BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, dan juga memiliki daerah rataan karang yang cukup luas (reef flat) dan berpasir putih. Menurut TNKpS (2008) pulau-pulau di Kepulauan Seribu umumnya dikelilingi oleh terumbu karang tepian (fringing reefs) pada kedalaman 0,5-10 meter. Jenis-jenis karang yang dapat ditemukan di sini termasuk ke dalam jenis karang keras (hard coral) dan karang lunak (soft coral). Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Semak Daun pada setiap lokasi pengamatan berbeda dikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi terumbu karang (Gambar 13). Menurut TNKpS (2008) kondisi terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu umumnya berada di wilayah Kepulauan Serbiu Utara di kawasan TNKpS dengan kategori rusak sampai sedang. Presentase penutupan karang hidup di kawasan TNKpS berkisar antara 4,3-50,7% dan dominasi tutupan unsur-unsur abiotik seperti pasir, pecahan karang, serta karang mati umumnya telah melampaui 50%. Kerusakan terumbu karang ini sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan pariwisata bawah air yang tidak menggunakan cara yang benar, pengambilan karang untuk bahan bangunan dan cara pengkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Siregar (2008) dan Novianto (2012) didapatkan persentase tutupan karang di Pulau Semak Daun berkisar 11,17-80,24%. Persentase terendah terdapat pada Stasiun 1, dengan komposisi hard coral 11,17%, DCA (Dead Coral Algae), DC (Dead Coral) 6,33%, abiotik 50,20%, dan ZO (Zoanthid) 0% (Noviyanto, 2012). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, tutupan terumbu karang pada Stasiun 1 termasuk dalam katagori buruk. Selanjutnya dikemukakan bahwa pada stasiun ini ditemukan data patahan karang atau Rubble (R) yang cukup tinggi sebesar 46,17% pada kedalaman 3 meter dan 48,17% pada kedalaman 7 meter.
47
48
Persentase tutupan karang tertinggi terdapat pada Stasiun 4. Menurut Gambar 13. Persentase Kondisi Tutupan karang di Perairan Semak Daun Sumber : ( Siregar, 2008;Novianto, 2012) (Siregar, 2008) jenis life form pada Stasiun 4 terdapat, 80,24% hard coral, 19,77% DCA, 0% DC, 0% Abiotik 1,70%, dan 0% ZO. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut tutupan karang pada Stasiun 4 termasuk dalam katagori sangat baik. Pada keempat stasiun ini memiliki tingkat persentase yang berbedabeda dengan nilai rata-rata 43,13%, yang berarti tutupan karang di Pulau Semak Daun termasuk dalam katagori sedang (English et al, 1994, dalam Wiryatno, 2010). TERANGI (2007) menyebutkan bahwa kegiatan manusia juga menjadi ancaman serius seperti pengeboman ikan, penggunaan muroami, penambangan karang, sedimentasi akibat pembangunan di Jakarta serta polusi yang mengakibatkan kerusakan serius terumbu karang. 4.2 Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Semak Daun Parameter fisika dan kimia perairan berpengaruh terhadap keberadaan invertebrata bentik. Pengamatan terhadap parameter fisika dan kimia sebagai penunjang dalam mengetahui keterkaitan invertebrata bentik dengan tutupan karang hidup. Hasil yang didapat dari pengamatan parameter fisika dan kimia
49
perairan di Semak Daun secara umum tidak jauh berbeda, rata-rata dari hasil yang didapat bisa digunakan langsung dalam kajian fisika-kimia perairan. 4.2.1 Suhu Hasil pengamatan selama penelitian diperoleh suhu perairan berkisar antara 26,1-30,67 0C (Gambar 14). Nilai ini tidak berbeda jauh dari hasil penelitian Dinas Tata Kota DKI Jakarta (2003), yang menyatakan bahwa suhu permukaan laut Semak Daun antara 23,4-32,5 0C. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1982). Disebutkan oleh Nybakken (1982) bahwa perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25 0C, terumbu karang dapat mentoleransi suhu hingga 36-40 0C. Berdasarkan uraian tersebut, maka lokasi penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang, baik berdasarkan suhu perairan selama pengamatan maupun sepanjang tahun. Suhu terendah berada di stasiun 3 dan tertinggi di stasiun 1. Rendahnya suhu pada stasiun 3 dikarenakan pengambilan data dilakukan pada sore hari (Lampiran 10).
