30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Parameter Fisika dan Kimia Perairan Parameter fisika dan kimia memegang peranan penting bagi kehidupan lamun.Parameter
fisika
dan
kimia
yang
mempengaruhi
distribusi
dan
pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan kecepatan arus (Dahuri 2003). Berdasarkan hasil penelitian di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, diperoleh nilai-nilai parameter fisika dan kimia yang dapat dilihat pada tabel 3, tabel 4 dan tabel 5:
Tabel 3. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun I Stasiun I Parameter 1 2 3 Suhu (oC) 31 31 30 pH 7,9 7,9 7,7 Salinitas (o/oo) 33 33 32 Kedalaman (cm) 62 65 65 Kecepatan Arus (m/s) 0,06 0,065 0,1 Kecerahan (%) 100 100 100 Ket: 1,2,3 = Ulangan
Tabel 4. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun II Stasiun II Parameter 1 2 o Suhu ( C) 31 31 pH 7,8 7,9 Salinitas (o/oo) 33 33 Kedalaman (cm) 60 63 Kecepatan Arus (m/s) 0,08 0,09 Kecerahan (%) 100 100 Ket: 1,2,3 = Ulangan
3 30 7,8 32 66 0,1 100
Rata-rata 30,7 7,8 32,7 64 0,075 100
Rata-rata 30,7 7,8 32,7 63 0,09 100
31
Tabel 5. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun III Stasiun III Parameter 1 2 3 Suhu (oC) 31 32 31 pH 7,9 7,9 7,8 Salinitas (o/oo) 33 33 33 Kedalaman (cm) 77 75 80 Kecepatan Arus (m/s) 0,1 0,09 0,12 Kecerahan (%) 100 100 100 Ket: 1,2,3 = Ulangan
Rata-rata 31,3 7,86 33 77,3 0,1 100
4.1.1. Parameter Fisika 1. Suhu Suhu perairan rata-rata yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 30,7oC-31,3oC. Kisaran suhu tidak berbeda jauh disebabkan karena suhu antar pulau cenderung homogen. Menurut Dahuri (2003), kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun adalah 28-30oC. Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal tersebut. Sesuai dari hasil data yang diperoleh, menunjukkan bahwa suhu perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu tidak berada pada kisaran yang optimum bagi lamun untuk tumbuh tetapi lamun masih dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran suhu tersebut. 2. Kedalaman Kedalaman rata-rata yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 64 cm untuk stasiun I, 63 cm untuk stasiun II, dan 77,3 cm untuk stasiun III. Menurut Den Hartog (1970), padang lamun sangat mirip dan bahkan menyerupai padang rumput di daratan dan hidup pada kedalaman yang relatif dangkal yaitu sekitar 110 meter. Kedalaman yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan kedalaman yang ideal untuk lamun karena menurut Berwick 1983 dalam Argandi 2003 proses fotosintesis yang optimal didukung oleh dangkalnya perairan karena penetrasi cahaya yang cukup. 3.Kecepatan Arus Kecepatan arus yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 0,075 m/s untuk stasiun I, 0,09 m/s untuk stasiun II, dan 0,1 m/s untuk stasiun III.
32
Produktivitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Menurut Laevastu dan Hayes 1981 dalam Merryanto 2000, rendahnya kecepatan arus sangat mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun. 4. Kecerahan Kecerahan perairan untuk ketiga stasiun memiliki nilai yang seragam yakni 100%.Nilai tersebut menunjukkan bahwa lamun dan dasar perairan dapat dilihat dengan mata telanjang dari atas permukaan. Hal ini disebabkan juga karena perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu merupakan perairan dangkal. Kondisi ini sangat menguntungkan karena lamun dapat berfotosintesis secara optimal. 5. Substrat Hasil analisis kandungan dan tipe substrat yang diperoleh dari Laboratorium Fisika Tanah, Jurusan Ilmu Tanah dan Manajemen Sumberdaya Lahan Universitas Padjadjaran, tipe substrat pada ekosistem lamun Pulau Pramuka cenderung sama (Tabel 6). Tabel 6. Analisis Kandungan dan Tipe Substrat NKadar Tekstur (%) C-org Stasiun total C/N Air (%) (%) (%) S Si C I 0,11 0,08 1,37 2,60 77 12 11 II 0,17 0,08 2,12 3,65 86 5 9 III 0,28 0,10 2,80 3,26 87 3 10 Ket: S =Sand (pasir), Si = Silt(debu), C = Clay (lempung)
Tipe Substrat Lempung berpasir Pasir berlempung Pasir berlempung
Berdasarkan Tabel 6, stasiun II dan stasiun III memiliki tipe substrat yang sama yaitu pasir berlempung, dimana jumlah pasir lebih banyak daripada jumlah lempung. Stasiun I memiliki tipe substrat lempung berpasir, dimana jumlah lempung lebih banyak daripada jumlah pasir.Kadar air tertinggi ada pada stasiun II yaitu sebesar 3,65% dan terendah ada pada stasiun I yaitu sebesar 2,60%. Kandungan C-org, N-org dan C/N tertinggi ada pada stasiun III sedangkan kandungan C-org, N-org dan C/N terendah ada pada stasiun I. Menurut Effendi (2000), nitrogen di perairan alami merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun dan nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen. Nitrat yang dihasilkan dapat
33
digunakan untuk kesuburan perairan.Kadar nitrogen yang tinggi pada stasiun III menjadikan stasiun ini memiliki nilai kerapatan lamun yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Selain nitrogen yang membantu dalam pertumbuhan, karbon juga mempunyai peranan dalam proses produksi. Karbon membantu tumbuhan dalam proses fotosintesis. Kadar karbon yang tinggi pada stasiun III membantu lamun sebagai produsen utama dalam proses fotosintesis sehingga pertumbuhan lamun pada stasiun III lebih baik daripada pertumbuhan lamun pada stasiun I dan II karena stasiun III memiliki nilai nitrogen dan karbon organik yang tinggi daripada stasiun I dan II.
