dua arah. Kondisi ini juga dipengaruhi kondisi budaya masyarakat setempat yang menganggap pendapat tokoh masyarakat sudah mewakili keinginan masyarakat.
4.4.2. Pembinaan Kelompok Pembinaan
kelompok
berkaitan
dengan
usaha
responden
untuk
mempertahankan kehidupan kelompok melalui peranserta dalam kegiatankegiatan kelompok, sehingga keberadaan kelompok juga memiliki arti penting bagi pemuka pendapat. Hasil penelitian mengenai kondisi pembinaan kelompok dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Pembinaan kelompok masyarakat No 1. 2. 3.
Pembinaan Kelompok
Partisipasi dalam kegiatan kelompok Manfaat dari kegiatan kelompok Pengaruh terhadap kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 59,12 68,79 56,48 61,46
Banyaknya aktivitas dan kesibukan menyebabkan sebagian responden tidak memiliki waktu yang cukup untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan kelompok, sehingga partisipasi responden dalam kegiatan kelompok masyarakat hanya memperoleh skor cukup (59,12%). Karena tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelompok, maka responden tidak mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kelompok (56,48%). Namun responden mengaku mendapatkan banyak manfaat dari kelompok (68,79%), terutama dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Melalui kerjasama kelompok beban responden terkait permasalahan penanganan bencana dapat berkurang.
67
4.4.3. Kekompakan Kelompok Keberhasilan kelompok masyarakat tidak lepas dari kekompakan antar anggota kelompok. Kekompakan ini mencerminkan rasa keterikatan (memiliki) responden terhadap kelompoknya. Untuk mengetahui sejauhmana kelompakan kelompok di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Kekompakan kelompok masyarakat No
Kekompakan kelompok
1. 2. 3.
Keterbukaan informasi dalam kelompok Kerjasama kelompok Kesamaan pandangan kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 75,16 65,71 54,94 65,27
Karena sering mengadakan pertemuan kelompok masyarakat, maka keterbukaan informasi memiliki skor tinggi (75,16%). Hal ini disebabkan karena dalam rapat-rapat kelompok semua permasalahan dan informasi terbaru dikemukakan, sehingga diketahui oleh semua anggota. Kesamaan kondisi sebagai korban bencana alam membuat masyarakat bekerjasama bahu-membahu meringankan beban, sehingga kerjasama dalam masyarakat relatif kuat (65,71%). Namun dalam kelompok masyarakat tidak selalu terjadi kesamaan pandangan (54,94%), karena masing-masing individu mempunyai pendapat yang berbeda. Hal ini wajar terjadi dalam kelompok, karena tingkat permasalahan dan kepentingan yang dikemukakan dalam kelompok antara satu orang dengan orang lainnya tidak selalu sama.
4.4.4. Suasana Kelompok Pengaruh lingkungan dan interaksi anggota dalam suatu kelompok mempengaruhi suasana di dalamnya. Suasana ini kemudian mempengaruhi responden dalam interaksi kelompok dan mencapai tujuannya. Hasil penelitian tentang suasana kelompok disajikan pada Tabel 15.
68
Tabel 15. Suasana kelompok masyarakat No
Suasana Kelompok
1. 2. 3.
Kebebasan berpartisipasi dalam kelompok Motivasi dalam kelompok Solidaritas dalam kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 65,27 68,57 72,30 68,71
Kebebasan berpartisipasi dalam kelompok memiliki skor kuat (65,27%) karena semua anggota dapat berperan dalam kegiatan kelompok, sehingga tingkat motivasi yang diperoleh responden juga tinggi (68,57%). Hal lainnya, suasana kekeluargaan dan gotong-royong yang dijunjung tinggi oleh kelompok, maka solidaritas memiliki skor kuat (72,30%).
4.4.5. Tekanan Kelompok Dalam suatu kelompok sosial dengan banyak individu di dalamnya sering terjadi tekanan-tekanan. Hal ini disebabkan karena perbedaan emosi antar anggota dan motivasi untuk berkelompok. Untuk mengetahui tekanan kelompok di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Tekanan kelompok masyarakat No 1. 2. 3.
Tekanan Kelompok
Penghargaan dalam kelompok Persaingan dalam kelompok Hukuman dalam kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 43,07 36,48 31,20 36,91
Dalam kelompok tidak selalu ada penghargaan terhadap responden yang berbuat baik atau menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Hal ini menyebabkan penghargaan dalam kelompok memiliki skor cukup (43,07%). Sedangkan persaingan antar anggota kelompok tidak terlalu terlihat di lokasi penelitian (36,48%), karena dalam rehabilitasi dan rekonstruksi nilai bantuan yang diberikan sama sesuai dengan kondisi kerusakan yang dialami oleh anggota kelompok.
69
Persaingan hanya terjadi, karena sikap ingin dipandang atau dihormati oleh anggota kelompok yang lain. Proses hukuman dalam kelompok juga lemah (31,20%), karena masyarakat lebih mengutamakan musyawarah dan kekeluargaan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
4.4.6. Tujuan Kelompok Dalam berkelompok masing-masing individu mempunyai tujuan. Tujuan tersebut kemudian dipertemukan untuk menjadi tujuan kelompok. Untuk mengetahui sejauhmana tujuan kelompok dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Tujuan kelompok masyarakat No
Persentase Skor (%) 64,39 54,94 72,74 64,02
Tujuan Kelompok
1. 2. 3.
Keterbukaan tujuan kelompok Kesamaan tujuan dalam kelompok Dukungan terhadap tujuan kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Keterbukaan tujuan kelompok memiliki skor kuat (64,39%), karena sebagian besar responden yang aktif dalam kegiatan kelompok mengetahui tujuan kelompoknya. Meskipun tujuan kelompok merupakan tujuan bersama, tidak semua responden mengaku selalu memiliki kesamaan tujuan dengan kelompok (54,94%). Hal ini disebabkan karena tujuan kelompok ditetapkan berdasarkan suara
mayoritas
dalam
kelompok,
sehingga
anggota
kelompok
harus
mengikutinya demi solidaritas dan persatuan kelompok. Walaupun terdapat perbedaan tujuan, dukungan terhadap tujuan kelompok memiliki skor tinggi (72,74%) akibat adanya solidaritas tersebut.
70
4.5. Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Seperti dikemukakan dalam kerangka berpikir penelitian ini, peubah tidak bebas, yaitu pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Bagian dari peubah ini yang diteliti, yaitu keterlibatan komunikasi pemuka pendapat dalam kegiatan penanganan bencana yang terbagi ke dalam delapan kegiatan, antara lain penyelamatan korban, penyediaan hunian sementara, informasi program, pelayanan sosial dasar, rehabilitasi mental, pembangunan kembali perumahan, perbaikan prasarana dan sarana dasar, serta pemulihan sistem perekonomian. Penilaian berdasarkan persentase skor dari pengolahan data hasil penelitian, yaitu sangat rendah (0% - 20%), rendah (21% - 49%), cukup (41% 60%), tinggi (61% - 80%) dan sangat tinggi (81% - 100%).
4.5.1. Penyelamatan Korban Gempa bumi telah menyebabkan korban jiwa. Penyelamatan korban dititikberatkan pada penyelamatan korban yang masih hidup untuk mendapatkan perawatan medis. Penyelamatan korban ini merupakan fase awal dalam respons terhadap bencana. Setelah terjadi bencana gempa bumi, masyarakat spontan akan melakukan tindakan penyelamatan korban dengan membawanya ke tempat yang lebih aman. Kemudian mendirikan posko darurat untuk menampung korban dan memberikan pertolongan pertama. Dalam kondisi demikian, masyarakat meminta petunjuk dan arahan dari tokoh masyarakat tentang pelaksanaan penyelamatan dan pendirian posko darurat di lokasi bencana. Pada masa ini, masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk melakukan tindakan-tindakan evakuasi korban dan pendirian posko darurat. Penyelamatan korban oleh masyarakat setempat merupakan upaya yang dilakukan
sebelum mendapat bantuan dari pemerintah dan LSM. Hal ini
merupakan inisiatif masyarakat korban sebagai bentuk rasa kemanusiaan terhadap korban lainnya. Kemudian setelah datang bantuan dari luar, penanganan dilakukan dengan lebih baik melalui pendirian tenda-tenda pengungsian dan bantuan medis. Penanganan oleh pemerintah dan LSM menurut informasi dari lokasi penelitian dilakukan melalui koordinasi dengan tokoh masyarakat dan aparat desa setempat.
