73
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Fenomena Gejolak Moneter Dan Impiklasi Terhadap Harga Saham Gejolak moneter merupakan hal yang pasti dialami oleh setiap Negara, begitu pula Negara Indonesia. Gejolak moneter secara sengaja dapat dibuat melalui dampak dari sebuah kebijakan untuk tujuan tertentu dan ada juga gejolak moneter yang tidak disengaja dibuat. Dampak dari gejolak moneter dapat melemahkan perekonomian Negara. Contoh gejolak moneter yang tidak dibuat yaitu pada tahun 2008 terjadi gejolak moneter yang diakibatkan oleh krisis subprime mortgage Amerika Serikat
yang menyebabkan inflasi
Indonesia mengalami kenaikan dari 6.59 persen pada Desember 2007 menuju 12.14 persen pada September 2008. Sedangkan contoh dari gejolak moneter yang dibuat adalah gejolak moneter yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM di tahun 2013. Kebijakan pemerintah tersebut menyebabkan kenaikan inflasi dari 5.47 persen pada Mei 2013 menjadi 8.40 persen pada September 2013.11 Inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan BBM taun 2013 menyebabkan kenaikan biaya produksi dan distribusi bagi perusahaan. Salah satu perusahaan yang terkena dampak dari kebijakan pemerintah tersebut adalah perusahaan Mustika Ratu Tbk. (MRAT). Dengan kenaikan BBM tersebut sangat mengganggu distribusi dari produk-produk perusahaan. Selain itu ditambah
11
Bank Indonesia, Laporan inflasi
74
dengan kenaikan kurs USD terhadap rupiah mengakibatkan biaya impor bahan baku menjadi lebih besar. Hal ini mengakibatkan semakin kecilnya laba yang didapat oleh perusahaan. Kecilnya laba perusahaan tersebut mengakibatkan para investor pemegang saham menjual saham mereka. Berkurangnya permintaan terhadap harga saham perusahaan MRAT mengakibatkan turunnya harga saham dari Rp 590 per lembar pada April 2013 menjadi Rp 190 perlembar pada September 2015.12 Dengan demikian, gejolak moneter dapat memberikan dampak yang buruk bagi perusahaan yang tidak cukup kuat dalam mengendalikan perusahaan mereka.
B. Analisis Deskriptif Metode analisis deskripstif adalah suatu metode analisis dimana datadata yang dikumpulkan diklasifikasi, dianalisis dan diinterpretasikan secara objektif sehingga memberikan informasi dan gambaran mengenai topik yang dibahas. Hasil estimasi variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Deskripsi Harga Saham Syariah Sektor Manufaktur Di Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) Periode 2011:01-2015:12. Pengamatan pada masa periode tersebut, ditemukan adanya fluktuasi harga saham dari waktu ke waktu. Fluktuasi harga saham dipengaruhi oleh kekuatan dan permintaan.13 Penurunan harga saham terbesar terjadi pada tahun 2013 yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Di tahun 2014 November, pemerintah juga menaikkan harga 12 13
Yahoofinance Umam, khairul, Pasar Modal Syariah, Bandung: CV Pustaka Setia. 2013, hal: 114
75
BBM namun hanya bersifat sementara sehingga penurunan harga saham juga sementara. Selain itu, pada awal tahun 2015 juga terjadi penurunan harga saham secara signifikan yang diakibatkan oleh kenaikan USD tehadap rupiah. Harga keseimbangan yang dibentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran, dari waktu ke waktu akan membentuk sebuah trend pada masing-masing perusahaan yang terdaftar di ISSI. Adapun perusahaan yang memiliki kecenderungan dengan trend bagus adalah perusahaan Selamat Sempurna Tbk. (SMSM). Kenaikan trend pada perusahaan Selamat Sempurna Tbk. tidak luput karena dukungan penuh dari pemerintah dalam mendorong ekspor dibidang otomitif. Sedangkan perusahaan yang memiliki kecenderungan trend menurun adalah perusahaan Mustika Ratu Tbk. (MRAT) bergerak pada sub sektor kosmetik dan keperluan rumah tangga. Penurunan harga saham pada perusahaan MRAT disebabkan oleh ketidak mampuan perusahaan dalam menghadapi gejolak moneter yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM dan kenaikan kurs USD. 2. Deskripsi Variabel Independe a. Deskripsi Suku Bunga BI Rate Periode Nilai rata-rata suku bunga BI rate pada periode 2011:01-2015:12 adalah sebesar 0.068 atau 6.8 persen. Selama periode tersebut pula, suku bunga BI rate tertinggi mencapai 0.078 atau 7.8 persen dan suku bung BI rate terendah adalah sebesar 0.058 persen.