4.1.2 Parameter Kimia 1. Derajat Keasaman (pH) Kisaran pH yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berbeda jauh pada setiap stasiun pengamatan yaitu pada stasiun I dan stasiun II nilai pH sebesar 7,8, pada stasiun III pH sebesar 7,86. Menurut Effendi (2000), air laut umumnya memiliki kisaran pH antara 7 – 8,5 dan menurut Dawson dalam Reswara 2010 lamun dapat tumbuh optimal jika berada dalam kisaran pH antara 7,5 – 8,5. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai pH yang didapat berada dalam batas normal dan nilai pH tersebut menunjukkan bahwa kondisi perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu memungkinkan bagi lamun untuk tumbuh optimal. 2. Salinitas Nilai salinitas yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 32,7 o/oo 33 o/oo. Menurut Effendi 2000, perairan laut alami memiliki kisaran salinitas antara 30o/oo- 40 o/oo. Spesies lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbedabeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran antara 10o/oo - 40 o
/oo.Menurut Dahuri 2003,nilai salinitas optimum untuk spesies lamun adalah
35o/oo. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai salinitas berada dalam batas normal lamun untuk tumbuh.
34
4.2 Struktur Komunitas Lamun 4.2.1 Kerapatan Jenis Lamun (ind.m-2) Kerapatan jenis lamun adalah banyaknya jumlah individu/tegakan suatu jenis lamun pada suatu luasan tertentu. Hasil perhitungan lamun, kepadatan total lamun di setiap stasiun disajikan pada Gambar 7dan Lampiran 1.
Kerapatan (ind.m-2)
350 300 250 200 150 100 50 0
St I St II St III
Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Halophila ovalis
Syringodium isoetifolium
Jenis Lamun Gambar 7. Kerapatan Jenis Lamun (ind.m-2)
Berdasarkan Gambar 7,spesies lamun yang memiliki kerapatan tertinggi di ketiga stasiun adalah Thalassia hemprichii. Menurut Yulianda (2002), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu jenis lamun dapat tumbuh dengan subur di suatu perairan, antara lain ialah kesesuaian substrat dan kondisi lingkungan. Dilihat dari kandungan substratnya, pada stasiun II dan III memiliki tipe substrat pasir berlempung dan pada stasiun I memiliki tipe substrat lempung berpasir, spesies Thalassia hemprichii dapat tumbuh optimal pada tipe substrat tersebut. Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat dijumpai pada berbagai substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah 10-12 m dan spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki kerapatan
35
tinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi kondisi lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I banyak limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah tangga. Keberadaan spesies Syringodium isoetifolium tidak ditemukan pada stasiun I dan stasiun III. Hal ini disebabkan keadaan perairan pada stasiun tersebut tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium karena menurut Azkab (2000), lamun spesies Syringodium isoetifolium terbatas penyebarannya disebabkan bentuk daun yang kurang dapat beradaptasi terhadap kekeringan yang lama, sehingga hanya pada stasiun II jenis lamun ini dapat ditemukan dimana stasiun II memiliki surut yang tidak terlalu rendah. Tidak adanya keberadaan spesies Syringodium isoetifolium di stasiun I dan stasiun III juga diakibatkan karena banyaknya limbah hasil pembuangan rumah tangga pada stasiun ini, dimana limbah-limbah tersebut dapat menyebabkan substrat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium. Berdasarkan hasil keseluruhan perhitungan kerapatan jenis lamun (Lampiran 1), stasiun III memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi yaitu sebesar 556,7ind.m-2 kemudian stasiun II memiliki nilai kerapatan jenis sebesar 407,08 ind.m-2dan stasiun I memiliki nilai kerapatan jenis terendah yaitu sebesar 328,8 ind.m-2. Stasiun III memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi karena nilai nitrogen dan karbon pada substrat di stasiun ini lebih tinggi dibandingkan dua stasiun lainnya.Nilai nitrogen di stasiun III adalah 0,1 % sementara stasiun lain adalah 0,08 %. Nilai karbon di stasiun III adalah 0,28 % sedangkan di stasiun lain antara 0,11% - 0,17 %. Kandungan nitrogen dan karbon sangat berperan penting karena menurut Effendi (2000) nitrogen merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun. Nitrogen dapat menghasilkan nitrat dari proses nitrifikasi dan nitrat tersebut digunakan untuk kesuburan perairan di stasiun III. Kandungan karbon yang terdapat pada stasiun ini membantu lamun dalam proses fotosintesis dimana lamun merupakan produsen utama dalam ekosistem ini.
