BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Fisik Sub DAS Cisadane Hulu Daerah Legokmuncang Secara geografis Sub DAS Cisadane Hulu terletak pada 106 o44’24’’ – 106o56’24’’ BT dan 006o35’60’’ – 006o46’48’’ LS. Sub Das Cisadane Hulu merupakan daerah aliran sungai yang paling hulu dari sungai Cisadane yang mengalir dari Gunung Pangrango ke arah barat laut dan dari Gunung Salak ke arah timur laut. Penelitian dilakukan di Sub DAS Cisadane hulu daerah Legokmuncang. Daerah Legokmuncang terletak pada 106o48 BT dan 006o38 LS. Luas daerah Legokmuncang adalah 19558.08 ha. Luasan ini adalah 12.76% dari luasan total Sub Das Cisadane Hulu yaitu 153208.91 ha. Daerah Legokmuncang mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson yang dapat dibedakan antara musim penghujan dan musim kemarau. Stasiun iklim yang berada pada daerah Legokmuncang yaitu stasiun iklim dramaga dan citeko. Pos pengukuran hujan sekitar daerah Legokumcang yaitu pos hujan Cihideung, Pasir Jaya, Kahuripan, Karacak, Gadog, Gn. Mas, Katulampa, PS. Muncang, Panjang. Posisi masing-masing pos hujan seperti pada Gambar 9. Curah hujan harian minimum dan maksimun tahun 2008 sebesar 0 mm dan tertinggi sebesar 105.00 mm. b c d
e
a
Gambar 9. Posisi Pos Pengukuran Hujan, a). Pasir Jaya, b). Katulampa, c). Gadog, d). PS Muncang, e). Citeko
62
63 Gambar 10. Peta Sub DAS Cisadane Hulu Daerah Legokmuncang
1. Tataguna Lahan Berdasarkan data dari Balai Pengelolaan DAS Ciliwung-Cisadane (BP DAS Ciliwung-Cisadane), wilayah Sub Das Cisadane Hulu daerah Legokmuncang skala 1 : 250000 dijumpai tujuh jenis tataguna lahan (2008) yaitu hutan, pertanian, sawah, pemukiman, perkebunan, rawa, semak/belukar. Tabel 3. Jenis dan Luasan Tataguna Lahan Tahun 2008 No.
Luasan
Jenis Penggunaan Lahan ha
1
Hutan lahan kering primer
2
%
541.67
2.77
Hutan lahan kering sekunder
4302.93
22.00
3
Hutan tanaman
2329.74
11.91
4
Pertanian lahan kering campur
10737.55
54.90
5
Pertanian lahan kering
346.43
1.77
6
Pemukiman
1101.70
5.63
7
Perkebunan
107.89
0.55
8
Sawah
24.31
0.12
9
Rawa
17.79
0.09
10
Semak/belukar
48.21
0.25
19558.22
100.00
Total
Dari tabel 3 tersebut terlihat bahwa jenis tataguna lahan yang mendominasi daerah Legokmuncang adalah pertanian lahan kering kering sebesar 11083.98 ha. Jenis tataguna lahan yang paling kecil luasannya adalah rawa sebesar 17.79 ha. Peta tataguna lahan tahun 2008 di Sub DAS Cisadane Hulu daerah Legokmuncang dapat dilihat pada Gambar 11.
64
65 Gambar 11. Peta Tataguna Lahan Tahun 2008 Sub DAS Cisadane Hulu Daerah Legokmuncang
2. Tanah Berdasarkan data dari Balai Pengelolaan DAS Ciliwung-Cisadane (BP DAS Ciliwung-Cisadane), wilayah Sub Das Cisadane Hulu daerah Legokmuncang skala 1 : 250000, jenis tanah yang dijumpai ada lima jenis yaitu : 1). Andosol coklat kekuningan, 2). Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, 3). Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat putih, 4). Kompleks regosol kelabu dan litosol, 5). Latosol coklat. Tabel 4. Jenis dan Luasan Tanah Daerah Legokmuncang Luasan No.
