BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Prolarva
4.1.1 Laju Penyerapan Kuning Telur Penyerapan kuning telur pada larva lele dumbo diamati selama 72 jam, dengan rentang waktu pengamatan 12 jam. Pengamatan pada awal penelitian menunjukkan bahwa rata-rata volume kuning telur awal adalah 1,98±0,46 mm3. Dari analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa perlakuan suhu 300C dan 320C memiliki penyerapan kuning telur paling cepat setelah 72 jam pemeliharaan, dengan volume kuning telur akhir rata-rata masing-masing 0,0000023 mm3 dan 0,0000019 mm3, sedangkan perlakuan suhu ruang memiliki penyerapan kuning telur paling lambat dengan volume akhir kuning telur akhir rata-rata sebesar 0,1566 mm3. Semakin rendah suhu media pemeliharaan maka laju penyerapan kuning telur semakin lambat atau sebaliknya (Gambar 4).
Volume kuning telur (mm3)
2.0 1.8
aSuhu Ruang
1.6
bSuhu 260C
1.4
cSuhu 280C
1.2
dSuhu 300C
1.0
eSuhu 320C
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0
12
24
36
48
60
72
Jam keGambar 5. Penurunan volume kuning telur (mm3) larva lele dumbo berdasarkan perlakuan selama72 jam
34
35
Berdasarkan Gambar 5. menunjukkan bahwa laju penyerapan kuning telur rata-rata tertinggi terdapat pada suhu 300C dan 320C masing-masing sebesar 0,1895 mm3/jam dan 0,1923 mm3/jam, sedangkan laju penyerapan kuning telur terendah terdapat pada perlakuan suhu ruang yaitu 0,0352 mm3/jam. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa suhu ruang, berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu 260C, suhu 280C, suhu 300C dan suhu 320C, namun suhu 260C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 280C. Suhu 300C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan suhu 320C. Hal ini diduga pada suhu ruang mempunyai kisaran suhu terendah (22-250C) dengan rentang fluktuasi suhu media pemeliharaan yang cukup tinggi daripada perlakuan lain yaitu 22,3-24,60C sehingga menyebabkan menurunnya laju metabolisme larva. Fluktuasi suhu media pemeliharaan yang cukup tinggi diduga mengganggu laju metabolisme larva lele dumbo sehingga laju penyerapan kuning telur lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan suhu yang konstan. Ivlevas’s dalam Kamler (1992) mengatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap laju metabolisme hewan akuatik. Aktivitas metabolisme yang tinggi akan mempercepat laju penyerapan kuning telur. Pada suhu yang lebih rendah aktivitas metabolik berjalan lebih lambat sehingga laju penyerapan kuning telurnya lebih kecil. Hal ini terbukti dengan laju penyerapan kuning telur larva lele dumbo terbesar yang dicapai oleh perlakuan suhu 300C dan 320C masing-masing sebesar 0,151 dan 0,157 mm3/jam. Kuning telur merupakan cadangan pakan serta sebagai nutrien dan energi untuk tumbuh dan berkembang. Laju penyerapan kuning telur yang lebih tinggi memungkinkan tersedianya energi yang lebih tinggi (Woynarovich dan Horvath 1980 dalam Ardimas 2012). Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan bahwa penyusutan kuning telur relatif lebih cepat pada awal penyerapan sampai dengan jam ke-24, kemudian penyerapan mulai melambat sampai kuning telur habis. Hal ini berkaitan dengan mulai terjadinya pembentukan organ-organ tubuh larva yang nantinya berguna untuk pemangsaan (organogenesis) tubuh larva. Pramono dan Marnani (2006) menyatakan bahwa laju penyerapan kuning telur yang relatif cepat erat kaitannya dengan pertumbuhan larva, pemeliharaan kondisi tubuh dan pembentukan organ. Secara umum kuning telur
36
merupakan sumber energi utama bagi larva sebelum memperoleh makan dari luar guna proses perkembangan dan pertumbuhannya. Energi yang berasal dari kuning telur digunakan pertama kali untuk proses perkembangannya. Apabila masih terdapat sisa energi kemudian digunakan untuk pertumbuhan larva lebih lanjut, sedangkan bila energi dari kuning telur habis, maka larva ikan akan memanfaatkan energi dari luar (exogenous energy) yaitu berupa pakan (Pramono dan Marnani 2006). 4.1.2 Laju Pertumbuhan Panjang Pertumbuhan panjang larva lele dumbo pada fase endogenous feeding yang dipelihara selama 72 jam berkisar antara 6,618-7,933 mm (Gambar 6). Dari analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa perlakuan suhu 300C memiliki pertumbuhan panjang paling cepat dengan panjang akhir rata-rata 7,933±0,042 mm sedangkan perlakuan suhu ruang memiliki pertumbuhan panjang paling lambat dengan panjang akhir ratarata sebesar 6,618±0,052 mm. 9
Panjang larva (mm)
8 7 6 5 4 3 2 1 0
Suhu ruang (aA)
26 (Bb)
28 (Cc)
30 (d D)
32 (eE)
Suhu media pemeliharaan (0C) Gambar 6.