Gambar 14. Rata-Rata Suhu di Setiap Stasiun 4.2.2 Kecepatan Arus Kecepatan arus yang terukur pada setiap stasiun berkisar antara 0,00580,06 m/s (Gambar 15). Kecepatan arus tertinggi terdapat pada Stasiun 2 dan arus terendah terdapat pada stasiun 1. Rendahnya kecepatan arus di stasiun 1 disebabkan lokasi berada didekat dermaga. Hal ini berpengaruh terhadap tutupan karang hidup sehingga kondisi karang pada stasiun 1 termasuk dalam katagori
50
buruk (nilai tutupan karang hidup 11,17%). Arus merupakan sarana transportasi baku untuk makanan maupun oksigen bagi suatu organisme air. Disebutkan oleh Sanusi (1994) dalam Asmara (2005), keberadaan unsur hara di suatu lokasi perairan merupakan kontribusi kompleks yang bersumber dari proses upwelling, transportasi horizontal massa air (arus permukaan), suplai dari sistem sungai (daratan) dan proses kehidupan dalam perairan tersebut. Romimohtarto dan Juwana (2005) menyatakan bahwa gerakan-gerakan air laut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti angin yang menghembus di atas permukaan laut, pengadukan yang terjadi karena perbedaan suhu air dari dua lapisan, perbedaan tinggi permukaan laut, pasang-surut dan lain-lain.
Gambar 15. Rata-Rata Kecepatan Arus di Setiap Stasiun 4.2.3 Kecerahan Kecerahan yang terukur pada saat penelitian berkisar 75-00%, dengan kecerahan terendah di stasiun 2 pada kedalaman 10 m, sedangkan stasiun lainnya memiliki kecerahan yang sama yaitu 100 % (Gambar 16). Kecerahan air berhubungan erat dengan intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Sumich, 1992 dalam Asmara, 2005). Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuhtumbuhan yang menjadi tumpuan hidup mereka karena menjadi sumber makanan (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Kep.MENHL No.51 Tahun (2004), dalam
51
Asmara (2005) menetapkan batas kecerahan untuk perairan dengan ekosistem terumbu karang adalah >5 meter. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asmara (2005) yang menyatakan kedalaman perairan di stasiun pengamatan di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang berkisar antara 1 sampai 23 meter dengan tingkat kecerahan 1-12,5 meter (25%-100%). Sementara hasil penelitian sebelumnya menunjukkan kisaran nilai kecerahan antara 3,25-16,15 meter (Dinas Pertenakan Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, 2002 dalam Asmara, 2005). Tingkat kecerahan di Pulau Semak Daun dengan penelitian tersebut tidak jauh berbeda, karena lokasi penelitian (Pulau Semak Daun) merupakan pulau yang berdekatan dengan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang.
Gambar 16. Rata-Rata Kecerahan di Setiap Stasiun 4.2.4 Salinitas Salinitas yang terukur pada penelitian di Pulau Semak Daun berkisar 310
33, 33 /00 (Gambar 17). Salinitas terendah berada pada stasiun 1 dan tertinggi berada pada stasiun 4. Nilai salinitas pada saat penelitian lebih rendah dibandingkan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Asmara (2005), yang menyatakan bahwa salinitas perairan di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang pada bulan Oktober, November, dan Desember 2004 adalah 32,5-35 0/00. Hal ini mengindikasikan bahwa lebih rendahnya salinitas pada saat penelitian, dikarenakan tingginya curah hujan pada saat penelitian. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pola sirkulasi, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya pengenceran cairan di laut, sehingga mengakibatkan menurunnya nilai salinitas pada suatu perairan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kisaran salinitas
52
pada setiap stasiun menunjukkan kondisi salinitas yang masih baik bagi pertumbuhan karang. Menurut Nybakken (1992) salinitas yang baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 32-35 0/00.
