BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perikanan Kabupaten Bandung Secara astronomi Kabupaten Bandung terletak pada 107°22’-108°50’ Bujur Timur dan 6°41’-7°19’ Lintang Selatan. Berdasarkan tofografi, wilayah Kabupaten Bandung terletak pada daerah pegunungan karena wilayahnya berada pada ketinggian 500 m sampai dengan 1.812 m diatas permukaan laut. Kondisi tofografi tersebut menyebabkan wilayah Kabupaten Bandung memiliki suhu udara yang cukup sejuk berkisar antara 12°C-24°C. Kabupaten Bandung beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahunnya berkisar antara 1.500 mm sampai dengan 4.000 mm. Kelembaban udara saat musim kemarau mencapai 70% dan saat musim penghujan dapat mencapai 78% (www.bandungkab.go.id). Wilayah Kabupaten Bandung dilalui oleh Sungai Citarum Bagian Hulu. Citarum Bagian Hulu memilili luas DAS sekitar 1.771 km² dimulai dari Kecamatan Majalaya hingga inletnya di Bendungan Saguling. Sumber air Sungai Citarum ini berada di Gunung Wayang yang terletak di Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari. Sungai Citarum banyak berperan bagi kehidupan masyarakat disekitar karena digunakan sebagai sumber air untuk kegiatan seperti industri, rumah tangga, pertanian, dan perikanan. Bidang perikanan merupakan salah satu sektor yang memiliki ketergantungan terhadap Sungai Citarum karena sebagian besar kegiatan budidaya sumber airnya berasal dari Sungai Citarum . Dalam usaha budidaya terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat produksi. Faktor tersebut dapat berupa luas lahan, jumlah tenaga kerja, pasokan benih, dan sistem budidaya yang digunakan. Luas Kabupaten Bandung sekitar 155.565,24 ha yang terbagi ke dalam beberapa kecamatan. Luas area yang digunakan untuk usaha budidaya hanya sekitar 0,0079 % dari total wilayah atau sekitar 1.230,37 ha (Kabupaten Bandung Dalam Angka 2011). Bentuk usaha perikanan yang dilakukan adalah budidaya sistem kolam, kolam air deras, dan mina
16
17
padi. Wilayah yang paling banyak memiliki lahan yang digunakan untuk usaha perikanan adalah Kecamatan Kertasari dengan luas area usaha budidaya sebesar 384,74 ha (Kabupaten Bandung Dalam Angka 2011). Selain dari budidaya sistem kolam, budidaya ikan di Kabupaten Bandung pun menggunakan sistem KJA yang berada di Waduk Saguling. Usaha budidaya sistem KJA memproduksi berbagai jenis ikan konsumsi, tetapi komoditas yang sering dibudidayakan adalah ikan mas, nila, dan patin. Luas wilayah yang digunakan sebagai usaha budidaya sistem KJA cenderung stabil (lampiran 2) walaupun terjadi perubahan jumlahnya hanya sedikit. Faktor lain yang mempengaruhi usaha budidaya adalah faktor tenaga kerja. Menurut Febriamansyah (1985) penambahan jumlah tenaga kerja memberikan dampak yang nyata dalam usaha budidaya. Tenaga kerja yang berkecimpung dalam usaha budidaya di Kabupaten Bandung dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan yang drastis. Hal in diakibatkan salah satunya oleh perpindahan tenaga kerja ke sektor lain terutama industri tekstil yang tumbuh pesat di Kabupaten Bandung. Faktor lain yang berperan dalam usaha budidaya adalah pasokan benih yang digunakan dalam usaha budidaya. Kabupaten Bandung dikenal sebagai sentra pembenihan ikan air tawar di Jawa Barat. Hal ini didukung dengan keberadaan Balai Benih Ikan (BBI) Ciparay. Namun, selain berasal dari balai pasokan benih pun banyak yang berasal dari para pembudidaya itu sendiri yang bergerak di bidang pembenihan. Hal
ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pembudidaya
kepada benih yang
berasal dari
balai.