36
4.2.1 Frekuensi Jenis Lamun Frekuensi jenis lamun menunjukkan peluang banyaknya suatu jenis lamun yang ditemukan dalam titik sampel yang diamati. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh frekuensi jenis lamun di setiap stasiun pengamatan bervariasi (Gambar 8).
1.00 0.90 0.80
Frekuensi
0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
St I
Enhalus acoroides
St II St III
Thalassia hemprichii
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Halophila ovalis
Syringodium isoetifolium
Jenis Lamun Gambar 8. Frekuensi Jenis Lamun
Berdasarkan Gambar 8, frekuensi jenis lamun pada stasiun I dengan spesies Enhalus acoroides adalah 0,42, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea rotundata 0,58, dan Cymodocea serrulata 0,42. Stasiun II frekuensi jenis lamun spesies Enhalus acoroides adalah 0,75, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea rotundata 1, dan Cymodocea serrulata0,58, Halophila ovalis 0,25, dan Syringodium isoetifolium0,08. Stasiun III frekuensi jenis lamun spesies Enhalus acoroides adalah 0,08, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea rotundata 0,92, dan Cymodocea serrulata 0,33, dan Halophila ovalis 0,5. Spesies Thalassia hemprichii memiliki nilai frekuensi tertinggi pada setiap stasiunnya. Nilai frekuensi tertinggi ini menunjukkan bahwa lamun dengan spesies Thalassia hemprichii memiliki tingkat kemunculan yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lamun lainnya. Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat
37
dijumpai pada berbagai substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah 10-12 m dan spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki frekuensitertinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi kondisi lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I banyak limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah tangga. Keberadaan spesies Syringodium isoetifolium tidak ditemukan pada stasiun I dan stasiun III. Hal ini disebabkan keadaan perairan pada stasiun tersebut tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium. Menurut Azkab (2000), lamun spesies Syringodium isoetifolium terbatas penyebarannya disebabkan bentuk daun yang kurang dapat beradaptasi terhadap kekeringan yang lama, sehingga hanya pada stasiun II jenis lamun ini dapat ditemukan karena hanya stasiun II yang mengalami surut tidak terlalu rendah. Tidak adanya keberadaan spesies Syringodium isoetifolium di stasiun I dan stasiun III juga diakibatkan karena banyaknya limbah hasil pembuangan rumah tangga pada stasiun ini, dimana limbah-limbah tersebut dapat menyebabkan substrat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium.
4.2.3 Penutupan Jenis Lamun Meurut Hemming dan Duarte dalam Reswara (2010), penutupan jenis lamun menggambarkan luasan daerah tertentu yang tertutupi oleh lamun dan bermanfaat untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun serta kemampuan lamun dalam memanfaatkan luasan yang ada.Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data penutupan jenis lamun yang bervariasi pada setiap stasiun pengamatan (Gambar 9).