Gambar 17. Rata-Rata Salinitas di Setiap Stasiun 4.2.5 Derajat Keasaman (pH) Nilai derajat keasaman (pH) memperlihatkan apakah perairan bersifat basa, asam dan termasuk normal. Kisaran nilai derajat keasaman (pH) di lokasi penelitian antara 8,62-9,26 (Gambar 18). Menurut Nybakken (1992) perairan dengan nilai pH yang bervariasi antara 7-8 masih dapat ditoleransi sebagian besar biota perairan. Selanjutnya Mukhtasor (2007) menyebutkan bahwa perubahaan kondisi dari asam ke basa di air laut akan berpengaruh pada pertumbuhan, aktivitas biologi, dan reaksi kimia yang mungkin terjadi. Berdasarkan pengamatan stasiun 1, 2, dan 3 memiliki derajat keasaman (pH) yang lebih tinggi, dibandingkan stasiun 4. Hal ini dikarenakan lokasi berada disekitar dermaga yang sering menjadi jalur transportasi kapal, menyebabkan tingkat pencemaran tinggi sehingga derajat keasaman (pH) menjadi tinggi. Menurut Mukhtasor (2007) sumber pencemaran laut dari media transportasi laut dapat berupa pneggunaan bahan antifouling beracun yang terkandung pada bahan cat kapal, pencemaran dari operasional kapal seperti sampah limbah padat, limbah plastik bekas tempat makanan, atau minuman, limbah cair, dan air ballast. Rendahnya nilai derajat keasaman (pH) pada stasiun 4 didukung dengan tingginya kondisi tutupan karang
53
hidup pada stasiun tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pencemaran pada stasiun 4 rendah, sehingga baik untuk pertumbuhan karang.
Gambar 18. Rata-Rata pH di Setiap Stasiun 4.3 Kepadatan dan Komposisi Invertebrata Bentik di Pulau Semak Daun Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Pulau Semak Daun pada 4 (empat) stasiun berbeda, ditemukan 9 (Sembilan) kelas. Kepadatan individu invertebrata bentik di keempat stasiun berkisar 4, 111-8, 000 ind/m2 (Tabel 2 dan Lampiran 5). Nilai kepadatan individu tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan yang terendah ditemukan pada stasiun 4. Tingginya kepadatan pada stasiun 1, dikarenakan kondisi tutupan karangnya berada pada katagori buruk dan banyak ditemukan kelas Echinoidea dari spesies Diadema setosum (Gambar 19). Hal ini diperkuat dengan penelitian mengenai kepadatan invertebrata bentik di Pulau Pramuka, Pulau Sekati, Pulau Panggang bahwa Kelas Echinoidea dari famili Diadematidae lebih mendominansi dibandingkan famili lainnya di tiap stasiun pengamatannya (Iqbal dkk, 2009). Menurut Vimono (2007), Diadema setosum sering dijumpai pada dasar perairan baik, di daerah berpasir, daerah padang lamun, daerah pertumbuhan algae, maupun di daerah terumbu karang dan karangkarang mati. BIRKELAND (dalam Vimono, 2007) menyatakan bahwa marga Diadema memakan daun lamun dan dianggap sebagai herbivora, namun pada lingkungan yang berbeda dapat beradaptasi dengan memakan krustasea, foraminifera, polip karang dan algae.
54
Gambar 19. Diadema Setosum Tabel 2. Kepadatan Invertebrata Bentik Berdasarkan Kelas
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelas Anemon Ascidian Asteriudea Clams Crinoidea Echinoidea Nudibranchia Sponge Soft Coral Total Kelas Anemon Ascidian Asteriudea Clams Crinoidea Echinoidea Nudibranchia Sponge Soft Coral Total
Stasiun 1 Kepadatan Kepadatan Individu Relatif (%) (ind/m2) 0,1111 1,389 0,889 11,111 0,556 6,944 4,222 52,778 2,111 26,389 0,111 1,389 8 100 Stasiun 3 Kepadatan Kepadatan Individu Relatif (%) (ind/m2) 0,1111 1,471 0,1111 1,471 1 13, 235 0,333 4,412 1 13,235 2,889 38,235 0,222 2,941 1,778 23,529 0,111 1,471 7,556 100
Stasiun 2 Kepadatan Kepadatan Individu Relatif (%) (ind/m2) 0,1111 2 0,1111 2 0,556 10 0,889 16 1,222 22 2,444 44 0,222 4 5,556 100 Stasiun 4 Kepadatan Kepadatan Individu Relatif (%) (ind/m2) 1,889 45,946 0,778 18,919 0,889 21,622 0,556 13,514 4,111 100
55