76
Penurunan ataupun kenaikan BI rate merupakan kebijakan pemerintah dimana kebijakan tersebut merupakan respon dari suatu keadaan Negara. Misal pada 11 Oktober 2011. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 25 bps atau dari 6.8 persen menjadi 6.5 persen. Keputusan ini diambil sejalan dengan keputusan Bank Indonesia bahwa inflasi pada akhir tahun maupun tahun depan akan berada dibawah 5 persen. Selain itu, langkah tersebut ditempuh sebagai antisipasi untuk memitigati dampak penurunan kinerja ekonomi global terhadap kinerja perekonomian Indonesia.14 Penurunan BI rate terus dijaga oleh Bank Indonesia hingga terakhir di bulan Mei 2013. Tanggal 13 Juni 2013, RDG memutuskan menaikkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 6 persen dengan suku bunga deposit facility sebesar 4.25 persen dan suku bunga lending facility 6.75 persen. Kebijakan ini merupakan bauran kebijakan Bank Indonesia secara pre-emptive untuk merespon ekspektasi inflasi. Ekspektasi inflasi meningkat di karenakan rencara kebijakan subsidi BBM yang akan ditempuh pemerintah. Ketika pemerintah telah menetapkan kenaikan harga BBM pada 22 Juni 2013, kebijakan BI yaitu menetapkan suku bunga BI rate menjadi 6.5 persen di bulan Juli. Karena tingkat inflasi terus mengalami kenaikan di bulan selanjutnya, maka BI menaikkan suku bunga BI rate
14
Bank Indonesia, siaran pers BI rate, www.BI.go.id
77
di angka 7.5 persen di bulan November 2013 dan menahannya di level tersebut dengan tujuan meredam tingkat inflasi. b. Deskripsi Inflasi Periode 2011:01-2015:12 Nilai rata-rata inflasi pada periode 2011:01-2015:12 adalah sebesar 0.059 atau 5.9 persen. Selama periode itu pula, telah terjadi inflasi tertinggi sebesar 0.088 atau 8.8 persen dan inflasi terendah adalah sebesar 0.034 atau 3.4 persen. Inflasi tertinggi pada level 8.8 persen terjadi pada bulan Agustus 2013. Kenaikan inflasi tersebut disebabkan oleh kenaikan kenaikan harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintah pada 22 Juni 2013. Dampak dari kenaikan BBM tersebut mengakibatkan inflasi pada titik yang lebih tinggi berkisar 8.3 persen hingga 8.8 persen. c. Deskripsi Kurs Dolar Amerika Serikat Tehadap Rupiah Periode 2011:01-2015:12 Rata-rata kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah pada periode 2011:01-2015:12 adalah sebesar Rp 10.872,57. Selama periode itu pula, kurs dolar Amerika Serikat tertinggi mencapai Rp 14.730 dan titik terendahnya mencapai Rp 8.551. Dari bulan November 2014, kurs dolar Amerika Serikat (AS) mengalami apresiasi yang terus meningkat yang mengakibatkan menurunnya nilai rupiah. Hal ini disebabkan karena akan dinaikkannya suku bunga oleh The Fed pada triwulan kedua tahun 2015. Dengan demikian, permintaan akan dolar menjadi bertambah sehingga semakin
78
menguatkan kurs dolar AS terhadap Indonesia. Melemahnya rupiah diakibatkan semakin solidnya perekonomian AS yang mendorong penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Penguatan dolar AS terhadap dolar berlanjut hingga September 2015, sejalan dengan terus berlangsungnya penguatan dolar AS akibat rencana Eroupean Central Bank (ECB) yang melakukan kebijakan pelonggaran moneter dan diikuti oleh sejumlah Negara.15 d. Deskripsi Dow jones industrial average (DJIA) Periode 2011:012015:12 Rata-rata harga saham pada DJIA periode 2011:01-2015:12 adalah sebesar $ 14.906,33. Selama periode itu pula, harga saham tertinggi pada DJIA mencapai $18.132,70 dan harga terendah mencapai $ 10.913,38. Kenaikan harga saham pada DJIA dari bulan ke bulan cenderung terus mengalami kenaikan. Kenaikan harga saham tersebut disebabkan oleh semakin membaiknya perekonomian Amerika Serikat pasca pemulihan dari krisis yang terjadi di tahun 2008. Terkait akan dinaikkannya suku bunga The Fed mengakibatkan ekspektasi investor naik turun karena belum adanya kepastian keputusan tersebut. Hal ini mengakibatkan fluktuasinya harga saham. Namun di bulan Agustus 2015, ekspektasi masyarakat akan dinaikkannya suku bunga The Fed
15
Bank Indonesia, siaran pers BI rate, www.BI.go.id
79
semakin tinggi karena semakin adanya kepastian oleh The Fed. Dengan demikian, permintaan saham pada pada bulan tersebut menurun.
C. Pengaruh Gejolak Moneter Terhadap Harga Saham Syariah Sektor Manufaktur Di ISSI 1. Pemilihan Model Regresi Panel a. Uji Chow Dari dilakukannya uji chow didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 4.1 Hasil Uji Chow Effects Test
Statistic
Cross-section F Cross-section Chi-square
( Sumber
43630.434523 78385.375023
d.f.
Prob.