Rata-rata pertumbuhan panjang akhir larva lele dumbo setelah 72 jam pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan hasil uji Tukey menunjukkan bahwa suhu 300C berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu ruang, suhu 260C, suhu 280C dan suhu 320C. Suhu 280C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 320C. Hal ini diduga pada suhu 300C berlangsung laju metabolisme cukup tinggi yang erat kaitannya dengan laju penyerapan kuning telur larva lele dumbo sebagai sumber energi metabolisme larva.
37
Nugraha et al. (2012) menyatakan suhu berpengaruh terhadap laju metabolisme hewan akuatik yang bersifat
poikilotermal, aktivitas metabolisme yang tinggi
memerlukan energi yang besar sehingga laju penyerapan kuning telur menjadi lebih cepat. Ditegaskan pula oleh Morgan 1997 dalam Soraya et al. bahwa poikiloterm merupakan sifat ikan yang suhu tubuhnya sesuai dengan suhu lingkungan, dimana ketika peningkatan suhu akan berbanding lurus dengan peningkatan laju metabolisme pada tubuh ikan. Kamler (1992) menambahkan bahwa suhu merupakan salah satu faktor penting sebagai controlling factor yang mempengaruhi laju perkembangan dan laju pertumbuhan larva selama periode endogenus feeding. Diantara suhu 300C dengan 320C meski kedua perlakuan tersebut memiliki laju penyerapan kuning telur yang hampir sama, namun pada perlakuan suhu 320C mempunyai laju pertumbuhan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan suhu 300C. Hal ini diduga pada suhu 320C energi yang dihasilkan dari proses metabolisme lebih banyak digunakan untuk aktivitas gerak larva yang meningkat seiring dengan semakin meningkatnya suhu. Berbeda dengan suhu 280C dan suhu 300C yang lebih banyak menggunakan energi yang dihasilkan dari proses metabolisme sebagai pembentukan jaringan baru (pertumbuhan). Menurut Landsman et al. (2011) dalam Nugraha et al. (2012), laju metabolisme yang tinggi menyebabkan konsumsi energi (kuning telur) cepat diserap. Dengan demikian pertumbuhan yang berkembang pada stadia tertentu hingga stadia kuning telur habis sangat dipengaruhi oleh besarnya energi yang hilang selama masa perkembangan tersebut. Aktivitas ini dalam metabolisme dipengaruhi suhu (Fry 1971 dalam Nugraha et al. 2012). Ditegaskan oleh hukum Van’t Hoff dalam Kelabora (2010) yang menyatakan bahwa untuk setiap perubahan kimiawi, kecepatan reaksinya naik 2-3 kali lipat setiap kenaikan suhu sebesar 100C. Namun untuk pertumbuhan larva kenaikan suhu tersebut malah menurunkan pertumbuhan, dikarenakan larva ikan mempunyai batas toleransi suhu.
