perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi 1. Sejarah Palang Merah Internasional Sejarah lahirnya gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional adalah pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warganegara Swiss, Henry Dunant, berada di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai Kaisar Perancis, Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan medis militer tidak cukup untuk merawat 40.000 orang yang menjadi korban pertempuran tersebut. Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengerahkan bantuan untuk menolong mereka. Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah buku berjudul “Kenangan dari Solferino”, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan. Pertama, membentuk organisasi kemanusiaan internasional , yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang. Kedua, mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang commit to user
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
serta perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada waktu memberikan pertolongan pada saat perang. Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk mengembangkan gagasan pertama tersebut. Mereka bersama-sama membentuk “Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang cedera”, yang sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC). Dalam perkembangannya kelak untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara maka didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut yang sekarang disebut Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah. Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya “Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang”. Konvensi ini kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah . Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.
2. Sejarah Palang Merah Indonesia
Berdirinya Palang Merah di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak commit to user masa sebelum Perang Dunia Ke-II. Saat itu, tepatnya pada tanggal 21 Oktober 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1873 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Palang Merah di Indonesia dengan nama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai), yang kemudian dibubarkan pada saat pendudukan Jepang.
Perjuangan untuk mendirikan Palang Merah Indonesia sendiri diawali sekitar tahun 1932. Kegiatan tersebut dipelopori oleh Dr. RCL Senduk dan Dr Bahder Djohan. Rencana tersebut mendapat dukungan luas terutama dari kalangan terpelajar Indonesia. Mereka berusaha keras membawa rancangan tersebut ke dalam sidang Konferensi Nerkai pada tahun 1940 walaupun akhirnya ditolak mentah-mentah. Terpaksa rancangan itu disimpan untuk menunggu kesempatan yang tepat. Seperti tak kenal menyerah, saat pendudukan Jepang, mereka kembali mencoba untuk membentuk Badan Palang Merah Nasional, namun sekali lagi upaya itu mendapat halangan dari Pemerintah Tentara Jepang sehingga untuk kedua kalinya rancangan itu harus kembali disimpan.
Tujuh belas hari setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 3 September 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah untuk membentuk suatu badan Palang Merah Nasional. Atas perintah Presiden, maka Dr. Buntaran yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kabinet I, pada tanggal 5 September 1945 membentuk Panitia 5 yang terdiri dari: dr R. Mochtar (Ketua), dr. Bahder Djohan (Penulis), dan dr Djuhana, dr Marzuki, dr. Sitanala (anggota). Akhirnya Perhimpunan Palang Merah Indonesia berhasil dibentuk pada 17 September 1945 dan merintis kegiatannya commit to user
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melalui bantuan korban perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia dan pengembalian tawanan perang sekutu maupun Jepang.
Oleh karena kinerja tersebut, PMI mendapat pengakuan secara Internasional pada tahun 1950 dengan menjadi anggota Palang Merah Internasional dan disahkan keberadaannya secara nasional melalui Keppres No.25 tahun 1959 dan kemudian diperkuat dengan Keppres No.246 tahun 1963. Kini jaringan kerja PMI tersebar di 30 Daerah Propinsi / Tk.I dan 323 cabang di daerah Tk.II serta dukungan operasional 165 unit Transfusi Darah di seluruh Indonesia.
3. Sejarah PMI Kota Surakarta
(Sumber : dokumen di ambil dari website PMI Surakarta) commit to user Gambar IV.1
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PMI Kota Surakarta merupakan salah satu dari 5 PMI Pelopor yakni Surabaya, Jogyakarta, Semarang dan Bandung yang berdiri 7 bulan setelah PMI Pusat berdiri. Di ketuai pertama kali oleh dr. KRT. Padmonegoro. Sejak berdirinya PMI kota Surakarta telah mengalami perpindahan beberapa kali. Pada tahun 1946 – 1949 bermarkas di hotel Yuliana yang sekarang telah menjadi markas Polisi Militer. Pada tahun 1949 – 1951 di nDalem Padmonegaran yang merupakan kediaman dari dr. KRT. Padmonegoro yang berada di jalan Veteran Gading, pada tahun 1951 – 1977 di gedung Societiet Surakarta ( Sekarang menjadi Monumen Pers Surakarta ). Kemudian pada tahun 1977 – 1986 di komplek RSU Moewardi Kota Surakarta dan pada akhirnya pada tahun 1986 hingga sekarang di Jalan Kol. Soetarto No 58, Jebres, Surakarta. PMI Kota Surakarta pada saat ini di ketuai oleh Bapak Susanto Tjokrosoekarno untuk periode 2011-2016. Dalam kesehariannya PMI Kota Surakarta terbagi menjadi dua bagian yakni UDD ( Unit Donor Darah ) dan Unit Markas yang keduanya saling bahu – membahu dalam melaksanakan kegiatan kepalangmerahan dengan SDM Sebanyak 126 Orang dan diperkuat oleh Relawan Sebanyak 8.299 Orang meliputi Tenaga Sukarela 239 Orang, Korps Sukarela 606 Orang,
PMR
6.264
Orang,
Pembina
PMR
&
Pelatih
1.053
Orang
(http://www.pmisolo.or.id/sejarah/). Pengabdian untuk kemanusiaan dengan berpijak pada prinsip-prinsip dasar gerakan PalangMerah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
commit to user
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Visi Palang Merah Indonesia menjadi Organisasi Kemanusiaan yang Profesional, tanggap dan dicintai masyarakat b. Misi 1. Menguatkan dan mengembangkan organisasi 2. Meningkatkan dan mengembangkan Kualitas SDM 3. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kepalangmerahan. 4. Mengembangkan kegiatan Kepalangmerahan yang berbasis masyarakat 5. Meningkatkan dan mengembangkan jejaring kerjasama. 6. Menyebarluaskan, mengadvokasi dan melaksanakan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta Hukum Perikemanusiaan Internasional 7. Mengembangkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Kepalangmerahan
c. Tujuan Meringankan penderitaan sesama manusia apapun sebabnya dengan tidak membedakan agama, bangsa, suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa. d. Tujuh Prinsip Dasar 1. Kemanusiaan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional didirikan berdasarkan keinginan memberi pertolongan tanpa membedakan korban commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terluka didalam pertempuran, berupaya dalam kemampuan bangsa dan antar bangsa, mencegah dan mengatasi penderitaan sesama. 2. Kesamaan Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar kebangsaan, kesukuan,
agama/kepercayaan,
tingkatan,
atau
pandangan
politik.
Tujuannya semata-mata hanyalah mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan mendahulukan keadaan. 3. Kenetralan Agar senantiasa mendapatkan kepercayaan dari semua pihak, gerakan ini tidak memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama, atau ideologi. 4. Kemandirian Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan nasional disamping membantu pemerintahnya dalam bidang kemanusiaan juga harus menaati peraturan negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat sejalan dengan gerakan ini. 5. Kesukarelaan Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apapun. 6. Kesatuan Didalam suatu negara hanya ada satu gerakan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan diseluruh wilayah. commit to user
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Kesemestaan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah bersifat semesta. Setiap perhimpunan mempunyai hak dan tanggung jawab yang
sama
didalam
menolong
sesama
manusia.
(http://www.pmisolo.or.id/visi-misi-prinsip-dasar/) PMI
Kota
pengembangan seluruh
Surakarta demi
senantiasa
memberikan
melakukan
perbaikan
pelayanan
prima
dan
kepada
masyarakat yang menderita terutama kepada yang kurang
beruntung secara ekonomi. Sebagai organisasi yang telah mendapatkan sertifikat ISO 9001- 2008, kami berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik. Sesuai dengan visi yang kami emban yakni menjadi organisasi kemanusiaan yang profesional, tanggap dan dicintai masyarakat. Kami mengajak saudara menjadi mitra untuk bersama–sama membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya berbagi dan terus meningkatkan kepedulian sosial serta menjadikannya budaya yang melekat erat pada pribadi kita masing-masing. 8. Pengurus Berikut susunan pengurus PMI Kota Surakarta periode 2011-2016
Ketua : H. Susanto Tjokrosoekarno
Wakil Ketua I : Drs. H. Sunardi, MM
Wakil Ketua II : Drs. HM.Adib Ajiputra, MM
Wakil Ketua III : dr. H. Purnomo Dwi Putro, M.Kes
Wakil Ketua IV : Priyo Hadisutanto commit to user
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sekretaris : Sumartono Hadinoto
Bendahara : Drs. KGPH. Dipo Kusumo
Anggota : Prof. Dr. dr. A. A. Subiyanto, MS
Anggota : H. Handojo Leksono, SH
Anggota : S. Haryanto, MT
Anggota : M. Farid Sunarto, SPd (http://www.pmisolo.or.id/)
9. Kontak Jl. Kol. Sutarto 58 Jebres, Surakarta, Indonesia 57126. Phone : +62 271 646 505. Fax : +62 271 664 881. Email :
[email protected] Web : pmisolo.or.id (http://www.pmisolo.or.id/)
4. Sejarah Griya PMI Peduli Surakarta Griya PMI Peduli Surakarta menjadi program unggulan PMI Kota Surakarta yang membedakan dengan PMI lainnya di Indonesia. Palang Merah Indonesia (PMI) kembali membuka program kemanusiaan yang tidak hanya berfokus pada darah dan aksi cepat tanggap terhadap bencana alam namun sudah merambah pada isu kemanusiaan seperti orang dengan gangguan jiwa yang terlantar di jalan. Griya PMI Peduli, terinspirasi dari Jami’in seorang tukang batu di Jombang yang dengan jiwa kemanusiaannya menampung dan mengurusi lebih dari 200 orang gila, PMI Berangkat dari niat untuk lebih meringankan penderitaan sesama mencontoh apa yang dilakukan pak jami’in dengan mendirikan Griya PMI commit to user Peduli untuk menampung orang gila yang terlantar.Griya PMI Peduli yang 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beralamat di Jl Sumbing Raya mertoudan Mojosongo ini sejak peletakan batu pertama tanggal 19 September 2011 yang lalu oleh mensos baru mulai beroperasi bulan maret 2012. Dengan SDM sebanyak 15 orang. Dan berdasarkan data yang dimilki oleh Griya PMI Peduli saat ini sudah memilik warga (sebutan pasien di Griya PMI Peduli) sebanyak 157 Orang terdiri dari putri 46 orang dan putra 111 orang. 53 diantaranya telah dipertemukan kembali kepada keluarganya masing – masing yang mana jumlah ini dapat terus meningkat setiap harinya. (http://www.pmisolo.or.id/griya-pmi-peduli/) Griya PMI Peduli Surakarta berdiri diatas tanah milik PMI Kota Surakarta dan memiliki kapasitas mencapai 200 orang. 90% warga yang di tampung oleh Griya PMI Peduli Surakarta merupakan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang terlantar di jalan, hidup menggelandang dan hilang dalam jangka waktu yang panjang, mereka di tangkap oleh satpol pp untuk di bawa ke dinas sosial yang kemudian oleh dinas sosial di titipkan di Griya PMI Peduli Surakarta untuk mendapatkan perawatan dengan harapan mereka dapat kembali sehat dan bisa berkumpul dengan keluarga. Selain itu, 10% warga lainnya berasal dari masyarakat yang peduli terhadap orang dengan gangguan jiwa yang melaporkan orang dengan gangguan jiwa yang terlantar di jalan atau tetangganya yang kurang mampu dan kesulitan merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa sehingga dititipkan di Griya PMI Peduli menjadi pilihan bijak mengingat perawatan dan upaya pemulihan oleh tenaga medis disini sangat diperhatikan. commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Program ini tidak akan terwujud dan berkembang tanpa dukungan dari seluruh masyarakat, oleh karena itu PMI Kota Surakarta tidak bosan-bosanya mengajak seluruh masyarakat untuk lebih peduli sesama dengan mengajak masyarakat
turut
aktif
berkontribusi
di
dompet
kemanusiaan
dengan
menyumbangkan sebagian hartanya yang salah satunya diperuntukan untuk mereka yang mengalami gangguan jiwa dan terlantar. Di Griya PMI Peduli Warga akan di berikan perawatan baik medis maupun spiritual dengan pendekatan rohani, sehingga diharapkan dapat memberikan perubahan yang positif. Selain itu, Griya PMI Peduli juga memberikan keterampilan kepada mereka yang sudah membaik secara kejiwaan seperti keterampilan dalam kewirausahaan, kesenian, olah raga, dan tata boga. Adapun pengobatan 111 orang gila telantar yang menjadi binaan Griya Palang Merah Indonesia (PMI) Peduli Solo kini masih bergantung kepada bantuan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Solo. Hal itu disebabkan warga Griya PMI Peduli yang masih belum terkover Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS menjadi penting guna memudahkan mereka mengakses fasilitas kesehatan seperti kontrol rutin kesehatan jiwa maupun fisik dan mengakses obat-obatan yang dibutuhkan mengingat mereka akan minum obat seumur hidup demi menjaga kestabilan jiwanya. Selama ini, kontrol dan akses obat-obatan warga Griya PMI Peduli Surakarta masih perlu menunggu rekomendasi dari Dinsosnakertrans. Setiap daerah sudah didorong mendaftarkan orang gila telantar dalam commit to user BPJS pascapemberlakuan program itu awal 2014. Selain mempercepat akses 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesehatan, pasien luar kota dapat dijamin pelayanan yang setara. Hal ini lantaran Dinsosnakertrans tak lagi berwenang mengalokasi dana bagi warga binaan yang tidak ber-KTP Solo.Sejumlah orang gila dan telantar di Griya PMI berasal dari luar
kota.
(http://www.madiunpos.com/2015/06/27/bpjs-kesehatan-111-warga-
binaan-griya-pmi-belum-terdaftar-bpjs-618596) Di
samping bantuan
Pemkot,
Griya
PMI
Peduli
Surakarta
mengandalkan santunan dari donatur maupun dompet kemanusiaan PMI. Bantuan-bantuan ini sangat membantu jika ada warga binaan yang sakit dan membutuhkan penanganan mendesak. Rata-rata warga binaan sudah memiliki emosi yang stabil dan tidak agresif. Apabila sikap agresif pasien kambuh, akan ditindaklanjuti dengan penanganan tenaga medis ahli di RSJ Kota Surakarta dan jika keadaan sudah membaik akan dipulangkan ke Griya PMI Peduli sebagai rumah mereka yang terlantar. Dan sampai dengan saat ini telah ada 50 orang yang keluar dari griya ini,sembuh dan bisa beraktifitas layaknya orang normal.Dengan keterbatasan dana,pengurus PMI mempunyai berbagai strategi untuk bisa mengumpulkan dana,dimana dibutuhkan Rp.500.000,- /orang/bulan sebagai biaya hidup. (http://www.surakarta.go.id/konten/komisi-ix-dpr-ri-kunjungi-griya-pmi-peduli) PMI Solo mengambil orang gila di jalanan. Tanpa memandang asal daerah, orang gila tersebut kemudian dibawa ke Griya PMI Peduli untuk dirawat. PMI Solo juga menerima orang gila hasil razia pemerintah Surakarta. Di Griya PMI Peduli, orang gila tersebut dibersihkan, dimandikan, diberi makan, dan diajak commit to user
102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bicara. Jika perlu pengobatan, sudah ada tim dokter dan obat-obat yang diperlukan. Pasien juga menjalani pengobatan secara spiritual seperti ruqyah, diajak
beraktivitas
seperti
senam
pagi
dan
jalan
kaki.
(http://gaya.tempo.co/read/news/2014/10/31/060618580/griya-pmi-solosembuhkan-50-persen-pasien-gila) Rata-rata pasien yang dibawa ke Griya PMI itu sakit jiwa karena masalah ekonomi. Para pasien, berasal dari wilayah Kota Solo dan sekitarnya yang ditemukan langsung oleh petugas PMI ataupun yang diserahkan oleh pihak keluarga kepada Griya PMI. Para penderita gangguan jiwa tersebut selanjutnya dirawat secara medis dan secara religi (pendekatan agama), sehingga pasien akan mudah disembuhkan. Dirinya pun mengatakan ada beberapa pasien yang sulit untuk disembuhkan, sehingga pihak Griya PMI harus merujuknya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk penanganan lebih lanjut. (Solopos, Selasa (25/12/2012). Setiap pasien yang ditangani di Griya PMI tersebut tidak dipungut biaya sedikitpun karena pembiayaan ditanggung dengan menggunakan dana dari PMI. Selain itu ada beberapa donatur tetap yang senantiasa membantu untuk proses penyembuhan orang gila tersebut. Harapannya adalah semakin banyak pasien dari Griya PMI yang dapat disembuhkan dan bisa menikmati kehidupannya bersama keluarganya. Sedikitnya, pada tahun 2014, sudah ada 106 penderita gangguan kejiwaan telah dirawat di tempat rehabilitasi tersebut. Sekitar 50 penderita di antaranya sudah dipulangkan karena dinyatakan sudah sembuh. Untuk biaya commit to user
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
operasionalnya, dibutuhkan sekitar Rp 500 ribu per penderita tiap bulannya. Secara keseluruhan, anggaran yang dikeluarkan sekitar Rp 53 juta per bulan. (http://www.timlo.net/baca/62661/griya-pmi-peduli-solo-dikunjungi-komisi-ixdpr-ri/) B. Hasil Penelitian 1. Sakit Fisik dan Sakit Jiwa Sebelum membahas lebih lanjut mengenai definisi sakit dan sehat, kita harus bisa membedakan terlebih dahulu perbedaan istilah penyakit (Disease) dengan keadaan sakit (illness). Karena penyakit dan keadaan sakit memiliki definisi yang berbeda. Istilah penyakit berbeda dengan keadaan sakit (illness). Penyakit dimaksud sebagai suatu konsepsi medis menyangkut suatu keadaan tubuh yang tidak normal karena sebab-sebab tertentu yang dapat diketahui dari tanda-tanda dan gejala-gejala (sign and symptons) oleh para ahli. Keadaan sakit (ilness) dimaksudkan sebagai perasaan pribadi seseorang yang merasa kesehatannya terganggu, yang tampak dari keluhan sakit yang dirasakannya, seperti tidak enak badan dan lain sebagainya. Dengan demikian ada kemungkinan seseorang dinyatakan dalam keadaan sakit tanpa mengidap suatu penyakit atau sebaliknya, ia mengidap suatu penyakit tanpa merasa dirinya sedang dalam keadaan sakit. (Fauzi Muzahan, hal 179: 1995) Dari definisi tersebut kita dapat mengetahui bahwa penyakit hanyalah konsepsi medis yang digunakan untuk menjelaskan keadaan tubuh yang tidak normal atau seperti biasanya diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu seperti virus, sistem kekebalan tubuh maupun faktor lingkungan sosial masyarakat yang lebih lanjut dapat diketahui dengan membaca tanda-tanda dan gejala-gejala (sign and symptons) oleh para ahli. Sedangkan keadaan sakit (ilness) diartikan sebagai commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perasaan pribadi seseorang yang merasa kesehatannya terganggu, yang tampak dari keluhan sakit yang dirasakannya, seperti tidak enak badan dan lain sebagainya namun belum dinyatakan sakit oleh para ahli seperti dokter. Dengan demikian ada kemungkinan seseorang dinyatakan dalam keadaan sakit tanpa mengidap suatu penyakit atau sebaliknya, ia mengidap suatu penyakit tanpa merasa dirinya sedang dalam keadaan sakit. “suatu kondisi di mana tubuh kita tidak sedang terganggu atau terinfeksi oleh penyakit.” (Siswandi, 29 Juni 2015) Dari pernyataan tersebut dapat kita ketahui bahwa relawan pasif memiliki konsepsi yang sama tentang definisi sakit, kondisi dimana tubuh yang tidak berjalan normal karena ada gangguan atau infeksi virus penyakit sedangkan sehat merupakan kondisi dimana tubuh bekerja dengan baik tanpa ada gangguan maupun infeksi virus yang melemahkan daya tahan tubuh. Hal ini juga di dukung oleh pernyataan salah satu informan berikut: “orang yang bisa melakukan rutinitas keseharian secara normal atau seperti biasa. Secara fisik tidak terganggu. Lalu hasil check up bulanannya memang sehat.” (Gilar, 27 Juni 2015) Maka dari dua definisi di atas dapat kita ketahui bahwa keadaan sakit di pandang informan sebagai sesuatu yang menggangu kondisi tubuh, dan berada dalam kondisi yang tidak normal. Sedangkan seseorang dinyatakan sehat harus diperkuat dengan pernyataan dokter. Dokter memiliki peran yang besar dan di anggap ahli yang terpercaya untuk memberikan penilaian terhadap kesehatan seseorang. Termasuk kesehatan jiwa seseorang. commit to user
105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan informan memandang bahwa kondisi sehat adalah kondisi yang tidak hanya sehat secara fisik namun juga sehat secara psikis. Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Menurut definisi inilah, seseorang dapat dikatakan sehat jika seluruh aspek yang ada dalam dirinya tidak terganggu baik itu aspek sosial yakni kehidupan bermasyarakat, aspek mental yang berkaitan dengan psikis, dan aspek fisik dengan tidak terjadinya gangguan fungsi dan sistem organ dalam tubuhnya. Dan apabila salah satu diantara ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi, maka seseorang tidak dapat dikatakan sehat sebagaimana mestinya yang seharusnya jika fisiknya sehat, maka mental (jiwa) dan sosialpun sehat, demikian pula sebaliknya, jika mentalnya terganggu atau sakit, maka fisik dan sosialnyapun akan sakit. Dan hal ini di perkuat oleh pernyataan dua informan di bawah ini. “sakit juga ada dua, sakit fisik ketika sakit yang nampak, yang bisa dirasakan atau bisa dideteksi oleh klinis /medis. Sakit psikis, tadi, orang yang kurang bahagia, orang yang kurang bahagia bisa menyebabkan stress, permasalahan banyak. Dampaknya bisa luas sakit psikis ini.” (Gilar, 29 Juni 2015)
Informan yang diwawancarai menyatakan bahwa keadaan sakit ada dua, sakit secara fisik dan sakit secara psikis. Sakit secara fisik adalah sakit yang nampak karena ada perubahan kondisi tubuh. Sedangkan sakit secara psikis merupakan sakit karena problematika kehidupan sosial.Jika seseorang mengalami sakit psikis dan diakibatkan oleh keadaan sosial maka disebut psikososial, namun commit to user
106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketika seseorang telah kehilangan akal sehatnya maka ia dikatakan mengalami gangguan jiwa atau masyarakat mengenal dengan istilah gila. “sehat ada 2, jasmani dan rohani. menurut saya orang gila memiliki gangguan di mental dan psikis.” (Arum, 28 Juni 2015) Baik sakit secara psikis maupun fisik, keduanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan medis dengan di tangani oleh ahli keehatan seperti dokter. Dokter pun di bagi menjadi dua, dokter penyakit fisik dan dokter penyakit jiwa. Dan hal ini akan mengantarkan pada penjelasan tentang Orang Dengan Skizofrenia. Orang Dengan Skizofrenia (ODS) merasa bahwa dirinya hidup seperti manusia pada umumnya, mereka sehat dan merasa bahwa halusinasi yang mereka rasakan adalah suatu keadaan yang normal, realitas yang nyata dan bukan suatu penyakit. Halusinasi itu menjadi realitas yang mereka terima, dan mereka merespon halusinasi tersebut selayaknya individu merespon panggilan yang mereka terima. Namun menurut dunia medis, skizofrenia adalah bagain dari penyakit jiwa. Orang yang mengidap skizofrenia dipandang sebagai orang yang kehilangan kesehatan jiwanya, dan dinyatakan dalam kondisi sakit. “Yang berhak memberikan label kepada mereka adalah dokter jiwa. Kita konsultasikan gejala- gejala pasien kepada dokter jiwa dan dokter akan mengdiagnosis pasien tersebut, termasuk yang menentukkan kesembuhan si pasien.” (Yayak, 25 Juni 2015) Dokter memiliki peran besar dalam menentukan diagnosa tentang penyakit seseorang. Hal ini di pertegas oleh pernyataan informan di atas yang merupakan seorang perawat Orang Dengan Skizofrenia (ODS).