Faktor terakhir yang dapat mempengaruhi tingkat budidaya adalah sistem budidaya yang digunakan oleh petani. Sistem yang digunakan oleh para pembudidaya di Kabupaten Bandung dapat digolongkan ke dalam sistem intensif karena ditandai dengan penanaman benih dalam jumlah yang cukup banyak dalam satu kolamnya. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimal. Sebagai contoh, pembudidaya ikan lele di Kecamatan Majalaya dapat menaman benih sebanyak
18
80.000 ekor dalam kolam seluas 840 m² dan dapat memanen sebanyak 4,2 ton ikan lele konsumsi setelah 3 bulan penanaman. 4.2 Curah Hujan Cuaca adalah suatu kondisi udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit dan pada jangka waktu yang singkat. Salah satu unsur cuaca adalah hujan. Kabupaten Bandung secara umum mengalami curah hujan minimal sebesar 1.500 mm / tahun. Data curah hujan Kabupaten Bandung tahun 2002 sampai 2011 dapat dilihat di bawah ini :
Gambar 3. Curah Hujan Kab BandungTahun 2002-2011 (sumber:Satelit NOAA)
Secara umum, curah hujan Kabupaten Bandung berada pada kondisi diatas rata-rata curah hujan minimal yakni 1.500 mm / tahun. Berdasarkan grafik diatas , dapat dianalisis kondisi curah hujan Kabupaten Bandung dalam kurum waktu 10 tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan besar curah hujan sebesar 3.558,9 mm/tahun. Curah hujan terendah terjadi pada tahun 2011 dengan nilai curah hujan sebesar 1.349,54 mm/tahun. Grafik diatas adalah data curah hujan tahunan yang merupakan akumulasi data curah hujan yang jatuh pada setiap bulannya. Curah hujan bulanan bersifat
19
fluktuatif artinya selalu berubah, hal ini dapat dilihat pada lampiran 3. Tiap bulan dalam satu tahun memiliki intensitas curah hujan yang berbeda-beda. Berdasarkan kondisi tersebut terjadi pengelompokan bulan berdasarkan intensitas curah hujan yang jatuh pada tiap bulannya yakni bulan kering dan bulan basah. Menurut Schimidt dan Ferguson dalam Anjayani (2009) bahwa bulan kering adalah bulan dengan intensitas hujan yang jatuh kurang dari 60 mm / bulan dan bulan basah merupakan bulan yang intensitas hujan yang jatuh lebih dari 100 mm / bulan. Berdasarkan data curah hujan yang ada, Kabupaten Bandung dalam satu tahun mengalami tiga sampai empat bulan kering. Selain untuk menentukan bulan kering dan bulan basah, intensitas curah hujan dapat digunakan untuk menentukan musim, baik penghujan maupun kemarau. Namun, menurut Fox (2000) secara umum tidak definisi yang dapat diterima secara universal tentang kapan dimulainya musim hujan dan kemarau. Schmidt dalam Fox 2000 mengungkapkan bahwa musin hujan dimulai ketika curah hujan pada suatu hari curah hujan mencapai 350 mm. BMKG mendefinisikan awal musim penghujan ketika terjadi curah hujan harian mencapai 50 mm selama 10 hari diikuti dengan curah hujan diatas 50 mm pada 10 hari berikutnya (Partridge dan Mashum 2002). Dengan menggunakan batasan curah hujan BMKG mengungkapkan bahwa periode musin hujan di Indonesia bervariasi menurut lokasi tetapi umumnya terjadi pada Bulan September / Oktober sampai Maret/April.
4.3 Produksi Perikanan Kabupaten Bandung 4.3.1 Budidaya Sistem Kolam Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar produksi ikan mas dan ikan nila di Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut (Gambar 4 dan 5)
20
Gambar 4. Produksi Ikan Mas Sistem Kolam Kab Bandung Thn 2006 s/d 2011 (Sumber:Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
Gambar 5. Produksi Ikan Nila Sistem Kolam Kab Bandung Thn 2006 s/d 2011 (Sumber:Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
Grafik tersebut merupakan data produksi ikan mas dan nila dengan budidaya sistem kolam dari tahun 2006 hingga 2011. Data tersebut merupakan produksi ikan setiap 3 tiga bulanan. Berdasarkan grafik tersebut, produksi ikan mas dalam kurun
21
waktu dari tahun 2006 hingga 2011 jumlahnya berfluktuatif dan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Produksi ikan mas tertinggi terjadi pada kwartal ke 1 tahun 2007 dengan jumlah produksi sebesar 1326,25 ton. Jumlah produksi terkecil terjadi pada kwartal 3 tahun 2011. Produksi ikan nila menunjukan kondisi yang bertolak belakang dengan grafik ikan mas. Jumlah produksi
ikan nila dari tahun 2006 hingga 2011 walaupun
berfluktuatif tetapi cenderung meningkat. Produksi ikan nila tertinggi terjadi pada kwartal 1 tahun 2011 dengan jumlah produksi sebesar 726,28 ton dan produksi terkecil terjadi pada kwartal 3 tahun 2006 dengan produksi ikan nila 130,54 ton. Pada dua grafik diatas terdapat pola yang hampir sama pada produksi ikan mas dan nila. Pada tahun 2008 hingga 2009 pola produksi kedua komoditas tersebut cenderung mengalami penurunan jumlahnya kondisi tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor yakni faktor internal dan faktor ekternal ikan itu sendiri. Faktor eksternal mencakup faktor komposisi kimia air dan tanah dasar, tempratur air, bahan buangan metabolisme (produk ekskresi), ketersediaan oksigen dan ketersediaan pakan (Hepher dan Prugini 1984) 4.3.2 Budidaya Sistem KJA. Karamba jaring apung adalah budidaya di perairan umum dengan menggunakan wadah yang umumnya terbuat dari jaring, pada karamba tersebut ditebarkan ikan kecil atau ikan muda yang berukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan
ukuran mata jaring (Ryding dan Rast 1989).
Berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar produksi dengan sistem KJA adalah sebagai berikut :
22
Gambar 6. Produksi Ikan Mas Sistem KJA di Kab Bandung Thn 2006 s/d 2011 (Sumber.Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
Gambar 7. Produksi Ikan Nila Sistem KJA di Kab Bandung Thn 2006 s/d 2011 (Sumber.Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
23
Gambar 8.Produksi Ikan Patin Sistem KJA di Kab Bandung Thn 2006 s/d 2011 (Sumber.Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
Grafik diatas merupakan grafik produksi ikan konsumsi yang dihasilkan melalui sistem KJA. Grafik ikan mas menunjukan keadaan yang hampir stabil dari kurun waktu 2006-2011. Namun, pada periode 2008-2009 produksi ikan mas di KJA cenderung mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun lainnya. Produksi tertinggi
ikan mas dengan sistem KJA terjadi pada kwartal 4 tahun 2011 dan
produksi terendah terjadi pada kwartal pertama pada tahun 2008. Data produksi ikan mas pada kwartal 4 tahun 2010 tidak ada sehingga tidak dapat ditampilkan dalam grafik tersebut. Grafik produksi ikan nila di KJA menunjukan keadaan yang berfluktuatif. Namun, pada tahun 2009 kondisinya hampir sama seperti produksi ikan mas yakni mengalami penurun, padahal tahun sebelumnya ikan nila mengalami kenaikan produksi. Produksi ikan nila tertingi terjadi pada kwartal ke-4 pada tahun 2010 dan produksi terendah terjadi pada kwartal ke-1 pada tahun 2006. Sama seperti ikan nila, kondisi produksi ikan patin bersifat flutuatif tetapi cenderung naik dari tahun ke tahun. Produksi patin tertinggi terjadi pada kwartal ke-4 tahun 2009 dan produksi terendah terjadi pada kwartal ke-1 tahun 2006. Data pada
24
kwartal ke-3 dan ke-4 pada tahun 2008 tidak dapat ditampilkan karena tidak terdapat datanya. 4.4 Pengaruh Curah Hujan Terhadap Produksi Ikan 4.4.1 Budidaya Sistem kolam Produksi ikan dengan sistem kolam dapat dipengaruhi oleh cuaca dalam hal ini curah hujan karena faktor cuaca diduga menjadi faktor penyebab faktor kematian ikan. Grafik pengaruh curah hujan terhadap produksi ikan dapat dilihat dibawah ini :
Gambar 9. Perbandingan Produksi Ikan Mas Sistem Kolam Kab Bandung Terhadap Curah Hujan Thn 2006 s/d 2011 (Sumber. Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
25
Gambar 10. Perbandingan Produksi Ikan Nila Sistem Kolam Kab Bandung Terhadap Curah Hujan Thn 2006 s/d 2011 (Sumber. Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
Berdasarkan dua grafik tersebut kondisi perikanan budidaya dengan menggunakan sistem kolam di Kabupaten Bandung. Produksi dua komoditas ikan bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Komoditas ikan mas dari tahun 2006 hingga tahun 2011 cenderung mengalami penurunan, sebaliknya kondisi produksi ikan nila pada kurun tahun yang sama cendrung mengalami peningkatan. Namun, dari dua grafik tersebut dapat dilihat terdapat persamaan pola panen ikan. Pada tahun 2009 dua komoditas ikan mengalami penurunan produksi dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan produksi ikan mas dapat dimungkinkan oleh berbagai faktor seperti beralihnya komoditas yang dibudidayakan oleh petani yang awalnya ikan mas menjadi ikan nila, karena ikan nila dianggap oleh petani lebih menguntungkan dibandingkan dengan komoditas ikan mas. Selain itu, ikan mas lebih rentan terhadap serangan penyakit. Penyakit yang menyerang ikan mas sering terjadi setelah hujan deras. Kondisi ini didukung dengan data curah hujan tahunan, yang menunjukan bahwa curah hujan tahunan Kabupaten Bandung dari tahun 2006 hingga 2011
