perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Desa Pakraman Sukasada
4.1.1 Gambaran Umum Desa Pakraman Sukasada Banyak orang mendengar nama pulau Bali, akan tetapi sebagian besar orang belum
mengenal
Singaraja.
Singaraja
adalah
ibu
kota
Kabupaten
Buleleng, Bali, Indonesia. Di Singaraja terdapat banyak sekali desa pakraman yang mempunyai pemandangan bagus dan eksotis, salah satunya adalah Desa Pakraman Sukasada. Desa pakraman merupakan lembaga tradisional dan dikenal semenjak jaman kerajaan dan keberadaanya dilestarikan dan berkembang baik sampai saat ini. Istilah desa pakraman di Bali dikenal juga dengan nama desa dresta ataupun desa adat yang memiliki wilayah ataupun ruang lingkup yang terdiri dari beberapa dusun/lingkungan/desa dinas yang dikepalai oleh kepala desa, tapi tidak menutup kemungkinan satu desa dinas terdiri dari beberapa desa pakraman. Desa ini merupakan kesatuan dari masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki satu kesatuan tradisi, tata krama pergaulan hidup, dan sosial dalam ikatan hukum adat yang berbeda antara satu desa dengan desa yang lain. Desa pakraman memiliki ikatan turun-temurun di Kahyangan Tiga yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem Setra yang kesemua itu memiliki wilayah-wilayah tertentu dan aset-aset tanah milik desa, sehingga diistilahkan dengan tanah ayah desa (tanah milik desa yang ditempati oleh warga setempat) dan berhak mengurus rumah tangga sendiri. Konsep terbentuknya desa pakraman sungguh sangat mulia tujuannya, yaitu untuk pemersatu masyarakat Bali. Ide ini dicetuskan dan dibentuk oleh Mpu Kuturan di tahun I saka 932 (1001 masehi) lewat pertemuan yang dikenal dengan nama Samuan Tiga, dan pada saat itulah terbentuk dan berdirinya desa pakraman (Dherana, 1995:147). Dalam perkembangannya setelah penjajahan Belanda, ada istilah desa tradisional yang berkembang menjadi desa adat, maka pengertian desa adat dan pakraman menjadi kabur, ada yang masih rancu dan bingung. Hingga pada saat reformasi di tahun 2003, istilah desa pakraman dikembalikan eksistensinya dan kembali commit to user dan dresta itu adalah satu dengan lagi ke konsep aslinya. Sehingga desa adat, pakraman
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
istilah yang berbeda. Harapan semua masyarakat Bali dengan adanya desa pakraman ini menjadikan masyarakat tetap menjaga nilai-nilai adat dan budaya yang adi luhung secara berkelanjutan dan menjadi pilar yang kokoh untuk mewujudkan Ajeg Bali. Bali yang merupakan pulau tujuan wisata Internasional yang pastinya banyak pengaruh budaya-budaya asing yang masuk agar dapat tetap disaring, sehingga Bali ke depan tetap sesuai seperti yang diharapkan. Potensi alam dan budaya dipedesaan yang begitu unik dan hebat tidak akan pernah ada artinya apabila hanya dinikmati oleh masyarakat setempat saja. Keindahan, keunikan dan keanehan yang dimiliki akan tenggelam begitu saja dan tidak akan berkembang menjadi sebuah potensi ekonomi yang sangat berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Jadi, seluruh potensi yang ada di Desa Pakraman Sukasada sudah saatnya untuk diperkenalkan kepada seluruh lapisan masyarakat Bali maupun di luar pulau Bali agar berdaya guna dan memiliki kemanfaatan yang berguna bagi masyarakat sekitar maupun orang lain. Daya saing pariwisata yang justru terbentuk karena keunikan produknya yang tidak dapat “dibeli” di tempat lain dapat dinikmati dalam bentuk keunikan alam, budaya, dan masyarakat di tempatnya (Hermantoro, 2011:111). Pembangunan pariwisata tidak harus selalu yang fisik seperti halnya membangun tempat hiburan, hotel, dan lain-lain, namun sebuah desa yang seluruh penghuni masyarakatnya merupakan aset industri pariwisata yang perlu “dijual” di dalam dan di luar negeri, dengan seluruh keunikan dan keanehan yang mungkin setiap daerah tidak sama. Kesenian rakyat, upacara adat, tata cara kehidupan sehari–hari, berladang dan lain-lainnya menjadi bagian dari potensi pariwisata Desa Pakraman Sukasada. Keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari segi kehidupan sosial, budaya, adat-istiadat, arsitektur bangunan, dan struktur ruang desa sangat potensial sebagai modal budaya untuk dikembangkan menjadi wisata berbasis masyarakat. Wisatawan yang datang ke Desa Pakraman Sukasada dapat menikmati alam pedesaan yang masih bersih dan merasakan hidup di alam desa dengan sejumlah adat dan istiadatnya. Hal ini menunjukkan bahwa, membangun desa wisata sesungguhnya membangun perekonomian berbasis masyarakat, oleh karenanya membangunan desa commit to user wisata harus memberdayakan masyarakat sebagai pemilik desa dan sekaligus pemilik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
industri pariwisata. Sebuah desa wisata akan berkembang dengan baik apabila didukung oleh masyarakat sekitar dan pemerintah, dalam hal ini pemerintah sebagai motivator dan fasilitator, sehingga manfaat pembangunan kepariwisataan akan sangat dirasakan oleh rakyat karena pendapatan asli daerah (PAD) di daerah yang paling besar dan bermanfaat yaitu apa yang langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Sesuai dengan namanya, wisata berbasis masyarakat yang menjadi penggeraknya adalah masyarakat. Masyarakat menjadi pokok, masyarakat yang mandiri, masyarakat yang jauh dari belenggu rendah diri. Masyarakat dalam hal ini lebih cenderung kepada masyarakat yang selama ini hidup dan berkembang di wilayah sekitarnya. Tamu-tamu mereka yang biasa disebut wisatawan bisa menikmati kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, bisa bergaul dengan masyarakat, merasakan sajian makanan dan minuman khas, menikmati alam sekitar dan jenis atraksi yang disuguhkan.
4.1.2 Sejarah Singaraja dan Desa Pakraman Sukasada Pada jaman dahulu kala di Istana Gelgel sekitar tahun 1568 Raja Sri Aji Dalem Sigening menitahkan putranda Ki Barak Sakti, supaya kembali ketempat tumpah darah bundanya di Den Bukit (Bali Utara). Ki Barak Panji bersama bunda Sri Luh Pasek, setelah memohon diri kehadapan Sri Aji Dalem lalu berangkat menuju Den Bukit diantar oleh empat puluh orang pengiring Baginda yang dipelopori oleh Ki Kadosot. Perjalanan mereka memasuki hutan lebat sangat mengerikan, udara yang sangat dingin menggigilkan, menembus celah-celah bukit, mendaki Gunung-gunung meninggi, menuruni jurang-jurang curam, dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yang agak mendatar. Pada tempat itulah mereka melepaskan lelah seraya membuka bungkusan bekal mereka. Sesekali mereka makan ketupat, mereka sembahyang, kemudian mereka diperciki air tirta oleh Sri Luh Pasek demi keselamatan perjalanannya, belakangan tempat itu diberi nama “Yeh Ketipat”. Rombongan Ki Barak Panji telah tiba di Desa Gendis/Panji dengan selamat. Tersebutlah Ki Pungakan Gendis, pemimpin desa yang sekali-kali tidak menghiraukan keluh kesah para penduduknya. Ia memerintah hanya semata-mata untuk memenuhi nafsu buruknya, kesenangannya hanyalah bermain judi, terutama sabungan ayam. Oleh karena demikian sikap pemimpin Desa Gendis itu, maka makin lama makin dibenci commit to user rakyatnya, dan pada saat terjadi peperangan, ia dibunuh oleh Ki Barak Panji.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
Desa Gendis lalu di perintah oleh Ki Barak Panji, seorang pemimpin yang gagah berani, adil dan bijaksana. Ki Barak Panji mendengar adanya kapal layer Tionghoa terdampar, kemudian timbullah rasa belas kasihan untuk menolong pemilik kapal tersebut. Baginda bersama-sama dengan Ki Dumpyung dan Ki Kadosot dapat membantu menyelamatkan kapal layar yang terdampar itu di pantai Segara Penimbangan. Setelah bantuannya berhasil, baginda mendapat hadiah seluruh isi kapal tersebut berupa barang-barang tembikar seperti piring, mangkok, dan uang kepeng yang jumlahnya sangat besar. Kepemimpinan Ki Barak Panji makin lama makin terkenal, beliau selalu memperhatikan keadaan rakyatnya, mengadakan pembangunan di segala bidang baik fisik maupun spiritual. Oleh karena demikian maka penduduk Desa Gendis dan Sekitarnya, secara bulat mendaulat Baginda supaya menjadi Raja, yang kemudian dinobatkan dengan gelar “Ki Gusti Ngurah Panji Sakti”. Untuk mencari tempat yang agak datar, maka Kota Gendis serta Kahyangan Pura Bale Agung-nya di pindahkan ke Utara Desa Panji. Pada tempat yang baru inilah Baginda mendirikan istana lengkap dengan Kahyangan Pura Bale Agungnya guna memenuhi kepentingan masyarakat desanya untuk menghantar persembahyangan di dalam pura maupun upacara di luar pura, serta untuk hiburan-hiburan lainnya, maka baginda membuat seperangkat gamelan gong yang masing-masing di beri nama yaitu sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dua buah gongnya di beri nama Bentar Kedaton. Sebuah bendennya di beri nama Ki Gagak Ora. Sebuah keniknya bernama Ki Tudung Musuh. Teropong bernama Glagah Ketunon. Gendangnya bernama Gelap Kesanga. Keseluruhannya bernama “ Juruh Satukad”. Karena perbawa dan keunggulan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, maka Kyai Alit
Mandala, lurah kawasan Bondalem tunduk kepada Baginda. Kemudian atas kebijaksanaanya maka Kyai Alit Mandala, diangkat kembali menjadi lurah yang memerintah di kawasan Bondalem, Buleleng Bagian Timur. Pada sekitar tahun 1584 Masehi, untuk mencari tempat yang lebih strategis maka Kota Panji dipindahkan kesebelah Utara Desa Sangket. Pada tempat yang baru inilah Baginda selalu bersuka ria bersama rakyatnya sambil membangun dan kemudian tempat yang baru ini di beri nama “ Sukasada”commit yang artinya to user“Selalu Bersuka Ria”. Selanjutnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
di ceritakan berkat keunggulan Ki Gusti Panji Sakti, maka Kyai Sasangka Adri, Lurah kawasan Tebu Salah (Buleleng Barat) tunduk kepada baginda, lalu atas kebijaksanaan beliau maka Kyai Sasangka Adri diangkat kembali menjadi Lurah di kawasan Bali Utara Bagian Barat. Untuk lebih memperkuat dalam mempertahankan daerahnya, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti segera membentuk pasukan yang di sebut “Truna Goak” di Desa Panji. Pasukan ini dibentuk dengan jalan memperpolitik seni permainan burung gagak, yang dalam Bahasa Bali disebut “Magoak-goakan”. Dari permainan ini akhirnya terbentuknya pasukan truna Goak yang berjumlah 2000 orang, yang terdiri dari para pemuda perwira berbadan tegap, tangkas, serta memiliki moral yang tinggi di bawah pimpinan perang yang bernama Ki Gusti Tamblang Sampun dan di wakili oleh Ki Gusti Made Batan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti beserta putra-putra Baginda dan perwira lainnya, memimpin pasukan Truna Goak yang semuanya siap bertempur berangkat menuju daerah Blambang. Dalam pertempuran ini Raja Blambangan gugur di medan perang, dengan demikian kerajaan Blambangan dengan seluruh penduduknya tunduk pada Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Berita kemenangan ini segera di dengar oleh Raja Mataram Sri Dalem Solo dan kemudian beliau menghadiahkan seekor gajah dengan 3 orang pengembalanya kepada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Menundukkan kerajaan Blambangan harus ditebus dengan kehilangan seorang putra Baginda bernama Ki Gusti Ngurah Panji Nyoman, hal yang mengakibatkan Baginda Raja selalu nampak bermuram durja. Hanya berkat nasehat-nasehat Pandita Purohito, akhirnya kesedihan Baginda dapat terlupakan dan kemudian terkandung maksud untuk membangun istana yang baru di sebelah Utara Sukasada. Pada sekitar tahun Candrasangkala “Raja Manon Buta Tunggal” atau Candrasangkala 6251 atau sama dengan tahun caka 1526 atau tahun 1604 Masehi, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti memerintahkan rakyatnya membabat tanah untuk mendirikan sebuah istana di atas padang rumput alang-alang, yakni ladang tempat pengembala ternak, dimana ditemukan orang-orang menanam Buleleng. Pada ladang Buleleng itu Baginda melihat beberapa buah pondok-pondok yang berjejer memanjang, di sanalah beliau mendirikan istana yang baru yang menurut perhitungan hari sangat baik pada commit to user waktu itu jatuh pada tanggal “30 Maret 1604”.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
Selanjutnya, Istana Raja yang baru dibangun itu disebut “Singaraja” karena mengingat bahwa keperwiraan Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti tak ubahnya seperti Singa. Demikianlah hari lahirnya, Kota Singaraja pada tanggal 30 Maret 1604 yang bersumber pada sejarah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, sedangkan nama Buleleng adalah nama asli jagung gambal atau jagung gambah yang banyak ditanam oleh penduduk pada waktu itu.
4.1.3 Letak Geografis Desa Pakraman Sukasada Kabupaten Buleleng/Singaraja terletak di belahan utara Pulau Bali, memanjang dari barat ke timur dan mempunyai pantai sepanjang 144 Km. Secara geografis terletak pada posisi 08° 03’40” - 08° 23’00” LS 114° dan 25’ 55” - 115° 27’ 28” BT. Kabupaten Buleleng berbatasan dengan Kabupaten Jembrana di bagian barat, Laut Jawa/Bali di bagian utara, dengan Kabupaten Karangasem di bagian timur dan di sebelah Selatan berhadapan dengan 4 Kabupaten yaitu: Badung, Gianyar, Bangli, dan Kabupaten Tabanan. Luas Kabupaten Buleleng secara keseluruhan 1.365,88 Km2 atau 24,25 persen dari luas Provinsi Bali. Kabupaten Buleleng merupakan daerah berbukit yang membentang di bagian selatan, sedangkan dibagian utara merupakan dataran rendah. Kabupaten Buleleng juga terdapat gunung berapi dan tidak berapi. Gunung yang tertinggi adalah Gunung Tapak (1903 M) yang berada di Kecamatan Sukasada. Selain itu, di Kabupaten Buleleng terdapat dua buah danau yaitu Danau Tamblingan (110 hektar) yang berada di Kecamatan Banjar, sedangkan Danau Buyan (360 hektar) terletak di Kecamatan Sukasada. Kabupaten Buleleng memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim yang berganti setiap enam bulan dengan curah hujan berkisar antara bulan Oktober-April, sedangkan musim panas berkisar antara bulan April-Oktober. Desa Pakraman Sukasada terletak di Kabupaten Buleleng, tepatnya 21 km sebelah selatan kota Singaraja. Luas wilayah Desa Pakraman Sukasada adalah 7,12 km2 berada pada lereng pegunungan dengan ketinggian 500 - 750 meter dari permukaan laut (mdpl) dan terletak diantara dua bukit besar. Suhu rata-rata di daerah ini antara 20°C sampai 25°C dengan curah hujan sedang hingga 1.500 mm/tahun. Wilayah desa ini memiliki kemiringan tanah sebesar 10 – 30 derajat baik pada pemukiman ataupun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
pada tanah perkebunan, bahkan pada tempat-tempat tertentu lebih dari 45 derajat (lihat gambar 3, diakses pada tanggal 15 April 2015).
Lokasi Penelitian Desa Pakraman Sukasada
Gambar 3: Peta Singaraja, Buleleng. Sumber: www.wisata.balitoursclub.com (diakses pada tanggal 15 April 2015). Adapun letak dan batas-batas wilayah Desa Pakraman Sukasada sebagai berikut. Sebelah Utara, berbatasan dengan kelurahan Beratan. Sebelah timur, berbatasan Desa Sari Mekar. Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Ambengan/Gitgit, dan sebelah barat, berbatasan dengan Desa Sambangan (Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng, web:http://bulelengkab.go.id, email:
[email protected], diakses pada tanggal 15 April 2015) (lihat tabel 1).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Tabel 1: Kondisi Wilayah A. KONDISI WILAYAH : 7,15km2
1.
Luas Wilayah
2.
Batas-batasWilayah
a.
Utara
: Kelurahan Beratan
b.
Selatan
: Desa Ambengan
c.
Timur
: Desa Sari Mekar
d.
Barat
: Desa Sambangan
3. Jarak Pemerintahan Desa ke a.
Kecamatan
:0
b.
Kabupaten
: 1km
c.
Provinsi
: 93km
Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng. (web:http://bulelengkab.go.id, diakses pada tanggal 15 April 2015) Sebagian besar wilayah Kecamatan Sukasada berada pada dataran tinggi, namun pusat pemerintahannya berada pada dataran rendah. Desa Pakraman Sukasada merupakan sebuah desa yang mempunyai hamparan pemandangan yang bagus dan indah untuk dipandang. Adat istiadat, budaya, dan kesenian rakyat menunjukkan kondisi masyarakat yang sangat mentradisi sekali. Salah satu dari keunikan budaya tersebut adalah tajen, memang tajen atau sabung ayam sudah ada di beberapa wilayah di Indonesia, tetapi yang unik di Desa Pakraman Sukasada adalah masyarakat yang ikut melestarikan tajen ini, bukan hanya petaruh saja sehingga tajen dapat menambah keunikan yang bisa ditawarkan kepada wisatawan untuk datang berkunjung ke Desa Pakraman Sukasada.