(18,21637) 18
0.0000 0.0000
: Data diolah tahun 2016)
Dari tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa nilai prob. cross-section F adalah 0.000 lebih kecil dibanding nilai alpha (005). Maka H0 ditolak dan dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model fixed effect lebih tepat digunakan dalam mengestimasi data panel daripada common effect. Model fixed effects mengasumsikan bahwa tedapat efek yang berbeda antar individu. Perbedaan individu atau antar perusahaan dikarenakan perbedaan karakteristik perusahaan seperti budaya perusahaan, gaya manajerial dan lain sebagainya. Perbedaan tersebut dapat diakomodasi melalui perbedaan pada intersepnya.16
16
Basuki, Agus Tri dan Yuliadi, Imamudin, Ekonometrika: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Mitra Pustaka Matani, 2015, hal:138
80
b. Pemilihan Model Fixed Effects dan Random Effects Perbedaan mendasar untuk menentukan pilihan antara model Fixed Effects dengan Random Effects diantaranya yaitu:17 1) Jika T (jumlah data time-series) lebih besar daripada N (jumlah unit cross-section), kemungkinan aka nada sedikit perbedaan nilai parameter yang diestimasi oleh kedua model. Dalam hal ini, model Fixed Effects lebih disukai. Pada penelitian ini, penelitian dilakukan pada periode 2011:01 hingga 2015:12. Dengan demikian, waktu dalam penelitian ini adalah 60 bulan. Sedangkan jumlah unit cross-sectio yang menjadi sampel peneliti sebesar 19 perusahaan. Dengan demikian jumlah T lebih besar dibanding dengan jumlah N dan model yang bagus digunakan adalah model Fixed Effects. 2) Apabila unit individu atau cross-saction dari sampel bukanlah hasil bukanlah pengambilan secara acak, maka model Fixed Effects lebih pantas digunakan. Pada penelitian ini, sampel yang diambil oleh peneliti ditentukan dengan 2 kriteria yaitu emiten manufaktur yang listing di ISSI dari tahun 2011-2015 dan emiten manufaktur di ISSI yang tidak melakukan stock split selama 2011-2015. Dengan demikian, model yang tepat digunakan adalah model Fixed Effects. Dari penjelasan dua metode di atas, dapat ambil kesimpulan bahwa model yang tepat digunakan oleh peneliti adalah model Fixed Effects. 17
Gujarati, Damodar, Dasar-Dasar Ekonometrika Buku 2 Edisi 5, Jakarta: Salemba Empat, 2012, hal:255
81
2. Uji Asumsi Klasik Basuki (2013) menyatakan bahwa tidak semua uji asumsi klasik yang ada pada metode OLS dipakai, tetapi hanya multikolinieritas dan heteroskedastisitas saja yang diperlukan. Adapun hasil dari uji asumsi klasik multikolinieritas dan heteroskedastisitas adalah sebagai berikut: a. Multikolinieritas Tahapan pengujian multikolinieritas dengan pendekatan korelasi partial dengan tahapan sebagai berikut: 1) Melakukan regresi dengan model; Log(HS)= β0
+e …………. (persamaan 3)
2) Melakukan regresi dengan model; i = β0
+e …………. (persamaan 4)
INFL = β0
+e …………. (persamaan 5)
Log (ER) = β0
+e …………. (persamaan 6)
Log (DJIA) = β0
+e …………. (persamaan 7)
82
Adapun hasil dari regresi uji multikolinieritas pada model di atas didapatkan data yang tertuang pada tabel 4.2 di bawah ini. Tabel 4.2 Hasil Uji Multikolinieritas Model Persamaan
R-Square
Disebut
3
0.973328
R21
4
0.652416
R22
5
0.322569
R23
6
0.883672
R24
7
0.867586
R25
( Sumber : Data diolah tahun 2016)
Apabila R21 lebih besar dibanding R22, R23, R24 dan R25 maka dikatakan
bahwa
dalam
model
tidak
ditemukan
adanya
multikolinieritas.18 Dari hasil tabel 4.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam model tidak ditemukan adanya multikolinieritas. b. Heteroskedastisitas Tabel 4.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Parameter
Fixed Effect Unweighted
Fixed Effect weighted
Sum
92.42894
91.08396
0.973217
0.991944
square
resid R-squared
( Sumber : Data diolah tahun 2016)
18
Basuki, Agus Tri dan Yuliadi, Imamudin, Ekonometrika: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Mitra Pustaka Matani, 2015, hal:42
83
Dari tabel 4.3 dapat kita lihat bahwa terdapat dua parameter yang dapat digunakan dalam mengukur ada tidaknya heteroskedastisitas pada model. Apabila nilai sum square resid pada Fixed Effect Unweighted lebih besar daripada nilai sum square resid pada Fixed Effect weighted dan nilai R-square Fixed effect weighted lebih besar dibanding dengan R-square pada fixed effect unweighted, maka dapat disimpulkan bahwa model tidak terkena heteroskedastisitas atau bersifat homokedastisitas. 