Keterangan
ha
%
1
Andosol Coklat Kekuningan
2936.61
15.01
2
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat
1337.39
6.84
6407.74
32.76
943.65
4.82
7932.64
40.56
3
Kompleks Latosol Merah Kekuningan Latosol Coklat Putih
4
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol
5
Latosol Coklat Total
19558.02 100.00
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa jenis tanah Latosol Coklat mendominasi daerah Legokmuncang ini dengan luasan sebesar 7932.64 ha. Pada laporan hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1992) menyatakan bahwa jenis tanah Latosol ini pada lapisan atas berwarna gelap, kaya bahan organik, struktur tanah remah, konsistensi lekat dan plastis. Sifat fisik tanah ini cukup baik, permeabilitas agak lambat, dan tingkat kesuburan tanah adalah sedang. Sebagian tanah ini diusahakan sebagai tegalan dengan tanaman palawija. Jenis tanah ini memiliki faktor penghambat berupa kedalaman tanah dangkal, berbatu, dan kekeringan pada musim kemarau, erodibilitas tanah sangat rendah (0.06-0.19). Jenis tanah Andosol merupakan jenis tanah kedua yang mendominasi daerah Legokmuncang setelah jenis tanah Latosol Coklat. Laporan hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1992) menyatakan bahwa ciri utama jenis tanah Andosol adalah lapisan atas kaya dengan bahan organik
66
berwarna coklat gelap sampai coklat coklat kekuningan, memiliki tekstur sedang sampai agak kasar berpasir semu dan berbatu. Lapisan bawah berwarna coklat hingga coklat kekuningan, strukturnya lemah granular, dan memiliki konsistensi smeary atau rasa licin diantara jari-jari tangan. Tingkat kesuburan tanah ini cukup baik. Tanah ini mudah meresapkan air (porous), namun tanah ini berbatu sehingga mudah longsor karena stabilitas agregat rendah. Tanah ini berpotensi baik untuk tanaman palawija dan sayuran.
67
68 Gambar 12. Peta Tanah Sub DAS Cisadane Hulu Daerah Legokmuncang
B. Analisis Aliran Sungai Dengan Model SWAT Pada penelitian ini menggunakan beberapa software Open Source, diantaranya Global Mapper 7, Map Window 4.6, MW-SWAT 1.5SR, dan SWAT Plot and Graph. Pengolahan data ini dilakukan tiga proses, yaitu Geo-Processing, MW-SWAT Processing, dan Plotting dengan SWATPlot dan SWAT-Graph. Sebelum melakukan geo-processing, terlebih dahulu dilakukan pengubahan format DEM (Digital Elevation Model) dengan mengunakan Global Mapper 7. 1. Global Mapper 7 Penelitian ini menggunakan peta Digital Elevation Model (DEM) global. Sebelum peta DEM ini digunakan pada SWAT, maka diolah terlebih dahulu pada Global Mapper 7. Global Mapper 7 digunakan untuk mengubah format DEM dimana akan dieksport dari bentuk SRTM_58_14.zip ke bentuk Arc ACII Grid. Pada proses ini dilakukan pemotongan DEM berdasarkan batas DAS daerah penelitian yang akan diolah yaitu sub DAS Cisadane hulu daerah Legokmuncang.
Hasil
pengolahan ini disimpan dalam output
grid
(SRTM_58_14.asc) dan digunakan untuk tahap berikutnya, Geo-Processing.
Gambar 13. DEM hasil pengolahan pada Global Mapper 7
69
2. Map Window 4.6SR (Tahap Geo-Processing) Tahap Geo-Processing digunakan Map Window 4.6SR. Pada tahap ini dilakukan pemfokusan daerah yang akan dianalisis. Pemfokusan ini dilakukan pada peta DEM, peta tanah 2008, peta tataguna lahan tahun 2008. Data-data dan semua proses pada tahap ini disimpan dalam satu folder untuk mempermudah akses data maupun hasil. 1. Peta DEM Pada proses pertama dalam Geo-Processing ini dilakukan penimpaan (overlay) peta yaitu antara peta au_basin_II_r500m.shp (peta global) dan batas DAS Legokmuncang (Legokmuncang.shp). Kemudian dibuat poligon untuk pemfokusan daerah analisis. Poligon ini dibuat sesuai dengan ukuran batas DAS Legokmuncang namun poligon tersebut harus lebih besar dari batas DAS tersebut agar semua daerah pada batas DAS dapat terolah sehingga dapat teranalisis. Poligon yang telah dibuat ini disimpan dalam format (asc) dengan nama file (maskDEM.asc). Selanjutnya penimpaan peta kembali yaitu DEM (SRTM_58_14.asc), lalu peta tersebut dipotong sesuai dengan bentuk poligon yang telah dibuat. Hasil potongan tersebut disimpan dalam format (.asc) dengan nama file (demtumpuk.asc). Selanjutnya dilakukan reproject grid dengan mengubah Category Projection dengan Projection Coordinate System dengan Group yaitu UTM-Wgs 1984 dan name yaitu WGS 1984 UTM Zone 48S. Lalu disimpan dalam format ASC (.asc). 