BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu pelelehan es dan proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 50C. Berdasarkan penelitian pendahuluan waktu pergantian es dilakukan setiap 24 jam untuk mempertahankan suhu minimal 50C. Ikan yang mempunyai kesegaran baik diperoleh dengan memperhatikan jumlah es yang digunakan dan lamanya pengesan. Banyaknya es yang digunakan atau rasio antara jumlah es dan jumlah ikan yang didinginkan merupakan faktor yang menentukan. Hal ini menyangkut suhu ikan yang ingin dicapai. Jika rasionya kecil, suhu yang dicapai tidak cukup rendah untuk tetap mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu yang lama. Sebaliknya jika rasionya terlalu besar akan dapat menyebabkan ikan rusak secara fisik karena himpitan dan tekanan oleh bongkahan atau pecahan es yang digunakan. Prinsipnya es yang ditambahkan harus dapat menurunkan suhu ikan sampai 00C, kemudian dipertahankan suhunya pada 50C. Perbandingan yang digunakan untuk memperpanjang kesegaran ikan adalah 2:1 (2 kg es digunakan untuk mendinginkan 1 kg ikan). Hancuran es dalam pengesan ikan yang digunakan adalah es curai dengan tujuan agar himpitan atau tekanan pada ikan dapat dikurangi. Pemberian es curai dilakukan dengan cara menyusun ikan dan es, sehingga berbentuk lapisan antara es dan ikan dimana lapisan yang terbawah dan teratas adalah es.
42
1.2 Penelitian Utama Pada penelitian utama dilakukan penyimpanan ikan cakalang (K. pelamis) pada suhu dingin maximal 50C selama 5 hari dengan waktu pengamatan setiap hari yaitu hari ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5. Pengambilan sampel hingga hari ke-5 ini, berdasarkan Ilyas (1983) penyimpanan ikan pada suhu dingin 20C - 100C akan cepat menurunkan mutu dengan daya awet ikan berkisar antara 2 – 5 hari. Pada masing-masing pengamatan dilakukan analisis kimia meliputi Histamin, pH serta analisis mikrobiologi yaitu Coliform. 4.2.1 Histamin Penentuan kadar histamin dimaksudkan untuk mengetahui tingkat produksi histamin pada ikan cakalang (K. pelamis) selama penyimpanan dingin (5oC). Hasil analisis kadar histamin selama penyimpanan dingin pada hari ke-0 sampai hari ke-3 berkisar antara 5 mg/100g hingga 21,24 mg/100g, dan pada hari ke-4 adalah 29,98 mg/100g, sedangkan pada hari ke-5 adalah 37, 48 mg/100g. Kadar histamin dari hari ke-0 sampai hari ke-5 masih dibawah 100 mg, sehingga masih aman dan layak dikonsumsi. Berdasarkan SNI 01-2360-1991 bahwa kadar histamin yang tidak layak di konsumsi yaitu 100 mg/100g (BSN, 1991). Selanjutnya Shalaby (1996) dalam Sumner et al. (2004) menetapkan bahwa level toksik histamin pada ikan yaitu: < 5 mg/100 g (aman dikonsumsi), 5-20 mg/100 g (kemungkinan toksik), 20-100 mg/100 g (berpeluang toksik), dan > 100 mg/100 g (toksik). Histogram nilai rata-rata kadar histamin pada ikan cakalang (K. pelamis) selama penyimpanan dingin dapat dilihat pada gambar 4.