3. Uji Statistik Analisis Regresi Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa model yang dipilih peneliti adalah model fixed effect. Berdasarkan hasil regresi panel model fixed effect, nilai intersep untuk masing–masing perusahaan adalah; ALKA sebesar –3.288401 (-2.539071 - 0.749330), AMFG sebesar –0.799223 (2.539071 + 1.739848), DPNS sebesar –3.548248 (-2.539071 - 1.009177), DVLA sebesar –2.283139 (-2.539071+0.255932), EKAD sebesar 3.702995 (-2.539071-1.163924), IGAR sebesar –3.778943 (-2.5390711.239872), INAF sebesar –4.482746 (-2.539071 - 1.943675), INDF sebesar –0.957377 (-2.539071 + 1.581694), INTP sebesar 0.23357 (-2.539071 + 2.772641), JPRS sebesar –3.895262 (-2.539071 - 1.356191), KAEF sebesar –3.222065 (-2.539071 - 0.682994), KBLM sebesar –4.74077 (-2.539071 2.201699), KDSI sebesar –3.890281 (-2.539071 - 1.351210), MRAT sebesar –3.627668 (-2.539071 - 1.088597), RICY sebesar –4.474422 (2.539071 - 1.935351), SMGR sebesar –0.219785 (-2.539071 + 2.319286), SMSM sebesar –1.772776 (-2.539071 + 0.766295), TCID sebesar -
84
0.284876 (-2.539071 + 2.254195), UNVR sebesar 0.493057 (-2.539071 + 3.032128). a. Koefisien Determinasi (R2) Dari hasil regresi panel fixed effect nilai R2 sebesar 0.973328, hal ini berarti sebesar 97.33 persen variasi harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI dapat dijelaskan oleh variasi 4 variabel independen yaitu suku bunga BI rate, inflasi, nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah dan dow jones industrial average. Sedangkan 2.67 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model peneliti. b. Pengujian Signifikasi Simultan (Uji-F) Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama dengan taraf keyakinan 95 persen (α = 0.05). Dari hasil regresi penelitian, diperoleh F-statistic sebesar 1852.829 dan nilai probabilitas F-statistic 0.000000 (lebih kecil dari α). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa variabel independen (BI rate, inflasi, exchange rate, Dow Jones Industrial Average) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. c. Pengujian Signifikasi Parameter Individual (Uji t-statistik) Uji t-statistik menunjukkan sebera besar pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menjelaskan variabel dependen
85
dengan melihat nilai probabilitas. Derajat kepercayaan yang digunakan oleh peneliti sebesar α = 0.05. Dari hasil regresi panel fixed effect dapat memperlihatkan uji tstatistik sebagai berikut: 1) Hasil uji t-statistik untuk variabel suku bunga BI rate Variabel suku bunga BI rate pada hasil penelitian mempunyai nilai signifikan sebesar 0.0000 lebih kecil dari nilai alpha (α = 0.05). Maka memberikan penjelasan bahwa variabel BI rate memberikan pengaruh
signifikan
terhadap
harga
saham
syariah
sektor
manufaktur di ISSI. Sedangkan nilai koefisien yang bertanda negatif (-) menunjukkan bahwa BI rate berpengaruh secara negatif terhadap variabel harga saham syariah sektor manufaktur. Dengan demikian H1 berhasil diterima. Hal ini didukung oleh penelitian Deny Rohmanda yang menyatakan BI rate perpengaruh signifikan terhadap harga saham pada indeks sektor properti dan real estate, indeks sektor aneka industri, indeks sektor manufaktur, indeks sektor perdagangan, jasa dan investasi, indeks sektor perdagangan, dan indeks sektor keuangan. 2) Hasil uji t-statistik untuk variabel inflasi Variabel inflasi pada hasil penelitian menunjukkan nilai signifikan sebesar 0.9232 lebih besar dari nilai alpha (α = 0.05). Maka memberikan penjelasan bahwa variabel inflasi memberikan pengaruh tidak signifikan terhadap harga saham syariah sektor
86
manufaktur di ISSI. Sedangkan nilai koefisien yang bertanda negatif (-) menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh secara negatif terhadap variabel harga saham syariah sektor manufaktur. Dengan demikian, H2 ditolak. Hal ini didukung oleh penelitian Menike yang menyatakan bahwa secara parsial pada beberapa perusahaan, inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap harga saham di bursa Sri Lanka. 3) Hasil uji t-statistik untuk variabel kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah Variabel kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah pada hasil penelitian menunjukkan nilai signifikan sebesar 0.0000 lebih kecil dari nilai alpha (α = 0.05). Maka memberikan penjelasan bahwa variabel kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah memberikan pengaruh signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. Sedangkan nilai koefisien yang bertanda negatif (-) menunjukkan bahwa kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah berpengaruh secara negatif terhadap variabel harga saham syariah sektor manufaktur. Dengan demikian H3 berhasil diterima. Hal ini didukung oleh penelitian Ni Made dkk yang menyatakan nilai tukar secara parsial mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap IHSG.