4.1.4 Demografi Desa Pakraman Sukasada Sebagai desa yang masih tradisional dan selalu menjunjung tinggi awig–awig (aturan
adat) desa,
kehidupan
masyarakat commit to Desa user
Pakraman
Sukasada
selalu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
mengedepankan prinsip persatuan, kesatuan dan kebersamaan. Eratnya hubungan yang terjalin antar individu di Desa Pakraman Sukasada pada dasarnya adalah setiap aspek kehidupan di desa yang selalu berdasarkan adat, tatanan tersebut senantiasa terjaga dengan adanya sistem pemerintahan adat. Jumlah penduduk di Desa Pakraman Sukasada mencapai 8394 orang tahun 2013. Terdiri dari, 3914 orang laki-laki, 4480 orang perempuan, dan 1184 jumlah orang yang sudah berkeluarga. (Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng, web:http://bulelengkab.go.id, email:
[email protected], diakses pada tanggal 15 April 2015), (lihat tabel 2). Tabel 2: Kependudukan B. KEPENDUDUKAN 1. Jumlah Penduduk
: 8.394orang
2. Jumlah Penduduk Laki-Laki
: 3.914orang
3. Jumlah Penduduk Perempuan
: 4.480orang
4. Jumlah Keluarga
: 1.184keluarga
Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng (web:http://bulelengkab.go.id, diakses pada tanggal 15 April 2015) Sistem pemerintahan adat di Desa Pakraman Sukasada sangat demokratis, semua masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin dengan syarat, seseorang tersebut memiliki jiwa kepemimpinan dan bersikap adil kepada semua anggota masyarakat. Keanggotaan desa adat dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu krama desa (keanggotaan inti), krama bumi pulangan, dan krama bumu (Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng, web:http://bulelengkab.go.id, email:
[email protected], diakses pada tanggal 15 April 2015) (lihat tabel 3).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Tabel 3: Lembaga Pemerintahan Desa C. LEMBAGA
ADA
TIDAK
1.
Desa Pakraman
√
3
2.
Banjar Dinas/Lingkungan
√
5
3.
Banjar Adat
√
1
4.
Hansip
√
31
JUMLAH
KETERANGAN
personil 5.
Subak
√
5
6.
Karang Taruna/Muda-
√
1
Mudi/Truna-Truni 7.
Sanggar Seni
Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng (web:http://bulelengkab.go.id, diakses pada tanggal 15 April 2015) Jabatan dalam krama desa dibagi dalam 4 tingkatan, yaitu luanan (sebagai penasehat atau sesepuh desa), Bahan Roras (kelian desa), Tambalapu (menyampaikan informasi kepada warga lainnya.), dan Pengluduan (pelaksana kegiatan). Semua permasalahan
yang
ada
di
Desa
Pakraman
Sukasada
diputuskan
melalui
sangkep (pertemuan/rapat) yang dipimpin oleh kelian desa dengan mengundang krama desa muani
(anggota krama desa laki-laki). Ketika berjalannya proses diskusi,
kesempatan pertama untuk mengemukakan pendapat diberikan pada luanan, kemudian bahan roras dan dilanjutkan oleh pengluduan. Semua pendapat akan ditampung, dibicarakan lagi, dan diputuskan oleh kelian desa. Jika mereka belum bisa mengambil keputusan, sangkep (pertemuan) akan diulang dengan mengundang keliang gumi. Namun jika kelian desa tetap belum bisa memutuskan, maka pengambilan keputusan dilakukan melalui suara terbanyak.
4.1.5 Ekonomi Desa Pakraman Sukasada Desa Pakraman Sukasada secara ekonomi didukung dari berbagai sektor usaha dan sektor pertanian, tanaman pangancommit memiliki kontribusi yang sangat besar dalam to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Komoditi tanaman pangan memberikan kontribusi terhadap sektor pertanian dalam arti luas sebesar 46,77 persen. Komoditi tanaman pangan yang terus dikembangkan dan ditingkatkan produksinya adalah; padi dan palawijaya, sayur-sayuran (bawang merah, bawang putih, bawang daun, kentang, buncis, kubis, petai, sawi, wortel, cabai, tomat, terong, mentimun, kangkung, bayam), dan buah-buahan (alpukat, mangga, rambutan, anggur, duku/langsat, jeruk, durian, sawo, jambu biji, pisang, pepaya, nanas, salak, dan anggur). Peternakan juga berkontribusi terhadap perekonomian daerah. Potensi peternakan di Desa Pakraman Sukasada didukung oleh adanya sumber daya alam berupa lahan sawah, lahan kering, lahan perkebunan sebagai sumber hijau makanan ternak (HMT). Populasi ternak maupun hewan besar maupun kecil yang telah berkembang di Desa Pakraman Sukasada meliputi; sapi potong, sapi perah, kerbau, Babi Bali, babi sadliback, babi landrace, kambing kacang, kambing PE, domba, ayam buras, ayam ras, itik, dan aneka ragam ternak lainnya. Potensi areal lahan perkebunan tahun 2013 seluas 39.160 Ha atau 28,67 persen dari luas wilayah Kabupaten Buleleng (136.588 Ha). Komoditi perkebunan yang menjadi produk andalan adalah; kopi robusta, kopi arabika, jambu mete, cengkeh, kakao, kelapa dan tembakau virgina (lihat tabel 4), (Sumber:
Dinas
Komunikasi
dan
Informatika
Kabupaten
Buleleng,
web:
http://bulelengkab.go.id, email:
[email protected], diakses pada tanggal 15 April 2015). Tabel 4: Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan D. PERTANIAN, PERKEBUNAN DANPETERNAKAN 1. Komoditas Pertanian yang
: Pertanian Padi dan Sayur Mayur
Dikembangkan 2. Komoditas Perkebunan yang
: Tembakau
Dikembangkan 3. Potensi Peternakan yang
: Unggas
Dikembangkan Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng (web:http://bulelengkab.go.id, diakses pada tanggal 15 April 2015)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
4.1.6 Pariwisata yang Ada di Desa Pakraman Sukasada Di Desa Pakraman Sukasada belum mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana yang menunjang untuk dijadikan suatu obyek pariwisata, karena masyarakat Desa Pakraman Sukasada masih sangat minim kesadarannya untuk menjadikan suatu obyek pariwisata, sebagai contoh adalah air terjun Git-git yang minimnya pengelolaan wisata air, padahal air terjun itu sangat bagus sekali, mata air panas banjar yang kurang terkenal, pantai lovina yang memiliki spot diving dan snorkling yang indah. Karena kurangnya promosi pariwisata sehingga banyak turis hanya mampir lalu lewat. Tugu Tri Yudha Sakti saat ini pengelolaannya juga masih sangat kurang, dari segi perawatan dan kebersihannya. Tugu Tri Yudha Sakti yang merupakan tempat bersejarah untuk mengenang para pahlawan dalam perjuangan rakyat Bali untuk mempertahankan daerahnya dari kolonialisme Belanda, yang pada saat itu ingin memecah-belah rakyat Bali pasca proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Disamping itu, lokasi monumen jauh dari keramaian, sehingga sangat cocok untuk dijadikan tempat untuk persembahyangan dan kemah spiritual untuk mencari ketenangan dan kedamaian (lihat tabel 5), (Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng, web:http://bulelengkab.go.id, email:
[email protected], diakses pada tanggal 15 April 2015). Tabel 5: Pariwisata Desa Pakraman Sukasada. E. PARIWISATA a. Wisata Alam
ADA TIDAK JUMLAH √
-
b. Wisata Budaya
√
-
c. Wisata Kuliner
√
-
d. Wisata Bahari
√
e. Tugu Tri Yudha Sakti
√
KETERANGAN Kurang Terawat
Kurang Terawat
Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng (web:http://bulelengkab.go.id, diakses pada tanggal 15 April 2015) Dalam pengembangan pariwisata, perlu ditingkatkan langkah-langkah yang terarah dan terpadu terutama mengenai pendidikan tenaga-tenaga kerja dan perencanaan pengembangan fisik. Kedua hal tersebut hendaknya saling terkait, sehingga commit to user pengembangan tersebut menjadi realistis dan proporsional. Dalam buku yang di tulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
Yoeti (1985: 164), suatu obyek pariwisata harus memenuhi tiga kriteria agar obyek tersebut diminati pengunjung, yaitu sebagai berikut. 1) Something to see adalah obyek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa di lihat atau di jadikan tontonan oleh pengunjung wisata. Dengan kata lain obyek tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang mampu untuk menyedot minat dari wisatawan untuk berkunjung di obyek tersebut. 2) Something to do adalah agar wisatawan yang melakukan pariwisata di sana bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk memberikan perasaan senang, bahagia, relax berupa fasilitas rekreasi, baik itu arena bermain ataupun tempat makan, terutama makanan khas dari tempat tersebut sehingga mampu membuat wisatawan lebih betah untuk tinggal di sana. 3) Something to buy adalah fasilitas untuk wisatawan berbelanja yang pada umumnya adalah ciri khas atau icon dari daerah tersebut, sehingga bisa dijadikan sebagai oleh-oleh. Suatu tempat atau keadaan alam yang sangat menarik pasti sangat dinikmati oleh wisatawan pada umumnya. Objek wisata yang mempunyai potensi dan daya tarik wisata yang baik harus terus dibangun dan dikembangkan, sehingga mempunyai daya tarik agar wisatawan puas akan objek wisata yang dikunjunginya. Potensi dan daya tarik wisata di dalam objek wisata yang berwujud pada ciptaan Tuhan Yang Maha Esa adalah keadaan alam, beserta flora dan faunanya.
4.2
Bentuk Tajen di Desa Pakraman Sukasada Sudah sejak lama tradisi sabung ayam sudah tumbuh dan berkembang di Bali,
awalnya berkembang dari rangkaian upacara dewa yajna
yang dinamakan
upacara Tabuh Rah, yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol/syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan atau keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual buta yajna dimana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya. Kemudian terjadi pergeseran makna ritual tabuh rah, yang kemudian mengarah kepada judi atau yang disebut dengan commit to user tajen. Tajen dan tabuh rah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
dikembangkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, walau sebenarnya tajen dan tabuh rah berada pada nilai yang berbeda. Untuk dapat lebih memahami tentang tabuh rah dan bentuk tajen terutama di Desa Pakraman Sukasada pada sub bab ini perlu dipaparkan dua hal penting, yaitu; (1) tinjauan tentang tabuh rah, dan (2) bentuk tajen di Desa Pakraman Sukasada.
4.2.1 Tinjauan Tentang Tabuh Rah Tabuh rah secara etimologis berasal dari kata majemuk tabuh dan rah. Tabuh sama artinya dengan tabur, sedangkan rah artinya darah, jadi tabuh rah berarti menaburkan darah. Tabuh rah merupakan ritual keagamaan (yajna) yang ditandai dengan taburan darah binatang sebagai pemberian persembahan kepada bhuta dan kala (makhluk gaib yang sifatnya merusak) agar mereka tidak mengganggu umat manusia (Tinggen, 2001:1). Tabuh rah biasanya dilakukan dengan beberapa cara dan selalu berhubungan dengan upacara bhuta yajna atau yang biasa disebut dengan mecaru (membuat upacara korban). Bhuta yajna sering dilakukan dengan cara mecaru karena makna dari upacara bhuta yajna adalah mengharmoniskan unsur-unsur Panca Maha Bhuta di Bhuana Agung dan Bhuana Alit, Ginarsa (Mertha, 2010:14). Unsur-unsur Panca Maha Bhuta merupakan lima unsur yang menyusun alam semesta, seperti pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa/ether. Pertiwi adalah sesuatu di sekitar kita yang mewujud, berbentuk, dan dapat dirasakan seperti besi, logam, kayu, dan lain sebagainya, biasanya pertiwi lebih dikenal dengan tanah. Apah adalah segala sesuatu yang lentur, mengalir, fleksibel, luwes, mendinginkan, dan tidak memiliki bentuk yang kokoh, secara nyata wujud apah adalah elemen air. Teja merupakan elemen api, yang dapat menghasilkan panas dan cahaya. Bayu merupakan sesuatu yang menaungi atau melingkupi jagat raya. Bentuk dari elemen bayu adalah angin yang melingkupi bumi. Akasa/ether merupakan unsur ruang kosong, dengan kata lain alam tempat tinggal seluruh makhluk hidup, Ginarsa (Mertha, 2010:16-17). Tabuh rah dilaksanakan dengan perantara hewan yang berhubungan erat dengan kehidupan manusia seperti bebek, kerbau, ayam, dan masih banyak lagi. Media yang sering digunakan dalam ritual tabuh rah adalah ayam (ayam jantan), karena ayam memiliki bermacam-macam warna, baik yang memiliki satu macam warna maupun warna commit to user campuran. Begitu juga dengan bhuta dan kala memiliki warna yang dapat disimbolkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
dengan berbagai warna ayam (Hidayat, 2011:30). Ayam yang dipilih tidak sembarangan dan harus sesuai dengan caru panca sata, yaitu upacara korban yang memiliki lima warna ayam yang masing-masing berwarna putih, merah, siungan (ayam putih yang paruh dan kakinya berwarna kuning seperti burung siung), hitam, dan brumbun (ayam yang warna bulunya campuran, yaitu putih, merah, kuning, hijau, dan hitam). Seperti tabel di bawah ini. Tabel 6: Ketentuan Caru Panca Satha No
Ayam
Arah
Urip
Warna
Bhuta
Dewa
Askara
1
Putih
Timur
5
Putih
Jangitan
Iswara
Sa (sang)
2
Biying
Selatan
9
Merah
Langkir
Brahma
Ba (bang)
3
Putih
Barat
7
Kuning
Lembukanya
Maha
Ta (tang)
siungan
Dewa
4
Hitam
Utara
4
Hitam
Taruna
Wisnu
A (ang)
5
Brumbun
Tengah
8
Panca
Tiga
Sakti
I (ing)
Warna
Siwa
Sumber: (Arista, 2011:7) Ayam yang telah dipilih sesuai dengan warnanya (melambangkan bhuta dan kala), yaitu bhuta putih yang bersemayan di timur diberi suguhan korban ayam yang bulunya berwarna putih, bhuta bang (merah) yang bersemayam di barat diberi suguhan korban ayam yang bulunya berwarna hitam, dan bhuta panca warna yang bersemayam di tengah-tengah diberi suguhan korban ayam berwarna brumbun (Mertha, 2010:17). Awalnya, ritual tabuh rah menggunakan darah manusia, namun lambat laun berubah menggunakan darah binatang (karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan) (Tinggen, 2001:5). Darah manusia dipersembahkan kepada dunia gaib atau kekuatan besar dari alam yang dianggap sebagai roh. Selain digunakan sebagai persembahan, darah dianggap sebagai penebusan dosa dan dapat mempererat hubungan antara manusia dengan alam semesta (salah satu hubungan dalam Tri Hita Karana) (Tinggen, 2001:6). Tabuh rah umumnya diadakan di tempat pecaruan berlangsung dan dalam pelaksanaannya dengan cara perang sata (adu tanding). Namun yang perlu diperhatikan commit to user dalam ritual tabuh rah adalah hanya dilakukan tiga sehet (tiga kali pertandingan) dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
tidak boleh lebih dari itu (Tinggen, 200:6). Adapun maksud dilakukannya tiga pertandinagn tersebut adalah agar nantinya darah yang jatuh kepertiwi (tanah) sebanyak tiga kali. Darah yang menetes tersebut dihaturkan pada tiga bhucari, yaitu darah yang pertama dipersembahkan pada Dhurga Bhucari, percikan darah yang kedua dipersembahkan pada Kale Bhucari, dan percikan darah yang terakhir dipersembahkan pada Bhuta Bhucari (Widyana, 2013:51). Ritual tabuh rah dapat dilakukan dengan berbagai hal, salah satunya dengan cara perang sata yaitu mengadu ayam yang satu dengan ayam yang lainnya sampai salah satu meneteskan darah ke pertiwi (tanah). Cara melaksanakan perang sata adalah dua ayam jago dipilih terlebih dahulu, kemudian dipasangkan alat berbentuk pisau kecil (taji) yang diikat dengan benang dan diletakan di kaki ayam tersebut setelah itu kedua ayam tersebut diadu di arena. Sebelum benar-benar dilepaskan di arena, kedua ayam tersebut berhadapan satu sama lain, dihadap-hadapkan (diadu) tetapi belum dilepaskan di arena (pura-pura), setelah kedua ayam terlihat marah barulah keduanya diadu di arena. Taji yang dipasang pada ayam tersebut berfungsi sebagai alat yang membuat ayam jago tersebut mengeluarkan darah pada saat diadu. Selain perang satha, persembahan dapat dilakukan dengan cara ayam disembelih lehernya hingga mengeluarkan darah, adapula dengan cara kerbau hitam yang telah diupacarai diikat di pohon kemudian ditusuk menggunakan keris khusus. Menurut kepercayaan umat Hindu, ayam yang dijadikan Yajna nantinya akan naik derajatnya pada reinkarnasi yang selanjutnya dan menjadi binatang dengan derajat yang lebih tinggi atau menjadi manusia.