26
terbilang diatas rata-rata. Penyakit yang sering menyerang ikan mas adalah penyakit KHV (Koi Herves Virus) yang bersifat spesifik menyerang keluarga ikan koi salah satunya adalah ikan mas. 4.4.2. Budidaya Sistem KJA Grafik curah hujan terhadap tingkat produksi ikan dengan sistem KJA dapat dliihat di bawah ini :
Gambar 11. Perbandingan Produksi Ikan Mas Sistem KJA di Kab Bandung Terhadap Curah Hujan Thn 2006 s/d 2011
(Sumber. Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
27
Gambar 12. Perbandingan Produksi Ikan Nila Sistem KJA di Kab Bandung Terhadap Curah Hujan Thn 2006 s/d 2011 (Sumber. Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
Gambar 13. Perbandingan Produksi Ikan Patin Sistem KJA di Kab Bandung Terhadap Curah Hujan Thn 2006 s/d 2011 (Sumber. Dinas Kelautan Dan Perikanan Jawa Barat)
28
Berdasarkan tiga grafik diatas, dapat dilihat bahwa tingkat produksi ikan nila dan ikan mas pada tahun 2006 relatif stabil hingga tahun 2011, sedangkan produksi ikan patin cenderung mengalami kenaikan produksi selepas tahun 2009. Pada ketiga grafik tersebut terdapat pola penurunan produksi pada ketiga komoditas ikan di tahun 2009, padahal tahun sebelumnya cenderung mengalami kenaikan produksi. Kondisi ini dapat terjadi karena terjadinya fenomena umbalan yang sering terjadi pada budidaya dengan sistem KJA. Pada kurun waktu Oktober sampai Desember terjadi kematian ikan di Waduk Cirata diakibatkan oleh terjadinya peristiwa umbalan (www.djpb.kkp.go.id). Umbalan menjadi permasalahan bagi budidaya ikan dengan sistem KJA karena pada peristiwa ini lapisan air yang berada di bagian bawah waduk akan naik ke atas dengan membawa bahan toksik sepeti CO₂, NH3 dan H₂S dengan kondisi yang sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali oksigen. Bahan toksik tersebut merupakan sisa penguraian yang berasal dari pakan ikan yang tidak dimakan dan feses yang dihasilkan oleh ikan. Jumlah KJA yang ada saat ini di Waduk Cirata sudah melebihi batas kapasitas. Jumlah KJA yang ada saat ini sudah mencapai lebih dari 53.000 unit, sedangkan menurut SK Gubenur Jawa Barat No 41 Tahun 2002 jumlah KJA yang diperbolehkan hanya sejumlah 12.000 unit. Kondisi waduk yang sudah melebihi batas daya dukung waduk ini menyebabkan kualitas air yang ada di Waduk Cirata merugikan kondisi budidaya ikan. Jumlah KJA yang sedemikian banyaknya menimbulkan permasalahan yakni penurunan kulialitas air. Hal ini diakibatkan karena para pembudidaya tidak paham mengenai penentuan jumlah pakan yang harus diberikan. Padahal, pada pakan tersebut terkandung nutrisi, terutama protein yang cukup tinggi. Pakan yang mengendap tersebut akan mengendap di dasar waduk. Menurut Boyd dan Bowman (1997), menyatakan bahwa rata-rata sisa pakan dan feses dalam jumlah yang besar dapat terakumulasi di dasar perairan di bawah karamba, sehingga
29
menyebabkan kondisi anaerob yang sering menghasilkan racun seperti laktat, amoniak, gas metana dan hidrogen sulfida. Sisa pakan tersebut tidak dapat teruraikan karena jumlah pakan yang terbuang sebanding dengan jumlah KJA yang ada. Menurut Krismono(1999) pakan yang terbuang pada sistem KJA 7 x 7 x 3 sebesar 20%-30%. Dengan kondisi yang demikian, menurut Wicaksono (2005), jumlah N yang masuk ke dalam perairan sebagai pencemar sebanyak 4.003,31 mg / thn dan kadar P yang masuk ke dalam perairan sebagai pencemar sebanyak 272,32 mg / thn.