87
4) Hasil uji t-statistik untuk variabel suku bunga Dow jones industrial average (DJIA) Variabel DJIA pada hasil penelitian mempunyai nilai signifikan sebesar 0.0000 lebih kecil dari nilai alpha (α = 0.05). Maka memberikan penjelasan bahwa variabel DJIA memberikan pengaruh
signifikan
terhadap
harga
saham
syariah
sektor
manufaktur di ISSI. Sedangkan nilai koefisien yang bertanda positif (+) menunjukkan bahwa DJIA berpengaruh secara positif terhadap variabel harga saham syariah sektor manufaktur. Dengan demikian H4 berhasil diterima. Hal ini didukung oleh penelitian Ni Made dkk yang menyatakan DJIA secara parsial mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG. 4. Interpretasi Hasil dan Pembahasan Dalam regresi panel dengan model fixed effect, diperoleh nilai koefisien regresi untuk setiap variabel dalam penelitian dengan persamaan sebagai berikut: Log(HS)
=
-2.539071
–
– +
– +e
a. Tingkat suku bunga BI rate terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI Dari hasil regresi didapatkan hasil bahwa suku bunga BI rate mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI selama periode Januari2011-Desember
88
2015. Koefisien regresi i sebesar – 12.55814 menyatakan bahwa setiap kenaikan suku bunga BI rate sebesar 1 satuan akan menurunkan harga saham syariah sektor manufaktur sebesar 12.55814 satuan jika inflasi, exchange rate dan DJIA dianggap nol. Tandelilin (2001) menyatakan bahwa, tingkat bunga yang tinggi merupakan sinyal negatif terhadap harga saham. Kenaikan tingkat bunga tersebut akan meningkatkan biaya modal yang harus ditanggung oleh perusahaan. Selain itu, kenaikan tingkat bunga menyebabkan return yang disyaratkan oleh investor terhadap investasinya juga harus meningkat.19 P
S
E RP 2500 Rp 2000 E1 D D1 6
7
Q
Gambar 4.1 Pergeseran Kurva Akibat Pengaruh BI Rate Terhadap Harga Saham Pada gambar di atas, dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran kurva permintaan dari D ke D1. Pergeseran tersebut dikarenakan terjadinya kenaikan BI rate yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ketika 19
Tandelilin, Eduardus. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA. 2001, hal: 212
89
BI rate naik, maka akan diikuti oleh naiknya suku bunga deposito. Kenaikan suku bunga deposito tersebut memberikan pengaruh terhadap daya tarik investor tinggi. Dengan demikian, investor akan berbondongbondong berinvestasi pada deposito termasuk investor pasar modal. Perpindahan investor pasar modal ke investasi deposito menyebabkan penurunan terhadap permintaan akan saham. Pada gambar 4.1, mula-mula titik keseimbangan permintaan dan penawaran saham terjadi pada titik E. Selanjutnya ketika BI rate naik, mengakibatkan jumlah permintaan saham menurun sedangkan jumlah penawaran relatif tetap. Sehingga pada grafik tersebut terjadi pergeseran kurva D ke D1 dan kurva S tetap pada keadaan semula. Kekuatan permintaan dan penawaran tersebut mengakibatkan bergesernya titik E ke E1 yang mengakibatkan harga mengalami penurunan. Tanggal 13 Juni 2013, RDG memutuskan menaikkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 6.0 persen dengan suku bunga deposit facility sebesar 4.25 persen dan suku bunga lending facility 6.75 persen. Kebijakan ini merupakan bauran kebijakan Bank Indonesia secara preemptive untuk merespon ekspektasi inflasi. Ekspektasi inflasi meningkat di karenakan rencara kebijakan subsidi BBM yang akan ditempuh pemerintah pada 22 Juni 2013. Ekspektasi masyarakat terhadap naiknya inflasi dimulai dari Mei 2013 yang ditandai dengan mulai menurunnya rata-rata harga saham syariah sektor manufaktur yang terdaftar di ISSI. Penurunan harga saham yang dikarenakan ekspektasi masyarakat
90
terhadap inflasi terus terjadi hingga ditetapkannya keputusan kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM tersebut menambah parah tingkat inflasi sehingga untuk merespon hal tersebut Bank Indonesia terus berusaha menjaga kestabilan perekonomian dengan menaikkan BI rate pada angka 7.5 persen. 35000
0.08
30000
0.07
Rupiah
25000
AMFG
0.06
DPNS
0.05
DVLA
20000 0.04 15000 10000
ALKA
EKAD IGAR
0.03
INAF
0.02
INDF INTP
5000
0.01
0
0
JPRS KAEF KBLM
Sumber : Finance yahoo dan Laporan BI Rate Bank Indonesia (data diolah)
Gambar 4.2 Grafik Pengaruh BI Rate Terhadap Harga Saham Syariah Sektor Manufaktur Di ISSI Pada grafik di atas dapat kita lihat bahwa secara garis besar BI rate berpengaruh negatif terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. Misal pada bulan September 2013 Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga BI rate. Ketika kebijakan terhadap suku bunga BI rate dinaikkan, maka akan direspon oleh suku bunga deposito
91