4.2.1.1 Ritual Agama Hindu yang Memakai Tabuh rah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (beraneka ragam), bentuk dari kemajemukan ini salah satunya diwujudkan dalam beraneka ragam ritual keagamaan dan upacara-upacara suci pada setiap suku dan wilayah tempat tinggal. Ritual keagamaan maupun upacara suci memiliki bentuk, cara, dan tujuan yang berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Ritual merupakan seperangkat tindakan yang selalu melibatkan aspek agama dan kekuatan magis yang dimantapkan oleh tradisi, sedangkan commit to user upakara merupakan gerakan atau pelaksanaan dari rangkaian perbuatan atau upacara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
pada pelaksanaan yajna (upacara pengorbanan) yang dianggap suci (Nugroho, 2010:1). Bagi masyarakat Hindu, kegiatan ritual khususnya ritual keagamaan sangat penting bagi kehidupan mereka. Ritual keagamaan merupakan perwujudan dari aktifitas-aktifitas manusia atau tindakan manusia untuk menunjukkan kebaktian sekaligus menjalin komunikasi dengan Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, dan makhluk-makhluk gaib lainnya yang mereka percayai. Ritual keagamaan secara simbolik menggambarkan tujuan manusia dalam mencari keselamatan dan ketenangan secara spiritual. Pelaksanaan ritual keagamaan dilakukan secara khidmat, hati-hati, dan bijaksana karena tindakan dan rangkaian kegiatan tersebut merupakan sesuatu yang suci, baik upacara maupun upakaranya. Semua tindakan manusia selalu berkaitan dengan ritual, di manapun mereka berada dan bagaimana tipe dari manusia tersebut. Beberapa ritual diurai sebagai sebuah kebudayaan karena merupakan ciptaan, tindakan, atau kebiasaan dalam masyarakat. Di Bali, ritual keagamaan dianggap sebagai kegiatan rutinitas yang dilakukan masingmasing anggota masyarakat. Setiap hari mereka melakukan kegiatan upakara ritual yang berkaitan dengan agama, seperti memberikan persembahan dalam bentuk banten/sesajen di dalam rumah, halaman, dan sanggah mereka. Tujuan dari persembahan tersebut adalah agar rumah dan pekarangannya diberikan perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, serta memberikan ketenangan bagi setiap anggota keluarga. Sanggah atau merajan merupakan tempat suci untuk beribadah bagi suatu keluarga tertentu. Sanggah berasal dari kata sanggar yang artinya tempat suci, dan merajan berasal dari kata praja yang artinya keluarga. Secara singkat etnis Bali Hindu menyebut tempat persembahyangan keluarganya dengan sebutan sanggah atau merajan. Di sanggah atau merajan sering diadakan upacara ritual keagamaan, seperti piodalan atau pujawali yang dilaksanakan setiap tahun, sesuai dengan perhitungan kalender saka Bali. Kegiatan ritual keagamaan juga dilakukan saat upacara atau acara-acara besar umat Hindu seperti nyepi, galungan, kuningan, saraswati, siwa ratri, dan hari besar lainnya. Hari-hari perayaan tersebut memiliki makna dan fungsi yang berbeda-beda, seperti contoh galungan. Galungan merupakan hari raya umat Hindu sebagai ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terciptanya dunia dan isinya. Dari berbagai hari besar umat Hindu tersebut, beberapa diantaranya menggunakan ritual commit to user tabuh rah seperti nyepi, piodalan atau pujawali yang diadakan di pura.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
Nyepi merupakan hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun baru Saka berdasarkan penanggalan/kalender saka yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Umat Hindu merayakan hari raya nyepi mulai tiga hari sebelum hari H, sampai beberapa hari sesudah hari nyepi. Sehari sebelum nyepi, yaitu saat Tilem Sasih Kesanga (bulan mati yang ke 9) umat Hindu melaksanakan upacara bhuta yajna yang diikuti oleh semua masyarakat, mulai dari keluarga, warga banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya. Masing-masing
lapisan
masyarakat
memberikan
persembahan
sesuai
dengan
kemampuan ekonomi yang dimiliki. Persembahan melalui pecaruan yang dikorbankan merupakan nyomya, yaitu persembahan yang dapat menetralisir kekuatan negatif bhuta kala agar segala kekotoran (leteh) yang menyebabkan bahaya dapat hilang (Noviasih, 2002:30). Umat Hindu merayakan nyepi dengan cara tidak melakukan aktivitas apapun seperti biasanya. Pada hari itu, suasana tampak seperti mati atau tak berpenghuni karena mereka melakukan catur brata penyepian, yang terdiri dari amati geni atau tidak menghidupkan api, amati karya atau tidak bekerja, amati lelungan atau tidak berpergian, dan amati lelanguan atau tidak bersenang-senang. Selain pada hari nyepi, acara lain yang menggunakan tabuh rah adalah piodalan atau pujawali. Piodalan merupakan upacara Dewa Yajna, terutama saat piodalan di sanggah atau merajan. Perayaan semacam ini diartikan sebagai bentuk perenungan atas kekurangan diri seseorang karena kemampuan manusia yang terbatas, sehingga dapat mendekatkan diri kepada para leluhur, dewa atau betare yang berada pada sanggah atau merajan di setiap rumah. Upacara piodalan yang dilaksanakan di sanggah atau merajan tidak sebesar seperti yang dilaksanakan di pura (karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit), sehingga piodalan di sanggah tidak menggunakan tabuh rah, namun digantikan dengan persembahan telur. Piodalan yang menggunakan ritual tabuh rah biasanya dilakukan di pura. Istilah pura berasal dari bahasa sansekerta yang artinya kota atau benteng. Pura merupakan tempat ibadah umat Hindu, yaitu tempat untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Yang dimaksud dengan pura adalah sebuah tempat yang dipandang suci atau yang disucikan oleh umat Hindu dalam suatu acara tertentu (Ambara, 2006:21). Acara-acara seperti nyepi dan piodalan dilengkapi dengan pemberian sesajen commit to user (umat Hindu menyebutnya dengan istilah banten). Banten berasal dari kata bang yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
artinya Brahma dan enten yang artinya ingat atau yang dibuat sadar. Banten merupakan alat bantu dalam pemujaan. Sesajen atau banten yang biasanya ada saat ritual keagamaan diantaranya daun, bunga, buah, air, dan api. Fungsi dari banten sendiri adalah sebagai ucapan terimakasih dan alat perantara untuk berkomunikasi kepada Shang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu, banten juga dimanifestasikan sebagai alat pensucian dan sebagai pengganti mantra. Banten selalu berhubungan dengan upacara keagamaan, terutama agama Hindu. Menurut Smith dalam teorinya berpendapat bahwa, terdapat tiga gagasan dalam religi atau agama, yaitu; pertama, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama. Kedua, bagi para pemeluk agama upacara religi atau keagamaan yang dilaksanakan warga masyarakat secara bersamasama mempunyai fungsi sosial untuk menjaga solidaritas mereka. Ketiga, fungsi persembahan (bersaji) dalam upacara keagamaan Smith (Widnyana, 2013:9). Dalam upacara keagamaan dimana manusia menyajikan sebagian dari tubuh binatang, terutama darah, kemudian dipersembahkan kepada dewa, roh nenek moyang, dan makhluk gaib lainnya. Bagi agama Hindu, dewa-dewa dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, sehingga selama melaksanakan upacara keagamaan selalu dilakukan dengan khidmat, keramat, dan penuh hati-hati. Di dalam fungsi sesaji yang bentuknya menyajikan darah binatang kepada para dewa, maksudnya adalah untuk menjalin hubungan atau bentuk solidaritas manusia kepada para dewa. Berdasarkan konsep ini, dapat disimpulkan bahwa suatu upacara agama yang bersifat religius harus memiliki keyakinan untuk menjaga hubungan yang harmonis, antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam dapat diwujudkan dalam bentuk sesaji. Dengan adanya sesaji yang dipersembahkan, maka akan ada sebuah tingkat kepuasan tersendiri dari pelaku yang melaksanakan ritual keagamaan dan meyakini bahwa upacara yang mereka lakukan benar-benar diterima oleh para dewa. Menurut Purwita (1978:4) munculnya tabuh rah seperti menjadi kelaziman dalam melakukan upacara bhuta yajna di Bali, rupa-rupanya berpangkat kepada suatu corak upacara berkorban pada jaman purba. Tradisi masyarakat Bali yang berakar pada ajaran agama Hindu melahirkan suatu tradisi yang erat kaitannya dengan yajna. Menurut Parisada Hindu Dharma (Jaya, 2013:5), menyatakan tri kerangka dasar agama Hindu commit to user yang terdiri dari ajaran tattwa atau filsafat agama Hindu, ajaran susila atau etika agama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
Hindu, dan upacara atau ritual agama Hindu yang kesemuanya berkaitan dengan penerapan ajaran ritual, salah satunya adalah tabuh rah. Seiring perkembangan jaman, tabuh rah yang semulanya untuk persembahan dewa/dewa yajna telah mengalami pergeseran makna. Adapun pergeseran maknanya berupa kegiatan judi yang dilakukan yaitu kegiatan tajen. Tajen merupakan suatu ajang yang mempertontonkan aksi tarung ayam jago. Ayam-ayam tersebut dipertaruhkan kekuatannya dan dijadikan sebagai taruhan yang berupa uang, sehingga stereotip tajen tidak terlepas dari kegiatan yang erat kaitannya dengan judi. Pegeseran makna semula yang sekiranya hanya untuk persembahan atau yajna, karena berbagai faktor berubah menjadi tradisi judi. Perubahan tersebut tentunya tidak terlepas dari masyarakat itu sendiri. Kebangkitan Hindu di Nusantara juga akan menghilangkan secara berangsur-angsur “budaya tajen”, karena tajen sebagai permainan judi memang dilarang dalam ajaran Hindu. Belum lagi menyiksa binatang yang digolongkan dalam himsa karma, perbuatan yang sangat nista (Setia, 2006:197). Namun, tajen yang seringkali dianggap sama dengan ritual tabuh rah oleh sebagian masyarakat, menjadikan hal tersebut pembenaran. Konteks pembenaran dalam hal disini yaitu pergeseran makna persembahan kepada pencipta, bergeser menjadi kenikmatan untuk penikmat tajen/bebotoh. Dengan adanya bebotoh, memberikan peluang bagi sebagian masyarakat Desa Pakraman Sukasada tanpa berpikir panjang dalam mendapatkan dana untuk pembangunan banjar di Desa Pakraman Sukasada.
4.2.2 Bentuk Tajen di Desa Pakraman Sukasada Tajen berasal dari kata taji yang dalam bahasa Indonesia berarti tajam (dengan makna sesuatu yang runcing), benda runcing tersebut berupa pisau kecil. Taji atau pisau kecil inilah yang nantinya akan dipasang pada kaki ayam yang akan diadu. Tajen merupakan pertarungan sabung ayam yang di dalamnya mengandung unsur perjudian dan tidak ada unsur ritual keagamaannya sebagai salah satu bentuk hiburan yang disertai taruhan uang. Taruhan uang itu sendiri dalam agama Hindu adalah judi atau dyuta, sedang menyebabkan matinya ayam atau makhluk untuk kesenangan semata didalam ajaran agama hindu dinamai himsa karma yang tidak baik dilakukan oleh setiap orang yang berusaha untuk mengamalkan dharma. Namun, sebagian masyarakat Bali ada yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
menganggap bahwa tajen merupakan bagian dari ritual keagamaan yang boleh dijalankan. Permainan judi tajen kalau kita kaji terdiri dari dua suku kata yaitu “judi” dan “tajen”. Dalam Ensiklopedia Indonesia (Sumber www.EnsiklopediaIndonesia.tajen.com yang diakses pada tanggal 15 April 2015), judi diartikan sebagai suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya. Sedangkan Kartini Kartono (2007:65) mengartikan judi adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan
tertentu
pada
peristiwa-peristiwa
permainan,
pertandingan,
perlombaan, dan kejadian-kejadian yang belum pasti hasilnya. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, perjudian sudah dikenal dan digemari sebagian masyarakat di beberapa daerah sehingga perjudian telah menjadi kebiasaan bahkan tradisi bagi penggemarnya. Judi diartikan sebagai suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari suatu pertandingan atau permainan yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya. Menurut Kitab Undang-undang Pidana Pasal 303 ayat (3) sebagai berikut. “Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertarungan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”. Professor Nyoman Sirtha dari Universitas Udayana menjelaskan, tajen di Bali bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yakni tabuh rah, tajen terang dan tajen branangan (artikel
Raden
Muhamad
Arie
Andhiko
Ajie, https://icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-02-21.pdf. Yang diakses pada tanggal 15 April 2015 hal 252). Tabuh rah adalah ritual agama Hindu yang sebenarnya, biasanya ditemui dalam upacara bhuta yajna. Sedangkan tajen terang merupakan bentuk tajen yang didukung oleh desa adat dengan tujuan untuk menggalang dana bagi pelaksanaan upacara maupun pembangunan. Pada tajen terang, unsur judinya sudah ada, tetapi dianggap tidak terlalu penting, sebab yang lebih diutamakan adalah sisi hiburannya. Berdasarkan hukum adat, tajen terang tidak dilarang, bahkan setiap desa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
adat memiliki awig-awig yang mengatur tata cara tajen meski tidak tertulis. Jenis tajen yang dianggap buruk adalah tajen branangan, sebab pada tajen ini tujuan utamanya adalah bermain judi, jadi pelaksanaannya memang sembunyi-sembunyi. Di sumber yang sama, seorang bebotoh (pelaku tajen yang bertaruh) bernama Nyoman Raka menerangkan bahwa, pembagian tajen menjadi terang dan branangan tidak begitu berarti, sebab di keduanya sama-sama ada judinya. Bahkan menariknya, jumlah taruhan di tajen terang justru sangat tinggi, bisa mencapai puluhan juta rupiah, sedangkan di tajen branangan hanya ratusan ribu rupiah, karena yang mengikutinya hanya bebotoh kelas teri. Bentuk tajen di Desa Pakraman Sukasada tidak banyak berbeda dengan tajen pada umumnya di Bali, tajen di Desa Pakraman Sukasada termasuk jenis tajen branangan, karena tidak mendapat izin dari tetua adat atau kepala adat Desa Pakraman Sukasada. Arena tajen di sebut dengan kalangan, di tempat inilah masyarakat/bebotoh pecinta tajen berbaur dengan yang lainnya, keberadaan bebotoh amat menentukan ramai-tidaknya tajen, bahkan tajen dan bebotoh ibarat dua sejoli yang tak terpisahkan. Arena tajen sering diramaikan teriakan-teriakan istilah yang tak lazim, antara lain; gasal, cok, pada, telude, apit, dan kedapang. Teriakan-teiakan di tempat permainan tajen di Bali pada umumnya semua sama, tidak terkecuali di desa pakraman Sukasada. Tajen yang sudah lama tumbuh dan berkembang di Pulau Bali (sejak belasan generasi sebelumnya) hingga saat ini telah merasuk ke sebagian warga di Bali, terutama kaum laki-laki, bagi kaum laki-laki tajen dianggap sebagai simbol kemaskulinan mereka. Pelaku atau pemain tajen disebut dengan bebotoh atau pakembar. Bebotoh atau pakembar berfungsi sebagai pemegang ayam sebelum ayam diadu. Bebotoh atau pakembar harus dapat memiliki keahlian dalam melihat atau membaca situasi apabila bebotoh atau pakembar tersebut ingin memenangkan permainan tajen. Pelaksanaan dari permainan tajen ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perang sata dalam melaksanakan ritual tabuh rah. Pertama kali sebelum memulai pertandingan, bebotoh atau pakembar terlebih dahulu mengikat/memasangkan taji di kaki ayam yang akan diadu. Seperti pernyataan di atas, taji yang dalam bahasa Indonesia berarti tajam (dengan makna sesuatu yang runcing). Benda yang runcing tersebut berupa pisau kecil. Taji atau pisau kecil inilah commit to user yang nantinya akan dipasang pada kaki ayam yang akan diadu (lihat gambar 4).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
Gambar 4: Bebotoh yang Sedang Memasang Taji Dokumentasi: Made Prasta (10 Agustus 2014) Taji merupakan pisau cukur yang tajam atau pedang-pedang baja yang lurus, yang panjangnya empat atau lima inci. Taji dipasang dengan cara melilitkan seutas tali panjang di kaki ayam jago. Bagi masyarakat Bali, taji diasah hanya saat gerhana bulan dan bulan tidak penuh, taji yang telah diasah harus disimpan dengan baik dan tidak boleh terlihat oleh perempuan. Setelah taji dipasang, kemudian kedua ayam berhadapan satu sama lain di dalam pusat ring pertandingan. Sesudah bebotoh atau pakembar memasangkan taji,
kemudian
harus
memperkenalkan ayamnya
dengan
cara
mengelilingi arena. Sebutir kelapa yang telah dilubangi di tengahnya diletakan di dalam seember air, kira-kira dua puluh satu detik (ceng) lamanya kelapa itu tenggelam. Ceng merupakan tanda memulainya sebuah pertarungan sabung ayam dan di akhiri dengan bunyi gong. Selama dua puluh satu detik tersebut atau saat pertandingan berlangsung, para pemain tidak boleh menyentuh ayam jago mereka. Tajen biasa dilakukan di tempat khusus, yang disebut sebagai kalangan yakni to user sebuah arena yang dilengkapi dengan commit kursi yang dibuat berundak-undak menurun ke
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
tengah serta pembatas panggung penonton yang terbuat dari bambu dengan ukuran 50×50 meter, memiliki atap yang terbuat dari bambu dan ditutupi oleh terpal. Arena tajen berbentuk bujur sangkar dengan sisi sepuluh kaki orang dewasa (lihat gambar 5).