38
Penutupan (%)
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 St I St II St III
Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Halophila ovalis
Syringodium isoetifolium
Jenis Lamun Gambar 9. Penutupan Jenis Lamun (%)
Berdasarkan Gambar 9, penutupan jenis lamun tertinggi dari ketiga stasiun penelitian adalah Thalassia hemprichii. Stasiun III memiliki penutupan tertinggi dibandingkan dengan stasiun I dan stasiun II dengan penutupan sebesar 50%. Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat dijumpai pada berbagai substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah 10-12 m dan spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki kerapatan tinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi kondisi lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I banyak limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah tangga.Penutupan jenis lamun spesies Cymodocea rotundata memiliki nilai terbesar kedua setelah Thalassia hemprichii. Stasiun I tidak memiliki penutupan jenis lamun spesies Cymodocea rotundata karena jumlahnya yang sangat sedikit pada stasiun ini. Tidak adanya penutupan jenis lamun spesies Syringodium isoetifolium di stasiun I dan stasiun III diakibatkan karena banyaknya limbah hasil pembuangan rumah tangga pada stasiun ini, dimana limbah-limbah tersebut dapat
39
menyebabkan substrat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium. 4.2.4 Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting (INP) menggambarkan keseluruhan peranan jenis lamun dalam suatu komunitas. Jika nilai INP suatu jenis lamun lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya, maka semakin tinggi peranan jenis lamun tersebut terhadap komunitasnya (Fachrul 2007). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh INP sebagai berikut: Tabel 7. Indeks Nilai Penting Lamun No 1 2 3 4 5 6
Spesies Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Halophila ovalis Syringodium isoetifolium Total
INP 0.24 1.58 0.68 0.29 0.17 0.04 3.00
Berdasarkan Tabel 7, lamun dengan spesies Thalassia hemprichii memiliki INP tertinggi dibandingkan dengan spesies lainnya dengan INP sebesar 1,58. Thalassia hemprichii juga memiliki nilai kerapatan jenis, frekuensi jenis dan penutupan jenis tertinggi dibandingkan dengan spesies lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Thalassia hemprichii memiliki peranan yang tinggi dalam komunitas lamun di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.Menurut Susetiono (2007), Thalassia hemprichii umumnya hidup berdampingan dengan jenis lamun lainnya dan bila mendominansi selalu membentuk kelompok vegetasi yang rapat. Kondisi substrat yang cocok untuk spesies Thalassia hemprichii menjadikan spesies ini tumbuh subur pada perairan Pulau Pramuka. Menurut Yudista (2010), tingginya nilai INP serta kerapatan jenis, frekuensi jenis dan penutupan jenis spesies Thalassia hemprichii juga disebabkan karena kegiatan rehabilitasi lamun spesies Thalassia hemprichii yang pernah dilakukan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu.
40
Syringodium isoetifolium memiliki INP terendah karena dilihat dari keberadaan spesies Syringodium isoetifolium yang hanya ada pada stasiun II. Peranan spesies Syringodium isoetifolium sangat kecil terhadap komunitas lamun di perairan Pulau Pramuka. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan Syringodium isoetifolium yang tidak tahan terhadap kekeringan yang lama sehingga spesies ini hanya ditemukan pada stasiun II yang tingkat kesurutannya tidak terlalu rendah.
4.2.5 Keanekaragaman dan Keseragaman Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk melihat kestabilan struktur komunitas lamun yang biasa disebut dengan indeks biologis
(Yulianda
2002).
Berdasarkan
hasil
penelitian,
diperoleh
keanekaragaman dan keseragaman sebagai berikut:
Gambar 10. Keanekaragaman Lamun (kiri) dan Keseragaman Lamun (kanan) Berdasarkan Gambar 10, keanekaragaman dan keseragaman tertinggi berada pada stasiun II dan keanekaragaman dan keseragaman terendah berada pada stasiun I. Stasiun II memiliki nilai keanekaragaman dan keseragaman tertinggi dibandingkan stasiun lainnya karena pada stasiun II ditemukan enam spesies lamun dimana jumlah spesies yang ditemukan pada stasiun ini lebih banyak dibandingkan stasiun lainnya. Kondisi perairan pada stasiun II lebih
41
tenang karena letaknya yang jauh dari perumahan penduduk ataupun aktivitas masyarakat sekitar sehingga perairan di stasiun II tidak terganggu dan cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium yang tidak ditemukan pada kedua stasiun lainnya. Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, stasiun I, stasiun II dan stasiun III tergolong dalam kategori tingkat keanekaragaman rendah karena nilai keanekaragaman ketiga stasiun kurang dari 1,5.
4.3 Struktur Komunitas Ikan 4.3.1 Komposisi Jenis Ikan pada daerah lamun terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan peranannya sama seperti ikan yang hidup pada terumbu karang, yaitu ikan target, ikan indikator dan ikan mayor. Berdasarkan peranannya ikan yang hidup pada terumbu karang terbagi dalam (TERANGI 2004): 1. Ikan target Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenaljuga dengan ikanekonomis penting atau ikan kosumsi seperti:Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae Labridae (Chelinus, Himigymnus,Choerodon), Haemulidae, Sphyraenidae, dan Nemipteridae. 2. Ikan indikator Ikan yang dijadikan sebagai indikator kondisi kesehatan dan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dariFamili Chaetodontidae (kepe-kepe). 3. Ikan mayor Ikan yang berperan dalam rantai makanan dan banyak dijadikan sebagai ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,Pomacanthidae Labridae, Apogonidae dll.) Berdasarkan pembagian kelompok tersebut, ikan yang tertangkap pada stasiun pengamatan berasal dari famili Pomacentridae, Scaridae, Apogonidae, Geridae, Monacanthidae, Pinguipedidae dan Labridae (Halichoeres) termasuk dalam ikan mayor (Lampiran 7). Ikan indikator hanya tertangkap pada stasiun II
42
yaitu dari famili Chaetodontidae. Ikan target yang tertangkap pada stasiun pengamatan berasal dari famili Lutjanidae, Lethrinidae, Siganidae, Labridae (Cheillinus
dan
Choerodon),
Chanidae,
Sphyranidae,
Mugilidae,
dan
Nemipteridae (Lampiran 7). Ikan dari famili tersebut biasa dikonsumsi oleh para penduduk sekitar.Ikan dari famili Siganidae merupakan ikan yang paling banyak tertangkap di ketiga stasiun. Penelitian Latuconsina et al (2012) juga menunjukkan komposisi spesies tertinggi yang tertangkap pada ekosistem lamun perairan Tanjung Tiram Teluk Ambon adalah Siganus canaliculatus dengan proporsi
sebesar
62,91%.