71
Untuk
mengetahui
pemberdayaan
komunikasi
pemuka
pendapat
dalam
penyelamatan korban dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyelamatan korban No.
Penyelamatan Korban
1. 2 3 4 5
Peran dalam penyelamatan korban Koordinasi dengan relawan Pencarian bantuan medis Pendirian posko bantuan Pendataan korban Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 82,85 83,07 80,43 85,05 80,43 82,37
Dalam penyelamatan korban, komunikasi pemuka pendapat yang memiliki skor tertinggi, yaitu pendirian posko bantuan (85,05%) dan koordinasi dengan relawan (83,07%). Berdasarkan wawancara dengan responden, dalam pendirian posko bantuan pemuka pendapat banyak terlibat dalam penentuan lokasi posko. Posko bantuan ditentukan untuk mempermudah akses distribusi bantuan dan penyalurannya kepada korban. Keberadaan posko ini penting dilakukan agar distribusi bantuan merata dan tidak menimbulkan konflik antar warga. Sedangkan koordinasi dengan relawan dilakukan, terutama dalam rapat-rapat koordinasi yang sering dilakukan selama masa tanggap darurat. Komunikasi dalam penyelamatan korban melibatkan masyarakat, pemuka pendapat dan pelaksana penanganan bencana. Dalam kondisi darurat pasca bencana pemuka pendapat mengarahkan masyarakat untuk melakukan evakuasi korban dan memindahkannya ke tempat aman. Pemuka pendapat kemudian melakukan pendataan korban dan kerusakan di lingkungannya. Data tersebut diinformasikan kepada relawan dan pelaksana penanganan bencana, baik pemerintah maupun LSM melalui tatap muka dan radio amatir (Orari). Berdasarkan data korban dan kerusakan dari pemuka pendapat, pelaksana penanganan bencana mengirimkan relawan, bantuan medis dan bahan makanan untuk korban bencana. Komunikasi ini penting dilakukan untuk pemerataan distribusi bantuan berdasarkan tingkat kerusakan dan kebutuhan korban bencana
72
melalui posko-posko darurat yang didirikan di lokasi bencana. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam penyelamatan korban dapat dilihat pada Gambar 7. Pesan Data korban dan kerusakan
Media Tatap muka, media komunikasi
Komunikan Pelaksana penanganan bencana Umpan balik Bantuan relawan, bantuan medis dan kebutuhan dasar untuk korban bencana
Komunikator Pemuka pendapat
Umpan balik Informasi jumlah korban, kerusakan dan kebutuhan korban bencana Pesan Penyelamatan korban
Keterangan :
Media Tatap muka
Komunikan Masyarakat korban bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 7. Komunikasi dalam penyelamatan korban bencana 4.5.2. Penyediaan Hunian Sementara Gempa bumi juga menyebabkan kerusakan rumah-rumah penduduk. Hal ini menyebabkan sebagian besar penduduk yang menjadi korban kehilangan tempat tinggal. Penyediaan hunian sementara bagi masyarakat di lokasi penelitian dianggap penting, terutama untuk anak-anak dan orang lanjut usia. Hunian sementara ini berupa tenda-tenda darurat yang didirikan di tempat terbuka dan di sekitar reruntuhan tempat tinggal yang dinilai lebih aman. Di hunian sementara ini, peran komunikasi pemuka pendapat dinilai penting, karena masyarakat di lokasi penelitian banyak mengadukan permasalahan kepada pemuka pendapat. Dalam penyediaan hunian sementara, pemuka pendapat sebagai wakil masyarakat mengkoordinir penentuan lokasi pengungsian. Dalam penanganan bencana lokasi pengungsian dipilih dengan pertimbangan keamanan dari kemungkinan bencana susulan, berdekatan dengan jalur transportasi untuk distribusi bantuan serta kemudahan penyediaan fasilitas kebutuhan dasar masyarakat. Penentuan lokasi biasanya dilakukan melalui komunikasi dengan pelaksana
penanganan
bencana
untuk
memperlancar
koordinasi
dalam
73
penanganan bencana. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyediaan hunian sementara dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyediaan hunian sementara No.
Penyediaan hunian sementara
1. 2 3 4 5
Pencarian lokasi pengungsian Pencarian bantuan di pengungsian Distribusi bantuan di pengungsian Penyediaan fasilitas dan kebutuhan dasar pengungsi Pengawasan terhadap kegiatan relawan di pengungsian Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 81,31 83,07 81,97 80,87 76,92 80,83
Skor tertinggi dalam penyediaan hunian sementara, yaitu dalam hal pencarian bantuan (83,07%) dan distribusi bantuan di pengungsian (81,97%). Pencarian bantuan dan distribusi bantuan ini memiliki skor sangat tinggi, karena masyarakat tidak dapat mencari bantuan sendiri, sehingga pemuka pendapat berperan mencari bantuan ke posko-posko bantuan untuk didistribusikan kepada pengungsi. Peran pemuka pendapat dalam distribusi untuk menghindari ketimpangan pembagian bantuan dan konflik, sebagai akibat pemberian yang tidak merata. Proses komunikasi dalam penyediaan hunian sementara dilakukan pemuka pendapat dengan memberikan data jumlah pengungsi dan kebutuhan masyarakat kepada pelaksana penanganan bencana. Komunikasi dilakukan melalui tatap muka di posko pemerintah maupun LSM. Selain tatap muka komunikasi juga dilakukan melalui radio-radio amatir (Orari) yang masih berfungsi di lokasi bencana. Dari penyampaian pesan-pesan pemuka pendapat tersebut, pelaksana penanganan bencana kemudian mengirimkan bantuan berupa tenda-tenda darurat, bahan makanan dan obat-obatan. Selain berkomunikasi dengan pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat juga mencari bantuan melalui jaringan individu dari daerah yang tidak mengalami bencana. Bantuan dari pelaksana penanganan bencana dan sumbangan individu
tersebut
kemudian
didistribusikan
kepada
masyarakat
melalui
komunikasi tatap muka di posko-posko darurat yang didirikan di lokasi
74
pengungsian. Proses komunikasi ini terus berlanjut hingga korban bencana meninggalkan lokasi pengungsian. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam penyediaan hunian sementara dapat dilihat pada Gambar 8.
Pesan Data pengungsi dan kebutuhan
Media Tatap muka, media komunikasi
Umpan balik Bantuan tenda dan kebutuhan dasar untuk korban bencana
Komunikator Pemuka pendapat
Umpan balik Informasi kebutuhan tenda dan kebutuhan dasar korban bencana di lokasi pengungsian Pesan Pengungsian, distribusi bantuan
Keterangan :
Komunikan Pelaksana penanganan bencana
Media Tatap muka
Komunikan Masyarakat korban bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 8. Komunikasi dalam penyediaan hunian sementara 4.5.3. Informasi Program Sosialisasi informasi kepada masyarakat penting dilakukan agar komunikasi penanganan bencana efektif. Dengan adanya sosialisasi informasi program penanganan bencana, masyarakat dapat mengetahui program pemerintah dan pelaksana penanganan bencana lainnya. Di lokasi penelitian, informasi program disebarkan kepada masyarakat melalui rapat rutin di kantor desa atau rumah tokoh masyarakat. Informasi program ini
dapat dilakukan langsung oleh sumber
informasi melalui koordinasi dengan pemuka pandapat. Namun kadang disampaikan kepada pemuka pendapat untuk disebarkan kepada masyarakat. Informasi program meliputi sosialiasi program penanganan bencana pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, baik berupa kebijakan maupun bantuan penanganan bencana. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam informasi program dapat dilihat pada Tabel 20.
75
Tabel 20. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam informasi program penanganan bencana
No.