Gambar 5: Gambar lapangan Permainan Judi Tajen Dokumentasi: Made Prasta (10 Agustus 2014) Kedua bebotoh atau pakembar kemudian membawa ayam mereka ke tengahtengah arena, sehingga kedua ayam akan saling berhadap-hadapan, kemudian kedua ayam tersebut diadu namun tidak dilepaskan (berpura-pura). Bebotoh yang ingin mendapatkan “musuh” biasanya meneriakkan sistem taruhan yang dipilih dari tempatnya, tanpa perlu berkeliling arena, maka yang menimpali teriakannya akan menjadi lawan taruhan. Gasal adalah sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat. Cok, sistem taruhan tiga lawan empat, pada (sama) adalah taruhan satu lawan satu. Telude, dua banding tiga, apit menggunakan satu banding dua, sedangkan kedapang, sembilan banding sepuluh. Bebotoh pun dapat menggunakan jari tangan sebagai isyarat sistem taruhan yang ia inginkan. Maka lawan yang berminat pun membalas dengan isyarat serupa. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai “petarung unggulan”, seseorang yang meneriakkan “cok” berarti memegang ayam yang menjadi lawan si unggulan. Syaratnya, kalau menang ia akan mendapatkan uang sebesar taruhan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
sedangkan kalau kalah ia hanya membayar tiga perempat dari jumlah taruhan yang disepakati. Jenis ayam yang digunakan mulai dari ayam kampung biasa, kemudian meningkat ke ayam keker, bekisar, dan bahkan ayam bangkok. Apabila dulu ayam hanya diberi makanan dari ketela (singkong), namun sekarang yang diberikan adalah nasi, jagung dan konsentrat yang memiliki kandungan gizi tinggi yang lebih bagus. Selain itu, beberapa ayam jago diberikan obat kuat tambahan (supplement) sebelum diadu di arena tajen sehingga mampu mematikan lawannya dalam sekejap. Begitu juga dengan alat pertaruhannya, apabila mungkin dahulu bertaruh menggunakan pis bolong namun sekarang menggunakan uang sungguhan (Subadra, 2008:2). Ada tiga golongan pemain dalam permainan sabung ayam menurut mentalnya (Hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Udayana dalam Mertha, 2001:35), yaitu. 1.
Pemain profesional, adalah para pemain yang memandang sabung ayam sebagai lapangan pekerjaan sehari-hari dan selalu aktif melakukan permainan sabung ayam.
2.
Pemain amatir, adalah pemain yang menganggap permainan sabung ayam sebagai hiburan dan kesenangan belaka dan bagi mereka sabung ayam merupakan hal yang menyenangkan.
3.
Pemain pelarian atau insidental, adalah pemain yang melakukan sabung ayam sebagai pengadu nasib. Pemain ini menganggap sabung ayam sebagai permainan yang tidak baik, namun karena desakan ekonomi keikutsertaan dalam permainan sabung ayam hanya sebagai pelarian. Permainan tajen khususnya di Desa Pakraman Sukasada memiliki sistem
taruhan agar permainan mereka lebih menarik. Di dalam sabung ayam, pertaruhan atau yang sering orang Bali menyebutnya dengan toh, taruhan pusat tunggal di tengahtengah di antara uang-uang pokok (toh ketengah) adalah taruhan resmi yang dibatasi lagi dengan jaringan aturan-aturan dan dibuat diantara kedua pemilik jago dengan wasit sebagai pengawas dan saksi public, dalam tajen pun ada wasit yang disebut saya. Di setiap tajen ada empat saya yang bertugas yakni saya kemong, ketek, garis, dan lap. Saya kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong. Saya kemong commit to user paling tinggi jabatannya, ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Jika salah seekor ayam aduan sudah terkapar, bebotoh yang kalah akan menghampiri lawan untuk menyerahkan uang taruhan. Di dalam metajen ini pun terdapat suatu kesportifitasan antar sesama bebotoh, mereka yang kalah dengan sportif mengaku kalah dengan menyerahkan uang kepada sang pemenang, dan disinilah letak kekhasan yang terdapat pada permainan tajen. Tajen sifatnya dinamis dan selalu mengikuti perkembangan jaman, hal ini sejalan dengan teori strukturasi Anthony Giddens bahwa manusia adalah subyek yang aktif dan kreatif (Giddens, 2009:94). Giddens menolak pendapat bahwa manusia adalah boneka ciptaan aturan-aturan dan struktur-struktur eksternal, menurutnya struktur berada di luar individu. Struktur memiliki keberadaan yang sebenarnya dalam pola-pola pikir berisi aturan-aturan dan sumber-sumber (pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan praktis) yang
diperoleh
seseorang
melalui
sosialisasi
(Giddens,
2009:95).
Manusia
memproduksi tatanan sosial karena kebutuhan akan kepercayaan dan rasa takut akan ketidakpastian. Keinginan ini disebut keamanan ontologis. Kehidupan sosial dibuat rutin dan konvensional sehingga setiap orang merasa aman (Sutrisno, 2005:187-188). Sebagaimana uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tajen merupakan bentuk dari tabuh rah yang terstruktur dan berpola dalam lintas ruang dan waktu yang di rubah oleh agen atau yang disini disebut bebotoh. Realitas-realitas tersebut menunjukkan bahwa struktur yang dibuat oleh bebotoh yaitu tajen dilakukan secara berulang atau secara rutin diselenggarakan sebagai bentuk eksis dalam praktik-praktik sosial yang direproduksi oleh agen/bebotoh. Tajen di Desa Pakraman Sukasada sekarang ini adalah tajen yang bernuansa judi dan menjadi sebuah taruhan dengan menggunakan materi uang, sehingga tajen yang sekarang dilakukan Desa Pakraman Sukasada merupakan perjudian murni bukan yajna. Namun, tajen memiliki satu-kesatuan sudut pandang dari masyarakat bahwa aktivitas tersebut masih merupakan bagian dari suatu aktivitas yang menyenangkan bagi para bebotoh yang ada sejak dahulu.
4.2.2.1 Kehidupan di Arena Tajen Penyelenggaraan tajen di suatu arena tidak hanya menjadi sarana bagi pemilik ayam dan para bebotoh, melainkan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam kehidupan penyelenggaraan tajen. Tajen bagaikan dua mata sisi uang, disatu sisi tajen merupakan commit to user suatu bentuk kriminal, disisi lainnya tajen dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
mencari nafkah dan penggalian dana. Seringkali dijumpai setiap ada penyelenggaraan tajen di suatu arena, selalu terdapat kios-kios yang disediakan untuk tempat berjualan, tersedianya tempat berjualan tentu dimanfaatkan oleh pedagang, baik dari Desa Pakraman Sukasada maupun dari luar desa. Biasanya, jenis makanan dan minuman yang dijual oleh pedagang. Selain pedagang di kios-kios, pedagang acung pun memanfaatkan acara ini untuk mencari nafkah dari kehidupan tajen. Jasa lainnya yang ditawarkan di tempat sekitar arena tajen adalah tukang pijat dan jasa peminjam uang atau rentenir. Selain pedagang, keunikan lainnya dari setiap pelaksanaan tajen adalah adanya rentenir perempuan yang juga mencari nafkah di acara tersebut. Keunikan tersebut menunjukkan bahwa acara tajen yang didominasi oleh kaum laki-laki, ternyata juga dihadiri oleh kaum perempuan, adanya kaum perempuan yang ikut mencari nafkah di arena tajen tersebut menunjukkan adanya kesetaraan gender. Konteks kesetaraan gender yang dimaksud adalah bahwa laki-laki dan perempuan turut serta dalam pelaksanaan acara tajen tersebut. Secara tidak langsung stereotif yang menyatakan bahwa perempuan harus bekerja di ranah domestik (mengurus dapur, anak dan rumah tangga), dibantah dengan adanya perempuan yang turut serta dalam arena tajen tersebut. Sebaliknya, dengan adanya rentenir perempuan yang ikut mencari nafkah di arena tajen tersebut menunjukkan bahwa perempuan kini tidak lagi berada di ranah domestik, tetapi juga mampu berada di ranah publik (mencari nafkah seperti laki-laki). Pada umumnya, hal yang sama dilakukan oleh para pedagang dan masyarakat lainnya yang mencari nafkah di arena tajen. Mereka biasanya sudah mengetahui dimana dan kapan akan diselenggarakan acara tajen. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka telah terbiasa mencari nafkah di arena tajen, kebiasaan tersebut tidak terlepas dari berkalanya suatu pelaksanaan ngaben di suatu arena tajen. Selain mengandalkan kebiasaan tersebut, terkadang antar pedagang dan pencari nafkah lainnya saling bertukar informasi terkait dengan tempat ramai untuk dapat berjualan. Tidak hanya kehidupan di luar arena pertandingan tajen, kehidupan lainnya pun terjadi di dalam arena tajen. Banyak masyarakat yang mencari nafkah di dalam arena, sebagai contoh; Pertama, petugas kebersihan arena tajen yang bertugas membersihkan arena sebelum dan sesudah diselenggarakannya tajen. Kedua, (saya) juri dalam pertandingan tajen yang bertugas commit to user memandu jalannya pertarungan. Ketiga, tukang cabut bulu ayam yang bertugas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
mencabut bulu ayam yang mati dan kalah dalam pertarungan untuk kemudian dijual lagi. Keempat, (pakembar) tukang pegang ayam yang bertugas memegang ayam saat akan diadu. Semua peranan di atas mempunyai peran dan tujuannya masing-masing. Mereka merupakan satu kesatuan dari sistem arena tajen tersebut, meskipun keberadaan pelaksanaan tajen dilarang secara hukum agama dan pemerintah, tetapi banyak yang memanfaatkan arena tajen untuk mencari penghasilan, hal tersebut dikarenakan ketatnya persaingan hidup di Bali. Persaingan tersebut menyebabkan masyarakat melakukan apa saja demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dengan uang, memungkinkan orang-orang mengatasi kebutuhan yang diinginkannya secara langsung melalui keterlibatan mereka dalam suatu transaksi (Johnson, 1986:284). Pernyataan Johnson tersebut terkait dengan apa yang dilakukan oleh anggota masyarakat di atas bahwa, apa yang dilakukan oleh masyarakat tersebut untuk mencari penghasilan berupa uang. Hal tersebut dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari, uang mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari demi mempertahankan kelangsungan hidup. Tajen dipandang sebagai media untuk mengubah nasib dan mengadu keberuntungan oleh sebagian orang, bagi sebagian yang lain, tajen dijadikan sebagai mata pencaharian seperti berdagang, jasa pemeliharaan ayam, dan lain-lain. Tajen merupakan fenomena sosial yang ada di kehidupan masyarakat, hampir setiap daerah seperti Bali, Jawa, Sumatra, dan dipulau-pulau yang lain ada permainan judi tajen tetapi dengan bahasa yang tentu berbeda. Banyak masyarakat Desa Pakraman Sukasada yang ikut serta dalam tajen ini, terutama masyarakat yang memiliki SDM yang rendah, mereka hanya ikut sebagai tukang parkir, penjual makanan, atau menggelar perjudian di sekitar tempat tajen. Masyarakat di Desa Pakraman Sukasada sangat bergantung pada tajen sebagai mata pencaharian untuk mencari uang (lihat gambar 6).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
Gambar 6: Masyarakat sekitar yang berjualan di sekitar tempat tajen di Desa Pakraman Sukasada. Dokumentasi: Made Prasta (10 Agustus 2014) Walau sama-sama sabung ayam tajen dan tabuh rah memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Tajen merupakan bentuk hiburan yang lekat dengan kegiatan judi sedangkan
tabuh
rah
adalah
murni
kegiatan
ritual
keagamaan.
Dalam
perkembangannya, ritual suci tabuh rah mengalami pergeseran makna, seperti yang di katakan oleh Giddens (Wirawan, 2012:292) melalui idenya, manusia masuk ke dalam dunia sambil mempunyai niat untuk memengaruhi dan mengubahnya. Agen dalam hal ini adalah bebotoh yang mempunyai peran sangat penting dalam perubahan ini. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikkan kemudian sering dijadikan ajang berjudi. Hal inilah sebagai salah satu polemik jika tajen dibubarkan, banyak masyarakat yang ikut berperan serta dalam tajen. Hal ini memang negatif, tetapi dengan menimbang masyarakat yang ikut dalam hal ini menjadi sangat dilematis. Meskipun berulang kali usermenggelar tajen di tempat yang digerebek oleh pihak yang berwajib, commit mereka toakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
berbeda dan akan terus berulang seperti itu. Disinilah diharapkan pariwisata berperan penting dalam keberlangsungan hidup masyarakat Desa Pakraman Sukasada, misalnya seperti wisata berbasis masyarakat. Dengan penerapan wisata berbasis masyarakat, masyarakat yang berjualan di sekitar tempat tersebut dapat menjajakan makanannya dengan tenang tanpa merasa risau akan adanya penggrebekan yang dilakukan oleh polisi, dan jika tajen dijadikan wisata berbasis masyarakat juga dianggap lebih positif untuk masyarakat luas. Sedangkan strukturasi Anthony Giddens juga menyatakan konsep rutinisasi, hal apapun yang dikerjakan dengan kebiasaan, merupakan elemen paling dasar dari aktivitas sosial sehari-hari. Rutinisasi merupakan hal penting dalam mekanisme psikologis, yaitu rasa percaya atau keselamatan ontologis dilanggengkan dalam aktivitas kehidupan sosial sehari-hari. Dengan pembawaan kesadaran praktis, antara isi yang secara potensial eksplosif dari kesadaran dan monitoring refleksif dari tindakan saat agen tersebut ditampilkan (Giddens, 1998:56). Menurut Giddens, struktur lahir atas beberapa kesadaran sebagai hasil dari pengaruh kejadian sehari-hari dalam konteks tindakan sosial yang dilakukan secara terus menerus (rekursif) (Giddens, 1998:56). Kesadaran praktis sendiri terdiri atas semua hal yang aktor-aktor mengetahui secara diam-diam tanpa dapat memberi mereka pernyataan diskursif secara langsung. Dari uraian di atas mengenai kehidupan di arena tajen dapat dimaknai bahwa praktik-praktik sosial yang di perlihatkan di atas antara penjual makanan, bebotoh, dan para pencari nafkah di sekitar arena tajen merupakan suatu dualitas dari struktur yang tidak bisa dipisahkan, dan berhubungan erat dengan ruang dan waktu yang dilakukan secara berulang. Seperti dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan, mereka saling membutuhkan satu sama lain antara tajen, para penjual, bebotoh dan pihak-pihak lain yang berkepentingan di arena tajen yang dilakukan secara berulang-ulang selama bertahun-tahun.
