BAB IV Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lokasi Gambaran umum WALHI Yogyakarta a. Sejarah WALHI Yogyakarta Berangkat dari kesamaan visi misi yang diemban, serta didorong oleh keprihatinan terhadap persoalan lingkungan hidup yang senantiasa diabaikan dalam berbagai pertimbangan kebijakan pembangunan mengilhami beberapa aktivis
lingkungan
hidup
untuk
membentuk
sebuah
forum yang
dapat
mempersatukan perjuangan gerakan lingkungan hidup di Yogyakarta. Awalnya, pada tanggal 19 September 1986 diadakan dialog mengenai lingkungan hidup. Saat dialog itu disadari bahwa ada kebutuhan bersama untuk membentuk sebuah forum gerakan lingkungan di Yogyakarta yang dapat menampung
aspirasi
perjuangan,
mempermudah
koordinasi
dan
berbagi
informasi guna pelestarian lingkungan hidup. Menurut Budi Wahyuni, kesadaran para aktivitis lingkungan hidup di Yogyakarta,
berkembang
bersama
dengan
diresponnya
kebutuhan
akan
keberadaan forum daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Sekretariat Nasional Jakarta. Tahun 1986, untuk pertama kali Sri Kusniyanti ditunjuk menjadi penanggung jawab untuk region Yogyakarta-Jawa Tengah. Tahun 1989, Budi Wahyuni menggantikan Sri Kusniyanti. Kali ini Budi Wahyuni tidak bekerja sendiri, karena ada kelompok kerja daerah yang dibentuk untuk
membantu
koordinasi
dan
kerja-kerja
advokasi lingkungan
yang
dikerjakan di sekretariat nasional WALHI. Forum daerah WALHI Yogyakarta baru terbentuk pada tahun 1992, dengan Nur Ismanto, Nur Hidayat dan Budi Wahyuni sebagai presidium forum tersebut untuk pertama kalinya. Terkait perubahan struktur kepengurusan dari presidium ke eksekutif daerah, Bima Widjajaputra menguraikan bahwa hal ini didasarkan pada perubahan yang tertuang dalam statuta WALHI nasional. Uniknya, menurut Bima, disamping berpedoman pada statuta WALHI nasional, di dalam kinerja WALHI Yogyakarta juga ikut diinisiasi tersusunnya statuta lokal, untuk memberikan landasan prinsipil bagi kekhasan proses belajar dan
dinamika berorganisasi di Yogyakarta yang berbeda dengan dinamika yang diatur dalam statuta nasional. Seiring lingkungan
dengan
hidup
berjalannya
merupakan
waktu,
tanggung
kesadaran
jawab
bahwa
bersama,
persoalan
maka
dalam
keorganisasian WALHI muncul pemikiran baru untuk melibatkan masyarakat luas dalam gerakan advokasi lingkungan yang selama ini dilakukan. Melibatkan masyarakat luas berarti pula merubah image eksklusif WALHI menjadi lebih cair sebagai organisasi publik. Momentum inilah yang kemudian mendorong didirikannya Sahabat Lingkungan (Sha-Link) pada tanggal 3 Desember 2004 sebagai wadah
individu dari berbagai spesifikasi keilmuan,
profesi dan
golongan untuk melakukan kegiatan penyadaran dan penyelamatan lingkungan.
b. Profil WALHI Yogyakarta WALHI Yogyakarta merupakan forum advokasi lingkungan hidup yang terdiri dari Organisasi non Pemerintah (Ornop), Kelompok Pecinta Alam dan Organisasi Rakyat.
WALHI Yogyakarta dalam melakukan advokasi
lingkungan hidup didukung oleh 29 lembaga anggota, lebih dari 300 sahabat lingkungan dan 54 mitra kerja organisasi rakyat yang berasal dari berbagai latar belakang
disiplin
masyarakat,
hutan,
keahlian
organisasi
pertanian,
hukum,
lingkungan
kesehatan
perkotaan,
lingkungan
buruh,
dan
penegakan
demokrasi dan HAM serta pemberdayaan masyarakat, manajemen sumber daya alam, Manajemen Bencana, budaya, pendidikan lingkungan, lembaga riset serta lembaga mahasiswa penggiat alam bebas. Dalam menjalankan kerja - kerja advokasi, WALHI Yogyakarta mempunyai visi Keadilan Lingkungan Hidup adalah Hak Kita Semua dan misi organisasi sebagai berikut: 1.
WALHI Yogyakarta mendorong keterlibatan publik dalam pengelolaan ruang.
2.
WALHI Yogyakarta mendorong penyelamatan dan keberfungsian sumber – sumber air.
3.
WALHI Yogyakarta mendorong kolektifitas dan kemandirian publik dalam PRB.
4.
WALHI Yogyakarta mendorong penyelamatan sumber – sumber pangan lokal.
5.
WALHI Yogyakarta membangun kekuatan massa kritis
6.
WALHI Yogyakarta mempunyai Goal Terlindungi dan terjaminnya sumber penghidupan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan(mandat) Kepengurusan WALHI Yogyakarta periode 2013- 2017 terdiri dari
Dewan Daerah dan Eksekutif Daerah yang terdiri dari Direktur Eksekutif didukung oleh bidang kerja Kesekretariatan, Penguatan Kelembagaan dan Advokasi Kawasan serta organ support Sahabat Lingkungan dan WALHI Institute. WALHI Yogyakarta dalam melakukan advokasi lingkungan hidup berbasiskan kawasan dengan isu strategis antara lain Tata Ruang, Kedaulatan Pangan, Air dan Bencana Ekologis. Advokasi ini disatu sisi sasarannya, adalah pembuat
kebijakan,
pemilik
modal
dan
kelompok-kelompok
lain
yang
berpotensi merusak lingkungan hidup, serta masyarakat luas disisi lain guna mendorong terbangun partisipasi dan daulat publik dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.
WALHI Yogyakarta : Jl. Nyi Pembayun No. 14 A, Karang Samalo - Kota Gede - Jogjakarta - Indonesia Kode Pos 55172, Telp./Fax +62274- 378631 / Email
:
[email protected]
c. Anggota WALHI Yogyakarta beranggotakan 29 organisasi, terdiri atas 10 Kelompok
Pecinta Alam (KPA/MAPALA) serta 19 Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Gambar IV.1
Anggota WALHI Yogyakarta Sumber : Arsip WALHI Yogyakarta
Gambar IV.1 (Lanjutan) Anggota WALHI Yogyakarta Sumber : Arsip WALHI Yogyakarta d. Kawasan Advokasi Wilayah
kerja
WALHI
Yogyakarta
berbasiskan
Kawasan yang
merupakan mandat dari para anggota dalam menjalankan kerja – kerja advokasi
lingkungan.
Kawasan
tersebut
terdiri
dari Kawasan
Merapi,
Menoreh,
Perkotaan, Pesisir Selatan dan Karst. 1. Kawasan Merapi Gunung Merapi berada di 4 Kabupaten dan 2 Propinsi yaitu Kabupaten Sleman di Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa Tengah. Advokasi yang dilakukan WALHI Yogyakarta salah satunya adalah penolakan penetapan kawasan Gunung Merapi menjadi Taman Nasional melalui SK Menhut No. 134 tahun 2004. WALHI Yogyakarta Secara aktif bersama dengan anggota melakukan aksi dan advokasi penolakan penetapan kawasan Merapi sebagai Taman Nasional. Hal ini didasarkan pada tidak adanya transparansi dari pelaksanaan proyek tersebut, misalnya : a) Keluarnya SK Menhut 134 tahun 2004 yang tidak pernah melibatkan Pemkab Kabupaten baik eksekutif dan legislatif beserta masyarakat lereng Merapi b) Munculnnya Peta zonasi selama 3 kali yang juga tidak melakukan
koordinasi
dan
konsolidasi
dengan
publik
khususnya dengan masyarakat yang selama ini tinggal di sana. c) Penandatanganan draf kesepakatan yang juga meninggalkan peran-peran publik dalam hal ini adalah Legislatif Propinsi dan Kabupaten, begitu juga dengan masyarakat lereng Merapi. Proses advokasi yang dilakukan saat ini adalah wilayah kelola masyarakat diakui oleh Kementerian Kehutanan melalui Balai Taman Nasional Gunung Merapi dengan sistem pengelolaan kawasan ada di tangan masyarakat. Advokasi lainnya di kawasan ini adalah Tata Ruang wilayah pasca Erupsi Gunung
merapi
2010.
Advokasi
dilatarbelakangi oleh
rencana
relokasi
masyarakat lereng Merapi oleh pemerintah yang berada di wilayah rawan Bencana, penolakan terhadap rencana relokasi tersebut melalui Konsep yang ditawarkan oleh masyarakat berupa Hidup Selaras Bersama Ancaman (HSBA). 2. Kawasan Menoreh Pegunungan Menoreh merupakan kawasan yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purworejo Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan Menoreh
adalah daerah yang membentuk ekosistem yang khas yang menjadi sumber kehidupan mahluk hidup, diantaranya adalah manusia. Kawasan ini merupakan kawasan karst yang rentan bencana dan sebagai penyangga benda cagar budaya, salah satunya Candi Borobudur yang termasuk keajaiban dunia. Advokasi yang dilakukan WALHI Yogyakarta adalah penolakan pertambangan marmer oleh PT. Margola di Selorejo Ngargoretno Salaman Kabupaten
Magelang
Propinsi
Jawa
Tengah.
Penggusuran
pemukiman
penduduk ke wilayah rawan longsor, monopoli dan privatisasi sumber daya air, perubahan pola hidup dari pertanian menjadi buruh, pengangguran, hilangnya lokasi pariwisata yang dijadikan lokasi pertambangan, merupakan alasan mendasar bagi WALHI Yogyakarta bersama anggota untuk melakukan advokasi dikawasan ini. Secara aktif WALHI Yogyakarta juga mendorong penegakan hak-hak masyarakat dan peningkatan kesejahteraannya melalui pendampingan disektor peternakan, pertanian dan perkebunan.
3. Kawasan Perkotaan Kota sebagai pusat pemerintahan dan aktifitas masyarakat yang sangat kompleks merupakan daerah dengan perubahan ekologi yang sangat cepat. Permasalahan yang ada merupakan akibat dari aktifitas masyarakat yang tinggi, sehingga perlu adanya rencana pengelolaan lingkungan kota yang berkelanjutan. Permasalahan lingkungan perkotaan yang ada bermacam – macam, diantaranya masalah AMDAL, Tata Ruang, Sampah, Limbah dan Transportasi. Advokasi yang aktif dilakukan WALHI Yogyakarta di kawasan ini adalah mendorong agar dokumen Amdal dan tata ruang dijadikan sebagai dokumen perlindungan kawasan-kawasan kota, mendorong dan menekan pemerintah serta stake holder untuk melakukan perubahan terhadap regulasi dan kebijakan yang terkait dengan penyadaran pemahaman pengelolaan sampah dari budaya dikumpulkan, diangkut dan dibuang ke TPA diganti dengan 4R (reduce, re-use, replace and recycle) yang terbukti mampu menangani permasalahan sampah secara mandiri, serta penanganan limbah dan menata sistem transportasi. 4. Kawasan Pesisir Selatan Kawasan Pesisir selatan merupakan daerah Pantai Selatan dan gumuk pasir yang tersebar di 3 kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 3
Kabupaten
itu
adalah
Kabupaten
Gunungkidul,
Kabupaten
Bantul dan
Kabupaten Kulonprogo. Advokasi di kawasan ini aktif dilakukan WALHI Yogyakarta dan anggota berkaitan dengan telah dilaksanakannya rencana pembangunan Jalur Lintas Selatan, yang tentunya akan memberikan dampak ekologi yang sangat serius, seperti, terkekangnya hak-hak rakyat atas tanah dan rumah mereka yang selama ini dijadikan tempat bernaung menjadi lokasi pembangunan jalur lintas selatan. Belum lagi dampak dari banyaknya kepentingan investor yang akan masuk untuk menguasai aset-aset sumber kehidupan jika jalur lintas selatan telah selesai dibangun, misalnya pemukiman mewah, pendirian bangunanbangunan perusahaan besar maupun kecil, yang tentunya akan mengakibatkan semakin termarjinalkan posisi masyarakat sekitar atas akses sumber-sumber kehidupan yang ada dan rusaknya ekologi yang ada, diantaranya daerah karst dan gumuk pasir yang merupakan penyangga sumber - sumber kehidupan masyarakat. 5. Kawasan Karst Kawasan Karst merupakan kawasan Pegunungan Sewu yang terletak di Kabupaten
Gunungkidul
dan
Bantul
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
dan
Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah dan Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Selain terdapat di wilayah tersebut diatas kawasan Karst juga terdapat di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Magelang. Saat ini WALHI Yogyakarta terus mendorong ditetapkannya Kawasan Bentang Alam Karst yang merupakan kawasan lindung geologi. e. Donasi Dalam urusan
pendanaan untuk
kegiatan WALHI sendiri pada
dasarnya berasal dari WALHI nasional yang memberikan dana kepada setiap WALHI daerah dengan cara yang sama diberlakukan oleh pemerintah Indonesia dalam setiap pengurusan dana di RAPBN. WALHI nasional mengucurkan dana berdasarkan pada program yang direncanakan oleh tiap-tiap WALHI daerah. Seperti yang dijelaskan oleh informan. “..,. Tapi yang utama itu tetep dari WALHI pusat, jadi kita susun kaya rencana kegiatan setahun, terus nanti pusat yang alokasi.” Mbak Dini – Anggota WALHI Yogyakarta
Juga seperti yang dijelaskan oleh informan pendanaan itu sendiri bukan hanya tergantung pada pusat saja, karena di setiap WALHI sendiri cara-cara untuk mengumpulkan dana dari sekitar wilayah operasi WALHI itu sendiri. “..Dana yang utama itu adalah dari WALHI nasional pusat ya. Kita dari pendanaan bisa dari WALHI nasional, strategi lain penggalangan dana public, non reguler atau reguler..” Mas Halik – Direktur WALHI Yogyakarta.
Hal senada juga dijelaskan oleh Mas Fahmi sebagai Koordinator ShaLink, dan Mas Poncol sebagai salah satu anggota senior “..WALHI itu aslinya ya mas dapet dari nasional gitu, tapi selain itu bisa juga dari luar, kaya donasi reguler, non-reguler, sama kita Shalink bisa melakukan gala dana, kalau dirasa diperlukan..” Mas Fahmi-Koordinator Sha-Link 2016 “..Nah dana kan utama dari WALHI pusat tapi ya kurang sih, khahah kalo kataku ya, makanya ada yang lain nyari dananya..” Mas Poncol-Anggota Senior WALHI Yogyakarta
Sumber-sumber pendanaan WALHI sendiri memiliki kriteria yang sangat ketat, dan seperti WALHI lainnya WALHI Yogyakarta juga tidak mau menerima donasi dari perusahaan, lembaga, ataupun dinas-dinas tertentu karena dianggap
pendanaan
dari pihak
selain
individu sarat akan kepentingan
terselubung. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh informan. “..kita tidak boleh sama sekali menerima dana dari korporasi itu utama dari pusat, terutama dengan mereka perusak lingkungan, jadi walaupun tidak merusak lingkungan kita juga tidak menerima, seperti CSR itu adalah dana yang bagi kami tidak jelas pengaturan seperti berapa persen kah, dan juga CSR merujuk pada pengurangan kewajiban lain seperti pajak, jadi kita menolak dengan salah satu alasan tersebut..” Mas Halik – Direktur WALHI Yogyakarta. “..terus donasi-donasi yang jelas bukan dari pemerintah, bukan dari korporasi tapi ada syarat sendiri kok, donasi perseorangan..” Mas Riyan – Anggota WALHI “…Dan WALHI itu tidak menerima dari korporasi juga pemerintah daerah gitu…”
Mas Ardi – Anggota Bentuk-bentuk donasi yang dimiliki oleh WALHI Yogyakarta adalah sebagai berikut : 1. Donasi Reguler Donasi yang bersifat reguler, donatur dapat memilih rentang waktu berdonasi minimal selama 6 bulan, dengan nilai minimal Rp. 50.000,-/bulan. Untuk donatur yang berdonasi secara reguler akan memperoleh kartu donatur dan merchandise.