Informasi program
1. 2 3 4 5
Penyampaian informasi penanganan bencana Ketepatan metode sosialisasi Keefektivan komunikasi tatap muka Pentingnya forum komunikasi Penyampai aspirasi masyarakat Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 81,09 73,84 80,87 82,19 82,63 80,12
Dalam informasi program peran pemuka pendapat sebagai penyampai aspirasi masyarakat (82,63%) dan pentingnya forum komunikasi antara pemuka pendapat, masyarakat dan pelaksana penanganan bencana (82,19%) memiliki skor tertinggi. Hal ini disebabkan di lokasi penelitian masyarakat masih mengganggap pemuka pendapat sebagai panutan, sehingga menyampaikan permasalahan dan aspirasi kepadanya. Pentingnya forum komunikasi ini menurut responden untuk mencegah terjadinya konflik dalam penanganan bencana. Melalui forum komunikasi, informasi program penanganan bencana dapat disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dan pelaksana penanganan bencana dapat mengetahui permasalahan secara langsung di lokasi bencana. Proses komunikasi dalam informasi program ini diawali dengan adanya program pemerintah mengenai rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Program tersebut kemudian disampaikan kepada pemuka pendapat yang mewakili masyarakat korban bencana. Penyampaian pesan dilakukan melalui komunikasi tatap muka dan media komunikasi seperti modul, pamflet, leaflet dan sebagainya. Koordinasi penanganan bencana ini dilakukan melalui rapat antara pelaksana penanganan bencana dengan masyarakat sejak tahap perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemuka pendapat kemudian mensosialisasikan program penanganan bencana kepada masyarakat melalui rapat kelompok masyarakat. Dalam rapat tersebut pemuka pendapat menampung aspirasi dari masyarakat korban bencana, kemudian oleh pemuka pendapat disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana. Forum komunikasi antara masyarakat, pemuka pendapat dan pelaksana
76
penanganan bencana ini untuk menciptakan komunikasi yang efektif sehingga proses penanganan bencana tepat sasaran dan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam informasi program dapat dilihat pada Gambar 9. Komunikator Pelaksana penanganan bencana
Pesan Program penanganan bencana
Media Tatap muka, media komunikasi
Komunikan Pemuka pendapat Komunikator
Umpan balik Pemuka pendapat menyampaikan aspirasi masyarakat
Pesan Program penanganan bencana
Umpan balik Masyarakat menyampaikan aspirasi kepada pemuka pendapat Komunikan Masyarakat korban bencana Keterangan :
Media Tatap muka
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 9. Komunikasi dalam informasi program
4.5.4. Pelayanan Sosial Dasar Pelayanan sosial dasar merupakan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat seperti makan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dan pendidikan. Pelayanan sosial dasar ini diberikan untuk mengurangi beban yang dialami oleh korban bencana. Pelayanan sosial dasar banyak melibatkan pemuka pendapat, karena menyangkut kesejahteraan masyarakat di lingkungannya. Dalam hal ini pelaksana penanganan bencana, khususnya pemerintah berkomunikasi dengan pemuka pendapat untuk mengetahui permasalahan di lokasi bencana. Pemuka pendapat sebagai pihak yang mengetahui kebutuhan masyarakatnya perlu memberikan keterangan jelas kepada pelaksana penanganan bencana agar kebutuhannya dapat dipenuhi. Koordinasi ini penting dilakukan agar tidak ada ketimpangan dan ketidaksesuaian penanganan bencana di wilayahnya. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pelayanan sosial dasar dapat dilihat pada Tabel 21.
77
Tabel 21. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pelayanan sosial dasar No. 1. 2 3 4 5
Pelayanan sosial dasar
Perencanaan pelayanan sosial dasar Perhatian terhadap aspirasi masyarakat Keterlibatan dalam pelaksanaan layanan sosial dasar Koordinasi dalam penyediaan layanan sosial dasar Pengawasan kegiatan pelayanan sosial dasar Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 78,68 78,46 79,78 80,87 78,68 79,29
Koordinasi dalam penyediaan layanan sosial dasar (80,87%) dan keterlibatan pemuka pendapat dalam pelaksanaan layanan sosial dasar (79,78%) memiliki skor tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemuka pendapat mempunyai peranan penting dalam pelayanan sosial dasar di lingkungannya. Responden menilai permasalahan sosial dasar merupakan persoalan masyarakat yang perlu diselesaikan oleh pelaksana penanganan bencana, terutama pemerintah, sehingga pemuka pendapat berusaha mencari bantuan untuk masyarakat sekitarnya. Komunikasi pada pelayanan sosial dasar dimulai melalui rapat kelompok masyarakat, di mana pemuka pendapat sebagai tokoh masyarakat terlibat di dalamnya. Dalam rapat tersebut masyarakat menyampaikan aspirasi mengenai permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pemuka pendapat kemudian mengakomodir aspirasi tersebut, kemudian bersama masyarakat membuat rincian kebutuhan untuk disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana. Rincian yang dibuat oleh masyarakat kemudian disesuaikan dengan program pelayanan sosial dasar pemerintah melalui koordinasi pemuka pendapat dan pelaksana penanganan bencana. Komunikasi ini dilakukan karena masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak pasca bencana dan berkewajiban membangun kembali wilayahnya. Pemenuhan kebutuhan itu dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan bantuan dari pihak luar. Berdasarkan koordinasi dengan pemuka pendapat, pelaksana penanganan bencana memberikan bantuan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat. Mekanisme penyaluran bantuan dilakukan melalui pemuka pendapat agar merata dan tepat
78
sasaran. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam pelayanan sosial dasar dapat dilihat pada Gambar 10.
Pesan Kebutuhan dasar
Media Tatap muka
Komunikan Pelaksana penanganan bencana
Umpan balik Bantuan kebutuhan dasar masyarakat
Komunikator Pemuka pendapat Komunikan
Umpan balik Penyaluran bantuan kebutuhan dasar masyarakat Media Tatap muka
Keterangan :
Pesan Kebutuhan dasar
Komunikator Masyarakat korban bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 10. Komunikasi dalam pelayanan sosial dasar
4.5.5. Rehabilitasi Mental Gempa mengakibatkan luka emosi mendalam pada diri orang-orang yang selamat. Para korban mengalami problem psikologis yang bercirikan kesedihan berkelanjutan, keputusasaan dan kemarahan. Di antara hal-hal yang dibutuhkan di tempat-tempat penampungan korban, perawatan kesehatan mental, termasuk persoalan yang sangat penting. Rehabilitasi mental ini tidak selalu diidentikkan dengan penanganan mental secara klinis, tetapi juga melalui aktivitas-aktivitas kerohanian. Responden di lokasi penelitian menceritakan bahwa pasca bencana kegiatan-kegiatan pengajian semakin meningkat. Hal ini merupakan upaya masyarakat untuk mendapatkan ketenangan jiwa melalui aktivitas keagamaan. Peran pemuka pendapat, khususnya tokoh agama dinilai penting untuk membangkitkan semangat masyarakat di lokasi bencana. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental dapat dilihat pada Tabel 22.
79
Tabel 22. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental No.
Rehabilitasi mental
1. 2 3 4 5
Perencanaan rehabilitasi mental Pencarian bantuan rehabilitasi mental Pelaksanaan rehabilitasi mental Keberlanjutan pelaksanaan rehabilitasi mental Kepedulian pada perkembangan mental masyarakat Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 78,68 81,75 76,92 81,97 77,36 79,34
Keberlanjutan pelaksanaan rehabilitasi mental (81,97%) dan pencarian bantuan rehabilitasi mental (81,75%) menempati skor tertinggi. Menurut responden kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang tidak dapat dilakukan sekali. Kegiatan keagamaan ini dilakukan secara berkelanjutan dengan sasaran semua usia. Di lokasi penelitian, terdapat berbagai bentuk kegiatan pengajian seperti untuk anak-anak, remaja, wanita dan orang tua. Selain menghadirkan penceramah tokoh agama setempat, juga menghadirkan ustad atau da’i dari luar. Peran pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental ini penting sekali terutama untuk mengkoordinir kegiatan pengajian di lingkungannya. Komunikasi pada masa rehabilitasi mental dilakukan pemuka pendapat dengan menampung aspirasi masyarakat melalui rapat kelompok masyarakat. Hal itu dilakukan karena bencana mempengaruhi kestabilan jiwa dan mengakibatkan trauma pada diri masyarakat. Pemuka pendapat menampung aspirasi masyarakat untuk mengetahui kebutuhan dan mencari jalan keluarnya. Kegiatan rehabilitasi mental dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal, yaitu penceramah agama yang ada di lingkungannya. Apabila sumber daya lokal tidak mencukupi kemudian pemuka pendapat meminta bantuan kepada pelaksana penanganan bencana untuk menyediakan relawan baik itu psikiater maupun penceramah agama. Psikiater diperlukan untuk memulihkan kejiwaan masyarakat melalui ilmu psikologi, sedangkan penceramah agama memberikan pencerahan dengan sudut pandang keagamaan. Bantuan relawan kemudian dikoordinasikan dengan pemuka pendapat untuk menentukan jadwal kegiatan rehabilitasi mental di wilayah tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara berkesinambungan sampai kejiwaan masyarakat pulih dan dapat kembali hidup normal. Komunikasi antara pelaksana
80
penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam rehabilitasi mental dapat dilihat pada Gambar 11.