4.3
Tajen Dijadikan Sebagai Modal Budaya di Desa Pakraman Sukasada
4.3.1 Makna Tradisi Tajen Tajen merupakan fenomena sosial yang ada di kehidupan sosial masyarakat dan hampir di setiap daerah seperti Bali, Jawa, dan Sumatra ada tajen atau, di tempat lain commit to user sering disebut sabung ayam, bukan hanya diramaikan olah bebotoh orang Bali saja,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
tetapi juga dari suku lain seperti Jawa, Lampung, Batak, Palembang, dan daerah-daerah lainnya. Aturan main dan perangkat tajen juga sama dengan di Bali, karena budaya ini dibawa dan dikembangkan langsung oleh para bebotoh transmigran yang merantau ke daerah-daerah tersebut. Tajen telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bali sejak zaman para leluhur masyarakat Bali dan terus berkembang sampai sekarang. Tajen pada umumnya dilakukan oleh kalangan laki-laki baik orang tua, remaja, bahkan belakangan ini anakanak usia sekolah dasar pun sudah mulai menggeluti tajen ini. Tajen selalu dikaitkan dengan pelaksanaan-pelaksanaan kegiatan upacara keagamaan di Bali, seolah-olah tajen ini dipandang sebagai pelengkap kegiatan upacara keagamaan oleh para bebotoh tajen itu sendiri. Tajen di Desa Pakraman Sukasada dilaksanakan di tempat-tempat tertutup yang ditumbuhi oleh banyak pepohonan, di tempat itu para bebotoh membentuk sebuah kalangan, yang berfungsi sebagai tempat ayam-ayam aduan yang nantinya akan diadu. Di tempat inilah masyarakat pecinta tajen berbaur dengan yang lainnya, pada umumnya di tempat kalangan tajen ini dipenuhi oleh para pedagang yang juga memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan hasil usahanya, selain itu banyak pula peluangpeluang berbisnis lainnya yang dapat dikembangkan di sini misalnya, tukang ojek yang siap menjual jasanya menghantar dan menjemput para pelaku tajen yang tidak membawa sepeda motor ke tempat tajen tersebut. Belakangan ini pemerintah Singaraja gencar menghimbau kepada masyarakat pelaku tajen di kota Singaraja bahwa, segala bentuk perjudian yang berkembang di masyarakat akan dihapus dan dilarang peredarannya, karena pemerintah yang merasa dirugikan oleh adanya judi tajen tersebut menganggap bahwa judi tajen pada akhirnya akan menyengsarakan masyarakat itu sendiri baik dari segi ekonomi, pendidikan, dan kondisi sosial kemasyarakatan. Bentuk kepedulian pemerintah terhadap penghapusan segala bentuk perjudian diperkuat dengan diberlakukannya undang-undang yang melarang segala bentuk perjudian. Dalam kenyataannya di lapangan, terjadi pro-kontra di kalangan masyarakat mengenai kebijakan yang dilaksanakan pemerintah tersebut. Sebagian masyarakat mendukung kebijakan tersebut, namun bagi para bebotoh kebijakan tersebut sangat merugikan dirinya, mereka berdalih bahwa tajen sudah menjadi kebudayaan masyarakat Bali sejak para leluhur mereka terdahulu sehingga commit to user peninggalan leluhur wajib dilestarikan secara turun temurun, selain alasan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
mereka juga menjadikan tradisi tabuh rah yang harus dilaksanakan pada upacara Butha Yajna sebagai “senjata” dalam melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Dalam kenyataannya, pemerintah dinilai gagal dalam menghapus segala bentuk perjudian di Bali khususnya di Desa Pakraman Sukasada, walaupun sudah banyak oknum-oknum pelaku perjudian yang terbukti melakukan judi khususnya judi tajen telah ditangkap dan diperoses sesuai hukum yang berlaku, namun pemerintah gagal dalam merubah kebiasaan metajen yang telah mengakar dan mendarah daging bagi sebagian masyarakat Bali. Itu baru sedikit saja masalah yang menjadi kendala pemerintah, masih banyak problema dan dilema yang melilit kalangan penegak hukum dalam kaitannya memberantas judi tajen di Bali. Belakangan ini, fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa banyak oknum kepolisian bekerja sama dengan pelaku judi tajen, kerjasama yang dimaksud tentu konotasinya negatif, karena banyak oknum kepolisian yang menerima suap dari para pelaku tajen, sehingga oknum polisi tersebut membiarkan saja kegiatan judi tajen dengan leluasa dilakukan oleh para pecinta tajen tersebut. Karena tajen sangat sukar untuk di berantas, maka pemerintah juga tidak mampu untuk mencegah, sekarang tergantung pada masyarakat itu sendiri dan menurut peneliti, sebagai payung hukum agar tidak menjadi konotasi yang negatif adalah tajen dijadikan sebagai modal budaya untuk pengembangan wisata yang berbasis masyarakat, khususnya di Desa Pakraman Sukasada agar tajen tidak dianggap selalu berkonotasi buruk, akan tetapi dengan adanya wisata berbasis masyarakat diharapkan tajen menjadi kebudayaan yang dimiliki masyarakat bali dengan segala kebaikan dan mampu mengangkat sektor ekonomi masyarakat Desa Pakraman Sukasada seperti tukang ojek, tukang parkir, orang yang berjualan di sana dan sebagainya. Bagi sebagian besar orang, tajen telah dijadikan sebagai media untuk mengadu nasib, untuk mengadu keberuntungan, tetapi banyak juga yang menjadikan tajen sebagai sarana hiburan khususnya bagi kalangan yang berduit karena mereka ke tajen hanya untuk mencari kesenangan saja dan sama sekali bukan untuk mencari kemenangan dalam bentuk uang. Selain itu, tajen juga telah difungsikan sebagai lahan untuk berusaha atau sumber mata pencaharian seperti berdagang, jasa pemeliharaan ayam, ojek, dan lain-lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
Tajen bukan merupakan kegiatan yang baru dan bahkan dapat dikatakan bahwa kita yang hidup sekarang inilah yang jauh lebih baru atau muda daripada keberadaan tajen. Keberadaan tajen terus berlanjut dari jaman dahulu, sekarang, dan akan terus ada sampai dengan masa yang akan datang. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Giddens bahwa, perkara sentral ilmu sosial ialah “praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu”. Dalam masyarakat, tidak ada praktik sosial tanpa tindakan beberapa orang, maka tindakan pelaku (agency) tidak mungkin diabaikan oleh ilmu sosial (Giddens, 2010:23). Tajen merupakan suatu kebudayaan yang tidak akan pernah hilang dari waktu ke waktu, praktik sosial yang dilakukan berulang-ulang dalam lintas ruang dan waktu yang dilakukan oleh agen-agen untuk dijadikan media atau sumber mata pencaharian penduduk Desa Pakraman Sukasada. Dalam kegiatannya, tajen memiliki aturan-aturan tertentu misalnya seperti penentuan menang atau kalahnya pertarungan ayam dan ukuran waktu untuk menyatakan lawannya kalah yang hanya dipahami oleh para bebotoh saja dan hanya dipakai pada saat berada dalam kehidupan tajen saja. Ketika keluar dari arena tajen, aturan tersebut sama sekali tidak dipakai dan berarti di kelompok sosial yang lain. Istilah-istilah yang dipakai di dalam kegiatan tajen hanya bisa dipelajari oleh seseorang yang berminat untuk menekuninya dan sama sekali tidak diwariskan atau diturunkan dari generasi sebelumnya dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Begitu juga cara menentukan lawan ayam aduannya, biasanya diajarkan oleh para bebotoh yang sudah lebih banyak dan sudah ahli dalam dunia tajen. Contoh lain yang harus dipelajari adalah cara mengikat taji, sesorang harus dilatih dan memiliki keahlian khusus untuk mengerjakannya sehingga tidak semua bebotoh bisa melakukannya. Tajen secara jelas memiliki karakteristik-karakteristik budaya. Sebagaimana disebutkan oleh (Reisinger, 2003:76), suatu budaya memiliki sepuluh karakteristik, antara lain; fungsi, fenomena sosial, memiliki ketentuan, dapat dipelajari, hanya berlaku di dalam grup tertentu, bernilai, bisa dikomunikasikan, dinamis, telah berjalan dalam waktu yang lama, dan bisa memuaskan keinginan dalam kelompoknya. Bagi para bebotoh, tajen memiliki kepuasan tersendiri dibandingkan dengan kegiatan yang lainnya, mulai dari pengurungan ayam, pemeliharaan, pengaduan, sampai dengan kemenangan ayam kesayangannya. Kepuasan inilah yang dijadikan sebagai salah satu commit to user unsur dan merupakan inti dan nilai (value) dari budaya yang tidak berwujud
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
(intangible), namun dapat dirasakan sebagaimana disebutkan oleh (Hofstede, 1997:23). Sedangkan tiga unsur kebudayaan lainnya seperti symbol, hero, dan ritual merupakan unsur budaya yang nyata yang dapat dilihat dengan mata (tangible). Bahasa yang dipakai seperti cok dan gasal merupakan simbol komunikasi yang sangat lumrah didengar di tajen, simbol ini hanya bisa dikomunikasikan oleh para bebotoh di arena tajen. Dua unsur terluar budaya (symbol dan hero) inilah yang paling sering diperdebatkan dan di komentari oleh masyarakat awam tanpa melihat lebih jauh dua unsur yang lebih dalam yang merupakan bagian terpenting budaya, yaitu ritual dan value dari keberadaan tajen. Di dalam suatu komunitas (bebotoh) akan terjadi tarik ulur interaksi sosial, salah satu interaksi sosial adalah dalam bentuk taruhan uang atau judi di mana di antara para bebotoh sering kali dijadikan sebagai alasan utama dan kambing hitam untuk mengklaim bahwa tajen tidak layak disebut sebagai budaya. Hal ini sejalan dengan teori strukturasi Anthony Giddens bahwa menurut Giddens, struktur atau dalam peneltian ini adalah tajen merupakan medium dan hasil dari tindakan dari bebotoh. Struktur menjadi medium karena seseorang tidak dapat bertindak tanpa kemampuan dan pengetahuan yang sudah terbatinkan. Struktur menjadi hasil karena pola budaya yang luas dan direproduksi ketika digunakan (Sutrisno, 2005:187-188). Dengan kata lain, struktur itu bersifat maya ‘virtually’, artinya hanya hadir di dalam dan melalui aktivitas agen manusia, serta ada dalam pikiran manusia, yang digunakan hanya ketika kita bertindak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Giddens (Kaspersen, 2000:381). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tajen jika dilihat menurut teori strukturasi Anthony Giddens adalah dalam masa produksi, aksi adalah juga masa reproduksi di dalam konteks penerapan kehidupan sehari-hari. Dalam artian masyarakat yang terus mengalami perkembangan dapat membuat kebudayaan serta dalam masyarakat tersebut akan selalu berubah, perubahan itu dapat terjadi dalam bentuk, fungsi, atau nilai-nilai unsur kebudayaan yang terkecil, unsur yang lebih besar atau pada pranata-pranatanya
(Mulyono,
2008:33-34).
Sependapat
dengan
hal
tersebut,
komunikasi sebagai unsur umum interaksi, merupakan konsep yang lebih mencakup dibanding dengan isi komunikasi (yaitu apa yang ‘hendak’ dikatakan atau dilakukan oleh seorang aktor) (Giddens, 2010:47). Begitu juga ayam dan warna-warna ayam commit to user seperti biying, ijo, serawah, kelau dan brunbun merupakan simbol-simbol khusus yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
biasanya dipakai dalam menentukan lawan ayam aduannya. Pihak yang terlibat dalam kegiatan tajen seperti bebotoh, tukang kembar, saya dan tukang kurung ayam disebut sebagai hero atau pelaku budaya dan bisa disebut sebagai stakeholders tajen. Sedangkan kegiatan menyuguhkan canang atau segehan dan doa-doa adalah untuk memohon kemenangan yang dilakukan oleh para bebotoh sesaat sebelum kegiatan tajen dimulai dan dari semua kebudayaan yang mereka percayai sampai sekarang adalah merupakan ritual kebudayaan.
4.3.2
Tekanan Modernitas Terhadap Makna Tradisi Tajen
Modernisasi
adalah
proses
perubahan
masyarakat
beserta
dengan
kebudayaannya dari hal-hal yang bersifat tradisional menuju modern. Globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu kondisi meluasnya budaya yang seragam bagi seluruh masyarakat di dunia apabila proses globaliasi muncul sebagai akibat adanya arus informasi dan komunikasi yang sering online setiap saat dan dapat di jangkau dengan biaya yang relatif murah. Sebagai akibatnya adalah, masyarakat dunia menjadi satu lingkungan yang seolah-olah saling berdekatan dan menjadi satu sistem pergaulan dan satu sistem budaya yang sama. Kita semua harus hidup dalam dunia modern dan harus menghadapi media global dan periklanan, suka atau tidak, media global makin bertambah mempengaruhi pikiran dan selera setiap orang. Kita tidak mampu tinggal di masa dahulu dan melarikan diri dari kemajuan, tetapi ada ancaman bahwa dalam generasi ini kita dapat menghilangkan kebudayaan lokal. Modernisasi dan globalisasi sebagai suatu perkembangan baru memunculkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan maupun merugikan, maka sebaiknya proses modernisasi dan globalisasi harus di seleksi secara matang dan bijaksana agar tidak menimbulkan perkerdilan kemampuan manusia, serta pengkerdilan struktur budaya masyarakat setempat. Melalui modernisasi dan globalisasi, akan terjadi suatu aliran ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya-budaya khususnya dari negara-negara maju menuju ke negara-negara berkembang dan terbelakang. Disisi lain, aliran ilmu pengetahuan dan teknologi budaya ini pasti akan menggusur dan memarginalkan budaya-budaya lokal. Tabuh rah yang merupakan budaya lokal Bali yang dalam pelaksanaannya adalah commit to user untuk melengkapi upacara keagamaan. Tabuh rah yang dalam perkembangannya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
disalah fungsikan atau mengalami pergeseran makna menjadi ajang judi sehingga menjadi permainan judi tajen, sejalan dengan teori komodifikasi Karl Marx bahwa, komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar (Barker, 2005:175). Beberapa daerah khususnya di pulau Bali, belum ada tindakan tegas mengenai hal ini, dikarenakan bebotoh menjadikan alasan upacara agama sebagai kedok agar dapat beroperasi dalam bermain tajen. Walaupun tajen berdampak negatif terhadap segi pariwisata yang dalam aturannya terhindar dari jenis permainan judi, namun dibalik semua itu terdapat pula segi-segi positif bagi sebagian masyarakat yang bergelut di dunia tajen tersebut, khususnya bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dalam permainan judi tajen. Singaraja sebagai tujuan wisata yang jika di lihat banyak tamu asing yang kebetulan lewat dan melihat aktifitas tajen, hal demikian ini mungkin perlu mendapatkan penjelasan yang benar dari pemandu wisatanya. Obyektifitas Struktur sosial dalam fungsionalisme ataupun strukturalisme dalam pariwisata yang positif bersifat beroposisi dan mengekang pelaku judi tajen karena dalam tajen bersifat perjudian. Sedangkan strukturasi menurut Giddens, obyektifitas struktur tidak bersifat eksternal, tetapi tidak terpisah dari tindakan dan praktik sosial yang kita lakukan. Struktur bukanlah benda, melainkan skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial (Giddens, 2010:26). Kalau kita lihat kehidupan dan aktifitas seputar tempat tajen di Desa Pakraman Sukasada akan banyak dijumpai orang berjualan nasi, kopi, buahbuahan, bakso dan lain-lain. Bebotoh dan penonton menikmati sekali makanan yang dijajakan oleh para pedagang tersebut. Selain pedagang, yang bisa mengais rejeki di tempat tajen adalah tukang ojek, tukang parkir, tukang sapu, dan sebagainya. Itulah sebabnya para penikmat tajen senang mengatakan bahwa, uang yang berputar di tempat tajen tidak lari keluar pulau, melainkan hanya berputar dikalangan masyarakat. Menurut Anthony Giddens bahwa, individu bukanlah obyek dalam proses modernisasi melainkan individu memainkan peran yang sangat penting dalam proses ini disamping keberadaan institusi penting lain yang menopang modernitas, dinamisme modernitas berasal dari pemisahan ruang dan waktu dan penggabungan ulang mereka dalam bentuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
yang memungkinkan adanya “penzonaan” ruang waktu kehidupan sosial renggangnya sistem sosial (Giddens, 2005:21). Menurut Giddens, tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia kemudian dilanjutkan dengan mengatakan bahwa struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subyek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri (Giddens, 2010:23). Untuk menghilangkan tajen memang sangat dilematis sekali, melalui tajen ini banyak sekali pembangunan gedung yang bisa berguna untuk masyarakat khususnya di Desa Pakraman Sukasada, hal ini bisa dilihat dari pembangunan pura, pembangunan balai masyarakat, dan melalui tajen ini juga bisa memberdayakan anak-anak Desa Pakraman Sukasada yang memang tidak bisa sekolah karena keterbatasan biaya. Tidak dipungkiri juga pemasukan kas desa yang lebih banyak dihasilkan dari tajen. Implikasi tajen terhadap budaya dan adat di Bali jika dilaksanakan sesuai dengan yang disadari oleh warga masyarakat akan berpengaruh positif, karena tajen dapat menyeimbangkan kepentingan duniawi dengan spiritual. Artinya, selain dapat menjadi hiburan, tajen juga dapat menjadi sarana penggalian dana. Sebaliknya, jika masyarakat menyimpang dari nilai-nilai yang terkandung dalam budaya dan adat, maka tajen berfungsi sebagai permainan judi yang bisa menyengsarakan masyarakat. Sekarang, semua tergantung masyarakat Desa Pakraman Sukasada yang harus menilai masih layakkah tajen untuk tidak diperhitungkan. Bila dilihat dari sejarah nilai dan perjuangan, tajen memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi obyek wisata bagi para wisatawan. Menurut Otto (2014:18), pariwisata juga dapat dikatakan sebagai katalisator pembangunan, hal itu disebabkan oleh dampak yang diberikan pada kehidupan perekonomian di negara yang dikunjungi oleh wisatawan. Mungkin dengan kemasan yang menarik motivasi individu jadi bertambah untuk menjadi pertunjukan bernilai jual sehingga motivasi wisatawan secara individu dianalisis dari segi tingkat keinginan (dorongan) dan daya tarik tujuan (attractiveness tourist destination) (Otto, 2014:19). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
Dengan motivasi dari wisatawan yang sangat besar dan daya tarik tajen yang menarik, diharapkan masyarakat di Desa Pakraman Sukasada akan mendapatkan penghasilan dari hal tersebut. Tentu dengan cara yang sukla atau di restui oleh pemerintah, tanpa menggunakan perjudian. Hal ini juga akan menjadi solusi bagi polemik tradisi tajen, polemik yang selalu muncul di masyarakat Desa Pakraman Sukasada. Senada dengan hal itu Richards (2011:87) mengatakan bahwa kreatif telah mempengaruhi pariwisata di sejumlah cara serta peningkatan konten kreatif yang terintegrasi ke dalam produk pariwisata, dan pariwisata telah menjadi arena kreatifitas pengembangan keterampilan. The differences in tourist behaviors among various cultures and/or nationalities exist within tourists’ motivation (Yuan and Mc. Donald, 1990:14). Jika dilihat dari sudut pandang Giddens (Wirawan, 2012:314) terhadap motivasi dari wisatawan maka dapat dibedakan menjadi tiga dimensi internal perilaku, yaitu Pertama adalah motivasi tidak sadar, kedua adalah kesadaran praktis, dan ketiga adalah kesadaran diskursif. Motivasi tidak sadar menyangkut keinginan dan kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri, ini berarti bahwa wisatawan mempunyai motivasi keinginan dan kebutuhan untuk menonton tajen tetapi tidak jarang dalam bertaruh. Kesadaran praktis, yaitu saat wisatawan menonton acara tajen dengan diam tanpa suara saat ayam-ayam bertarung (dikarenakan semua bebotoh diam) tetapi wisatawan tidak mengetahui kenapa diam. Kesadaran diskursif, yaitu saat wisatawan merasa terpesona dengan permainan tajen dan mereka suka dengan tajen dan jawaban mereka bervariasi tentang permainan tajen. Melalui pemahaman pada dimensi pelaku tersebut, wisatawan menjadi tahu bahwa apa sebenarnya yang tersembunyi dibalik permainan tajen. Wisatawan diharapkan akan mengerti dengan segala keunikan masyarakat dan keunikan adat sebelum mulai permainan tajen bahwa, tanpa masyarakat menjelaskan kenapa masyarakat Desa Pakraman Sukasada sangat bergantung dengan tajen, dan bagaimana wisata ini berbasis masyarakat, wisatawan juga diharapkan mengerti bahwa kebudayaan ini sebenarnya berkembang di Desa Pakraman Sukasada dengan segala adat budaya yang kental, karena mereka terjun langsung di arena tersebut. Sesuai dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, di balik tekanan modernitas terhadap makna tajen, banyak yang membutuhkan tajen sebagai mata commit to user pencaharian mereka sebagai contoh sebagai penjual makanan, menjadi ojek, atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
menjadi penyelenggara tajen. Tekanan-tekanan modernitas dan globalisasi yang semakin mencengkeram itulah yang menyebabkan tajen semakin berkembang dari waktu ke waktu, kreatifitas bebotoh dalam selalu berinovasi dan selalu menghadirkan yang baru dalam permainan tajen. Kreatifitas itu pula yang sangat digemari oleh para bebotoh untuk datang walaupun hanya sekedar melihat tajen, membeli makanan di sana, menjadi tukang ojek, dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam tajen senantiasa dibuat oleh bebotoh untuk kesenangan individu mereka maupun kelompok mereka. Sedangkan menurut teori strukturasi Anthony Giddens bahwa, manusia sebagai agen perubahan secara kontinyu mereproduksi struktur sosial, artinya individu dapat melakukan perubahan atas struktur sosial, waktu dan ruang merupakan sebuah unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya tanpa ada ruang dan waktu, maka tidak akan terjadi tindakan dan praktik sosial (Martono, 2012:116-117).
