BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Observasi terhadap tujuh linen tempat tidur pasien yang berbeda menunjukkan jumlah bakteri stafilokokus bervariasi (Gambar 1.).
Jumlah stafilokokus (log)
3.0 2.5
2.4
2.5 2.2
2.5
2.1
2.0 1.5 1.5
1.4
1.3
1.0
0.7
0.5 0.0 0.0 L-1
L-2
L-3
L-5
L-7
Linen tempat tidur pasien
Gambar 1. Jumlah (log) stafilokokus pada linen pasien di ruang HCU setelah diganti () dan satu hari setelah diganti ()
Jumlah stafilokokus meningkat seiring dengan masa satu hari pemakaian linen tersebut. Data hasil penghitungan koloni disajikan pada Lampiran 2. Peningkatan jumlah koloni secara bermakna antarvarian, ditemukan pada linen satu hari setelah diganti (Varian II) dibandingkan dengan saat baru diganti (Varian I) (Gambar 2.) dan penggantian linen setelah dua hari
16
17 atau lebih mengakibatkan akumulasi stafilokokus hingga tak terhitung
Jumlah stafilokokus (log)
banyaknya (TNTC). 3 2.4 2.1
2.1
L-2
L-3
2.4
2.5
L-5
L-7
2
1
0 L-1
Linen Tempat Tidur Pasien
Gambar 2. Ragam peningkatan jumlah koloni stafilokokus satu hari setelah diganti (Varian II) dibandingkan dengan saat baru diganti (Varian I).
Lima dari tujuh linen tempat tidur pasien menunjukkan peningkatan jumlah koloni stafilokokus satu hari setelah diganti (Varian II) dibandingkan saat linen baru diganti (Varian I) masuk dalam kategori peningkatan tinggi, yaitu
berkisar
antara
2,1-2,5
skala
logaritma.
Bahkan,
ditemukan
peningkatan jumlah koloni yang sangat besar (TNTC, Too Numerous To Count), yaitu pada Linen IV dan VI. Peningkatan jumlah koloni stafilokokus dua hari setelah linen diganti (Varian III) dibandingkan saat linen baru diganti (Varian I) menunjukkan hasil hitung yang sangat besar (TNTC) pada semua linen yang diperiksa.
18 4.2 Pembahasan Koloni stafilokokus yang tumbuh pada medium agar untuk masingmasing varian berbeda-beda jumlahnya sesuai kondisi dan lamanya pemakaian linen. Linen dengan kondisi tercemar urine dan feses pasien cenderung
mengakumulasi
banyak
bakteri
stafilokokus.
Selain
itu,
peningkatan bakteri juga terjadi seiring dengan lamanya pemakaian linen. Pada Varian I (linen baru diganti) yang diasumsikan cenderung bersih karena telah dicuci, ditemukan cemaran bakteri dalam kategori rendah sampai sedang. Kehadiran bakteri tersebut diduga berasal dari kontaminasi udara di ruangan atau penyimpanan, kontaminasi dari sarung tangan perawat yang tercemar saat membawa dan mengganti linen, serta kontaminasi dari lingkungan saat pendistribusian linen dari tempat laundry linen rumah sakit ke ruangan. Berdasarkan pengamatan dan informasi yang didapat, penggantian linen baru dilakukan setelah masa pemakaian dua hari atau apabila keadaan linen sudah basah/kotor. Mengingat pasien dalam ruangan HCU adalah pasien dengan penurunan kesadaran, penggantian linen di ruang ini sering dilakukan dengan cara memindahkan pasien ke tempat tidur lain dengan linen baru yang sudah terpasang. Linen tempat tidur tersebut diganti beberapa hari sebelumnya dan didiamkan dalam ruangan sampai digunakan kembali. Fakta demikian membuka peluang linen tempat tidur rentan terkontaminasi oleh udara setempat. Selain itu, saat penggantian linen baru, perawat hanya menggunakan satu sarung tangan untuk mengganti seluruh linen pasien. Oleh karenanya, sarung
19 tangan perawat rentan terpapar bakteri dari linen kotor dan rentan mencemari linen bersih saat proses penggantian linen. Linen baru juga rentan terkontaminasi dari lingkungan selama distribusi dari tempat laundry rumah sakit. Distribusi linen ke seluruh ruangan dilakukan dengan menggunakan troli terbuka sehingga rentan terkontaminasi bakteri dari lingkungan sekitar. Jumlah koloni pada Varian II masuk dalam kategori tinggi sampai sangat tinggi. Jumlah koloni yang banyak pada lima dari tujuh linen diduga disebabkan karena adanya kontak dalam waktu lama antara linen dan pasien di atasnya. Mikroorganisme pada tubuh pasien menjadi sumber potensial cemaran untuk linen tersebut. Faktor lain yang patut dicurigai adalah personal hygiene pasien di ruang HCU rendah karena pasien dimandikan
(sibin)
oleh
keluarga
sendiri
tanpa
bisa
dikontrol
pelaksanaannya. Bahkan, ditemukan jumlah koloni yang sangat besar pada dua linen di Varian II daripada linen lain di varian yang sama akibat cemaran urine pada kedua linen tersebut. Pasien yang berada di atas kedua linen tersebut memakai popok karena tidak bisa mengontrol sistem eliminasi (BAB dan BAK), sehingga linen pada saat diteliti dalam kondisi basah akibat urine. Hal serupa terjadi pada varian III dimana terdapat sangat banyak (TNTC) jumlah koloni stafilokokus untuk seluruh linen. Masa kontak kulit pasien ke linen selama dua hari dan adanya cemaran urine maupun feses pada linen sangat mungkin menjadi faktor penyebab.
20 Hasil hitung koloni masing-masing varian perlakuan menunjukkan peningkatan yang bermakna antara tiga varian yang diteliti. Bertolak dari data yang diperoleh, setidaknya dua faktor yakni lamanya pemakaian dan kondisi terkontaminasi urine dan feses menjadi penyebab peningkatan akomodasi stafilokokus pada linen. Penelitian Sexton et al. (2006), Ayliffe et al. (2000), dan Boyce et al. (1997) menemukan bahwa komponen linen tempat tidur pasien (sprei, selimut, sarung bantal) yang terkontaminasi merupakan sumber mikroorganisme penyebab infeksi silang termasuk jenis MRSA (Meticillin Resistant Staphylococcus aureus) yang ditularkan melalui kontak langsung dengan kulit dan cairan tubuh termasuk urine dan feses.