Pesan Bantuan rehabilitasi mental
Media Tatap muka
Umpan balik Bantuan relawan rehabilitasi mental : psikiater dan penceramah agama
Komunikator Pemuka pendapat
Umpan balik Perlu relawan untuk rehabilitasi mental
Pesan Pemulihan mental masyarakat
Keterangan :
Komunikan Pelaksana penanganan bencana
Media Tatap muka
Komunikan Masyarakat korban bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 11. Komunikasi dalam rehabilitasi mental
4.5.6. Pembangunan Kembali Perumahan Pembangunan kembali perumahan merupakan kegiatan penting dalam penanganan bencana. Gempa bumi di lokasi penelitian menyebabkan kerusakan rumah-rumah penduduk, dari kategori ringan, sedang hingga rusak berat. Hal ini menyebabkan pelaksanaan pembangunan perumahan membutuhkan waktu lama. Selain itu juga banyak mendatangkan permasalahan, baik antara warga dengan pelaksana penanganan bencana maupun konflik antar warga. Hal ini biasanya dipicu ketimpangan dalam distribusi bantuan. Selama berada di lapangan, peneliti beberapa kali mendengar konflik akibat permasalahan rehabilitasi dan rekonstruksi. Disinilah peran pemuka pendapat menjadi penting untuk mengkoordinir pembangunan kembali perumahan dan membantu menyelesaikan permasalahan. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pembangunan kembali perumahan dapat dilihat pada Tabel 23.
81
Tabel 23. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pembangunan kembali perumahan No.
Pembangunan kembali perumahan
1. 2 3 4 5
Keterlibatan dalam perencanaan Perhatian terhadap aspirasi dan kebutuhan Keterlibatan dalam pelaksanaan Keadilan dalam pembangunan perumahan Keterlibatan dalam pengawasan Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 78,24 83,29 75,60 83,51 77,58 79,64
Dalam pembangunan kembali perumahan, skor tertinggi yaitu menciptakan keadilan dalam pembangunan perumahan (83,51%), serta perhatian terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat (83,29%). Responden menilai konflik disebabkan karena ketidakadilan dalam distribusi bantuan biaya pembangunan perumahan. Peran pemuka pendapat sangat tinggi untuk menciptakan keadilan ini dengan mengontrol proses penyaluran bantuan. Hal ini dilakukan melalui perannya menampung aspirasi dan keluhan masyarakat, serta menyampaikannya kepada pelaksana penanganan bencana, sehingga konflik dalam pembangunan perumahan dapat diminimalisir dan tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Komunikasi pada tahap pembangunan kembali perumahan berdasarkan program pemerintah yang menetapkan kebijakan pembangunan perumahan kepada korban bencana. Program tersebut kemudian disosialisasikan kepada pemuka pendapat, terutama yang terlibat sebagai fasilitator sosial dan pimpinan kelompok masyarakat di lingkungannya. Sosialisasi meliputi teknis pembangunan perumahan dan mekanisme panyaluran bantuan kepada masyarakat. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat dilakukan pada tahap perencanan, pelaksanaan dan pengawasan dengan melibatkan fasilitator teknis dan Konsultan Manajemen Kecamatan (KMK). Pemuka pendapat kemudian menyampaikan program tersebut kepada masyarakat korban bencana melalui rapat kelompok masyarakat yang dilakukan secara rutin satu kali dalam satu minggu. Rapat antara pemuka pendapat dengan masyarakat
untuk
mensinergikan
program
pemerintah
dengan
aspirasi
82
masyarakat, serta pengumpulan data-data kerusakan. Pengumpulan data melalui kelompok masyarakat dilakukan untuk menghindari manipulasi data yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Hasil rapat tersebut kemudian disampaikan pemuka pendapat kepada pelaksana penanganan bencana untuk menentukan teknis pelaksanaan pembangunan kembali perumahan di lingkungannya. Keterlibatan pemuka pendapat dalam komunikasi dilakukan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi pelaksanaan pembangunan perumahan. Dalam tahap ini, keberhasilan pembangunan kembali perumahan tergantung kemampuan pemuka pendapat berkomunikasi dengan pelaksana penanganan bencana dan masyarakat. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam pembangunan kembali perumahan dapat dilihat pada Gambar 12.
Komunikator Pelaksana penanganan bencana
Pesan Pembangunan kembali perumahan
Media Tatap muka, Media komunikasi
Komunikan Pemuka pendapat Komunikator
Umpan balik Menyampaikan data kerusakan perumahan dan aspirasi masyarakat
Pesan Pembangunan kembali perumahan
Umpan balik Memberikan data kerusakan perumahan dan menyampaikan aspirasi Komunikan Masyarakat korban bencana Keterangan :
Media Tatap muka, media komunikasi
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 12. Komunikasi dalam pembangunan kembali perumahan 4.5.7. Perbaikan Prasarana dan Sarana Dasar Perbaikan prasarana dan sarana dasar adalah pembangunan kembali jalan, listrik, air bersih, puskesmas, sekolah, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya. Kerusakan fasilitas tersebut pada pasca bencana menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat. Peran pemuka secara langsung banyak dilakukan dalam perbaikan fasilitas milik masyarakat seperti tempat ibadah dan pos ronda.
83
Sedangkan fasilitas umum lainnya tidak banyak melibatkan pemuka pendapat secara teknis. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar No.
Perbaikan prasarana dan sarana dasar
1. 2 3 4 5
Keterlibatan dalam perencanaan Perhatian terhadap aspirasi masyarakat Keterlibatan dalam pelaksanaan Koordinasi Keterlibatan dalam pengawasan Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 79,34 83,07 79,12 79,34 78,90 79,95
Skor tertinggi kegiatan ini yaitu perhatian pemuka pendapat terhadap aspirasi masyarakat (83,07%) serta perencanaan dan koordinasi (79,34%). Dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar, responden mengaku menampung aspirasi masyarakat di lingkungannya untuk disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana. Keterlibatan pemuka pendapat secara teknis lebih banyak pada perbaikan fasilitas yang dibangun oleh masyarakat. Sebab pembangunan tersebut dilakukan melalui koordinasi dengan pemuka pendapat. Komunikasi pada perbaikan prasarana dan sarana dasar dilakukan berdasarkan program pemerintah melalui pelaksana penanganan bencana. Program tersebut kemudian disosialisasikan kepada pemuka pendapat untuk mengetahui besarnya kerusakan di wilayahnya. Pemuka pendapat yang banyak dilibatkan biasanya yang aktif di struktur pemerintahan desa. Sosialisasi dititikberatkan pada teknis perbaikan prasarana dan sarana dasar. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat dilakukan pada tahap perencanan, pelaksanaan dan pengawasan. Pemuka pendapat kemudian menyampaikan kepada masyarakat, untuk mengetahui seberapa besar kerusakan fasilitas umum di lingkungannya. Penyampaian pesan dilakukan melalui rapat kelompok masyarakat untuk menjaring aspirasi dan penentuan prioritas perbaikan fasilitas umum. Hasil rapat
84
kemudian disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana agar proses perbaikan dapat segera dilakukan. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar dapat dilihat pada Gambar 13.