2. Donasi Non Reguler Donatur dapat memberikan donasi sewaktu–waktu sesuai keinginan dan kemampuan, yang dapat diserahkan langsung maupun melalui Nomor Rekening Donasi WALHI Yogyakarta.
3. Eco Defender Eco Defender merupakan donasi dalam bentuk kerjasama dengan pihak lain yang sejalan dengan visi dan misi WALHI. pihak yang dimaksud adalah bisa berupa perseorangan atau melalui lembaga khusus yang memiliki kesamaan visi dalam bidang lingkungan.
Saat ini RMBL bekerjasama dengan WALHI
Yogyakarta mempersembahkan Eco Defender sebagai bentuk nyata perjuangan untuk kelangsungan ekologi. Setiap item produk RMBL yang terjual di Rumble Royale Yogyakarta sampai dengan November 2014 akan disisihkan Rp. 2.000,untuk mendanai kegiatan advokasi WALHI Yogyakarta. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Direktur WALHI dan stafnya. “Kaya jiring drummer SID. Dan dia juga salah satu donator tetap walhi” Mas Riyan – Anggota “..ada kerja sama WALHI daerah, yang rumble itu dari jiiring SID..” Mas Ardi – Anggota
“..Oh iya sama rumble juga itu, dia kan merek baju dari bali, tapi tiap bulan ngasih donasi juga..” Mbak Dini – Anggota WALHI Yogyakarta
Selain itu, kini WALHI bekerja sama dengan rumah kayu, dimana setiap pembelian produknya juga akan disisihkan 5% untuk diberikan kepada WALHI untuk mendanai kegiatan advokasi. Seperti yang dijelaskan oleh informan. “..Dengan kerja sama seperti Rumble dan terakhir itu kamar kayu. Itu kan merupakan upaya pengumpulan dana..” Mas Halik – Direktur WALHI Yogyakarta “..Kalo WALHI jogja itu terbarunya kerja sama dengan kamar kayu, jadi 5% penjualan kamar kayu itu masuk ke donasi WALHI jogja langsung..” Mas Ardi – Anggota
f. Organ Suport Sahabat Lingkungan (Sha-Link) merupakan perkumpulan individuindividu yang memiliki kemauan juga ketertarikan untuk berkontribusi di dalam usaha pelestarian lingkungan, anggota Sha-Link terdiri dari indvidu-individu yang berkeinginan secara personal ingin berpartisipasi tanpa harus masuk dalam 29 anggota WALHI Sha-Link beridiri pada tanggal 3 Desember tahun 2004, dibentuknya Sha-Link dilatarbelakangi oleh persoalan lingkungan membutuhkan keterlibatan masyarakat luas, persoalan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama, dan setiap orang punya potensi untuk menyelamatkan lingkungan. Dalam keanggotaan Sha-Link sendiri tidak memiliki batas atau kriteria tertentu, yang sangat diperlukan dalam menjadi Sha-Link adalah kemauan yang besar juga rasa tanpa pamrih, karena Sha-Link adalah relawan yang dalam setiap aktifitasnya tidak mencari keuntungan secara materi. Setiap warga maupun tua, muda bisa bergabung di dalam Sha-link. Peran utama dari Sha-Link itu sendiri adalah sebagai pemberi edukasi kepada masyarakat terhadap penyadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dan juga penggalang dukungan bagi kegiatan-kegiatan advokasi WALHI agar
semakin banyak yang ikut terlibat, dan media dapat meliput sebagai salah satu upaya penyebaran isu, seperti yang dijelaskan oleh informan. “.., jadi kita ada Sha-link ya kan, sahabat lingkungan, dia fungsinya itu sebagai organ support, jadi WALHI kalau ada kegiatan yang istilahnya membutuhkan bantuan juga massa banyak, kita minta tolong Sha-link itu, fungsi utamanya sih sebagai edukasi juga sebagai penggalang dana ataupun dukungan..” Mas Halik – Direktur WALHI Yogyakarta
Hal senada juga dijelaskan oleh Mas Fahmi sebagai Koordinator ShaLink, dan Mas Poncol sebagai salah satu anggota senior “..Sha-Link itu kan organ support terus sifatnya yang relawan sama voluntir kerjanya ya serabutan ahahha tapi, fokus utamanya buat edukasi ke masyarakat, bisa ke sekolah-sekolah atau tempat lain, juga buat relawan aksi atau dana kaya yang sebelumnya udah saya sebutin..” Mas Fahmi – Koordinator Sha-Link 2016 “..Sha-Link itu kerjanya sebagai relawan ya, perseorang masuk, buat nyari dukungan, sama buat edukasi, tapi karena relawan jadi mereka ga dikasih uang, hahah..” Mas Poncol – Anggota Senior WALHI Yogyakarta
2. Advokasi WALHI Yogyakarta Advokasi
merupakan
senjata
utama
WALHI
Yogyakarta
untuk
menyelesaikan kasus-kasus kerusakan lingkungan di Yogyakarta. Advokasi yang dilakukan WALHI sudah menjadi sebuah ciri khusus dari gerakan sosial baru yang dilakukan WALHI dengan melibatkan warga dalam setiap bagian dari aksinya tersebut. Dalam advokasi WALHI Yogyakarta memiliki empat isu strategis yang dijadikan sebagai pedoman bagi WALHI Yogyakarta untuk memberikan advokasi lingkungan terhadap suatu kasus. Isu pertama adalah bencara ekologis, kedaulatan pangan, air, dan tata ruang. Keempat isu tersebut dipilih pada PDLH (Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup) yang diadakan setiap 4 tahun sekali.
PDLH tersebut
dihadiri oleh seluruh anggota WALHI Yogyakarta yang terdiri dari 29 lembaga dan juga oleh dewan daerah.
Dalam PDLH itu setiap anggota selain memilih calon bagi Dewan Daerah dan juga Eksekutif Daerah (Direktur), juga memberikan analisis pada perkembangan lingkungan di Yogyakarta untuk dijadikan acuan kepada pemilihan empat isu strategis yang akan dipilih nanti, setiap anggota memberikan penilaian terhadap empat isu strategis tersebut apakah masih layak untuk dijadikan isu strategis dari analisa keadaan lingkungan Yogyakarta saat ini, bila setiap anggota merasa bahwa empat isu tersebut masih relevan pada masa ini maka empat isu tersebut tetap menjadi isu strategis yang menjadi dasar dalam setiap pergerakan WALHI Yogyakarta nantinya. Hasil dari PDLH ini biasa disebut oleh WALHI sebagai mandat dari anggota. Empat isu strategis tersebut adalah sebuah acuan yang memang masih sangat umum, dan setiap isu strategis memiliki isu-isu turunan yang lebih spesifik. Empat isu tersebut adalah salah satu upaya WALHI Yogyakarta dalam memetakan krisis-krisis apa saja yang terjadi dan mungkin terjadi di Yogyakarta. Berdasarkan pada hal diatas maka WALHI Yogyakarta memiliki dua versi advokasi yang biasa dilakukan oleh WALHI, yaitu 1. By Case Advokasi yang dilakukan WALHI Yogyakarta dalam konteks ini adalah WALHI menerima, meninjau, dan juga menganalisis isu-isu yang ada dan tengah berkembang dalam masyarakat atau wilayah sekitar, melalui analisis media massa, analisa ini dibutuhkan untuk menindak lanjuti setiap kasus-kasus yang muncul di lapangan, selain analisis media massa, WALHI Yogyakarta juga menerima laporan dari masyarakat mengenai permasalahan lingkungan
yang terjadi di wilayah mereka dan untuk
laporan dari
masyarakat itu sendiri akan ditindak lanjuti apabila sudah memenuhi syarat yaitu melihat dampak yang disebabkan oleh kasus tersebut, serta aktor yang terlibat dalam sebuah kasus yang dilaporkan. Seperti yang dijelaskan oleh informan. “..Dampak kayannya mas, nek dampaknya sitik yo meh ngopo, berarti memang itu cuman masalah individu..” Mas Riyan – Anggota “..Dari laporan mas ya, kaya kemaren itu yang soal pembanungan bandara, itu kan lagi rame, tapi kita juga harus ada data buat ngelakuinnya, jadi laporan sama data lah…”
Mas Riyan – Anggota
Hal senada juga dijelaskan oleh Mas Fahmi sebagai Koordinator ShaLink, dan Mas Poncol sebagai salah satu anggota senior “..WALHI respon paling cepat itu ketika ada laporan masuk gitu ya mas, tapi kalo ditanya standarisasi pemilihan kasus ya dampak itu besar apa tidak…” Mas Fahmi – Koordinator Sha-Link “..WALHI itu geraknya harus cepet loh, makanya dasarnya itu laporan masyarakat, sama dampak. Udah, tapi sesuai sama empat isu strategis itu…” Mas Fahmi – Koordinator Sha-Link
Hal ini dimaksudkan agar kasus atau isu yang dipilih WALHI Yogyakarta untuk di advokasi adalah benar-benar keinginan dari seluruh warga, bukan hanya keinginan segelintir orang yang merasa bahwa hal tersebut dapat merugikan diri mereka sendiri, pelaporan yang diberikan biasanya melalui surat yang ditujukan ke WALHI Yogyakarta. Selain itu pemilihan sebuah isu atau kasus untuk diadvokasi adalah bahwa kasus tersebut apakah sudah sesuai dengan isu, dan apakah kasus tersebut dapat menjadi sebua pemicu bagi kasus-kasus serupa yang nantinya akan memberikan gambaran bahwa isu ini adalah sebuah isu besar yang tengah terjadi di masyarakat, selain itu setiap kasus harus didukung oleh data yang dimiliki oleh WALHI Yogyakarta, karena WALHI setiap saat melakukan analisa wilayah juga riset mengenai perkembangan kondisi lingkungan dan potensi kerusakan juga kasus-kasus yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan, seperti yang disampaikan oleh informan. “..Laporan warga bisa kita terima, atau tidak melihat media mengenai sebuah kasus mana yang memang menjadi sorotan dan dapat menjadi trigger atau pemicu sebuah kesadaran juga perubahan, karena kalau mengurus by kasus akan susah, lalu harapanya dengan memilih kasus yang menjadi pemicu memunculkan sebuah kesadaran di masyarakat yang memiliki masalah atau kondisi lingkungan yang sama agar waspada juga paham akan kemungkinan masalah yang akan terjadi..”. Mas Halik – Direktur WALHI Yogyakarta
“..Pertama memiliki kaitan dengan 4 isu utama tadi, lalu kedua dilihat pelaku itu siapa, warga kah atau kan itu kasus personal individu, jadi kita melihat apakan ini memang kebutuhan warga apa ada motif individu yang berkonflik lalu melebar..” Mas Halik – Direktur WALHI Yogyakarta “..Pertama sih, kalo itu kasus yang sudah diteliti sudah memang naik kepermukaan, terus hasil penelitian atau data milik kita memang sudah ada perkiraan terjadi..” Mas Riyan – Anggota “..Yang paling utama analisis kebijakan, analisis media, lalu kita juga punya data yang cukup, jadi kita memiliki dasar yang kuat memang kasus ini sesuai apa tidak..” Mas Ardi – Anggota 1. Berdasarkan 4 Isu Strategis Advokasi yang dilakukan dengan didasarkan pada isu strategis seperti yang dijelaskan informan di atas dipertimbangkan dari hasil riset dan analisa
lingkungan
di
Yogyakarta,
dengan
tujuan
untuk
memberikan
pencegahan kepada daerah-daerah yang memiliki potensi akan terjadinya krisis, dengan melibatkan warga sekitar. Cara yang digunakan dalam proses pendampingan ini adalah dengan memberikan edukasi kepada warga sekitar akan potensi dan juga kondisi lingkungan agar warga memiliki kesadaran akan kondisi lingkungannya sendiri. Pendampingan dan edukasi ini dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari FGD lalu melakukan pemetaan terhadap kondisi wilayah dan lingkungan warga sekitar supaya warga menjadi lebih peka akan kondisi lingkungan dan dapat melindungi jika terjadi indikasi akan terjadinya pengrusakan lingkungan. Dalam konteks yang didasarkan kepada 4 isu strategis ini, WALHI Yogyakarta lebih mengutamakan kepada pencegahan dan juga kemandirian warga untuk dapat mengelola juga menjaga lingkungan tempat tinggal mereka. Tindakan
yang
dilakukan
oleh
WALHI
Yogyakarta
untuk
memunculkan kesadaran di tengah masyarakat adalah dengan menggunakan cara-cara kampanye setiap memperingati hari-hari penting seperti saat Hari Bumi, lalu Hari Air.
Memunculkan kepedulian ini adalah tujuan utama dari
advokasi dengan cara ini. Contohnya adalah saat tanggal 14 Februari 2016 dalam rangka memperingati Hari Pangan maka WALHI Yogyakarta bekerja sama dengan Warga Berdaya, juga mereka yang tengah memperjuangan ketersediaan air yang terkenal dengan slogan “Jogja ora di dol” dan “Jogja Asat” mengadakan acara di Bundaran UGM dengan membawa spanduk dan ajakan untuk menyadarkan masyarakat, juga membagi-bagikan bibit pohon gratis kepada masyarakat sebagai cara untuk meningkatkan kepedulian, lalu warga
yang
ikut
bergabung,
diajak
menulis
di sebuat
kertas
dan
menempelkanya di bibit tersebut, kertas itu berisi keinginan dan harapan warga terhadap kondisi lingkungan Yogyakarta. Kegiatan-kegiatan ini adalah contoh dari penyebaran isu, juga pemberian edukasi mengenai kondisi lingkungan di Yogyakarta. Penyadaran ini agar warga sendiri sadar akan gerak hidup kota mereka yang kiat massif pembangunan, tapi tak memikirkan konsekuensinya, WALHI Yogyakarta menolak pembiasaan yang dilakukan masyarakat saat ini, untuk itu aksi-aksi semacam ini akan terus dilakukan agar tetap ada proses edukasi secara tidak langsung kepada masyarakat, yang nantinya akan membuat masyarakat secara mandiri akan ikut kritis terhadap pembangunan-pembangunan yang tengah terjadi di Yogyakarta, terutama di kawasan kota. Bentuk lain dari usaha WALHI Yogyakarta untuk meningkatkan kepedulian juga kapasitas masyarakat adalah dengan membentuk Warga Berdaya, sebuah forum diskusi untuk bersama-sama mendiskusikan keadaan Yogyakarta kini, juga masalah-masalah yang tengah berkembang, dan secara bersama-sama memikirkan solusi. Proses diskusi ini selain berguna untuk membuat masyarakat peduli, juga membuat masyarakat itu sendiri secara mandiri memiliki solusi, dan ketika solusi itu membutuhkan bantuan maka saat itu WALHI Yogyakarta akan membantu. WALHI Yogyakarta terus mendampingi masyarakat untuk membuat tindakan pencegahan, kegiatan ini merupakan advokasi WALHI Yogyakarta dengan didasarkan kepada empat isu strategis tersebut. WALHI Yogyakarta membuat forum diskusi di tengah masyarakat selain karena alasan yang sudah disebutkan tadi, juga untuk membuat sebuah jaringan
di
masyarakat,
untuk
menghubungkan
masyarakat-masyarakat
dengan permasalahan yang sama dan membuat mereka bertemu untuk
membangun jaringan, sehingga mereka tahu bagimana saja cara, dan saluran yang akan mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis, dalam konteks advokasi
yang
dimaksud
WALHI
Yogyakarta
memiliki
nilai
lebih
dibandingkan advokasi biasanya. Hal ini dapat disimpulkan oleh penulis dari hasil partisipasi penulis dalam kegiatan pelatihan internal staf WALHI juga hasil wawancara kepada perwakilan masyarakat yang tengah dibantu WALHI dalam melawan pembangungan apartemen di daerah pemukiman mereka. Nilai lebih itu adalah WALHI Yogyakarta bukan saja membantu dan mendampingi, tapi juga mengajarkan dan menyadarkan masyarakat bahwa dalam perjuangan, dan advokasi, terkadang hasil yang diharapkan tidak selalu terwujud, tapi dalam hal ini proses masyarakat untuk aktif, ikut bergerak melawan ketidakadilan pembangunan di kota mereka adalah sebuah tujuan yang lebih utama. Gerakan masyarakat ini adalah pionir bagi masyarakat lain untuk segera bangun dan bergerak membela lingkungan mereka dari pembangunan yang merugikan lingkungan.