Tingginya
komposisi
spesies
Siganus
canaliculatuskarena ikan ini menjadikan ekosistem lamun sebagai habitat ideal untuk tempat asuhan dan pembesaran. Spesies Siganus canaliculatusjuga menjadikan
ekosistem
lamun
sebagai
tempat
mencari
makan
karena
ditemukannya potongan lamun dalam lambungnya.Selain itu menurut Lam (1974) dalam Latuconsina et al (2012), kisaran suhu optimal bagi kehidupan Siganus canaliculatus adalah antara 25⁰C - 34⁰C, dan suhu perairan mempengaruhi aktivitas metabolisme ikan yang terkait dengan oksigen terlarut dan konsumsi oksigen, karena laju metabolisme ikan akan meningkat dengan meningkatnya suhu perairan dan secara bersamaan meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen terlarut bagi ikan. Selain itu menurut Laevastu & Hayes (1982) dalam Latuconsina et al (2012), suhu perairan merupakan faktor pembatas bagi tingkah laku ikan yang dapat membatasi distribusi juvenil dan ikan dewasa karena masing-masing memiliki tolerasi yang berbeda-beda.Suhu perairan yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 30,7oC-31,3oCmenunjukkan bahwa kisaran suhu tersebut adalah kisaran suhu optimal bagi kehidupan Siganus canaliculatus. Kisaran salinitas perairan yang didapatkan selama penelitian berkisar antara 32,7o/oo - 33 o/oo yang masih optimal bagi petumbuhan kehidupan ikan. Menurut Lam (1974) dalam Latuconsina et al (2012), Siganus canaliculatus dapat mentoleransi perubahan salinitas sampai 5‰ dan sangat sensitif terhadap nilai pH perairan di atas 9. Kisaran pH perairan yang didapat 7,8 - 7,86, sehingga kisaran nilai pHyang didapatkan masih merupakan kisaran optimal bagi kehidupan ikan Siganus canaliculatus. Menurut Kordi & Tancung (2007) bahwa pada pH 5,0 –
43
6,6 pertumbuhan ikan terhambat dan ikan sangat sensitif terhadap bakteri danparasit, pada pH 6,5 - 9,0 merupakan kisaran pH yang optimal bagi pertumbuhan ikan, dan nilai pH > 9,0 menghambat pertumbuhan ikan. Menurut Hutomo dan Martosejowo (1977), ikan dari famili Siganidae merupakan ikan terpenting dan bernilai ekonomis yang berada pada ekosistem lamun Kepulauan Seribu.
a.
Stasiun I Ikan yang tertangkap pada stasiun I sebanyak 295 individu yang terdiri dari
19 spesies dari 13 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,74ind.m-2. Komposisi jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar 34% dan terendah adalah famili Chanidae, Lutjanidae, dan Monacanthidae dengan komposisi jenis sebesar 1% (Gambar 12 dan lampiran 2). Sphyraenidae, 2%
Apogonidae, 2 %
Chanidae, 1%
Geridae, 15%
Siganidae, 34% Labridae, 11%
Lethrinidae, 3% Nemipteridae, 15% Scaridae, 3% Pomacentridae, 9%
Lutjanidae, 1% Monacanthidae , 1% Mugilidae, 2%
Gambar 11. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun I Pada stasiun I tertangkap spesies Sphyraena barracuda dan Chanos chanos, dimana spesies tersebut tidak tertangkap pada stasiun lainnya. Hal ini disebabkan karena pada stasiun I jumlah mangrove lebih banyak dan lebih lebat daripada stasiun II dan stasiun III. Ekosistem mangrove merupakan tempat bertelur,
44
memelihara larva dan sebagai tempat mencari makan bagi spesies Chanos chanos (Perikanan Indonesia 2013), dan bagi spesies Sphyraena barracuda, stasiun ini merupakan tempat mencari makan karena bayaknya ikan-ikan kecil pada stasiun ini.
b. Stasiun II Ikan yang tertangkap pada stasiun II sebanyak 257 individu yang terdiri dari 20 spesies dari 12 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,64 ind.m-2. Komposisi jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar 34% dan terendah adalah famili Chaetodontidae dan Pinguipedidae dengan komposisi jenis sebesar 0,4% (Gambar 13 dan Lampiran 2).