Pesan Perbaikan prasarana dan sarana dasar
Komunikator Pelaksana penanganan bencana
Media Tatap muka, media komunikasi
Komunikan Pemuka pendapat Komunikator
Umpan balik Menyampaikan data kerusakan prasarana dan sarana dasar serta aspirasi masyarakat
Pesan Perbaikan prasarana dan sarana dasar
Umpan balik Memberikan data kerusakan prasarana dan sarana dasar serta menyampaikan aspirasi Komunikan Masyarakat korban bencana Keterangan :
Media Tatap muka, media komunikasi
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 13. Komunikasi dalam perbaikan prasaranan dan sarana dasar
4.5.8. Pemulihan Sistem Perekonomian Pemulihan
sistem
perekonomian,
yaitu
pemulihan
perekonomian
masyarakat seperti pembukaan peluang usaha, pembukaan lapangan kerja, perbaikan produksi pangan dan perbaikan fasilitas perekonomian. Di lokasi penelitian sebenarnya kerusakan fasilitas perekonomian tidak banyak terjadi. Namun demikian responden menilai bencana menyebabkan lumpuhnya kegiatan ekonomi masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat disibukkan dengan pembersihan pemberdayaan
dan
perbaikan
komunikasi
kerusakan
pemuka
perumahan.
pendapat
perekonomian dapat dilihat pada Tabel 25.
dalam
Untuk
mengetahui
pemulihan
sistem
85
Tabel 25. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pemulihan sistem perekonomian No.
Pemulihan sistem perekonomian
1. 2 3 4 5
Keterlibatan dalam perencanaan Perhatian terhadap aspirasi masyarakat Pengusahaan lapangan kerja baru Koordinasi Keterlibatan dalam pengawasan Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor (%) 80,43 81,31 76,04 79,12 77,14 78,81
Skor tertinggi pemulihan sistem perekonomian yaitu dalam hal perhatian terhadap aspirasi masyarakat (81,31%) dan perencanaan (80,43%). Responden mengaku banyak mendapat keluhan dari masyarakat mengenai permasalahan perekonomian pasca bencana. Hal ini kemudian disampaikan dalam rapat kelompok masyarakat untuk dicarikan penyelesaiannya. Dengan demikian permasalahan perekonomian tidak berlarut-larut menimpa masyarakat. Komunikasi pada pembangunan sistem perekonomian dilakukan berdasarkan program pemerintah melalui pelaksana penanganan bencana. Program tersebut kemudian disosialisasikan kepada pemuka pendapat untuk mengetahui besarnya kerusakan fasilitas perekonomian di wilayahnya. Pemuka pendapat yang banyak dilibatkan biasanya yang aktif di struktur pemerintahan desa serta yang bergerak di dunia usaha. Sosialisasi meliputi teknis pemulihan serta pertimbangan pembukaan lapangan usaha bagi masyarakat. Pemuka pendapat kemudian menyampaikan kepada masyarakat untuk mengetahui seberapa besar kerusakan fasilitas perekonomian serta menjaring aspirasi dari masyarakat. Penyampaian pesan dilakukan melalui rapat kelompok masyarakat untuk penentuan prioritas pembukaan lapangan usaha dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Hasil rapat kemudian disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana agar proses pemulihan segera dilakukan, serta untuk mendapatkan sumber bantuan. Bantuan pembukaan lapangan usaha yang diperoleh masyarakat yaitu pelatihan keterampilan dan bantuan kredit untuk usaha. Dalam bidang pertanian bantuan yang diberikan biasanya berupa sarana produksi dan pinjaman lunak untuk kegiatan pertanian, peternakan dan perikanan.
86
Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam pemulihan sistem perekonomian dapat dilihat pada Gambar 14.
Komunikator Pelaksana penanganan bencana
Pesan Pemulihan sistem perekonomian
Media Tatap muka, media komunikasi
Komunikan Pemuka pendapat Komunikator
Umpan balik Data kerusakan fasilitas perekonomian dan permohonan bantuan untuk lapangan usaha
Pesan Pemulihan sistem perekonomian
Umpan balik Data kerusakan fasilitas perekonomian dan aspirasi pembukaan lapangan usaha Komunikan Masyarakat korban bencana
Keterangan :
Media Tatap muka
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 14. Komunikasi dalam pemulihan sistem perekonomian
4.6.
Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat, Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat dan Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana. Indikator karakteristik personal (X1) yang diteliti adalah umur (X1.1), jenis
kelamin (X1.2), pendidikan (X1.3), pekerjaan (X1.4), pendapatan (X1.5) dan ketokohan (X1.6). Kemudian indikator perilaku komunikasi (X2) seperti respons terhadap media massa (X2.1), intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana (X2.2) dan sikap terhadap opini publik (X2.3). Sedangkan indikator keragaan kelompok (X3) yaitu struktur kelompok (X3.1), pembinaan kelompok (X3.2), kekompakan kelompok (X3.3), suasana kelompok (X3.4), tekanan kelompok (X3.5) dan tujuan kelompok (X3.6). Untuk mengetahui pengaruh
terhadap
pemberdayaan
komunikasi
pemuka
pendapat
dalam
penanganan bencana (Y) yang meliputi penyelamatan korban (Y1), penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5),
pembangunan kembali perumahan (Y6), perbaikan
87
prasarana dan sarana dasar (Y7) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8) dilakukan uji statistik Khi-kuadrat (χ2) dengan menggunakan program SPSS 13.0 for Windows.
4.6.1. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Untuk mengetahui pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat (X1) terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat (χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210) dengan rumusan hipotesis statistik berikut : Ho
: Tidak ada pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
Ha
: Ada pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menggunakan program SPSS 13.0 for Windows : 1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima. 2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak. Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) karakteristik personal pemuka pendapat (X1) terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) pada taraf α = 0,05 menunjukkan bahwa : pekerjaan (X1.4) berpengaruh nyata terhadap pelayanan sosial dasar (Y4), pendapatan (X1.5) berpengaruh nyata terhadap informasi program (Y3), dan ketokohan (X1.6) berpengaruh nyata terhadap pelayanan sosial dasar (Y4). Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut selengkapnya dapat dilihat pada hasil olahan data (Lampiran 4) dan ringkasannya pada Tabel 26.
88
Tabel 26. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana di Yogyakarta PEUBAH BEBAS (X) X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 Keterangan: *
PEUBAH TIDAK BEBAS (Y) Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
Y7
0,871 0,645 0,217 0,063 0,436 0,223 0,142 0,063 0,455 0,461 0,131 0,942 0,134 0,405 0,882 0,435 0,060 0,204 0,067 0,064 0,052 0,078 0,188 0,264 0,043* 0,156 0,115 0,343 0,570 0,337 0,013* 0,273 0,066 0,167 0,136 0,653 0,245 0,396 0,032* 0,798 0,086 0,588 nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho.
Y8 0,571 0,514 0,497 0,359 0,056 0,247
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Berdasarkan Tabel 26 dapat dijelaskan bahwa pekerjaan pemuka pendapat mempengaruhi aktivitasnya dalam pelayanan sosial dasar pasca bencana gempa bumi di Yogyakarta. Pekerjaan pemuka pendapat yang semakin baik maka perannya dalam kegiatan masyarakat juga semakin meningkat. Pelayanan sosial dasar merupakan kegiatan untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi korban bencana. Pemuka pendapat yang pekerjaannya semakin baik maka mempunyai kesempatan lebih besar untuk berperan dalam kegiatan tersebut. Pendapatan berpengaruh nyata terhadap sosialisasi informasi program, karena pemuka pendapat yang pendapatannya tinggi mempunyai banyak peluang untuk melakukan
sosialisasi
informasi
program
penanganan
bencana
kepada
masyarakat. Keadaan personal responden yang rata-rata memiliki pendapatan tinggi mempermudah akses terhadap informasi. Pemuka pendapat merupakan panutan di lingkungannya, maka informasi ini kemudian disebarkan kepada masyarakat. Seseorang ditokohkan oleh masyarakat, antara lain karena kemampuan empati dan partisipasi sosialnya yang lebih besar, sehingga ketokohan berpengaruh nyata terhadap pelayanan sosial dasar. Pelayanan sosial dasar ini dilakukan karena kesadaran pemuka pendapat untuk meringankan penderitaan masyarakat di lingkungannya akibat bencana. Peran tersebut dilakukan, karena
89
pemuka pendapat memiliki akses komunikasi dengan pelaksana penanganan bencana. Umur tidak berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi dalam penanganan bencana, karena pemuka pendapat melakukan pemberdayaan komunikasi
berdasarkan
kemampuan
dan
tanggungjawab
sosial
kepada
masyarakat di lingkungannya. Jenis kelamin juga tidak berpengaruh nyata terhadap kegiatan penanganan bencana karena laki-laki dan perempuan menjalankan tugasnya sesuai dengan perannya di masyarakat. Pemuka pendapat memiliki pengetahuan yang luas untuk berperan di masyarakat. Pengetahuan tersebut tidak selalu berasal dari pendidikan formal, tetapi juga dari pengalaman dan pendidikan nonformal, maka pendidikan formal tidak berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Pengalaman dan pengetahuan lebih berperan dalam berkomunikasi dengan pelaksanan penanganan benacana dan masyarakat di lingkungannya.