sehingga suku bunga deposito juga akan mengalami kenaikan. Ketika suku bunga mengalami kenaikan, return yang disyaratkan oleh investor dari suatu investasi akan meningkat. Dengan adanya kenaikan suku bunga deposito tersebut, maka investor pasar modal akan beralih kepada investasi deposito. Dengan berkurangnya permintaan terhadap saham sedangkan penawaran berada pada jumlah yang tetap, maka akan menurunkan harga saham. Selain itu, tingkat bunga yang tinggi akan meningkatkan biaya modal yang harus ditanggung oleh perusahaan. Dengan modal yang lebih besar maka laba yang didapatkan oleh perusahaan juga akan berkurang. Berkurangnya laba tersebut mengakibatkan nilai perusahaan menjadi buruk di mata investor. Dengan laba yang sedikit maka kemungkinan pembagian dividen juga semakin kecil. Dengan demikian maka kemungkinan investor untuk melirik perusahaan tersebut kecil. Sedangkan jika penawaran berada pada jumlah yang tetap sedangkan permintaan mengalami penurunan maka harga saham akan menurun. b. Inflasi terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI Dari hasil regresi diketahui bahwa inflasi memberikan pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI periode 2011:01 hingga 2015:12. Koefisien regresi inflasi sebesar -0.064961 menyatakan bahwa setiap kenaikan inflasi sebesar 1 satuan akan menurunkan harga saham syariah sektor
92
manufaktur sebesar 0.064961 satuan jika BI rate, exchange rate dan DJIA dianggap nol. Tandelilin
(2001)
menyatakan
bahwa
peningkatan
inflasi
merupakan sinyal negatif terhadap harga saham. Inflasi yang tinggi menyebabkan turunnya daya beli uang. Selain itu, inflasi yang tinggi dapat meningkatkan biaya produksi perusahaan dengan harga jual yang tidak sebanding sehingga profitabilitas perusahaan turun. Inflasi yang tinggi dapat mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor.20 P
S
E RP 2500 Rp 2000 E1 D D1 6
7
Q
Gambar 4.3 Pergeseran Kurva Akibat Pengaruh Inflasi Terhadap Harga Saham Pada gambar 4.3 di atas, dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran kurva permintaan dari D ke D1. Pergeseran tersebut Gdikarenakan terjadinya kenaikan inflasi. Kenaikan inflasi berarti terjadi kenaikan harga pada barang-barang secara umum. Kenaikan harga 20
Tandelilin, Eduardus. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA. 2001, hal: 212
93
tersebut menyebabkan naiknya biaya produksi oleh perusahaan. Dengan demikian, laba yang didapat perusahaan semakin kecil. Penurunan laba mengakibatkan investor enggan membeli saham karena mereka berpikir perusahaan tidak akan membagikan deviden. Penurunan permintaan saham tersebut mengakibatkan harga saham turun. Pada gambar 4.3, mula-mula titik keseimbangan permintaan dan penawaran saham terjadi pada titik E. Selanjutnya ketika inflasi naik, mengakibatkan jumlah permintaan saham menurun sedangkan jumlah penawaran relatif tetap. Sehingga pada grafik tersebut terjadi pergeseran kurva D ke D1 dan kurva S tetap pada keadaan semula. Kekuatan permintaan dan penawaran tersebut mengakibatkan bergesernya titik E ke E1 yang mengakibatkan harga mengalami penurunan. Pengaruh Inflasi Terhadap Harga Saham Syariah Sektor Manufaktur Di ISSI 35000
Rupiah
30000
0.100 0.090
ALKA
0.080
AMFG
25000
0.070
DPNS
20000
0.060 0.050
DVLA EKAD
15000
0.040
10000
0.030
IGAR
0.020
INAF
0.010
INDF
0.000
INTP
5000 0
JPRS
Sumber : Finance yahoo dan Laporan inflasi Bank Indonesia (data diolah)
Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Inflasi Terhadap Harga Saham Syariah Sektor Manufaktur Di ISSI
94
Pada gambar 4.4 di atas, inflasi berpengaruh negatif terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. Kebijakan yang ditetapkan pemerintah untuk menaikkan harga BBM mengakibatkan pada bulan Mei 2013 ekspektasi masyarakat terkait inflasi tinggi. Dengan demikian, terjadi kenaikan harga-harga barang. Kenaikan harga barang-barang tersebut mengakibatkan bertambah besarnya biaya operasional suatu perusahaan. Dengan bertambahnya biaya tersebut, mengakibatkan laba yang diperoleh oleh perusahaan akan menurun. Penurunan laba tersebut direspon buruk oleh investor karena investor berpikir bahwa kemungkinan perusahaan membagikan deviden menjadi kecil. Dengan demikian, permintaan akan saham menjadi menurun. Penurunan permintaan akan saham yang menurun sedangkan penawaran cenderung berada pada keadaan tetap akan mengakibatkan harga saham mengalami penurunan. Dari kenaikan inflasi tersebut sesuai dengan hipotesis kedua peneliti. Cosh-push inflation merupakan inflasi yang tidak wajar atau jarang terjadi. Dampak yang ditimbulkan dari inflasi ini berpengaruh ke berbagai bidang. Hal ini mengakibatkan investor akan berpikir ulang untuk melakukan investasi pada masa tersebut. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa inflasi berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. Sehingga bertentangan dengan penjelasan di atas.
95
Sesuai dengan kerangka ITF bahwa sasaran kebijakan Bank Indonesia adalah inflasi. Bank Indonesia telah merancang target inflasi tahunan sedemikian rupa dengan tujuan agar inflasi aktual tetap berada pada sasaran kestabilan perekonomian. Adapun data target inflasi dan aktual inflasi dari tahun 2011-2015 adalah sebagai berikut: Tabel 4.4 Target dan Aktualisai Inflasi Periode 2011-2015 Tahun 2011 2012 2013 2014 2015
Target Inflasi ± 5 persen ± 4.50 persen ± 4.50 persen ± 4.50 persen ± 4 persen
Aktualisasi Inflasi 3.79 persen 4.3 persen 8.38 persen 8.36 persen 3.35 persen
Sumber: BI.go.id (diakses pada 29 November 2016)
Dari tabel 4.7 di atas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2011, 2012 dan 2015 aktualisasi inflasi masih berjalan pada koridor target inflasi. Tahun 2015, angka inflasi tertinggi mencapai 7.3 persen dan angka terendah mencapai 3.4 persen. Namun pada tahun ini, kenaikan atau penurunan inflasi tidak berdampak signifikan terhadap harga saham.