Gambar IV.2 Kegiatan WALHI Yogyakarta dan Warga Berdaya membagikan bibit pohon gratis (Sumber : Dokumentasi Penulis)
A. Jaringan Advokasi WALHI Yogyakarta Berdasarkan dokumen dari pelatihan advokasi internal WALHI Yogyakarta yang dihadiri oleh penulis WALHI Yogyakarta memiliki tiga garis besar dalam advokasinya yaitu : Tabel IV.1 Jaringan Advokasi Jaringan
Keterangan
Advokasi Kerja pendukung
Dalam kerja pendukung ini berisi pengumpulan data, analisis, dana, logistik, informasi dan juga akses kepada warga juga WALHI Yogyakarta untuk mendukung proses gerakan ini.
Dalam Kkerja ini biasa disebut oleh WALHI Yogyarkarta sebagai “dapur”, karena dalam Kerja Basis gerakan ini berisi tentang membangun basis masa, lalu pendidikan politik kader, membentuk lingkar inti, mobilisasi aksi serta kampanye. Kerja Garis Ini adalah garda depan dalam advokasi hukum yang diberikan kepada masyarakat, kerja ini Depan memiliki fungsi juru bicara, lobi dan negosiasi, terlibat dalam proses legislasi dan ligitasi, menggalang sekutu dan juga kampanye. Contohnya adalah saat WALHI Yogyakarta mendatangi Kantor Bupati Sleman bersama warga untuk audisensi juga dengar pendapat. Sumber : Data Primer, Maret 2016
Jaringan
kerja
advokasi
yang
dimiliki
WALHI
Yogyakarta
bertujuan untuk menentukan bagaimana advokasi itu seharusnya berjalan sesuai dengan kenyataan dilapangan serta kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat yang diberikan bantuan. Meskipun memiliki 3 jaringan kerja advokasi, kerja pendukung berupa pengumpulan data dan informasi adalah sebuah kerja yang dilakukan terus menerus oleh WALHI Yogyakarta sebagai bentuk pemberharuan dalam kepemilikan data, serta untuk memastikan dalam gerakan sosial mereka ini mendapat sumber data yang mumpuni.
Gambar IV.3 Jaringan Kerja advokasi WALHI Yogyakarta (Sumber : Pelatihan Advokasi Internal WALHI)
B. Proses Advokasi WALHI Yogyakarta Advokasi lingkungan adalah cara yang dipilih oleh WALHI Yogyakarta karena melihat kenyataan bahwa warga kurang memiliki pengetahuan mengenai legalitas suatu cara untuk melawan pemda atau pihak swasta saat terjadi masalah. Advokasi yang dipilih WALHI secara umum memiliki cara yang sama pada advokasi hukum pada umumnya, hanya WALHI baik di pusat maupun daerah juga melakukan tindakan pencegahan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Proses advokasi yang dilakukan WALHI Yogyakarta secara garis besar memiliki tiga proses yang setiap proses itu memiliki tujuan dan metode yang berbeda, proses itu dipilih berdasarkan keadaan masyarakat, juga tingkat permasalahan yang ada. Proses dan metode ini meskipun berbeda strategi tapi merupakan cara yang satu. 1. Proses Juridiksi dan Legislasi Karena advokasi ini kebutuhan warga maka dalam setiap proses yang dilakukan WALHI Yogyakarta akan selalu berhubungan dengan masyarakat, mulai dari pemilihan waktu aksi
sampai
pada
waktu
untuk
melakukan
gugatan
ke
pengadilan, WALHI Yogyakarta memberikan informasi, data, dan juga cara kepada masyarakat. Dalam tahap ini tujuannya adalah untuk melihat isi atau content dari suatu kebijakan yang pemerintah buat, ataupun
pihak swasta, dan proses ini adalah proses yang paling sering dilakukan oleh WALHI Yogyakarta atas permintaan masyarakat dan juga melihat keadaan di lapangan. Proses ini sendiri berisikan pengajuan usul, konsep tanding, dan pembelaan yang akan dipilih, terlepas dari gugatan ini nantinya akan ditujukan kepada Pemda ataupun pada pihak swasta, selain itu juga ada proses-proses berupa legal drafting, counter drafting, judicial review, dan litigasi. Hal ini untuk mencari celah dan juga kesalahan dari produk hukum juga mencari pelanggaran yang dilakukan oleh pihak swasta ataupun Pemda itu sendiri entah dari dalam isi kebijakan atau pasal yang tertera, jika dilihat dari isi memang tidak ada kesalahan, maka yang diperhatikan apakah setiap proses yang seharusnya ditempuh oleh pihak swasta atau pemda itu telah sesuai, sebagai contoh melihat apakah IMB sudah terbit dalam sebuah pembangunan hotel atau apartemen, juga dokumen AMDAL, apakah sudah ada sebelum IMB diberikan. 2. Proses Politik Birokrasi Dalam WALHI
pelaksanaan
Yogyakarta
memberikan
dan
pengaruh
proses
politik
warga
memberatkan
juga
dan
memberikan
birokrasi kepada
pandangan
berdasarkan data juga kenyataan di masyarakat, karena dalam setiap gugatan yang dilakukan WALHI Yogyakarta masyarakat merasa takut untuk memberikan pengakuan atau informasi bagaiman kejadian yang terjadi sesungguhnya. Tujuan dari proses ini adalah untuk memastikan bahwa tata cara kebijakan dilaksanakan
dengan
sesuai
atau
WALHI
Yogyakarta
menyebutnya adalah advokasi dilihat dari strukturnya. Tindakan yang dilakukan dalam proses ini adalah lobi kepada pemerintah mengenai bagaimana seharusnya kejadian ini ditangani, dan juga memastikan bahwa Pemda menyediakan waktu untuk tatap muka dengan warga sekitar yang menolak sebuah
pembangunan
hotel misalnya.
Lalu negosiasi juga
mediasi dan kolaborasi. Dalam tahap negosiasi ini dilakukan
bila semua proses aturan dan hukum sudah dilaksanakan sesuai oleh pihak swasta yang melakukan pembangunan, tapi disisi lain juga mengakomodir keinginan warga sekitar mengenai cara mereka untuk hidup berdampingan, entah dari saat pembebasan laha, biaya ganti rugi ataupun batasan-batasan yang diinginkan oleh warga sekitar.
3. Proses Sosialisasi dan Mobilisasi Tindakan yang dilakukan dalam proses ini adalah membentuk opini public, menyebarkan isu juga memberikan tekanan politik baik kepada pemda atau kepada pihak swasta. Tujuan dalam proses ini adalah untuk mempengaruhi dan merubah kultur baik dari sisi masyarakat maupun sisi Pemda sendiri. Kegiatan yang dilakukan oleh WALHI Yogyakarta adalah dengan cara kampanye lalu siaran pers dengan menulis di Koran-koran, di website. Selain itu ada juga pendidikan politik dalam konteks penguatan warga untuk lebih memahami kebijakan juga birokrasi di pemerintah, dan terakhir adalah demo
dan
sebagainya.
Karena
tujuanya
adalah
untuk
mempengaruhi dan juga merubah kultur maka target dari proses ini adalah masyarakat juga pemerintah, mempengaruhi juga merubah kultur masyarakat dengan menggunakan pendidikan, juga pendampingan lalu diskusi bersama, sedangkan untuk mempengaruhi dan merubah kultur pemerintah dengan cara memberikan tekanan politik, juga audiensi bersama masyarakat, dan kegiatan ini dipastikan diliput media agar lebih memiliki kekuatan untuk menekan. Proses ini adalah proses yang juga sering dilakukan selain proses ligitasi seperti yang dijelaskan, letak perbedaannya dengan proses litigasi adalah proses ini dapat dilakukan saat ada kasus yang tengah terjadi dengan memberikan tekanan pada pemerintah juga pihak swasta, dan juga pendidikan yang dilakukan secara terus menerus melalui
pendampingan yang dilakukan WALHI Yogyakarta kepada masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa proses ini adalah proses yang terjadi terus menerus terlepas ada kasus yang dihadapi maupun tidak.
Gambar IV.4 Proses advokasi (Sumber : Pelatihan Advokasi Internal WALHI
Yogyakarta)
C. Tujuan dan Hasil Gerakan WALHI Yogyakarta Dalam sebuah gerakan sosial itu sendiri, dipastikan
memiliki
berbagai macam tujuan tergantung dari apa yang dituntut. WALHI Yogyakarta sebagai LSM yang melakukan gerakan sosial ini dengan cara advokasi lingkungan
memiliki tujuan dan keinginan utama dengan
adanya WALHI ini pemerintah dapat membuat keputusan dan kebijakan yang
mengakomodir
kebutuhan
masyarakatnya
juga
mengakomodir
kondisi lingkungan sehingga pembangunan itu sendiri serasi dengan alam. Seperti yang dijelaskan oleh informan “..tapi secara garis besar bagaimana mendorong kebijakan pemerintah yang pro warga dan lingkungan..” Mas Halik – Direktur WALHI Yogyakarta
Tujuan lain yang ingin dicapai sesuai dengan visi WALHI Yogyakarta, Keadilan Lingkungan Hidup adalah Hak Kita Semua jadi tidak
saja lingkungan yang diperlakukan adil, tapi juga membuat
masyarakat mendapat hak yang sama, dan masyarakat memberikan hak yang sama kepada lingkungan dengan cara menjaganya, dan tentu saja pemerintah juga ikut memberikan bentuk-bentuk kebijakan yang adil kepada
masyarakat
juga
kepada
lingkungan
hidup.
Seperti yang
dijelaskan oleh informan “..Kan grass root tadi, kita mengincar keadilan, kan lingkungan ini ga semua bisa akses jaman ini, nah kita pengenya semua bisa akses, nggak cuman mereka yang punya modal doang korporasi dan sebagainya, jadi hak-hak yang didapatkan masyarakat itu pengennya harus sama, kan ga selalu masalahnya dari korporasi, tapi pemerintah sama uu juga bisa buat kondisi ga adil. Jadi masyarakat ga jadi tumbal, adil, dan mereka bisa mencari keadialan sendir dengan mandiri, kita mengadvokasi sambil mendidik..” Mas Riyan – Anggota Hal
senada
juga
dijelaskan
oleh
Mas
Fahmi
sebagai
Koordinator Sha-Link, dan Mas Poncol sebagai salah satu anggota senior “..Tujuan utama dari WALHI Yogyakarta itu membuat masyarakat mandiri, dengan cara meberikan ilmu sama advokasi, makanya program kita (Sha-Link) ada edukasi juga gitu mas..” Mas Fahmi – Koordinator Sha-Link 2016 “..Simpel sih ya kalo aku lihatnya, masyarakat itu mandiri sendiri gitu, juga dia bisa kuat melawan, kan kekuatan negara terbesar ada di rakyatnya, jadi jangan takut, harus kuat dan berani..” Mas Poncol – Anggota Senior WALHI Yogyakarta
Jalur yang dipilih oleh WALHI Yogyakarta untuk melakukan sebuah
gerakan
sosial
dengan
menggunakan
advokasi lingkungan
memberikan hasil yang memang jika dilihat secara keberhasilan kasus advokasi tidak seberapa, namun jika melihat dari sisi lain maka akan
terlihat bahwa hasil dari gerakan WALH Yogyakarta ini memberikan dampak yang besar dari sudut pandang masyarakat, masyarakat kini lebih peduli dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemda Yogyakarta baik di tingkat kabupaten atau kota, ini terbukti dengan banyak warga yang terlibat dalam setiap aksi, juga keinginan masyarakat
untuk
bergabung
dengan WALHI Yogyakarta melalui
Warga Berdaya. Hasil lain yang terlihat adalah setiap WALHI Yogyakarta melakukan aksi seperti memperingati Hari Pangan yang dilakukan 14 Februari 2016 lalu respon dan partisipasi masyarakat untuk bergabung sangat terlihat. Juga seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa hasil lain adalah kesadaran kepada masyarakat bahwa dalam berjuang melindungi aspirasi mereka, lingkungan mereka hasil tidak begitu penting di awal, karena mereka sadar, perlawanan mereka lah yang membuat warga lain sadar akan permasalahan yang sama-sama dialami, dan membuat warga lain bangkit untuk
melawan pembangunan yang sangat massif di
Yogyakarta, seperti yang dijelaskan oleh informan “..tujuan advokasi itu masyarakat sadar, terus memberikan informasi, lalu keberlangsungan lingkungan ini berjalan lancar. Kesadaran itu baik dari kritis dan paham cara melindungi..” Mas Ardi – Anggota
Tabel IV.2
Tujuan Gerakan Advokasi WALHI Yogyakarta Tujuan
Hasil Temuan
Mempengaruhi Kebijakan
Tujuan yang diharapkan terjadi dalam gerakan yang dilakukan WALHI Yogyakarta ini adalah untuk dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diputusukan, atau pun sudah diputuskan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan Terciptanya kondisi sesuai Visi misi dari WALHI Yogyakarta sendiri adalah Visi Misi WALHI “Keadilan Lingkungan Hidup Yogyakarta adalah Hak Kita Semua” memastikan bahwa keadilan lingkungan hidup yang lestari dapat dirasakan oleh semua masyarakat, dan masyarakat juga memberikan keadilan terhadap lingkungan dengan menjaganya. Memupuk kesadaran Menanamkan kesadaran dalam diri masyarakat akan kondisi bersama lingkungan, dimulai dari lingkungan sekitar dengan cara melakukan kegiatan bersama masyarakat Sumber : Data Primer, Maret 2016
D. Hambatan Dalam Gerakan Semua tujuan yang ingin dicapai oleh WALHI Yogyakarta disadari bukanlah sebuah hal serta merta dapat diwujudkan dengan cepat juga mudah, karena dalam perjalanannya ditemukan juga hambatanhambatan dalam setiap gerakan yang dilakukan.