4.6.2.vPengaruh Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Untuk mengetahui pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat (X2) terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat (χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210) dengan rumusan hipotesis statistik berikut: Ho
: Tidak ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
Ha
: Ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
90
Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menggunakan program SPSS 13.0 for Windows : 1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima. 2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak. Berdasarkan uji Khi-kuadrat (χ2) terhadap perilaku komunikasi pemuka pendapat (X2) dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) pada taraf α = 0,05 diketahui respons terhadap media massa (X2.1) yang berpengaruh nyata terhadap penyelamatan korban (Y1). Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut selengkapnya dapat dilihat pada hasil olahan data (Lampiran 4) dan ringkasannya pada Tabel 27. Tabel
27.
Pengaruh Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana di Yogyakarta
PEUBAH PEUBAH TIDAK BEBAS (Y) BEBAS Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 (X) X2.1 0,010* 0,133 0,875 0,894 0,622 0,958 0,523 0,240 X2.2 0,184 0,054 0,792 0,207 0,699 0,205 0,871 0,846 X2.3 0,277 0,467 0,739 0,525 0,287 0,287 0,783 0,744 Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho.
Berdasarkan Tabel 27 dapat dijelaskan bahwa respons terhadap media massa mempunyai pengaruh nyata terhadap penyelamatan korban pasca bencana. Artinya semakin tinggi respons masyarakat terhadap media massa mempengaruhi perannya dalam penyelamatan korban. Hal ini cukup beralasan, karena dalam masa tanggap darurat, terutama penyelamatan korban kondisi penuh dengan kepanikan, sehingga dituntut untuk bergerak cepat. Dalam situasi demikian yang dibutuhkan adalah ketanggapan dan sikap manusiawi untuk menyelamatkan masyarakat yang terluka. Kemampuan melakukan penyelamatan korban berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh dari media massa. Pengetahuan tersebut diperoleh dari siaran media massa yang menampilkan atau menceritakan kegiatan penyelamatan korban, baik melalui berita atau film. Efek tersebut kemudian terekam dan menjadi pengetahuan bagi penyelamatan korban bencana.
91
Sementara itu, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana tidak berpengaruh nyata terhadap semua aktivitas pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Hal ini terjadi karena pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana merupakan bagian dari tanggungjawab pemuka pendapat untuk berkoordinasi dalam penanganan bencana di lingkungannya. Pemuka pendapat yang intensitas pertemuannya tinggi biasanya fasilitator sosial yang melakukan penanganan bencana karena pekerjaan, bukan karena ketokohannya. Meskipun demikian, pertemuan pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana perlu dilakukan secara rutin dan berkelanjutan untuk meningkatkan pemberdayaan komunikasi di masyarakat. Sikap terhadap opini publik juga tidak berpengaruh nyata terhadap semua aktivitas pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Semakin tinggi respons pemuka pendapat terhadap opini publik yang berkembang di masyarakat, tidak mempengaruhi perannya dalam penanganan bencana. Pemuka pendapat merespons berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat sebagai bentuk kepeduliannya terhadap masyarakat. Dengan sering merespons pendapat masyarakat, tidak berarti peran pemuka pendapat semakin meningkat. Hal itu terjadi karena pemuka pendapat sejak sebelum terjadi bencana sudah menjadi panutan dan tempat menyampaikan aspirasi bagi warga di sekitarnya.
4.6.3. Pengaruh Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Dalam hipotesis penelitian ini disebutkan bahwa keragaan kelompok berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Untuk mengetahui pengaruh keragaan kelompok (X3) terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat (χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210) dengan rumusan hipotesis statistik berikut: Ho : Tidak ada pengaruh keragaan kelompok masyarakat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
92
Ha : Ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menggunakan program SPSS 13.0 for Windows : 1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima. 2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak. Uji Khi-kuadrat (χ2) terhadap keragaan kelompok (X3) dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) menunjukkan banyak pengaruh nyata antara dua peubah tersebut pada taraf nyata α = 0,05. Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut selengkapnya dapat dilihat pada hasil olahan data (Lampiran 4) dan ringkasannya pada Tabel 28. Tabel 28. Pengaruh Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana di Yogyakarta PEUBAH PEUBAH TIDAK BEBAS (Y) BEBAS Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 (X) X3.1 0,023* 0,009* 0,097 0,020* 0,097 0,036* 0,607 X3.2 0,059 0,005* 0,039* 0,007* 0,051 0,004* 0,223 X3.3 0,001* 0,000* 0,001* 0,001* 0,000* 0,000* 0,015* X3.4 0,113 0,002* 0,072 0,007* 0,034* 0,003* 0,374 X3.5 0,080 0,517 0,051 0,084 0,010* 0,409 0,753 X3.6 0,089 0,002* 0,301 0,180 0,019* 0,057 0,192 Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho.
Y8 0,011* 0,031* 0,000* 0,004* 0,077 0,203
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Berdasarkan Tabel 28 dapat dijelaskan bahwa struktur kelompok (X3.1) berpengaruh nyata terhadap penyelamatan korban (Y1), penyediaan hunian sementara (Y2), pelayanan sosial dasar (Y4), pembangunan kembali perumahan (Y6) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8). Artinya semakin tinggi struktur kelompok masyarakat, maka semakin berpengaruh terhadap kegiatan penanganan bencana tersebut. Adanya keterlibatan pemuka pendapat dalam pengambilan keputusan dan pembagian kerja kelompok menyebabkan besarnya peran pemuka pendapat dalam berbagai aktivitas penanganan bencana. Namun karena komunikasi timbal balik dalam kelompok relatif rendah, maka struktur kelompok
93
tidak berpengaruh terhadap informasi program, rehabilitasi mental serta perbaikan prasarana dan sarana dasar. Pembinaan kelompok (X3.2) berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4), pembangunan kembali perumahan (Y6) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8). Besarnya manfaat kegiatan kelompok bagi pemuka pendapat menyebabkan pengaruh terhadap kegiatan penanganan bencana tersebut. Penyelamatan korban tidak dipengaruhi pembinaan kelompok karena kelompok masyarakat dibentuk setelah terjadi bencana. Kurangnya partisipasi responden dalam kegiatan dan pengambilan keputusan kelompok menyebabkan pengaruh pembinaan kelompok terhadap rehabilitasi mental dan perbaikan prasarana dan sarana dasar tidak begitu terlihat. Kekompakan kelompok (X3.3) berpengaruh nyata terhadap semua aktivitas penanganan bencana yaitu penyelamatan korban (Y1), penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5),
pembangunan kembali perumahan (Y6), perbaikan
prasarana dan sarana dasar (Y7) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8) Kondisi ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi kekompakan kelompok mempengaruhi pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Keadaan demikian terjadi karena tingginya keterbukaan informasi dalam kelompok dan adanya kerjasama yang baik. Suasana kelompok (X3.4) berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2), pelayanan sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5), pembangunan kembali perumahan (Y6) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8). Tingginya solidaritas dalam kelompok menjadikan suasana kelompok berpengaruh terhadap permasalahan mendasar dalam penanganan bencana tersebut. Hal ini terjadi akibat sikap kekeluargaan yang masih dimiliki oleh masyarakat. Namun demikian suasana kelompok ini tidak mempengaruhi hal-hal lain terkait peran pemuka pendapat dalam penanganan bencana seperti informasi program dan perbaikan prasarana dan sarana dasar. Sedangkan penyelamatan korban tidak dipengaruhi suasana kelompok karena kelompok masyarakat ini dibentuk setelah terjadi bencana.