96
50000
0.080
45000
0.070
AMFG
0.060
DPNS
30000
0.050
DVLA
25000
0.040
20000
0.030
INAF
0.020
INDF
40000
Rupiah
35000
15000 10000 5000
0.010
0
0.000
ALKA
EKAD IGAR
INTP JPRS KAEF KBLM
Sumber : Finance yahoo dan Laporan inflasi Bank Indonesia (data diolah)
Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Inflasi Terhadap Harga Saham Syariah Sektor Manufaktur Di ISSI Pada gambar 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa kenaikan ataupun penurunan inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur. Ketinggian inflasi pada bulan Juni hingga Agustus disebabkan oleh persiapan terhadap hari raya idhul fitri atau disebut juga demand full inflation. Keadaan tersebut selalu terjadi disetiap tahunnya sehingga tidak memperikan pengaruh signifikan terhadap investor untuk beralih ke investasi dalam bentuk yang lain. Kenaikan inflasi tersebut juga masih dianggap wajar terbukti bahwa inflasi berjalanan pada koridor target inflasi yang dibuktikan dari aktualisasi inflasi tahun 2015 tidak jauh dari target yang telah ditetapkan Bank Indonesia.
97
c. Kurs (dolar Amerika Serikat terhadap rupiah) terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI Dari hasil regresi ditemukan bahwa kurs dolar Amerika terhadap rupiah mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. Koefisien regresi ER sebesar – 0.758224 menyatakan bahwa setiap kenaikan kurs dolar Amerika serikat terhadap rupiah sebesar 1 satuan akan menurunkan harga saham syariah sektor manufaktur sebesar 0.758224 satuan jika BI rate, inflasi dan DJIA dianggap nol. Tandelilin (2001) menyatakan bahwa menguatnya kurs asing terhadap kurs rupiah merupakan sinyal negatif bagi perekonomian yang mengalami inflasi. Kenaikan kurs asing akan menaikan biaya impor bahan baku untuk produksi. Selain itu, kenaikan kurs asing terhadap rupiah dapat menaikkan suku bunga yang berlaku.21 P
S
E RP 2500 Rp 2000 E1 D D1 6
7
Q
Gambar 4.6 Pergeseran Kurva Akibat Pengaruh Kurs (Dolar AS Terhadap Rupiah) Terhadap Harga Saham 21
Tandelilin, Eduardus. Analisis Investasi dan Manajemen Potofolio, Edisi Pertama. Yogyakarta:BPFE-YOGYAKARTA. 2001, hal:213
98
Pada gambar 4.6 di atas, dapat dilihat bahwa terjadi pergeseran kurva permintaan dari D ke D1. Pergeseran permintaan tersebut dikarenakan terjadinya penguatan kurs dolar AS terhadap rupiah. Ketika kurs dolar AS terhadap rupiah menguat, investor akan lebih tertarik berinvestasi. Perpindahan ini mengakibatkan berkurangnya jumlah permintaan. Pada penawaran yang relatif sama sedangkan permintaan mengalami penurunan, maka harga akan mengalami penurunan. Perekonomian AS yang menunjukkan perbaikan dan berada dalam siklus yang meningkat menjadi motor pemulih ekonomi global. Normalisasi kebijakan moneter the Fed terus berlangsung dengan kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) mulai triwulan II-2015 sehingga mendorong apresiasi dolar AS yang kuat terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Adanya kebijakan tersebut meningkatkan risiko pembalikan modal asing dari emerging markets termasuk Indonesia. Pada November 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 0.21 persen (mtm) ke level Rp 12.2657 per dolar AS. Perbaikan neraca pembayaran dan terkendalinya inflasi tidak mampu mengimbangi kuatnya tekanan dolar AS terhadap rupiah.
99
Sumber : Finance yahoo dan Laporan inflasi Bank Indonesia (data diolah)
Gambar 4.7, Grafik Pengaruh Kurs (Dolar AS Terhadap Rupiah) Terhadap Harga Saham Syariah Sektor Manufaktur Di ISSI 2014:12 – 2015:12 Dari gambar 4.7 di atas, dapat dilihat bahwa kurs (dolar AS terhadap ruiah) berpengaruh negatif signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. Pernyataan FFR akan dinaikkan di triwulan kedua 2015 mengakibatkan bertambahnya permintaan dolar AS yang mengakibatkan semakin menguatnya dolar AS terhadap rupiah. Meskipun FFR belum terlaksana pada triwulan kedua 2015, namun permintaan dolar AS masih terus bertambah karena
mengantisipasi
keputusan kenaikan FFR oleh The Fed. Penguatan dolar AS sejalan dengan terus berlangsungnya penguatan dolar AS akibat rencana
100
Eroupean Central Bank (ECB) yang melakukan kebijakan pelonggaran moneter. Penguatan kurs dolar AS terhadap rupiah akibat aka dinaikkannya FFR mengakibatkan berpindahnya investor ke pasar valas. Hal ini mengakibatkan berkurangnya permintaan akan saham sedangkan penawaran terhadap saham relatif tetap. Dengan demikian, menyebabkan penurunan terhadap harga saham. Selain itu, penguatan dolar tersebut mengakibatkan biaya operasional perusahaan yang impor bahan baku ke Amerika
menjadi
mahal.