Apogonidae, 2 %
Chaetodontida e, 0.4%
Geridae, 16% Siganidae, 34% Labridae, 10%
Lethrinidae, 4% Scaridae, 2%
Pomacentridae, 10%
Nemipteridae, 17%
Lutjanidae, 2% Monacanthidae , 1%
Pinguipedidae, 0.4%
Gambar 12. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun II Ikan dari famili Chaetodontidae dan Pinguipedidae hanya tertangkap pada stasiun ini, dimana famili Chaetodontidae merupakan ikan indikator pada ekosistem terumbu karang.Ikan tersebut dapat tertangkap pada stasiun ini karena stasiun II merupakan daerah lamun dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari garis
45
pantai dan letaknya dekat dengan terumbu karang sehingga banyak ikan karang yang mencari makan di stasiun II. c. Stasiun III Ikan yang tertangkap pada stasiun III sebanyak 229individu yang terdiri dari 17 spesies dari 11 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,57ind.m-2. Komposisi jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar 29% dan terendah adalah famili Monacanthidae dengan komposisi jenis sebesar 0,4% (Gambar 14 dan Lampiran 2). Apogonidae, 4 %
Geridae, 17% Siganidae, 29% Labridae, 5% Lethrinidae, 2% Scaridae, 3%
Pomacentridae, 11%
Mugilidae, 5% Lutjanidae, 1% Nemipteridae, 23%
Monacanthidae , 0.4%
Gambar 13. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun III Pada stasiun ini banyak tertangkap spesies Mugil cephalus atau yang sering dikenal dengan sebutan ikan belanak. Ikan belanak termasuk ikan pemakan detritus (Perikanan Indonesia 2013).Ikan ini banyak ditemukan di stasiun III karena stasiun ini mengandung banyak bahan organik. Bahan organik pada stasiun ini berasal dari limbah-limbah rumah tangga.
46
4.3.2 Keanekaragaman dan Keseragaman Ikan Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk melihat kestabilan struktur komunitas ikan yang biasa disebut dengan indeks biologis
(Yulianda
2002).
Berdasarkan
hasil
penelitian,
diperoleh
keanekaragaman dan keseragaman sebagai berikut:
Gambar 14. Keanekaragaman Ikan (kiri) dan Keseragaman Ikan (kanan) Berdasarkan Gambar 14, nilai keanekaragaman ikan berkisar antara 2,18 – 2,40. Indeks keanekaragaman tertinggi adalah pada stasiun I sebesar 2,40 dan terendah pada stasiun III sebesar 2,18. Indeks keanekaragaman stasiun I, stasiun II dan stasiun III tergolong dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang.Kondisi ini sesuai dengan spesies ikan yang tertangkap pada setiap stasiun pengamatan, dimana pada setiap stasiun jenis spesies yang tertangkap tidak terlalu banyak. Indeks keseragaman menunjukkan penyebaran jumlah individu tiap jenis dalam populasi, semakin kecil nilai keseragaman (mendekati 0) menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama. Sebaliknya jika nilai keseragaman semakin besar (mendekati 1) maka populasi akan menunjukkan keseragaman atau jumlah individu tiap genus dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda (Odum 1993). Pada gambar diatas, indeks keseragaman ikan
47
berkisar antara 0,20 – 0,76. Indeks keseragaman tertinggi adalah pada stasiun I sebesar 0,76 dan indeks keseragaman terendah adalah pada stasiun II sebesar 0,20. Indeks keseragaman pada stasiun I dan stasiun III menunjukkan keseragaman atau jumlah individu tiap genus dapat dikatakan sama karena nilainya mendekati 1, sedangkan pada stasiun II penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama karena nilainya mendekati nol.