2. Peta Lokal Pada proses Geo-Processing ini dilakukan juga pengolahan pada dua peta lokal tahun 2008 yaitu peta tanah, dan peta tata guna lahan. Peta Tanah Proses kedua pada Geo-Processing yaitu pengolahan peta tanah. Hal pertama yang dilakukan pada proses ini adalah pembuatan poligon (mask). Poligon ini dibuat sebagai cetakan untuk memotong peta tanah untuk pemfokusan daerah yang akan dianalisis. Poligon peta tanah ini dibuat lebih besar ukurannya dari daerah Legokmuncang. Setelah peta tanah dipotong berdasarkan ukuran poligon lalu
70
dilakukan penyamaan ID jenis tanah daerah Legokmuncang dengan jenis tanah pada database SWAT. ID jenis tanah dan karakteristik tanah yang pada database SWAT adalah jenis tanah dan karakteristik tanah pada daerah Legokmuncang. ID jenis tanah pada tabel atribut peta yang ditambahkan diberi nama SOIL_ID yang berisi kode nomor yang telah disesuaikan dengan global soil pada database SWAT seperti lampiran 1. Setelah penyamaan ID selesai dilakukan selanjutnya dilakukan reproject grid terhadap peta tanah tersebut. Hasil reproject grid untuk peta tanah lokal seperti pada Gambar 14. 2.2. Peta Tataguna Lahan Proses kedua pada Geo-Processing yaitu pengolahan peta tataguna lahan tahun 2008. Poligon peta tataguna lahan ini digunakan poligon yang telah dibuat seperti pada mask peta tanah. Setelah peta tataguna lahan dipotong berdasarkan ukuran poligon Setelah peta tataguna lahan dipotong berdasarkan ukuran poligon
lalu dilakukan
penyetaraan ID tataguna lahan daerah Legokmuncang dengan tataguna lahan pada database SWAT. ID tataguna lahan dan karakteristiknya yang pada database SWAT merupakan pendekatan dari file CROP dan URBAN. ID tataguna lahan pada tabel atribut peta yang ditambahkan diberi nama LANDUSE_ID yang berisi kode nomor yang telah disesuaikan dengan global landuse pada database SWAT seperti Lampiran 2. Setelah penyamaan ID selesai dilakukan selanjutnya dilakukan reproject grid terhadap peta tanah tersebut. Hasil reproject grid peta tataguna lahan seperti pada Gambar 15.
71
72 Gambar 14. Peta Hasil Reproject Grid Peta Tanah Lokal
73 Gambar 15. Hasil Reproject Grid Peta Tataguna Lahan Lokal Tahun 2008
3. MW-SWAT 1.5SR Setelah tahapan Geo-Processing selesai, dilakukan tahap selanjutnya dengan MW-SWAT 1.5SR . Tahapan dengan MW-SWAT 1.5SR ini terdiri dari empat tahap diantaranya delineate watershed, pembentukan HRU (Hidrologic Respons Unit), pengaturan SWAT dan menjalankannya. 3.1. STEP 1 (Watershed Delination) Pada tahap pertama dilakukan delinasi aliran sungai (delineate watershed) pada batas sub DAS Legokmuncang. Pada tahap ini digunakan peta DEM hasil reproject yang telah dilakukan pada proses Geo-Processing. Peta DEM yang digunakan adalah peta dengan nama file demtumpuk_Reprojected.asc. Pada tahapan ini dilakukan tiga kali running, pertama yaitu running setelah dilakukan fokus pada penutupan peta demtumuk_reprojected.asc dengan batas daerah Legokmuncang, kedua yaitu running setelah pengaturan pada pembentukan jaringan aliran sungai dan ketiga yaitu running setelah penentuan outlet aliran sungai pada daerah legokmunacang. Pada pembentukan jaringan aliran sungai dilakukan dengan Threshold Method, dimana dilakukan pengaturan cell dalam satuan sq.km (km2). Pengaturan cell ini dilakukan untuk melihat pola jaringan aliran sungai sehingga didapatkan jaringan aliran sungai secara detail. Pengaturan cell ini dapat dilakukan beberapa kali sampai didapat jaringan aliran sungai terdetail untuk penentuan outlet aliran sungai. Ukuran cell ini juga berpengaruh terhadap jumlah sub basin (Sub DAS) dimana semakin kecil ukuran cell maka semakin banyak pula jumlah sub basin yang terbentuk. Selain itu, ukuran cell juga mempengaruhi kedetailan pada pembacaan koordinat pada stasiun iklim dan pos hujan. Pengaturan ukuran cell dengan ukuran cell 0.28 km2, menghasilkan pola jaringan sungai yang lebih detail seperti pada Gambar 16.