Kenaikan
biaya
operasional
tersebut
mengakibatkan semakin mengecilnya laba yang didapat oleh perusahaan. Dengan demikian, investor akan berpikir bahwa perusahaan tidak akan membagikan deviden. Hal ini mengakibatkan semakin berkurangnya permintaan akan saham. Ketika penawaran relatif tetap dan permintaan mengalami penurunan maka mengakibatkan menurunnya harga. d. Dow Jones Industrial Average terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI Dari hasil regresi ditemukan bahwa DJIA memberikan pengaruh positif signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. Koefisien regresi DJIA sebesar +1.829852 menyatakan bahwa setiap kenaikan DJIA sebesar 1 satuan akan menaikkan harga saham syariah sektor manufaktur sebesar 1.829852 satuan jika BI rate, inflasi dan exchange rate dianggap nol.
101
Samsul menyatakan bahwa kondisi perekonomial internasional berpengaruh positif terhadap harga saham antar Negara counterpart. Hal ini dikarenakan kondisi perekonomian Negara counterpart sangat berpengaruh terhadap kinerja emiten di masa mendatang. Selain itu, dalam pengambilan keputusan investor sering mengacu kepada bursa global.22 P
Rp 2500 Rp 2000 D1 D
6
7
Q
Gambar 4.8 Pergeseran Kurva Akibat Pengaruh DJIA Terhadap Harga Saham Pada gambar 4.8 di atas, terjadi pergeseran permintaan dari D ke D1. Pergeseran tersebut dikarenakan kenaikan harga saham pada DJIA. Ketika
DJIA
mengalami
kenaikan,
maka
menandakan
bahwa
perekonomian Amerika sedang menguat. Dengan demikian, investor akan berbondong-bondong membeli saham. Sehingga permintaan akan saham bergeser ke D1. Kenaikan permintaan tersebut dalam kondisi
22
Samsul, Mohamad. Pasar Modal dan Manajemen Portofolio. Jakarta:Erlangga. 2006, hal:200
102
penawara yang relatif tetap menjadikan harga saham mengalami kenaikan. Pada November 2014, tersebar isu bahwa The Fed akan menaikkan Fed Fund Rate (FFR) mulai triwulan II-2015. Dengan demikian investor Amerika menarik dananya dari investasinya di pasar modal baik di Amerika ataupun di Negara lain termasuk Indonesia untuk menginvestasikaannya pada perbankan. Adanya issu dalam jangka yang relatif lama tersebut mengakibatkan fluktuasinya harga saham di DJIA. Pada Agustus 2015, DJIA mengalami penurunan drastis akibat semakin besarnya ekspektasi masyarakat terhadap kebijakan The Fed dalam menaikkan Fed Fud Rate (FFR). 50000 45000
18500.00 ALKA 18000.00
40000 35000 Rupiah
30000
DPNS 17500.00 17000.00
15000
16500.00 16000.00
0
EKAD
INAF INDF INTP
10000 5000
DVLA
IGAR
25000 20000
AMFG
15500.00
JPRS KAEF
15000.00
KBLM KDSI
Sumber : Finance yahoo dan Laporan inflasi Bank Indonesia (data diolah)
Gambar 4.9 Grafik Pengaruh DJIA Terhadap Harga Saham Syariah Sektor Manufaktur Di ISSI
103
Pada gambar 4.9 di atas, dapat dilihat bahwa DJIA berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI. DJIA merupakan cerminan pergerakan ke 30 saham-saham top di Amerika, dimana ketiga puluh saham-saham tersebut merupakan saham top dunia. Sehingga pergerakan DJIA meski tidak secara keseluruhan dianggap sebagai representatif dari pergerakan bursa-bursa saham secara global. Hal ini menyebabkan investor sering mengacu kepada bursa global termasuk DJIA. Ketika terjadi kenaikan harga pada DJIA akan mengakibatkan terjadinya kenaikan permintaan saham di Indonesia karena perpikir bahwa keadaan pasar global sedang bagus. Kenaikan permintaan saham dengan penawaran relatif tetap mengakibatkan kenaikan harga pada saham syariah sektor manufaktur di ISSI. Kenaikan harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI pada akhir tahun yang tidak sejalan dengan harga saham pada DJIA disebabkan faktor internal negara Indonesia sendiri yaitu semakin menguatnya kurs rupiah akibat kebijakan pemerintah mengurangi jumlah impor dan menambah ekspor. Selain itu, terdapat hubungan yang kuat antara ekonomi Negara Amerika dengan Negara Indonesia yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor. Ketika suatu Negara melakukan ekspor ataupun impor, maka secara otomatis harga dari barang akan menganut dari Negara counterpart tersebut. Misal ketika Amerika mengalami inflasi, menyebabkan harga bahan baku untuk produksi perusahaan Amerika menjadi lebih mahal. Untuk mengimbangi kenaikan bahan baku tersebut
104
perusahaan menaikkan harga jual. Harga jual yang tinggi menyebabkan penurunan permintaan barang sehingga laba yang didapat juga kecil. Kecilnya laba perusahaan mengakibatkan berkurangnya minat investor untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut. Hal ini akan tercermin dari penurunan harga saham di DJIA. Sedangkan, Indonesia yang melakukan impor barang dari perusahaan Amerika akan terkena harga jual barang yang mahal pula. Sehingga mengakibatkan biaya operasional yang lebih besar dan terjadinya penurunan laba yang mengakibatkan minat investor menurun. Dengan demikian, penurunan DJIA diikuti pula penurunan harga saham syariah sektor manufaktur di ISSI.