4.3.3
Pergeseran Makna
Peraturan tentang perjudian yang berlaku di Indonesia memang harus dihormati oleh semua warga negara Indonesia dan ditegakkan oleh para aparat penegak hukum. Jadi, hanya interaksi sosial para bebotoh dalam bentuk perjudianlah yang harus dilarang dan dikenakan sangsi. Sedangkan interaksi sosial bebotoh yang lainnya merupakan bagian dari budaya dan bukan merupakan tindakan yang melanggar hukum. Dalam mengungkapkan suatu permasalahan tentu harus pula melibatkan berbagai pandangan agar tidak sepihak dalam menentukan suatu kebijakan. Dalam sub bab ini akan dibahas dua pandangan, yaitu modernisme dan postmodernisme. Pandangan modernisme dan agama yang selalu melihat dan membenarkan sesuatu dari salah satu dari dua aspek yang semestinya seperti; positif-negatif, baik-buruk, halalharam, hitam-putih dan sebagainya telah mengakibatkan tajen dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai kegiatan yang negatif. Hukum positif yang berlaku di Indonesia juga bercirikan modernisme yang dalam penentuan keputusannya selalu berdasarkan atas benar dan salah, sehingga segala bentuk perjudian merupakan kegiatan yang melanggar hukum dan dilarang sebagaimana diatur secara khusus di dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pasal 303. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
Lain halnya dengan pandangan postmodernisme, yang memandang dan menilai kedua aspek dari suatu hal dengan tatanan yang sama karena pandangannya berada di atas dikotomi (baik-buruk) dan bukan memihak atau berada pada posisi salah satunya. Teori strukturasi yang bergerak dalam mazhab postmodernisme memandang mengenai hierarki dari individu dalam praktik sosial di sepanjang ruang dan waktu karena adanya penciptaan sarana dan prasarana yang menyebabkan adanya refleksifitas, rasionalisasi dan motivasi tindakan manusia sebagai agen (Giddens, 2008:5). Artinya, biarlah segala sesuatu itu ada dan berkembang sesuai dengan alamnya karena segala sesuatu yang ada sudah memiliki bentuk, fungsi, dan tujuan masing-masing. Dengan demikian tajen tidak hanya dipandang sebagai kegiatan yang melanggar hukum dan bertentangan dengan ajaran agama, tetapi juga memiliki modal budaya dan value yang sebenarnya perlu dilestarikan. Cara pandang postmodernisme sangat bijak, karena selalu menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan dikotomi dan tidak memihak ke salah satu pihak serta sama sekali tidak mempermasalahkan perbedaan (Piliang, 1999:245-246). Tantangan internal Bali dalam menerapkan pariwisata budaya adalah bahwa tiap-tiap daerah, kelompok, memiliki penafsirannya sendiri-sendiri terhadap apa yang boleh dan apa yang kurang boleh dilakukan (Putra, 2002:147). Pola pikir ini akan secara jelas bertentangan dengan pemikiran para pakar dan aparat penegak hukum dan agamawan. Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yajna, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia (Putra, 2008:98). Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang, akan tetapi hidup harus dijalankan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dilakukan. Dengan demikian, kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan baik fisik commit to user maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang khususnya orang Bali dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya, rupanya orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura. Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sabung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, dan senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tajen, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan upacara. Seperti dikatakan oleh Adorno (Pilliang 2003:89) bahwa komodifikasi tidak hanya terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumen, juga merambah pada kehidupan seni dan budaya. Kapitalisme telah berhasil membuat seni dan budaya patuh pada hukum-hukumnya, kebudayaan masyarakat bertransformasi menjadi kebudayaan industri dimana logika produksi-konsumsi yang menguasai norma-norma kehidupan. Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tajen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen bukan merupakan hak dan kewajiban individu. commit to user Belakangan ini sering terlihat di lapangan bahwa, tajen di Desa Pakraman Sukasada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
acap kali diselenggarakan oleh individu, dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok yang terlepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat Desa Pakraman Sukasada. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi apabila ditambah adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen, misalnya dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati. Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga desa, juga bergerak di sekitar tempat permainan tajen dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, relaksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta. Bukan berarti masyarakat tidak menjalankan hidup dalam kelompok-kelompok sosial serta hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial dan manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi, kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman, namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang dalam permainan judi tajen. Pasangan persaingan dalam perseteruan ini memungkinkan kehidupan tajen tetap belangsung. Sedangkan teori strukturasi menurut Giddens adalah setiap tatanan sosial yang berubah, membentuk setiap resiko baru dan sejumlah konsekuensi yang harus diterima (Giddens, 2005:165). Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali, maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya, yakni bahwa hidup itu pemisahan, hidup itu persaingan, hidup itu konflik, dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu, jikalau commit to user pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
memungkinkan pihak lain itu hidup, kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Dalam masyarakat berpola dua, jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak, bahasa semakin bervarian, dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat. Dalam hal ini perlu adanya peran pemerintah agar semua masyarakat bisa merasakan perkembangan dari tajen dan dapat menjadikan tajen lebih positif. Dengan adanya sektor pariwisata, diharapkan tajen dapat menjadi lebih positif dan dapat dijadikan sebagai modal budaya sehingga dapat meningkatkan sektor perekonomian di masyarakat sekitar khususnya Desa Pakraman Sukasada. Giddens menyatakan bahwa modernitas itu identik dengan perubahan dan munculnya ciri yang diberikan oleh kondisi-kondisi baru, kekuatan-keuatan baru dan turbulensi-turbulensi baru dan ketidakpastian baru, jadi intinya adalah modernitas (Jones, 2009:83). Struktur tidak serta merta menjadi struktur tanpa didahului tindakan untuk mengulang praktik sosial, misalnya dalam sebuah perusahaan, formulasi peraturan perusahaan sebagai sarana untuk memberikan signifikasi pada struktur dibentuk melalui kodifikasi berbagai informasi mengenai wacana peraturan perusahaan tersebut (Jones, 2009:34). Pada proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan bahkan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996:65). Budaya massa dilihat sebagai sebuah bentuk fasisme karena merupakan semacam kebudayaan industri atau culture industries oleh Fajar Junaedi (Kartono, 2005:2). Dalam artian di dalamnya terdapat aspirasi, selera, gaya hidup massa yang dikendalikan oleh sekelompok elit (produser budaya). Massa digiring ke arah seni dan tontonan yang mudah untuk dicerna dan yang menimbulkan daya pesona yang diproduksi melalui corak produksi kapitalisme. Industri budaya seperti halnya ditampilkan dalam ciri yang sama dengan produk lainnya dalam produksi massa yaitu komodifikasi, standarisasi dan massifikasi (Kellner, 1998:29). Komodifikasi dalam menjadi alat utama untuk mengubah relasi sosial menjadi relasi ekonomi (Curran, 1996:16). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komodifikasi isi media berarti mengubah pesan menjadi produk yang dipasarkan. commit to user Sebagaimana pendapat Mosco (Kartono, 2005:177), ”Commodification processes
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
analysed included media centent as commodity, the sale of audiences to advertisers, the collection and sale of personal information, and intrusion of advertising into public spaces”. Jadi, komodifikasi budaya (upacara religi) berarti mengubah upacara religi menjadi produk yang dapat dipasarkan.Seperti halnya tabuh rah oleh masyarakat sekitar kemudian menjadi tajen yang maknanya juga fungsinya di geser oleh masyarakat sekitar untuk kesenangan dalam bentuk permainan judi hanya untuk kepentingan kelompok mereka. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tabuh rah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan dan adat yang ada di Bali. Keterulangan praktik tabuh rah menyebabkan pergeseran makna dari sakralitas dan metafisika yang dilandasi adat dan kebudayaan telah tergantikan dengan pemenuhan nafsu dari sebelumnya sakral menjadi suatu komoditi yang “diperjual-belikan”. Artinya disini adalah adanya suatu pemenuhan nafsu dari bebotoh dari yang dahulu merupakan upacara adat tabuh rah kemudian digeser maknanya oleh bebotoh menjadi tajen yang berkonotasi sebagai permainan judi untuk keuntungan pribadi para bebotoh. Teori komodifikasi menurut Pilliang
menjelaskan
bagaimana
sebuah
artefak
budaya
mengalami
proses
komersialisasi dan diperdagangkan. Adorno (Pilliang, 2003:89) mengatakan bahwa komodifikasi tidak hanya terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumer, juga merambah pada kehidupan seni dan budaya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterulangan praktik yang dilakukan oleh para agen/bebotoh menjadikan tabuh rah menjadi tajen dapat dimanfaatkan sebagai modal budaya di Desa Pakraman Sukasada dengan menjadikan tajen sebagai unsur komoditi untuk masyarakat sekitar dengan menggeser lagi tajen ke sektor pariwisata.
4.3.4
Sudut Pandang Hindu
Kebenaran konteks pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih dapat dilihat dan dikaji dari berbagai pandangan, selain dari sudut pandang etika sosial masyarakat Bali dan hukum positif. Sedangkan dari perspektif agama Hindu sendiri, seperti tertera dalam Manawa Dharmasastra V.45, yaitu. “Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate” artinya: “Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasancommit nafsu to untuk userdiri sendiri, orang itu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati.” Demikian juga ketika dikembalikan pada hakikat yajna dan tabuh rah, di dalam tabuh rah terkandung makna mengenai etika upacara demi menjaga kesucian yajna. Yajna yang dipersembahkan secara suci untuk sebuah kesucian yang lebih hakiki, dimana upacara yang suci menjadi media yang berada pada realitas ambang antara yang partikular, yaitu buana alit, yaitu jiwa kecil atau manusia dan yang lebih universal yaitu bhuana agung atau alam semesta. Masyarakat Bali berprinsip harus terjadi keseimbangan diantara keduanya. Selain itu masih dalam kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano Dyayah) sloka 221 sampai 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan mengenai judi, sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian. Misalnya uang, mobil, tanah dan rumah. Sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. Misalnya, binatang peliharaan, manusia, bahkan istri sendiri. Seperti yang dilakukan oleh panca pandawa dalam epos Bharata Yudha ketika Dewi Drupadi yang dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa. Selain itu dalam kitab suci Rg Veda Mandala X. Sukta 34. Mantra 3,10 dan 13 dengan tegas melarang orang berjudi. Berjudi itu dapat menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang, cukupkan serta puaskanlah penghasilan itu. Demikian antara lain isi Mantram Veda tersebut. Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran Hindupun menentang keras adanya penyiksaan mahluk hidup, yang digunakan sebagai media dalam tajen dan perjudian yang menggunakan benda hidup maupun non hidup. Bukan bermaksud untuk menakutnakuti masyarakat yang senang berjudi, namun sebaliknya memberikan masukan bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak sepatutnya terus dikembangkan hingga anak cucu kita dan menjadi “budaya” yang merugikan masyarakat Bali dan agama Hindu khususnnya.
4.4
Strategi yang Tepat Dalam Pengembangan Tajen Sebagai Atraksi Wisata Budaya Keterlibatan masyarakat memegang peranan yang sangat penting dalam
pendekatan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) (Murphys, 1985:214). Pembahasan sub bab to iniuser difokuskan pada isu pembangunan commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
pariwisata perencanaan alternatif pengembangan wisata berbasis masyarakat dalam konteks sebuah pengembangan industri. Pembahasan mendalam tentang peranan masyarakat lokal Desa Pakraman Sukasada sebagai tuan rumah, identifikasi tujuan dan keinginan, dan kapasitas keterlibatan masyarakat dalam pariwisata. Murphy menjelaskan bahwa, sistem perencanaan harus diperluas yang dapat menjangkau level mikro sebagai consensus untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan pariwisata (Botes & van Rensburg, 2000:54; Porrit, 1998:76) dan masyarakat juga hendaknya dilibatkan dalam perencanaan pembangunan (Simmons, 1994:167). Alasan kenapa masyarakat Desa Pakraman Sukasada harus dilibatkan dalam pembangunan wisata berbasis masyarakat adalah agar mereka terlatih untuk selanjutnya menciptakan usaha pariwisata yang berkesinambungan dan sebagai salah satu kriteria pembangunan berkelanjutan. Sebagai sebuah industri, pariwisata sangat tergantung pada keinginan dan kerjasama dengan masyarakat lokal sehingga dapat menciptakan situasi keramah-tamahan penduduk lokal untuk menerima pariwisata dan keterlibatan masyarakat tersebut adalah sebuah aplikasi dari social carrying capacity (Murphy, 1995:120). Di beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa, friendliness of the local people rate positive atau keramah-tamahan penduduk lokal mendapatkan respon yang positif dari wisatawan. Wisatawan sangat antusias pada kawasan pariwisata yang dikembangkan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai bagian dari produk wisata itu sendiri dan hal ini banyak terjadi pada pengembangan pariwisata budaya khususnya wisata yang berbasis masyarakat. Lebih lanjut pelibatan masyarakat Desa Pakraman Sukasada dalam perencanaan adalah kebijakan yang sangat baik dan akan memotivasi masyarakat lokal untuk melakukan proteksi terhadap lingkungannnya yang akan dipakai sebagai pendukung pariwisata. Jika masyarakat dilibatkan, penolakan terhadap projek yang dikembangkan juga dapat dikurangi. Hal ini juga berpengaruh pada kehidupan masyarakat lokal yang asli. Steiner and Reisinger (2006:231) juga mengatakan“courageis a topic neglected in the tourism literature on authenticity, eventhough it is a productive emotion that acts as a stimulus to authenticliving”. Keterlibatan masyarakat Desa Pakraman Sukasada juga sangat penting untuk menjadikan tajen sebagai modal budaya dalam pengembangan wisata budaya, karena jika dilihat lebih jauh banyak nilai-nilaicommit positiftoyang userdiangkat dari tajen ini antara lain
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
untuk pembangunan pura desa, untuk pengembangan perumahan desa yang kumuh, untuk memajukan pembangunan yang ada di Desa Pakraman Sukasada itu sendiri. Dalam konsep ini, masyarakat bukan hanya sebagai kelompok yang sekedar menerima manfaat, namun mereka juga harus dapat menjadi kelompok yang mampu memberikan arah bagi pembangunan pariwisata di daerahnya (Hermantoro, 2011:74). Jika dilihat menurut teori strukturasi Anthony Giddens menegaskan bahwa sifatsifat struktural masyarakat memandu stabilitas dan perubahan. Dalam hal ini, segala sesuatunya telah dihitung atau diprediksi oleh pikiran manusia sebagai perkembangan organisme (Giddens, 2010:251). Hal ini sangat penting untuk pengembangan Desa Pakraman Sukasada, akan tetapi dalam menyikapi tajen akan sangat bijak jika menyerahkan sepenuhnya kepada Desa Pakraman Sukasada dalam menentukan hal yang terbaik untuk Desa Pakraman Sukasada sendiri. Sebagaimana uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat Desa Pakraman Sukasada sebagai agen perubahan disini sangat berperan penting terhadap pengembangan tajen di desa mereka. Menurut Giddens, perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi betapapun kecilnya perubahan itu, bahkan reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial (Giddens, 2009:378). Karena peran aktif masyarakat terhadap penilaian masyarakat diluar desa pakraman, akan sangat berpengaruh terhadap penilaian permainan tajen secara keseluruhan di Desa Pakraman Sukasada dan di Bali pada umumnya.