74
Sungai Batas Sub DAS Gambar 16. Pola Jaringan Aliran Sungai
Setelah dilakukan pengaturan cell tersebut, dilakukan penentuan outlet aliran sungai. Outlet tersebut disimpan dalam file (outlet.shp). Letak outlet dipilih berdasarkan posisi koordinat pos hujan di lapangan yaitu pada posisi 106.8 BT dan 6.33 LS seperti pada Gambar 17.a, namun pada posisi tersebut tidak terbentuk jaringan sungai karena posisi tersebut berada diluar batas DAS. Oleh sebab itu, maka posisi outlet disesuaikan dengan jaringan bersatunya percabangan aliran sungai yaitu pada koordinat 106.811 BT dan 6.644 LS seperti pada Gambar 17.b. Untuk simulasi ini, digunakan koordinat 106.811 BT dan 6.644 LS sebagai titik outlet aliran sungai. Berdasarkan Gambar 16 maka dapat diketahui bahwa posisi pos hujan daerah Legokmuncang kurang tepat karena pada posisi koordinat tersebut tidak terbentuk jaringan sungai. Pada Gambar 17 terlihat ada daerah yang tidak terdelinasi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya resolusi DEM yang digunakan pada simulasi. Pada simulasi ini digunakan DEM dengan resolusi 90x90 meter. Agar semua daerah tersimulasi maka harus digunakan resolusi yang lebih kacil yaitu 30x30 meter.
75
a
Batas Sub-Sub DAS Batas Sub DAS
b
Outlet Sungai
Gambar 17. Posisi Koordinat Pos Hujan, a). koordinat di lapangan, b). Koordinat simulasi
3.2. STEP 2 (Pembentukan HRU) Setelah tahap satu berhasil dilakukan maka berlanjut ke tahap dua yaitu pembentukan HRU (Hidrologic Respons Unit). Pada tahap dua ini dilakukan overlay terhadap peta tataguna lahan, peta tanah dan DEM namun pengolahan peta yang dilakukan yaitu terhadap peta tataguna lahan dan peta tanah. Tahap ini merupakan pengelompokan lahan yang memiliki karakteristik penggunaan lahan dan tanah yang sama maka peta yang digunakan adalah peta tanah dan peta tataguna lahan yang telah di reproject grid. Pada tahap dua ini, dilakukan input data terhadap kelerengan (slope). Arsyad (2006) mengelompokan kecuraman lereng kedalam 7 kelompok, diantaranya : A = 0 sampai < 3 % (datar) B = > 3 sampai 8 % (landai atau berombak) C = > 8 sampai 15 % (agak miring atau bergelombang) D = > 15 sampai 30 % (miring atau berbukit) E = > 30 sampai 45 % (agak curam atau bergunung)
76
F = > 45 sampai 65 % (curam) G = > 65 % (sangat curam) Berdasarkan pengelompokan diatas, maka persentase kelerengan yang digunakan dalam simulasi yaitu 0%, 3%, 8%, 15%, 30%, 45%, 65%. Dalam menentukan jumlah HRU yang dibentuk, terdapat dua pilihan yaitu Single HRU dan Multiple HRUs. Pemilihan Single HRU
hanya
digunakan
untuk
masing-masing
basin
yang
menghasilkan satu HRU sehingga memberikan informasi mengenai tanah, tataguna lahan dan range kelerengan hanya untuk basin tersebut. Multiple HRUs digunakan untuk pembentukan HRU pada seluruh basin dalam sub DAS daerah fokus (daerah Legokmuncang) sehingga terbentuk beberapa subbasin yang membentuk sejumlah HRU dalam satu sub DAS. Dipilih Multiple HRUs dan HRU threshold dengan persentase, selanjutnya dilakukan pengaturan persentase landuse, soil, dan slope. Pada setiap pengaturan persentase
landuse,
soil,
dan
slope
yang
dilakukan,
akan
menghasilkan jumlah HRU yang berbeda-beda. Threshold yang digunakan untuk landuse sebesar 10%, soil sebesar 5% dan slope sebesar 5%. Dengan jumlah persentase tersebut, maka terbentuk 1317 HRU dalam 237 sub basin. Titik outlet pada daerah Legokmuncang berada pada sub basin nomor 237. Dari hasil pengelompokan HRU ini luasan daerah yang terolah yaitu 17452.52 ha sedangkan luas daerah Legokmucang adalah 19558.02 ha. Ada sebesar 105.5 ha daerah yang tidak terolah. Ini disebabkan karena pada tahap delinasi aliran sungai, tidak semua daerah terdelinasi sehingga tidak semua daerah terolah. HRU yang terbentuk oleh model untuk sub basin nomor 237 dapat dilihat
pada
Lampiran 9.