Hambatan yang
dirasakan ini bukan dijadikan sebuah alasan untuk WALHI Yogyakarta untuk tetap mendampingi masyarakat juga melindungi hak-hak warga juga hak-hak lingkungan. Hambatan yang dirasakan WALHI Yogyakarta secara garis besar berasal dari luar instansi, namun di dalam lingkungan WALHI Yogyakarta sendiri ada beberapa hambatan meskipun oleh Direktur bukan dianggap sebuah halangan untuk terus bekerja. Hambatan dari sisi
internal lembaga adalah dengan kurangnya staf, juga komunikasi yang masih kurang baik dalam lingkup anggota. Hal ini karena dalam realitanya staf yang berada dibawah komando Direktur tidak selalu bisa selalu bekerja sesuai masa jabatan Direktur selama empat tahun. Pergantian staf sendiri memang menjadi kendala yang masih sering ditemukan, entah karena faktor staf tersebut menikah, atau mendapat pekerjaan yang tetap ditempat lain. Kerja WALHI Yogyakarta sendiri karena memang sebuah LSM maka secara finansial tidaklah cukup dijadikan sebuah profesi utama, dan dikarenakan hal tersebut maka staf yang ditunjuk oleh Direktur sendiri adalah mahasiswa tingkat akhir, ataupun yang sudah lulus tapi masih aktif di kegiatan lingkungan, maka dengan kata lain hambatan internal adalah seputar masalah kaderisasi staf. Selain hambatan tersebut, hambatan yang berasal dari luar lembaga yang pada umumnya berasal dari Pemerintah Daerah itu sendiri, baik dari bentuk keterbukaan kepada WALHI Yogyakarta maupun pada bentuk kebijakan yang memang terlihat tidak konsisten dan juga penuh celah membuat gerakan advokasi WALHI Yogyakarta terbentur dengan kebijakan yang aneh dan juga tidak konsisten, seperti kebijakan RTRW Kota Yogyakarta sebagai salah satu contohnya. Hambatan lain yang ditemui WALHI Yogyakarta juga hadir dari diri masyarakat yang dibantu, baik secara kultur maupun secara sikap dari warga sendiri yang masih tertutup. Sedangkan untuk masalah kultur contohnya adalah penduduk lereng Merapi yang masih melakukan penambangan
pasir
saat
dulu
tengah
didampingi
oleh
WALHI
Yogyakarta, lalu permasalahan ancaman yang memang selalu ada saatsaat melakukan kegiatan advokasi, terutama pada proses pengumpulan data juga analisa wilayah yang biasanya dilakukan oleh preman-preman dari pihak yang merasa dirugikan dengan adanya WALHI Yogyakarta yang membantu masyarakat. Lalu hambatan di persidangan yang dialami adalah saat pihak yang digugat melakukan banding, dan karena proses sidang memerlukan biaya terus menerus, sedangkan pihak yang digugat adalah korporasi yang memiliki dana besar, maka hal seperti ini juga
hambatan yang kadang dirasakan dalam gerakan yang dilakukan oleh WALHI Yogyakarta seperti yang dijelaskan oleh informan. “..Banyak sih, yoo terkait sama birokrasi kalo soal tata ruang kota, kan musuhnya. Ya kan mas tau kaya mana pemerintah itu ahaah, ya pokoknya gitu lah.” Mbak Dini – Anggota WALHI Yogyakarta
:.. Kebijakan pemda sih yang suka aneh-aneh, lalu keterbukaan serta penerimaan masyarakat yang dibantu, saat ambil data atau sebagainya. Terus kebiasaan hidup masyarakat juga kadang jadi hambatan, contoh kaya di Merapi banyak warga yang nambang pasir, padalah WALHI menilai penambangan pasir berbahaya..” Mas Ardi – Anggota “..Karena WALHI itu forum, kalau saya liatnya bukan hambatan, tapi karena kita forum jadi proses komunikasi itu yang perlu dijaga, jadi seputar itu sih. Kendala lainya mungkin secara kaderisasi yang sangat minim, sehingga dalam proses advokasi itu belum maksimal, tapi kita mendorong dari yang kita miliki. Karena konsep advokasi WALHI ada 2 by kasus dan juga pemberdayaan masyarakat itu sendiri, dengan cara meningkatkan pengetahuan dan kapasitas warga juga kesadaran akan wilayah mereka sendiri..” Mas Halik – Direktur WALHI Yogyakarta “..Ancaman-ancaman itu banyak, kaya kalo saat kita ngambil foto pembangunan, kan disana juga ada orang yang jaga keamanan, itu baru dari segi ambil data loh, kalo dari kampanye nek aku liat yo banyak orang yang ga peduli, kalo ga jadi masalah menengah keatas, coba nek masalahnya nyentil mereka, udah rame Indonesia. Kalo lagi sidang, ya kalah uangya, mereka kalah di tahap 1, terus banding,kita ga ada uang ya kalah..” Mas Riyan – Anggota
Hal
senada
juga
dijelaskan
oleh
Mas
Fahmi
sebagai
Koordinator Sha-Link, dan Mas Poncol sebagai salah satu anggota senior “..WALHI Yogyakarta itu hambatan utamanya itu cuman satu mas komunikasi, tau sendiri kan anggota WALHI itu ya lembaga, ya ada anggota lagi, jadi agak sulit buat komunkasis secara baik, udah sih itu aja..” Mas Fahmi – Koordinator Sha-Link 2016
“..Hambatan banyak, di ancem udah biasa, dihalangi waktu ambil data apalagi, yah mau gimana lagi kan ahaha..” Mas Poncol – Anggota Senior WALHI Yogyakarta Tabel IV.3 Hambatan Gerakan Hambatan internal
Hambaran Eksternal
Kurangnya staf dalam Keterbukaan eksekutif kepengurusan pemerintah WALHI Yogyakarta Komunikasi
informasi kabupaten
dari maupun
propinsi
yang Kebijakan yang tidak konsisten
kurang luwes antar staf
aneh
dari
pemerintah
menyebabkan banyak celah yang dapat baru,
menyebabkan dan
juga
masalah
menyebabkan
upaya WALHI Yogyakarta dalam gerakan advokasinya terbentur Kaderisasi yang minim
Kultur
masyarakat
yang
masih
sulit terbuka terhadap kedatangan WALHI, namun perlahan dapat ditangani Ancaman dari pihak yang merasa dirugikan oleh gerakan WALHI Yogyakarta
terutama
ketika
membantu masyarakat Sumber : Data Primer, Maret 2016
3. Kasus Apartemen Uttara VS Warga Perkembangan Kota Yogyakarta yang kini semakin pesat terutama semenjak Indonesia mulai serius untuk mengembangkan sektor pariwisata, dengan slogan Visit Indonesia dan ditambah dengan ikon Kota Yogyakarta yang dikenal luas sebagai kota kental budaya, terutama budaya Jawa, ditambah dengan keistimewaannya sebagai
sebuah kota dengan sistem pemerintahan tersendiri yang diakui oleh pemerintah pusat membuat wisatawan asing banyak datang ke Yogyakarta, begitupun wisatawan domestik. Selain sebagai pusat wisata budaya, Kota Yogyakarta juga dikenal sebagai Kota Pelajar karena di kota ini terdapat banyak universitas yang dikenal terbaik di seluruh negeri, baik univeritas negeri seperti UGM, UIN dan UNY maupun universitas swasta seperti UII membuat jumlah pendatang yang masuk ke Kota Yogyakarta semakin bertambah tiap tahunnya, mahasiswa, dan juga wisatawan asing serta domestik membuat para pengusaha hunian seperti hotel merasa ini adalah kesempatan bagus untuk memperluas usaha mereka, dan semenjak itu
maka mulai
banyak dibangun hotel-hotel yang tersebas luas di Kota Yogyakarta maupun daerah sekitar seperti Sleman. Hotel yang sudah menjamur, kini pun ditambah dengan maraknya apartemen yang dibangun, terutama jenis apartemen baru yang ditujukan kepada mahasiswa tingkat ekonomi atas, dan kini di Kota Yogyakarta terkenal banyak Apartemen Mahasiswa yang memberikan fasilitas premium. Pembangungan ini terus terjadi tanpa terkendali, seperti jamur yang tumbuh pesat dikala hujan. Dari data yang sudah dihimpun WALHI Yogyakarta sepanjang tahun 2013-2016 ini sudah terdaftar kurang lebih 200 hotel yang ada di Yogyakarta, dan 100 lebih lagi yang tengah mengurus perizinan1 . Angka ini sangat luar biasa, ditambah dengan pembangunan apartemen. Pembangunan ini bukan tidak disadari oleh warga Yogyakarta, perlawanan masyarakat ini mulai terlihat pada kasus Fave Hotel, dan terus banyak perlawanan warga terhadap pembangunan hotel. Salah satu kasus terbaru yang kini tengah bergulir baik di pengadilan maupun di tengah masyarakat sendiri adalah kasus perlawanan
warga
Karangwuni,
Caturtunggal,
Depok
melawan
pembangunan
apartemen 18 lantai, apartemen Uttara, yang berlokasi di Jalan Kaliurang KM 5.4 No 72. Perlawanan ini dimulai pada 2013 yang diawali dengan adanya undangan dari pihak pengembang dari Apartemen Uttara yang pada surat awalnya adalah untuk sosialisasi mengenai akan dibangunnya kos eklusif di daerah Karangwuni, sebagai warga yang baik maka mereka hadir dalam sosialisasi itu dengan asumsi bahwa
1
Data Survey WALHI Yogyakarta Februari 2016
undangan ini adalah sungguhan dan warga tidak bisa melarang seseorang untuk membangun sebuah kos-kosan. Namun pada saat warga hadir di sosialisasi tersebut yang dipresentasikan oleh pihak pengembang bukanlah tentang pembangunan kos eksklusif melainkan pembangunan apartemen 18 lantai dengan 3 basement ke bawah. Menyadari bahwa ada ketidaksesuaian antara undangan yang ditujukan kepada warga dengan yang dipresentasikan maka warga memberhentikan acara tersebut dan mengatakan sejak awal kalau warga Karangwuni menolak pembangunan apartemen tersebut. Setelah mencium gelagat tidak jujur dari pengembang apartemen Uttara tersebut maka ketua RT 1 yang kebetulan dalam sosialisasi tersebut dijelaskan akan terkena dampak paling besar adalah wilayah RT 1, berkumpul dan menanyakan sikap warga terhadap pembangunan tersebut, secara serentak warga mengatakan menolak pembangunan tersebut dengan alasan apapun. Dasar dari penolakan warga adalah warga sendiri sudah menyadari berdasarkan kasus pembangunan hotel di daerah lain dan dengan jumlah lantai mencapai 18, juga jumlah basement yang mencapai 3 tingkat maka masalah pertama akan warga hadapi adalah mengenai konsumsi air, warga menyimpulkan ini dengan pengetahuan dasar mereka, karena dengan membuat basement 3 tingkat kedalam tanah, jelas akan membuat ruang cekung dibawah apartemen ini nantinya, dan menyebabkan air tanah akan berkumpul disatu titik, yaitu dibawah apartemen itu kelak. Permasalahan penggunaan air tanah di perkotaan memang merupakan hal yang sudah banyak terjadi di setiap Kota di Indonesia bahkan dunia, seperti yang terjadi di Cina tahun 1989, Postel mengatakan (dalam The Worldwatch Reader, on Global Environtmental Issue 1992:108) 200 Kota di Cina sudah tidak memilii pasokan air tanah yang cukup bukan karena curah hujan atau pemanasan global, tapi karena pembangunan yang tidak terkontrol atau lebih tepatnya tidak di kontrol. Kondisi yang sama dapat terjadi di Yogyakarta bila pembangunan tidak lagi mengutamakan kondisi alam, jika kondisi pembangunan hotel, mall dan apartemen di Yogyakarta tidak dikontrol dengan baik, maka yang akan dikorbankan oleh mereka yang ada di atas, penguasa
dan
mengalihfungsikan
pengusaha lahan
adalah
pertanian
mengorbankan
pertanian,
mereka
menjadi bangunan-bangunan baru,
akan
selain itu
pembangunan yang tidak terukur ini akan berdampak pada keringnya air tanah, tanpa adanya tempat untuk air masuk kedalam tanah karena tanah menjadi beton dan aspal.
Kondisi kerusakan lingkungan sangat mungkin terjadi di Yogyakarta, dan saat ini tengah terjadi, namun dilihat dari kasus Uttara terlihat bahwa pemerintah tidak mau untuk memusingkan urusan lingkungan di Yogyakarta, selama retribusi, pajak dari apartemen itu nanti masuk kantong daerah. Pada kondisi yang ideal dimana pemerintah yang memihak pada masyarakat harusnya memberikan kontrol nyata, persaingan penggunaan air dan tanah tidak akan bisa dipecahkan dengan sistem pasar, melainkan harus diatur oleh pemerintah sebagai bentuk tanggungjawabnya (Salim 1930:10). Warga yang pada umunya adalah orang tua dan ibu-ibu menyadari akan potensi ini dan dengan jelas memberikan sikap menolak. Setelah kesepakatan bersama itu maka warga RT 1 mengehadap ke Kepala Dukuh untuk menjelaskan sikap juga mengharapkan dukungan karena Kepala Dukuh adalah seseorang yang dianggap oleh warga sekitar adalah pemimpin terdekat dengan mereka secara hierarki pemerintahan di Indonesia. Penolakan dan penegasan yang dilakukan warga tidak membuat proses pembangunan juga sosialisasi ini berhenti begitu saja. Pihak Pengembang Apartemen Uttara yang saat itu dipeganng oleh PT Bukit Alam Permata justru mengadakan sosialisasi tahap kedua dan dalam surat undangan yang disebarkan kepada warga saat itu sudah menggunakan kata-kata pembangunan Apartemen Uttara. Melihat itu warga yang memang dari awal sudah menolak pembangunan itu berpikir bahwa untuk apa hadir karena jelas sikap penolakan yang telah mereka berikan, namun ternyata yang tidak diketahui warga pada pertemuan itu dibuat Berita Acara yang digunakan untuk acuan pengurusan izin berikutnya dalam proses pembangunan apartemen. Absenya warga menjadi celah bagi pihak pengembang untuk menanggapi hal tersebut maka pada
20
November
2013
warga
memutuskan
untuk
membuat
petisi yang
ditandatangani oleh seluruh warga sebagai tanda penolakan, namun selang berapa lama, salah satu warga membaca di Koran bahwa IPT untuk pembangunan Apartemen Uttara telah terbit. Terbitnya IPT (Ijin Pemanfaatan Tanah) itu jelas membuat warga merasa dibohongi dan merasa bahwa pihak pengembang apartemen itu tidak menghargai warga sekitar. Pada saat seperti ini warga merasa bahwa kekuatan mereka tidaklah besar untuk
memberikan
tekanan
kepada
pemerintah
maupun
pihak
pengembang
apartemen. Alasan bahwa warga Karangwuni merasa seperti itu dikarenakan setelah peristiwa
terbitnya IPT mereka langsung mendatangi Kantor Pertanahan dan
menanyakan mengenai IPT tesebut. Sampai di Kantor Pertanahan warga menanyakan bagaimana IPT bisa terbit,
dan pihak
BPN
memperlihatkan dokumen yang
mendukung terbitnya IPT bagi pembangunan Apartemen Uttara, dan disana terdapat Berita Acara yang mengatakan bahwa warga Karangwuni telah setuju, padahal warga telah menolak dari awal sosialisasi. Setelah menjelaskan kepada pihak BPN, pihak BPN hanya berkata,
bahwa mereka tidak berwenang mencabut dan alasan-alasan
sebagainya, akhirnya warga memutuskan untuk menyurat kepada pihak-pihak terkait selain BPN, karena IPT hanya awal dan butuh banyak dokumen sampai pembangunan boleh dilaksanakan. Kegiatan surat menyurat warga ini tidak juga menghasilkan apaapa. Setelah merasa surat tidak lagi berguna maka warga melalui Pak Heri berkonsultasi dengan WALHI Yogyakarta tentang apa yang sebaiknya dilakukan, WALHI Yogyakarta memberikan bantuan berupa kajian terhadap kebijakan dan memberikan bantuan untuk bisa bertemu dengan Bupati Sleman untuk menjelaskan bahwa warga serius dalam menolak pembangunan apartemen itu. Selain dibantu oleh WALHI warga Karangwuni mendapat dukungan dari aktivis lingkungan yaitu Bung Aka, dari hasil berbicara dengan Bung Aka dia memberikan saran untuk melakukan demo, tapi Bu Tety selaku sekertaris dan pelaksana di lapangan merasa kebingungan, karena di RT 1 yang ada hanya ibu-ibu dan lansia, sedangkan ibu-ibu itu hanya memiliki waktu kosong ketika malam, Bu Tety merasa aneh jika melakukan demo di malam hari, namun Bung Aka menjelaskan bahwa itu adalah sebuah hal unik untuk dilakukan, karena tujuan dari demo adalah menunjukan
