BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan berdasarkan proses fisiologis yang rentan terjadi pada domba bunting. Selain itu, pemilihan waktu tersebut dimaksudkan agar tidak menyakiti domba akibat pengambilan darah sehingga tidak dilakukan setiap hari. Pemeriksaan darah yang dilakukan adalah jumlah total sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Hasil penghitungan jumlah sel darah merah selama 30 hari tersebut dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah sel darah merah (×106/mm3) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi Hari kebuntingan Kontrol Superovulasi 1 10,24±3,29a 9,26±2,61a a 3 10,86±3,06 13,17±3,08b 6 10,79±3,41a 13,16±4,21b a 9 11,14±2,71 10,94±3,92a 12 9,04±3,77a 10,78±3,97b a 15 10,47±1,94 11,21±2,16b a 30 9,75±3,30 11,22±3,43b Keterangan: Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05)
Jumlah sel darah merah memperlihatkan nilai yang berfluktuasi pada awal kebuntingan. Pada hari ke-3 dan ke-6 jumlah ini cenderung meningkat, baik kelompok domba kontrol maupun kelompok domba superovulasi. Namun, jumlah sel darah merah selama pengamatan masih dalam kisaran normal. Menurut Banks (1993) dan Frandson (1996), jumlah sel darah merah pada domba berkisar 8 sampai dengan 16 ×106/mm3. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata jumlah sel darah merah domba pada awal kebuntingan berada pada kisaran yang sangat besar sekitar 9,04 sampai dengan 13,17 ×106/mm3. Uji secara statistik memperlihatkan bahwa jumlah sel darah merah berbeda nyata antarwaktu
19
pengamatan maupun antar perlakuan (p<0,05). Nilai tersebut kemudian
Rataan sel darah merah ( 106/mm3)
ditampilkan dalam Gambar 4. 14 12 10 8 6 4 2 0 1
3
6
9
12
15
30
Hari kebuntingan
Gambar 4 Grafik rataan jumlah sel darah merah (×106/mm3) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) Pada hari ke-1 memperlihatkan jumlah sel darah merah kelompok domba yang disuperovulasi lebih rendah 10% dibandingkan kelompok domba kontrol. Rendahnya jumlah sel darah merah kelompok domba yang disuperovulasi diduga berhubungan dengan cekaman panas sebagaimana yang dinyatakan oleh Moye et al. (1991), bahwa jumlah sel darah merah akan meningkat pada keadaan suhu udara yang rendah dan akan menurun pada keadaan suhu udara yang tinggi. Sel darah merah mengandung unsur Fe yang mempunyai kemampuan mengikat oksigen, sedangkan oksigen adalah unsur yang diperlukan dalam metabolisme. Metabolisme menghasilkan energi yang akan menambah beban penderitaan karena panas yang terbentuk. Oleh karena itu, tubuh akan segera mengurangi jumlah sel darah merahnya untuk mengurangi cekaman panas. Selain itu, perbedaan umur di antara domba perlakuan juga mempengaruhi rendahnya jumlah sel darah merah. Jumlah sel darah merah akan berkurang dengan bertambahnya umur dan bahkan pada umur tertentu pembentukan sel darah merah hanya terjadi di beberapa tempat saja seperti sumsum tulang membranosa (Guyton dan Hall 2006). Pada hari ke-3 dan ke-6 jumlah sel darah merah setiap kelompok perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan dengan hari ke-1. Kelompok domba yang disuperovulasi memiliki jumlah sel darah merah lebih tinggi 21% dibandingkan jumlah sel darah merah kelompok domba kontrol. Faktor yang
20
secara signifikan mempengaruhi jumlah sel darah merah tersebut adalah faktor superovulasi. Superovulasi akan meningkatkan jumlah korpus luteum yang sangat erat hubungannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dziuk 1992; Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000a). Estrogen dan progesteron telah terbukti dapat meningkatkan jumlah anak per kelahiran, yakni lebih dari satu anak per kelahiran (Manalu dan Sumaryadi 1998). Oleh karena itu, induk domba yang disuperovulasi memiliki jumlah fetus lebih banyak daripada induk domba yang tidak disuperovulasi. Jumlah fetus yang banyak ini sangat mempengaruhi metabolisme induk domba tersebut terkait meningkatnya sekresi hormon kebuntingan. Salah satu perubahan metabolisme yang terjadi adalah adanya peningkatan sel