4.4.1
Daya Tarik di Desa Pakraman Sukasada
Pembahasan dalam sub bab ini adalah analisis tentang daya tarik yang terdapat di Desa Pakraman Sukasada. Dalam analisis 4A, daya tarik (attraction) merupakan point yang penting yang di jadikan dasar penilaian. Setiap objek wisata memiliki sebuah hal khusus yang menjadikannya unik dan memiliki pengunjung setia yang rela memberikan pengorbanan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan pada beberapa kasus, ada pengunjung yang dapat menjadikan beberapa objek menjadi populer karena opininya menjadi sebuah referensi bagi orang lain. Sebagai contohnya, jika seorang artis mendatangi sebuah objek wisata maka akan membawa dampak bertambahnya kunjungan karena para penggemar sang artis juga ikut mengunjungi commit to user objek wisata tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
Pengembangan pariwisata di suatu daerah meliputi berbagai aspek kehidupan yaitu meliputi; kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya masyarakat, serta didukung oleh potensi alam dimana pariwisata tersebut dikembangkan. Pada bagian ini dikemukakan beberapa potensi yang mendukung pengembangan Desa Pakraman Sukasada sebagai pariwisata alternatif. Sesuai dengan karakteristik bentang alam, Desa Pakraman Sukasada memiliki dua karakteristik lingkungan/bentang alam, antara lain; landscape pantai/tepian dan landscape dataran rendah. Daya tarik wisata Desa Pakraman Sukasada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam satuan mata rantai landscape perbukitan bagian selatan dari Kabupaten Singaraja. Dipilihnya Desa Pakraman Sukasada sebagai salah satu tempat wisata yang ada di Kabupaten Singaraja adalah karena Desa Pakraman Sukasada memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai salah satu daya tarik wisata alternatif, dengan masyarakat yang sangat kental dengan kebudayaannya. Salah satu kebudayaan yang dimiliki Desa Pakraman Sukasada adalah tajen. Dengan kebudayaan masyarakat berupa tajen, sesungguhnya tajen di Desa Pakraman Sukasada memiliki daya tarik yang unik untuk dijadikan wisata alternatif karena tidak ada tajen yang diselenggarakan di daerah Kabupaten Buleleng khususnya bagian selatan selain di Desa Pakraman Sukasada. Desa Pakraman Sukasada sangat mudah diakses dari beberapa obyek wisata terdekat seperti Objek wisata air terjun Git-Git dan juga merupakan jalur menuju Objek wisata Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Dilihat dari beberapa potensi pariwisata atau aspek pendukung pariwisata sesuai data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa Desa Pakraman Sukasada layak untuk dikembangkan. Daya tarik ini merupakan faktor utama yang menjadi minat berkunjung ke suatu objek wisata. Untuk kondisi secara global, hal inilah yang paling bisa dan mudah di jual kepada pengunjung dan hanya perlu biaya penataan dan perawatan saja, mengingat hal tersebut mendayagunakan apa saja yang telah tersedia di alam untuk dikelola agar menghasilkan profit. Sudah menjadi suatu pemikiran umum jika berkunjung ke suatu objek wisata untuk keperluan rekreasi adalah dengan menikmati panorama atau keindahan alam yang ada di tempat tersebut. Hal pertama yang di lakukan oleh wisatawan adalah come to see, sehingga apa yang nampak dan dapat dinikmati secara visual merupakan sesuatu yang dicari dan diharapkan oleh wisatawan, apalagi hal itu commit to user terjadi pada wisatawan yang pertama kali berkunjung.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
Sejak dulu, penduduk Desa Pakraman Sukasada selalu setia menjaga keindahan alam dan lingkungan mereka. Bukan hanya menjaga, para petani di desa-desa terpencil malah kerap memperbaiki sisi sungai, menata tebing atau menata jalan setapak agar menjadi lebih indah, tanpa pernah berpikir akan mendapat keuntungan lain di luar keuntungannya sebagai petani. Di Desa Pakraman Sukasada terdapat ribuan hektar sawah yang mencangkung di lereng-lereng bukit. Areal persawahan itu dibelah sejumlah jalan kecil untuk menghubungkan satu pemukiman ke pemukiman penduduk lainnya. Jika sempat menyusuri jalan-jalan berliku naik-turun dengan mengendarai sepeda motor, dari jauh akan tampak seperti seseorang yang sedang naik perahu di atas gelombang padi yang berderai. Atau jika sempat masuk lagi ke lereng Tukad Banyumala (sungai Banyumala), di situ terlihat berbagai pemandangan yang masih sangat alami, seperti air terjun, pancuran kecil, tibuan (ceruk sungai), goa di tebing-tebing, semak dan jalan setapak di celah kebun, suara burung-burung pun masih merdu untuk di dengarkan. Selain memberikan nilai kenyamanan, keindahan ataupun pengetahuan, atraksi wisata juga dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta masyarakat di sekitarnya. Wisatawan yang berkunjung akan menjadi konsumen produk kebudayaan yang dihasilkan, sehingga pemasaran hasil menjadi lebih efisien. Selain itu, dengan adanya tajen, Desa Pakraman Sukasada mengerti akan arti pentingnya pelestarian sumber daya, maka kelanggengan produksi menjadi lebih terjaga yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, dengan banyaknya kunjungan wisatawan, mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha dengan menyediakan jasa dan menjual produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Desa Pakraman Sukasada memiliki potensi pariwisata yang sangat indah yang bisa dikelola oleh masyarakat sekitar untuk menjadi wisata pedesaaan yang berbasis masyarakat unggulan, akan tetapi masyarakat tidak peduli dengan potensi yang terdapat di desa mereka, mereka lebih mementingkan untuk bekerja di ladang sebaik mungkin hanya agar bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka dan selebihnya menjadi pegawai negeri, pegawai swasta, maupun keluar desa pakraman untuk merantau. Jika mereka bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan mengelola desa mereka, pastilah semua akan berjalan dengan commit to user harmonis dan desa mereka juga akan dikenal oleh banyak orang karena pariwisata.
perpustakaan.uns.ac.id
4.4.2
digilib.uns.ac.id 87
Respon Masyarakat Tentang Tajen Desa Pakraman Sukasada
Masyarakat lokal adalah pihak yang akan menerima dampak paling besar dari kegiatan wisata yang dikembangkan didaerahnya. Aspirasi masyarakat setempat merupakan komponen permintaan yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam rangka pengembangan suatu kegiatan wisata sehingga kegiatan wisata yang diselenggarakan tidak akan menimbulkan kerugian-kerugian bagi masyarakat lokal. Industri pariwisata akan memberi peluang bagi pemberdayaan sumber daya lokal dan menjadi stimulan multiplier effects yang positif bagi perekonomian dan kemajuan masyarakat lokal. Supriana mengemukakan bahwa dengan adanya pengusahaan pariwisata alam, peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian alam dan konservasi sumber daya alam dapat diharapkan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat atau bersama-sama dengan pengusaha secara aktif maupun pasif (Supriana, 1997:29). Peran serta aktif dilaksanakan secara langsung baik perorangan maupun bersama-sama secara terorganisir, yang secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan berkreasi melibatkan diri dalam suatu kegiatan yang terdapat dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa memiliki sehingga tercipta hubungan timbal balik antara pemanfaatan dan kesempatan usaha. Jika dikaitkan dengan teori wisata berbasis masyarakat bahwa, wisata berbasis masyarakat bergantung kepada masyarakat dan masyarakat di Desa Pakraman Sukasada lebih menggemari adat budaya yang mereka usung yaitu tajen, maka kebudayaan tersebut dapat mempengaruhi cara berfikir masyarakat, sehingga persepsi atau opini pun dapat muncul karenanya meskipun ada pro dan kontra yang menyertainya. Tujuan pemberdayaan masyarakat bukan hanya dalam kerangka mobilisasi, namun harus lebih bersifat partisipatif. Masyarakat juga harus dapat menjadi bagian dari pemecahan masalah dan konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang menganut konsep “Think locally, act globally”. Berpikir lokal untuk beraksi secara global (Hermantoro, 2011:75). Tajen sangat digemari dan dapat menjadi suatu wadah interaksi antar bebotoh yang bisa memberikan kesenangan tersendiri bagi mereka yang suka akan adat budaya yang satu ini. Pemilihan pertanyaan persepsi terhadap tajen diberikan kepada 5 orang commit to user responden yang dianggap mewakili seluruh masyarakat Lokal Desa Pakraman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Sukasada, Singaraja. Berikut merupakan petikan jawaban yang di jawab oleh beberapa responden, Kelima (5) orang tersebut adalah.
1. Made Subur Gunung Mas (seorang bebotoh). “saya tidak masalah dengan tajen yang dijadikan wisata apalagi yang berhubungan dengan wisata rakyat selama tidak merugikan para pemain tajen, ya tidak masalah. Malahan itu sangat menguntungkan bagi desa ini apalagi bisa memajukan desa ini, karena di sini tidak banyak orang yang mengetahui potensi yang ada di desa ini. Coba dikembangkan aja dik,nanti setelah dikembangkan bisa dibawa kemana desa ini. Apa mau dikorupsi atau malah dibawa ke perkembangan yang lebih baik lagi. Kan bisa untuk bangun pura sebenarnya, anak-anak yang sering kluyuran malah dapat duit dengan kerja disana (dengan parkir, ojek sepeda, retribusi masuk), orang-orang banyak yang jualan disana (dagang patokan).Pokonya selama positif untuk pengembangan desa ini saya setuju saja, asal dikembangkan di desa ini saja jangan uangnya buat di luar desa”. Dari jawaban yang dilontarkan oleh Made Subur Gunung Mas mengenai tajen dapat dilihat bahwa Made Subur hanya menginginkan kesenangan dalam metajen karena mungkin Made Subur hanya menginginkan permainan tajen karena permainan inilah yang mampu menghadirkan kesenangan setelah penat bekerja. Jika dilihat dari teori Strukturasi Anthony Giddens bahwa Menurut Giddens (Barker, 2011:479) Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut. 1) Pemahaman (interpretation/understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. 2) Moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. 3) Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan. Jadi yang dimaksud disini adalah, Subur mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri untuk membentuk suatu struktur yang dibuat, lain halnya dengan Putu Sastrawan selaku penyelenggara seperti kutipan wawancara berikut. 2. Putu Sastrawan (selaku penyelenggara tajen). “Tajen memang sering diadakan disini, tetapi yang menyelenggarakan berbeda-beda, minggu ini pas saya yang menggelar, banyak orang dari luarto user desa datang kemari untuk commit metajen, dulu ada banyak tempat metajen seiring perjudian dilarang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
mereka sekarang kesini karena tempat ini jarang sekali digrebek karena ada orang dalam juga yang ikut metajen. Tajen itu banyak untungnya banyak yang mengadu nasib di sini ada yang jualan nasi, ada yang menjadi juru parkir, ada yang ojek, ada yang datang dan hanya melihat tajen. Bahkan orang yang datang kesini tidak selain melihat saja dan tidak metajen juga ada tetapi dia main judi dadu. Kalo ada tajen semua aman dan tersalurkan seperti pembangunan, pemugaran pura dsb. Tapi kalau dibawa ke pariwisata saya tidak setuju, alasannya adalah pariwisata itu yang mengelola pemerintah, pasti uangnya ya buat pemerintah, trus kita-kita (penyelenggara) dapat apa dari pariwisata ini? Paling kita dapat cape’. Tourist yang dibawa pemerintah dapat apa yang dia mau, tapi kita kan yang kerja paling hasilnya juga 50-50, ya mendingan gini saja saya dapat 100% lagian saya juga punya anak istri yang harus saya sekolahkan dan kasih makan, kalau misalnya tajen ini dipariwisatakan nanti saya makan apa? Pokoknya kalo tajen diresmikan jadi pariwisata saya tidak setuju meskipun sudah tidak ada operasi lagi (operasi dari polisi) saya tetap tidak setuju, mendingan saya yang bayar polisinya biar sama-sama enak”. Dari jawaban Putu Sastrawan tersebut merupakan suatu gambaran bahwa Sastrawan tidak bisa hidup tanpa tajen, dengan kata lain Sastrawan sudah bergantung pada tajen untuk menafkahi keluarganya. Konsep Giddens tentang kekuasaan lebih berfokus pada bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam interaksi secara terus-menerus dan rutin membangun, memelihara, mengubah, dan mentransformasi hubunganhubungan kekuasaan tersebut baik pada level makro maupun mikro, mencakup dominasi dan subordinasi yang dibangun secara terus-menerus dalam proses interaksi oleh faktor-faktor untuk memelihara hubungan kekuasaan tadi (Davis, 1988:86-91; Mslamy, 1996:41-48). Yang dilihat dari Giddens disini adalah terpeliharanya budaya lokal yang mereka bangun untuk dapat mempertahankan kebudayaan lokal mereka, terciptanya kesolidaritasan antar warga yang dapat dianggap sebagai modal budaya yang tak ternilai untuk dikembangkan dalam industri kepariwisataan sebagai modal budaya dalam pengembangan wisata berbasis masyarakat yang dapat diraba (tangible) maupun yang tak dapat diraba (intangible).
3. Jero Putu Joni Sandiyasa selaku Tetua Adat Desa Pakraman Sukasada. “Tajen di desa ini sudah ada sejak tahun 1971 sebelum KEPPRES dan tabuh rah itu sama juga dengan pelestarian ayam jago, karena commit to user ayam jago. Di dalam masyarakat Bali umumnya senang memelihara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
tabuh rah ada unsur budayanya juga ada tuntunan dan tontonan. Seluruh masyarakat Desa Pakraman Sukasadakhususnya laki-laki sangat menikmati acara tajen karena mendapatkan income dan banyak keuntungan, dalam pelaksanaan pembangunan balai masyarakat juga bisa tercapai karena ada tajen. Masyarakat sekitar juga kena imbasnya contoh: Tukang ojek, juru parkir, dan masyarakat sekitar bisa dagang di areal tajen. Bagi kaum botoh dengan metajen saja sudah menjadi kesenangan tersendiri bagi orang tua mereka mungkin sudah med (jenuh) dengan pekerjaan mereka dan mungkin mereka memang senang dengan judi. Dan bagi anak-anak muda ada alasan tersendiri mengapa mereka senang metajen diantaranya: Mereka putus sekolah dan terpengaruh, dengan metajen mereka merasa gampang untuk mencari uang dan dengan SDM yang kurang mereka malas untuk bersekolah “dengan tajen bisa dapat uang kenapa harus sekolah”. Di tempat tajen juga ada hiburan lain yaitu judi dengan dadu. Dengan adanya tajen kriminalitas menjadi minim, terjadi kesportifitasa antara para bebotoh, jadi selama masih positif dan tidak merugikan banjar adat dan belum adanya komen-komen yang negatif dari warga sekitar saya tidak melarang tetapi juga tidak membolehkan adanya tajen. Karena juga ada awig-awig (peraturan yang dibuat oleh desa) yang disepakati bersama, oleh karena itu juga polisi tidak bisa membubarkan.” Dari jawaban yang dipaparkan oleh Jero Joni Selaku tetua adat, Jero Joni tidak bisa berbuat apapun karena sudah terikat dengan awig-awig yang telah dibuat pada jaman dahulu agar tajen ditiadakan. Jika dilihat dari kacamata teori strukturasi bahwa dalam gagasan Giddens lebih bersifat memberdayakan (enabling) bukan mengekang, dalam artian lebih memungkinkan untuk berlangsungnya praktik-praktik sosial dalam masyarakat, Giddens (Wirawan, 2012:313). Jero Joni tidak mengiyakan tetapi juga tidak melarang adanya tajen di Desa Pakraman Sukasada. Akan lebih baik lagi jika disikapi dengan hal yang bijak mana yang pantas untuk tontonan dan mana yang pantas untuk tuntunan.
4. Jero Mangku Nyoman Adya selaku pemuka agama desa pakraman Sukasada. “Tajen menurut saya sah-sah saja, karena itu hak pribadi masingmasing orang karena yang saya lihat masih ada sisi-sisi positif yang ada di tajen seperti banyak pemasukan kas desa dari tajen, pembangunan gedung balai masyarakat dsb. Kalau menurut agama memang semua perjudian itu dilarang akan tetapi di dalam tabuh rah ada sebuah rontal Ciwa Tatwa purana yang isinya :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
“Mwah ri tileming kesanga, hulun magawe yoga, teka wenang wang ing madhya magawe tawur kasowang an den hana pranging sata wenang nyepi sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang ing madya”. Maksudnya : Lagi pada tilem kesange aku (dewa Ciwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu berhidangan sang kala dacasbhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi. Jika ditinjau dari rontal tersebut diatas, jelas adanya korban darah yang dipergunakan dalam upacara agama, mengapa mempergunakan darah sebagai korban kepada bhuta /Bhuta yadnya, darah dianggap suatu zat yang mengandung kekuatan magis, memberikan kekuatan secara spiritual. Hal ini dapat kita tinjau dari pemelaspas bangunan, pada waktu melaspas diberikan pengurip-urip yang dipoles tiangtiang, tembok-tembok dengan darah yang mempunyai makna agar bangunan tersebut mempunyai kekuatan spiritual, sehingga rumah tersebut memberikan suasana yang baik, darah berfungsi penting dalam melaksanakan kurban kepada bhuta kala, setiap bentuk bhuta yadnya mempergunakan darah. Pada hakekatnya tabuh rah diperuntukan kepada bhuta bhucari, kala bhcari dan Durga bhucari tidak dipergunakan kepada pitra dan dewa. Jadi apa yang saya maksud disini adalah umumnya orang-orang Bali sudah menyelewengkan upacara tabuh rah untuk kesenangan pribadi mereka memang berkuasa atas dirinya sendiri. Selama tajen tidak merugikan masyarakat ya tidak masalah tetapi kalau merugikan masyarakat ya hendaknya dihentikan saja, bagaimanapun juga tajen sangat merugikan diri sendiri dan khususnya keluarga mereka.” Dari jawaban Jero Mangku tersebut sebenarnya sudah jelas bahwa semua perjudian itu dilarang oleh agama, meskipun memang tetap tergantung pada para bebotoh untuk tetap menggeluti dunia tersebut, mulai dari penghilang rasa penat sampai pada tajen yang merupakan pekerjaan sehari-hari untuk kebutuhan hidup. Jadi jika dilihat dari teori strukturasi Giddens Struktur adalah, piranti (rules and resources) yang hanya ada karena adanya aktifitas agen yang terus-menerus dan struktur pada saat yang sama selalu constraining and enabling (membatasi sekaligus mendorong) aktivitas agen. Struktur adalah media sekaligus hasil dari praktik (Pitana, 2005:27).