kepada
halayak
luas
mengenai perlawanan
dan
gerakan
warga
Karangwuni ini. Setelah Bu Tety bertemu dengan ibu-ibu dan ketua RT 1, akhirnya mereka semua sepakat untuk melakukan demo. Demo itu direncanakan berjalan selama 3 hari, dan peralatan yang dibawa ibu-ibu adalah peralatan masak, hal ini diakui Bu Tety adalah simbol bahwa ibu-ibu Karangwuni merasa takut akan surutnya air, dan karena urusan air bersinggungan dengan urusan rumah, dan ibu adalah pihak yang terdekat dengan aktifitas tersebut, merasakan bahwa ini adalah masalah yang jelas-jelas penting. Demo hari pertama sukses besar karena saat demo berlangsung semua media di Yogyakarta meliput, bahkan Metro TV pun ikut meliput. Hambatan yang diterima oleh warga Karangwuni bukan saja soal pemerintah yang tidak menempatkan diri sebagai pelindung aspirasi dan kebutuhan warga, selama masa demo tersebut dua orang yang merupakan aktifis lingkungan yang ikut
membantu gerakan perlawanan warga ini dikriminalisasi dengan alasan perusakan properti milik pihak pengembang Apartemen Uttara. Peristiwa sebenarnya yang terjadi adalah ketika demo kedua berlangsung, banyak yang ikut berdemo seperti pemuda sekitar yang sering menjadi tukang parkir, saat demo terjadi perusakan banner 90x30 cm yang jika diuangkan seharga kurang dari Rp 100.000,00 dan berdasarkan hukum yang ada benda dibawah harga tersebut tidak bisa ditindak secara pidana. Namun tetap saja peristiwa tersebut dijadikan alasan untuk menangkap dua aktifis itu. Salah satu berhasil bebas, namun Bung Aka sampai Februari 2016 masih „mondok‟ di kantor polisi. Hambatan lain yang diraskan oleh warga Karangwuni adalah ketika aktifis yang membantu mereka Bung Aka juga diteror melalui telfon yang meminta dia untuk tidak terus melanjutkan perlawanan ini, tentu saja Bung Aka menolak karena dia sadar ini adalah hal yang perlu dibela dengan sungguh-sunguh, dan yang mengancam akhirnya memberikan tekanan berupa pengakuan bahwa pengancam adalah seorang polisi atau jendral, hal ini seperti yang dijelaskan oleh informan. “..Sampe bung aka itu dapat teror dari jendral atau polisi gitu, buat ga bantuin warga sini, yah gitu lah Indonesia yang dilindungi itu penguasa dan pengusaha, bukan warganya..” Bu Tety – Sekertaris PWKTU
Setelah semakin diketahui publik mengenai perlawanan warga ini banyak pihak yang membantu yaitu BEM UGM serta LBH Yogyakarta yang notebenya adalah salah satu anggota WALHI Yogyakarta. Bantuan yang diberikan oleh WALHI Yogyakarta dibagi menjadi dua, pertama adalah bantuan hukum melalui LBH juga bantuan berupa kajian juga analisa wilayah dan analisa dokumen, sebagai salah satu bahan data untuk diajukan ke pengadilan jika suatu saat dibutuhkan. Semenjak bergulirnya perlawanan ini maka warga Karangwuni dan juga WALHI Yogyakarta semakin menyadari bagaimana bobroknya Pemda Sleman. Warga menemukan bahwa Pemda Sleman sengaja memberikan IMB Berjangka kepada pihak pengembang Apartemem Uttara padahal dokumen pendukung lain seperti ijin lingkungan dan lainya belum ada. Temuan ini meyakinkan warga untuk menempuh jalur litigasi, yang selama ini dihindari karena beranggapan bahwa Pemda berpihak kepada warga ditambah keterbukaan Pemda terhadap produk-produk hukum serta kebijakan yang sangat rendah semakin menunjukan itikad yang tidak baik menurut warga Karangwuni. Kekecewaan ini selain dipicu oleh hal yang sudah
disebutkan
diatas
juga
disebabkan
karena
Pemda
Sleman
dengan
sengaja
mengindahkan surat dari Menteri Lingkungan Hidup yang meminta untuk dilakukan kajian ulang terhadap pembangunan Apartemen Uttara ini. Surat dari Menteri Lingkungan Hidup adalah hasil usaha warga Karangwuni yang mengirimkan surat permohonan bantuan, namun pada kenyataannya surat ini pun tidak digubris. Maka dengan terpaksa dan setelah berkonsultasi dengan LBH dan WALHI Yogyakarta warga memilih jalur Litigasi, dan menggugatnya ke Pengadilan (PTUN). Maka semenjak diterbitkannya IMB berjangka oleh Pemda Sleman kepada pengembang Apartemen Uttara membuat warga yang memang sudah mempersiapkan semua dokumen pendukung gugatan mereka untuk berjuang lewat jalur hukum. Dalam perlawanan dengan melalui jalur hukum ini hambatan lain juga tetap ada, dan hambatan
ini
juga
semakin
menunjukan
kecurangan
dan
ketidakberpihakan
pemerintah daerah Sleman kepada warga Karangwuni. Dalam urutan dokumen perijinan seperti yang sudah dijelaskan diatas, yang menjadi dasar utama untuk diberikanya IMB adalah Ijin Lingkungan, namun pada kenyatanya pihak Apartemen Uttara telah memulai pembangunan disaat ijin lingkungan itu belum ada, dengan dalih bahwa IMB sementara sudah keluar. WALHI Yogyakarta yang memang sudah mulai ikut mendampingi dengan LBH Yogyakarta semenjak permasalahan IPT keluar membeberkan fakta bahwa di Sleman sendiri belum ada produk kebijakan yang kuat mengenai Ijin Lingkungan, sehingga tanpa dasar yang kuat ini menjadi celah besar bagi pengembangpengembang properti seperti hotel dan apartemen untuk membuka usaha baru di daerah Sleman. Keanehan selanjutnnya yang dijelaskan oleh informan adalah bahwa IMB berjangka itu dikeluarkan lebih dulu agar proyek pembangunan ini dapat dimulai sambil mengurus Ijin Lingkungan, tentu saja ini adalah tata cara hukum dan kebijakan yang salah. Dan hal ini juga yang menjadi salah satu alasan dan kekuatan dalam gugatan warga pada saat itu. Namun seperti yang sudah biasa terjadi di negeri ini jika rakyat biasa melawan pengusaha yang memiliki teman penguasa, hal yang merugikan pengusaha akan segara hilang saat digugat mengenai ketersediraan Ijin Lingkungan pihak Apartemen Uttara dapat menunjukan dokumen itu pada saat yang sudah ditentukan,
ini sudah menunjukan keberpihakan pihak Pemda Sleman kepada
pengembang Apartemen Uttara dan selanjutnya dokumen-dokumen yang digugat warga terus bermunculan saat diminta, dengan urutan yang tidak sesuai.
Menyikapi hal tersebut, WALHI yang sudah melakukan kajian memberikan masukan dasar untuk melawan pembangunan apartemen itu, WALHI menyarankan warga untuk melihat Kebijakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Jalan Kaliurang dimana pembangunan Apartemen Uttara itu tengah terjadi
apakah sudah
sesuai dengan peruntukannya, karena jika memang sudah tidak sesuai dengan peruntukannya maka setiap dokumen yang disiapkan oleh Uttara tidak akan berpengaruh. Hal ini memberikan sedikit harapan kepada warga Karangwuni yang sudah 2 tahun melakukan perlawanan, namun seperti biasa untuk dapat meminta RTRW itu mengalami kesulitan yang sangat besar tapi suatu hari ada seorang staf di dalam dinas terkait yang terketuk hatinya dan memberikan dokumen yang diminta, meskipun masih dalam bentuk kajian di Pemda dokumen ini sudah cukup untuk dijadikan bukti kuat untuk melawan Uttara.
Gambar IV.5 Peta RTRW (Rencana Tata Ruang dan WIilayah) sepanjang Jalan Kaliurang (Sumber : Arsip Paguyuban Warga Karangwuni)
Gambar IV.6 Peta RTRW (Rencana Tata Ruang dan WIilayah) sepanjang Jalan Kaliurang (Sumber : Arsip Paguyuban Warga Karangwuni)
Gambar diatas adalah gambar peta RTRW Jalan Kaliurang yang diberikan oleh salah satu pihak yang tergerak hatinya untuk membantu warga Karangwuni dalam perjuangan mereka melawan Uttara.
Memang bukan bantuan yang besar,
namun bagi warga Karangwuni ini adalah bantuan yang besar karena menjadi salah satu bukti berharga bagi mereka. Dari gambar pertama bila diperhatikan seksama maka sepanjang Jalan Kaliurang dan daerah sepanjang jalan tersebut diberi warga biru dengan garis hijau. Pada gambar kedua yang menunjukan legenda peta tersebut menunjukan bahwa daerah dengan warga biru dan garis hijau berdasarkan RTRW merupakan tempat untuk Perdagangan Dan Jasa Deret, artinya sepanjang Jalan Kaliurang dan beberapa meter kedalam adalah tempat untuk dibangunnya tempar perdagangan seperti toko atau tempat makan dan Jasa Deret yang dimaksud adalah hotel dan juga kantor Travel Agent ataupun restoran seperti Dunkin Donuts juga Kalimilk. Bangunan seperti Kalimilk dan Dunkin Donuts sudah memenuhi ketentuan yang berlaku, dan pada kenyataanya warga sekitar juga tidak menolak pembangunan tersebut. Bukti ini adalah bukti nyata dan juga kuat menurut warga dan juga WALHI Yogyakarta karena dari peta tersebut jelas bahwa Uttara telah salah karena membangun apartemen. Melihat bukti nyata tersebut jelas menunjukan bahwa Uttara sama sekali tidak peduli dengan aturan juga tata cara yang berlaku, jadi tidak salah masyarakat merasa bahwa Uttara hanya mementingkan masalah uang dan pelanggan dengan memilih tempat disana karena memang berlokasi tepat di samping jalan raya. Jika dilihat sepanjang Jalan Kaliurang dapat ditemukan juga hotel yang sudah berdiri namun tidak ada permasalah dengan warga sekitar, selain karena memang sesuai
dengan peruntukannya bentuk hotel yang berada di sepanjang Jalan Kaliurang tidak lebih dari dua tingkat dan dengan kondisi seperti itu warga merasa tidak akan ada penggunaan air berlebih yang mengancam warga sekitar. Selain bukti diatas,
secara garis besar terdapat tujuh alasan warga
Karangwuni menggugat Uttara dan juga meggugat Surat Keputusan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman. 1. Izin lingkungan didasari oleh UKL-UPL yang berisi data dan informasi yang tidak benar terkait luas bangunan. Dalam dokumen UKL-UPL luasan bangunan sebesar 9.661,2 m2 . Setelah dlakukan kajian dan verifikasi ternyata luas bangunan melebihi 10.000 m2 . Menurut peraturan perundang-undangan jika luas bangunan melebihi 10.000 m2 dokumen yang harus dimiliki bukanlah UKL-UPL melainkan harus dokumen AMDAL. Sedangkan proyek Uttara ini hanya menggunakan UKL-UPL dan diloloskan oleh Pemda Sleman. 2. Izin Lingkungan didasari oleh data Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang
tidak
benar.
Setelah
dilakukan
verifikasi dan hitung ulang
ditemukan KDB bukanlah 40% dani luas lahan sebesar 1.660 m2 seperti yang diklaim pada tahap perencanaaan, tetapi besaran KDB yang sesungguhnya mencapai 70%,
ini jelas melebihi batas dalam izin
pemanfaatan tanah. Semakin kecil KDB, semakin besar kemungkinan adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Apabila dibiarkan pelanggaran seperti ini akan berdampak pada berkurangnya daerah resapan air. 3. Izin Lingkungan diterbitkan tanpa mengantongi rekomendasi dari Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Daerah (BKPRD). Hal ini disebabkan karena Pemda Sleman sendiri belum memiliki Rencana Detail Tata Ruang. Dalam setiap pembangunan harus memiliki rekomendasi dari BKPRD untuk menentukan batasan seperti besaran KDB dan Koifisen Lantai Bangunan (KLB), Ruang Terbuka Hijau yang diatur dalam RDTR. Dengan membiarkan pembangunan tanpa memerhatikan hal-hal tersebut dapat berefek buruk terhadap kondisi lingkungan hidup. 4. Izin Lingkungan diterbikan pada tahap konstruksi. Tujuan dari Izin Lingkungan
adalah
pembangunan terhadap memperoleh
izin
sebagai
instrumen
lingkungan hidup
kegiatan
usaha
pengendalian
dampak
dan merupakan prasyarat
memulai
pembangunan.
Dengan
menerbitkan Izin Lingkungan tidak pada tahap perencanaan sama dengan mengabaikan
sepenuhnya
dampak
pembangunan
lingkungan
hidup.
Kehidupan manusia seharusnya memiliki keseimbangan dengan alam, dan semua itu telah nyata diabaikan oleh Pemda dan juga pihak Pengembang Uttara demi tujuan uang. 5. Izin Lingkungan diterbitkan dengan proses tidak melibatkan warga Karangwuni yang terdampak pembangunan. Seluruh data informasi yang tidak benar, manipulatif telah menjadi dasar untuk keluarnya UKL-UPL, dan proses pembangunan yang dilakukan secara sepihak, menutup ruang partisipasi warga dalam menyampaikan aspirasi dalam mengeatahui dampak pembangunan. Padahal sejak awal warga tidak setuju. 6. Penerbitan Izin Lingkungan bukanlah kewenangan dari Kepala BLH Sleman. Kewenangan itu dimiliki oleh Bupati Sleman itu sendiri, hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2002 tentang Izin Lingkungan. BLH jelas hanya berwenang memberikan rekomendasi dan pemeriksaan UKL-UPL. 7. Hal paling fatal adalah pembangunan Apartemen Uttara yang masih berlangsung sampai hari ini jelas tidak sesuai dengan data dokumen perencanaan pembangunan seperti yang sudah dijabarkan diatas.
Gambar IV.7 Wawancara dengan Bu Tety selaku Sekertari PKWTU (Sumber : Dokumentasi Penulis)
Pemerintah Daerah Sleman maupun Provinsi dalam kacamata penulis dan juga fakta dilapangan serta data dari WALHI Yogyakarta memang tidak menunjukan
keinginan untuk membuat daerah Yogyakarta ramah lingkungan, baik secara tata ruang, kemacetan juga izin yang begitu mudah diberikan kepada pengusaha properti. Contoh lain adalah pembangunan Hotel The 101 di daerah Tugu Yogyakarta, tepat di tempat dibangunnya hotel tersebut terdapat sebuah bangunan tua yang dijadikan cagar budaya. Menurut peraturan tidak boleh ada pembangunan dan perubahan bangunan yang dikategorikan sebagai cagar budaya, namun kenyataanya adalah Hotel 101 itu tetap dibangun, dan kini sudah berdiri tegak. Pembangunan yang baik sekiranya harus memperhatikan komposisi dan keseimbangan dengan sistem ekologi yang ada (Irwan 2014:15). Kondisi ini terjadi karena adanya konflik dua aktfitas seperti yang terjadi di India, aktifitas pertama yaitu aktifitas ekonomi yang menginginkan menggunakan semua
sumberdaya
yang
ada
secara
maksimal,
dengan
aktifitas
melindungi
lingkungan sebagai salah satu sumber daya demi keberlangsungan hidup generasi berikutnya(Rai 2015:1919). Sejatinya mengabaikan kondisi lingkungan sama saja dengan
mengabaikan
hakikat
kehidupan
manusia,
padahal dalam kenyataanya
persmasalahan lingkungan bukan melulu persoalan kerusakan lingkungan, tapi juga terancam
serta
rusaknya
kondisi
lingkungan
sosial
budaya
suatu
daerah.