darah merah. Pada hari ke-9, jumlah sel darah merah kelompok domba kontrol mengalami peningkatan sebesar 2% dibandingkan domba yang disuperovulasi yang disebabkan oleh proses implantasi embrio pada uterus. Menurut Hafez dan Hafez (2000), perkembangan individu baru selama periode ovum yaitu periode dari sejak terbentuknya zigot, morula dan blastula hingga implantasi yang berlangsung antara 0 sampai dengan 13 hari. Pada hari ke-12, 15 dan 30, masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan jumlah sel darah merah yang kembali mengalami peningkatan akibat adanya aktivitas metabolisme untuk memacu perkembangan plasenta. Menurut Mege et al. (2007), superovulasi dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan plasenta. Naik turunnya jumlah sel darah merah selama 30 hari ini menggambarkan
adanya
perubahan
metabolisme
tubuh
untuk
memacu
perkembangan prenatal. Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan setelah diamati selalu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987). Pada penelitian Ginting (1987) didapatkan jumlah sel darah merah domba tidak bunting sebesar 10 ×106/mm3. Kozat et al. pada tahun 2003 melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba tidak bunting adalah sebesar 11,72±71 ×106/mm3. Pada tahun 2006, Kozat et al. juga melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba bunting adalah sebesar
21
12,02±69 ×106/mm3 yang berarti bahwa jumlah sel darah merah pada domba bunting sedikit meningkat dibandingkan pada domba yang tidak bunting. Faktor yang secara berkesinambungan mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah selama 30 hari umur kebuntingan dari setiap kelompok perlakuan ialah faktor superovulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada kesamaan pola peningkatan antara hormon metabolisme dan jumlah sel darah merah induk domba pada awal kebuntingan yang disuperovulasi. Perlakuan superovulasi pada induk sebelum perkawinan dapat memperbaiki hormon metabolisme yang digambarkan dengan peningkatan jumlah sel darah merah. Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah adalah ras (breed), aktivitas, dan ketinggian tempat. Menurut Jain (1993), beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan jumlah sel darah merah diantaranya adalah umur, ras, musim, waktu pengambilan sampel, dan metode pemeriksaan yang digunakan.
4. 2. Hematokrit Hematokrit adalah angka yang menunjukkan persentase sel darah terhadap cairan darah. Bila terjadi perembesan cairan atau plasma darah dan keluar dari pembuluh darah sementara bagian selnya tetap dalam pembuluh darah akan terjadi peningkatan hematokrit. Jadi berkurangnya cairan membuat persentasi sel darah terhadap cairannya naik sehingga nilai hematokritnya juga meningkat (Tumbelaka 2005). Nilai hematokrit setiap kelompok perlakuan selama 30 hari dapat disajikan pada Tabel 5. Faktor yang memberikan pengaruh pada nilai hematokrit dari hari ke-1 sampai dengan hari ke-30 ialah faktor superovulasi. Uji secara statistik memperlihatkan bahwa nilai hematokrit tidak berbeda nyata antarwaktu pengamatan maupun antarperlakuan (p>0,05).
22
Tabel 5 Nilai hematokrit (%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi Hari kebuntingan Kontrol Superovulasi 1 21,17±3,71a 22,06±4,71a a 3 21,17±4,02 20,17±5,68a 6 20,87±6,15a 24,27±4,38a a 9 19,61±4,23 18,72±1,73a 12 23,71±1,72a 23,92±3,09a a 15 23,11±3,33 23,44±2,36a a 30 24,83±1,44 26,11±3,86a Keterangan: Huruf superscript sama pada baris yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05)
Nilai hematokrit yang tersaji pada Tabel 5 terlihat berfluktuasi selama awal kebuntingan dan cenderung meningkat dari hari ke-12 sampai dengan hari ke-30 kebuntingan. Nilai hematokrit pada kelompok domba yang disuperovulasi meningkat sebesar 5% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terjadi pada hari ke-30 kebuntingan. Menurut Banks (1993) dan Frandson (1996), nilai hematokrit normal pada domba adalah 24 sampai dengan 50%. Nilai tersebut
Rataan hematokrit (%)
kemudian ditampilkan dalam Gambar 5.