5. Made Suseni selaku penjaja warung di tempat judi tajen (pedagang patokan). “Selama tajen berlangsung dapur tetap ngebul karena dari tajen saya bisa dapat untung berlipat karena orang-orang yang metajen itu kan teriak-teriak ya pasti lapar atau hausto dan commit userbiasanya mereka jarang yang membawa bekal dari rumah. Saya setuju-setuju saja kalau tajen
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
dijadikan pariwisata asalkan saya masih bisa berjualan dan penghasilan saya relatif stabil, kalau tidak di tempat tajen penghasilan saya minim. Untuk menyekolahkan anak juga susah, yang penting masih dapat berjualan disini saja masih beruntung mas, apalagi dengan pariwisata yang diharapkan dapat menambah penghasilan saya”. Jika dilihat dari jawaban yang dilontarkan oleh Made Suseni tersebut merupakan sikap ketergantungan dengan permainan tajen karena selama masih mendapatkan penghasilan yang lumayan dari menjual makanan di tempat ini maka Made Suseni masih bisa bernafas lega, tetapi jika permainan tajen ini dilarang maka akan sangat susah untuk mendapatkan hasil yang biasanya didapat dari hasil menjual makanan di areal sekitar permainan tajen. Jika dilihat dalam teori Strukturasi, struktur diartikan sebagai peraturan dan sumber daya yang dilibatkan dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial sekaligus merupakan sarana-sarana reproduksi sistem (dualitas struktur) (Giddens, 2010:30). Secara tidak langsung apa yang dilakukan Made Suseni ini adalah kesadaran praktis, kesadaran yang melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan, Giddens (Wirawan, 2012:314). Artinya Made Suseni merupakan agen yang tidak bisa dilepaskan dari struktur (tajen) karena tajen menurut Made Suseni adalah media untuk menjadi mata pencahariannya. 4.4.3
Perencanaan Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan suatu bentuk kepariwisataan yang mengedepankan kepemilikan dan peran serta aktif masyarakat, memberikan edukasi kepada masyarakat lokal, maupun pengunjung, mengedepankan perlindungan kepada budaya dan lingkungan, serta memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyarakat lokal. Sebagai sebuah konsep pengembangan pariwisata, pariwisata berbasis masyarakat bukanlah konsep yang kaku (Tasci et al, 2013). Penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat harus disesuaikan dengan karakteristik suatu destinasi, baik kondisi fisik, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, serta sistem ekonominya. Meskipun implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat akan berbeda di setiap destinasi, namun prinsip-prinsip yang diterapkan pada dasarnya dapat ditentukan, dengan memperhatikan karakteristik destinasi tersebut. Asker et al (2010) mengemukakan tiga commit to user prinsip pariwisata berbasis masyarakat yaitu pemberdayaan masyarakat,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
mengedepankan budaya, dan mengedepankan lingkungan. Selain 3 prinsip tersebut, Haussler dan Strasdas (2003:121) menambahkan prinsip lain yaitu manfaat terbesar harus dinikmati masyarakat, dan adanya unsur edukasi bagi masyarakat maupun pengunjung mengenai pentingnya perlindungan terhadap alam dan budaya. Dalam istilah aslinya, pariwisata berbasis masyarakat disebut sebagai community based tourism (CBT). Pariwisata berbasis masyarakat merupakan kepariwisataan yang umumnya diselenggarakan dalam skala kecil dimana di dalamnya terjadi interaksi antara pengunjung dan masyarakat tuan rumah. Sektor Pariwisata sangat potensial untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, dan mempunyai multiplier effect yang sangat luas karena usaha-usaha di sektor pariwisata terkait langsung dengan banyak sektor lain yang mempengaruhi kehidupan ekonomi rakyat. Konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat merupakan langkah efektif untuk menjadikan sektor pariwisata untuk memberikan manfaat optimal kepada masyarakat, strategi khusus pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pariwisata dilakukan dengan konsep CBT atau pariwisata berbasis masyarakat, adalah dengan melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pariwisata. Masyarakat lokal menjadi pemanfaat utama dari kegiatan pariwisata lokal. Konsep CBT banyak diterapkan dalam penyelenggaraan wisata petualangan, wisata budaya, dan ecotourism sehingga model CBT sangat cocok untuk pelestarian sumbersumber daya lokal baik sumber daya alam maupun budaya. Kata implementasi berasal dari kata “implementation” yang berarti pelaksanaan (Echols & Shadily, 2000: 127). Berdasarkan hal tersebut, kata “implementasi” dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pelaksanaan atau penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat dalam pengelolaan kepariwisataan di Desa Pakraman Sukasada, Singaraja, Bali. Adapun pelaksanaan atau penerapan yang dimaksud adalah proses, atau rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam penerapan prinsip-prinsip dari konsep pariwisata berbasis masyarakat di Desa Pakraman Sukasada, Singaraja, Bali termasuk di dalamnya kendala maupun faktor pendukungnya. Tren pariwisata modern yang juga makin diminati masyarakat dalam negeri adalah mencari kekhasan lingkungan alam dan budaya. Pelestarian keanekaragaman sumber-sumber daya hayati dan kekhasan budaya lokal merupakan langkah terbaik commit to user untuk menarik lebih banyak wisatawan, yang pada gilirannya akan memberikan manfaat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
kepada ekonomi global. Dalam kondisi krisis global yang potensial mempengaruhi pariwisata domestik, langkah yang paling tepat adalah meningkatkan promosi dengan sasaran utama wisatawan domestik. Promosi dan pemasaran pariwisata yang efektif harus dimulai dengan pengembangan destinasi pariwisata yang berdaya tarik tinggi. Untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi global pada pariwisata Indonesia, khusunya terkait dengan masalah ketenagakerjaan, perlu dibangun kerjasama yang lebih erat antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat luas. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat merupakan agen perubahan (agents of change) yang memiliki kewenangan terhadap proses dinamika sosial, ‘masyarakat’ merupakan sistem sosial yang sedikit ‘menonjol’ dengan latar belakang serangkaian hubungan sistemik lain yang menjadi induknya. Masyarakat menonjol karena prinsip-prinsip struktural yang berfungsi untuk memproduksi segenap ‘pengelompokan institusi’ yang bisa dispesifikasi lintas ruang dan waktu. Di sini mempunyai arti bahwa, masyarakat sangat berperan penting dalam konsep ini, karena masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam segala perkembangan yang ada di Desa Pakraman Sukasada, termasuk hal-hal sekecil apapun perubahan.
4.4.4
Strategi Pengembangan Tajen Sebagai Modal Budaya
Strategi pengembangan adalah seni memadukan atau menginteraksikan antar faktor kunci keberhasilan agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan. Strategi pengembangan merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Manfaat strategi adalah untuk mengoptimalkan sumberdaya unggulan dalam memaksimalkan pencapaian sasaran kinerja. Dalam konsep pengembangan cara terbaik untuk mencapai tujuan, sasaran dan kinerja adalah dengan strategi memberdayakan sumber daya secara efektif dan efisien. Tajen sebagai sumber daya dan atraksi wisata budaya di Desa Pakraman Sukasada merupakan modal budaya yang sangat diunggulkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu alat analisis yang dapat menganalisis kekuatan, kelemahan, serta peluang, dan ancaman tentang atraksi budaya ini. Salah satu alat analisis yang dipakai untuk dapat mengetahuinya adalah alat analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threatment) yaitu kekuatan, kelemahan, kesempatan atau peluang, dan ancaman. Kekuatan dan kelemahan lebih banyak terjadi di lingkungan dalam (internal), sedangkan kesempatan dan ancaman commit to user banyak terjadi di luar lingkungan oleh Rangkuti (Arsyadha, 2002:56). SWOT
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
merupakan alat analisis kualitatif sederhana tetapi telah sangat luas digunakan dalam manajemen termasuk manajemen pengembangan pariwisata. Data-data yang akan digunakan bersumber dari survei sekunder dan observasi lapangan serta dari hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Materi SWOT ini merupakan kompilasi dari berbagai data yang telah diperoleh dan hasil analisis. Analisis SWOT dalam bidang pariwisata dapat dimanfaatkan untuk merumuskan arahan dan skenario pengembangan pariwisata baik dalam skala mikro sampai skala makro yang saling berhubungan, artinya SWOT dapat merumuskan secara rasional dan berurutan sesuai dengan tujuan keperluannya sebagai berikut. - Memberikan gambaran mengenai permasalahan yang perlu diindikasikan untuk suatu keperluan tertentu. - Menganalisis hubungan antar issue. - Memberikan skenario dan arahan keadaan sekarang dan masa datang. Analisis SWOT sering juga diartikan sebagai alat identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis SWOT dilakukan berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan potensi dan kesempatan namun secara bersamaan dapat meminimalisasi kendala dan ancaman sehingga akan memberikan output berupa target atau perlakuan untuk mencapai tujuan. Metode analisis SWOT tentang penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut, (Tabel 7. Lampiran). 1.
Strategi strength opportunities (SO) Merupakan strategi pengembangan yang menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang, menghasilkan strategi pengembangan obyek dan daya tarik wisata Desa Pakraman Sukasada, dengan program antara lain. a.
Mengembangkan obyek wisata Desa Pakraman Sukasada, dengan menciptakan beraneka ragam atraksi wisata sebagai contoh adalah dikembangkannya wisata minat khusus yaitu tajen.
b.
Mempertahankan keindahan alam dan keaslian lingkungan sekitarnya.
2.
Strategi strength threats (ST) Merupakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman,
menghasilkan: strategi peningkatan keamanan di Desa Pakraman Sukasada, dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
program meningkatkan keamanan dengan melibatkan masyarakat setempat, misalnya dengan mengaktifkan siskamling dan pecalang.
3.
Strategi weakness opportunity (WO) Merupakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan
peluang, menghasilkan: strategi pengembangan sarana dan prasarana pokok dan penunjang kegiatan pariwisata, dengan program antara lain: penyediaan pintu masuk (gate entrance), penyediaan akomodasi, penyediaan rumah makan, penyediaan fasilitas tempat parkir dan toilet umum, penyediaan ruang terbuka (open space); strategi promosi, dengan program antara lain: melakukan riset mengenai pasar wisata potensial dan aktual, melakukan promosi melalui biro perjalanan wisata, dan hotel, melakukan promosi lewat internet, majalah, ekshibisi, dll, bekerjasama dengan pemerintah daerah Kabupaten Singaraja. 4.
Strategi weakness threats (WT) Merupakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman,
menghasilkan: strategi pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) pariwisata pada obyek wisata Desa Pakraman Sukasada, dengan program antara lain: membentuk kelembagaan khusus yang bertugas mengelola kepariwisataan Desa Pakraman Sukasada, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mengadakan penyuluhan sadar wisata. Adapun beberapa strategi alternatif yang disusun yaitu strategi pengembangan produk, strategi promosi, strategi pengembangan sarana dan prasarana pokok maupun penunjang, strategi peningkatan keamanan dan kenyamanan obyek wisata Desa Pakraman Sukasada, dan strategi pengembangan kelembagaan dan sumber daya pariwisata pada obyek wisata Desa Pakraman Sukasada. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, strategi pengembangan yang tepat dalam mengembangkan tajen menjadi atraksi wisata budaya berbasis masyarakat adalah dengan mengembangkan wilayah sekitar Desa Pakraman Sukasada, mempertahankan keindahan alam, melibatkan sistem keamanan adat masyarakat sekitar agar dapat menjaga serta menertibkan keamanan selama acara tajen berlangsung, menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung seperti hotel, toilet umum, melakukan promosi pariwisata, dan membentuk suatu kelembagaan yang mengatur khusus tentang tajen agar lebih commit to user terbuka dengan masyarakat yang ikut mengembangkan atraksi wisata budaya ini,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
sehingga wisata budaya tajen dapat terselenggara dengan baik, masyarakat bisa merasakan manfaatnya dan bisa terkenalnya Desa Pakraman Sukasada sebagai modal budaya pariwisata yang berbasis masyarakat. 4.4.5
Keberlanjutan Tajen Sebagai Atraksi Wisata Budaya
Tajen atau judi sabung ayam sekalipun dilarang secara aturan dan perundangundangan, namun faktanya, tajen atau judi sabung ayam itu tetap saja dilakukan di Bali. Untuk konteks Bali, tajen atau sabung ayam selalu dicampur adukan dengan unsur agama dan kebudayaan, tetap saja disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sehingga selalu bersinggung dengan unsur judi. Kalau hal ini diatur dalam undang-undang, maka aparat tentu saja pasti bisa membedakan manakah yang disebut judi dan manakah yang tabuh rah yang biasa digunakan dalam prosesi keagamaan. Kegiatan ini perlu diatur dalam penyelenggaraan tajen atau sabung ayam tersebut dan tidak setiap hari dilakukan, serta memberikan tempat yang sudah disiapkan. Bali termasuk pilot project untuk para stakeholders, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri apabila tajen ini diatur dalam suatu aturan yang jelas tentang adanya perjudian di arena tajen. Tajen dalam hubungannya dengan tabuh rah tetap dipertahankan, seperti sudah banyak contoh lain yang sudah ada asalkan dapat izin dan legal. Jika tajen tetap diselenggarakan untuk tujuan pariwisata, maka rancangan tajen untuk pariwisata harus dikemas secara bagus, tertata dan jauh dari unsur perjudian. Kedepannya, pasti ada yang setuju dan tidak setuju dengan rancangan pariwisata tajen yang jauh dari unsur judinya, pro-kontra antara bebotoh, stakeholder pariwisata, dan pihak yang berkaitan harus saling menghargai. Tajen di Desa Pakraman Sukasada merupakan modal kebudayaan yang penting yang menyangkut berbagai pihak di dalamnya, termasuk masyarakat Desa Pakraman Sukasada. Jika masyarakat desa sudah mendapatkan bagian dalam hal perencanaan wisata maka kelanjutan tajen sebagai modal budaya yang dimiliki Desa Pakraman Sukasada akan sangat membantu dalam memajukan pariwisata yang bersifat menyeluruh. Konsep pembagunan pariwisata berkelanjutan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Natori (2001:24) yakni; 1) terpeliharanya mutu dan berkelanjutan sumber daya alam dan budaya, 2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, 3) terwujudnya keseimbangan antara sumber daya alam dan budaya, 4) kesejahteraan masyarakat lokal commit to user serta kepuasan wisatawan. Berdasarkan pengertian tersebut konsep pengembangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
pariwisata di Desa Pakraman Sukasada harus memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan aspek ekonomi agar sumber daya alam, sosial dan budaya yang ada dapat dimanfaatkan untuk generasi mendatang. Konsep pembagunan pariwisata berkelanjutan dilakukan sebagai langkahlangkah untuk pengembangan pariwisata di Indonesia, maka kegiatan-kegiatan terencana dan terprogram yang dilakukan oleh pemerintah pada hakekatnya memang bertujuan untuk ‘berkelanjutan’. Khususnya di bidang pariwisata misalnya, apa yang dimaksud dengan pembagunan pariwisata berkelanjutan pada intinya berkelanjutan dengan usaha menjamin agar sumber daya alam, sosial dan budaya yang dimanfaatkan untuk pembagunan pariwisata agar dilestarikan untuk generasi mendatang (Ardika, 2003:21). Pariwisata berkelanjutan menurut konsep Muller (1997:78) adalah pariwisata yang dikelola mengacu pada pertumbuhan kualitatif, maksudnya adalah meningkatkan kesejahteraan, perekonomian dan kesehatan masyarakat. peningkatan kulitas hidup dapat dicapai dengan meminimalkan dampak negatif sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Lima hal yang harus diperhatikan dalam pariwisata berkelanjutan menurut konsep Muller (1997:80) yaitu; 1) pertumbuhan ekonomi yang sehat, 2) kesejahteraan masyarakat lokal, 3) tidak merubah struktur alam, dan melindungi sumber daya alam, 4) kebudayaan masyarakat yang tumbuh secara sehat, 5) memaksimalkan kepuasan wisatawan dengan memberikan pelayanan yang baik karena wisatawan pada umumnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development) pembangunan pariwisata yang menekankan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. WTO (1999), menekankan ada tiga hal penting dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu sebagai berikut. 1. Quality. Sustainable tourism provides a quality experience for visitor, while improving the quality of the host community and protecting the quality of environment. 2. Continuity. Sustainable tourism ensures the continuity of the natural resources upon which is based and the continuity of the cultural of the host community with satisfying experience for visitors. 3. Balance. Sustainable tourism balances the need of the tourism industry, supporters of environment, and the local community. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan pengertian tersebut konsep pengembangan pariwisata tajen sebagai modal budaya atraksi wisata budaya commit to user yang ada di Desa Pakraman Sukasada sebenarnya bisa menjadi pariwisata berbasis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
masyarakat dengan tetap juga memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan aspek ekonomi agar sumber daya alam, sosial dan budaya yang ada agar dapat dimanfaatkan untuk generasi mendatang dan tentunya agar tajen menjadi lebih bermanfaat di masa depan.
commit to user