43
Kadar Histamin (mg)
bc 29.98 b 21.22 a 5
0 hari
c 37.48
b 21.24
ab 11.23
1 hari
2 hari
3 hari
4 hari
5 hari
Lama Penyimpanan
Gambar 7. Histogram kandungan histamin pada ikan cakalang selama penyimpanan dingin Ket : Huruf-huruf yang berbeda pada puncak diagram menunjukan pengaruh yang berbeda. Untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai histamin ikan cakalang (K. pelamis) selama penyimpanan dingin, maka dilakukan analisis sidik ragam ( ANSIRA) yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANSIRA) menunjukan waktu penyimpanan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar histamin pada ikan cakalang (K. pelamis). Berdasarkan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) (Lampiran 1) bahwa perlakuan hari ke-0 dan hari ke-1 tidak berbeda nyata, namun ke-2 perlakuan ini sangat berbeda dengan hari ke-5, kemudian perlakuan hari ke-1 hingga hari ke-4 tidak berbeda nyata namun berbeda dengan hari ke-5, sedangkan perlakuan hari ke-4 tidak berbeda nyata dengan hari ke-5. Pada pengamatan hingga hari ke-1 pembentukan histamin agak terhambat karena pertumbuhan bakteri penghasil enzim dekarboksilase belum terdeteksi sehingga belum bisa memproduksi enzim dekaroksilase tetapi pada hari ke-4 terjadi peningkatan histamin yang nyata, mungkin diduga karena bakteri telah beradaptasi dengan baik sehingga enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan 44
oleh bakteri juga dapat meningkat sehingga kecepatannya mereaksikan histidin menjadi histamin lebih meningkat. Hal ini juga dapat dilihat dari peningkatan Coliform pada hari ke-4 dimana salah satu famili dari Coliform adalah bakteri enterobacter yang dapat memproduksi enzim dekarboksilase. Menurut Eyles dan Davey tahun (1989) bahwa salah satu genus dari Coliform adalah bakteri enterobacter yang dapat menghasilkan enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin menjadi histamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama ikan cakalang (K.pelamis) disimpan, maka kadar histamin akan semakin meningkat dan peningkatan histamin tidak akan berhenti meskipun tetap dijaga pada suhu dingin selamaa pengujian. Hal ini disebabkan karena enzim histidin dekarboksilase yang telah diproduksi akan tetap bereaksi hanya saja histamin bereksi dengan keadaan yang lambat. Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh kandungan histidin dalam daging ikan yang secara alami terdapat didalam jaringan ikan yang akan di dekarboksilasi oleh bakteri penghasil enzim histidin dekarbksilase menjadi histamin. Aktifitas bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase dapat meningkat jika penanganan ikan kurang baik, misalnya kurang efektifnya penerapan rantai dingin serta kurang diperhatikannya aspek sanitasi daan hygiene. Menurut Sims (1992), ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu histidin bebas dan histidin terikat dalam protein. Tepapi demikian, hanya histidin bebas yang dapat mengalami dekarbksilasi menjadi histamin. Dalam hal ini yang memegang peranan penting dalam pembentukan histidin bebas dari jaringan protein menjadi histamin adalah aktivitas bakteri dan preteolisis selama proses autolisis. Faktor-faktor yang memengaruhi 45
perombakan histidin menjadi histamin adalah faktor waktu, suhu, jenis dan banyaknya mikroflora bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan. Pembentukan histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung pada kandungan histidin, tipe, dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba serta dipengaruhi oleh temperatur dan pH lingkungan. Semakin rendah (asam) dan semakin tinggi (basa) pH daging ikan, maka kadar histamin akan meningkat (Kimata, 2000).