30 25
20 15 10 5 0
1
3
6
9
12
15
30
Hari kebuntingan
Gambar 5 Grafik rataan nilai hematokrit (%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) selama awal kebuntingan Rendahnya nilai hematokrit dapat disebabkan oleh tubuh domba berusaha mengurangi cekaman panas dengan menurunkan produksi panas tubuh melalui penurunan konsumsi oksigen. Penurunan konsumsi oksigen akan menurunkan jumlah sel darah merah sehingga domba yang mengalami cekaman panas mempunyai kadar hematokrit yang lebih rendah. Rataan nilai hematokrit pada
23
kelompok domba yang disuperovulasi lebih tinggi dibanding dengan kelompok domba kontrol. Hal tersebut sejalan dengan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi yang juga memiliki jumlah sel darah merah lebih tinggi daripada kelompok domba kontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996), jika jumlah sel darah merah meningkat maka nilai hematokrit juga meningkat. Jika dibandingkan dengan nilai hematokrit yang dilaporkan Ginting (1987), secara keseluruhan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah. Nilai hematokrit yang pernah dilaporkan Ginting (1987) adalah sebesar 30%. Namun, nilai hematokrit tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan laporan pada penelitian Kozat et al. (2003) yang melaporkan nilai hematokrit pada domba yang tidak bunting adalah 34±3% sedangkan pada domba bunting ialah 28,60±1,4% (Kozat et al. 2006). Kebuntingan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang berakibat pada perubahan volume cairan dan sel darah merah. Rendahnya nilai hematokrit pada hewan bunting dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan kenaikan volume plasma darah dan total air tubuh termasuk air ekstraseluler (Podymow et al. 2010). Pada kebuntingan kembar nilai hematokrit jauh lebih tinggi daripada kebuntingan tunggal (Berghella 2007). Kenaikan plasma darah di dalam tubuh menyebabkan pengenceran darah (hemodilusi) yang pada akhirnya menyebabkan turunnya nilai hematokrit. Terjadinya hemodilusi merupakan suatu proses fisiologis penting pada hewan domestik. Keadaan hemodilusi memberikan manfaat mengurangi viskositas darah yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah kapiler (Guyton dan Hall 2006). Meskipun selama periode kebuntingan terjadi peningkatan volume plasma yang cukup besar namun tidak menunjukkan kondisi hipervolemik (Podymow et al. 2010).
4. 3. Hemoglobin Hemoglobin merupakan pigmen sel darah merah yang terdiri atas protein kompleks terkonjugasi yang mengandung zat besi. Rata-rata kadar hemoglobin pada kedua kelompok perlakuan relatif stabil selama pengamatan. Hasil rataan
24
yang didapatkan dari pengamatan kadar hemoglobin induk domba pada awal kebuntingan yang disuperovulasi dan yang tidak disuperovulasi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi Hari kebuntingan Kontrol Superovulasi a 1 8,16±1,42 8,87±1,40a 3 8,16±1,42a 8,86±1,40a a 6 10,50±3,02 10,92±1,96b 9 9,11±1,34a 9,22±1,48a a 12 9,73±0,77 9,88±1,24a 15 10,28±0,96a 10,04±1,18a a 30 9,05±0,73 9,54±1,32a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p>0,05)
Nilai hemoglobin berfluktuasi pada kedua kelompok domba tersebut dan dari hasil yang tersaji pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kisaran nilai hemoglobin kelompok domba kontrol adalah 8,16±1,42 sampai dengan 10,50±3,02 g% dan pada kelompok domba yang disuperovulasi adalah 8,86±1,40 sampai dengan 10,92±1,96 g%. Kadar hemoglobin pada kedua kelompok memperlihatkan nilai terendah dijumpai pada hari ke-2, yaitu sekitar 8,16±1,42 g% pada kelompok domba kontrol dan sekitar 8,86±1,40 g% pada kelompok domba yang disuperovulasi. Kadar hemoglobin tertinggi diperoleh pada hari ke-6, yaitu yaitu sekitar 10,50±3,02 g% pada kelompok domba kontrol dan sekitar 10,92±1,96 g% pada kelompok domba yang disuperovulasi. Nilai tersebut kemudian ditampilkan dalam Gambar 6. Secara keseluruhan kadar hemoglobin, baik kelompok domba kontrol maupun domba yang disuperovulasi, masih berada dalam kisaran normal, yakni 8 sampai dengan 16 g% (Banks 1993; Frandson 1996).