Pembangunan yang memaksakan kehendak pasar mengancam tatanan sosial budaya, tempat yang berupa cagar budaya yang harusnya dipertahankan karena nilai historis sebagai salah satu bukti keistimewaan Yogyakarta diabaiakan dengan mudah tanpa melihat dampak lebih lanjut dari hilangnya aset sosial budaya tersebut. Penghargaan yang rendah terhadap bentuk budaya sendiri di Yogyakarta berupa bangunan yang telah dikategorikan sebagai cagar budaya, menunjukan bahwa di Yogyakarta demi mengejar pendapatan daerah melewati pariwisata juga pajak dari hotel-hotel di Yogyakarta
membuat
Provinsi
ini
terutama
Kota
Yogyakarta
kehilangan
“keistimewaan” yang digadang-gadangkan dalam slogan yang di pajang sepanjang jalan dalam Kota. Fakta-fakta yang sudah dijelaskan diatas telah menunjukan bahwa warga Karangwuni jelas tidak menentang dan menolak perubahan, terbukti di daerah tersebut terdapat juga hotel. Kepedulian warga terhadap bentuk kota dimana mereka tinggal, dan bagaimana kota itu tumbuh membuat mereka sadar bahwa mengalah pada pembangunan apartemen itu tidak akan menguntungkan warga sekitar, juga memiliki potensi besar merusak kondisi lingkungan terutama air tanah, belum lagi dampak kemacetan nantinya, selain itu masalah yang nanti akan dihadapi dan dapat dipastikan tidak akan pernah diperhatikan oleh para pengusaha properti adalah distribusi air
tanah, serta pengelolaan limbah dari pemukiman itu, pembangunan hotel dan pemukiman seperti kompleks dan apartemen di kota-kota tidak disertai dengan pembangunan saluran air kotor, dampak tidak langsungnya yang akan dirasakan oleh anak
cucu kita adalah pencemaran lingkungan akibat maraknya pembangunan
pemukiman, hotel, dan gedung-gedung tinggi (Salim 1992:88 ). WALHI Yogyakarta dari awal tahun 2012
telah menyadari potensi
pembangunan yang tak terkendali, dari mulai mall besar, hotel hingga apartemen sehingga mereka pun telah gencar membantu masyarakat dengan permasalahan serupa di sekitar wilayah perkotaan dengan tujuan untuk memberikan penyadaran, juga peningkatan kepedulian warga Yogyakarta tentang kota yang mereka tempati ini. Warga Karangwuni salah satu contoh warga yang diberikan pendampingan melalui LBH Yogyakarta juga dukungan data dari WALHI Yogyakarta. Selain bantuan tersebut WALHI Yogyakarta juga
memberikan sebuah nilai yang unik dan
teguh dalam menyemangati warga bahwa dalam sebuah perjuangan melawan ketidakadilan juga perusakan lingkungan tidak pernah ada tujuan akhir, tujuan dari semua ini adalah proses perjuangan juga pembelajaran mengenai kepedulian juga tanggung jawab warga terhadap muka kota tempat mereka tinggal, kepedulian tentang bagaimana kota seharusnya tumbuh bersama warganya,
tumbuh berdampingan
dengan lingkungan sehingga dapat menjamin bahwa warga kota tersebut tidak tersakiti, tidak dirugikan oleh pembangunan kota itu sendiri. Kota yang dibangun oleh pajak yang setiap warga telah bayar. Kota yang warga yakini sebagai sebuah tempat yang berbudaya, dan juga istimewa karena keberadaan Keraton, keberadaan kultur Jawa yang mereka yakini sampai saat ini. Harapan warga Karangwuni adalah bahwa kasus yang mereka tengan hadapi, perjuangan yang kini mereka jalani adalah sebuah pemicu bagi masyarakat di tempat lain di Yogyakarta dengan situasi yang sama untuk berdiri, melawan agar pemerintah melihat bahwa apa pemerintah lakukan tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan warga akan hidup yang berbudaya dan harmonis, seperti yang dijelaskan informan. “…Gerakan ini buat kita sebagai proses lah, proses sinawu, belajar lah warga, biar masyarakat itu makin pintar, nah memang sekarang makin paham kita. Bu Tety – Sekertari PKWTU Pada
akhirnya
pergerakan
yang
dilakukan
oleh
warga
Karangwuni
menunjukan bahwa pada masa ini dimana dunia dikatakan sebagai dunia modern,
manusia yang tinggal di dalamnya perlahan berkembang dan mempelajari hal-hal baru dan pada akhirnya mendapat pandangan baru bahwa dalam dunia dengan logika modernitas ini akan mendapat banyak masalah baru bila tidak disadari dengan cepat, masalah masalah ini seperti yang dikatakan Giddens (Dalam Political Sociology : A Critical Introduction
2012
: 267) sebagai manufactured uncertainity atau
ketidakpastian buatan yang berisi masalah seperti kerusakan lingkungan, virus dan juga perang, akibat dari modernisasi yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Kerusakan lingkungan yang timbul dari hasrat manusia untuk menjadi modern dan untuk
dapat mendapat keuntungan besar dari modernisasi dengan melakukan
pembangunan yang menyampingkan fakta-fakta lain yang ada di lapangan, seperti kondisi lingkungan dan kondisi masyarakat. Maka untuk saat ini sikap terbaik bagi manusia
dalam hal ini adalah
bertobat
dan
sadar
kembali akan perlunya
memperhatikan lingkungan dan alam (Sastrosupeno 1984 : 85).
B. Pembahasan 1. Gerakan Sosial Baru WALHI Yogyakarta Gerakan
sosial
yang
dilakukan
WALHI
Yogyakarta
adalah
berupa
pengenalan juga perlindungan terhadap lingkungan dengan cara membeberkan fakta di lapangan juga pemberian edukasi terhadap masyarakat Yogyakarta, tujuan dari WALHI Yogyakarta adalah membuat masyarakat menyadari arti pernting lingkungan, dan juga memiliki rasa memiliki terhadap lingkungan sekitar mereka, sehinga perubahan-perubahan yang terjadi tidak mengusik kelestarian lingkungan yang pada akhirnya nanti akan merugikan diri mereka sendiri. Gerakan ini mengutamakan melibatkan masyarakat sebagai aktor utama dan memberikan masyarakat sebuah kemampuan untuk dapat berdiri secara mandiri dalam mengurus lingkungan juga melindungi lingkungan sekitar mereka saat ada suatu hal yang dirasa akan mengancam. Dengan juga menyertakan aksi di lapangan seperti kampanye juga menulis artikel di Koran untuk menyebarkan paham bahwa lingkungan itu harus dijaga, alam harus tetap lestari dan manusia dapat hidup serasi dengan alam dengan memberikan hak-haknya. Gerakan sosial yang dilakukan WALHI Yogyakarta dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial baru. Hal ini ditunjang dengan fakta-fakta bahwa dalam gerakan sosial yang dilakukan WALHI Yogyakarta terdapat unsur-unsur yang dapat dilihat sebagai sebuah Gerakan Sosial Baru Menurut (Suharko, 2006:8). Selain itu
Larana (1994:64) mengatakan bahwa gerakan sosial baru dikenal juga dengan fluid movement atau gerakan cair artinya adalah bahwa GSB adalah bentuk gerakan yang berubah-berubah dalam konteks mereka tidak memiliki akhir dari gerakannya, mereka memiliki tujuan tapi saat tujuan itu tercapai atau tidak, gerakan itu tidak mati, mereka berubah lagi dan bergerak lagi mencari hal baru untuk diperjuangkan, seperti gerakan lingkungan dan gerakan feminisme yang sampai saat ini meskipun sudah banyak perempuan yang disejajarkan dengan laki-laki namun gerakan itu akan terus ada, karena tujuan bukanlah akhir karena fluid movements adalah proses. Selain itu GSB atau fluid movements
juga tidak terikat pada satu aspek dalam gerakannya, tidak
hanya pada penanggulangan kerusakan lingkungan bila dalam gerakan lingkungan, dan juga tidak hanya memperjuangkan kesetaraan perempuan, juga memperhatikan aspek lain seperti hubungan antar gender yang baik dalam gerakan feminisme, juga merubah persepsi warga juga meningkatkan pengetahuan dan kapasitas warga akan kondisi lingkungan alam mereka dalam gerakan lingkungan. GSB ini adalah bentuk dinamis dari sebuah gerakan sosial, karena mereka tidak terbatas pada aspek, juga tujuan, mereka akan terus ada, dan berkembang sesuai dengan keadaaan manusia yang terus berubah, juga dunia yang berubah.
Tabel IV.4 Ciri Gerakan Sosial Ciri Ideologi dan Tujuan
Taktik
Struktur
Indikator
Hasil Temuan
bersifat non- Tujuan dari gerakan sosial WALHI Yogakarta tidaklah didasari pada motif ekonomi, material melainkan memiliki tujuan untuk membuat manusia dan alam hidup selaras, dan lingkungan yang berkeadilan serta berkelanjutan. memobilisasi WALHI Yogyakarta dalam melakukan gerakannya terbagi dalam dua cara, opini publik menggunakan advokasi juga kampanye dan penyebaran isu yang dilakukan dengan cara menulis di koran, berdiskusi dengan masyarakat, juga melakukan aksi pada hari-hari besar lingkungan. Tujuannya adalah menyebarkan opini juga memobilisasi opini struktur yang Struktur dalam WALHI Yogyakarta bersifat luwes dan juga menggunakan musyawarah luwes dalam memutuskan sesuatu, terutama pemilihan
Aktor
Lintas Golongan
isu yang dilakukan melalui musyawarah anggota pada PDLH, lalu musyarawah juga dilakukan saat penentuan pemilihan aksi juga waktu aksi dan semua diserahkan kepada masyarakat. Golongan yang terlibat di WALHI Yogyakarta bukan saja terdiri dari satu golongan, keanggotan WALHI Yogyakarta terdiri dari mahasiswa, ada juga masyarakat biasa sebagai Sahabat Lingkungan, lalu mereka yang berada di dalam eksekutif WALHI Yogyakarta juga tidak terpaku pada latar belakang pendidikan tertentu, semua bisa tergabung dan ikut bergerak bersama WALHI Yogyakarta dengan syarat siap bekerja melindungi hak lingkungan juga hak masyarakat.
(Sumber : Data Primer, Maret 2016)
2. Pola Jarinngan WALHI Yogyakarta Bentuk organisasi dari WALHI Yogyakarta adalah sebuah forum advokasi lingkungan, yang pada masa berdirinya adalah terdiri dari lembaga-lembaga yang memiliki fokus di penanganan lingkungan, mulai dari pecinta alam dari universitasuniversitas di Yogyakarta, lalu ada LBH Yogyakarta, dan banyak lagi. Keseluruhan anggota yang dimiliki WALHI Yogyakarta saat ini adalah berjumlah 29 anggota, yang masing- masing memiliki tujuan yang sama. Basis kerja WALHI Yogyakarta yang berdasarkan kepada mandat dari ke 20 anggotanya dan juga cara penyelesaian permasalahan advokasi dengan menunjuk kepada anggota yang memiliki keterkaitan isu dan wilayah yang sesuai menunjukan bahwa kinerja ini bertujuan untuk mencakup semua daerah di Yogyakarta dengan cara menghimpun basis kekuatan dari LSM dan lembaga lain di daerah agar memiliki kekuatan untuk melawan yang besar, dan dapat memberikan tekanan yang besar, baik kepada pemerintah maupuun pihak swasta. Dengan memiliki anggota berupa LSM atau lembaga secara tidak langsung WALHI Yogyakarta mengantongi jumlah individu yang sangat banyak dibandingkan dengan LSM lain. Jumlah yang besar ini menjadi modal besar dalam pengusahaan perubahan kebijakan dan juga pemberian tekanan kepada pihak yang merugikan warga juga kondisi lingkungan di Yogyakarta.
Prinsip dalam WALHI Yogyakarta dalam melakukan advokasi adalah dengan menggunakan jumlah anggotanya yang memiliki kedekatan isu dan wilayah, setiap anggota WALHI Yogyakarta adalah sebuah lembaga atau LSM yang memiliki program utama sendiri, namun masih memiliki tanggung jawab besar di WALHI Yogyakarta untuk melakukan advokasi berdasarkan laporan masyarakat atau isu strategis yang dimiliki oleh WALHI sendiri. Dengan memfokuskan kepada anggota yang memiliki kedekatan isu maupun lokasi WALHI Yogyakarta memiliki cakupan wilayah advokasi yang luas dan juga ragam isu lingkungan yang banyak, dengan begini masyarakat tidak perlu jauh datang ke kantor WALHI Yogyakarta untuk memberikan aduan, karena dalam strukturnya tidak ada keharusan untuk melapor ke WALHI Yogyakarta untuk diberikan bantuan, masyarakat bisa langsung datang ke salah satu anggota WALHI Yogyakarta yang terdekat dengan daerah mereka berasal. Dengan jumlah anggota yang berupa LSM dan lembaga maka pada sebenarnya basis kekuatan utama WALHI Yogyakarta berada di tiap anggotanya sendiri, seperti LBH dengan kemampuan hukum dan advokasi yang dimilikinya, kemudian ada LABH yang memiliki fokus di bantuan hukum dan juga HAM, lalu PKBI yang memiliki fokus utama di keluarga berencana dan kesehatan reproduksi masyarakat. Dengan banyaknya fokus anggota dan kemampuanya masing-masing WALHI Yogyakarta memiliki akses terhadap informasi dan juga jaringan yang lebih luas, ini lah yang membuat WALHI Yogyakarta menjadi salah satu LSM yang konsisten dan juga dipercaya masyarakat untuk membantu permasalahan lingkungan yang tengah mereka hadapi. Jumlah anggota yang banyak ini membuat WALHI Yogyakarta memiliki sebuah sistem jaringan yang unik dan tersebar secara merata hampir di seluruh Yogyakarta, keberadaan jaringan ini yang membuat WALHI Yogyakarta dapat membuat gerakan sosial cinta lingkungan ini begitu massif terdengan di Yogyakarta. Selain karena memang kondisi lingkungan Yogyakarta yang memiliki geografis yang lengkap dari gunung Merapi hingga pantai, ditambah dengan pembangunan kota Yogyakarta yang sangat cepat membuat WALHI Yogyakarta mengawasi semua dengan cermat, dan dengan bantuan jaringan di WALHI sendiri menghasilkan pergerakan sosial yang tidak bisa dianggap remeh. Hal yang membuat gerakan ini menjadi kuat meskipun tidak memiliki jumlah masa yang banyak adalah karena warga Karangwuni memiliki identitas kolektif yang kuat, perasaan dan kesadaran bahwa masalah pembangunan ini adalah masalah bersama. Ikatan dalam identitas kolektif ini
membuat WALHI Yogyakarta semakin mudah untuk memberikan bantuan karena ikatan
warga
Karangwuni
terutama
RT
01
mempermudah
proses
gerakan
mereka(Swaminathan 2012:17). Dalam gerakan sosialnya ini penulis menemukan beberapa pola jaringan dari kerja WALHI Yogyakarta, pola yang dimilik WALHI Yogyakarta tidak hanya satu, dikarenakan keanekaragaman anggota dan jumlahnya yang banyak membuat polapola jaringan di WALHI bervariasi, ditambah dengan adanya dua metode yang digunakan WALHI Yogyakarta untuk melakukan advokasi yaitu berdasarkan laporan (by case) dan juga preventif berdasarkan pada analisa dan riset berdasarkan keempat isu, maka penulis simpulkan terdapat dua pola jaringan yang ada di WALHI Yogyakarta, yaitu pola jaringan internal dan eksternal. Pada jaringan eksternal maksudnya adalah pola jaringan WALHI Yogyakarta ketika melakukan gerakan sosialnya yang berupa advokasi dan pendampingan masyarakat. A. Pola Jaringan Internal Bentuk dasar dari WALHI yang berupa sebuah forum advokasi memberikan konsekuensi berupa jumlah anggota yang banyak jika dilihat secara individual.
Jumlah anggota yang melimpah membuat
WALHI sendiri memiliki jaringan internal yang kuat dan luas jika dibandingkan dengan LSM manapun yang berbasis lingkungan seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Berdasarkan jaringan dalam
pengamatan
yang
dilakukan
penulis
sistem
WALHI Yogyakarta memiliki siklus yang berbeda
dalam kaderisasinya, pertama untuk menjadi direktur haruslah dipilih pada saat PDLH (Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup) lalu untuk pemilihan pengurus harian atau eksekutif daerah dipilih berdasarkan pengalaman kerja bersama WALHI Yogyakarta namun syarat utama dari pemilihan eksekutif daerah ini adalah individu tersebut adalah anggota dari WALHI Yogyakarta sendiri, atau salah satu anggota Sha-Link (Sahabat Lingkungan). Untuk kaderisasi dalam keanggotaannya yang berjumlah 29 itu WALHI Yogyakarta menggunakan sistem pelatihan dan pengenalan setiap tahunnya bagi tiap anggota agar paham mengenai advokasi, WALHI dan cara kerja WALHI sendiri. Seperti yang penulis
pernah
hadiri pada 14 dan 15 Januari 2016. Dari hasil wawancara serta
observasi maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pola jaringan internal WALHI Yogyakarta adalah sebagai berikut.