4.4 Korelasi Kelimpahan Ikan dengan Kerapatan Lamun Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar0,96 dan nilai r2 sebesar 0,93 (Lampiran 5). Nilai tersebut menunjukkan bahwa korelasi ikan dengan kerapatan lamun bersifat negatif, yang artinya apabila terjadi peningkatan kerapatan lamun dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan ikan. Stasiun I memiliki kerapatan lamun sebesar
328,75 ind.m-2 didapatkan ikan
dengan jumlah yang paling banyak yaitu 295 individu sedangkan stasiun III memiliki kerapatan lamun sebesar 556,67 ind.m-2 didapatkan ikan dengan jumlah paling sedikit yaitu 229 individu (Lampiran 3). Kondisi tersebut diperkirakan karena pada stasiun I yang memiliki kerapatan lamun terendah tetapi jumlah ikan yang tertangkap paling banyak memiliki mangrove yang lebih lebat daripada stasiun III. Pada stasiun I tertangkap ikan yang tidak didapatkan di kedua stasiun lainnya, yaitu spesies Chanos chanos. Menurut Perikanan Indonesia (2013), ekosistem mangrove merupakan tempat bertelur, memelihara larva dan sebagai tempat mencari makan bagi spesies Chanos chanos atau yang lebih dikenal dengan sebutan ikan bandeng. Ekosistem lamun yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove memiliki kelimpahan ikan yang lebih banyak daripada ekosistem lamun yang tidak berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Stasiun III yang letaknya dekat dengan pemukiman penduduk dan dekat dengan resort-resort wisatawan menjadikan stasiun ini banyak menerima limbah rumah tangga sehingga kandungan bahan organik pada stasiun ini sangat tinggi.Kandungan C-org, N-org dan C/N pada stasiun ini lebih tinggi daripada kedua stasiun lainnya. Kandungan C-org, N-org dan C/N yang tinggi pada stasiun
48
ini baik untuk pertumbuhan lamun sehingga lamun pada stasiun III memiliki nilai kerapatan paling tinggi tetapi kandungan C-org, N-org dan C/N yang tinggi tidak baik untuk pertumbuhan ikan sehingga jumlah ikan yang tertangkap pada stasiun ini rendah. 4.5 Asosiasi Antar Jenis Ikan Hubungan keberadaan spesies satu dengan spesies yang lainnya dapat diketahui menggunakan nilai asosiasi.Hasil uji X2 (chi-square) didapatkan nilai a atau kenyataan yang muncul lebih besar dibandingkan dengan nilai harapan muncul pada 236 pasangan asosiasi positif antar spesies dan terdapat 17 pasangan asosiasi negatif antar spesies (Tabel 8 dan Lampiran 4).
49
Tabel 7. Asosiasi Positif dan Asosiasi Negatif Antar Spesies Ikan Spe cies Sb Cc Mu Sl Ca Sc Sg Gp Pn Sgh Ll Df Dp Dps Hs Hc Po Cf Ak Lh Lc Pe Ph
Sb Cc
Mu
Sl
Ca
Sc
Sg
Gp
Pn
Sg h
Ll
Df
Dp
D ps
H s
H c
Po
Cf
Ak
Lh
Lc Pe
Ph
X
+ + X
+ + + X
+ + + + X
+ + + + + X
+ + + + + + X
+ + + + + + + X
+ + + + + + + X
+ + + + + + + + + X
+ + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + X
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + X
+ X
Keterangan: Sb = Sphyraena barracuda Cc = Chanoschanos Mu = Mugilcephalus Sl = Scolopsislineatus Ca = Choerodonanchorago Sc = Siganuscanaliculatus
Sg = Siganusguttatus Dps Pn = Pervagornigrolineatus Hs Sgh = Scarusghobban Hc Ll =Lethrinuslentjan Po Df = Dischistodusfasciatus Cf Dp = Dischistodusperspicillatus
= Dischistoduspseudochrysopoecilus = Halichoeresscapularis = Halichoereschloropterus =Parachaetodonocellatus = Cheilinusfasciatus Ak = Apogonkiensi
Lh = Lethrinusharak Lc =Lutjanuscarponotatus Pe = Pentapodusemeryi Ph = Parapercishexophthalma
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + X
50
Hasil uji X2(chi-square) menunjukkan bahwa asosiasi antar spesies tidak erat. Hal ini dapat dilihat dari nilai chi square hitung lebih kecil dari nilai chi square tabel yaitu 3,84. Hasil perhitungan E(a) dan uji Xi2(chi-square) dapat dilihat pada Lampiran 4.Asosiasi positif antara spesies Apogon kiensis dengan Sphyraena barracuda didukung hasil penelitian Muliawaty (2010) bahwa spesies Apogon kiensis merupakan penghuni tetap ekosistem lamun dan spesies Sphyraena barracuda adalah pengunjung di ekosistem lamun yang tujuannya untuk mencari makan. Spesies Sphyraena barracuda memangsa ikan-ikan kecil di ekosistem lamun sedangkan spesies Apogon kiensis memakan plankton dan bentos.Dengan demikian tidak ada persaingan antar spesies tersebut. Asosiasi negatif antara spesies Sphyraena barracuda dengan spesies Lethrinus lentjan seperti dikemukakan oleh Supratomo (2000), adanya ketersediaan makanan di padang lamun mengakibatkan terjadinya persaingan makanan dari ikan-ikan yang mengunjungi padang lamun. Hal ini juga terjadi pada spesies Sphyraena barracuda dengan spesies Lethrinus lentjan yang keduanya merupakan pemangsa ikan-ikan kecil di ekosistem lamun sehingga persaingan antar keduanya sangat besar.