Rataan hemoglobin (g%)
25
12 10 8 6 4
2 0 1
3
6
9
12
15
30
Hari kebuntingan
Gambar 6 Grafik rataan kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) Uji secara statistik memperlihatkan superovulasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar hemoglobin, baik antarwaktu pengamatan maupun antarkelompok perlakuan. Kadar hemoglobin pada kelompok domba yang disuperovulasi cenderung lebih tinggi dibanding kelompok domba kontrol, hal ini diduga pengaruh pemberian pakan yang mampu memperbaiki metabolisme tubuh terutama protein sehingga pemanfaatan nutrisi dapat lebih efisien. Nutrisi yang baik akan terlihat dengan meningkatnya kadar hemoglobin. Menurut Manston (1975), pakan yang rendah kualitasnya akan mempengaruhi penurunan hematokrit dan hemoglobin, dan dalam jangka waktu yang lama juga akan mempengaruhi albumin darah. Selama pengamatan kadar hemoglobin antarkelompok domba perlakuan mengalami peningkatan dan penurunan, namun masih dalam nilai yang relatif stabil. Kadar hemoglobin yang cenderung stabil dapat menjaga dan mencegah penurunan kadar oksigen dalam darah. Pada keadaan bunting, tubuh memerlukan tambahan darah guna mensuplai oksigen dan makanan untuk pertumbuhan embrio sehingga diperlukan kadar hemoglobin yang tinggi untuk mengangkut oksigen dalam sel darah merah (Harli 1999). Peningkatan kadar hemoglobin menyebabkan kemampuan membawa oksigen ke dalam jaringan lebih baik dan ekskresi CO 2 lebih efisien sehingga keadaan dan fungsi sel akan lebih baik (Cunningham 2002). Kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987) yang
26
melaporkan kadar hemoglobin pada penelitiannya sebesar 11 g%. Nilai tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar hemoglobin yang dilaporkan Kozat et al. (2003), yaitu sebesar 12,3±0,7 g% pada domba tidak bunting dan sebesar 12,3±0,58 g% pada domba bunting. Kadar hemoglobin pada domba yang bunting dan tidak bunting tidak begitu mengalami perubahan (Kozat et al. 2006). Pola kenaikan dan penurunan kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki pola yang hampir sama dengan kenaikan dan penurunan pada jumlah sel darah merah dan hematokritnya. Secara umum, pola kenaikan kadar hemoglobin sama dengan pola kenaikan jumlah sel darah merah dan hematokritnya, yaitu kenaikan terjadi pada masa-masa
awal
kebuntingan. Pola
peningkatan
dan penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah yang terjadi pada masa-masa awal kebuntingan terkait dengan proses metabolisme yang terjadi. Pola perubahan gambaran darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, di antaranya pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan, siklus reproduksi, dan kebuntingan (Jain 1993). Proses perubahan gambaran darah merupakan mekanisme fisiologis yang berbeda yang merupakan proses adaptasi tubuh induk selama masa kebuntingan (Azab dan Maksoud 1999). Perlakuan superovulasi secara nyata meningkatkan jumlah sel darah merah, hematokrit, dan kadar hemoglobin domba penelitian. Peningkatan kadar nilai-nilai tersebut terjadi sebagai akibat dari proses adaptasi pada awal kebuntingan. Faktor superovulasi secara signifikan memberikan pengaruh kenaikan jumlah sel darah merah, hematokrit, dan kadar hemoglobin pada periode awal kebuntingan.