Hasil-hasil penelitian mengenai suhu yang optimum
terhadap pembentukan histamin sangat bervariasi. Menurut Kim et al. (1999) dalam keer et al, (2002), suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 250C. Menurut Yoguchi et al, (1990) dalam Dwiyitno et al, (2004), penyimpanan pada suhu 250C selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan histamin hingga 120mg/100g. Fletcher et al, (1996) menambahkan bahwa pembentukan histamin pada suhu 0-50C sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian Price et al, (1991), juga menunjukan bahwa pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 00C atau lebih rendah. Oleh karena itu, FDA menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,40C (FDA, 2001). Simidu dan Hibiki (1955) dalam Sumner et al. (2004) menyatakan bahwa ambang batas kadar histamin pada ikan adalah sekitar 60 mg. Sedangkan Shalaby (1996) dalam Sumner et al. (2004) melaporkan bahwa kadar histamin dalam makanan yang dapat menyebabkan keracunan umumnya sebesar ≤ 40 mg (efek ringan), > 40 mg (efek sedang), dan > 100 mg (efek berbahaya). Selain itu, Scoging (1998) dalam Sumner et al. (2004) juga menyatakan terdapat empat macam tingkatan level histamin di United Kingdom, yaitu aman 46
konsumsi (kadar histamin 10 mg/100 g), kemungkinan toksik (kadar histamin 10-50 mg/100 g), berpeluang toksik (kadar histamine 50-100 mg/100 g), dan toksik (kadar histamin > 100 mg/100 g). Peningkatan kadar histamin pada ikan dapat dicegah dengan cara melakukan penanganan dengan baik serta memperhatikan aspek sanitasi dan hygiene serta selalu menerapkan sistim rantai dingin sehingga pertumbuhan bakteri penghasil histidin dekarbksilase dapat dihambat. Konsumsi makanan yang mengandung histamin dalam jumlah rendah tidak akan memberikan efek toksi bagi manusia, karena organ pencernaan manusia mengandung enzim diamine oxidase (DAO) dan histamin N-methyl transferase (HMT) yang akan mengubah histamin menjadi zat yang tidak berbahaya, tetapi jika histamin berada dalam dosis yang tinggi maka kemampuan detoksifikasi enzim DAO dan HMT terbatas dan akan menyebabkan efek toksi (Taylor 1986 dalam Keer et al. 2002). 4.2.2 Tingkat Keasaman ( pH ) Uji tingkat keasaman (pH) merupakan suatu metode yang digunakan sebagai indikator untuk menilai kesegaran ikan. Nilai pH atau derajat keasaman sangat berkaitan dengan pertumbuhan mikroba. Setiap mikroorganisme memiliki pH minimal dan maksimal untuk pertumbuhannya. Sebagian besar bakteri tumbuh pada pH mendekati netral, tetapi ada juga bakteri yang dapat tumbuh pada keadaan asam atau basa.
47
Berdasarkan penelitian diperoleh nilai rata-rata pH ikan cakalang (K. pelamis) segar penyimpanan dingin pada suhu 50C berkisar antara 6,55 sampai 6,9. Nilai ratarata pH ikan cakalang (K. pelamis) dapat dilihat pada gambar 5.
Tingkat Keasaman (pH)
6.9
a
a
a
a
6.8
c
6.7 6.6
c
6.5 6.4 6.3 0 hari 1 hari
2 hari
3 hari
4 hari
5 hari
Lama Penyimpanan
Gambar 8. histogram nilai rata-rata pH pada ikan cakalang selama penyimpanan dingin Ket : Huruf-huruf yang berbeda pada puncak diagram menunjukan pengaruh yang berbeda. Dari Gambar 5 terlihat bahwa nilai pH semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Tingkat keasaman pada perlakuan hari ke-0 hingga hari ke-3 yaitu 6,9, dan mengalami penurunan pada hari ke-4 yaitu 6,75 sedangkan pada hari ke-5 yaitu 6,55. Berdasarkan hal ini, nilai pH yang menurun disebabkan adanya proses glikolisis yang menghasilkan asam laktat. Untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap pH ikan cakalang (K. pelamis) selama penyimpanan dingin, maka dilakukan Analisis Sidik Ragam (ANSIRA) yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis
48