Gambar IV.8 Pola Jaringan Internal WALHI Yogyakarta (Sumber : Pengolahan data dan observasi)
Dari gambar diatas menunjukan bahwa pola jaringan internal WALHI Yogyakarta digambarkan seperti lingkaran yang berlapis-lapis. Pada gambar diatas terdapat lingkaran yang menunjukan posisi WALHI Yogyakarta
sendiri,
Yogyakarta
yang
lalu dalam
didalamnya
terdapat
Direktur
WALHI
komandonya
memiliki
jaringan
terhadap
Sahabat Lingkungan (Sha-Link), dimana seperti yang dijelaskan di sub bab atas mengenai organ support WALHI, Sha-Link adalah salah satu bentuk jaringan yang memiliki fungsi dan peran sebagai organ support yang tujuannya adalah sebagai penggalang dana, dukungan juga edukasi. Sha-Link adalah salah satu jaringan terluar diluar struktur organisasi WALHI Yogyakarta yang terdiri dari individu yang menjadi relawan, karena tanpa batasan dan label organisasi maka Sha-Link memiliki potensi menarik dukungan dari masyarakat umum. Disamping Sha-Link itu WALHI memiliki jaringan di dua bentuk yang berbeda pertama seperti yang digambarkan penulis di sebelah kiri terdapat anggota yang berjumlah 29, dengan kemampuan
dan
isu
masing-masing
dan
memiliki
profesionalitas
dibidangnya,
anggota ini adalah bagian yang memberikan WALHI mandat lalu pandangan mengenai isu strategis yang dipilih WALHI Yogyakarta, dan juga memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan advokasi sebagai kepanjangan tangan dari WALHI Yogyakarta kepada masyarakat yang membutuhkan. Karena bentuknya yang seperti itu maka dalam garis komando pelaporan masyarakat tidak perlu melaporkan suatu kasus langsung ke WALHI Yogyakarta tapi dapat langsung memberikan laporan kepada anggota-anggota WALHI Yogyakarta yang memiliki isu terdekat dan juga wilayah terdekat dengan lokasi masyarakat. Bentuk jaringan selanjutnya adalah Warga Berdaya. Warga Berdaya adalah sebuah forum diskusi yang terdiri dari masyarakatmasyarakat diseluruh Yogyakarta, dimana kegiatan utamanya adalaah untuk melakukan diskusi dan pengenalan kasus dan isu yang tengah terjadi, ataupun potensi permasalahan yang akan terjadi berdasarkan fakta dilapangan yang diketahui oleh masyarakat. Dengan bentuknya yang berupa forum diskusi maka Warga Berdaya ini memberikan efek jaringan berupa penyebaran isu dan juga edukasi yang dilakukan secara tidak langsung dan dilakukan mandiri oleh masyarakat sendiri, dengan fungsinya sebagai penyebar isu secara otomatis maka dukungan dan pengakuan dari pihak luar seperti masyarakat lain ataupun media akan semakin meningkat.
Gambar IV.9 Pelatihan Advokasi kepada Anggota WALHI Yogyakarta (Sumber : Dokumentasi Penulis)
B. Pola Jaringan Eksternal WALHI Yogyakarta Pola jaringan dalam konteks eksternal WALHI Yogyakarta berhubungan dengan gerakan sosial yang dilakukan WALHI Yogyakarta melalui
advokasi
pelaksanaannya
dan WALHI
pendampingan Yogyakarta
masyarakat, memiliki
yang dua
pada metode
pengadvokasian dan pendampingan. Pertama berdasarkan kasus atau laporan masyarakat (by case) kedua berdasarkan kepada empat isu strategis.
1. By Case
Gambar IV.10 Pola Jaringan WALHI Yogyakarta berdasarkan kasus (Sumber : Olah Data Penulis)
Dalam
pola
jaringan
yang
berhubungan
dengan
laporan
masyarakat pola jaringannya memiliki bentuk yang sedikit kompleks,
dalam tahap ini pemicu dari berlakunya pola ini adalah berdasarkan kepada laporan masyarakat. Masyarakat yang berperan sebagai pemicu dapat memberikan bentuk laporan berupa lisan maupun tulisan kepada WALHI Yogyakarta melalui 3 pihak yang merupakan salah satu jaringan yang terdapat di WALHI Yogyakarta, masyarakat dapat langsung memberikan laporan ke kantor WALHI Yogakarta ataupun melalui tulisan
lalu
dapat
juga
langsung
menghubungi
anggota
WALHI
Yogyakarta yang berada dekat dengan mereka dan memiliki keterkaitan isu dengan isu yang tengah terjadi di suatu masyarakat, seperti yang tertera di gambar di atas, namun bentuk lain WALHI Yogyakarta menerima laporan adalah melalui Warga Berdaya sebagai salah satu forum diskusi antar masyarakat, dan ketika ditemukan sebuah kasus atau permasalahan
maka
dalam
diskusi
tersebut
WALHI
Yogyakarta
diberitahukan. Selanjutnya setelah menimbang dan memperhatikan detail dari laporan masyarakat yang masuk dari anggota, Warga Berdaya ataupun melalui
anggota
sendiri,
WALHI
Yogyakarta
melakukan
analisis
pengumpulan data untuk menunjang laporan warga tersebut dengan menggunakan
analisa
kebijakan,
atau
melihat
kembali hasil riset
terdahulu yang sudah dilakukan WALHI Yogyakarta, setelah dirasa sesuai dan maka WALHI Yogyakarta bersama dengan anggota dan juga warga menyusun rencana bagiamana gerakan ini akan dilakukan. Setelah memiliki
rencana
yang
matang
bersama
masyarakat
WALHI
Yogyakarta melaporkan hasil tersebut ke anggota yang secara khusus memiliki kesamaan isu dan kedekatan wilayah agar dalam proses gerakan
terebut
masyarakat
dapat
berhubungan
dengan
WALHI
Yogyakarta via anggota. Jika permasalahan yang dilaporkan masyarakat itu langsung ditujukan kepada anggota maka anggota melakukan koordinasi dengan WALHI Yogyakarta agar WALHI mendukung dengan pemilihan data, analisa
kebijakan
dilakukan
dan peraturan untuk
masyarakat,
dan
WALHI
mendukung gerakan yang Yogyakarta
tidak
perlu
mengarahkan kepada anggota lain. Contohnya adalah ketika warga Karangwuni menyurati LBH Yogyakarta, LBH Yogyakarta adalah salah
satu anggota
WALHI Yogyakarta,
maka LBH Yogyakarta yang
berhubungan langsung dengan masyarakat dan WALHI Yogyakarta membantu dengan cara melakukan aksi bersama masyarakat, dan memberikan bantuan kajian dari segi lingkungan dan analisa kebijakan. Bila
dirasa
dalam suatu
kasus
dibutuhkan
penyebaran
isu
dan
penggalangan dukungan maka Direktur WALHI memberikan tugas kepada Sha-Link untuk melakukan aksi dan penyebaran isu tersebut. Contoh dari pola jaringan ini dapat dilihat dalam kasus warga Karangwuni melawan Uttara, dimana laporan/isu datang dari masyarakat dan disampaikan lewat dua jalur. Warga menyurati WALHI Yogyakarta juga menyurati LBH Yogyakarta ini dikarenakan warga Karangwuni tidak mengetahui bahwa LBH Yogyakarta juga merupakan anggota WALHI
Yogyakarta.
Setelah
laporan
itu
diterima oleh WALHI
Yogyakarta dan LBH mereka melihat konteks dari perlawanan ini apakah benar keinginan warga, lalu karena saat ini WALHI Yogyakarta sedang melakukan riset lapangan mengenai pembangunan hotel dan juga apartemen yang tengah marak di Kota Yogyakarta maka WALHI Yogyakarta langsung memberikan bantuan berupa pendampingan juga pemberian data juga bukti, selain itu LBH tetap membantu juga dengan cara litigasi dan mengolah fakta dan data di lapangan juga bantuan sokongan data dari WALHI Yogyakarta. Maka dalam kasus Uttara ini anggota
yang
terlibat
adalah
LBH
Yogyakarta
karena
memiliki
kedetakan isu yaitu perjuangan hukum juga karena wilayah yang sesuai dengan cakupan LBH Yogyakarta.
2. Berdasarkan Empat Isu Strategis
Gambar IV.11 Pola Jaringan WALHI Yogyakarta berdasarkan empat isu strategis (Sumber : Olah Data Penulis)
Empat isu strategis yang dimiliki WALHI Yogyakarta adalah sebagai dasar bagi WALHI Yogyakarta untuk mengawasi kondisi lingkungan, isu-isu tersebut adalah isu yang oleh anggota WALHI Yogyakarta adalah isu-isu yang sesuai dengan keadaan lingkungan Yogyakarta.
Berdasarkan
isu
strategis
tersebut
maka
WALHI
Yogyakarta melakukan riset dan analisa kondisi lingkungan, analisa media, dan analisa kebijakan untuk melihat kondisi lingkungan juga mengawasi kemungkinan-kemungkinan kerusakan lingkungan baik ulah manusia sendiri ataupun alam. Dalam pola jaringan ini WALHI Yogyakarta melakukan riset bersama dengan anggota secara berkala selain untuk dijadikan sebagai sarana
pengawasan,
hasil riset
tersebut
digunakan oleh WALHI
Yogyakarta sebagai data simpanan jika suatu saat hasil riset dan analisa itu
dapat
digunakan.
Dalam
gerakan
yang
dilakukan
WALHI
Yogyakarta dengan menggunakan empat isu strategis tersebut ditujukan
untuk membuat penyadaran langsung ke masyarakat juga Pemda jika ditemukan
potensi
akan
terjadinya
kerusakan
lingkungan,
tujuan
preventif ini diharapkan dapat membuat masyarakat dan Pemda lebih cepat tanggap dan sadar kondisi lingkungan di Yogyakarta. Setelah
ditemukannya
hasil dari riset,
dan
analisa yang
dilakukan oleh WALHI Yogyakarta, jika ditemukan sebuah potensi masalah atau isu maka WALHI Yogyakarta bersama anggotanya akan merumuskan
cara
bagaimana
untuk
menanggulangi dan
mencegah
kerusakan itu terjadi. Saat rumusan telah dilakukan maka WALHI memilih anggota yang memiliki kedekatan isu dan wilayah dengan daerah yang dituju, dan juga Diretktur WALHI Yogyakarta akan memberi instruksi kepada memberikan
edukasi
Sha-Link
kepada
untuk
masyarakat
terjun bersama untuk juga
melakukan
aksi
penyebaran isu tersebut. Jaringan yang dimiliki WALHI Yogyakarta berdasarkan pada kemampuan anggota juga jumlahnya yang banyak seperti anggota Mapala
dari
setiap
kampus
memberikan
WALHI
Yogyakarta
kemampuan untuk menekan kebijakan ke arah perubahan yang lebih baik, juga dapat membuat WALHI Yogyakarta mampu membantu masyarakat
dengan
hampir
semua
permasalahan
lingkungan
entah
permasalahan tersebut datang dari Pemda, pihak swasta atau bahkan dari masyarakat sendiri. Pola Jaringan yang dimilik WALHI Yogyakarta dipastikan agar dapat melakukan aksi langsung saat dibutuhkan, juga memberikan tindakan pencegahan yang diyakini WALHI Yogyakarta juga penting untuk menghindari kejadian serupa agar tidak terjadi. Anggota WALHI Yogyakarta adalah aset utama dari gerakan sosial advokasi lingkungan dan juga pendampingan masyarakat, dengan jumlah anggota yang beragam membuat WALHI Yogyakarta memiliki jaringan yang tersusun rapi juga tersebar merata di seluruh Propinsi Yogyakarta, memaksimalkan
keinginan
masyarakat
juga
menyatukanya
kedalam
sebuah jaringan terpadu merupakan salah satu program dan strategi yang digunakan WALHI Yogyakarta untuk membuat sebuah aksi nyata dengan melibatkan masyarakat secara maksimal, karena dalam sistem pemerintahan dan politik masa kini jika sebuah gerakan tidak melakukan
gerak dan aksi nyata maka selamanya kesenjangan dalam sistem pemerintahan dan politik masa kini akan tetap terbuka, dan kesempatan untuk merubah keadaaan menjadi sia-sia (Welp 2015:175)
Tabel IV.5 Pola Jaringan WALHI Yogyakarta Pola Jaringan Internal
Hasil Temuan
By Case
4 Isu Strategis
Masyarakat mendapat informasi terus menerus melalui hubunganya dengan WALHI Yogyakarta Arus hubungan dua arah. Tiap unsur dalam jaringan terutama anggota menjangkau masyarakat berdasarkan kedekatan wilayah dan isunya Pola Jaringan ini mengedepankan laporan masyarakat sebagai acuan Laporan bisa datang dari arah mana saja Memastikan ikatan dan juga hubungan langsung masyarakat dengan WALHI Yogyakarta. Jaringan ini menggunakan kapasitas jaringan internal untuk menarik laporan Melakukan koordinasi dengan warga terdampak masalah lingkungan WALHI Yogyakarta bergerak melalui anggotanya yang memiliki keterkaitan isu dan wilayah. Tujuan utamanya adalah tindakan pencegahan, juga pematangan masyarakat agar lebih mandiri dan juga peka terhadap lingkungan. Jaringan ini lebih memanfaatkan jaringan internal WALHI Yogyakarta dalam hal riset dan analisa. Riset dilakukan oleh WALHI Yogyakarta bersama dengan anggotanya. WALHI Yogyakarta melakukan
pendampingan jika menemukan masalah bersama anggota dengan kedekatan isu dan wilayah. WALHI Yogyakarta juga memberikan edukasi yang dilakukan oleh Sha-Link. WALHI Yogyakarta juga melakukan aksi berupa kampanye, menulis di surat kabar, blog dan twitter jika dibutuhkan. Sumber : Data Primer, Maret 2016
Jaringan yang dimiliki WALHI Yogyakarta memang beragam tergantung dari tujuan dan kerja yang dimiliki WALHI Yogyakarta sendiri, namun inti dari jaringan yang dimiliki WALHI Yogyakarta adalah jaringan internal mereka, jaringan yang terdiri dari anggota yang berupa lembaga, lalu masyarakat di bawah naungan forum Warga Berdaya. WALHI Yogyakarta berusaha untuk memperluas jaringannya dengan cara lebih banyak melibatkan masyarakat, karena gerakan sosial WALHI Yogyakarta ada untuk masyarakat, juga untuk membuat masyarakat mandiri dalam melindungi juga menjaga lingkungan sekitar. Melibatkan masyarakat secara lebih luas dengan cara membuat ikatan dan memasukannya kedalam jaringan internal WALHI Yogyakarta agar masyarakat
dapat
melakukan hubungan langsung juga memastikan
jangkuan dari advokasi serta gerakan sosial ini menjadi lebih luas. Masyarakat menjadi amunisi utama WALHI Yogyakarta karena masyarakat
menjadi pihak
pendorong
yang
kuat untuk
merubah
kebijakan, dengan jumlah masa yang banyak maka masyarakat dapat menekan dan melawan siapapun yang datang dan merusak alam, WALHI
Yogyakarta
meyakini bahwa
masyarakat
sudah
memiliki
pengetahuan mengenai alam dan cara melindungi, yang diperlukan adalah pengorganisasian, juga pemberian teknis melakukan pelestarian juga perlawanan jika dibutuhkan. Di sisi lain masyarakat merasakan WALHI Yogyakarta memberikan mereka pengetahuan baru tentang cara mengatasi masalah lingkungan mereka melalui jalur hukum. Hubungan ini menjamin keterikatan jaringan ini semakin kuat dan menguatkan.