Hasil
pengelompokan HRU
ini
menghasilkan lima jenis penggunaan lahan yaitu rawa (WATR), hutan (FRST), perkebunan (APPL), pertanian (AGRR), dan pemukiman (URHD). Landuse yang mendominasi pada hasil simulasi ini adalah pertanian (AGRR) dengan luas 10658.88 ha.
77
Pada simulasi ini, terdapat tiga jenis penggunaan lahan yang diabaikan, daerah tersebut yaitu sawah (RICE), semak/belukar (LBLS), dan tanah terbuka (GRAS). Diabaikannya daerah ini karena masing-masing luas daerah tersebut kurang dari batas persentasi landuse yang telah ditentukan sebelumnya yaitu kurang dari 10%. Selain luasan yang kurang dari 10% dari total luas daerah, terabaikannya daerah tersebut karena landuse tersebut berada diluar batas daerah Legokmuncang. Untuk jenis tanah, simulasi membaca lima jenis tanah yaitu asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, andosol coklat kekuningan, latosol coklat, kompleks regosol kelabu dan litosol, dan kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat putih. Jenis tanah yang mendominasi daerah Legokmuncang yaitu latosol coklat dengan luas 7007.60 ha. Pada simulasi ini juga ada jenis tanah yang diabaikan yaitu kompleks rensina litosol dan brown forest soil, asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu, asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat. Jenis tanah tersebut diabaikan karena luas dari jenis tanah tersebut kurang dari 5% dan jenis tanah tersebut diluar area batas Sub DAS Cisadane Hulu daerah Legokmuncang. Hasil pengelompokan HRU peta tataguna lahan tahun 2008 seperti pada Gambar 18.
78
HASIL PENGELOMPOKAN HRU STEP 2
Batas Sub-Sub DAS Sungai Outlet Batas HRU
Gambar 18. Hasil Pengelompokan HRU Sub DAS Cisadane Hulu Daerah Legokmuncang
79
3.3. STEP 3 (SWAT Setup and Run) Setelah tahap dua ini selesai, tahap selanjutnya adalah tahap tiga yaitu SWAT Setup and Run. Pada tahap ini dilakukan pengaturan untuk periode untuk simulasi yaitu periode mulai simulasi dan periode akhir simulasi. Periode simulasi ini dimulai pada 1 Januari 2008 dan berakhir pada 31 Desember 2008. Selanjutnya dilakukan pemilihan untuk Weather Sources dimana didalamnya terdapat dua file yang harus dipilih yaitu file pada Weather Station File dan Weather Generator File. Weather Generator File merupakan file data generator iklim. Weather Station File merupakan file yang didalamnya terdapat daftar stasiun iklim yang dilengkapi dengan posisi lintang dan elevasi dari masing-masing stasiun iklim. Untuk daerah penelitian Legokmuncang digunakan data stasiun iklim dramaga dan stasiun iklim citeko. Selain data iklim dari kedua stasiun tersebut, digunakan juga data hujan (presipitasi). Data hujan yang digunakan yaitu data dari pos pengukuran hujan Cihideung, Pasir Jaya, Kahuripan, Karacak, Gadog, Gn. Mas, Katulampa, PS. Muncang, Panjang. Hasil simulasi pada tahap ini berupa debit output pada outlet daerah simulasi di sub basin nomor 237. Debit rata-rata output bulanan (FLOW_OUT) ini akan dibandingkan debit aktual (debit observed) pada SWAT Plot and Graph untuk pengujian model. Hasil simulasi juga menunjukan posisi pos hujan dan posisi stasiun iklim. Posisi pos hujan dan stasiun iklim yang ditampilkan pada Gambar 19 adalah posisi pos hujan Pasir Jaya, Katulampa, Gadog, PS Muncang dan stasiun iklim Citeko. Posisi pos hujan Cihideung, Kahuripan, Karacak, Panjang, Gn. Mas dan stasiun iklim Dramaga tidak tertampil pada gambar hasil simulasi karena posisi tersebut berada jauh dari daerah Legokmuncang. Namun data iklim dan data hujan dari masing-masing pos hujan dan stasiun iklim tersebut tetap terhitung dalam pemodelan hidroligi ini.