sidik ragam (ANSIRA) maka lama waktu penyimpanan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai pH. Berdasarkan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) (Lampiran 2) bahwa 4 perlakuan yaitu hari ke-0 hingga hari ke-3 menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata, tetapi sangat berbeda nyata dangan hari ke-4 dan hari ke-5. Hal ini mungkin disebabkan karena enzim katepsin yang terdapat dalam ikan masih terhambat aktifitas dengan adanya suhu yang dingin. Perbedaan yang sangat nyata pada hari yang dimulai pada hari ke-4 karena enzim katepsin sudah terbentuk lebih banyak, sehingga lebih cepat bekerja menguraikan protein daging ikan menjadi pepton dan asam-asam amino. Selain itu terjadi juga proses glikogenolisis yaitu penguraian glikogen yang menghasilkan asam laktat. Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan nilai pH. Seperti dikemukakan oleh Zakaria (2008) bahwa penurunan nilai pH ikan dapat disebabkan oleh faktor alamiah karena pada dasarnya energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen menjadi glukosa dan produk-produk turunannya. Selanjutnya penguraian glukosa melalui proses glikolisis akan menghasilkan ATP dan asam laktat. Menurut Purnomo dan Adiono, (1987) daging ikan memiliki pH mendekati 7. Setelah ikan mati beberapa saat, glikogen akan mengalami glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang menyebabkan pH menurun. Sedangkan Menurut Lawrie (2003), perubahan pH dipengaruhi oleh suhu tinggi, stres sebelum pemotongan, dan perlakuan setelah pemotongan (Buckle et al., 1987, Lawrie 2003). Menurut Ilyas (1983) penyebab lain terjadinya penurunan nilai pH pada ikan disebabkan proses aktivitas enzim katepsin dalam menguraikan protein daging ikan. 49
Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi pepton dan asam-asam amino. Selain itu juga, aksi enzimatis tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen-komponen flavor, perubahan warna daging (diskolorisasi) dari warna asli menjadi coklat serta timbulnya akumulasi metabolit. Pada umumnya ikan yang sudah tidak segar memiliki daging dengan pH lebih basa (tinggi) apabila dibandingkan dengan ikan yang masih segar atau tingkat kesegarannya tinggi. Tingginya pH ikan yang sudah tidak segar, disebabkan oleh timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti misanya ammonia, trimetilamin, dan senyawa-senyawa volatile lainnya (Hadiwiyoto, 1993). 4.2.3
Coliform Pengujian mikrobiologi yang dilakukan adalah uji Coliform. Dari uji
laboratorium yang dilakukan tentang uji Coliform pada ikan segar selama penyimpanan dingin ada dua tahap yaitu uji pendugaan dan uji penegasan. Berdasarkan hasil uji Coliform, menunjukan bahwa penyimpanan hari ke-0 hingga hari ke-3 menunjukan bahwa semua sampel ikan masih berada dibawah ambang batas SNI untuk persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan segar, yaitu 0=<3 APM/gr, pada hari ke-4 yaitu 20,5 APM/gr dan hari ke-5 yaitu 27,5 APM/gr sehingga dilakukan uji lanjut dengan uji penegasan Coliform dan dinyatakan pada hari ke-4 dan ke-5 teridentifikasi bakteri Coliform. Hal ini kemungkinan karena pengaruh lamanya waktu pendinginan, serta pada penelitian ini tidak dilakukan pengeluaran isi perut hal inilah diduga menyebabkan bakteri yang ada pada isi perut aktif, dan es yang digunakan hanya es komersil, yaitu es yang berasal dari air yang
50
mentah karena tidak memenuhi standar untuk di konsumsi,
pengujian bakteri
Coliform dilakukan karena Coliform digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kebersihan peralatan dan kontaminasi selama proses. BPPMHP (2005) menjelaskan bahwa bakteri Coliform dapat ditemukan dan tumbuh dengan sendirinya sebagai flora pada peralatan pengolahan yang kurang bersih, sedangkan E. coli lebih sukar dideteksi dibandingkan dengan Coliform atau faecal Coliform. Cara penanganan ikan setelah ditangkap juga memiliki peran penting terhadap kualitas produk perikanan. Penanganan yang kurang baik sejak ikan tertangkap sampai ikan tiba di pelabuhan sangat penting agar tidak terjadinya kontaminasi terhadap ikan. Proses distribusi produk perikanan dari pelabuhan hingga sampai ke tempat-tempat penjualan juga sangat mempengaruhi kualitas produk perikanan. Kerusakan ikan dapat dicegah dengan menggunakan suhu rendah (dibekukan) saat disimpan. Tempat penyimpanan ikan harus sesuai dengan banyaknya ikan yang disimpan. Tempat yang terlalu kecil jika dipakai untuk menyimpan ikan dengan kapasitas yang banyak akan merusak fisik dari ikan tersebut (Anonim, 2009). Menurut Djaafar (2007), kerusakan ikan dapat disebabkan oleh faktor internal seperti insang, isi perut, dan kulit yang merupakan sumber kontaminasi mikroba. Bagian tubuh dari ikan yang diambil dan dijadikan sebagai sampel pada penelitian ini adalah daging ikan bagian punggung, perut dan ekor, sedangkan kulit ikan tidak digunakan sebagai sampel.