Kepadatan relatif invertebrata bentik di setiap stasiun memiliki nilai ratarata 0,163-0,317% (Lampiran 6). Nilai kepadatan relatif tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan nilai kepadatan relatif terendah terdapat pada stasiun 4. Tingginya nilai kepadatan relatif pada stasiun 1, dikarenakan kepadatan individu yang tinggi, terutama kelas Echinoidea pada spesies Diadema setosum. Banyaknya jumlah individu kelas Echinoidea yang ditemukan bisa dikarenakan tingginya kelimpahan alga bentik yang merupakan makanan bagi famili Diadematidae (TERANGI, 2007). Menurut Iqbal dkk (2009) sebagian besar invertebrata bentik yang ditemukan di perairan Pulau Pramuka, Pulau Sekati dan Pulau Panggang sebagian besar merupakan invertebrata bentik bioindikator, seperti (Echinometridae, Diadematidae, Comasteridae, dan Acantharteridae). Menurut Gosling (2003) dalam Depik (2012) selain faktor fisik, faktor biologi juga berperan dalam pembatasan kepadatan benthos. Maka predator, penyakit, dan kompetisi antar makhluk hidup dapat juga membatasi penyebaran organisme di sebuah kawasan. Rata-rata persentase invertebrata bentik 9 (sembilan) kelas yang ditemukan adalah antara 0-36% pada keseluruhan stasiun (Gambar 20). Persentase tertinggi terdapat pada kelas Echinoidea dan yang terendah adalah kelas Ascidian. Tingginya kelas Echinoidea dari spesies Diadema setosum bisa disebabkan karena hewan ini menyukai karang yang rusak atau mati dan batuan. Hal ini juga didukung dari kepadatan individu dan kepadatan relatif, bahwa kelas Echinoidea banyak ditemukan di Stasiun 1 yang memiliki kondisi tutupan karang hidup sebesar 11,17%. Menurut Vimono (2007) Diadema setosum dapat ditemukan pada hampir semua daerah mulai rataan pasir, padang lamun, hingga pada daerah berbatuan.
Gambar 20. Rata-Rata Persentase Per Kelas
56
4.4 Struktur Komunitas Invertebrata Bentik Struktur Komunitas Invertebrata Bentik di Pulau Semak Daun yang dihitung terdiri atas indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi invertebrata bentik. 1. Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman invertebrata bentik di Pulau Semak Daun pada keseluruhan stasiun penelitian termasuk dalam katagori sedang, hal ini dapat dilihat dari nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,4-2,1 (Gambar 21 dan Lampiran 7). Nilai keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 1 dan tertinggi pada stasiun 2. Rendahnya indeks keanekaragaman pada stasiun 1 disebabkan tutupan karang hidup pada stasiun 1 sebesar 11,17%, menyebabkan hanya beberapa invertebrata bentik saja yang dapat hidup. Menurut TERANGI (2007) melimpahnya suatu jenis biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan serta sifat biologi masing-masing. Selanjutnya TERANGI (2007) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman bentik yang sangat rendah dengan nilai 0,5. Berdasarkan hasil penelitian TERANGI (2007) indeks Keanekaragaman di Pulau Pari (2,2), Pulau Panggang (0,2), dan Pulau Pramuka (0,1), hal ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman invertebrata bentik di Pulau Semak Daun lebih tinggi dari Pulau
Panggang
dan
Pulau
Pramuka
dengan
rata-rata
nilai
keanekaragaman di Pulau Semak Daun1,8.
Gambar 21. Indeks Keanekaragaman di Setiap Stasiun
indeks
57
2. Indeks Keseragaman Indeks keseragaman invertebrata bentik pada keseluruhan stasiun berkisar antara 0,34-0,547 dengan nilai indeks keseragaman rata-rata 0,45 sehingga dikatagorikan sedang (Gambar 22 dan Lampiran 8). Nilai keseragaman pada stasiun 2 dan 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun 1, hal ini sesuai dengan tingginya nilai indeks keanekaragaman stasiun 2 dan 3 dibandingkan dengan stasiun 1.
Gambar 22. Indeks Keseragaman di Setiap Stasiun 3. Indeks Dominansi Indeks dominansi invertebrata bentik di Pulau Semak Daun pada keseluruhan stasiun berkisar antara 0,165-0,336 dengan rata-rata 0,239 (Gambar 23 dan Lampiran 9). Stasiun 1 memiliki nilai indeks dominansi yang tertinggi dan stasiun 2 memiliki indeks dominansi yang terendah. Tingginya indeks dominansi di stasiun 1 mengindikasikan bahwa adanya spesies yang dominan yaitu Diadema setosum dengan kepadatan tertinggi pada stasiun ini. Tingginya indeks dominansi di Stasiun 1 juga didukung oleh rendahnya nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman di stasiun ini. Stasiun 2 memiliki nilai indeks dominansi terendah, hal ini sesuai dengan tingginya nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman di stasiun tersebut. Menurut kriteria indeks Shannon-Wiener, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman invertebrata bentik di stasiun 2 termasuk katagori sedang dan tidak terdapat spesies dominan di stasiun ini.