4.6 Pengelolaan Ekosistem Lamun Ekosistem lamun banyak mendapatkan tekanan gangguan utama dari aktivitas manusia, seperti pembuangan limbah rumah tangga, aktivitas kapal maupun aktivitas nelayan. Padahal telah banyak peneliti mengemukakan tentang fungsi lamun. Pada penelitian ini di ekosistem lamun banyak tertangkap spesies Siganus canaliculatusa tau yang sering dikenal dengan ikan baronang. Ikan ini merupakan ikan ekonomis karena ikan ini adalah ikan konsumsi yang sangat digemari. Menurut Latuconsina et al (2012), tingginya komposisi spesies Siganus canaliculatus karena ikan ini menjadikan ekosistem lamun sebagai habitat ideal untuk tempat asuhan (nursery ground) dan pembesaran. Spesies Siganus canaliculatus juga menjadikan ekosistem lamun sebagai tempat mencari makan karena ditemukannya potongan lamun dalam lambungnya. Selain Siganus canaliculatus adapula spesies Sphyraena barracuda, Chanos chanos, Mugil
51
cephalus dan Lethrinus lentjan yang juga termasuk ikan ekonomis. Spesies ikan tersebut merupakan ikan pendatang yang menjadikan ekosistem lamun sebagai tempat mencari makan. Hasil penelitian secara keseluruhan disajikan pada tabel 9. Tabel 9. Hasil Penelitian Secara Keseluruhan Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Keterangan
Kerapatan Lamun
328,75/m2
407,08/ m2
556,67/ m2
Tinggi
Spesies Lamun
Thalassia
Thalassia
Thalassia
Dominan
hemprichii
hemprichii
hemprichii
Kelimpahan Ikan
295/400 m2
257/400 m2
229/400 m2
Rendah
2,40
2,22
2,18
Sedang
Keanekaragaman Ikan
Sangat kuat
-0,96
Korelasi Asosiasi Antar Jenis Ikan
(negatif)
Chi-square hitung < Chi-square tabel
Tidak erat
Berdasarkan Tabel 9, kelimpahan ikan pada penelitian ini termasuk rendah dan kerapatan lamun termasuk tinggi dibandingkan dengan penelitian Latuconsina dkk pada tahun 2012 mengenai Komposisi Spesies dan Struktur Komunitas Ikan Padang
Lamun
Keanekaragaman
di ikan
Perairan pada
Tanjung ketiga
Tiram
stasiun
Teluk tergolong
Ambon
Dalam.
dalam
tingkat
keanekaragaman sedang. Kondisi tersebut sesuai dengan spesies ikan yang tertangkap pada setiap stasiun tidak terlalu banyak. Spesies lamun yang dominan ditemukan pada penelitian ini adalah spesies Thalassia hemprichii. Spesies Thalassia hemprichii dominan pada ketiga stasiun karena pernah dilakukannya kegiatan transplantasi lamun pada spesies Thalassia hemprichii di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (Yudista 2010). Sedangkan menurut Kurniawan (2010), Enhalus acoroides mempunyai penutupan epifit yang lebih luas daripada Thalassia hemprichii dibuktikan dengan ditemukannya meiofauna paling banyak pada daun lamun Enhalus acoroides. Meiofauna yang paling banyak ditemukan adalah dari famili Copepoda dan menurut Hall and Bell (1993) dalam Kiswara
52
(1994), meiofauna dari famili Copepoda merupakan meiofauna penting sebagai sumber makanan ikan yang berasosiasi dengan lamun. Hal tersebut menjadikan kelimpahan ikan pada ketiga stasiun tergolong rendah karena bukan spesies Enhalus acoroides yang mendominasi stasiun penelitian. Oleh karena itu diperlukannya kegiatan transplantasi yang tidak hanya spesifik terhadap spesies Thalassia hemprichii tetapi juga dengan spesies Enhalus acoroides mengingat peranan spesies Enhalus acoroides juga sangat penting, seperti yang terdapat pada stasiun II dimana stasiun ini memiliki spesies Enhalus acoroides paling banyak dan didapatkan jumlah Siganus canaliculatus paling banyak dan juga memiliki jenis ikan yang lebih banyak dibandingkan stasiun lainnya. Penutupan lamun pada ketiga stasiun memiliki penutupan dibawah 50%. Menurut Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 dalam Kopalit (2010) penutupan lamun dibawah 60% termasuk dalam kondisi kurang sehat. Tingginya keberadaan ikan ekonomis dalam ekosistem lamun yang tergolong dalam kondisi kurang sehat menunjukkan perlunya pengelolaan pada ekosistem lamun yang mulai rusak di perairan Pulau Pramuka agar stok ikan ekonomis tetap terjaga.