WALHI Yogyakarta Dan Teori Jaringan
Jaringan yang terdapat di WALHI Yogyakarta secara kasat mata akan nampak seperti sebuah sistem kerja biasa yang diterapkan dalam sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat pada umumnya, namun jika dilihat dari segi berbeda seperti melihat bagaimana aktor di WALHI dalam hal ini adalah Eksekutif Daerah, Dewan Daerah, dan juga anggota terikat dalam sebuah
jaringan yang membuat WALHI
Yogyakarta dapat menjadi sebuah LSM dengan mengusung advokasi lingkungan menjadi sangat berarti di Yogyakarta, terutama gerakan sosialnya yang menjunjung tinggi hak-hak manusia juga alam agar dipenuhi, maka terdapat sebuah keterikatan antar aktor di dalam ruang lingkup jaringan seperti yang sudah penulis jelaskan pada sub bab sebelumnya. Tindakan dari setiap aktor di dalam WALHI Yogyakarta memastikan untuk bergerak pada pola-pola yang sudah ditentukan, aktor dapat memilih pola mana yang digunakan ketika terdapat sebuah isu atau kasus, apakah aktor bergerak karena laporan warga, atau bergerak karena temuan WALHI sendiri dari hasil riset dan analisa. Pola-pola ini sudah menjadi bagian kuat yang tertanam di dalam diri setiap aktor, hingga dapat dipastikan bahwa gerakan ini terus berlanjut dan tidak terhenti karena wilayah maupun terbentur isu yang tidak dapat ditangani. Gerak aktor dalam jaringan yang terdapat di WALHI Yogyakarta ditentukan jauh sebelum mereka memulai gerakan ini pada saat WALHI terbentuk, gerak aktor pada internal WALHI Yogyakarta sudah terstruktur dalam bentuk yang rapi. Menurut Wellman (1983). prinsip utama dalam menganalisa sebuah jaringan menggunakan teori jaringan ini ada tiga. Pertama adalah melihat ikatan di kalangan aktor yang simetris baik dalam konten maupun intensitas. Aktor di WALHI Yogyakarta baik anggota, pengurus harian maupun dewan harian memiliki ikatan yang sama rata (simetris) tanpa ada pengutamaan atau pembagian kelas berdasarkan pengalaman ataupun jenis ilmu yang dimiliki oleh individu masing-masing. Aktor yang mengurus WALHI secara struktural dipilih dan ditentukan dengan cara yang demokrasi saat PDLH (Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup) dan setiap individu yang akan dipilih, sudah terpilih maupun tidak terpilih memiliki kesetaraan dalam ikatan antar individu, masing-masing individu melihat bahwa kekuatan terbesar,
strata tertinggi dari
WALHI Yogyakarta dan seluruh jaringan bukan terletak kepada satu idividu yang menjabat, tapi terletak pada anggota itu sendiri, untuk itu WALHI menamakan keinginan dari anggota sebagai mandat, karena melihat bahwa „mandat‟ dasar utama gerakan mereka, juga puncak tertinggi dari kekuasan di dalam WALHI Yogyakarta,
tidak ada ikatan yang didasarkan kepada superior-inferior, junior-senior. Masingmasing individu setara dan siap maju pada saatnya jika memang dibutuhkan. Kedua, menganalisis ikatan antar idividu dalam konteks struktur jaringan yang lebih luas. Pemahaman mendasar tentang ikatan yang simetris ini berasal dari struktur yang lebih besar, yaitu dari WALHI pusat, semua berasal dari terbentuknya WALHI itu sendiri. Pada saat pembentukan WALHI ini, semua individu merasakan bahwa seitap individu berharga dan juga memiliki hak untuk bersuara, bertindak sesuai dengan kemampuan dan keinginan, maka pada pembentukan itu, dibuat sebuah struktur yang mengatur gerak gerik WALHI nantinya, setiap anggota diberikan kekuasaan untuk menentukan WALHI kelak akan menjadi apa. Demi menjaga keinginan dan cita-cita tersebut maka dibuat sebuah alur politik internal WALHI yang memastikan bahwa direktur, dan dewan daerah tidak memiliki kuasa melebihi anggota,
direktur dan dewan daerah hanya sebagai pelaksana seperti yang
dimandatkan anggotanya. Aturan itu yang kini menjadi sebuah sturktur sosial dalam WALHI dimanapun, tak terkecuali di Yogyakarta. Selama penulis bersama dengan WALHI Yogyakarta tiap individu didalamnya menghormati masing-masing, tapi juga tidak terpaku dalam kategori jabatan ataupun organisasi asal. Kesetaraan yang ada di WALHI Yogyakarta adalah bentuk dari sebuah struktur yang luwes tapi ditaati setiap individu, dan memaksa. Paksaan ini untuk memastikan bahwa gerak individu sesuai dengan tujuan dan visi misi dari WALHI itu sendiri. Ketiga adalah bahwa dalam sebuah jaringan yang teratur seperti yang ditemukan di WALHI Yogyakarta penyusunan ikatan sosial menghasilkan berbagai jenis jaringan tidak acak (nonrandom networks). Maksud dari jaringan tidak acak ini adalah bahwa setiap individu yang ada di WALHI saling terjalin ikatan yang teratur dan tidak acak. Sebagai contoh adalah setiap anggota WALHI Yogyakarta yang saling kenal meskipun mereka tidak berada dalam satu lembaga anggota yang sama. Hal ini terjadi karena mereka pernah bertemu dan melakukan diskusi di dalam suatu forum yang sama sebagai anggota WALHI Yogyakarta, selain itu ikatan ini terjadi karena WALHI Yogyakarta memiliki iklim yang tidak kaku dan formal, banyak teman-teman dari anggota WALHI Yogyakarta yang sering berkunjung ke kantor dan bermain untuk sekedar berdiskusi atau melakukan hal lain. Keterbukaan ini membuat jaringan tiap individu di WALHI Yogyakarta tidak lah acak per individu melainkan terhubung dengan suatu garis yang sama.
Tabel IV.6 Teori Jaringan Prinsip Teori Jaringan Ikatan Simetris
nonrandom networks
Hasil Temuan Ikatan dalam sebuah jaringan adalah berbentuk simetris, dimana setiap aktor atau anggota tidak memiliki strata yang membagi ikatan mereka, ikatan dalam WALHI Yogyakarta diisi dengan kesamaan tanpa diskriminasi, baik karena jabatan ataupun posisi, atau lama partisipasi seseorang, setiap anggota dengan bebas bisa bercengkrama, berdiskusi di Kantor atau dimanapun. Asal daerah dari anggota juga tidak pernah menjadi penghalang dalam ikatan di WALHI Yogkayakarta. Jaringan yang dimiliki oleh anggota dari WALHI Yogyakarta merupakan jaringan tidak acak, dimana setiap
individu di WALHI Yogyakarta saling mengenal terlepas dari darimana keanggotaan mereka berasal. WALHI Yogyakarta menjadi tempat mereka mengenal dan membuat jaringan baru. Sumber : Data Primer, Maret 2016
Berdasarkan model integratif yang dikemukan Ronald Burt maka jika dikaitkan dengan WALHI Yogyakarta adalah sebagai berikut.
Model integrative Ronald Burt Kepentingan Aktor
2
3 3
Stukrur Sosial sebagai
Tindakan
konteks tindakan 1
4
Hal utama yang perlu dilihat dalam menerjemahkan tindakan aktor dalam sebuah jaringan berdasarkan model integratif Burt adalah dengan langsung melihat struktur sosial dalam WALHI Yogyakarta. Dalam penelitan ini ditemukan bahwa banyak struktur sosial yang terdapat di WALHI Yogyakarta dalam konteks tindakan. Pertama adalah aturan bahwa kekuasaan tertinggi dalam LSM ini terletak pada angotanya dan setiap kegiatan harus diketahui oleh anggota dan anggota wajib memberikan sumbangsih yang sesuai dengan bidangnya saat diperlukan, baik melalui perintah ataupun keinginan sendiri. Kedua untuk menjadi Eksekutif Daerah dan menjadi staf individu tersebut haruslah anggota ataupun Sha-Link, itu adalah syarat yang disepakati secara tertulis, namun secara kebiasan juga konvensi di WALHI Yogyakarta keterlibatan dalam kegiatan advokasi WALHI Yogyakarta menjadi dasar yang meski tidak tertulis tapi diamini oleh siapapun yang berada di WALHI Yogyakarta sebagai salah satu syarat yang dipertimbangkan, hal ini untuk memastikan bawa setiap aktor di WALHI Yogyakarta memiliki kapasitas yang dibutuhkan oleh LSM ini, karena mengendalikan sebuah forum yang anggotanya adalah lembaga membutuhkan kepercayaan dan juga kemampuan yang mumpuni, kepercayaan ini didapat diperoleh dengan menjadi anggota ataupun Sha-Link. Ketiga setiap individu tidak dibayar untuk melakukan peran mereka di WALHI Yogyakarta, tanpa gaji sama sekali, hal ini sangat diperlukan untuk membuat setiap individu tidak melihat tindakan mereka di WALHI Yogakarta adalah untuk mencapai sebuah kepuasan secara finansial. Keempat ketetapan WALHI Yogyakarta untuk tidak menerima dana dari korporat, Pemerintah ataupun pihak swasta lain. Ini adalah bentuk dari penasbihan diri bahwa WALHI Yogyakarta tidak bergerak dengan menggunakan dana para sponsor yang mempunyai agenda terselubung, bahwa WALHI Yogyakarta memiliki integritas juga independensi yang tinggi, agar gerakan ini murni demi memajukan masyarakat juga melindungi linkungan, karena gerakan sosial merupakan sebuah ekspresi dari perjuangan secara kultural dari masyarakat untuk melindungi suatu makna bagi mereka(Peet and Wants 1996:95), maka dalam kegiatan WALHI Yogyakarta ini yang dimaknai bersama oleh WALHI Yogyakarta dan masyarakat adalah lingkungan. Semua itu adalah struktur sosial dalam konteks tindakan yang berada di WALHI Yogyakarta, terlepas dari visi dan misi yang jelas. Kedua adalah melihat kepentingan aktor dalam jaringan tersebut. Apa yang membuat aktor mau masuk dalam WALHI Yogyakarta, mau melakukan tindakan yang kini tengan dilakukan. Hasil wawancara penelitian ini memberikan hasil bahwa
setiap aktor di WALHI Yogyakarta hanya memiliki satu kepentingan, yaitu belajar mengabdi kepada masyarakat, dengan cara melindungi lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan saja mereka yang terkena kasus atau masalah lingkungan dengan Pemda atau pihak swasta, tapi semua masyarakat Yogyakarta. Meskipun tidak sedikit mereka yang ada di WALHI Yogyakarta bukanlah orang asli Yogyakarta, banyak pendatang yang datang dan terjun di WALHI justru datang dari luar Yogyakarta, seperti Direktur WALHI Yogyakarta periode ini yang merupakan orang asli Madura, lalu beberapa anggota yang berasal dari Lombok, Medan dan daerahdaerah lain. Mereka mengabdikan diri kepada masyarakat dengan menggunakan cara yang mereka yakini. Dalam pola yang dijelaskan Burt (dalam Ritzer : 2012), struktur jika ditambahkan atau sesuai dengan kepentingan aktor maka tindakan yang dilakukan aktor dalam jaringan tersebut merupakan kesatuan yang menguatkan jaringan itu sendiri, juga memberikan sebuah siklus pada pola tindakan tiap aktor. Kesesuaian kepentingan aktor dan struktur di WALHI Yogyakarta terlihat dari bagaimana struktur sosial di dalam internal WALHI Yogyakarta itu memberikan batasan dan ketentuan bagaimana seorang anggota WALHI seharusnya bertindak, dan kepentingan yang dimiliki aktor sendiri sesuai dengan apa yang di struktur sosialkan di WALHI Yogyakarta, aktor di WALHI Yogyakarta hanya memiliki kepentingan untuk bisa mengabdikan diri juga berkontribusi dengan masyarakat, sehingga pola jaringan yang dimiliki WALHI Yogyakarta dapat berjalan dengan baik dan juga stabil meski berapakali pun eksekutif daerah berganti, pola jaringan ini akan terus berjalan dan tak akan berubah, karena baik individu maupun struktur sosial dalam WALHI Yogyakarta saling mempengaruhi dan menguatkan. Perubahan
sendiri dari struktur
sosial di WALHI Yogyakarta yang
disebabkan perpaduan dari kepentingan aktor dan struktur sosial dapat ditemukan dalam konvensi di tubuh WALHI Yogyakarta untuk tidak saja mengutamakan anggota untuk dijadikan bahan pertimbangan dijadikanya staf eksekutif daerah, tapi juga melihat dari keterlibatan yang sudah pernah dilakukan individu bakal calon staf yang akan dipilih WALHI Yogyakarta nantinya. Meskipun diilhat menggunakan teori jaringan bahwa tindakan aktor ini adalah merupakan „paksaan‟ struktur sosial di WALHI Yogyakarta namun pada kenyataanya kepentingan aktor yang dimiliki masing-masing anggota di WALHI Yogyakarta adalah untuk pengabdian dan belajar maka „paksaan‟ itu bukan dirasakan sebagai sebuah paksaan, melainkan dilihat
sebagai sebuah kesesuaian dan identitas WALHI Yogyakarta sebagai sebuah LSM yang bergerak di advokasi lingkungan. Kesadaran aktor ini membuat pola jaringan WALHI Yogyakarta menjadi tetap dan tidak berubah baik apapun kondisinya, dan juga memastikan bahwa pola ini tidak akan rusak dan berubah bagaimanapun permasalahan terjadi, dan tekanan dari pihak luar terhadap aktor dalam jaringan tersebut. Kenyataanya bahwa jaringan itu mencoba untuk mengikat dan juga mendapat sumberdaya dari semua pihak yang ada dalam jaringan yang dibuat oleh aktor tersebut (Mitchell, 1961; Mayer and Mayer, 1974). Kesesuaian struktur sosial dan aktor ini adalah salah satu contoh nyata bahwa untuk melakukan sebuah kerja nyata di masyarakat yang diperlukan bukanlah uang semata, melainkan perpaduan antara struktur dan aktor yang membuat kerja ini terasa nyata meskipun tidak seberapa hasilnya jika dihitung secara kuantitas, namun yang jelas pola seperti ini memastikan perubahan pada tingkat masyarakat yang perlahan namun terarah dan nyata. Jaringan ini membuat gerakan sosial yang dilakukan WALHI Yogyakarta semakin kuat karena membuat sebuah batasan yang memperkuat ikatan antar aktor yang terlibat, yaitu “kita vs mereka” (Taylor and Whittier, 1992 :16).
Tabel IV.7 Model Integratif Ronald Burt dalam WALHI Yogyakarta Unsur Model Integratif R. Burt Struktur Sosial dalam konteks tindakan
Kepentingan Aktor
Tindakan
Sumber : Data Primer, Maret 2016
Indikator Setiap orang di WALHI Yogyakarta bekerja tanpa imbalan atau tanpa gaji. Setiap gerak-gerak staf diawasi oleh anggota, karena kekusaan tertinggi berada di anggota. Mandat utama diberikan oleh anggota, calon eksekutif WALHI Yogyakarta harus dari anggota, atau Sha-Link WALHI Yogyakarta tidak menerima dana donasi dari koorporat ataupun dinas Mengabdi pada masyarakat dan juga alam Belajar, dan mengaplikasikan ilmu yang di dapat di bangku kuliah. Dari kepentingan aktor juga struktur yang ada di WALHI Yogyakarta memberikan implus tindakan yang sesuai dengan tujuan dan visi WALHI Yogyakarta, tidak ada kasus dimana anggota WALHI Yogyakarta mengejar keuntungan finansial sendiri, atau menggunakan keanggotaanya di WALHI Yogyakarta untuk melakukan suatu hal yang melanggar hukum. Tindakan ini dalam model integratif dijelaskan dengan dorongan struktur yang memaksa, juga kepentingan aktor yang sesuai maka tindakan yang dilakukan adalah sebuah kesinergian yang memberikan sebuah bentuk tindakan yang sesuai, dan memperkuat jaringan itu sendiri.