51
uji Coliform (APM/gr)
b 27.5 b 20.5
a 3
0 hari
a 3
1 hari
a 3
a 3
2 hari
3 hari
4 hari
5 hari
Lama Penyimpanan
Gambar 8. Histogram nilai rata-rata uji Coliform pada ikan cakalang selama penyimpanan dingin Ket : Huruf-huruf yang berbeda pada puncak diagram menunjukan pengaruh yang berbeda. Untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai Coliform ikan cakalang (K. pelamis) selama penyimpanan dingin, maka dilakukan Analisis Sidik Ragam ( ANSIRA) yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil Analisis Sidik Ragam (ANSIRA) bahwa lama waktu penyimpanan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap uji Coliform pada ikan cakalang (K. pelamis). Lama penyimpanan pada hari ke-0 sampai hari ke-3 tidak teridentifikasi bakteri, tetapi pada hari ke-4 dan hari ke-5 teridentifikasi adanya bakteri. Hasil uji lanjut BNT (Lampiran 3) bahwa lama penyimpanan hari ke-0 sampai hari ke-3 tidak berbeda nyata, tetapi sangat berbeda nyata dengan hari ke-4 hari ke-5. Hal ini diduga pada hari ke 0 hingga hari ke 3 belum terdapat aktifitas pertumbuhan bakteri. Bakteri masih berada dalam fase adaptasi atau penyesuaian dengan kondisi penyimpanan ikan, walaupun pada dasarnya tubuh ikan sendiri telah mempunyai bakteri dalam jumlah tertentu. Hal ini juga dapat dibuktikan dari peningkatan jumlah histamin yang terdeteksi tinggi mulai dari hari ke-4.
52
Menurut BPPMHP (2005) Coliform merupakan bakteri indikator untuk mengukur tingkat kebersihan peralatan dan kontaminasi setelah proses, meskipun demikian bakteri Coliform tidak cukup baik untuk digunakan sebagai indikator kebersihan. Hal ini disebabkan karena bakteri Coliform lain yang bukan penghuni usus manusia atau hewan terdeteksi sebagai Coliform. Menurut Huss (1995), mikroba pada ikan dapat dihambat pertumbuhannya pada suhu 00C. Ikan biasanya diawetkan dengan cara pendinginan atau pemberian es, oleh karena itu mikroba yang biasanya sering tumbuh adalah sebagian besar tergolong mikroba psikrofilik yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu -50C sampai 300C, optimum pada 10-200C. Bakteri gram positif yang sering mengkontaminasi ikan yang didinginkan tergolong jenis Pseudomonas yaitu Pseudomoney. fragi (Fardiaz, 1993) Menurut Ismanadji
(1999) bakteri pembusuk akan menerobos ke dalam
daging ikan yang akan menghasilkan senyawa yang berbau busuk terutama amoniak. Lebih lanjut Hadiwiyoto (1993) menjelaskan bahwa pertumbuhan bakteri pada umumnya diartikan sebagai kenaikan jumlah konstituen dalam sel atau massanya yang kemudian diikuti oleh perbanyakan sel sehingga jumlah sel menjadi bertambah banyak. Jumlah awal mikroba yang terdapat dalam tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh makanan, cara penangkapan, penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis (FAO 1995; Junianto 2003). 53