38
Pertumbuhan panjang (mm)
8 7.5 7 6.5
aSuhu Ruang
6
bSuhu 26 oC
5.5
cSuhu 28 oC
5
dSuhu 30 oC
4.5
eSuhu 32 oC
4 0
12
24
36
48
60
72
Jam keGambar 7. Pertumbuhan panjang larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama 72 jam pemeliharaan
Menurut Effendie (1997) hubungan pertambahan ukuran dengan waktu jika digambarkan dalam suatu sistem koordinat menghasilkan suatu diagram yang disebut kurva pertumbuhan. Pertumbuhan ikan yang diplotkan selama masa hidupnya akan mendapatkan kurva sigmoid. Bentuk kurva demikian disebabkan alamiah pertumbuhan autokatalitik dari ikan dimana pertumbuhan pada fase awal dari hidupnya mula-mula lambat kemudian cepat dan lambat lagi pada umur tua. Kamler (1992) Tinca tinca mengkonversi lebih banyak kuning telur untuk jaringan tubuh seiring dengan meningkatnya suhu inkubasi. Berbeda halnya dengan Tautoga onitis, Salmo salar, Ctenopharyngdon idella menunjukkan korelasi yang negatif antara berat dengan suhu inkubasi. 4.1.3 Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Efisiensi pemanfaatan kuning telur merupakan banyaknya atau besarnya jaringan tubuh yang terbentuk dari penyerapan kuning telur. Besarnya efisiensi penyerapan kuning telur dengan rata-rata akhir berkisar antara 3,853-15,920%. Nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu ruang sebesar 15,920% dan nilai terendah diperoleh pada perlakuan suhu 320C sebesar 3,853% (Gambar 7).
39
18 16
15.920
Efisiensi pemanfaatan kuning telur (%)
14
12.413
12
11.907
10 8 6
4.288
3.853
30 (4D)
32 (E5)
4 2 0
Suhu ruang (1A)
26 (2B)
28 3) (C
Suhu media pemeliharaan (0C) Gambar 8.
Efisiensi pemanfaatan kuning telur larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan hasil uji Tukey menunjukkan bahwa suhu 300C dan 320C berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu ruang, 260C dan suhu 280C, namun suhu 300C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 320C. Suhu ruang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 260C dan 280C. Pada perlakuan suhu ruang memiliki nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur tertinggi, tingginya efisiensi pemanfaatan kuning telur pada suhu ruang tidak diikuti oleh tingginya laju pertumbuhan (Gambar 7), hal ini diduga dengan rendahnya suhu maka aktivitas gerak yang dilakukan oleh larva lebih rendah dibandingkan dengan suhu lainnya, sehingga jumlah energi yang dihasilkan dari penyerapan kuning telur lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan. Sebaliknya pada suhu 300C dan 320C, selain digunakan untuk pertumbuhan, energi yang dihasilkan juga digunakan untuk aktivitas larva yang lebih aktif bergerak daripada perlakuan suhu lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa nilai efisiensi tinggi dihasilkan dari aktvitas yang rendah. Pada perlakuan suhu 320C mempunyai efisieinsi pemanfaatan kuning telur terendah, hal ini diduga energi yang dihasilkan dari metabolisme kuning telur selain digunakan untuk pertumbuhan dan aktivitas larva, juga digunakan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dijelaskan oleh Budiardi et al. (2005), bahwa ketika larva dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya maka
40
jumlah energi yang didapatkan dari proses penyerapan kuning telur lebih tinggi digunakan untuk pertumbuhan dibandingkan untuk aktivitas dan pemeliharaan larva. 4.1.4 Derajat Kelangsungan Hidup (Prolarva) Derajat kelangsungan hidup (survival rate) adalah perbandingan ikan yang hidup hingga akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan pada awal pemeliharaan. Derajat kelangsungan hidup larva lele dumbo yang dipelihara selama 72 jam berkisar antara 72,78-88,33% (Gambar 9). Nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu media pemeliharaan 300C sebesar 88,33±3,33% dan nilai terendah pada perlakuan
Survival Rate (%)
suhu ruang sebesar 72,78±8,55%. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Suhu ruang (A)
26 ( B)
28 (C)
30 ( D)
32 (E)
Suhu media pemeliharaan (0C) Gambar 9.