80
HASIL PENGOLAHAN STEP 3
Stasiun Iklim/Pos Hujan Batas Sub-Sub DAS Aliran Sungai Outlet Batas HRU
Gambar 19. Hasil Pengolahan Step 3
81
C. Analisis Debit Aliran Sungai Aktual dan Debit Aliran Sungai Simulasi Jumlah
dan
distribusi
aliran
sungai
dipengaruhi
oleh
curah
hujan,
evapotranspirasi, dan karakteristik daerah tangkapan. Vegetasi penutup dan tipe penggunaan lahan akan kuat mempengaruhi aliran sungai sehingga adanya perubahan lahan akan berdampak pada aliran sungai (Sinukaban et al.,2000). Simulasi dijalankan pada periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2008. Berdasarkan hasil simulasi, curah hujan yang tinggi akan menyebabkan rata-rata debit yang tinggi, begitu pula sebaliknya curah hujan yang rendah akan menghasilkan rata-rata debit yang rendah. Curah hujan dan debit hasil simulasi tertinggi terjadi pada bulan November 2008 sebesar 788 mm dan 40.83 m3 /det. Curah hujan dan debit simulasi terendah terjadi pada bulan Agustus 2008 sebesar 33 mm dan 1.695 m3/det. Curah hujan hasil simulasi pada wilayah Legokmuncang berkorelasi positif terhadap debit aliran simulasi daerah tersebut. Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0.908 menunjukan adanya korelasi positif antara curah hujan dengan debit hasil simulasi. Korelatif positif ini berarti bahwa setiap kenaikan curah hujan maka debit juga akan mengalami peningkatan. Hubungan antara curah hujan dan debit hasil simulasi disajikan pada Gambar 20.
500
15
600
10
700
5
800
0
900
Debit S imulas i (m3/det) Debit O bs ervas i (m3/det)
08 20
08
\1 0 20
08 20
08 20
08 20
08 20
08 20
08 20
08 20
08 20
08 20
08 20
P res ipitas i (mm)
\1 2
20
\1 1
400
\9
25
\8
300
\7
30
\6
200
\5
35
\4
100
\3
40
\2
0
\1
45
Hujan (m m )
Debit (m 3/det)
Data tabel hubungan curah hujan dan debit hasil simulasi disajikan pada Lampiran 7.
Gambar 20. Hubungan Curah Hujan Bulanan Terhadap Debit Bulanan
55
Grafik hubungan antara debit hasil simulasi dan debit aktual disajikan pada gambar 21. Data tabel hubungan antara debit hasil simulasi dan debit aktual disajikan pada Lampiran 8. Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa debit hasil simulasi dan debit pengukuran lapang memiliki hasil yang berbeda dimana debit hasil simulasi lebih tinggi dibandingkan debit pengukuran lapang. Untuk pengujian model hidrologi dengan SWAT maka debit hasil simulasi dan debit aktual dibandingkan dengan bantuan software SWAT Plot and Graph sehingga didapat nilai koefisien determinasi (R2) dan koefisien Nash-Sutcliffe Model Efficiency (ENS) sebagai parameter penguji model. Hasil plot menunjukan bahwa nilai R2 dan ENS berturut-turut pada simulasi ini adalah 0.625 dan 0.431. Menurut Van Liew (2003), hasil simulasi menunjukan nilai ENS yang memuaskan karena berada pada interval 0.36<ENS<0.75. Moriasi et al. (2007) menyarankan bahwa nilai E NS ≥ 0.5 agar model hasil simulasi dapat memuaskan. Nilai E NS yang dihasilkan dari hasil simulasi tersebut masih dibawah 0.5. Hal ini dikarenakan belum dilakukannya proses kalibrasi. Kalibrasi dilakukan dengan cara trial-error sampai didapatkan ENS diatas 0.5.
Debit Simulasi
Debit Aktual
Gambar 21. Grafik perbandingan antara Debit Simulasi dan Debit Aktual
56