94
Tekanan kelompok (X3.5) hanya berpengaruh nyata terhadap rehabilitasi mental (Y5). Rendahnya penghargaan dalam kelompok menyebabkan tidak adanya pengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Sedangkan persaingan dan hukuman tidak mempengaruhi penanganan bencana, karena kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela dan karena rasa kekeluargaan masyarakat. Rasa kekeluargaan tersebut menyebabkan peran-peran pemuka pendapat semakin terbuka karena tanpa beban tekanan dalam kelompok. Tujuan kelompok (X3.6) berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2) dan rehabilitasi mental (Y5). Tingginya dukungan terhadap tujuan kelompok menyebabkan peran pemuka pendapat dalam kebutuhan mendasar masyarakat tersebut meningkat. Hal itu juga didukung oleh keterbukaan dalam kelompok masyarakat. Meskipun demikian, karena masih ada ketidaksamaan tujuan maka kegiatan penanganan bencana lainnya seperti penyelamatan korban, informasi program, pelayanan sosial dasar pembangunan kembali perumahan, perbaikan prasarana dan sarana dasar, serta pemulihan sistem perekonomian tidak terpengaruh.
4.6.4.vPengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat, Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat dan Keragaan Kelompok Secara Bersama-sama terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Untuk mengetahui pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat (X1), perilaku komunikasi pemuka pendapat (X2) dan keragaan kelompok (X3) secara bersama-sama terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian beberapa peubah bebas terhadap peubah tidak bebas menggunakan analisis regresi berganda lebih dari dua peubah bebas dengan program SPSS 13.0 for Windows (Triton, 2006:141). Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menunjukkan beberapa peubah bebas memiliki nilai signifikan pada taraf 0,05. Maka berdasarkan hasil signifikan tersebut yang disesuaikan dengan kondisi di lokasi penelitian, dilakukan analisis tambahan dengan regresi berganda untuk memperkuat pentingnya pengaruh peubah ketokohan (X1.6), intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana
95
(X2.2) dan kekompakan kelompok (X3.3) terhadap peubah penting dalam penanganan bencana seperti penyediaan hunian sementara
(Y2), informasi
program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4) dan pembangunan kembali perumahan (Y6) dalam bentuk skala interval 1 - 3. Hasil analisis regresi linear berganda tersebut menunjukkan bahwa ketokohan (X1.6), intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana (X2.2) dan kekompakan kelompok (X3.3) hanya berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2) (Lampiran 5). Besarnya pengaruh tersebut dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Pengaruh ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana dan kekompakan kelompok terhadap penyediaan hunian sementara. No Peubah Bebas (X) 1. 2. 3.
Ketokohan (X1.6) Intensitas pertemuan (X2.2) Kekompakan kelompok (X3.3)
Penyediaan Hunian Sementara (Y2) Sig. Annova Coef β 0,183
0,077
0,162
0,115
0,285
0,005*
F = 4,378 Sig. = 0,006*
Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Sig < 0,05, maka berpengaruh nyata.
Tabel 29 menunjukkan bahwa kekompakan kelompok memiliki pengaruh besar terhadap penyediaan hunian sementara dengan nilai nyata 0,005. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat korban bencana membutuhkan kekompakan untuk mempercepat proses penanganan bencana. Dalam penelitian ini, kekompakan kelompok mencerminkan rasa keterikatan (memiliki) responden terhadap kelompoknya, sehingga pemuka pendapat bersama masyarakat bekerjasama memulihkan kondisinya, dari korban bencana menjadi masyarakat yang kembali hidup normal. Kekompakan kelompok ini berpengaruh positif terhadap penyediaan hunian sementara (0,285). Artinya semakin tinggi kekompakan kelompok, berpengaruh terhadap tingginya aktivitas penanganan bencana terutama dalam penyediaan hunian sementara bagi korban bencana. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang kompak semakin cepat pulih dari keterpurukan, baik aspek sosial maupun ekonomi. Cepatnya pemulihan ini disebabkan sikap
96
masyarakat yang mempunyai inisiatif memberdayakan sumber daya yang ada untuk pemulihan lingkungannya. Kelompok masyarakat yang kompak juga lebih mudah berpartisipasi dan bekerjasama dengan pelaksana penanganan bencana di wilayahnya. Ketokohan juga berpengaruh positif terhadap penyediaan hunian sementara (0,183). Artinya tokoh masyarakat yang banyak terlibat dalam penanganan bencana akan mempengaruhi percepatan penyediaan hunian sementara
bagi
korban bencana di lingkungannya. Di lapangan tokoh yang paling berpengaruh dalam penyediaan hunian sementara adalah tokoh sosial dan tokoh pemuda. Kedua tokoh tersebut secara teknis banyak berhubungan dengan relawan dan pelaksana penanganan bencana dari pemerintah maupun non pemerintah. Kerja keras tokoh masyarakat mencari bantuan tenda-tenda darurat untuk penyediaan hunian sementara bagi korban bencana menyebabkan masyarakat dapat tinggal lebih layak meskipun dalam tenda darurat. Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi peran masyarakat dalam mempercepat pemulihan kehidupannya yang porak-poranda akibat gempa. Sedangkan intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana juga berpengaruh positif (0,162) meskipun tarafnya paling rendah (0,115). Artinya semakin tinggi intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana maka berpengaruh terhadap penanganan bencana terutama penyediaan hunian sementara. Rendahnya taraf pengaruh tersebut terjadi karena tidak semua pemuka pendapat memiliki intensitas tinggi dalam pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana. Pemuka pendapat yang sering berkomunikasi dengan pelaksana penanganan bencana biasanya adalah pemuka pendapat yang menjadi fasilitator sosial dalam penanganan bencana di lingkungannya. Fasilitator sosial memang diwajibkan untuk datang ke kantor Konsultan Manajemen Kecamatan (KMK) setiap hari untuk berkoordinasi dengan KMK dan fasilitator teknik. Meskipun tidak semua peubah bebas berpengaruh nyata, tetapi secara bersama-sama ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana dan kekompakan kelompok memiliki taraf nyata 0,006 dalam memberikan pengaruh terhadap penyediaan hunian sementara. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa bila tokoh masyarakat banyak terlibat dalam penanganan
97
bencana di lingkungannya, kemudian manjadi fasilitator sosial dan kompak dengan kelompoknya maka proses penanganan bencana di lingkungannya relatif lebih cepat dan berhasil. Penanganan bencana merupakan kegiatan yang mensinergikan program pemerintah dan partisipasi masyarakat korban bencana, sehingga faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan program penanganan bencana di masyarakat. Peran pemuka pendapat juga diperlukan dalam kegiatan penanganan bencana oleh lembaga non pemerintah yang biasanya cenderung partisipatif dan melibatkan banyak pihak dalam masyarakat.
4.7. Manajemen Komunikasi Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana yaitu respons terhadap bencana yang meliputi kegiatan
penanganan
bencana
dan
kesiapsiagaan
menghadapi
bencana.
Komunikasi berperan penting dalam penanggulangan bencana, terutama untuk mensinergikan kebijakan pemerintah dan program lembaga non pemerintah yang terlibat dalam penanggulangan bencana. Sedangkan komunikasi dengan masyarakat korban bencana untuk mempercepat proses penanggulangan bencana dengan melibatkan sumber daya lokal terutama pemuka pendapat. Lemahnya penanggulangan bencana selama ini, terjadi karena Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP) masih bersifat koordinatif, bukan operasional. Padahal melihat sering terjadinya bencana di Indonesia, seharusnya pemerintah membentuk lembaga penanggulangan bencana yang bersifat struktural dan operasional agar manajeman komunikasi penanggulangan bencana lebih efektif. Pemerintah
melalui
Undang-Undang
No.