Kelangsungan hidup larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan hasil uji Tukey menunjukkan bahwa suhu 300C berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu ruang. Sedangkan suhu 300C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 260C, suhu 280C, dan suhu 320C. Suhu ruang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 260C, 280C dan suhu 320C. Pada fase ini ketersediaan energi (pakan) tersedia didalam tubuh larva, sehingga derajat kelangsungan hidup diantara perlakuan suhu ruang, 260C, 280C, 300C dan 320C tidak terdapat perbedaan nilai yang tinggi. Kematian larva pada fase endogenous feeding diduga karena ketidakmampuan larva lele dumbo beradaptasi dengan suhu air yang berbeda (suhu media penetasan berbeda dengan media perlakuan). Vladimirov (1975) dalam Ardimas (2012)
41
menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang tidak menunjang (diluar kisaran normal) seperti terlalu tinggi suhu, adanya cahaya langsung dan lainnya dapat mengakibatkan kematian terutama pada masa transisi atau kritis. 4.2
Postlarva
4.2.1 Pertumbuhan Panjang Mutlak Pertumbuhan panjang larva lele dumbo setelah fase endogenous feeding, yang dipelihara selama 14 hari berkisar antara 4,82-10,59 mm (Gambar 10). Dari analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa perlakuan suhu 300C memiliki pertumbuhan panjang paling cepat dengan panjang akhir rata-rata 10,59±0,09 mm sedangkan perlakuan suhu ruang memiliki pertumbuhan panjang paling lambat dengan panjang akhir akhir ratarata sebesar 4,82±0,13 mm. 12
Panjang (mm)
10 8 6 4 2 0
Suhu ruang (A1)
26 (2B)
30 (4D)
28 (C3)
32 (E5)
Suhu media pemeliharaan (0C) Gambar 10. Pertumbuhan panjang mutlak larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama 14 hari pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Dari hasil uji Tukey menunjukkan bahwa diperoleh antar perlakuan suhu media pemeliharaan terdapat beda nyata (p<0,05). Hal ini karena pada setiap perlakuan
suhu
memiliki
laju
metabolisme
yang
berbeda-beda
sehingga
mempengaruhi pertumbuhan panjang larva. Laju metabolisme yang cukup tinggi yang memungkinkan larva untuk aktif mencari makan sehingga energi yang diperoleh dapat dimanfaatkan dengan lebih baik untuk pertumbuhan (Nugraha et al. 2012). Pertumbuhan panjang larva lele dumbo juga berkaitan dengan proses organogenesis
42
terutama perkembangan mulut larva pada fase endogenous feeding. Dengan proses organogenesis larva yang lebih sempurna terbentuk ketika memasuki fase exogenous feeding, larva pada perlakuan suhu 280C, suhu 300C dan suhu 320C dibandingkan dengan suhu ruang dan suhu sehingga memungkinkan larva pada perlakuan suhu 280C, suhu 300C dan suhu 320C sudah dapat makan terlebih dahulu dibandingkan pada perlakuan suhu ruang dan suhu 260C. Menurut Shirota (1970) dalam Ardimas (2012) larva dengan mulut yang lebih kecil tumbuh lebih lambat daripada larva dengan mulut yang lebih besar. Hyatt (1979) menambahkan bahwa ukuran mulut menjadi faktor pembatas untuk memakan pakan alami maupun pakan buatan. 4.2.2 Derajat Kelangsungan Hidup (Postlarva) Derajat kelangsungan hidup (survival rate) larva lele dumbo yang dipelihara selama 14 hari berkisar antara 60,96-95,74% (Gambar 11). Nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu media pemeliharaan suhu 320C dengan nilai masing-masing sebesar 95,74±3,70% sedangkan nilai terendah pada perlakuan suhu suhu ruang sebesar 60,96±9,69%. 100 90
Survival Rate (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Suhu ruang (A)
26 (B)
28 (C)
30 ( D)
32 (E)
Suhu media pemeliharaan (0C) Gambar 11. Kelangsungan hidup larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama 14 hari pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
43
Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa pada suhu ruang berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu 260C, suhu 280C, 300C dan suhu 320C. Untuk suhu 260C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan suhu 280C, suhu 300C dan suhu 320C. Hal ini diduga ketika memasuki fase exogenous feeding larva lele dumbo pada perlakuan suhu ruang proses organogenesis masih terus berlangsung dan berkembang, hal ini erat kaitannya dengan laju penyerapan kuning telur yang rendah pada fase endogenous feeding, dengan terganggunya proses organogenesis maka organ-organ pemangsaan (bintik mata, bukaan mulut dan lain-lainya) larva belum terbentuk secara sempurna sehingga ketika memasuki fase exogenous feeding, larva tidak mampu mendapatkan dan memanfaatkan energi dari luar berupa pakan. Meskipun nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur larva suhu ruang ketika fase endogenous feeding tinggi tidak menjamin larva tersebut memiliki organ-organ yang telah mendukung kelangsungan hidupnya ketika memasuki fase exogenous feeding. Dijelaskan sebelumnya oleh Shukla (2009) bahwa nilai efisiensi tinggi dihasilkan dari aktvitas yang rendah. Larva dengan aktifitas rendah diduga memiliki kelainan karena larva yang berkualitas baik adalah larva yang berenang aktif. Aktifitas renang tersebut merupakan upaya untuk pembentukan gelembung udara pada tubuh larva. Jadi, dapat dipastikan bahwa dalam kasus ini efisiensi pemanfaatan kuning telur berkorelasi negatif dengan keberlangsungan proses organogenesis larva lele dumbo. Menurut Effendi (2004) kematian larva yang tinggi dikarenakan pada fase stadia larva terjadi peralihan makanan dari kuning telur (endogenous feeding) ke pemanfaatan pakan dari luar (exogenous feeding). Apabila terjadi kesenjangan energi dari endogenous feeding ke exogenous feeding maka akan menyebabkan kematian larva. Kesenjangan diartikan pada saat kuning telur larva habis, larva belum melakukan proses organogenesis secara sempurna seperti pembentukan bintik mata, bukaan mulut, dan lainnya. Ketidaksempurnaan dalam proses organogenesis dengan memanfaatkan energi dari kuning telur (endogenous feeding) akan mengakibatkan ketidakmampuan larva dalam memanfaatkan pakan dari luar (exogenous feeding). Hal lain yang diduga menyebabkan kematian adalah ketidakmampuan larva beradaptasi dengan baik terhadap fluktuatif suhu air. Fluktuatif suhu air dapat
44
mengakibatkan ikan stress dan mengakibatkan kematian bagi ikan. Disamping itu, penyerapan kuning telur yang terjadi pada perlakuan suhu ruang tidak optimal sehingga menyebabkan perkembangan organ tubuh tidak berjalan dengan baik. Sembiring (2011) mengatakan bahwa salah satu konsekuensi dari hal tersebut adalah keterlambatan pembentukan organ-organ pemangsaan salah satunya keterlambatan perkembangan bukaan mulut larva sehingga pada saat kuning telur larva telah habis selanjutnya larva memerlukan pakan dari luar namun larva tidak dapat memanfaatkan pakan tersebut dengan baik. 4.3
Pengukuran Kualitas Air Parameter kualitas air yang diamati meliputi Suhu, DO (Dissolved Oxygen), pH, TAN (Total Ammonia Nitrogen) pada media pemeliharaan larva lele dumbo selama pemeliharaan (Tabel 3). Tabel 3. Data kisaran nilai parameter kualitas air selama masa pemeliharaan larva lele dumbo pada media pemeliharaan
Parameter kualitas air
A 22,3-24,6 8,0-9,4 7,42-7,7 0,25-0,31
Suhu (0C) DO (mg/L) pH TAN (mg/L) Keterangan:
a
B 26-27,2 6,5-8,8 7,48-7,78 0,25-0,41
Perlakuan C 27,5-28,7 6,1-7,9 7,34-7,4 0,25-0,42
D 29,5-30,4 5,3-6,9 7,38-7,55 0,25-0,71
E 30,9-31,6 5,5-6,3 7,34-7,4 0,25-0,77
Pustaka
>5a 6,5-8,5a <1a
) Effendi (2003)
Berdasarkan hasil analisis kualitas air (Tabel 3) yang dilakukan pada awal, tengah, dan akhir pemeliharaan didapat hasil parameter kualitas air yaitu Suhu, pH, DO, dan TAN masih berada pada kisaran normal. Nilai dari masing-masing parameter kualitas air diatas menunjukkan bahwa kualitas air pada media pemeliharaan tidak berpengaruh negatif terhadap parameter-parameter uji. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian larva terjadi bukan disebabkan oleh kualitas air yang buruk.