58
Gambar 23. Indeks Dominansi di Setiap Stasiun 4.5 Hubungan Antara Invertebrata Bentik Dengan Tutupan Karang Hubungan antara kepadatan invertebrata bentik dengan tutupan karang digunakan analisis ragam (Anova) dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda (Duncan). Nilai analisis ragam invertebrata bentik pada ke empat stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Ragam Kepadatan Invertebrata Bentik Per Kelas
3
Jumlah Kuadrat (JK) 272,667
Kuadrat Tengah (KT) 90,889
Kesalahan
8
77,333
9,667
Jumlah
11
350
Sumber Keragaman
Derajat Bebas (db)
Stasiun
Fstasiun
Ftabel
9,402
4,07
Tabel 4. Hasil Uji Jarak Berganda (Duncan) Kepadatan Invertebrata Bentik Stasiun 1 2 3 4
Rata-rata 24 16,667 23 12,33
Hasil d ab cd a
(Keterangan: Stasiun yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pengaruhnya)
Berdasarkan analisis di atas didapat, bahwa nilai Fstasiun lebih besar dibandingkan dengan nilai Ftabel. Hal ini dapat diartikan bahwa kepadatan invertebrata bentik berdasarkan kelas di tiap stasiun berbeda nyata. Analisis
59
dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk melihat stasiun yang berbeda nyata (Tabel 4). Hasilnya menunjukkan bahwa stasiun 1 dan 3 memiliki kepadatan invertebrata bentik yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan stasiun 2 dan 4. Tingginya kepadatan invertebrata bentikdi stasiun 1 dan 3 diduga karena tutupan karang hidup pada stasiun 1 dan stasiun 3 yang termasuk dalam katagori buruk hingga sedang (masing-masing 11,17% dan 30,17%). Hal ini didukung hasil perhintungan kepadatan yang menunjukkan dominasi dari Kelas Echinoidea di stasiun 1 dan 3, sementara di stasiun 2 dan 4 tidak ada dominasi. Hasil perhitungan indeks keragaman dan dominasi juga mendukung hasil tersebut, yaitu nilai indeks keanekaragaman di Stasiun 1 dan 3 lebih rendah daripada stasiun 2 dan 4, serta nilai indeks dominasi Stasiun 1 dan 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun 2 dan 4. Menurut TERANGI (2007) melimpahnya suatu jenis biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan serta sifat biologi masing-masing. Selanjutnya Bell dan Galzin (1984) menyatakan dalam penelitiannya bahwa, terdapat hubungan langsung antara tutupan karang hidup dan keanekaragaman spesies organisme bentik. Hasil analisis ragam berdasarkan spesies invertebrata bentik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis Ragam Kepadatan Invertebrata Bentik Per Spesies
Stasiun (S)
6
Jumlah Kuadrat (JK) 89,8056
Bentik (B)
16
157,667
29,5625
Replikasi (R)
4
SR
48
SB
12
552,667
138,167
BR
32
SBR
96
Kesalahan
208
1363,07
19,6597
Jumlah
214
1452,88
Sumber Keragaman
Derajat bebas (db)
Kuadrat Tengah (KT) 44,9028
4,568
5,384
0,428
8,294
Fstasiun
Ftabel
60
Hasil analisis ragam di atas, bahwa nilai Fstasiun yang muncul lebih kecil dibandingkan dengan nilai Ftabel, atau dapat diartikan bahwa keanekaragaman invertebrata bentik berdasarkan spesies antar stasiun tidak berbeda nyata. Hasil analisis ragam, baik analisis ragam berdasarkan kelas maupun berdasarkan spesies, membuktikan bahwa kondisi tutupan karang hidup berpengaruh terhadap kepadatan invertebrata bentik berdasarkan kelas, namun tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies dari setiap kelasnya. Keanekaragaman jenis dipengaruhi tidak hanya oleh kekayaan jenis namun juga oleh populasi dari setiap jenis biota (TERANGI, 2007). Menurut Takarina dan Adiwibowo (2011) dalam Fadli
dkk (2005), keragaman bentik yang rendah di Perairan Teluk Jakarta
terutama di kawasan yang tingkat pencemarannya tinggi.