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana sebenarnya secara kelembagaan akan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri (Pasal 10). BNPB mempunyai tugas: (a) Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi secara adil dan setara; (b) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan; (c) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
98
(d) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana; (e) Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/ bantuan nasional dan internasional; (f) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (g) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (h) Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pasal 12). Kemudian BNPB mempunyai fungsi : (a) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan (b) Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh (Pasal 13). Dalam undang-undang tersebut, pembentukan lembaga penanggulangan bencana masih cenderung bersifat koordinatif. Padahal organisasi penanggulangan bencana seharusnya struktural, operasional dan koordinatif yang menangani manajemen bencana sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga pengawasan. Dalam konteks ini lembaga tersebut harus dibentuk secara khusus, melibatkan kalangan ahli dan profesional dalam penanggulangan bencana dengan menitikberatkan pada sumberdaya manusia, pendanaan, metode dan teknologi informasi. Dengan model BNPB yang bersifat struktural, operasional dan koordinatif maka komunikasi penanggulangan bencana lebih terintegrasi dengan melibatkan semua pihak, yaitu unsur pemerintahan, TNI/ Polri, perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi. BNPB dibentuk untuk bekerja secara profesional dalam suatu manajemen risiko bencana yang mengintegrasikan fungsi-fungsi penyelidikan potensi bencana, manajemen penanganan bencana, keuangan, operasional dan logistik. BNPB juga harus diberi otoritas untuk merancang program, melakukan analisa kebutuhan dan pembiayaan berdasarkan analisa data kerusakan yang terjadi. Penanggulangan bencana melalui BNPB dilakukan dengan strategi proaktif, tidak semata-mata bertindak pascabencana, tetapi melakukan berbagai kegiatan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Pada tingkat operasional di lokasi bencana, BNPB harus dirancang untuk bertindak partisipatif
99
dengan melibatkan sumber daya lokal terutama pemuka pendapat. Berdasarkan hasil penelitian tentang pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana serta kajian literatur penanggulangan bencana, maka dihasilkan manajemen organisasi penanggulangan bencana yang partisipatif dengan jalur komunikasi yang jelas dan terarah. Manajemen organisasi penanggulangan bencana tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Badan Penanggulangan Bencana Provinsi
Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten/ Kota
- Instansi Vertikal - Dinas Kabupaten/ Kota - Komando Teritorial
Satuan Tugas Penanggulangan Bencana (Satgas PB)
PMI Pramuka LSM/ Ormas Dunia Usaha Perguruan Tinggi
Pemuka Pendapat Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB) Masyarakat Korban Bencana Keterangan :
: Garis struktural : Garis koordinasi
Gambar 15. Manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif Berdasarkan manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif tersebut, pada tingkat operasional Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota
100
dapat dibentuk satuan tugas khusus (Satgas PB) yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan penanggulangan bencana. Satgas PB dibentuk dengan melibatkan unsur pemerintahan (instansi/ dinas), komando teritorial (TNI/ Polri), Palang Merah Indonesia (PMI), Pramuka, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan perguruan tinggi. Dengan adanya Satgas PB maka setiap ada bencana dapat langsung dilakukan penanganan, terutama pada masa tanggap darurat. Berdasarkan panduan umum penanggulangan bencana berbasis masyarakat, di daerah rawan bencana seharusnya dibentuk Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB) untuk mengurangi risiko bencana (UNDP, 2005:11). KMPB terdiri dari anggota masyarakat yang dibentuk atas hasil keputusan bersama, sebab masyarakat berhak melakukan segala usaha untuk mengurangi risiko dan dampak bencana. Tugas utama KMPB adalah membuat perencanaan untuk mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi di wilayahnya. Karena itu anggota KMPB harus dipilih berdasarkan kemampuan mereka dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Orang-orang yang sehat secara fisik dan mental, serta mampu mengatasi tekanan akibat bencana dapat menjadi anggota KMPB. Di sini pemuka pendapat berperan penting, terutama dalam membentuk KMPB dan mengkoordinir penanggulangan bencana di lingkungannya. Besarnya jumlah anggota KMPB ini tergantung pada besarnya wilayah dan besarnya cakupan kemungkinan bencana. Untuk sebuah desa di Indonesia, yang rata-rata mempunyai 500 keluarga, anggota yang diperlukan untuk membentuk KMPB adalah 45 orang. Anggota kelompok tersebut kemudian dibagi menjadi empat bagian tugas yaitu penanggulangan, operasional, komunikasi dan kesejahteraan. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dapat dilakukan dengan menempatkannya sebagai koordinator KMPB. Tugas koordinator KMPB adalah berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Satgas PB untuk mendapatkan atau memberikan informasi yang dibutuhkan. Koordintor juga harus dapat bekerjasama dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan masyarakat. Sebab koordinator bertanggungjawab atas kelancaran arus informasi, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan organisasi di setiap tahap penanggulangan bencana. Dengan berperannya pemuka pendapat dalam KMPB maka komunikasi
101
penanggulangan bencana dapat dilakukan secara efektif. Berdasarkan manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif tersebut dihasilkan manajemen komunikasi penanggulangan bencana. Manajemen komunikasi penanggulangan bencana dapat dilihat pada Gambar 16. Komunikator BNPB BPB Provinsi BBP Kabupaten/Kota
Pesan • Kebijakan penanganan bencana (tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi) • Kebijakan kesiapsiagaan menghadapi bencana
Umpan balik Laporan pelaksanaan program penanganan bencana (tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi) dan kesiapsiagaan menghadapi bencana
Media Tatap muka dan media komunikasi
Komunikan Satgas PB Komunikator
Umpan balik Data jumlah korban, kerusakan perumahan, kerusakan fasilitas umum, aspirasi masyarakat serta ketersediaan sumber daya lokal untuk penanganan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana
Pesan • Program penanganan bencana (tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi) • Program kesiapsiagaan menghadapi bencana
Media Tatap muka dan media komunikasi
Komunikan Pemuka pendapat/ koordiator KMPB Komunikator
Pesan • Penanganan bencana (tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi) • Kesiapsiagaan menghadapi bencana
Media Tatap muka dan media komunikasi
Umpan balik Informasi jumlah korban, kerusakan, kebutuhan masyarakat serta ketersediaan sumber daya lokal untuk penanganan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana
Komunikan Masyarakat korban bencana
Gambar 16. Manajemen komunikasi penanggulangan bencana
102
Proses komunikasi penanggulangan bencana diawali dengan penyampaian pesan-pesan kebijakan penanggulangan bencana pemerintah melalui BNPB. Secara struktural, kebijakan tersebut dikomunikasikan kepada BNP Provinsi hingga BNP Kabupaten/ Kota. Di tingkat operasional, pesan-pesan tersebut disampaikan kepada Satgas PB melalui rapat koordinasi dan media komunikasi penanggulangan bencana. Satgas PB yang terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat kemudian merencanakan kegiatan komunikasi penanggulangan bencana agar kebijakan tersebut diterima masyarakat. Untuk kelancaran komunikasi dan pelibatan sumber daya lokal, dilakukan koordinasi dengan pemuka pendapat atau koordinator KMPB. Pemuka pendapat kemudian menyampaikan program penanggulangan bencana kepada masyarakat melalui komunikasi tatap muka dalam rapat kelompok masyarakat. Melalui rapat kelompok, kebijakan dan program penanggulangan bencana didiskusikan untuk mendapatkan respons dari masyarakat. Respons dalam kondisi darurat berupa data jumlah korban, kerusakan perumahan, kerusakan fasilitas umum dan kebutuhan dasar masyarakat. Respons tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yaitu data kerusakan perumahan dan fasilitas umum. Sedangkan respons kesiapsiagaan berupa ketersediaan sumber daya lokal untuk menghadapi bencana. Respons masyarakat tersebut kemudian disampaikan kepada Satgas PB agar dapat disinergikan dengan kebijakan dan program penanganan bencana BNPB. Dengan model komunikasi tersebut masyarakat dilibatkan secara aktif dalam penanggulangan bencana melalui pelatihan dan penyuluhan. Komunikasi partisipatif ini melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Komunikasi penanggulangan bencana partisipatif berdampak pada keberhasilan program penanggulangan bencana karena pelaksanaan seluruh proses kegiatan dilakukan masyarakat dengan tetap mengacu pada tujuan dan ketentuan dasar pelaksanaan program BNPB. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas penyaluran bantuan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap langkah dan kegiatan dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas.