BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan
Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat dengan memanaskan asam lemak dan gliserol pada temperatur 150 - 180°C dan tekanan 40 kPa. Katalis yang digunakan dalam reaksi ini adalah serbuk Zn. Pembuatan MCT juga dapat dilakukan melalui reaksi transesterifikasi ester metil dan gliserol pada temperatur 150°C - 250°C dan tekanan 30 kPa yang mengacu kepada metode yang dikemukakan oleh Peukert dkk (1993). Penelitian mengenai pembuatan MCT melalui reaksi transesterifikasi ester metil kaprilat dan kaprat dengan gliserol berkatalis Na2CO3 telah dilakukan oleh Kristian dkk (2005), dan Puspa (2006). Kristian dkk (2005) telah menyelidiki pengaruh temperatur dan jumlah katalis terhadap konversi gliserol dan perolehan MCT pada perbandingan mol ester metil/ gliserol 4,2:1, dan mengamati bahwa konversi gliserol tertinggi, yaitu sebesar 99,1%, dapat dicapai pada reaksi dengan temperatur 130°C dan jumlah katalis 0,5%-b dari reaktan total, dan perolehan tertinggi dicapai pada temperatur 150°C dan jumlah katalis 0,5%-b dari reaktan total. Puspa (2006) telah meneliti pengaruh waktu reaksi terhadap konversi dan perolehan MCT, dan mengamati bahwa reaksi transesterifikasi selama waktu reaksi 6 jam dengan perbandingan mol ester metil/ gliserol 3,3:1 dan jumlah katalis 0,5%-b pada temperatur 160°C menghasilkan nilai konversi tertinggi sebesar 99,75% dan perolehan MCT sebesar 44,93%. Informasi mengenai pembuatan MCT melalui reaksi esterifikasi masih terbatas, terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi gliserol dan perolehan MCT, dan metode penyelenggaraan reaksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi gliserol dan perolehan MCT diantaranya adalah temperatur, waktu reaksi, keberadaan katalis, dan jenis katalis. Pada metode Hartman tidak dijelaskan mengenai B.56.3.29
29
pengaruh waktu reaksi, keberadaan katalis, dan jenis katalis terhadap konversi gliserol dan perolehan MCT. Salah satu metode penyelenggaraan reaksi yang perlu diketahui adalah metode pengusiran oksigen karena reaksi esterifikasi harus dilaksanakan dalam kondisi bebas oksigen. Pengusiran oksigen dapat dilakukan dengan melangsungkan reaksi dalam kondisi vakum atau mengalirkan gas inert (N2) selama reaksi berlangsung. Perbandingan antara kedua cara pengusiran oksigen belum pernah diteliti. Melalui penelitian ini diharapkan informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembuatan MCT melalui reaksi esterifikasi dapat diperoleh. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : 1.
Penerapan metode Hartman (1989) untuk melangsungkan reaksi esterifikasi tanpa katalis pada temperatur 170oC dengan kondisi vakum (P = 40kPa) maupun dengan pengaliran N2 selama 8 jam.
2.
Penerapan metode Hartman (1989) untuk melangsungkan reaksi esterifikasi berkatalis Zn dan H2SO4 pada temperatur 150oC dan tekanan 40kPa dengan variasi lama waktu reaksi yaitu 2, 4, 6, dan 8 jam.
3.
Pengujian penghilangan warna dengan menggunakan bleaching earth maupun karbon aktif.
Nilai konversi gliserol bukan merupakan acuan utama untuk menilai keberhasilan pembuatan MCT, karena gliserol yang terkonversi tidak hanya menghasilkan satu produk saja, yaitu MCT (trigliserida), melainkan terdapat produk antara, yaitu monogliserida dan digliserida. Reaksi esterifikasi asam lemak dengan gliserol berlangsung melalui beberapa tahap, mula-mula satu gugus hidroksil pada gliserol akan diserang oleh satu gugus asam lemak sehingga akan membentuk monogliserida. Tahap berikutnya adalah penyerangan gugus-gugus hidroksil lain pada monogliserida secara berturut-turut sehingga terbentuk digliserida dan trigliserida. Gambar 4.1 menunjukkan persamaan reaksi dari tahap-tahap esterifikasi pembentukan MCT. Reaksi berlangsung cepat pada tahap awal dan ditunjukkan dengan cukup banyaknya terbentuk tetesan air pada periode ini. Saat reaksi mendekati kondisi setimbang, laju reaksi makin lambat dan jumlah air yang menetes makin sedikit.
B.56.3.29
30
Gambar 4.1 Tahap-tahap reaksi esterifikasi pembentukan MCT
Menurut Kristian dkk (2005), pada reaksi transesterifikasi, reaktan gliserol dan ester asam lemak tidak dapat diumpankan secara bersama-sama ke dalam labu reaksi karena keduanya tidak saling larut. Oleh karena itu, pengumpanan gliserol dilakukan perlahanlahan secara sinambung selama waktu tertentu sehingga secara umum waktu reaksi transesterifikasi menjadi panjang. Pengumpanan gliserol yang terlalu cepat serta pengaruh pengadukan akan menyebabkan terbentuknya buih yang makin lama makin banyak dan naik ke kondensor sehingga terbawa bersama distilat. Salah satu keunggulan proses esterifikasi adalah asam lemak dan gliserol dapat bercampur, sehingga pengumpanan gliserol dengan asam lemak dapat dilakukan secara serempak pada awal reaksi. Kondisi ini memungkinkan reaksi esterifikasi dilaksanakan dengan lebih mudah
B.56.3.29
31
dan waktu yang lebih cepat karena tidak membutuhkan waktu pengumpanan yang memakan waktu lama. Pada penelitian ini dilakukan sembilan tempuhan percobaan. Adapun variabel-variabel yang divariasikan ditampilkan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Variasi tempuhan pada penelitian pembuatan MCT melalui reaksi esterifikasi Tempuhan Katalis Aliran N2 Tekanan (bar) Temperatur (°C) Waktu reaksi (jam)
4.2
1 non 0,4 170 8
2 non √ 1 170 8
3 Zn 0,4 150 8
4 Zn 0,4 150 6
5 Zn 0,4 150 4
6 Zn 0,4 150 2
7 H2SO4 0,4 150 6
8 H2SO4 0,4 150 4
9 H2SO4 0,4 150 2
Perbandingan Metode Pengusiran Oksigen Selama Reaksi Berlangsung
Pengusiran oksigen dalam reaksi esterifikasi dapat dilakukan dengan melangsungkan reaksi dalam kondisi vakum atau dengan mengalirkan gas inert (N2) selama reaksi berlangsung. Untuk membandingkan keefektifan kedua cara tersebut, dilakukan reaksi esterifikasi tanpa katalis dengan perbandingan mol asam lemak/gliserol sebesar 3,6 : 1 selama 8 jam pada temperatur 170°C dan tekanan 40 kPa. Tempuhan pertama dilakukan dalam kondisi vakum, sedangkan tempuhan kedua dilakukan dengan aliran gas N2. Pelaksanaan reaksi dalam kondisi vakum membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan mahal, diantaranya pompa vakum, blower, perangkap air yang terdiri dari kumparan pendingin (cooling coil), dan gel silika dalam keadaan kering. Pelaksanaan reaksi dengan aliran N2 memerlukan peralatan yang lebih sederhana seperti tabung gas N2 dan rotameter. Cara ini lebih mudah dilaksanakan dan memiliki tingkat kebisingan yang lebih rendah dibandingkan kondisi vakum. Namun, pengaliran gas N2 menyebabkan banyak asam lemak dalam labu reaksi yang ikut terbawa keluar bersama aliran N2 meskipun dengan laju alir N2 yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan asam lemak yang bereaksi dengan gliserol lebih sedikit sehingga jumlah digliserida dan monogliserida masih tinggi. Dengan demikian, pada konversi gliserol yang hampir sama B.56.3.29
32
(dalam kondisi vakum konversi gliserol 100%, sedangkan dalam pengaliran gas N2 konversi gliserol 99,8%), perolehan MCT pada reaksi dalam kondisi vakum lebih tinggi daripada reaksi dalam aliran N2. Seperti disajikan pada Gambar 4.2., perolehan MCT pada kondisi vakum sebesar 97,8%, sedangkan perolehan MCT pada pengaliran gas N2 sebesar 90,1%.
Gambar 4.2 Kurva perolehan monogliserida, digliserida, dan trigliserida (MCT) pada
reaksi non katalis Warna produk yang dihasilkan melalui kedua metode pengusiran oksigen ini tidak jauh berbeda. Perbandingan warna produk ditampilkan pada Gambar 4.3.
(a)
(b)
Gambar 4.3 Produk reaksi esterifikasi tanpa katalis (a) kondisi vakum (b) dengan aliran gas inert
B.56.3.29
33
4.3 Penelitian Pengaruh Jenis dan Keberadaan Katalis 4.3.1 Pengaruh Jenis dan Keberadaan Katalis terhadap Konversi Gliserol
Tempuhan dengan katalis H2SO4 memberikan konversi gliserol yang lebih tinggi dibandingkan tempuhan dengan katalis Zn. Tempuhan dengan katalis H2SO4 pada variasi waktu 2 jam sudah memberikan nilai konversi yang tinggi, yaitu sebesar 99,4%. Sedangkan tempuhan dengan katalis Zn pada variasi waktu 2 jam hanya menghasilkan konversi gliserol sebesar 94%. H2SO4 memiliki sifat asam yang lebih kuat daripada Zn oleh karena itu kemampuan katalisis H2SO4 pada reaksi esterifikasi pembentukan MCT pun lebih baik. Namun, di samping keunggulan dalam hal kemampuan katalisis, H2SO4 juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah sifat H2SO4 yang dapat mengakibatkan reaksi karbonasi dehidratif pada gliserol sehingga produk yang dihasilkan berwarna gelap dan membentuk kerak hitam pada dasar labu reaksi. Selain itu pemisahan antara produk dan H2SO4 masih sulit dilakukan karena sifat kelarutannya yang sangat tinggi. Kedua tempuhan non katalis memberikan konversi gliserol yang lebih tinggi dibandingkan tempuhan dengan katalis Zn pada waktu reaksi yang sama, yaitu 8 jam. Hal ini disebabkan tempuhan non katalis dilakukan pada temperatur operasi yang lebih tinggi, yaitu 170oC dan jumlah asam lemak yang lebih banyak untuk memicu reaksi antara gliserol dan asam lemak. Dengan perbedaan kondisi ini maka seperti yang dikemukakan sebelumnya konversi reaksi menjadi lebih baik pada kenaikan temperatur dan jumlah reaktan karena sifat reaksi yang endotermis. Perbedaan perlakuan antara reaksi dengan katalis dan tanpa katalis ini dilakukan berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Hartman (1989). Secara umum, baik dengan maupun tanpa kehadiran katalis, konversi gliserol yang diperoleh sudah tinggi; untuk waktu reaksi 4 – 8 jam, konversi gliserol lebih dari 98%, dan yang kurang dari 98% hanya ditemui pada tempuhan dengan katalis Zn pada waktu reaksi 2 jam, yaitu sebesar 94%.
B.56.3.29
34
4.3.2 Pengaruh Jenis dan Keberadaan Katalis terhadap Perolehan MCT
Tempuhan yang menggunakan katalis H2SO4 memberikan perolehan MCT yang lebih tinggi daripada tempuhan dengan katalis Zn. Perolehan monogliserida dan digliserida pada tempuhan dengan katalis H2SO4 lebih rendah dibandingkan perolehan monogliserida dan digliserida pada tempuhan dengan katalis Zn untuk waktu reaksi yang sama. Hal ini disebabkan oleh sifat katalisis H2SO4 yang lebih kuat daripada Zn. Tempuhan tanpa katalis dalam kondisi vakum juga memberikan perolehan MCT yang tinggi, yaitu sebesar 97,80% dengan perolehan monogliserida yang lebih rendah. Pada tempuhan non katalis dengan aliran N2, perolehan MCT lebih rendah, sebesar 90,05%. Diperkirakan asam lemak maupun produk hasil reaksi terbawa aliran N2, sehingga jumlah asam lemak yang bereaksi dengan gliserol menjadi lebih sedikit, akibatnya, trigliserida yang terbentuk menjadi lebih sedikit. Perolehan digliserida yang lebih tinggi daripada tempuhan non katalis dalam kondisi vakum juga turut membuktikan gejala ini. Perolehan monogliserida dan digliserida pada tempuhan non katalis dalam kondisi vakum sebesar 1,27 % dan 0,97%, sedangkan perolehan monogliserida dan digliserida pada tempuhan non katalis dalam aliran N2 sebesar 1,12% dan 8,63%. 4.4 Penelitian Pengaruh Waktu Reaksi 4.4.1 Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Konversi Gliserol
Hasil-hasil yang disajikan dalam Gambar 4.4 menunjukkan bahwa dapat dilihat bahwa makin lama waktu reaksi, konversi gliserol makin tinggi. Pada tempuhan yang menggunakan katalis Zn, konversi gliserol meningkat seiring dengan kenaikan waktu reaksi dari 2 sampai 4 jam. Kenaikan tersebut cukup signifikan, yaitu sebesar 5% (dari 94,34% menjadi 99,26%). Tetapi pada saat waktu reaksi dinaikkan dari 4 jam sampai 8 jam, terjadi penurunan konversi, meskipun penurunan tersebut sangat kecil nilainya (dari 99,26% turun menjadi 99,19%, kemudian turun lagi menjadi 98,07%). Ini diperkirakan terjadi akibat adanya reaksi penyabunan antara Zn dengan asam lemak sehingga jumlah asam lemak yang bereaksi dengan gliserol menurun.
B.56.3.29
35
Pada tempuhan-tempuhan yang menggunakan katalis H2SO4, konversi gliserol makin tinggi pada variasi waktu reaksi 2 sampai 6 jam. Konversi tertinggi diperoleh pada waktu reaksi 6 jam, sebesar 99,7%. Variasi dengan waktu reaksi yang lebih lama (8 jam) tidak dilakukan karena dengan waktu reaksi 6 jam, konversi yang diperoleh sudah tinggi (99,7%). Selain itu, pada waktu reaksi 6 jam, warna campuran hasil reaksi sudah makin gelap dan jauh dari warna produk yang diinginkan, yaitu bening. Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa waktu reaksi sangat berpengaruh terhadap konversi gliserol. 100.0 99.5
Konversi Gliserol (%)
99.0 98.5 98.0 97.5 97.0 96.5 96.0
Katalis Zn
95.5
Katalis H2SO4
95.0
Non Katalis
94.5
Non Katalis, N2
94.0
0
2
4
6
8
10
Waktu Reaksi (jam)
Gambar 4.4 Kurva konversi gliserol pada beberapa rentang waktu reaksi
Konversi yang makin tinggi ini menunjukkan bahwa makin lama reaksi maka jumlah asam lemak yang bereaksi dengan gliserol meningkat. Mula-mula gliserol akan bereaksi dengan
asam
lemak
menjadi
monogliserida.
Sampai
tingkat
pembentukan
monogliserida tertentu maka asam lemak akan bereaksi dengan monogliserida membentuk digliserida dan seterusnya sehingga terbentuk trigliserida (MCT). 4.4.2 Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Perolehan MCT
Secara umum makin lama waktu reaksi, perolehan monogliserida dan digliserida makin rendah sedangkan perolehan trigliserida (MCT) makin tinggi. Hal ini disebabkan makin banyak gliserol yang terkonversi menjadi monogliserida, terkonversi lebih lanjut
B.56.3.29
36
menjadi digliserida, dan kemudian menjadi trigliserida (MCT). Mekanisme reaksi ini sesuai dengan yang telah dikemukakan lebih dulu pada Gambar 4.1. Hasil-hasil tempuhan dengan katalis Zn, disajikan pada Gambar 4.5, menunjukkan bahwa makin lama waktu reaksi, perolehan trigliserida makin tinggi sedangkan perolehan monogliserida dan digliserida makin rendah. Pada waktu reaksi yang lebih rendah, gliserol baru bereaksi dengan 1 gugus asam lemak sehingga terbentuk monogliserida dalam jumlah yang banyak. Seiring waktu, jumlah asam lemak yang bereaksi makin banyak sehingga jumlah monogliserida berkurang dan mulai terbentuk digliserida dan trigliserida. 100
Perolehan (%)
80
60
40
monogliserida digliserida trigliserida
20
0 0
2
4
6
8
10
Waktu Reaksi (jam)
Gambar 4.5 Kurva perolehan monogliserida, digliserida, dan trigliserida pada pembuatan MCT dengan katalis Zn
Pada tempuhan dengan katalis H2SO4, seperti ditampilkan pada Gambar 4.6, perolehan MCT sebesar 98,47% untuk waktu reaksi 2 jam. Seiring dengan kenaikan waktu reaksi, perolehan MCT menurun, yaitu 96,39% pada saat waktu reaksi 4 jam, kemudian naik kembali menjadi 97,68% pada waktu reaksi 6 jam. Penurunan perolehan ini tidak terlalu signifikan. Selisih perolehan ini dapat pula diakibatkan adanya galat dalam analisis kualitas MCT yang seluruhnya masih dilakukan secara manual menggunakan metode titrimetri. Seiring dengan kenaikan waktu reaksi, perolehan monogliserida dan digliserida menurun. Perolehan MCT pada berbagai variasi waktu reaksi untuk 9 tempuhan disajikan pada Gambar 4.7. B.56.3.29
37
100
Perolehan (%)
80
60 40 monogliserida digliserida
20
trigliserida
0 0
2
4 6 Waktu Reaksi (jam)
8
Gambar 4.6 Kurva perolehan monogliserida, digliserida, dan trigliserida pada pembuatan MCT dengan katalis H2SO4 100
Perolehan MCT (%)
98
96
94
92
90
88
Katalis Zn Katalis H2SO4 Non Katalis Non Katalis, N2
86
84
0
2
4
6
8
10
Waktu Reaksi (jam)
Gambar 4.7 Kurva perolehan trigliserida (MCT) pada beberapa rentang waktu reaksi 4.5 Penelitian Pemulusan Warna Produk Reaksi
Warna produk reaksi esterifikasi asam lemak dengan gliserol sangat dipengaruhi oleh lama reaksi, keberadaan katalis dan jenis katalis yang digunakan dalam reaksi. Makin panjang waktu reaksi, makin pekat pula warna kuning produk yang dihasilkan. Warna produk reaksi terutama dipengaruhi oleh keberadaan asam lemak sisa. Pada dasarnya memang warna asam lemak agak kekuningan. Pada waktu reaksi yang lebih panjang, kontak panas asam lemak lebih panjang dan ini memicu perubahan warna produk B.56.3.29
38
menjadi kuning yang lebih pekat. Hal ini mudah dipahami jika kita memperhatikan perubahan warna minyak goreng yang belum pernah dipakai dengan minyak goreng yang telah dipanaskan selama beberapa waktu tertentu. Warna produk hasil reaksi untuk keseluruhan tempuhan disajikan pada Gambar 4.8.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Gambar 4.8 Perbandingan warna produk reaksi esterifikasi dari tempuhan ke-1 hingga tempuhan ke-9
Demikian pula keberadaan katalis menyebabkan produk yang dihasilkan berwarna lebih pekat dibandingkan reaksi tanpa katalis. Reaksi tanpa katalis memberikan produk berupa cairan homogen dengan warna kekuningan. Reaksi dengan katalis Zn memberikan produk berupa emulsi yang kental berwarna kekuningan, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.9, dan reaksi dengan katalis H2SO4 memberikan produk berupa cairan homogen berwarna hitam pekat, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.10. Perbandingan warna reaksi non katalis, berkatalis Zn, dan berkatalis H2SO4 disajikan pada Gambar 4.11.
(a
(b
(c
(d
Gambar 4.9 Perbandingan warna produk reaksi berkatalis Zn dengan variasi waktu reaksi (a) 2 jam (b) 4 jam (c) 6 jam (d) 8 jam
B.56.3.29
39
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.10 Perbandingan warna produk reaksi berkatalis H2SO4 dengan variasi waktu reaksi (a) 2 jam (b) 4 jam (c) 6 jam
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.11 Perbandingan warna produk reaksi (a) non katalis, aliran N2 (b) non katalis, vakum (c) katalis Zn, vakum (d) katalis H2SO4, vakum
Produk MCT yang diinginkan berupa cairan homogen dengan warna bening. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk menghilangkan warna dari produk hasil penelitian yang telah dilaksanakan agar memenuhi spesifikasi warna produk yang diinginkan. Perlakukan yang dilakukan terhadap produk reaksi berbeda-beda, bergantung pada metode reaksi yang digunakan. Untuk reaksi tanpa katalis, perlakuan yang diberikan terhadap produk adalah pemucatan menggunakan bleaching earth atau karbon aktif. Setelah kedua metode dilakukan, warna produk yang dihasilkan belum menjadi bening. Penggunaan bleaching earth memberikan perubahan warna yang lebih baik sehingga tingkat warna kuning menurun, B.56.3.29
40
seperti ditunjukkan pada Gambar 4.12. Namun, penggunaan karbon aktif tidak mempengaruhi warna produk, sehingga setelah perlakuan dengan karbon aktif warna produk tetap kuning dan tidak memperlihatkan perbedaan warna antara produk sebelum dan setelah perlakuan, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.13. (a)
(b)
Gambar 4.12 Perbandingan warna produk reaksi tanpa katalis (a) sebelum dan (b) sesudah pemulusan dengan bleaching earth
(a)
(b)
Gambar 4. 13 Perbandingan warna produk reaksi tanpa katalis (a) sebelum dan (b) sesudah pemulusan dengan karbon aktif
Untuk reaksi dengan katalis Zn, perlakuan yang diberikan terhadap produk adalah penyaringan produk kemudian pemucatan menggunakan bleaching earth. Mula-mula produk yang kental dan berwarna kuning disaring, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.14, sehingga dihasilkan produk cair homogen yang berwarna lebih kuning, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.15. Ampas penyaringan yang dihasilkan diduga merupakan sabun Zn yang terbentuk sebagai hasil reaksi asam lemak dengan Zn. Setelah itu, filtrat yang dihasilkan dipucatkan menggunakan bleaching earth. Produk yang telah disaring B.56.3.29
41
dan dimuluskan berwarna lebih baik daripada produk awal tanpa perlakuan, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.16. Namun warna produk MCT yang diinginkan masih belum tercapai.
Gambar 4.14 Produk reaksi berkatalis Zn berupa emulsi berwarna kekuningan
(b)
(a)
Gambar 4.15 Perbandingan produk reaksi berkatalis Zn (a) sebelum dan (b) sesudah penyaringan
(a)
(b)
Gambar 4.16 Perbandingan produk reaksi berkatalis Zn (a) sebelum dan (b) sesudah pemulusan dengan bleaching earth
B.56.3.29
42
Untuk reaksi dengan katalis H2SO4, perlakuan yang diberikan terhadap produk adalah pemucatan menggunakan bleaching earth. Produk hasil reaksi berwarna coklat tua pekat. Warna ini disebabkan adanya reaksi karbonasi dehidratif pada gliserol oleh H2SO4 sehingga dihasilkan produk berwarna coklat pekat. Produk ini selanjutnya dimuluskan dengan bleaching earth dan mengalami peningkatan kualitas warna yang sangat signifikan, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.17, meskipun masih belum mencapai warna produk MCT yang diinginkan yaitu warna bening. (a)
(b)
Gambar 4.17 Perbandingan produk reaksi berkatalis H2SO4 (a) sebelum dan (b) sesudah pemulusan dengan bleaching earth
Pemulusan warna produk masih menjadi kendala dalam percobaan produksi MCT melalui esterifikasi ini. Keberadaan asam lemak sisa menjadi penyebab warna kuning pada produk hasil reaksi. Oleh karena itu penelitian mengenai pemurnian produk reaksi dari asam lemak sisa, misalnya dengan distilasi vakum, perlu dilakukan. 4.6 Penentuan Metode Terbaik untuk Memproduksi MCT melalui Esterifikasi
Hasil-hasil yang ditampilkan pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa secara umum konversi yang dihasilkan dari seluruh tempuhan cukup tinggi, yaitu di atas 94%, dan perolehan MCT yang dihasilkan juga tinggi, yaitu di atas 84%. Kendala yang ditemui dalam seluruh tempuhan adalah sulitnya memisahkan sisa asam lemak yang belum bereaksi sehingga produk reaksi memiliki bau dan warna khas asam lemak rantai menengah yang kuat. B.56.3.29
43
Tabel 4.2 Konversi gliserol dan perolehan pada tiap tempuhan Tempuhan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
non
non
Zn
Zn
Zn
Zn
H2SO4
H2SO4
H2SO4
-
√
-
-
-
-
-
-
-
Tekanan (bar)
0,4
1
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
Temperatur (°C)
170
170
150
150
150
150
150
150
150
8
8
8
6
4
2
6
4
2
3,6:1
3,6:1
3,3:1
3,3:1
3,3:1
3,3:1
3,3:1
3,3:1
3,3:1
77,54
63,42
69,65
89,52
93,47
162,82
47,60
52,57
66,05
Konversi gliserol
100
99,8
98,1
99,2
99,2
94,3
99,7
99,6
99,38
Perolehan monogliserida (%)
1,27
1,12
2,07
4,92
4,87
5,74
0,50
0,91
1,30
Perolehan digliserida (%)
0,93
8,63
0
3,50
3,76
3,73
1,81
2,68
0,22
Perolehan trigliserida (%)
97,8
90,1
97,7
90,8
90,6
84,9
97,4
96
97,9
Katalis Aliran N2
Waktu (Jam) Perbandingan mol asam lemak – gliserol Angka asam produk
Keunggulan tempuhan dengan katalis H2SO4 adalah konversi dan perolehan MCT yang lebih tinggi daripada tempuhan tanpa katalis maupun dengan katalis Zn. Pada watu reaksi 2 jam saja, konversi gliserol sudah mencapai 99% dan perolehan MCT mencapai 97,8%. Kekurangan yang ditemukan pada tempuhan dengan katalis H2SO4 yaitu produk yang diperoleh berwarna coklat kehitaman. Walaupun perbaikan warna dapat dicapai setelah proses pemulusan dengan bleaching earth, namun masih jauh dari warna produk MCT yang diinginkan yaitu warna bening. Hal ini akan mengurangi minat konsumen untuk mengkonsumsi MCT mengingat produk MCT ini digunakan sebagai suplemen makanan. Keunggulan tempuhan dengan katalis Zn adalah warna yang diperoleh lebih terang. Namun, untuk menghasilkan konversi gliserol dan perolehan MCT yang sangat tinggi, perlu waktu reaksi yang lebih lama. Dari hasil percobaan dapat dilihat bahwa pada tempuhan dengan waktu reaksi 2 jam, konversi gliserol sebesar 94% dan perolehan MCT sebesar 84%, sedangkan pada tempuhan dengan waktu reaksi 8 jam konversi gliserol sebesar 98% dan perolehan MCT sebesar 97,7%. Kekurangan tempuhan dengan katalis Zn adalah terbentuknya emulsi berwarna putih kekuningan setelah produk reaksi didinginkan. Emulsi tersebut diperkirakan merupakan hasil reaksi penyabunan antara serbuk Zn dengan asam lemak. Emulsi tersebut dapat dipisahkan dari campuran dengan
B.56.3.29
44
cara penyaringan, tetapi penyaringan tersebut menyebabkan jumlah produk reaksi berkurang cukup banyak. Tempuhan non katalis dilakukan pada waktu reaksi yang lebih lama, yaitu 8 jam, dan temperatur yang lebih tinggi, yaitu 170°C, dan pasokan asam lemak yang lebih banyak, yaitu berlebih 20% dari perbandingan ekuimolar. Tempuhan non katalis memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tempuhan-tempuhan lain, antara lain memberikan konversi MCT yang tertinggi. Tempuhan non katalis dalam kondisi vakum menghasilkan konversi 100% dan perolehan MCT sebesar 97,80%. Warna produk hasil reaksi pada tempuhan non katalis juga lebih terang daripada tempuhan dengan katalis Zn dan H2SO4. Selain itu, pada tempuhan non katalis tidak perlu dilakukan pemisahan katalis dari produk, hal ini sangat penting mengingat MCT merupakan produk pangan, kehadiran katalis yang terbawa dalam produk dapat membahayakan konsumen karena sifatnya yang dapat terakumulasi. Kekurangan dari tempuhan non katalis ini adalah bau asam lemak pada produk terasa lebih kuat karena asam lemak yang diumpankan lebih banyak dibandingkan dengan tempuhan-tempuhan yang menggunakan katalis. Oleh karena itu metode pemisahan sisa asam lemak dari produk akhir perlu dikembangkan. Tempuhan non katalis dalam aliran gas N2 (nitrogen) menunjukkan konversi yang tinggi, yaitu 99,81% dengan perolehan MCT 90,05%. Kekurangan dari tempuhan ini adalah asam lemak maupun produk hasil reaksi terbawa aliran N2 keluar, sehingga jumlah asam lemak yang bereaksi dengan gliserol berkurang, akibatnya perolehan trigliserida menjadi lebih rendah. Karena itu, laju alir N2 perlu diatur sedemikian rupa agar cukup tinggi mengusir oksigen tetapi tidak mengakibatkan asam lemak dalam labu reaksi terbawa aliran N2. 4.7 Keunggulan
dan
Kelemahan
Produksi
MCT
melalui
Esterifikasi
dibandingkan dengan Produksi MCT melalui Transesterifikasi
Produksi MCT melalui esterifikasi memiliki keunggulan dibandingkan dengan produksi melalui transesterifikasi. Keunggulan produksi MCT melalui esterifikasi di antaranya adalah: B.56.3.29
45
1. Pengumpanan reaktan-reaktan reaksi esterifikasi dapat dilaksanakan pada waktu yang bersamaan sehingga mempersingkat waktu pengumpanan dan keseluruhan reaksi. Menurut Kristian dkk (2005), pada reaksi transesterifikasi, reaktan gliserol dan ester metil asam lemak tidak dapat diumpankan secara bersama-sama ke dalam labu reaksi karena keduanya tidak saling larut. Oleh karena itu, pengumpanan gliserol dilakukan perlahan-lahan secara sinambung selama waktu tertentu sehingga secara umum waktu reaksi transesterifikasi menjadi panjang. Pengumpanan gliserol yang terlalu cepat serta pengaruh pengadukan akan menyebabkan terbentuknya buih yang makin lama makin banyak dan naik ke kondensor sehingga terbawa bersama distilat. Salah satu keunggulan proses esterifikasi adalah pengumpanan gliserol dengan asam lemak dapat dilakukan secara serempak pada awal reaksi. Kondisi ini memungkinkan reaksi esterifikasi dilaksanakan dengan lebih mudah dan waktu yang lebih cepat karena tidak membutuhkan waktu pengumpanan yang lama. 2. Reaksi esterifikasi memberikan perolehan MCT yang sangat memuaskan, yaitu diatas nilai 84%, karena adanya sifat autokatalitik dari asam lemak. Menurut Puspa (2006), transesterifikasi ester metil kaprilat dan kaprat dengan gliserol berkatalis Na2CO3 dengan perbandingan mol ester metil/ gliserol 3,3:1 dan jumlah katalis 0,5 %-berat dari reaktan total selama waktu reaksi 6 jam pada temperatur 160°C menghasilkan nilai perolehan MCT tertinggi, yaitu hanya sebesar 44,93%. Sedangkan melalui esterifikasi berkatalis pada temperatur yang lebih rendah, yaitu 150oC, dengan perbandingan jumlah reaktan, jumlah katalis dan waktu reaksi yang sama nilai perolehan MCT dapat mencapai 90,80%. Menurut Kristian dkk (2005), transesterifikasi ester metil kaprilat dan kaprat dengan gliserol berkatalis Na2CO3 dengan perbandingan mol ester metil/ gliserol 4,2:1 dan jumlah katalis 0,5%-berat dari reaktan total selama waktu reaksi 8 jam pada temperatur 150°C menghasilkan nilai perolehan MCT tertinggi, yaitu sebesar 92%. Sedangkan melalui esterifikasi berkatalis pada temperatur, jumlah katalis dan waktu reaksi yang sama nilai perolehan MCT dapat mencapai 97,80%, meskipun perbandingan reaktan lebih rendah yaitu 3,3 : 1.
B.56.3.29
46
3. Produk yang dihasilkan melalui esterifikasi adalah air dan MCT sedangkan produk yang dihasilkan melalui transesterifikasi adalah metanol dan MCT. Secara umum, reaksi esterifikasi lebih aman karena tidak terdapat metanol sebagai produk samping reaksi karena metanol berbahaya bagi manusia. Metanol dapat berbahaya jika pemisahan dan penanganannya tidak baik. Produksi MCT melalui esterifikasi memiliki kelemahan dibandingkan dengan produksi melalui transesterifikasi. Beberapa kelemahan itu dapat ditinjau dari proses pemurnian, biaya operasi dan proses transportasi. Kelemahan tersebut di antaranya : 1. Pemurnian produk dari sisa reaktan ester metil lebih mudah dibandingkan dengan sisa reaktan asam lemak karena titik didih asam lemak lebih tinggi ± 40°C dibandingkan dengan ester metilnya, ester metil lebih stabil terhadap panas dan tidak mudah berubah warna ketika dipanaskan. Perbandingan titik didih asam lemak dan ester metilnya ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Titik didih ester metil dan asam lemak pada tekanan 10 mmHg Grup alkil Kaprat (C10) Laurat (C12)
Titik didih (°C) Asam lemak 150 172
Ester metil 108 133
Sumber : Farris,1979
Untuk memurnikan produk esterifikasi dari sisa asam lemak perlu dilakukan distilasi vakum yang operasinya cukup sulit dan mahal. 2. Sifat ester metil lebih stabil dan tidak korosif, sehingga pada skala komersial, peralatan proses cukup berbahan konstruksi baja karbon yang jauh lebih murah dibandingkan dengan baja tahan karat yang harus digunakan untuk asam lemak. Disamping itu karena sifat ester metil yang non korosi itu maka lebih mudah pengangkutannya dibandingkan dengan asam lemak.
B.56.3.29
47