commit to user
107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Sumber : Dokumentasi Pribadi) Gambar IV.2 Lansia Dengan Gangguan Jiwa Di Griya Pmi Peduli Surakarta
Menurut Dadang Hawari (2006) kata skizofrenia pertama kali didefenisikan pada tahun 1908 oleh ahli psikiatri Swiss, Eugen Bleuer, yang mendeskripsikan bahwa, skizofrenia merupakan sekumpulan gangguan mental yang dikarakteristikkan sebagai pikiran (phrenia) yang pecah (schizo). Konsep skizofrenia Bleur didasarkan pada gangguan jiwa yang disebut demensia prekoks oleh ahli psikiatri Jerman, Emil Kraepelin, pada 1896. Perawat Griya PMI Peduli yang menjadi informan juga turut menyatakan bahwa yang berhak memutuskan sehat atau ga nya yaitu dokter di Rumah Sakit Jiwa (RSJ). “Dokter, iya kalau kita gabisa ini.Kita kan tiap ini kan di kontrolin di RSJ, yang bisa memutuskan sehat atau ga nya kan tetep dokter.” (Septi, 28 Juni 2015) commit to user
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal ini diperkuat dengan pernyataan dokter sekaligus menjabat sebagai pimpinan Griya PMI Peduli Surakarta yang menangani Orang Dengan Skizofrenia (ODS) di Solo bahwa dokter memiliki kuasa untuk menyatakan kesehatan jiwa warga binaannya. “Dilihat dari Komunikasinya ada timbal baik atau tidak, mampu merespon dgn baik, dan riwayatnya seperti apa, dan kita juga kontrolkan ke RSJ. Dan dokternya spesialis jiwa yang menyatakan mereka ODGJ atau tidak.” (Gatot, 30 Juni 2015) Dokter Gatot menyatakan bahwa Griya PMI Peduli Surakarta hanya menilik riwayat dan perilaku keseharian dari warga yang ditemukannya terlantar di jalan, kontrol rutin ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Surakarta dan pemeriksaan dokter dilakukan untuk kemudian menentukan warganya menderita gangguan jiwa atau tidak. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang valid dari para ahli kejiwaan yakni dokter spesialis gangguan jiwa. Orang menanggapi keadaan sakit dan mengembangkan kategori keadaan itu secara sistematis sesuai dengan pengertiannya mengenai suatu keadaan dan menemukan cara menanggulanginya. Istilah penyakit dalam arti fisiologis dan klinis digunakan dokter untuk menafsirkan atau mengobati keadaan sakit yang dikemukakan pasiennya. Dokter spesialis gangguan jiwa memiliki Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ)
yang merujuk pada standard dan system
pengkodean dari International Classification of Disease (ICD-10) dan system multiaksis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA) dan ICD yang commit to user
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikeluarkan oleh WHO. Hal ini di perkuat dengan pernyataan dari psikolog tentang caranya menentukan kesehatan jiwa seseorang yang mengacu pada PPDGJ. PPDGJ III menempatkan skizofrenia pada kode F20. “Dan apa sih indikator kita mendiagnosa seseorang terkena schizofrenia? Perlu kita ketahui schizofrenia adalah waham, halusinasi merupakan salah satu sindrom dari schizofrenia. Parameter yang digunakan adalah dengan beberap cara. Tapi diluar caranya semua mengacu kepada PPDGJ.” (Nugraha, 29 Juni 2015) Dan masyarakat juga berpendapat yang sama di buktikan oleh pernyataan informan penelitian ini yang merupakan aktivis kesehatan jiwa di komunitas Griya Schizofren Solo yang merasa bahwa dokter dan psikolog yang lebih tahu dan kompeten dalam mendiagnosa kesehatan jiwa seseorang. “yang berhak dokter sebenarnya, lalu psikiater/psikolog. Kalau orang biasa saya kira kurang tepat, karena belum tentu tau sakit jiwa atau sakit psikis. Mungkin aja dia sakit psikis saja, mungkin juga stress. Jadi menurut saya yang pantas mengatakan adalah orang yang kompeten di bidang itu.” (Gilar, 27 Juni 2015) Jadi Istilah penyakit umumnya dimengerti oleh kalangan ilmuwan seperti yang ditunjukan dalam kamus Oxford yakni Suatu kondisi tubuh atau bagian dari tubuh yang mengalami kerusakan (tidak berfungsi), mengakibatkan kondisi tubuh sakit. Seperti Hayu, Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang kondisinya dinyatakan membaik oleh dokter dan sudah bekerja kembali di Griya Bahagia Mojosongo, Surakarta yang merasakan memori ingatannya tidak berfungsi dan membuatnya mendapat pengobatan dengan EST. “tapi kalau habis di est kalau tidur ngiler terus kepalanya pusing gitu, kaya memorinya yang tadinya ada jadi ilang. Pokoknya aku kalau sakit itu bingung, ga ngamuk, ga marah, tapi nangis.” (Hayu, 7 Juli 2015) commit to user
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keadaan sakit (illness) ditujukan terhadap kualitas dari keadaan sakit itu sendiri, meliputi: 1. Keadaan moral yang buruk “Rasanya kaya gitu tadi, kaya dunia itu sempit, ada orang jahat terus aku juga merasa jahat, merasa nyakitin banyak orang, padahal aku ga ngapa-ngapain tapi aku ngerasa kaya gitu.” (Hayu, 7 Juli 2015) 2. Perasaan tidak nyaman, tidak senang, kesukaran, tidak aman, perasaan sakit hati, perasaan kekurangan “Perasaan. Aku minta maaf terus, padahal ga ngapa-ngapain. Kalau udah berada dalam situasi kaya gitu, mau ilang, mau keluar dari perasaan kaya gitu susah banget. Terus gitu aku jadi ga ngurus anak ku gitu.” (Hayu, 7 Juli 2015) 3. Kondisi tubuh yang tidak sehat, sakit, atau berpenyakit. “Kalau sakit paling pusing karena dia berangan-angan dan berandaiandai yang ga-ga, paling pusing kepalanya. Aku kalau tanya mbak wulan, baik-baik aja, jawabnya pusing mbak. Tapi kalau aku ga. Kalau aku, eeeee lebih ke apa ya, ga bisa diceritain, kalau raganya ga sakit. Cuma perasaan doang rasanya gelisah. Cuma harga diri rendah dan halusinasi.” (Hayu, 7 Juli 2015) Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa penyakit (desease) menunjukan sesuatu yang objektif dan terlihat dari adanya suatu yang rusak, sedangkan keadaan sakit (ilness) lebih bersifat subjektif dan berkaitan dengan akibat dari proses penyakit. Untuk mengatakan bahwa seseorang sakit, terdapat keadaan yang menunjukan ketidakberfungsiannya suatu organ yang mempunyai akibat terhadap keadaan fisik dan biologis, serta mempengaruhi kehidupan sosialnya. Mengalami sakit tidak hanya berarti adanya perubahan biologis, akan tetapi keadaan sosial yang tampak dari adanya penyimpangan yang terjadi dan commit to user tidak dikehendaki. Seperti yang di alami oleh Hayu, sakitnya berdampak 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hilangnya suport dan kepercayaan dari keluarga karena gangguan jiwanya mengantarkan Hayu mendapatkan perawatan dari Rumah Sakit Jiwa hingga tujuh kali dan di anggap tidak bisa sembuh oleh kakak kandungnya. Dan berdampak pada kehidupan rumah tangganya yang berujung pada perceraian karena sakit yang tidak dikehendakinya tersebut. “Waktu berangkat kuliah, aku yang nyetir temenku di belakang, aku lupa arah jalan ke kuliah terus akhirnya di gantiin sama temenku. Jadi memorinya udah ilang karena di est, akhirnya hayu kamu turun aja, kamu dibelakang biar aku yng nyetir, gitu kata temenku. Itu pas tahun 2001 dan kelahiranku tahun 82, umur 19 atau 20 tahun gitu. Habis itu kambuh lagi pas mau punya suami, bingung lagi. Pokoknya aku kalau sakit itu bingung, ga ngamuk, ga marah, tapi nangis. , Serasa dunia itu sempit, terus banyak orang yang jahat di luar sana yang mau menyakiti orang-orang yang aku sayangi. Itu halusinasi, tapi kaya nyata. Kaya aku sama keluargaku sama orang-orang yang aku sayangi, yang beriman dan bertakwa sama Allah ada yang nyakitin, tapi sakitnya itu bukan sakit dohir, sakit biasa, sakit di gunaguna.” (Hayu, 7 Juli 2015) Kemudian Hayu melanjutkan bahwa bisikan itu terasa nyata dan mempengaruhi dirinya begitu kuat yang tidak dipahami oleh orang lain. Seperti penuturannya di bawah ini: “Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho, padahal sebenernya aku kan ga sakit, takut, paranoid takut yang berlebihan. Mau gerakin tangan aja tu takut, liat orang ada di luar dari jendela di RSj yang jendelanya gede-gede liat orang lewat itu takut. Jadi adanya Cuma menutup diri terus tiduran sama tutup bantal karena merasanya hayu kamu kalau ada di RSJ kamu itu kalah, kamu pisah sama anak-anakmu, anak-anakmu sedih jadi kaya ada kesempatan untuk wake up, bangun, untuk jadi orang yang normal ga sakit jiwa lagi tapi aku tu ragu-ragu.” (Hayu, 7 Juli 2015) commit to user
112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Konflik batinnya semakin kuat dan tekanan dari keluarga karena hilangnya kepercayaan semakin membuatnya sering masuk Rumah Sakit Jiwa yang disisi lain membuatnya semangat untuk membuktikan bahwa dirinya bisa sembuh. “Jadi akhirnya aku jadi orang yang sakit lagi, disalahkan sama keluarga. Kan keluargaku sampe saat ini dukungan keluarga nol. Iya jadi karena udah setiap kali masuk ke RSJ jadi aku udah ga percaya kalau aku bisa sembuh gitu, sampe segitunya. Kakak ku bilang gini, “aku wes ga percaya sama kamu, kamu kalau udah kumat itu sampe berkali-kali. Jadi aku udah ga ada rasa percaya sama kamu, gitu.” Tapi aku ini terus bangkit, pokoknya aku ga boleh kalah, aku ga boleh kalah sama sakit ini.”(Hayu, 7 Juli 2015) Dengan demikian keadaan sakit (ilness) ditujukan terhadap perubahan perasaan yang nyata (symptoms) akan tetapi dialami oleh penderita secara nyata, yang seringkali dilebih-lebihkan secara subjektif. Tujuan dalam karangan bagian ini adalah memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi pengertian masyarakat tentang keadaan sakit (illness), pengobatan oleh dokter dan yang mempengaruhi orang sakit. Orang mungkin merasa sakit dan setuju untuk mengambil suatu tindakan tertentu seperti istirahat atau mengobati sendiri, akan tetapi mereka tidak menyatakan bahwa keadaan sakit yang dialami memerlukan bantuan para ahli. “Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho, padahal sebenernya aku kan ga sakit....” (Hayu, 7 Juli 2015) Fauzi Muzaham berpendapat bahwa kebanyakan episode sakit dimulai dengan commit to user cara itu. Pertama-tama keadaan sakit dianggap ringan dan diatasi dengan cara-cara 113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nonprofesional dan baru setelah beberapa waktu kemudian mencari pertolongan pada yang ahli dan saat itulah orang sakit tersebut mempunyai peranan sakit begaimana dikemukakan oleh Parsons (1951). “awalnya dulu ga sakit, dia gapapa. Terus nemu keris di sungai, terus diungkal/diasah. Sebelum sakit itu keponakan saya cerita kalao Doni bermimpi. Dia bermimpi ditemui orang dengan sorban putih, baju putih berjenggot. Dia menyuruh Doni makan kayu Donoloyo. Nah habis mimpi itu sikapnya aneh-aneh, barang dirumah dikeluarin, di siram air, pokoknya rumah harus bersih. Terus selama tiga tahun baju panjang yang dia pake ga pernah dilepas, jadi tidur dibasahi semua bajunya. Terus kayak semedi di tengah sungai lho mbak, malem-malem. Saya takut, apalagi kalau sungai pas banjir, takut dia hanyut, tapi ya enggak. Semedi pake iketan kepala gitu juga. Kalau bajunya/jaket di sembunyikan pasti tahu terus mencari kalau ga ketemu ngamuk. Terus pernah berdiri sampai kakinya bengkak ya selama itu. Sudah empat tahun mbak, sakitnya sudah lama, sampai kuning-kuning semua. Gara-gara berdiri terus, gamau bicara, terus dibawa ke RSJ sama RT dan pihak keluarga.”(Endah, 27 Juni 2015) Perbedaan antara penyakit dengan keadaan sakit dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Lingkaran paling luar, orang melaporkan bahwa mereka tidak mempunyai gejala penyakit adalah orang yang menganggap dirinya sehat. “awalnya dulu ga sakit, dia gapapa. Terus nemu keris di sungai, terus diungkal/diasah. Sebelum sakit itu keponakan saya cerita kalao Doni bermimpi. Dia bermimpi ditemui orang dengan sorban putih, baju putih berjenggot. Dia menyuruh Doni makan kayu Donoloyo.” (Endah, 27 Juni 2015) 2. Lingkaran berikutnya, orang merasa mengidap suatu penyakit tetapi tidak mengambil suatu tindakan untuk menanggulanginya. “Nah habis mimpi itu sikapnya aneh-aneh, barang dirumah dikeluarin, di siram air, pokoknya rumah harus bersih. Terus selama tiga tahun baju panjang yang dia pake ga pernah dilepas, jadi tidur dibasahi semua bajunya. Terus kayak semedi di tengah sungai lho mbak, malem-malem. Saya takut, apalagi kalau sungai pas banjir, takut dia hanyut, tapi ya enggak. Semedi pake iketan kepala gitu juga. commit to user Kalau bajunya/jaket di sembunyikan pasti tahu terus mencari kalau
114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ga ketemu ngamuk. Terus pernah berdiri sampai kakinya bengkak ya selama itu. Sudah empat tahun mbak, sakitnya sudah lama, sampai kuning-kuning semua.” (Endah, 27 Juni 2015) 3. Pada lingkaran berikutnya, terdapat orang-Orang yang menganggap dirinya berada dalam keadaan sakit dan mengambil tindakan non medis untuk menanggulanginya. “...Kalau pergi ga mbalik, pernah waktu itu pergi terus kesasar sampai kampus UNS dua hari tersesat di kampus, ibuk sampai mencari-cari. Ketemune setelah sodara saya yg ngojek di kampus ketemu. Habis itu dibawa ke PMI, di situ pendeta saya datang juga ke sana, ngajak ngomong, terus dibukakan alkitab suruh baca, awalnya gamau baca, eh ga diduga setelah itu dia mau ngomong...” (Endah, 27 Juni 2015) 4. Pada lingkaran terakhir adalah orang-orang yang mengambil tindakan dengan minta pertolongan dokter, yakni orang-orang yang menaganggap dirinya atau diagnosis dari orang lain dalam keadaan sakit dan mereka itu tidak sanggup menjalankan pekerjaan secara normal dan ditegaskan oleh dokter bahwa mereka sakit. “Sudah empat tahun mbak, sakitnya sudah lama, sampai kuningkuning semua. Gara-gara berdiri terus, gamau bicara, terus dibawa ke RSJ sama RT dan pihak keluarga. Di sana cuma 12 hari terus diambil, kita ga tega, dia pengen pulang. Setelah itu sudah bagus, tapi aneh-aneh lagi.” (Endah, 27 Juni 2015) Jadi sehat lahiriah dan batiniah (jasmani dan rohani) merupakan citacita setiap orang. Setiap manusia mengharapkan memiliki kesehatan jasmani dan rohani, karena tanpa keduanya maka aktivitas dan produktivitas akan terganggu. Seperti Informan dalam penelitian ini yang bernama Hayu dan Doni (Orang Dengan Skizofrenia) yang kehilangan pekerjaan dan kesulitan mendapatkan commit to userpsikisnya pernah terganggu dan pekerjaan karena riwayatnya yang kesehatan
115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara tidak langsung mengganggu produktivitasnya. Karena relawan pasif memandang kriteria sehat pun secara holistik, tidak bisa hanya dari satu sisi saja, melainkan berbagai segi yang ikut berperan dalam menentukan seseorang itu dianggap sehat, terlebih sehat secara psikologis (mental). “Normal beda, kalau sehat itu aku nilainya sehat itu kondisi apa yaa? Eee lebih ke fisik kayanya, kalau normal itu ke psikis. Sehat? Kalau fisiknya mungkin ada, kalau orang gila kan macem-macem ya, ada yang sehat ada yang ga. Yang jelas orang gila itu ga normal secara ini, apa namanya, psikologinya.” (Juwita, 30 Juni 2015)
Maka kesimpulannya adalah setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang pemahaman sakit. Dalam hal ini sakit di bedakan menjadi dua hal yakni sakit fisik dan sakit jiwa. Orang bisa dikatakan sehat secara psikologis akan bersentuhan terhadap beberapa aspek yang melingkupinya mencakup sehat secara fisik (jasmani) dan sehat secara psikis (rohani). Jika seseorang tidak memilki kesehatan fisik karena ada gangguan, cidera atau virus maka dikatakan sebagai sakit fisik. Jika tidak memiliki keduanya atau tidak memiliki kesehatan psikis (rohani) sekalipun fisiknya sehat akan di nilai sebagai orang dengan sakit jiwa oleh masyarakat. Maka sehingga orang yang memiliki keduanya dapat dikatakan sehat secara utuh, yang akan mengantarkan pada pembahasan normal dan abnormal seperti gangguan kejiwaan pada bagian berikutnya Tabel IV.1 Matrik Pandangan Mengenai Sakit Fisik dan Sakit Jiwa Nama Informan
Sakit Fisik
Dokter
- keadaan gangguan commit to userpada fisik tetapi bukan 116
Gangguan Jiwa (Sakit Jiwa) -Sakit jiwa adalah kondisi dimana komunikasinya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyakit psikotik jika tidak mengalami gangguan pada psikis.
Perawat
Aktivis
tidak berjalan dengan baik karena tidak ada hubungan timbal balik -tidak mampu merespon orang di sekitarnya dengan baik. - harus meminum obat seumur hidup - indikator medis untuk menentukan diagnosa gangguan jiwa mengacu pada PPDGJ dan DSM. -Sakit adalah kebalikan -Orang yang tidak bisa dari definisi sehat. mengorientasikan hal -Sehat adalah kemampuan yang sederhana tentang menikmati hidup, dapat dirinya, tidak mampu makan, minum, dan melakukan kegiatan yang beraktifitas tanpa runtut, malas mandi, dan gangguan fisik. Selain itu enggan menjaga bisa berfikir positif dan kebersihan dirinya. merasa berbahagia. -Memiliki waham, Perilaku orang sehat halusinasi atau bisikan adalah memiliki yang hanya di pahami keteraturan kegiatan oleh dirinya sendiri. dalam hidupnya yang -Perilaku melamun, menjadi rutinitas. menyendiri, dan enggan bersosialisasi dalam jangka waktu yang lama. -Emosi yang tidak stabil dan terkadang terlihat membahayakan baik dirinya maupun untuk orang lain. Sakit adalah Sakit jiwa tidak bisa ketidakmampuan untuk merasakan bahagia. melakukan aktifitas dasar. Tidak berfikir sesuai Tidak sehat secara realita. jasmani. Memiliki gangguan Merasa anggota tubuhnya mental dan psikis. ada yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya Sakit secara rohani. (sakit) yang tidak berfungsi atau commit to user bermasalah.
117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Memiliki penyakit yang terdeteksi oleh medis. Sakit bagi keluarga adalah kebalikan dari definisi sehat. Definisi sehat bagi keluarga adalah bisa melakukan aktifitas dan bekerja.
Keluarga
Relawan Pasif
Bagi masyarakat, kondisi sakit adalah terinfeksi suatu penyakit atau mengalami gangguan fisik.
Orang Dengan Skizofrenia
Bagi orang dengan schizofrenia adalah ketika mereka kehilangan memori ingatan, merasa bingung, pusing, dan juga sakit kepala.
Sakit jiwa adalah perubahan perilaku menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya, seperti pendiam, mudah marah, hilang ingatan, merasa bingung, emosi tidak stabil, curiga, bicara sendiri, ketakutan, menarik diri, melamun, komunikasi tidak lancar dan seperti dirasuki makhluk gaib. Sakit jiwa adalah bertingkah laku aneh di luar nilai dan norma serta kebiasaan di luar masyarakat, menakutkan, jiwanya menyimpang, berbicara ngelantur, tuidak dpat mengontrol emosi, tatapan kosong, di luar realita, mempunyai dunia sendiri. Orang dengan schizofrenia tidak merasa mengalami sakit jiwa. Apa yang di rasakan di anggap sesuatu pada lazimnya, namun tidak di mengerti oleh orang lain dan di anggap mengadaada.
2. NORMALITAS DAN GANGGUAN KEJIWAAN Hingga saat ini pembicaraan telah dipusatkan hampir secara esklusif pada cara-cara bagaimana keadaan sakit ditafsirkan dan diperkuat secara beraneka commit to user awam pada umumnya. Dokter ragam oleh orang yang sakit dan masyarakat
118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memainkan suatu peranan berkenaan dengan definisi sosila mengenai keadaan sakit.. Dokter yang menentukan dalam mengabsahkan (legitimating) keadaan sakit seseorang. Peranan moral dokter ini dalam mengabsahkan kesakitan berati mengabsahkan ketidakhadiran seseorang dalam kegiatan-kegiatan pokok seperti sekolah dan pekerjaan (Fauzi, 1995). Penelitian dan pembicaraan mengenai gangguan mental menghasilkan kesimpulan-kesimpulan dan tafsiran-tafsiran yang membingungkan dan sulit untuk disistemtisasikan, sulit untuk mendapat pengertian yang tepat dan cermat mengenai tipe penyakit ini. Sesungguhnya telah ada perdebatan, apakah perkataan penyakit dalam hal ini pantas digunakan (Begelman, 1971; Davis, 1970; Gove, 1970 ; Sarbin, 1967; Scheff, 1966,1974 ; Bing, 1973 dalam Fauzi, 1995). Perkataan penyakit pada orang-orang yang mengalami gangguan mental menjadikan orang dengan gangguan mental seperti momok yang menular dan membahayakan. Hal ini juga menimpa pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang dimana banyak masyarakat menganggap bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit menular. “Untuk pasien Griya sendiri, terkendala staf terbatas. Setelah dikembalikan kekeluarga kita tidak memiliki kontrol. Jadi kemungkinan ada stigma negatif masyarakat yang masih beranggapan bahwa ODGJ dapat menular.”(Yayak, 25 Juni 2015) Jika dibandingkan dengan penyakit lainnya, gangguan mental menimbulkan banyak masalah dalam penafsirannya dan banyak tindakan yang harus diambil oleh dokter maupun orang awam sebelum memberikan pernyataan commit tomental user atau tida mengingat dampaknya seseorang termasuk mengalami gangguan
119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang besar baik bagi orang yang bersangkutan maupun kehidupan sosial masyarakatnya. “Yang memiliki wewenang untuk mengatakan sesorang menderita schizofrenia adalah psikiater, dan psikolog.” (Nugraha, 29 Juni 2015) Penyakit seperti ini adalah penyakit yang dapat dikatakan tidak dipengaruhi oleh proses perkembangan penyakit, sedangkan faktor sosial, terutama yang berhubungan dengan pemberian label atau stigma bahwa seseorang itu mengalami gangguan mental lah yang sangat berpengaruh. “Selalu orang penderita schizofrenia disebabkan oleh faktor keturunan dan juga faktor psikososialnya. Banyak teori yang mengatakan tentang penyebab schizofrenia sehingga susah untuk men-generalisir apa penyebab seseorang terkena schizofrenia. Karena semua hal dikehidupan kita dapat memicu hal tersebut. entah itu maslah cinta, ekonomi, sekolah dsb.” (Nugraha, 29 Juni 2015) Gangguan mental adalah penyakit jangka panjang dan datangnya secara tiba-tiba, tidak seorangpun mampu memprediksinya. Untuk Orang Dengan Skizofrenia (ODS), penyakit ini lebih besar di pengaruhi oleh kehidupan sosial masyarakatnya, bukan karena penularan penyakit atau bencana alam dan sudah di perkuat dari pernyataan informan di atas yang merupakan seorang psikolog. Bahwa semua problem dalam hidup bisa memicu seseorang untuk menderita skizofrenia. “Salah satu alasan timbulnya ketidakjelasan dan kesulitan adalah gagalnya peserta dalam perdebatan mendapatkan pengertian yang memadai tentang kondisi yang berkaitan dengan gangguan mental itu. Kondisi tersebut termasuk adanya gangguan psikosis yang amat berat (Misalnya, schizophrenia). Psikosomatis, ketegangan, depresi, dan neurosis. Tipe-tipe terakhir ini, walaupun terasa sangat mengganggu namun berbeda dengan kondisi psikosis. Sebenernya gangguan mental tidak begitu parah, penderita commit to user hanya mengeluh tentang gejalagejala yang sering kali terjadi (Menangis, sering merasa lelah, takut 120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meninggalkan rumah, tidak puas dengan hubungan seks, merasa sering terganggu) dan kurang lebih sama dengan gejala-gejala penyakit lain. Perbedaan utama adalah gangguan mental ditandai dengan kesukaran-kesukaran emosianal, bukan gangguan fisik. Maka sebagain besar gangguan mental dapat diartikan sebagai penyakit yang tidak menimbulkan cacat fisik.” (Fauzi Muzaham, 1995) Dan hal ini di perkuat dengan pernyataan informan di bawah ini yang menyatakan bahwa Orang Dengan Skizofrenia terlihat sehat secara fisik,namun yang tidak sehat adalah kejiwaannya. “orang gila kalau secara pribadi fisiknya sehat tapi jiwanya yang tidak sehat.” (Siswandi, 30 Juni 2015) Terkait dengan pengertian kesehatan mental, Zakiyah Darajat (1975) mengemukakan, bahwa kesehatan mental adalah “Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsifungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya”. (Zakiyah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), hlm. 10-11) Hal ini juga dinyatakan oleh informan dalam penelitian ini, salah satu penyebab orang yang menderita sakit psikis seperti skizofrenia terjadi karena banyaknya permasalahan yang berdampak pada psikisnya dan Orang Dengan Skizofrenia (ODS) pada suatu waktu tidak sanggup menghadapi problem-problem yang biasa terjadi tersebut. “sakit juga ada dua, sakit fisik ketika sakit yang Nampak, yang bisa dirasakan atau bisa dideteksi oleh klinis /medis. Sakit psikis, tadi, orang yang kurang bahagia, orang yang kurang bahagia bisa menyebabkan stress, permasalahan banyak. Dampaknya bisa luas sakit psikis ini.” (Gilar, 27 Juni 2015)
commit to user
121
perpustakaan.uns.ac.id
Dan menyebabkan
digilib.uns.ac.id
ketidakharmonisan
antara
fungsi-fingsi
jiwa
ketidakmampuannya
untuk
merasakan
secara
tersebut positif
kebahagiaan.Karena kebahagiaan merupakan ciri kesehatan psikis seseorang. “sehat ada sehat fisik dan psikis. Fisik tentu sehat dalam hal gizi, dengan makan tiga kali sehari, mandi dua kali sehari, dan yg penting kita ga menderita sakit secara fisik. Sehat psikis adalah ketika kita bisa merasakan kebahagiaan, kebahagiaan bisa diperoleh di mana saja.” (Gilar, 27 Juni 2015) Fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup, harus dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain, sehingga dapat dikatakan adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan bimbang serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Karena Orang Dengan Skizofrenia kerap sekali mengalami konflik batin dalam dirinya dan konflik batin terhadap perlakuan orang di sekitarnya seperti yang terjadi pada Hayu dalam pernyataan di bawah ini: “Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho, padahal sebenernya aku kan ga sakit, takut, paranoid takut yang berlebihan.” (Hayu, 7 Juli 2015) Bisikan-bisikan itu menjadikan Hayu mengalami konflik batin karena merasa setiap kali dimasukan keluarganya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) ia dalam posisi kalah dan tak berdaya padahal ia merasa tidak sakit apa-apa dan tidak perlu mendapatkan perawatan dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Dalam pembicaraan ini penulis mengutamakan bentuk-bentuk psikosis yang parah dari gangguan mental. Bentuk-bentuk ini menunjukan pengaruh commit to user proses-proses sosial terhadap pengertian tentang gangguan jiwa. Dan juga 122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ternyata, gangguan mental seperti inilah yang langsung terbayang di fikiran orang waktu ia mendengar atau menggunakan istilah gangguan mental tersebut yakni masalah gangguan jiwa. Apa yang dinamakan gangguan jiwa seringkali timbul karena tidak terpenuhinya harapan-harapan social (social expectation). Penderita tidak berhasil memenuhi harapan dalam hal-hal yang dianggap wajar dan normal oleh orang-orang lain. “Kalau mbak wulan, kamu tau ga mbak wulan lari? Itukan ini, dia waham kebesaran, dia ngerasanya mantunya Pak SBY, isterinya agus harimurti, isteri yang pertama itu mbak wulan, isteri yang kedua itu anisa pohan. Anaknya hamengkubuwono. Waham kebesaran namanya” (Hayu, 7 Juli 2015) Dari pernyataan informan di atas, tampak jelas bahwa realitas yang dimiliki Mbak Wulan yang menderita skizofrenia menyalahi realitas sosial. Seperti yang telah masyarakat umum ketahui bahwa isteri dari Agus Harimurti Yudhoyono yang merupakan menantu perempuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah Anisa Pohan, namun Mbak Wulan memiliki realitas yang berbeda, ia merasa bahwa Anisa Pohan lah yang merebut suaminya. Dalam hal ini terlihat bahwa Mbak Wulan tidak bisa memenuhi ekspektasi publik yang masyarakat inginkan adalah Mbak Wulan menjalani peran sesuai dengan statusnya. Mbak Wulan sebagai penderita skizofrenia dianggap tidak berhasil memenuhi harapan dalam hal-hal yang dianggap wajar dan normal oleh orangorang lain. Seperti uraian informan di bawah ini yang merupakan perawat di Griya PMI Peduli. “Kondisi dimana seseorang menganggap dirinya sebagai orang lain sudah tidak bisa membedakan dirinya. contohnya mbak wulan yang commit to user
123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengangap dirinya sebagai menantunya pak SBY, dia merasa anisa pohan telah merebut suaminya.” (Yayak, 25 Juni 2015) Menjadi tidak normal seperti masyarakat pada umumnya ketika seseorang menganggap dirinya sebagai orang lain dan tidak bisa lagi mengenali mana realitas dirinya yang sesungguhnya. Orang Dengan Skizofrenia hidup dengan realitasnya sendiri dan menyalahi realitas yang sebenarnya terjadi. Menjadi tidak normal ketika Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) termasuk penderita skizofrenia yang keluar dari kebiasaan masyarakat. Sejatinya masyarakat sudah memiliki definisi normalitas di konstruksi berfikirnya yang mengacu pada nilai dan norma yang telah di sepakati dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari bernama kebiasaan. “Orang memandang dia ada dalam area normal, perilaku umum, tidak menyimpang, dia bisa membedakan perilaku yang baik dan buruk, dan dia melakukan sesuatu yang baik.” (Rahesli, 25 Juni 2015) “Contohnya adalah Antari. Salah satu pasien yang paling muda di Griya PMI Peduli. Ketika di bawa ke Griya PMI usianya 16 tahun. Namun sekarang kondisinya semakin buruk. Dia tidak mau memakai baju. Baru lima menit setelah mandi, bajunya sudah di lepas lagi. Hal ini karena indikasi kekerasan seksual yang pernah di alaminya”. (Yayak, 25 Juni 2015) Pernyataan sosiolog yang menjadi informan dalam hal ini dapat dideskripsikan bahwa orang yang normal adalah orang yang bisa membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk sedangkan Orang Dengan Skizofrenia (ODS) sudah kehilangan kemampuannya untuk membedakan hal tersebut dikarenakan mereka sakit yang menyebabkan emosi mereka pun tidak stabil. Begitupun dengan penuturan Mbak Yayak sebagai perawat di Griya PMI Peduli yang membenarkan bahwa perilaku mereka berbeda dengan masyarakat commit to user
124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada kesehariannya misalnya dalam kesadaran mengenakan pakaian untuk menutupi kemaluan karena mereka mengalami gangguan dalam psikisnya. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita skizofrenia umumnya mengalami ketidakseimbangan pada cairan kimia otak, khususnya ketidakseimbangan pada dua jenis cairan kimia otak, yakni dopamin dan serotinin. Dopamin adalah cairan yang bertanggung jawab terhadap emosi dan motivasi, sedangkan serotonin bertindak sebagai pembawa berita dan stimulator gerakan – gerakan otot dan saraf. Otak pada penderita skizofrenia mengalami peningkatan pada aktivitas serotonin dan dopamin ini. Beberapa studi lain menunjukkan skizofrenia disebabkan oleh adanya infeksi virus pada otak, juga bisa bersifat keturunan. (Simanjuntak, 2008). Dari penelitian di atas, dapat kita ketahui bahwa ada kelainan pada sistem otak Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Ketidakseimbangan pada cairan otak yang dialami penderita skizofrenia pada umumnya menyebabkan perbedaan perilaku pada dirinya dengan masyarakat kebanyakan yang ini dikatakan di luar nalar atau tidak normal seperti perihal kebersihan. “Perilaku mereka sehari- hari di Griya PMI yang menyebabkan mereka di anggap gila adalah menyakiti dirinya sendiri, mengurung diri, disuruh melakukan sesuatu tidak mau, ketika di tanya orientasinya beda, ini menunjukkan bentuk kegilaan mereka. Sudah bisa dilihat dengan jelas perbedaan antara orang yang normal dengan orang yang gangguan jiwa. Contohnya dari segi kebersihan diri, bisa terlihat jelas perbedaannya antara orang yang gangguan jiwa dengan orang yang normal. Perilaku yang sering ditunjukkan orang dengan gangguan jiwa juga salah satunya adalah memakai baju terbalik dan selalu mengutarakan pertanyaan- pertanyaan yang sama berulang kali. Ini menunjukkan orientasi yang sangat jelek.” (Yayak, 25 Juni 2015) Di Griya PMI Peduli, mayoritas warga yang di rawat karena gangguan jiwa kehilangan kesadaran untuk menjaga kebersihannya sendiri. Mereka bisa hidup dengan kondisi yang tidak bersih, bau, dan kotor karena perilaku mereka sendiri yang buang air kecil di celana, malas keramas sehingga rambut mereka penuh kutu dan menular antara warga yang satu dengan warga yang lain, dan commit to user
125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebiasaan hidup bersih lainnya seperti mandi teratur dua kali sehari yang harus di ajak berkali-kali oleh perawat jika jam mandi tiba. Karena mereka tidak bisa merawat dirinya inilah yang akhirnya membedakan mereka dengan masyarakat pada umumnya yang mencintai kebersihan diri dan lingkungan, memiliki kesadaran untuk merawat kebersihan diri dan melakukan semua itu tanpa perlu di suruh orang lain karena sudah menjadi rutinitas yang biasa dilakukan namun hal ini tidak dilakukan oleh Orang Dengan Skizofrenia (ODS) pada umumnya yang menderita gangguan jiwa. “Orang gila adalah orang yang tidak bisa mengorientasikan dirinya sendiri. Orang gangguan jiwa adalah orang yang tidak bisa merawat dirinya. Bentuk tidak bisa merawat dirinya sendiri seperti mandi, makan yang merupakan bentuk kegiatan personal kegiatan seharihari. Orang dengan gangguan jiwa harus di oyak- oyak ketika di suruh mandi. Ciri khas utama orang dengan gangguan jiwa adalah tidak mau mandi” (Yayak, 25 Juni 2015) Di mata psikolog yang menjadi informan dalam penelitian ini, sesuatu di luar kebiasan orang lain yang menjadikan mereka dianggap di luar normalitas oleh masyarakat seperti penuturan di bawah ini : “Ada beberapa sudut pandang. Satu dari sudut pandang statistik contoh ketika yang lain makan nasi dia makan besi, ketika seseorang merasa terganggu dengan dirinya sendiri, atau membahayakan orang lain dan masih banyak yang lainya.” (Nugraha, 29 Juni 2015) Karena banyak dari penderita skizofrenia dengan waham paranoid misalnya yang mereka melakukan kebiasaan di luar tata cara yang dilakukan masyarakat misalnya makan dengan tangan. Seperti yang dinyatakan oleh informan yang tetangganya menderita gangguan jiwa di bawah ini: “kalau makan kalau gacommit masakan ibuknya ga mau mbak, pasti tanya itu to user masakan siapa. kalau makan sampai njlimet mbak, dilihatin dulu 126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sampai beneran baru dimakan. kalau minum ya harus gelasnya dia, yang nyuci gelas juga harus dia. Nyuci baju ya ibuknya.” (Tri Wulandari, 27 Juni 2015) Dimana Supri merasa bahwa makanan yang bisa dipercaya untuk di makan hanya makanan ibunya itu pun harus di lihat sampai benar-benar detail setelah percaya baru mau di makan. Supri merasa bahwa makanan yang lain ada kumannya dan Supri sendiri lah yang harus mencuci gelasnya hingga berkali-kali untuk melindungi dirinya. Supri merupakan Orang Dengan Skizofrenia (ODS) dengan waham paranoid atau ketakutan yang berlebih. Menurut PPDGJ III Skizofrenia paranoid memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia, dengan adanya waham dan atau halusinasi yang menonjol, adanya gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif katatonik secara relatif tidak nyata/menonjol. Hal inilah yang telah diteliti secara medis menyebabkan perilaku Orang Dengan Skizofrenia (ODS) seperti Supri berbeda dengan masyarakat umum yang tidak menderita skizofrenia. Berbeda dengan Supri, Kakak nya Supri mengisahkan tetangganya yang lain yang juga mengalami gangguan jiwa. Jika orang normal pada umumnya memilih tidur di rumahnya sendiri, ia memilih rumah orang lain yang menjadi tempatnya memejamkan mata dan enggan untuk tidur di rumah sendiri. Hal inilah yang dikatakan tidak normal oleh masyarakat, hal-hal di luar kebiasaan pada umumnya atau di luar kesepakatan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. “dia ngga mau tidur di rumah. Tidurnya di tempat orang”(Tri Wulandari, 27 Juni 2015) commit to user
127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Atau Doni yang merasa lumutan mulutnya karena makan kayu donoloyo, kayu yang di percaya kayu orang mati. Hal ini menyebabkan Doni kerap membuka mulutnya karena merasa gatal dan mulutnya di penuhi lumut yang hal ini di luar kebiasaan masyarakat. Masyarakat memahami konsep lumut itu bukan untuk anggota tubuh tapi untuk benda misalnya kayu atau batu yang bisa lumutan. Selain itu perilaku Doni yang mencuci kabel-kabel listrik di rumahnya, membakar televisi, menggunting kabel televisi dengan tujuan untuk mainan di anggap bukan perilaku yang normal oleh keluarga, menjadi hal yang tidak wajar dilakukan oleh orang dewasa seperti Doni. Lalu TV itu dibakar, diguntingin kayak anak kecil buat mainan itu. lha iya punya TV, CD diguntingin sama Doni, terus listrik itu dicuci pake air, untung ga kesetrum kan, itu waktu dulunya itu.Yang saya masih heran itu ya dia makan kayu Donoloyo itu, kayu donoloyo kan kayu orang mati, lha dia disuruh makan itu. Kadang juga mangap-mangap, kalau saya tanya kenapa dia bilang mulutnya lumutan gitu. Kan ya ada benernya, orang kalau dia makan kayu di sungai kan kayu-kayu berlumut. Dia bilangnya lumutan, gatal bibirnya, padahal ga ada apa apa. (Endah, 27 Juni 2015) Masyarakat yang tidak pernah hidup bersama dengan orang yang mengalami gangguan jiwa hanya melihat dari fenomena yang tidak sengaja mereka temui di jalan ketika orang dengan gangguan jiwa hidup menggelandang dan
terlantar
juga
memiliki
konstruksi
berfikir
yang
sama
tentang
ketidaknormalan perilaku orang-orang dengan gangguan jiwa. Seperti pernyataan dari informan di bawah ini: “orang yang melakukan kebiasaan yang dilakukan pada umumnya. Contohnya ya tadi, kalau keluar pake baju, kalau ngobrol ya ada orang yang diajak ngobrol dan nyambung.” (Siswandi, 30 Juni 2015) commit to user
128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ukuran normal bagi Siswandi adalah ketika seseorang melakukan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya seperti kemampuan untuk menangkap pembicaraan dan menjawab sesuai dengan topik yang dibicarakan oleh lawan bicaranya, mengenakan busana ketika keluar dari rumah karena di Griya PMI Peduli pun ada yang tidak mau mengenakan pakaian tanpa orang tersebut mau menjelaskan apa yang dirasakan dan alasannya tidak mau menggunakan pakaian. Dan akhirnya menggunakan pakaian ketika perawat yang memakaikannya. Sedang definisi normal untuk aktivis yang peduli terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) seperti arum adalah kemampuan berfikir sesuai realita dengan bisa membedakan mana hal yang nyata dan mana yang hanya ada dalam khayalannya saja. “normal secara psikis, berprilaku sesuai kenyataan. Berfikir sesuai realita. Mana nyata mana bukan. Ini nyata itu khayalan.” (Arum, 28 Juni 2015) Dan definisi normal menurutu Gilar yang juga aktivis peduli gangguan jiwa di Griya Schizofren adalah sebagai berikut ini: “definisi normal menurut saya yang penting ga melenceng dari jalur, sama dengan kebenaran, definisi normal dalam hal ini adalah kebenaran publik, yang menurut saya normal adalah ketika kita melakukan suatu hal yang dianggap mainstream oleh suatu kelompok dalam masyarakat. Jadi tidak semua masyarakat mengakui normal, tetapi ada kelompok yang menganggap itu normal, yaudah itu saya anggap normal.” (Gilar, 27 Juni 2015) Hal ini juga merupakan faktor penting dalam memadukan anggapan terhadap seseorang yang sakit fisik. Namun ada perbedaannya yang pokok. Dalam hubungannya
dengan
sakit
fisik,
persoalannya
adalah
sekitar
rasa
commit to user sesuatu walaupun ia dan orangketidaksanggupan seseorang untuk melakukan
129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang lain tahu bahwa sebenarnya ia sanggup melakukannya. Dalam gangguan mental persoalannya adalah ketidaksanggupan si penderita untuk mengerti bahwa ia memang tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat dianggap wajar oleh orang lain, walaupun seringkali si penderita sadar penuh atas kekurangannya ini. Dia bukan saja tidak dapat melakukannya tetapi tingkah lakunya tidak wajar pula. “Orang normal adalah orang yang bisa mengorientasikan dirinya sendiri. Ketika di tanya sesuatu maka jawabannya sesuai dengan apa yang ditanyakan. Itu yang menjadi ciri orang normal. Sedangkan orang yang tidak normal adalah orang yang ketika ditanya, orientasi jawabannya tidak berhubungan dengan apa yang di tanyakan. Komunikasinya tidak jelas kemana arahnya. Kondisi inilah yang terjadi pada orang gangguan jiwa yang ada di Griya PMI Peduli.” (Yayak, 25 Juni 2015) “ditanya sudah makan apa belum ya dijawab. Sudah bisa ngobrol mbak, kadang juga kayak anak kecil mbak, jadi harus dikasih tau, diajarin kalau mau gini ya gini, dia kan mungkin lupa.” (Sutiyem, 27 Juni 2015) Kalau pada gangguan fisik orang itu tidak dapat melakukan sesuatu, pada gangguan mental apa yang dianggap wajar itu dilanggarnya. Maka akibatnya harus ada rasa pengertian yang mendalam dalam menyimpulkan tingkah laku dan kepribadian orang yang mengalami gangguan mental. Karena mereka melakukan tingkah laku yang salah, maka ada kecenderungan untuk memberi anggapan bahwa hal itu disebabkan oelh kepribadian yang salah atau rusak. Terutama dalam tahap-tahap awal penginterpretasian, tingkah laku yang kemudian dianggap sebagai akibat dari gangguan mental seringkali dihubungkan dengan sifat-sifat perorangan misalnya perasaan dengki atau iri hati (Yarrow, 1955). Perbedaannya dengan mereka yang sakit fisik bukan saja pada cara commit to user atau bagaimana mereka yang mengalami gangguan mental bertindak sesuai
130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan apa yang kita anggap wajar. Namun pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan adalah lebih mendasar dan fundamental seperti apa yang dikemukakakn oleh Scheff: “Banyak aturan-aturan yang oleh setiap anggota kelompok sudah dianggap sesuatu yang wajar. Seseorang yang seringkali melanggar aturan-aturan ini tidak akan dianggap sebagai „salah asuhan‟ atau‟ salah didik‟ melainkan mempunyai sifat aneh dan mengerikan, karena tingkah lakunya telah melanggar pandangan umum yang dianggap tidak wajar dari suatu kelompok, pandangan dari sesuatu yang normal” (1966; 32). “Kan orang itu normal ketika sama kaya nilai dan norma yang disepakati masyarakat. Kan masyarakat punya standar kan, mana normal mana ga normal. Nah orang gila itu yang ga sama kaya nilai dan norma yang disepakati oleh masyarakat.” (Juwita, 30 Juni 2015) Menurt Scheff perkataan gangguan mental dipergunakan untuk memberi pengertian dan gambaran atas orang-orang yang seringkali melanggar hal-hal yang sangat umum. Perlu ditekankan bahwa bukanlah tingkah lakunya itu sendiri yang menyebabkan timbulnya perumusan tentang gangguan mental, tetapi yang menyebabkan adalah keadaan atau situasi yang tidak sesuai. “katanya rumah ini goyang semua kalau dilewati orang itu. Dia bawa kayu besar di lempar ke orang kalau jalan depan rumah, katanya membuat rumah saya goyang mau ambruk gitu. Ga boleh ada orang lewat. Terus dibawa ke sana lah.” (Endah, 27 Juni 2015) Scheff berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai gangguan mental tidak selalu timbul dari apa yang dianggap secara klinis sebagai ketidakberesan mental. Misalnya banyak penelitian Epidemiologi yang menyimpulkan bahwa terdapat lebih banyak kasus aktif dibandingkan dengan penyakit-penyakit mental. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, Scheff mempunyai anggapan bahwa commit to user
131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelanggaran-pelanggaran tersebut pada umumnya tidak diperhatikan atau dianggap tidak apa-apa (1966:51). “Gila itu orang yang udah tahu salah tapi masih dilakuin (ngelakuin salah)” (Mila, 28 Juni 2015) Bagi Mila, yang dikatakan tidak normal atau gila adalah orang-orang yang sudah tahu tentang salah dan benar namun masih dilakukan kesalahankesalahan tersebut. Mila menanggap bahwa gila tidak hanya ukuran klinis sebagai ketidakberesan mental namun juga non medis. “Tingkah lalu bejat yang merugikan banyak orang karena nafsunya , contoh korupsi, pemerkosaan, pembunuhan , sadar dengan yg dilakukan kalau mereka salah.” (Mila, 28 Juni 2015) Seperti yang masyarakat umum mengetahui, korupsi itu salah dan merugikan banyak orang namun masih dilakukan dan itu di anggap gila oleh sebagian orang. Atau seorang ibu yang rela membuang bayinya sendiri merupakan suatu tindakan yang tidak normal dan sudah mengetahui bahwa itu hal yang salah namun tetap dilakukan maka itu adalah sebuah kegilaan dan pelanggaran yang tidak diperhatikan dan tidak di anggap sebagai sebuah kegilaan oleh masyarakat banyak karena patokan gila terbatas pada ukuran medis. “Kalau gila secara harfiah ya mungkin kayak tatapan kosong, kemudian mulai ngelantur, dia mengungkapkan suatu hal yang sebenarnya ga ada. Tapi kalau gila secara tersirat itu banyak, contohnya kayak dia bayar kuliah satu tahun, tapi dia ga kuliah malah ikut kegiatan lain karena dia cinta dengan kegiatan itu, itu salah satu definisi dariku.” (Gilar, 27 Juni 2015) Dari pernyataan Gilar dapat diketahui bahwa ukuran ganguan jiwa yang mahsyur dengan sebutan gila di kehidupan sehari-hari tidak hanya dilihat commit to user dari ketidakberesan mental, namun juga ketidakberesan perilaku yang tidak sesuai 132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan aturan. Seperti mahasiswa yang membayar kuliah untuk satu tahun tapi mengikuti proses kuliah hanya sesekali karena ada kegiatan lain yang lebih dia cintai. Atau Arum yang mengukur seseorang gila dari kecintaan yang berlebihan pada sesuatu. “perilaku yang sangat sangat-sangat berlebihan terhadap sesuatu. Seneng kerja. Kerja terus itu namanya gila kerja.” (Arum, 28 Juni 2015) Informan di atas mengungkapkan bahwa kecintaan berlebihan yang membuat seseorang melakukan kegiatan itu terus menerus dapat didefinisikan sebagai perilaku gila atau di luar nalar. Misalnya orang yang suka main game online, kemudian maen game online terus, itu namanya gila main. Begitupun ketika orang yang seneng kerja dan hidupnya untuk bekerja terus itu juga bisa dikatakan gila yakni gila kerja karena perilakunya di luar batas atau kebiaaan masyarakat pada umumnya.
(Sumber : Dokumen Pribadi) Gambar IV.3 Kegiatan Rutin Kewirausahaan Membuat Bros Untuk Di Jual oleh Orang Dengan Skizofrenia (Hayu berbaju pink dan Ulan berjilbab biru) commit to user
133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seperti sudah dikatakan pada permulaan bab ini, ada perbedaan pemahaman antara sehat secara jiwa yang di anggap sebagai normalitas dan gangguan kejiwaan yang di anggap sebagai ketidakwajaran. ada pertentangan pendapat bahwa istilah keadaan sakit (illness) berhubungan dengan penyakit pada seseorang. Banyak ahli yang berpendapat bahwa penyakit gangguan jiwa disebabkan karena pengaruh lingkungan sosial dan walaupun dapat diakui bahwa ada gangguan mental yang timbul akibat kelainan fisik seseorang, namun penyebab yang paling penting adalah karena hubungan dengan orang lain dan adanya ketegangan-ketegangan dalam kehidupan sosial. “Macam – macam, menurut buku Pedoman gangguan jiwa disitu dijelaskan bahwa ada tingkatan stresor. Contoh tingkatan stresor paling berat adalah kehilangan pasanganya, faktor ekonomi dll. Kita tidak bisa medeteksi setiap pasien karena jumlah yang telalu banyak. Ada beberapa kasus KDRT, perceraian, konflik pribadi dengan ortu”(Gatot, 30 Juni 2015) Seperti kasus yang dialami Mbak Hayu yang menderita skizofrenia sejak usianya 19 tahun. Masalah yang memicu penyakitnya kambuh adalah ketegangan-ketegangan dalam kehidupan rumah tangga bersama suaminya. Dan hal ini di akui oleh dirinya sendiri dan dibenarkan oleh perawatnya di Griya PMI Peduli Surakarta. “Nikah tahun 2011. Terus punya dedek salsa. Sama orang wonogiri. Dulunya aku kerja di sepatu, dia kerja di bakso, jejeran gitu sebelahan. Terus kenal. Tapi aku itu orangnya emang, gatau lugu apa gimana, tapi kalau udah di kasih janji, apa apa gitu nurut aja. Jadi gabisa nyari jodoh yang baik orangnya, yang bisa perhatian gitu, tertipu terus yang satu ga gemati eh yang ini malah tambah ga perhatian lagi. Ga pernah ngasih uang nafkah, ga pernah ngasih perhatian ke anak ku yang salsa, terus akhirnya kemaren waktu di Griya PMI aku cariin kan. Kerjanya di belakang UNS ini, di daerah commit to user deket cik-cik, di rentalan, pengetikan. Terus aku cariin kan, tak
134
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tinggalin alamatku. Terus akhirnya dateng di Griya PMI Peduli, bilangnya udah ga bisa lagi sama aku. Tapi sampe sekarang gugatan cerai yang mau didaftarkan, sampe sekarang juga belum aku dapet surat panggilan. Paling juga ga di urus, kan pakai biaya. Dia orangnya juga ga setiti gitu lho mbak, jadinya kalau punya uang itu habis-habis. Paling juga ga di urus.” (Hayu, 7 Juli 2015)
(Sumber : Dokumen Pribadi) Gambar IV.6 Front Stage Hayu (ODS) di Depan Anaknya
Itulah pemaparan Mbak Hayu ketika ditanya apa masalah yang menyebabkan gangguan jiwanya kambuh kembali. Dan hal yang sama juga dinyatakan oleh perawatnya yang juga menjadi informan dalam penelitian ini. “Iya, dia dulu keluar naik sepeda nyariin suaminya, terus suaminya kesini bawain jeruk sama minta cerai. Habis itu sempet kambuh, ngalamun, nangis, jeruknya juga ga di makan katanya asem, gamau makan. Dia pengen punya suami lagi, tapi aku bilang mending sembuh dulu buat anak-anak. Nanti lagi mikirin laki-laki. Susah namanya laki-laki, apalagi kalau tahu ada gangguan jiwa. Mending fokus ngurusin anak dulu kaya sekarang.” (Rina, 27 Juni 2015) commit to user
135
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maka, teori penyakit dari gangguan mental tidak sesuai, karena apa yang dianggap sebagai gangguan mental pada dasarnya adalah persoalanpersoalan hidup; yakni cara-cara kita mengartikan dan mengatur dunia kita. Hal yang menguatkan pandangan ini adalah kenyataan bahwa penderita psikosis dan penderita gangguan mental lainnya karena sakit menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kewajiban dan harapan-harapan dalam kehidupan sosial. “Di solopos waktu nikah aku ngundurin diri karena mau deket sama suami, akhirnya aku melahirkan di kebumen. Nah waktu melahirkan aku kambuh lagi tu, kaya syndrome baby blues, depresi pasca melahirkan. Depresi pasca melahirkan karena sakitnya melahirkan, terus habis itu ngurusi anak sendiri, ngurus rumah tangga sendiri, suami juga ga begitu perhatian akhirnya jadi satu jadi ini, malah jadi takut sama bayi nya, nangis terus, ga nyaman, kebawa. Terus di pulangin.” (Hayu, 7 Juli 2015) Karena penyebab penyakit
gangguan mental terdapat dalam
kehidupan yang dialami setiap orang, maka pemecahannya membutuhkan pendekatan masyarakat dan dasar-dasar hubungan atau interaksi yang menjadi penyebabnya. Maka, anggapan bahwa persoalan-persoalan tersebut adalah penyakit harus dipertanyakan kembali, karena akan menghalangi cara pendekatan persoalan dan mengalihkan perhatian dari cara-cara pendekatan yang lebih baik. “Masyarakat sangat berpengaruh dan berperan penting terhadap orang dengan gangguan jiwa. Ketika lingkungan masyarakat mau menerima mereka, mereka akan berfikir ternyata ada yang peduli terhadap mereka. Sedangkan ketika lingkungan masyarakat tidak mau menerima mereka, maka orang dengan gangguan jiwa akan memiliki anggapan sendiri bahwa ia tidak di terima di masyarakat karena ini dan itu, padahal realitanya tidak seperti itu. Seharusnya ada sosialisasi kepada masyarakat karena kebanyakan dari masyarakat masih tidak mau menerima orang dengan gangguan jiwa berada di tengah kehidupan mereka. Contohnya adalah mbak Mul dan mbak Hayu. Mereka adalah pasien di Griya PMI, ketika mereka berada di commit to user Griya mereka berperilaku baik. Namun ketika kembali ke rumah, satu
136
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dua hari mereka akan kambuh. Hal ini berarti pencetus yang menyebabkan mereka kambuh odalah orang- orang yang ada di lingkungan rumah, entah itu keluarganya sendiri atau tetanggatetangganya. Fakta- faktanya, ketika di Griya PMI mereka bersikap baik, bisa teratur hidupnya. Namun ketika mereka pulang ke rumah mereka akan kambuh dan akan di kembalikan ke Griya entah oleh polisi, satpol linmas, atau oleh masyarakat itu sendiri dalam keadaan yang berbeda di bandingkan saat mereka pulang beberapa waktu yang lalu. Keadaan mereka menjadi buruk kembali” (Yayak, 25 Juni 2015) Sampai disini kita harus sadar bahwa persoalan-persoalan yang dirasakan oleh orang dengan skizofrenia dan keluarganya adalah nyata. Walaupun tidak disembuhkan dibandingkan penyakit-penyakit lainnya. Orang dengan skizofrenia kurang lebih mengeluh tentang keadaan mereka karena sakitnya yang menahun. Selain itu suatu set norma-norma sosial yang kompleks dan beberapa faktor hubungan antar manusia yang kadang-kadang tidak dapat ditebak pengaruh-pengaruhnya dapat menjadi penyebab kekambuhan penyakitnya. Maka kesimpulan yang dapat diambil dalam pembahasan ini adalah seseorang dikatakan normal jika sesuai dengan nilai dan norma yang menjadi aturan sosial yang berlaku di masyarakat untuk menciptakan keteraturan sosial (social order). Jika seseorang melakukan hal-hal yang tidak ladzim dan tidak sesuai dengan nilai dan norma yang menjadi acuan kebiasaan dan tingkah laku berinterkasi di masyarakat maka seseorang tersebut dikatakan mengalami kelainan kejiwaan yang dikenal dengan istilah gangguan jiwa seperti skizofrenia. Hal ini bertujuan untuk menjamin kelestarin hidup manusia, serta usaha mengamankan komunikasi dan lalu lintas kehidupan, perlulah ditegakkan peraturan– peraturan bermain untuk membedkan mana yang salah dan mana yang benar, juga hal–hal commit to user
137
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mana yang diinginkan dan mana yang harus ditolak. Inilah yang disebut dengan normaletis untuk semua orang yang hidup di suatu kelompok masyarakat. Tabel 1V.2 Matrik Pandangan Mengenai Normalitas
Nama Informan Dokter
Normal Memiliki komunikasi yang nyambung (dapat diajak ngobrol). Normal bagi orang dengan schizofrenia adalah terkontrol dengan obat.
Perawat
Orang yang bisa berfikir secara realita, mampu mengorientasikan, mampu menjaga kebersihan, bisa beraktifitas rutin secara runtut, tidak mengalami gangguan jiwa.
Aktivis
Orang yang berfikir secara realitas karena tidak mempunyai gangguan baik mental ataupun psikis. Sama halnya dengan sehat jasmani dan rokhani. Memiliki kesadaran diri dan perilaku yang terarah, tidak melenceng dari jalur nilai dan norma di masyarakat. commit to biasa user - ketika mereka berdiri Bisa beraktifitas seperti
Keluarga
138
(Gangguan Jiwa) - melakukan sesuatu yang berbeda dari sudut pandang pada umumnya. Misalkan orang lain makan nasi, ia makan besi. Ketika orang lain makan menggunakan tangan, ia makan menggunakan mulut. Atau ketika ia membahayakan orang lain, yang dimana pedomannya menurut PPDGJ dan DSM. Ketika mereka tidak mampu mengorientasikan dirinya sehingga tidak dapat menjawab sesuatu sesuai dengan pertanyaan, yang membuat komunikasinya tidak jelas. Perilaku mereka yang menggunakan baju terbalik atau menanyakan sesuatu berulang- ulang dan tidak mau mandi. - ketika mereka membahayakan orang lain, seperti membunuh ibunya sendiri. Dikatakan tidak normal juga karena mereka sakit secara akal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti ketika mereka belum sakit.
Relawan Pasif
Orang dengan Schizofrenia
Normal itu tidak di luar kebiasaan, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dan akalnya sehat. Normal bagi orang dengan schizofrenia adalah apa yang mereka rasakan sekarang. Dimana mereka mendapat bisikan atau halusinasi yang kemudian menjadi realitas baru dengan nilai dan norma yang baru bagi mereka.
berjam- jam, nafsu makan yang berlebihan seperti kerasukan setan. Terlalu mencurigai sesuatu, dan merusak barang- barang elektronik. Marah yang berlebihan, komunikasi yang tidak lancar. -Mengganggu masyarakat dan tidak sesuai dengan nilai dan norma serta membahayakan orang lain. Tidak normal bagi orang dengan schizofrenia adalah ketika orang- orang di sekitarnya berubah sikap kepadanya. Padahal mereka merasa bahwa apa yang di kerjakan adalah hal sewajarnya.
3. Penyimpangan Sosial
Orang dengan gangguan jiwa kerap dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang. Hal ini dikarenakan, apa yang menjadi tindakannya keluar dari aturan sosial yang berlaku di masyarakat. Aturan-aturan inilah yang mengatur sistem nilai (value) dan norma yang telah masyarakat sepakati bersama demi terciptanya keteraturan sosial (social order). Bagi Dokter Gatot, sebagai pimpinan di Griya PMI Peduli memandang bahwa apa yang di lakukan orang dengan gangguan jiwa pada umumnya termasuk didalamnya orang dengan skizofrenia bukanlah hal yang menyimpang. Seperti penuturannya di bawah ini: “Orang dengan skizofrenia itu sedang sakit, sehingga tidak tepat dikatakan menyimpang. Dimana mrnyimpang identik dengan suatu hal yg negatif. (Gatot, 27 Juni 2015) commit to user
139
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurutnya, skizofrenia adalah penyakit yang dimana orang tersebut bisa kehilangan akal dan kesadarannya yang tidak pantas jika dikatakan sebagai sebuah penyimpangan karena penyimpangan identik dengan suatu hal yang negatif seperti tindak kejahatan. Kemudian hal ini diperkuat oleh pandangan masyarakat umum yang menyatakan hal serupa. “Ga, kalau perilaku menyimpang itu dilakukan oleh orang yang psikologisnya, psikisnya, otaknya waras ya. Kalau orang gila itu bukan penyimpangan sih kalau menurutku, jadi kaya, ya bukan penyimpangan. Kalau penyimpangan itu dilakukan oleh mereka yang tahu dan sadar tapi di langgar, tapi kalau orang gila kan mereka pastilah ga ngerti yang bener gimana, yang salah gimana. Toh secara hukum mereka juga gabisa di hukum” (Juwita, 30 Juni 2015) Apa yang disampaikan dapat di pahami secara jelas bahwa sesuatu yang dikatakan menyimpang bagi masyarakat pada umumnya belum tentu berlaku bagi orang dengan skizofrenia. Orang dengan skizofrenia berada dalam kondisi yang berbeda di tatanan hukum yang berlaku di masyarakat. Gangguan jiwa sudah di pahami sebagai suatu penyakit oleh masyarakat yang bisa menyebabkan kehilangan kesadaran dan di lihat dari kacamata hukum, orang yang kehilangan kesehatan akal bisa dibebaskan dari jerat hukuman. Namun jika yang melakukannya adalah orang yang sehat secara medis, berpendidikan, mengetahui hukum, memahami nilai-nilai yang berlaku di masyarakat namun tetap melakukan pelanggaran terhadap aturan sosial yang telah di buat oleh masyarakat itu dapat dikatakan sebagai tindakan menyimpang. Hal berbeda di katakan perawat di Griya PMI Peduli, sekalipun perilaku orang dengan skizofrenia tidak termasuk dalam tindakan penyimpangan commit to user
140
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosial, baginya perilaku tersebut tetap menyimpang jika di lihat dari kebiasaan yang ladzim di lakukan oleh orang lain. “Orang dengan gangguan jiwa termasuk perilaku yang menyimpang jika di lihat dari kebiasaan hidup orang pada umumnya (Yayak, 25 Juni 2015) Baginya kebiasaan orang dengan gangguan jiwa termasuk orang dengan skizofrenia didalamnya adalah perilaku yang tetap menyimpang sekalipun buka suatu tindak kejahatan dan disanalah perawat memainkan peran untuk mensosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari kepada warganya tentang apa-apa yang di anggap tidak menyimpang. Dan yang dilakukan Mbak Yayak maupun perawat yang lain di Griya PMI Peduli adalah membiasakan perilaku yang sewajarnya di terapkan dalam kehidupan masyarakat seperti pola hidup bersih, beraktivitas secara teratur, dan menjaga kesehatan dengan makan dan minum obat tepat waktu. Bagi sosiolog, penyimpangan memiliki tahapan-tahapannya yang berbeda antara satu dengan yang lain, seperti yang diutarakan sebagai berikut: “iya, kan ada tahapnya itu. Tahap berbeda, tahap menyimpang/deviasi, tahap mengganggu/ patologi. Jadi ada tiga tahapan, nah orang sakit jiwa bisa tiga-tiganya itu, tergantung tingkatannya. Nanti dia diperlakukan oleh masyarakat tergantung tingkatannya. Kalau kemudian terapi atau solusinya juga tergantung tingkatannya. Kalau seperti awal ini mungkin keluarga bisa, kalau yang kedua ini psikolog, kalau yang ketiga sudah dokter atau psikiater begitu.” (Rahesli, 25 Juni 2015) Dari penuturan di atas, dapat kita ketahui bahwa menyimpang atau tidak menyimpang bisa saja di lakukan oleh orang dengan skizofrenia. Menjadi hal yang wajar jika di masyarakat ada yang menganggapnya sebagai penyimpangan maupun memberikan toleransi atas keadaan sakitnya dengan commit to user
141
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyepakati sebagai perilaku biasa. Jika di tilik lebih lanjut, Bu rahesli mengatakan bahwa sesuatu yang sudah dikatakan menyimpang jika ada yang dirugikan misalnya karena mengganggu atau ada yang merasa terganggu. “Sebenarnya menyimpangnya lebih ke perilakunya, kalau dia tidak mengganggu. Misal seperti teman saya tadi, itu menganggu. Tetapi kalau tidak terlalu mengganggu yang lain, dia tidak akan diperlakukan berbeda.” (Rahesli, 25 Juni 2015) Hal inilah yang menjadikan titik terang bahwa tidak semua orang dengan skizofrenia maupun orang dengan gangguan jiwa dikatakan sebagai orang yang menyimpang karena perilakunya yang menimbulkan ketidaknyamanan, mengganggu keamanan orang lain atau bersikap menimbulkan kerusakan di masyarakat. Konstruksi pemahaman tentang penyimpangan bisa di latarbelakangi oleh pengalaman, Arum meyakini bahwa tidak semua orang dengan skizofrenia yang dikenalnya selama menjadi aktivis melakukan perbuatan yang menyimpang. Hanya kasus yang terjadi di beberapa tempat seperti di bawah ini: Tidak semuanya. Tapi saya pernah mendengar kabar bahwa kerabat teman saya yang sudah sembuh dari penyakit jiwanya tiba-tiba kambuh dan membunuh ibunya dg cara memukul kepalanya hingga menyebabkan ibunya meninggal. Tapi itu hanya satu kejadian. Saya tak prnah melihat di sekitar warga griya sendiri. (Arum,28 Juni 2015) Hal inilah yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang oleh Arum, ketika sudah menghilangkan nyawa orang lain apalagi nyawa ibunya sendiri. Namun pengalaman Arum menjadi aktivis untuk Griya PMI Peduli, orang dengan skizofrenia yang dikenalnya tidak melakukan hal-hal buruk seperti cerita yang pernah di dengarnya. Dan Juwita juga menegaskan bahwa sebagian commit to user
142
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat tidak memandang perilaku yang berbeda dari orang skizofrenia adalah sebuah penyimpangan walaupun
bisa saja ia melakukan penyimpangan
mengingat kondisinya yang sakit. “Tidak , tapi bisa melakukan penyimpangan karena mereka sakit” (Juwita, 30 Juni 2015) Bagi Gilar, ia mendukung pernyataan informan sebelum-sebelumnya bahwa tidak semua orang bisa melakukan penyimpangan. Dan setiap penyimpangan bisa beresiko merugikan dirinya sendiri maupun orang lain karena perilakunya, sekali lagi hal ini tidak hanya terbatas pada orang dengan skizofrenia. Dampak negatif yang datang dari masyarakat adalah sebuah konsekuensi yang dimana pandangan buruk akibat penyimpangan tetap akan diberikan kepada keduanya, baik masyarakat pada umumnya yang melakukan atau orang dengan skizofrenia yang dalam kondisi hilang kesadaran realitas yang berlaku di masyarakat. “...perilaku menyimpang berdampak negative atau merugikan bagi dirinya maupun orang lain. Karena pelaku (sehat secara kejiwaan) melakukan perilaku menyimpang itu masih punya kesadaran dan berpikir rasional, sedangkan berbeda dengan orang gila yang bahkan dalam hukum, orang gila bebas dari jerat hukum.” Hingga pada akhirnya kita menyadari, perilaku inilah yang dianggap di luar kebiasaan yang dikatakan tidak wajar dilakukan orang lain pada umumnya seperti pandangan yang di ungkapkan oleh masyarakat di bawah ini: “gila itu suatu kondisi yg terjadi pada seseorang yang dianggap orang pada umumnya menyimpang atau tidak wajar. karena orang umum mempunyai sebuah nilai yang disepakati dan orang itu menyimpang dari nilai-nilai tersebut. orang yg jiwanya menyimpang. perilaku yg diluar daricommit kesepakatan to usermasy atau nilai atau kebiasaan di masyarakat.” (Siswandi, 30 Juni 2015) 143
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lebih jelasnya Siswandi menuturkan gambarannya berdasarkan pengalaman tentang perilaku menyimpang orang dengan gangguan jiwa yang telah ia temui. “kalau pengalaman sih dia menyimpang, punya dunia sendiri, ga bisa diajak ngobrol, dari situ masyarakat menyebutnya gila, itu pengalaman yg pernah saya alami.” (Siswandi, 30 Juni 2015) Hal-hal inilah yang di tangkap masyarakat di kehidupan sehari-hari, kemudian di konstruksi sebagai identitas orang dengan gangguan jiwa karena memiliki kesamaan dan tindakan di luar kebiasaan bahkan di luar nalar inilah yang masyarakat tidak memahami, kemudian di anggap tidak wajar, tidak normal bahkan di anggap menyimpang. Perbedaan ini terjadi karena ada perbedaan pemahaman tentang sejauh mana batas suatu perilaku dikatakan menyimpang atau tidak, yang kemudian semuanya direfleksikan menjadi pandangan yang melekat dan pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan yang berbeda antara orang yang tidak pernah mengalami gangguan jiwa dan orang yang mengalami gangguan jiwa. Bagi Juwita, perilaku yang dilakukan bukanlah hal yang dimengerti oleh orang dengan skizofrenia itu sendiri. Maka di dalam penuturannya di bawah ini dapat kita ketahui bahwa penyimpangan dapat dikatakan benar menyimpang di lihat siapa pelakunya dan bagaimana latar belakang kejiwaannya. “Ga, kalau perilaku menyimpang itu dilakukan oleh orang yang psikologisnya, psikisnya, otaknya waras ya. Kalau orang gila itu bukan penyimpangan sih kalau menurutku, jadi kaya, ya bukan penyimpangan. Kalau penyimpangan itu dilakukan oleh mereka yang tahu dan sadar tapi di langgar, tapi kalau orang gila kan mereka pastilah ga ngerti yang bener gimana, yang salah gimana.”( Juwita, 30 Juni 2015) commit to user
144
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maka kesimpulan yang dapat di ambil dalam pembahasan ini adalah Untuk menjamin kelestarin hidup manusia, serta usaha mengamankan komunikasi dan lalu lintas kehidupan, perlulah ditegakkan peraturan– peraturan bermain untuk membedkan mana yang salah dan mana yang benar, juga hal–hal mana yang diinginkan dan mana yang harus ditolak. Inilah yang disebut dengan normaletis, yang meberikan jaminan sekuritas pada setia orang. maka, apabila orang menyesuaikan diri dengan standar sosial dari masyarakat. sebab, standar dan norma – norma etis itu memegang peranan penting dalam memelihara dan mengawetkan masyarakat. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, banyak kebutuhan biogis dan vital harus dikekang dan diatur, demi kesejahteraan umat manusia dan keadilan. Seperti aturan menjaga kebersihan diri untuk kenyaman hidup bersama orang lain, aturan berpakaian, aturan bersikap dan lain sebagainya. Sehubungan dengan ini banyak orang yang terbentur atau dihambat oleh macam – macam aturan, norma sosial dan standar sosial karena dalam diri mereka mengalami frustasi hebat, kekacauan mental dan sedang terganggu kesehatan jiwanya. Hal ini kemudian di anggap menyimpang oleh sebagian masyarakat yang mengacu pada nilai yang di pegangnya, dan juga mendatangkan toleransi karena kondisi kesehatan jiwanya dengan menganggap sebagai tindakan yang tidak bisa di golongkan sebagai sebuah penyimpangan. Tabel IV.3 Matrik Pandangan Mengenai Penyimpangan Sosial Informan Dokter
Menyimpang Menyimpang identik dengan suatu hal yg negatif. commit to user
145
Tidak Menyimpang Orang dengan shizofrenia itu sedang sakit, sehingga tidak tepat dikatakan menyimpang.
perpustakaan.uns.ac.id
Perawat
Aktivis
Keluarga
Relawan Pasif
digilib.uns.ac.id
Orang dengan gangguan jiwa termasuk perilaku yang menyimpang jika di lihat dari kebiasaan atau standar hidup orang lain pada umumnya.
Tidak menyimpang karena memang gangguan jiwa tidak mampu untuk mengorientasikan suatu hal termasuk orientasi terhadap nilai dan norma Bisa melakukan Tidak semuanya. Tapi saya penyimpangan karena pernah mendengar kabar mereka sakit. Pelaku perilaku bahwa kerabat teman saya menyimpang itu masih yang sudah sembuh dari punya kesadaran dan berpikir penyakit jiwanya tiba-tiba rasional. kambuh dan membunuh ibunya dengan cara memukul kepalanya hingga menyebabkan ibunya meninggal. Tapi itu hanya 1 kejadian. Saya tak pernah melihat di sekitar warga griya sendiri. Orang gila tidak dikatakan perilaku menyimpang karena ia tidak mempunyai kesadaran dan tidak berfikir rasional. Orang dengan gangguan jiwa bebas dari jerat hukum. Bagi keluarga, perilaku anggota keluarganya yang mengalami skizofrenia bukanlah suatu perilaku yang menyimpang melainkan penyakit karena makhluk halus. Orang gila dikatakan Orang dengan schizofrenia menyimpang karena orang juga dapatdikatakan tidak umum mempunyai sebuah menyimpang. Kalau orang gila nilai yang disepakati dan itu bukan penyimpangan. orang itu menyimpang dari Kalau penyimpangan itu nilai-nilai tersebut. dilakukan oleh mereka yang Berperilaku tidak seperti tahu dan sadar tapi di langgar, biasanya. Orang dengan tapi kalau orang gila kan schizofrenia dikatakan mereka pastilah tidak tahu menyimpang karena yang benar gimana, yang salah perilakunya diluar dari gimana. Orang gila secara kesepakatan masyarakat atau hukum juga tidak dapat di nilai atau kebiasaan di hukum. masyarakat. Dia punya dunia sendiri, ga bisa diajak ngobrol, dari situ masyarakat menyebutnya gila commit to user
146
perpustakaan.uns.ac.id
Orang Dengan Skizofrenia
digilib.uns.ac.id
Bagi orang dengan skizofrenia, perilakunya bukanlah perbuatan yang menyimpang. Apa yang dia alami dari halusinasi, delusi maupun waham adalah realitas baru dimana orang lain tidak mampu merasakan atau memahami realitas tersebut, dan realitas baru itu masih sesuai dengan nilai dan norma yang disepakati oleh kelompok realitas baru tersebut.
4. Teori Dramaturgi
Ketika Aristoteles mengungkapkan dramaturgi dalam artian seni maka Erving
Goffman
mendalami
dramaturgi
dari
segi
sosiologi.
Goffman
memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life yang diterbitkan pada tahun 1959. Menurut Goffman, interaksi sosial dapat disamakan dengan teater, dan orang-orang dalam kehidupan sehari-hari itu terlihat seperti aktor di atas panggung, masing-masing memainkan berbagai peran. Mereka memainkan perannya dan para penonton yang terdiri dari individu-individu mengamati serta memberi reaksi dari pertunjukan yang disaksikan. Tak terlepas dengan orang dengan gangguan jiwa yang hilang dan terlantar lalu di rawat di Griya PMI Peduli, Surakarta. “Pada dasarnya Griya menampug ODGJ yang terlantar yang ditemukan di sekitar solo” (Gatot, 30 Juni 2015) Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang tinggal di Griya PMI Peduli Surakarta memiliki hukum panggung commit to useryang sama, seperti yang telah di
147
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ungkapkan Goffman jika sudah berhadapan dengan audiance atau penontonnya. Hal ini di buktikan dengan adanya penilaian-penilaian yang datang dari berbagai kalangan tentang penampilan panggung depan mereka. Contohnya cara Dokter Gatot sebagai penanggung jawab di Griya PMI Peduli yang memperhatikan perkembangan dan perilaku warga binaannya. “Disini dilihat ketika di Griya mampu melaksanakan tugas dan bisa membantu yang lainnya dan rutin minum obat maka penderita tsb bisa dikatakan membaik. Ada, bahkan sering. Dimana beberpa pasien disini yang usdah membbaik kita kembalikan ke keluarga justru ketika dirumah cenderung memburuk kumat (kurang perhatian keluarga) dan dikembalikan ke Griya.” (Gatot,30 Juni 2015) Atau pandangan dari perawat atas perilaku keseharian mereka yang dimana sudah merawat hingga bertahun-tahun seperti Mbak Hayu, orang dengan skizofrenia yang kini sudah diterima bekerja menjadi pegawai kebersihan Griya PMI Peduli Surakarta. “Kalau kasus mbak hayu itu, dia gampang ngerasa seneng, gampang ngerasa sedih. Wahamnya dia seorang princess yang disayang, memukau dan gampang menarik kita untuk terpukau sama dia. Tapi habis itu ada apa sedikit, berubah lagi” (Yayak, 25 Juni 2015) Dan pandangan dari masyarakat terhadap penampilan mereka dan diakumulasikan bersama orang dengan gangguan jiwa yang pernah ditemui di jalan, di lihat di media, maupun dari pengalaman pribadi orang lain sehingga masyarakat turut memberi reaksi bahwa apa yang dipertontonkan itu bukanlah sebuah keladziman yang sesuai dengan harapan. “Kan kebanyakan kalau orang normal itu kita pakai baju ya mbak kemana-kemana. Nah orang gila itu biasanya ga. Kan kebiasaan masyarakat kalau kemana-mana pake baju, kenapa itu disebut gila? Karena dia ga sesuai sama nilai dan norma di masyarakat. Dia keluar commit to user
148
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ga pake baju, ngomong juga ga selayaknya orang. Ngomongngomong ngelantur, kaya gitu.” (Juwita,30 Juni 2015) Itulah mengapa Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang di dalamnya termasuk Orang dengan Skizofrenia (ODS) dikatakan tidak bisa terlepas dari hukum panggung dalam kacamata dramaturgi yang dimana penonton tidak bisa terlepas dari turut campur memberikan pandangan dan penilaian audiance sekalipun tidak mengenal atau berinteraksi. Pengaruh penilaian dari masyarakat lain dapat memengaruhi pandangan masyarakat yang lain juga sekalipun tidak pernah punya pengalaman atau interaksi sosial. “Ga sih (ga pernah berinteraksi), ya pengalaman itu sendiri. Masyarakat yang membentuk rasa takutku.” (Juwita, 30 Juni 2015) Sebagai sebuah pementasan teater, mereka di tuntut untuk memahami bahwa hidup hanyalah pementasan pertunjukan panggung yang di dalamnya dibutuhkan beragam perangkat yang harus dipersiapkan ketika pementasan di atas panggung yang memerlukan beragam perangkat guna menunjang mulai dari kesiapan pemain (performer) dan team atau kelompoknya, penampilan (performance), temapt (region), atau panggung (stage), naskah (script), latar (setting), dan yang tidak kalah penting, yakni penonton (audience). Orang dengan skizofrenia pun menyiapkan seluruh perangkat guna menunjang pemantasannya sama seperti masyarakat pada umumnya. Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang dilakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan user lain dalam sebuah pertunjukan cara seorang aktor menampilkancommit karakterto orang
149
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
drama. Cara yang sama ini menunjukan bahwa setiap harinya ada pertunjukan yang ditampilkan oleh masyarakat ke masyarakat yang lain. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi, pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Namun jika si aktor memerankan peranannya tanpa berhasil menyampaikan maksud dan tujuan maka akan terjadi kebingungan yang dirasakan oleh penonton. Seperti yang di alami oleh Hayu, dimana apa yang dilakukannya dianggap mendatangkan kebingungan oleh penontonnya, kemudian kebingungan yang dirasakan audiance yang dinilai sebagai panggung depan Hayu tidak ladzim dan tidak dipahami oleh orang-orang di sekitarnya. “Kaya aku sama keluargaku sama orang-orang yang aku sayangi, yang beriman dan bertakwa sama Allah ada yang nyakitin, tapi sakitnya itu bukan sakit dohir, sakit biasa, sakit di guna-guna. Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ” Begitu pun yang di lakukan Doni, orang dengan skizofrenia yang di akui keluarganya melakukan hal aneh untuk melindungi rumahnya dari ancaman roboh dengan menghalangi semua orang yang ingin melintas di depan rumahnya. Cara yang digunakan adalah melempari dengan kayu besar. commit to user
150
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“lha itu ada mobil yang keliling cari orang gila pas lagi jalan, katanya rumah ini goyang semua kalau dilewati orang itu. Dia bawa kayu besar di lempar ke orang kalau jalan depan rumah, katanya membuat rumah saya goyang mau ambruk gitu. Ga boleh ada orang lewat. Terus dibawa ke sana lah.”(Endah, 27 Juni 2015) Apa yang dilakukan oleh Doni dan Hayu, di tangkap sebagai pencintraan front stage atau panggung depan oleh audiance yakni masyarakat yang berinteraksi di sekitarnya. Dari penuturan kisah keduanya, dapat dilihat bahwa apa yang di lakukan Doni dan Hayu merupakan sebuah kejujuran, bukan perilaku yang direkayasa untuk mendapatkan kesan kelainan jiwa lantas lari dari jerat hukuman, semua yang ditampilkan benar-benar suatu realitas nyata pada dirinya, selayaknya panggung belakang, Doni dan Hayu tidak berfikir sedang di nilai oleh audiance karena pencitraannya. penampilan panggung belakang Doni dan Hayu ditangkap dan dinilai tidak wajar oleh audiance yang tidak memahami dan masih menggunakan kacamata front stage si aktor di atas panggung. Doni melakukannya murni untuk melindungi rumahnya dari ancaman akibat kendaraan dan orang yang berlalu lalang di depan rumahnya. Hayu merasa bahwa apa yang dia lakukan untuk melindungi keluarganya dari ancaman. Apa yang dilakukan Doni dan Hayu sudah terlepas dari nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya, ia melakukannya karena kemauannya sendiri dan ia menjadi dirinya sendiri yang tak menggubris rasa malu, kwatir dengan penilaian orang dan hal-hal yang dirasakan orang pada ladzimnya jika membuat suatu kegaduhan apalagi kerusakan di lingkungannya. Baginya keselamatan dan kenyaman hidup bersama keluarganya adalah kejujuran ekspresi yang tidak di pahami olehcommit penontonnya. to user
151
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal ini terjadi karena penonton tidak biasa melihat penampilan panggung belakang seseorang di atas panggung, sehingga menjadi tidak biasa atau tidak sepantasnya dilakukan orang yang sedang memainkan kesan di panggung pementasan yang akhirnya membuat reaksi penonton menganggap aneh atau di luar nalar. Gila itu suatu kondisi yg terjadi pada seseorang yang dianggap orang pada umumnya menyimpang atau tidak wajar. karena orang umum mempunyai sebuah nilai yang disepakati dan orang itu menyimpang dari nilai-nilai tersebut. (Siswandi, 30 Juni 2015) Orang dengan skizofrenia pun sama dengan masyarakat pada umumnya, mereka memiliki panggung depan dan panggung belakang. Namun panggung depan menurut penonton adalah panggung belakang bagi orang dengan skizofrenia, yang dimana pada wilayah itulah mereka menampilkan apa yang di anggap harus di ketahui oleh penontonnya (audiance) dari apa yang dipentaskannya di atas panggung untuk sebuah tujuan yang baik sekalipun di luar ekpektasi penoton dan kewajaran yang biasanya di tampilkan. Kesalahpahaman mendefinisikan situasi inilah yang membuat munculnya stigma pada akhirnya. “Sayangnya masyarakat menilai bahwasanya ODGJ itu menular dan dapat membahayakan. Emang sih ada beberapa yang membahayakan. Tapi ternyata di griya juga tidak ada yang seperti itu.” (Gatot, 30 Juni 2015) Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak semua panggung depan yang ditampilkan setiap orang akan memenuhi harapan penonton. Dan tidak semua panggung depan aktor adalah kepura-puraan atau rekayasa. Seperti yang diungkapkan Kartini Kartono di bawah ini: bahwa ekspresi dan commit penampilan orang yang mengalami kekalutan to user mental (mental disorder) seperti skizofrenia adalah penampilan yang 152
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak lazim pada umumnya seperti komunikasi sosialnya terputusputus, dan ada disorientasi sosial. Selain itu timbul delusi-delusi yakni ilusi yang keliru (khayalan yang tidak benar) yang menakutkan dan dihinggapi delusi of grandeur (merasa dirinya super, paling) yang membuatnya selalu iri hati dan curiga. Adakalanya dihinggapi delusi of persecution (khayalan yang dikejar-kejar). Sehingga dia menjadi sangat agresif, berusaha melakukan perusakan, dan bunuh diri (Kartini Kartono, 2005:271). Dan mereka menampilkan kejujuran itu di panggung depan tanpa rekaya atau disembunyikan karena itulah panggung belakang si aktor di depan semua orang yang tak sempat dipahami oleh audiance. “Dia bermimpi ditemui orang dengan sorban putih, baju putih berjenggot. Dia menyuruh Doni makan kayu Donoloyo. Nah habis mimpi itu sikapnya aneh-aneh, barang dirumah dikeluarin, di siram air, pokoknya rumah harus bersih. Terus selama tiga tahun baju panjang yang dia pake ga pernah dilepas, jadi tidur dibasahi semua bajunya. Terus kayak semedi di tengah sungai lho mbak, malemmalem.”(Endah, 27 Juni 2015) Apa yang diceritakan oleh Doni dan dilakukan oleh Doni dianggap bukanlah suatu kewajaran. Hal ini dibenarkan oleh para ahli seperti dokter dan psikolog. Dokter Gatot menyatakan bahwa orang dengan skizofrenia terlihat dari ketisambungan komunikasi yang di tandai tidak adanya timbal balik, orang dengan skizofrenia juga tidak mampu merespon stimulus di sekitarnya dengan baik dan kriteria lain yang mengacu pada PPDGJ III. “Dilihat dari Komunikasinya ada timbal baik atau tidak, mampu merespon dgn baik, dan riwayatnya seperti apa, dan kita juga kontrolkan ke RSJ. Dan dokternya spesialis jiwa yang menyatakan mereka ODGJ atau tidak” (Gatot, 30 Juni 2015) Hal serupa juga disampaikan oleh Pak Nugraha, psikolog UNS. Yang menyatakan bahwa skizofrenia adalah sebuah waham. Waham dan halusinasi commit to user
153
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan ciri orang skizofrenia. Waham adalah keyakinan palsu yang timbul tanpa stimulus luar. “Perlu kita ketahui schizofrenia adalah waham, halusinasi merupakan salah satu sindrom dari schizofrenia. Parameter yang digunakan adalah dengan beberap cara. Tapi diluar caranya semua mengacu kepada PPDGJ.” (Nugraha, 29 Juni 2015) Hal ini menjadi realitas baru yang dialami oleh orang dengan skizofrenia, terlihat sangat nyata dan sudah tidak bisa dibedakan lagi oleh dirinya mana yang ilusi dan mana yang realitas sebenarnya. Realitas baru inilah yang menjadi panggung depan untuk orang dengan skizofrenia. Mereka menampilkan pertunjukan yang dipengaruhi oleh naskah realitas baru, mengikuti nilai dan norma realitas baru yang hanya disepakati oleh mereka yang memiliki realitas yang sama. Dan hal ini dianggap tidak wajar oleh masyarakat pada umumnya yang memiliki realitas sendiri dengan naskah yang berisi kesepakatan nilai dan norma yang telah disetujui dan dilaksanakan oleh anggota kelompoknya dan dimaknai sebagai kebiasaan yang sewajarnya. “perilaku yg diluar dari kesepakatan masy atau nilai atau kebiasaan di masy.” (Siswandi, 30 Juni 2015) Hal inilah yang membuat panggung depan yang ditampilkan oleh orang dengan skizofrenia tidak dipahami oleh masyarakat yang menjadi penonton sebagaimana mestinya. Pesan, tujuan dan komunikasi yang ingin disampaikan oleh orang dengan skizofrenia tidak sampai kepada penonton yang melihatnya sebagai panggung depan padahal yang ditampilkan panggung belakang. commit to user
154
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Rasanya kaya gitu tadi, kaya dunia itu sempit, ada orang jahat terus aku juga merasa jahat, merasa nyakitin banyak orang, padahal aku ga ngapa-ngapain tapi aku ngerasa kaya gitu. Perasaan. Aku minta maaf terus, padahal ga ngapa-ngapain. Kalau udah berada dalam situasi kaya gitu, mau ilang, mau keluar dari perasaan kaya gitu susah banget. Terus gitu aku jadi ga ngurus anak ku gitu.” (Hayu, 7 Juli 2015) Dan apa yang menjadi panggung depan orang dengan skizofrenia tidak di lihat oleh orang kebanyakan hanya orang-orang yang berinterkasi intens di tempat rehabilitasi mereka seperti dokter dan perawat yang selalu memantau. “Aku udah ke RSJ tujuh kali, tapi aku udah capek, maksudnya aku gamau, aku gamau berada dalam permainan kehidupan yang seperti ini, aku mau bangkit, aku gamau menyerah atas apa yang terjadi padaku, pokoknya aku gamau kumat lagi.” (Hayu, 7 Juli 2015) Inilah panggung depan Mbak Hayu yang sebenarnya, ketika kesehatannya sudah pulih karena pengaruh obat yang diminum, ia mulai menyadari bahwa dirinya tidak sesuai dengan harapan keluarga, membuat kecewa keluarganya dan bertekad untuk sembuh agar di terima keluarga. “Kakak ku bilang gini, “aku wes ga percaya sama kamu, kamu kalau udah kumat itu sampe berkali-kali. Jadi aku udah ga ada rasa percaya sama kamu, gitu.” Tapi aku ini terus bangkit, pokoknya aku ga boleh kalah, aku ga boleh kalah sama sakit ini. Aku harus bisa jadi orang yang berguna, yang bermanfaat bagi orang lain. Apalagi buat anak-anak ku” (Hayu, 7 Juli 2015) Di panggung depan yang sebenarnya bagi Hayu, yang jarang di tonton oleh penontonnya, ia ingin kembali sehat, diberi kepercayaam, diterima oleh keluarga dan bisa berkumpul dengan anak-anaknya. Hal ini lah yang membuat perbedaan pemahan atas sebuah panggung dari orang dengan skizofrenia dengan penonton pada umumnya. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil commit to user
155
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut atau disebut dengan naskah yang disesuaikan dengan nilain dan norma yang disepakati. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Namun terkadang tujuan yang disepakati tidak tercapai ketika ada perbedaan pemahaman menilai sebuah panggung orang lain. Karena tidak semua apa yang ditampilkan di depan panggung oleh si aktor adalah sandiwara peran, dan bersifat pura-pura. Tidak semua aktor selalu perlu kehati – hatian yang harus terus menerus mengidentifikasi penontonnya dan mencoba menggunakan nilai yang sesuai dengan yang dikehendakinya.
Individu atau kelompok (team) harus memainkan pertunjukkan di atas panggung itu berdasarkan kesepakatan itu yang telah dituliskan di naskah. mereka benar benar diharuskan memaksimalkan penampilannya dengan mengacu pada dua hal, yakni pada naskah maupun penonton. Ketika belum mengalami kejiwaan, Mbak Hayu hidup dan bekerja seperti tuntutan panggung depan masyarakat pada umumnya. “Iya kerja, kerja jadi guru honorer bahasa inggris. Di SD-SD, ada lima SD waktu itu. Ada kismoyoso 1, kismoyoso 3, gagasipan, donohudan sama ngasrek. Jadi guru satu tahun, kan waktu aku kuliah kan les bahasa inggris, di intensive english course, habis itu terus ngelesi di deket rumah kakak ku, ngelesi tiap sore gitu.” Naskah yang dimainkan Mbak Hayu sesuai dengan kesepakatan bersama atas perilaku yang disetujui oleh masyarakat. Selepas kuliah, bekerja, commit to user
156
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lalu menikah dan memiliki anak. Tapi ketika panggung depan itu berubah menjadi penampilan panggung belakang Mbak Hayu, ia mendapatkan reaksi yang berbeda.
Di solopos waktu nikah aku ngundurin diri karena mau deket sama suami, akhirnya aku melahirkan di kebumen. Nah waktu melahirkan aku kambuh lagi tu, kaya syndrome baby blues, depresi pasca melahirkan. Depresi pasca melahirkan karena sakitnya melahirkan, terus habis itu ngurusi anak sendiri, ngurus rumah tangga sendiri, suami juga ga begitu perhatian akhirnya jadi satu jadi ini, malah jadi takut sama bayi nya, nangis terus, ga nyaman, kebawa. Terus di pulangin ke ibuku. (Hayu, 7 Juli 2015) Meninggalkan bayi bagi audiance di sekililingnya adalah perilaku yang tidak disetujui. Perilaku tersebut tidak dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan yakni keteraturan sosial (social order). Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar menurut kesepakatan masyarakat sedangkan norma adalah aturan tidak tertulis yang di buat masyarakat dan berdasarkan kesepakatan masyarakat yang jika di langgar akan berbalas sanksi dari masyarakat. Inilah kenapa Mbak Hayu dipulangkan ke keluarganya, di ceraikan oleh suaminya dan dimasukan kembali di Rumah Sakit Jiwa karena masyarakat menginginkan penampilan front stage Mbak Hayu bukan penampilan back stage yang tidak seharusnya di tampilkan. Mbak Hayu dimasukan ke institusi total seperti Rumah Sakit Jiwa untuk dikembalikan pada nilai dan norma melalui jalan medis.
Orang Dengan Skizofrenia (ODS) di anggap berperilaku di luar kesepakatan masyarakat. Perilaku mereka dianggap di luar nilai dan norma yang masyarakat sepakati seperti yang diungkapkan oleh Juwita sebagai relawan pasif yang menjadi informan dalam penelitian ini. Peran orang yang menderita to user gangguan jiwa atau masyarakat commit kerap menyebutnya dengan kata “orang gila”
157
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dinilai tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Komunikasi yang di lontarkan orang gila sebagai aktor juga tidak bisa mempengaruhi masyarakat dan di nilai tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh penonton sebagai lawan interkasinya. Karena tidak sesuai dengan kesepakatan masyarakat inilah mereka di sebut sebagai orang gila. “Nah orang gila itu yang ga sama kaya nilai dan norma yang disepakati oleh masyarakat. Kan kebanyakan kalau orang normal itu kita pakai baju ya mbak kemana-kemana. Nah orang gila itu biasanya ga. Kan kebiasaan masyarakat kalau kemana-mana pake baju, kenapa itu disebut gila? Karena dia ga sesuai sama nilai dan norma di masyarakat. Dia keluar ga pake baju, ngomong juga ga selayaknya orang. Ngomong-ngomong ngelantur, kaya gitu.”(Juwita, 30 Juni 2015) Karena adanya dua pengontrol itu, yakni satu set aturan nilai dan norma, serta pevaluasi penonton, individu harus memainkan peran sosial sebaik mungkin. Dari inti pandangan yang dikemukakan Goffman, bisa dianalogikan bahwa kehidupan sosial sama dengan dunia panggung itu. Semua individu adalah aktor-aktor yang sedang memainkan bermacam-macam model pertunjukan. Karenanya, ada berbagai macam naskah yang harus dipelajari. Naskah tersebut berisi panduan peran yang harus menjadi acuan. Isi naskah merangkum gambaran peran yang diketahui dan dikehendaki para penonton. Karena bermain di banyak panggung dan di tonton banyak audiance maka naskah yang kita miliki tidak hanya satu. Sangat mungkin naskah itu berjumlah ratusan bahkan ribuan. Inilah yang pada dasarnya dapat kita ketahui mengapa orang dengan skizofrenia yang melakukan hal pada sewajarnya dianggap memiliki kelainan kejiwaan karena kesalahpahaman masyarakat menilai panggung dari penampilan Mbak Hayu. commit to user
158
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Misalnya, Mbak Hayu sebagai pegawai, ibu, pasien skizofrenia dan sebagai anak. Maka kita harus memiliki banyak naskah, seperti naskah sebagai pegawai, naskah sebagai ibu, naskah sebagai pasien dan naskah sebagai anak. Sukses tidaknya peran merupakan hasil monitoring atau evaluasi para penonton yakni orang-orang disekitar kita. Bisa jadi Mbak Hayu dianggap tidak wajar memainkan peran sebagai seorang istri di depan penontonnya, namun Mbak Hayu berhasil memainkan peran sebagai seorang ibu. “(Sama anak) deket, kasih sayang, love terapi. Kelas dua, naik kelas dua kalau yasmin. Kalau salsa umurnya tiga tahun. Harapannya ya bisa jadi ibu yang baik untuk anak ku, terus bisa manfaat bagi orang lain” (Hayu, 7 Juli 2015) Individu atau kelompok akan selalu menghindari sumber – sumber yang memalukan dalam interaksi atau dalam bahasa Goffman dikatakan sebagai kekacauan penampilan. Kekacauan dalam konsep sehari-hari disebut insiden. Pada saat itu, individu cenderung mereaksi dalam tindakan seperti bingung, tidak nyaman, malu, dan grogi. Hal ini merupakan tindakan individu yang tidak dipersiapkan sehingga ia dituntut untuk memakai topeng. Pada titik inilah individu atau kelompok memiliki perlengkapan atau alat tertentu dan mengekspresikan atribut ini untuk menyelamatkan pertunjukkan. Dan hal ini tidak bisa digeneralisir bagi orang dengan skizofrenia yang kerap tampil dengan panggung belakang sebagai pementasan teaternya di depan publik.Seperti Supri yang berperan dengan menjadi dirinya sendiri untuk kenyamanan dan apa yang ia yakini. commit to user
159
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“kalau Supri itu ya pendiam gitu, kalau mandi wah lama sekali, kungkum lah mbak. Kalau ngelap sepeda itu bisa ketawa ketawa sendiri si supri itu” (Tri Wulandari, 27 Juni 2015) Sekalipun memang ada tindakan – tindakan yang dihasilkan dari kekacauan – kekacauan ini, yang kemudian memunculkan permainan yang baru atau realitas baru. Realitas baru yang dipahaminya sebagai sesuatu yang nyata, wajar, normal dan sama dengan orang pada umumnya. Mereka sudah tidak memahami apa yang di maksud Goffman yang mengharuskan individu atau kelompok harus mengerti ia pada posisi di panggung depan (front stgae atau front region) atau panggung belakang (back stage atau back region). Panggung depan menunjuk pada sebuah drama yang dipentaskan, yang mana perilaku pemain selalu dikendalikan, dimonitoring, dan di evaluasi oleh dua hal, yakni naskah dan tanggapn penonton. Dalam panggung depan, individu melakukan upaya yang dikatakan Goffman sebagai make work. Karena dalam realitas baru inilah, ia berekspresi dengan penuh kejujuran di hadapan penontonnya yang dimana biasanya itu adalah panggung belakang yang kerap disembunyikan. Seperti kebiasaan Supri, orang dengan skizofrenia yang dinilai sebagai panggung depan oleh kakaknya di bawah ini. “Mungkin kalau pas ngamuk itu yang ngerasukin ya yang ngomong, kalau hari-hari biasa ya biasa mbak. Wong supri itu sempet berapa tahun berdiri terus sampe kuning kakinya bengkak. Lha berdiri ga mandi ga ngapa-ngapain. kalau makan kalau ga masakan ibuknya ga mau mbak, pasti tanya itu masakan siapa. kalau makan sampai njlimet mbak, dilihatin dulu sampai beneran baru dimakan. Kalau minum ya harus gelasnya dia, yang nyuci gelas juga harus dia. Nyuci commit to user baju ya ibuknya.(Tri Wulandari, 27 Juni 2015)
160
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seperti Orang Dengan Skizofrenia yang dianggap tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan menyebabkan mereka digolongkan sebagai orang dengan gangguan jiwa. “Dilihat dari Komunikasinya ada timbal baik atau tidak, mampu merespon dengan baik, dan riwayatnya seperti apa, dan kita juga kontrolkan ke RSJ. Dan dokternya spesialis jiwa yang menyatakan mereka ODGJ atau tidak.” (Gatot, 30 Juni 2015) Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain dan kondisi psikologis dari si aktor. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam
dramaturgis,
interaksi
sosial
dimaknai
sama
dengan
pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Ketika Doni dalam commit to user
161
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keadaan sehat secara kejiwaan, Doni meninggalkan kesan yang baik di mata keluarganya. “kalau kurangnya ga ada sih mbak, dia juga manutan, diem ga suka aneh aneh, suka bantu ibu juga, rokoknya aja ga sebanyak pas sakit. Saya ingin Doni bisa kayak dulu lagi mbak, bisa kerja, bicara sama temennya, betapa senangnya saya.”(Endah, 27 Juni 2015) Ia selalu menghindari tindakan-tindakan “bodoh” yang membuat penampilannya
akan
tidak
berhasil
atau
malahan
terganggu.
Karena
ketidaktrampilan individu dalam memainkan peran ini akan merusakan atau setidak-tidaknya sangat berpengaruh pada melemahnya self yang sedang pemain tampilkan sebagai bagian dari definisi situasi. Ketika dalam sebuah tim individu melakukan suatu tindakan, tapi tidak mendukung tindakan tim lain, atau, tindakan satu tim itu merusak “khayalan” tim, maka tindakan itu di anggap sebagai kesalahan dan harus diluruskan salah satunya dengan jalan medis untuk mendapat penangan dari para ahli. “enggak mbak, ya hidupnya kan kayak gini dah cukup. Wong dia bisa beli sepeda onthel dua, terus pas sakit malah dipretelin dibuat mainan. Termos-termos dibakarin, makan itu mbok bisa sampe 20 kali mbak, warung –warung itu dihabisin makanannya waktu dulu. Dia pokoknya pengen makan terus. Bakar sama goring mangkok, termos kalau ibu ga jualan. Saya takutnya kalau bakar rumah mbak.” (Endah, 27 Juni 2015) “Sudah empat tahun mbak, sakitnya sudah lama, sampai kuningkuning semua. Gara-gara berdiri terus, gamau bicara, terus dibawa ke RSJ sama RT dan pihak keluarga. Di sana cuma 12 hari terus diambil, kita ga tega, dia pengen pulang. Setelah itu sudah bagus, tapi aneh-aneh lagi. Kalau pergi ga mbalik, pernah waktu itu pergi terus kesasar sampai kampus UNS dua hari tersesat di kampus, ibuk sampai mencari-cari. Ketemune setelah sodara saya yg ngojek di kampus ketemu. Habis itu dibawa ke PMI” (Endah, 27 Juni 2015) commit to user
162
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagi perawat seperti Yayak, perawat yang menjadi lawan interaksi sehari-hari Orang Dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli ciri orang dengan gangguan jiwa adalah tidak bisa mengorientasikan sesuatu sesuai realitas yang ada. “Orang dengan gangguan jiwa yang ada di Griya PMI Surakarta tidak bisa mengorientasikan dirinya. Contohnya yaitu ketika di tanya “ini dimana ?” mereka menjawab “di Moewardi, di anggrek, di stasiun” ini berarti mereka tidak bisa mengorientasikan tempat. Selain itu mereka juga tidak bisa mengorientasikan hari dan jam. Bahkan identitas dirinya pun ia tidak bisa mengorientasikan. Ia tidak tau tentang riwayat dirinya. Yang mereka ingat cuma kejelekan orang yang pernah menyakiti dirinya.” (Yayak, 25 Juni 2015) Oleh
Goffman,
di
sebuah
tindakan
terkandung
“impression
management”. Namun sayangnya lawan interkasinya tidak menangkap maksud dari impression management atau manajemen kesan dari si aktor. Bagi Mbak Hayu, apa yang ia lakukan itu adalah hal yang digunakan untuk melindungi orang yang dia sayangi dari kejahatan. Perananan yang ia mainkan bertujuan untuk mencapai maksud yang baik, namun orang disekitarnya tidak menangkap maksud dan tujuan atas perilaku yang Mbak Hayu lakukan, lantas mereka menganggap itu suatu penyakit kejiwaan dan membawanya ke Rumah Sakit Jiwa hingga akhirnya Mbak Hayu tercatat sebagai pasien rumah sakit jiwa.
Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho, padahal sebenernya aku kan ga sakit, takut, paranoid takut yang berlebihan. Mau gerakin tangan aja tu takut, liat orang ada di luar dari jendela di RSj yang jendelanya gede-gede liat orang lewat itu commitmenutup to user diri terus tiduran sama tutup takut. Jadi adanya Cuma
163
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bantal karena merasanya hayu kamu kalau ada di RSJ kamu itu kalah, kamu pisah sama anak-anakmu, anak-anakmu sedih jadi kaya ada kesempatan untuk wake up, bangun, untuk jadi orang yang normal ga sakit jiwa lagi tapi aku tu ragu-ragu. (Hayu, 7 Juli 2015) Dari pembahasan ini, kesimpulannya adalah ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) dalam drama kehidupan ini. Ladzimnya kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Selain itu panggung depan adalah bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi di dalam mode yang umum dan tetap untuk mendefinisakan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu. Saat itu aktor berusaha untuk memainkan peran sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil maka dari itu Identifikasi daerah belakang ini tergantung pada penonton yang bersangkutan. Namun bagi orang dengan skizofrenia, penilaian panggung depan oleh penonton itu adalah panggung belakang dirinya yang ditampilkan, menjadi tidak wajar karena biasanya di panggung depan orang penuh dengan kepura-puraan atau bersikap alamiah demi mencapai tujuan dan memenuhi tuntutan nilai dari penontonnya. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil yang di lihat dari unsur-unsur impression management. Didalam membahas sebuah pertunjukan, Goffman menyaksikan bahwa individu dapat menyaksikan suatu pertunjukan (show) bagi orang lain, tetapi kesan (impression) si pelaku terhadap pertunjukan ini bisa berbeda-beda. commit to user
164
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seseorang bisa sangat yakin akan tindakan yang diperlihatkannya, atau bisa pula bersikap sinis terhadap pertunjukan itu. Dalam kasus Mbak Hayu, Doni dan Orang Dengan Skizofrenia lainnya tidak dipahami maksudnya padahal sudah memainkan impression management yang sesuai dengan konsep-konsep drama kehidupan ini, mereka di stigma sebagai orang yang sakit yang dapat menular, menurun secara genetis dan membahayakan sehingga apa yang menjadi tujuan dari perilaku mereka gagal diterjemahkan oleh penontonnya dan akhirnya muncul istilah sakit atau gila karena ada masalah gangguan jiwa. Padahal Orang Dengan Skizofrenia hanya memainkan peran yang mereka inginkan tampilkan pada saat pertunjukan drama, sama seperti orang normal pada umumnya. Inilah gambaran tabel perbedaan panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) oleh Erving Goffman TABEL 1V.4 Perbedaan Front Stage Dan Back Stage No. 1.
2.
3.
Perbedaan Keadaan
Kepentingan untuk mengatur kesan (impression management) Perilaku individu
Front stage Tenang, bisa dimanipulasi, berpura-pura membutuhkan
Back stage Asli
Tidak membutuhkan
Harus Rileks, tidak menyesuaikan terpengaruh oleh peran sosial dengan siapapun audiens commit to user
165
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sumber: Erving Goffman.1959.the presentation of self in everyday life. Newyork: doubleday anchor books & company, Inc. Goffman tidak meletakan pandangan bahwa individu sebagai makhluk bebas, karena ia menjelaskan perilaku individu selalu ditujukan pada pihak luar. Keterampilan terpenting individu adalah melakukan definisi situasi. Individu harus mencari informasi sebanyak mungkin tentang situasi-situasi yang mengelilingi dirinya. Kemudian, menentukan sikap sesuai dengan penyimpulan situasi tersebut. Baik sikap maupun tingkah laku individu menyesuaikan dengan pihak-pihak lain, seperti pasangan interaksi (yang tergabung dalam tim), penonton sebagai pihak lain, region (tempat atau wilayah), maupun norma-norma yang mengajarkan kepantasan tertentu. Tidak ada istilah tetap atau konsisten, baik dalam perilaku maupun sikap individu. Jika keluar dari satu set aturan dan norma yang berlaku, mereka akan dimasukan dalam institusi total. Istilah institusi total (total institution) diperkenalkan Erving Goffman dalam karyanya yang berjudul Asylums:Essays on the Social Institution of Mental Patients and Other In mates (1961). Buku ini terdiri dari serangkaian makalah tentang orang-orang yang ditempatkan di institusi total . Maksudnya, adalah tempat-tempat yang memisahkan penghuninya dari dunia luar dengan pintu terkunci dan tembok tinggi. Termasuk institusi total adalah rumah sakit jiwa, penjara, sekolah asrama, dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut juga diistilahkan asylum (suaka). Di asylum, Goffman memandang orang-orang dalam institusi ini berusaha menafsirkan pengalaman mereka daripada membenarkan commit to user sistem yang mereka hadapi. Selain buku tersebut, melalui The Presentation of Self 166
perpustakaan.uns.ac.id
in
Everyday
digilib.uns.ac.id
Life,
Goffman
memperlihatkan
bagaimana
orang-orang
menyesuaikan diri dalam peran-peran masyarakat, dan bagaimana berbagai institusi mendukung dan menegakkan peran-peran mereka. Erving Goffman mengidentifikasi lima kategori institusi yaitu :
1. Institusi yang dibangun untuk merawat orang yang dianggap tidak mampu dan tidak berbahaya. 2. Tempat yang dibangun untuk orang yang dianggap tidak mampu merawat dirinya sendiri dan berbahaya bagi masyarakat. 3. Institusi total yang diorganisir untuk melindungi masyarakat dari apa yang dirasakan sebagai bahaya yang mengancam. 4. institusi yang pada dasarnya dibangun untuk menunaikan beberapa tugastugas yang mirip dengan kerja dan yang mengesahkan diri mereka atas dasar-dasar instrumental ini. 5. lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dirancang sebagai tempat mengasingkan diri dan kadang-kadang sering berfungsi sebagai tempat latihan keagamaan.
Griya PMI Peduli termasuk institusi total yang dimana institusi ini memiliki karakter didambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang di atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. commit to user
167
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Seperti penuturan dari Dokter Gatot yang menjadi pimpinan di Griya PMI Peduli. “.....Disini dilihat ketika di Griya mampu melaksanakan tugas dan bisa membantu yang lainnya dan rutin minum obat maka penderita tsb bisa dikatakan membaik. Pengobatan paling efektif untuk schizofren adalah dari keluarga, tetapi ada kendala dimana tidak semua anggota keluarga siaap untuk menerima. Ketika sudah dikembalikan keluarga Griya PMI tidak mempnyai hak untuk mengontrol karena sudah menjadi tanggungan keluarga.” (Gatot, 30 Juni 2015) Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Begitu pun yang Mbak Hayu alami selama berada di Rumah Sakit Jiwa yang termasuk dalam institusi total. Karena institusi total merupakan sebuah istilah yang digunakan Erving Goffman yang merujuk kepada lembaga-lembaga yang mengatur semua aspek dari kehidupan seseorang di bawah otoritas tunggal seperti rumah sakit mental (Jiwa). Semua aspek kehidupan Mbak Hayu di atur sedemikian rupa oleh sistem di Rumah Sakit Jiwa seperti penuturannya di bawah ini. Baik, ga ada yang jahat. Kalau yang jahat itu perawatnya, perawatnya kaya ga manusiawi sama aku, sama temen-temenku. Iya, itu pernah mukul, pernah di jotos sampe berdarah, terus di tali ga boleh makan, itu namanya bu lilik, perawat ruangan larasati. Aku commit to user mau protes tapi aku gatau harus kemana. Kayanya perawat di RSJ itu
168
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perlu di kasih bimbingan konseling kali ya, gimana memanusiakan manusia yang seperti mereka yang mengalami gangguan jiwa, agar mereka dimanusiakan sama kaya manusia normal lainnya jangan dibedakan. Terus aku sampe marah,“mbak hayu kalau marah nanti lebih lama lho disini” kata dia. “gapapa biarin aja, tapi aku manusia bu, aku kalau liat temenku sakit aku juga ikut sakit, tapi kalau ibu gituan orang gapapa berati ibu ga punya hati”. Jawabku. Moso orang di cencang, di tali habis itu ga boleh makan, terus gimana kalau laper malem-malem. Terus aku suapin. (Hayu, 7 Juli 2015) Dari penuturan Mbak Hayu di atas dapat diketahui bahwa perawat memiliki kuasa penuh pada diri Mbak Hayu dengan kata-kata ,“mbak hayu kalau marah nanti lebih lama lho disini” merujuk pada ancaman dan kekuasaan seorang perawat atas otoritas mengeluarkan seseorang dari Rumah Sakit Jiwa.
(Sumber : Dokumentasi Pribadi) Gambar 1V.4 Suasana Distribusi Makanan di Griya PMI Peduli Selain itu, tim seperti keluarga juga memiliki kuasa atas diri Mbak Hayu dimana keluarga juga turut memberhentikan pertunjukan Mbak Hayu jika di rasa sakit jiwanya kambuh dengan cara membawanya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ). “Iya, ketemu dokter ya baik-baik saja. Di tanya “gimana mbak hayu, commit to user kok masuk lagi?” iya dok, aku gamau masuk kesini sebenernya, tapi
169
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kalau aku udah agak ngelamun dikit, bingung dikit gitu, sama ibu langsung di telfonin kakak ku, terus kakak ku jemput, terus aku nanti di bawa ke RSJ gitu terus. Gitu sama keluargaku. Aku udah ke RSJ tujuh kali, tapi aku udah capek, maksudnya aku gamau, aku gamau berada dalam permainan kehidupan yang seperti ini, aku mau bangkit, aku gamau menyerah atas apa yang terjadi padaku, pokoknya aku gamau kumat lagi.” (Hayu, 7 Juli 2015) Mbak Hayu mengakui, bahwa ia memiliki realitas baru ketika sakit, realitas yang sangat nyata dan menjadi panggung baru bagi Mbak Hayu. Realitas inilah yang akhirnya membuat Mbak Hayu masuk ke Rumah Sakit Jiwa dan di rawat di Griya PMI Peduli karena tidak sesuai dengan realitas yang berlaku di masyarakat. “Iya mbak. Realitas sama yang ga nyata aku gabisa bedain. Tapi aku udah janji sama diri sendiri, ga akan masuk ke RSJ lagi. Kemaren itu udah yang terakhir. Kemaren tanggal 6 desember 2014 sampai 27 januari 2015, dua bulan. Kemaren di RSJ di EST lagi tiga kali, sakit, aku gamau.” (Hayu, 7 Juli 2015) Begitupun yang dirasakan oleh Mbak Yayak sebagai perawat. Seluruh perilaku mereka di atur secara ketat agar tidak merugikan orang lain disekitarnya dan kembali pada nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Mereka di ajak keluar dari realitas yang mereka miliki dan masuk ke dalam realitas masyarakat pada umumnya. Semua kegiatan di dalam griya sudah diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan yang ada sesuai dengan pranata-pranatanya yang dijalankan oleh dan melalui kekuasaan pimpinan Griya PMI Peduli.
Perasaan perawat ketika berada di tengah- tengah orang dengan gangguan jiwa adalah kasian, apalagi kalau masih muda. Mereka sebenarnya punya masa depan. Tidak ada rasa takut bagi perawat ketika berada di tengah- tengah orang yang gangguan jiwa, namun terkadang ada rasa risih terhadap mereka. Para perawat ingin commit untuk to user mereka namun mereka malah memberikan yang terbaik
170
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menganggap bahwa perawat itu jahat, menghakimi mereka. Hal ini yang terkadang membuat sedih perawat. Padahal yang dilakukan perawat adalah ingin melakukan yang terbaik, berusaha mengembalikan mereka pada dunia nyata mereka.(Yayak, 25 Juni 2015) Misalnya untuk pemenuhan kebutuhan makan setiap warga Griya PMI Peduli sudah diatur melalui aturan-aturan yang ketat (makan apa, lauknya apa, jam berapa diperbolehkan makan, di tempat mana mereka boleh makan dan tidak boleh makan, dan seterusnya) semuanya diawasi dan ditentukan oleh para dokter dan perawat. Semua kegiatan diatur dan dijalankan berdasarkan atas hirarki kekuasaan yang ketat. Mereka tidak bisa melepaskan diri, abnormal yang nampak dari luar diharapkan mampu menghasilkan dan mereproduksi kenormalan didalam institusi. Seperti itulah, institusi total sebagai organisasi yang mengatur keseluruhan kehidupan anggotanya. Seperti yang telah disampaikan oleh Dokter Gatot, bahwa selama mereka berada di Griya PMI atau Rumah Sakit Jiwa, pengontrolan mereka untuk minum obat di atur dengan baik dan di awasi oleh perawat. “Penderita schizofren tidak bisa lepas dari yang namanya obat. Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan prngobatan (obat psikotik) ini tidak terlepas seuumur hidup karena sebagai kontrol.” (Gatot, 30 Juni 2015) Selain itu, sikap dan perilaku keseharian juga menjadi pengawasan dari perawat di institusi total sebagai indikator apakah bisa dikembalikan ke masyarakat atau masih harus mendapatkan perawatan dari institusi total karena masih suka memberontak, marah, emosi tidak stabil atau belum memahami nilai dan norma yang seharusnya.
commit to user
171
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
......mbak hayu kalau marah nanti lebih lama lho disini”. “gapapa biarin aja, tapi aku manusia bu, aku kalau liat temenku sakit aku juga ikut sakit, tapi kalau ibu gituan orang gapapa berati ibu ga punya hati”. Moso orang di cencang, di tali habis itu ag boleh makan, terus gimana kalau laper malem-malem. Terus aku suapin.” (Hayu, 7 Juli 2015) “Ada, pernah dulu, pas aku di RSJ kan lagi hamil tahun 2011, hamil 6 bulan kaya mau mukul tanganku sama ibunya perawat, mbak hayu kamu lagi hamil jangan deket-deket sama yang berbahaya dong mbak, nanti kesehatan janinmu berbahaya kalau deket-deket yang lagi sakit jiwa kaya gitu pilih-pilih temen yang ga berbahaya.” (Hayu, 7 Juli 2015) Dan bagi perawat, ketika mereka sudah bisa hidup bersama dengan realita, nilai, norma dan aturan umum yang berlaku di masyarakat, mereka akan dikembalikan ke keluarga dan lingkungan asalnya. Namun ketika mereka kembali mengalami kelainan jiwa, maka akan ada petugas atau masyarakat yang membawanya kembali ke institusi total. Karena di dalam institusi total mereka mendapatkan sosialisasi sekunder yakni sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat.
Fakta- faktanya, ketika di Griya PMI mereka bersikap baik, bisa teratur hidupnya. Namun ketika mereka pulang ke rumah mereka akan kambuh dan akan di kembalikan ke Griya entah oleh polisi, satpol linmas, atau oleh masyarakat itu sendiri dalam keadaan yang berbeda di bandingkan saat mereka pulang beberapa waktu yang lalu. Keadaan mereka menjadi buruk kembali. Padahal sosialisasi primer menjadi hal yang tak kalah penting, karena sosialisasi ini datang dari semangat dan dukungan keluarga untuk menjelaskan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Solusi yang sebenarnya bagi orang dengan gangguan jiwa adalah pendampingan keluarga dan penerimaan dari masyarakat.(Yayak, 25 Juni 2015) commit to user
172
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengobatan paling efektif untuk schizofren adalah dari keuarga, tetapi ada kendala dimana tidak semua anggota keluarga siaap untuk menerima. Ketika sudah dikembalikan keluarga Griya PMI tidak mempnyai hak untuk mengontrol karena sudah menjadi tanggungan keluarga.(Gatot, 30 Juni 2015) Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung diatur secara formal. Orang dengan skizofrenia memili lingkungan yang tidak sama dengan individuindividu lainnya yang berada di Griya PMI Peduli, di dalam institusi ini ada nilainilai dan norma yang telah disepakati oleh masyarakat yang hidup di lingkungan Griya PMI Peduli Surakarta yang berbeda dengan masyarakat lainnya seperti masalah rambut. Ketika mereka baru ditemukan dan dibawa ke Griya PMI, kondisi mereka sangat kotor, rambut gimbal, baju dan badannya sangat kotor. Bisa jadi karena sudah berbulan- bulan tidak mandi dan tidak ganti baju serta hidup di jalanan.(Yayak, 25 Juni 2015) Hal inilah yang membuat perempuan berkepala botak menjadi hal yang biasa dan ini dipandang tidak menyalahi aturan karena ini adalah bentuk penjagaan kesehatan tubuh mereka yang lebih membahayakan jika dibiarkan panjang tak terurus karena kutu yang bisa membuat kulit kepala mereka lecet. “Sedangkan bagi orang gangguan jiwa, mereka merasa nyamannyaman saja ketika mengenakan satu baju untuk berhari- hari bahkan berbulan- bulan.” (Yayak, 25 Juni 2015) “Sifat malas menjadi ciri utama dari mereka. Yang dilakukan mereka hanya tidur- tiduran dan ketika di suruh mandi mereka tidak mau mandi. Hal ini menunjukkan perilaku yang tidak sehat. Perilaku sehat adalah perilaku yang bisa menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi.” (Yayak, 25 Juni 2015) commit to user
173
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal inilah yang membuat jadwal mandi, ganti baju, bergerak, melakukan aktivitas dan menjaga kebersihan diri adalah rutinitas wajib yang menjadi kebutuhan di Griya PMI Peduli yang mungkin bagi masyarakat itu adalah rutinitas pasti tanpa perlu pengingatan kembali seperti Bapak yang setiap pagi berangkat kerja untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. “Hanya saja yang menjadi ciri khas orang gangguan jiwa adalah tidak mau mandi. Apakah mereka takut sama air, hal ini belum ditemukan faktor penyebabnya dalam dunia pendidikan. Segala hal yang berhubungan dengan kebersihan diri, mereka pasti tidak mau.” (Yayak, 25 Juni 2015) Hal inilah yang membuat aturan nilai-nilai dan norma di institusi total seperti Griya PMI Peduli berbeda dengan aturan nilai dan norma di masyarakat pada umumnya. Seperti hal nya minum obat setiap hari adalah tindakan yang wajar bagi orang dengan skizofrenia, malah jika mereka tidak mau minum obat itu dianggap menyalahi aturan dan dikenakan sanksi dengan dikembalikan ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Dan masih ada banyak hal lain yang di anggap tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat yang menjadi nilai dan norma baru bagi orang-orang dengan skizofrenia yang tinggal bersama-sama dalam waktu yang relatif lama di Griya PMI Peduli. Begitu pun kehidupan di Griya PMI Peduli maupun Rumah Sakit Jiwa sudah menjadi lingkungan baru bagi orang dengan skizofrenia seperti Mbak Hayu yang dimana didalamnya ia mau mengikuti nilai dan norma yang diajarkan dan orang di luar institusi total tersebut belum tentu melakukan hal yang sama kepada Mbak Hayu karena berbeda tentang konsepsi nilai dan norma. commit to user
174
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Dokternya baik, dokter eta, dokter uun, dokter boy itu dokter residen yang masih sekolah, masih S2 pake kacamata. Tapi kalau ketemus sama dokter boy dia bilang gini, “sadar ga, kalau mbak hayu tercantik di griya pmi peduli?” hehe. “sadar ga kalau mbak hayu banyak yang nungguin? Banyak yang antri nunggu jadi pasangan mbak hayu?” (Hayu, 7 Juli 2015) Dimana definisi cantik di luar sudah berbeda dengan definisi cantik di lingkungan institusi total. Dan hal ini mungkin tidak ladzim dicapkan oleh orang yang berada di luar institusi total keperawatan jiwa kepada orang dengan gangguan jiwa karena akan berbeda makna. Seperti penuturan perasaan Mbak Hayu di bawah ini: “Aku kadang gini kalau pas dua bulan banyak ketemu temen-temen ya, temen pkl, perawat, dokter, calon dokter, abis itu ya pasienpasien, kalau pas kontrol pengennya ketemu sama mereka, sama pasien yang baik kan ada tu yang ga baik kaya goda-godain kan ada, yang cowo-cowo kaya gitu. Kalau pas terapi musik kan gitu, kaya godain. Ya banyak ketemu sama temen-temen pkl perawat tuh seneng, pasti di kasih buku, bulpen, kemaren aku di kasih Al-Quran.” (Hayu, 7 Juli 2015) Inilah yang membuat masyarakat luas tidak bisa mengikuti nilai dan norma mereka karena dirasa tidak ladzim atau tidak wajar, begitupun sebaliknya, orang dengan skizofrenia juga tidak bisa sepenuhnya mengikuti nilai dan norma masyarakat karena mereka memiliki realitas baru yang tidak dipahami oleh masyarakat. Hal inilah yang menurut Goffman melahirkan stigma. Maka kesimpulannya adalah institusi total bagi Goffman merupakan tempat sosialisasi setiap individu. Sosialisasi mengacu pada proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan proses commit to userkelompoknya, sehingga timbulah di mana seseorang menghayati norma-norma
175
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan diri . Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer (di dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (di dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung diatur secara formal. Orang dengan skizofrenia memili lingkungan yang tidak sama dengan individu-individu lainnya yang berada di Griya PMI Peduli, di dalam institusi ini ada nilai-nilai dan norma yang telah disepakati oleh masyarakat yang hidup di lingkungan Griya PMI Peduli Surakarta. Masyarakat sudah tidak lagi mengikuti satu set aturan nilai dan norma orang dengan skizofrenia karena dirasa tidak ladzim atau tidak wajar, begitupun sebaliknya, orang dengan skizofrenia juga tidak bisa sepenuhnya mengikuti nilai dan norma masyarakat karena mereka memiliki realitas baru yang tidak dipahami oleh masyarakat. Hal inilah yang menurut Goffman melahirkan stigma.
Didalam bukunya, Goffman memperhatikan beberapa aspek penyajian diri yang problematis. Aib (stigma) menunjuk pada orang-orang yang memiliki cacat atau kelainan jiwa sehingga tidak memperoleh penerimaan sosial yang sepenuhnya. Mereka merupakan orang yang direndahkan atau dapat direndahkan. Yang direndahkan ialah orang yang aibnya terlihat dengan mudah, misalnya orang penyandang cacat, Orang Dengan Gangguan Jiwa yang tidak berpakaian atau commit to user Orang Dengan Skizofrenia yang berhalusinasi di luar realitas yang terjadi. Karena
176
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aib tersebut selalu tergantung pada pada kelompok dimana orang selalu mencari penerimaan sosial sepenuhnya, maka di sini pun struktur institusi dan situasi kembali berperan. Sedangkan yang dapat direndahkan ialah mereka yang memilik kekurangannya untuk mengikuti standar penerimaan sosial, tidak langsung terlihat. Pada individu tersebut terdapat masalah menarik bagaimana cara menangani informasi yang dapat membuka kelemahan mereka masing-masing.
Goffman (1963) tertarik pada jurang antara seperti apa seseorang seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan seperti seseorang secara aktual, “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai celah diantara dua identitas tersebut di stigmatisasi. Stigma berfokus pada interaksi dramaturgis antara orang yang berstigmatisasi dan orang-orang normal. Hakikat interaksi itu bergantung pada mana dari kedua tipe stigma yang dimiliki seorang individu. Di dalam kasus stigma yang dideskriditkan, aktor menganggap bahwa perbedaanperbedaan di ketahui oleh anggota audiance atau nyata bagi mereka (Contohnya, orang yang lumpuh di bagian bawah tubuh atau seorang yang kehilangan anggota tubuhnya) begitu juga orang yang mengalami gangguan jiwa. Suatu stigma yang dapat di diskreditkan adalah stigma yang didalamnya terdapat perbedaanperbedaan yang tidak di kenal oleh para anggota audiance dan juga tidak dapat mereka rasakan (Misalnya, seseorang yang memiliki anus buatan atau nafsu homoseksual).
Orang Dengan Skizofrenia yang berhalusinasi menjadi menantu Susilo Bambang Yudoyono, dan lain sebagainya merupakan stigma yang commit to user
177
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didiskreditkan karena terlihat nampak jelas jurang perbedaannya jika ada interaksi dengan orang yang bersangkutan. Dimana hal ini dialami oleh Mbak Wulan yang memiliki realitas baru dalam hidupnya sebagai menantu Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak diakui oleh realitas publik yang menontonnya. Hal itu biasanya disebut waham.
Itukan ini, dia waham kebesaran, dia ngerasanya mantunya Pak SBY, isterinya agus harimurti, isteri yang pertama itu mbak wulan, isteri yang kedua itu anisa pohan. Anaknya hamengkubuwono. Waham kebesaran namanya. (Hayu,7 Juli 2015) Kondisi dimana seseorang menganggap dirinya sebagai orang lain sudah tidak bisa membedakan dirinya. contohnya mengangap dirinya sebagai menatunya pak SBY, dia merasa anisa pohan telah merebut suaminya.(Yayak, 25 Juni 2015) Untuk seseorang dengan stigma yang didiskreditkan, masalah dramaturgis ialah mengelola ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa orangorang mengetahui masalah itu. Untuk seseorang dengan stigma yang dapat didiskreditkan, masalah dramaturgis ialah mengelola informasi sehingga masalah itu tetap tidak diketahui oleh para audiance.
Sebagian besar teks stigma karya goffman dicurahkan pada orangorang dengan stigma yang jelas, sering fantastik (contohnya, hilangnya hidung). Akan tetapi, seperti yang dinyatakan buku itu, pembaca menyadari bahwa Goffman benar-benar mengatakan bahwa kita semua mendapat stigma pada suatu saat atau saat lainnya atau disuatu latar atau latar lainnya. Mencakup orang Yahudi yang “lewat” di suatu komunitas yang mayoritas kristen, orang gemuk di suatu kelompok orang yang memiliki bobot tubuh yang normal, dan individu yang commit to user
178
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah berbohong tentang masa lalunya dan selalu memastikan bahwa audiance nya tidak mengetahui penipuannya. Namun hal itu tidak terjadi pada orang dengan skizofrenia yang menunjukan identitas aslinya tanpa takut di stigma. Stigma akan terasa bagi orang dengan skizofrenia jika sudah dalam pengontrolan obat yang membuatnya bisa keluar dari realitas barunya dan merasakan realitas yang berlaku di masyarakat.
Gangguan kejiwaan sendiri masih menjadi salah satu penyakit yang masih mendapat tangapan negatif dari mayoritas masyarakat di Indonesia. bagi kebanyakan orang individu dengan gangguan kejiwaan tidak dapat diterima dalam lingkup sosial dan tidak dapat memungsikan perannya dengan baik dalam masyarakat karena ada jarak sosial antara keduanya.
Ketika lingkungan masyarakat mau menerima mereka, mereka akan berfikir ternyata ada yang peduli terhadap mereka. Sedangkan ketika lingkungan masyarakat tidak mau menerima mereka, maka orang dengan gangguan jiwa akan memiliki anggapan sendiri bahwa ia tidak di terima di masyarakat karena ini dan itu, padahal realitanya tidak seperti itu. Seharusnya ada sosialisasi kepada masyarakat karena kebanyakan dari masyarakat masih tidak mau menerima orang dengan gangguan jiwa berada di tengah kehidupan mereka.” (Yayak, 25 Juni 2015) Bagi sebagian orang gangguan jiwa adalah sebuah hal yang memalukan dan kerap kali solusi yang diambil untuk mengatasi masalah ini tidak bermoral dan manusiawi. Beberapa penderita ada yang diterlantarkan begitu saja, adapula yang dipasung, jika pihak keluarga masih ingin memelihara individu tersebut. gangguan jiwa dianggap sebagai sebuah penyakit yang tidak dapat commit to user
179
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disembuhkan, menular dan membahayakan sekalipun ini adalah stigma yang keliru. “....Sayangnya masyarakat meniai bahwasanya ODGJ itu menular dan dapat membahayakan. Emang sih ada beberapa yang membahayakan. Tapi ternyata di griya juga tidak ada yang seperti itu. justru pandangan masyarakat emunculkan emosi tersendiri kepada ODGJ.” Salah satu penyakit yang tergolong dalam gangguan kejiwaan adalah skizofrenia. Skizofrenia meruakan penyakit mental yang ditandai dengan gangguan proses berfikir dan respon emosional yang buruk. Kondisi tersebut sering bermanifestasi sebagai halusinasi pendengaran, delusi paranoid atau hambatan berfikir yang disetai disfungsi sosial. Definisi skizofrenia bagi perawat yang kesehariannya merawat orang dengan skizofrenia adalah sebagai berikut:
Skizofrenia merupakan semua yang menyangkut gangguan jiwa namun ada tahap- tahapnya sendiri. Jadi, orang dengan gangguan jiwa seperti skizofrenia namun berada di taraf- taraf yang berbeda tergantung dari hasil penggalian data dengan pasien. Proses penggalian data pasien dilakukan dengan cara ngobrol bareng, saling berkomunikasi. (Yayak, 25 Juni 2015) Skizofrenia adalah gangguana kejiawaan dan kondisi medis yang mepengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosioanal, dan tingkah laku. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan menarik diri dari hubungan antara pribadi normal. Sering kali di ikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang panca indera). Seperti yang dinyatakan oleh psikolog yang memahami tentang ilmu kejiwaan berikut: commit to user
180
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Perlu kita ketahui schizofrenia adalah waham, halusinasi merupakan salah satu sindrom dari schizofrenia. Parameter yang digunakan adalah dengan beberap cara. Tapi diluar caranya semua mengacu kepada PPDGJ.” (Nugraha, 29 Juni 2015) Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai orang lain berdasarkan penilaian itu, kategorisasai atau streotip dilakukan tidak berdasarkan keadaan yang sebenarnya atau berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang masyarakat anggap sebagai tidak pantas, luar biasa, memalukan, dan tidak dapat diterima. Stigmatisasi terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat dikenai stigma oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit, cacat sejak lahir, ganguan jiwa, pekerjaan, dan status ekonomi, hingga preverensi seksual. “Stigma menurut teori stigmanisasi itu kan seseorang bisa menjadi sesuatu seperti yang distigmakan oleh masyarakat, misalnya anak kecil, dia di stigma nakal oleh masyarakat, padahal belum tentu dia nakal, tetapi ketika dia dibilang nakal, maka dia akan mendefinisikan dirinya oh aku nakal. Maka dia akan melakukan seperti itu. Atau orang yg berada di prostitusi, meskipun dia sudah keluar, tapi masyarakat tetap memberi stigma, maka akan sulit sembuh. Sama dengan sakit jiwa.” (Rahesli, 25 Juni 2015) Jadi tidak hanya dengan gangguan jiwa, tapi juga dengan ucapan, masalah prostitusi dan hal-hal yang bersangkutan dengan penilaian penonton semuanya bisa menjadi stigma.
Terkait kelainan jiwa yang lebih memiliki kemungkinan untuk dikenai stigma adalah jenis gangguan jiwa yang menunjukkan abnormalitas atau penyimpangan (deviasi) pada pola perilakunya. Stigma yang lebih memberatkan adalah gangguan jiwa yang mempengaruhi penampilan (performance) fisik commit to user
181
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seseorang daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh terhadap penampilan fisik seseorang.
“Kalau yang di fikiran aku sih, ya itu tadi, tergantung. Tergantung orang gila seperti apa, kan orang gila beda-beda. Ada orang gila yang di tempatku Cuma jalan aja, ga ngerusak-ngerusak, itu ga membahayakan.” (Juwita, 30 Juni 2015)\ Karena gangguan jiwa erat dengan penampilannya yang jorok, kotor, dan merisihkan di masyarakat seperti penuturan di bawah ini: Terus selama tiga tahun baju panjang yang dia pake ga pernah dilepas, jadi tidur dibasahi semua bajunya. (Endah, 27 Juni 2015) Perilaku yang sering ditunjukkan orang dengan gangguan jiwa juga salah satunya adalah memakai baju terbalik dan selalu mengutarakan pertanyaan- pertanyaan yang sama berulang kali. Ini menunjukkan orientasi yang sangat jelek.(Yayak, 25 Juni 2015) kondisi mereka sangat kotor, rambut gimbal, baju dan badannya sangat kotor. Bisa jadi karena sudah berbulan- bulan tidak mandi dan tidak ganti baju serta hidup di jalanan. Hal itu juga menjadi pembeda antara orang gangguan jiwa dengan orang yang normal. Orang yang normal dan sehat pasti merasa jijik dan tidak enak serta kurang percaya diri ketika mengenakan baju kotor dan berkeringat. Sedangkan bagi orang gangguan jiwa, mereka merasa nyamannyaman saja ketika mengenakan satu baju untuk berhari- hari bahkan berbulan- bulan. (Yayak, 25 Juni 2015) Dari beberapa pendapat para ahli kesehatan mental faktor utama yang menjadi sebab terjadinya stigma gangguan jiwa antara lain sebagai berikut:
1.
Adanya miskonsepsi mengenai gangguan jiwa karenanya kurangnya pemahaman mengenai gangguan jiwa, sehingga muncul anggapan bahwa gangguan jiwa identik dengan gila. commit to user
182
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Adanya prediklesi secara psikologis sebagian masyarakat untuk percaya pada hal-hal gaib, sehingga ada asumsi bahwa gangguan jiwa
disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat
supranatural, seperti makhluk halus, setan, roh jahat, atau akibat terkena pengaruh sihir. Akibat predileksi tersebut gangguan jiwa dianggap bukan urusan medis (masih ada perlakuan
salah
terhadap
penderita
gangguan
jiwa,
(http://www.kompas.com).
Para ahli teori sosial budaya juga berpendapat bahwa apabila labeling (sebutan) untuk penyakit mental digunakan, akna sulit sekali menghilangkannya. Labeling juga mempengaruhi pada bagaimana orang lain memberikan respon kepada orang itu. dengan sebutan sakit jiwa orang lain memberikan stigmatisasi dan degradasi soial kepada orang itu. peluang-peluang kerja tertutup lagi bagi mereka, persahabatan mungkin pupus, dan orang yang disebut sakit jiwa makin lama makin disasingkan masyarakat (yustinus semiun, s1:pandanga umum mengenai penyesuaian diri dan kesehatan mental serta teori teori yang terkait, cet.vi, yogyakarta:kanisius, 2006, hlm. 270). Teori labeling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang tergantung bagaimana orang lain (orang tua, keluarga, masyarakat) menilainya. Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran orang lain tersebut. segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk kedalam kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat otomatis akan dianggap menyimpang. Karena itulah orang bisa dianggap sakit jiwa hanya karena berbaju atau bertindak aneh pada suatu tempat atau masa tertentu. commit to user
183
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kan kebanyakan kalau orang normal itu kita pakai baju ya mbak kemana-kemana. Nah orang gila itu biasanya ga. Kan kebiasaan masyarakat kalau kemana-mana pake baju, kenapa itu disebut gila? Karena dia ga sesuai sama nilai dan norma di masyarakat. Dia keluar ga pake baju, ngomong juga ga selayaknya orang. Ngomongngomong ngelantur, kaya gitu. (Gilar, 27 Juni)
Menurut Erving Goffman didalam teori sosiologi yang turut menyumbangkan pemikiran pada teori labelling, stigma merupakan suatu atribut yang sangat mendeskriditkan, dan gangguan jiwa merupakan satu dari atribut semacam ini. Seluruh pasien gangguan jiwa yang tinggal di Griya PMI Peduli Surakarta di sebut warga Griya, hal ini dilakukan untuk memanusiakan manusia dengan tidak menyebut mereka orang gila yang bernada mendeskrifitkan atau merendahkan seseorang. Mereka di masyarakatkan dengan sebutan warga dan mereka diajarkan hidup bermasyarakat dengan warga lainnya. “Ada beberapa faktor, yakni dari pribadi orang tsb, dari keluarga dan dari lingkungan. Disini dilihat ketika di Griya mampu melakasanakan tugas dan bisa membantu yang lainnya dan rutin minum obat maka penderita tsb bisa dikatakan membaik....”(Gatot, 30 Juni 2015) Warga dikatakan membaik yang menandakan bahwa mereka memiliki kemajuan kesehatan. Ketika ada kemajuan dalam kesehatannya, dokter di Griya PMI Peduli tidak mengatakan mereka sehat sebagaimana masyarakat yang sehat pada umumnya karena Orang Dengan Skizofrenia harus minum obat seumur hidup. “.... Penderita schizofren tidak bisa lepas dari yang namnaya obat. Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan pengobatan (obat psikotik) ini tidak terlepas se‟umur hidup karena sebagai kontrol. Peran sosial commit to user sangat penting, dimana ketika masyarakat tdak siap untuk menyambut 184
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penderita maka akan mengakibatkan berhalusianasi lagi.” (Gatot, 30 Juni 2015)
si
penderita
dapat
Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa Orang Dengan Skizofrenia tidak sakit jiwa 24 jam, dimana ketika mereka minum obat kesehatan mereka membaik, emosinya terkontrol dan dapat hidup layaknya orang normal pada umumnya. Terlebih ketika masyarakat mau menerima mereka, itulah faktor terkuat yang bisa mengembalikan kesehatan Orang Dengan Skizofrenia yang selama ini didiskreditkan karena penyakitnya. “Aku di tanyain sama mas havidz sama mbak ocha, tentang keinginan mbak hayu untuk orang normal ke orang yang menderita gangguan jiwa harus gimana? Ya memanusiakan mas, buat mereka menjadi lebih berarti. Mereka itu sakit itu bukan atas kemauan mereka sendiri tapi di kasih sama Tuhan. Gimana ya, pokoknya kesan pesannya jadi pasien, aku kan pernah jadi orang yang sakit kaya gitu, terus aku juga udah ngerasain jadi orang normal itu kaya apa, jadi sarannya sih buat orang yang normal, halooo! Jangan jijik sama mereka.” (Hayu, 7 Juli 2015) Mbak Hayu menuturkan dan merasakan hal yang sama, bahwa orang normal terkadang lupa memanusiakan Orang Dengan Gangguan Jiwa dan terkadang stigma membuat masyarakat merasa jijik atau takut pada penderita gangguan jiwa. Skizofrenia adalah penyakit dimana kepribadian seseorang mengalami
keretakan
alam
pikir,
perasaan,
dan
perbuatan
individu
terganggu. Pada orang normal, alam pikiran, perasaan dan perbuatan ada kaitannya atau searah, tetapi pada pasien skizofrenia ketiga alam itu terputus baik satu atau semuanya (Simanjuntak, 2008). Seperti hal nya Doni yang kehilangan arah untuk alam pikiran, perasaan dan perbuatan yang terkadang membahayakan orang lain. commit to user
185
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Dulu pas ibuk opname seminggu di Sibela itu sempet ngamuk. Mungkin kangen ya, jadi ponakan saya bilang kok mas Doni pake bajunya mbah Tiyem (ibu nya Doni), lha Doni denger terus langsung ngamuk, warungnya ibuk di rusak terus masuk rumah nyekik yang ngomong. Terus di tenangin sama sodara. Setelah ibu pulang dari RS, saya kan bawa termos baru, terus nanyain dia kenapa, lha kok ditendang termosnya sampai ambyar. Ga tau kenapa.” (Endah, 27 Juni 2015) Menurut ilmu kesehatan, skizofrenia merupakan gangguan mental berat serta umum ditemukan dalam masyarakat. Pada sebagian kasus skizofrenia dibutuhkan terapi medis dan terapi sosial jangka panjang. Seperti yang dinyatakan oleh Dokter Gatot, bahwa butuh waktu yang panjang untuk mendukung kesembuhan Orang Dengan Skizofrenia. “Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan prngobtan (obat psikotik) ini tidak terlepas seuumur hidup karena sebagai kontrol. Peran sosial sangat penting, dimana ketika masyarakat tdak siap untuk menyambut penderita maka akan mengakibatkan si penderita dapat berhalusianasi lagi.” (Gatot, 30 Juni 2015) Menurut Kartini Kartino (1985), gangguan jiwa merupakan salah satu penyakit merasa
pusing, sesak nafas demam panas dan nyeri – nyeri pada
lambung sebagai pertanda permulaan dari penyakit jasmani, maka mental disorder mempunyai pertanda awal, antara lain ialah: cemas – cemas, ketakutan, pahit hati, dengki, apatis, cemburu, iri, marah – marah secara eksplosif, asosial, ketegangan kronis, dan lain – lain.
commit to user
186
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Sumber : Dokumen Pribadi) Gambar IV.5 Doni, Orang Dengan Skizofrenia di Griya PMI Peduli Ringkasnya,
kekacauan/kekalutan
mental
merupakan
bentuk
gangguan pada ketenangan batin dan harmoni dari struktur kepribadian. Namun bagi sebagian masyarakat masih ada yang menganggap bahwa gangguan jiwa muncul dikarenakan kerasukan roh halus bahkan kakak dari penderita skizofrenia bernama Doni juga meyakini yang sama, bahwa adiknya kerasukan roh halus karena perilakunya yang di luar nalar. “Mungkin kalau pas ngamuk itu yang ngerasukin ya yang ngomong, kalau hari-hari biasa ya biasa mbak. Wong supri itu sempet berapa tahun berdiri terus sampe commitkuning to userkakinya bengkak. Lha berdiri ga mandi ga ngapa-ngapain.” (Endah, 27 Juni 2015)
187
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selama ini sebagian besar masyarakat awam menganggap orang yang terganggu jiwanya disebabkan oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal – hal spiritual atau gaib seperti “kerasukan setan” atau “diguna - guna”, sehingga mereka pergi mencari pertolongan ke “orang pintar” (dukun atau paranormal) atau pemuka agama, bukan ke dokter apalagi psikiater. Anggapan seperti itu lebih mudah diterima oleh masyarakat karena lebih bergengsi dan bermartabat (dengan kata lain tidak ada stigma) dibandingkan dengan menganggap bahwa anggota keluarganya menderita gangguan jiwa dan di rawat di Rumah Sakit Jiwa. Hal ini masih di yakini oleh keluarga Doni, bahwa anak dan adiknya kerasukan roh halus. Mereka tak memahami Doni sakit gangguan jiwa jenis apa, yang mereka pahami ketika dipanggilkan pendeta Doni memiliki kemajuan dalam kesehatannya yang dimana keluarga mengatakan Doni berangsur-angsur sembuh. “Pendeta juga pernah dateng ke rumah, waktu itu malah ada kyai ngasih tulisan Al Quran gitu di bantalnya, malah dikencingin mbak. Meskipun di kubur, disimpen sangat aman barang-barangnya dia tahu. Waktu itu lho tapi. Jadi dia kayak kerasukan gitu. Yang saya masih heran itu ya dia makan kayu Donoloyo itu, kayu donoloyo kan kayu orang mati, lha dia disuruh makan itu. Kadang juga mangapmangap, kalau saya tanya kenapa dia bilang mulutnya lumutan gitu. Kan ya ada benernya, orang kalau dia makan kayu di sungai kan kayu-kayu berlumut. Dia bilangnya lumutan, gatal bibirnya, padahal ga ada apa apa. kan dulu ngomongnya awalnya diajak berdoa sama tiga pendeta, terus Doni disuruh ngikutin, ternyata bisa mbak, terus disuruh baca alkitab yang bagian mukjizat ternyata bisa juga.” (Endah, 27 Juni 2015) Dalam sejarahnya, konsep gangguan jiwa telah dipahami secara berbeda – beda dan terkadang keliru oleh masyarakat. Setiap masa dan bangsa memiliki konsep tersendiri mengenai gangguan jiwa, termasuk bagaimana itu harus ditangani serta dampak penanganannya commit to userbagi penderita. Michael Foucault,
188
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seorang filsuf Perancis (1926 - 1984), dianggap berjasa dalam menggali bukti sejarah gangguan jiwa. Serangkaian penelitiannya di Eropa menyebutkan bahwa pada abad ke 15, penderita gangguan jiwa ditempatkan di rumah – rumah sakit yang terpisah dan terisolasi. Gangguan jiwa saat itu identik dengan kutukan Tuhan sekaligus untuk mengingatkan manusia akan penyebaran dosa dan akibatnya. Skizofrenia bagi orang awam adalah “gila” yang merupakan sekelompok reaksi psikotis dengan ciri pengunduran diri dari kehidupan sosial, gangguan emosinal dan afektif yang kadang kala disertai halusinasi dan delusi serta tingkah laku yang negatif/merusak. Gangguan skizofrenia merupakan penyakit yang sampai hari ini terus diselidiki oleh para ahli. Penyakit ini kompleks, mulai dari penyebab, gejala – gejala yang ditampakkannya, respon terhadap pengobatan sampai kepada hasil pengobatannya. Problema psikososial yang terjadi dari penyakit ini sering kali karena ketidaktahuan masyarakat khususnya dari keluarga sang penderita. Selalu orang penderita schizofrenia disebabkan oleh faktor keturunan dan juga faktor psikososialnya.Banyak teori yang mengatakan tentang penyebab schizofrenia sehingga susah untuk men-generalisir apa penyebab seseorang terkena schizofrenia. Karena semua ahal dikehidupan kita dapat memicu hal tersebut. entah itu maslah cinta, ekonomi, sekolah dsb. (Nugraha, 29 Juni 2015) Penyakit ini sebenarnya sudah ditemukan secara khusus sekitar satu aba yang lalu oleh psikiater Jerman, Emil Kraeplin. Meski sudah lama ditemukan, hanya sedikit orang mengenal penyakit ini. Umumnya masyarakat masih menganggap penderita ini tidak akan punya masa depan lagi dan tidak produktif. Hal ini cenderung menghasilkan sikap dan tindakan negatif terhadap paar commit to user
189
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penderita, seperti pemasungan, membiarkan mereka berkeliaran dijalan raya dan pada akhirnya dibawa oleh masyarakat ke Griya PMI Peduli untuk mendapatkan perawatan. Dimana ODGJ yg ada di Griya merupakan orang terlantar yang kita ketahui ditanggung oleh negara. (Gatot,30 Juni 2015) Menurut Dadang Hawari (2006) kata skizofrenia pertama kali didefenisikan pada tahun 1908 oleh ahli psikiatri Swiss, Eugen Bleuer, yang mendeskripsikan bahwa, skizofrenia merupakan sekumpulan gangguan mental yang dikarakteristikkan sebagai pikiran (phrenia) yang pecah (schizo). Konsep skizofrenia Bleur didasarkan pada gangguan jiwa yang disebut demensia prekoks oleh ahli psikiatri Jerman, Emil Kraepelin, pada 1896. PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) menempatkan skizofrenia pada kode F20.Indikator premorbid (pra sakit) pre skizofrenia antara lain: ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tajential) atau berputar – putar (sirkumtantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan dan memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, menganggu dan tidak disiplin. sakit juga ada dua, sakit fisik ketika sakit yang Nampak, yang bisa dirasakan atau bisa dideteksi oleh klinis /medis. Sakit psikis, tadi, orang yang kurang bahagia, orang yang kurang bahagia bisa menyebabkan stress, permasalahan banyak. Dampaknya bisa luas sakit psikis ini. (Gilar, 27 Juni 2015) commit to user
190
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Carol et al (2008), Stigma berarti suatu tanda atau identifikasi dari tanda yang terdiri dari rasa malu, noda atau kecemaran. Stigma erat kaitannya dengan ketidak-mengertian atau salah pengertian tentang gangguan jiwa termasuk pengobatannya dan profesi psikiater dan tenaga medis yang terlibat di dalamnya “Pengobatan paling efektif untuk schizofren adalah dari keluarga, tetapi ada kendala dimana tidak semua anggota keluarga siaap untuk menerima. Ketika sudah dikembalikan keluarga Griya PMI tidak mempnyai hak untuk mengontrol karena sudah menjadi tanggungan keluarga.” (Gatot, 30 Juni 2015) Sosiolog Erving Goffman mendefinisikan stigma sebagai proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang individu di mata individu lainnya. Penelitian oleh Lai et al (2000) mengemukakan bahwa terdapat dampak stigma terhadap pasien psikiatri, yaitu percaya diri yang rendah, rasa malu akan penyakitnya dan penolakan sosial, disertai kesulitan mendapat pekerjaan dan hak atas layanan kesehatan. Bahkan seperti yang dinyatakan oleh Carol et al (2008), stigma dapat mempengaruhi keluarga dari penderita, yang mana dapat mempengaruhi secara psikologi pada kesehatan mental penderita. Maka tidaklah berlebihan jika Bozan et al (2007) menyatakan bahwa stigma merupakan hambatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien dengan penyakit mental. “Ada, bahkan sering. Dimana beberpa pasien disini yang usdah membbaik kita kembalikan ke keluarga justru ketika dirumah cenderung memburuk kumat (kurang perhatian keluarga) dan dikembalikan ke Griya. Dan bahkan beberapa dari pasien yang merasa lebih seneng di Griya karena merasa lwbih dimanusikan.” (Gatot, 30 Juni 2015) commit to user
191
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mungkin faktor utama yang menyebabkan kita tidak ingin mengakui atau menganggap normal tingkah laku seseorang yang mengalami gangguan mental adalah karena kesan buruk yang dihubungkan dengan penyebutan bahwa seseorang itu gila atau sebutan bahwa seseorang itu sakit jiwa dilihat sebagai penilaian keseluruhan bukan penilaian atas suatu tindakan. Pandangan ini dapat menjelaskan hasil penelitian Goldberg dkk 1970 yang menunjukan bahwa dokter-dokter umum seringkali tidak berhasil mendiagnosis atau mengobati orang-orang yang mengalami gangguan emosi dan demikian juga dengan penemuan-penemuan dari Duff dan Hollingshead (1968). Kecemasan atau ketakutan yang dibuat-buat karena ada gangguan mental (Sakit jiwa) dapat dikatakan timbul dari adanya pandangan umum yang negatif tentang gangguan mental dan sejenisnya, yang menurut Scheff sudah dipelajari pada waktu kecil yang diperkuat melalui mass media serta kelakar-kelakar dan sebagainya dalam kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor utama dalam pandangan ini antara lain bahwa mereka itu tidak dapat disembuhkan, berbahaya dan selalu bertingkah laku aneh atau tidak normal dan sangat ekstrem. Juga dapat dirasakan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental tidak saja bertingkah laku aneh tetapi penampilannya pun aneh. (Fauzi Muzaham, 1995) Masyarakat banyak memandang negatif orang dengan gangguan jiwa tidak terkecuali untuk mereka yang menderita skizofrenia. Hayu, informan yang juga menderita skizofrenia menceritakan bagaimana kesedihannya ketika orangorang normal pada umumnya memandang orang dengan gangguan jiwa seperti commit to user jijik atau takut. 192
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Aku di tanyain sama mas havidz sama mbak ocha, tentang keinginan mbak hayu untuk oran normal ke orang yang menderita gangguan jiwa harus gimana? Ya memanusiakan mas, buat mereka menjadi lebih berarti. Mereka itu sakit itu bukan atas kemauan mereka sendiri tapi di kasih sama Tuhan. Gimana ya, pokoknya kesan pesannya jadi pasien, aku kan pernah jadi orang yang sakit kaya gitu, terus aku juga udah ngerasain jadi orang normal itu kaya apa, jadi sarannya sih buat orang yang normal, halooo! Jangan jijik sama mereka. Kaya mbak tria sama temen-temennya dateng kesini, ngasih hiburan, ngajak nyanyi, maen kereta-keretaan itu kan membuat mereka positif thinking, memori yang bagus, yang membuat mereka cepet sembuh.(Hayu, 7 Juli 2015) Hayu menuturkan bahwa Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) termasuk skizofrenia sekalipun bukanlah penyakit yang diinginkan atau diminta oleh si penderita, sakit yang mereka derita bukanlah keinginan mereka, semuanya sudah di takdirkan oleh Tuhan dan mereka tinggal menjalani. Ia sebagai Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang sudah sembuh dan bisa kembali bekerja, merasa bahwa orang normal terkadang tidak memanusiakan manusia yang itu sangat dibutuhkan untuk membantu proses penyembuhan mereka sekalipun seumur hidup mereka tidak bisa lepas untuk mengkonsumsi obat. Pandangan masyarakat yang memandang negatif ini jugalah yang di amati Dokter Gatot sebagai pemicu kekambuhan orang yang menderita gangguan jiwa. “Tidak tepat, seharusnya kita merangkul. Karena mereka perlu dirangkul. Sayangnya masyaakat meniai bahwasanya ODGJ itu menular dan dapat membahayakan. Emang sih ada beberapa yang membahayakan. Tapi ternyata di griya juga tidak ada yang seperti itu. Justru pandangan masyarakat memunculkan emosi tersendiri kepada ODGJ.” (Gatot, 30 Juni 2015) Dokter Gatot menuturkan bahwa orang dengan gangguan jiwa juga butuh di beri dukungan dan di rangkul untuk bisa sembuh. Namun stigma masyarakat tentang pemahaman yang salah mengenai Orang Dengan Gangguan commit to user
193
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jiwa (ODGJ) yang membuat masyarakat menilai bahwa penyakit itu menular dan membahayakan seperti yang diungkapkan pengalaman Arum dari kisah temannya. “tidak semuanya. Tapi saya pernah mendengar kabar bahwa kerabat teman saya yang sudah sembuh dari penyakit jiwanya tiba-tiba kambuh dan membunuh ibunya dengan cara memukul kepalanya hingga menyebabkan ibunya meninggal. Tapi itu hanya 1 kejadian. Saya tak prnah mlihat di sekitar warga griya sendiri.” (Arum, 28 Juni 2015) Sekalipun tak bisa disangkal bahwa memang ada penderita gangguan jiwa yang membahayakan karena ketidakstabilan emosinya seperti fenomena di atas, namun pandangan buruk yang menjadi stigma malah memicu emosi tersendiri bagi mereka. Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan pengobtan (obat psikotik) ini tidak terlepas seuumur hidup karena sebagai kontrol. Peran sosial sangat penting, dimana ketika masyarakat tdak siap untuk menyambut penderita maka akan mengakibatkan si penderita dapat berhalusianasi lagi. Seperti yang diungkapkan oleh Septi, informan yang menjadi perawat di Griya PMI Peduli Surakarta yang pernah melihat warga binaannya membaik dan bisa dirawat ke keluarga karena sudah sembuh, namun setelah dikembalikan ke keluarga dan lingkungan asalnya yang terjadi adalah warga binaannya mengalami kekambuhan penyakitnya dan harus di rawat kembali oleh Griya PMI Peduli dan Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. “Itu juga tergantung keluarga dan lingkungan. Kalau keluarga dan lingkungan ga merangkul dia balik lagi. Balik gila lagi. “Iya, ada juga disini. Karena apa ya, kurang kasih sayang, kurang dukungan commit user yang istilahnya suka ngelamundari keluarga, nah nanti kanto ada
194
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ngelamun terus disini sembuh balik ke keluarga ngelamun lagi, kaya gitu juga bisa kan.” (Septi, 26 Juni 2015) Dan pernyataan di atas di perkuat dengan pernyataan Dokter Gatot yang menegaskan bahwa perananan sosial yang berasal dari masyarakat menjadi kebutuhan utama karena ketika masyarakat tertutup dan tidak mau menerima mereka karena stigma buruk yang menempel pada Orang Dengan Skizofrenia akan membuat mereka kembali berhalusinasi. “Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan pengobatan (obat psikotik) ini tidak terlepas seuumur hidup karena sebagai kontrol. Peran sosial sangat penting, dimana ketika masyarakat tdak siap untuk menyambut penderita maka akan mengakibatkan si penderita dapat berhalusianasi lagi.” (Gatot, 30 Juni 2015) Bagi Mila, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Surakarta, pandangan buruk yang menjadi stigma negatif terhadap penderita gangguan jiwa itu karena orang disekitar mereka tidak memiliki kepekaan kepada mereka termasuk Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang akhirnya memicu untuk mereka mengalami gangguan jiwa lagi karena kepekaanya yang tidak di respon oleh orang disekitarnya. “Mereka adalah orang yang peka dengan keadaan mereka dan sekitar , tapi tidak semua sekitar menyadari mereka , dan justru membuat mereka jatuh menjadi sakit jiwa karena kepekaan nya.” (Mila, 28 Juni 2015) Dan seburuk apapun stigma yang menempel pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS), bagi perawat mereka tetap membutuhkan keluarga dan lingkungan sosial yang kondusif untuk menerima mereka. Dokter Gatot pun menyatakan hal yang sama dari pernyataan di atas, tanpa perananan sosial mereka tidak dapat disembuhkan apalagicommit ini penyakit to useryang menahun dan mereka harus
195
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
minum obat sepanjang mereka hidup, karena stigma yang salah membuat masyarakat enggan memainkankan peranan sosialnya akibat rasa ketakutan yang tinggi yang membuat masyarakat secara sadar atau tidak sadar memberi perlakuan yang berbeda pada penderita skizofrenia maupun jenis gangguan jiwa yang lainnya. “Bagi perawat, orang dengan gangguan jiwa sebenarnya membutuhkan keluarga, ketika mereka di kucilkan maka yang terjadi adalah kondisinya semakin parah dan kesembuhan mereka akan semakin susah. Justru yang harus dilakukan ketika orang di vonis gangguan jiwa adalah pendampingan dari keluarga dan pengawasan dalam pemberian obat secara teratur kepada mereka, jangan sampai putus.” (Yayak, 25 Juni 2015) Bahkan di mata sosiolog pun menegaskan bahaya stigma yang akan berdampak pada orang yang distigma. Bu Rahesli sebagai informan menjabarkan dalam wawancaranya bahwa orang dengan gangguan jiwa sama hal nya dengan pelacur di lokasi prostitusi ketika mereka menerima stigma. Stigma yang menempel pada status atau penyakitnya akan menimbulkan ketakutan mereka untuk kembali pada lingkungan masyarakat sekalipun mereka sudah keluar atau dinyatakan sembuh oleh dokter yang dimana masyarakat tetap memberi stigma dan ini menimbulkan masalah baru lagi bagi orang yang distigma. “Atau orang yg berada di prostitusi, meskipun dia sudah keluar, tapi masyarakat tetap memberi stigma, maka akan sulit sembuh. Sama dengan sakit jiwa.” (Rahesli, 25 Juni 2015) Scheff pun mengatakan hal yang sama, bahwa pandangan seperti itu akan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan tingkah laku dari seseorang yang disebut sakit jiwa. Dia menyampaikan argumentasinya tentang commit to user
196
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masalah pandangan orang terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa sebagai berikut : “Dalam pembicaraan disini, dapat kita katakan bahwa semua orang di dalam masyarakat mengetahui gejala dari gangguan mental dalam bayangannya. Bayangannya ini cenderung terikat pada masingmasing budaya dan bangsa, hubungan ini mungkin merupakan salah satu alasan mengapa ada perbedaan atau variasi pada gejala-gejala yang terjadi dalam budaya-budaya yang berbeda. Jika bayangin ini dapat diberikan pada si pelanggar aturan sosial atau memberi gambaran dan pengertian tentang apa yang dialaminya, maka mutu dari reaksi masyarakat mempunyai arti yang penting dalam penentuan lama dan akibatnya.” (1960;80) Scheff menyatakan bahwa masyarakat mengetahui gejalan gangguan mental dalam bayangannya atau kontruksi berfikirnya tentang orang yang mengalami gangguan jiwa. Konstruksi ini cenderung terikat pada faktor budaya dan bangsa masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Konstruksi berfikir ini di pengaruhi oleh ragam kejadian dan fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya ada kecendrungan untuk mengenaralisir pada seluruh penderita gangguan jiwa. Seperti ketakutan yang diceritakan oleh Juwita yang menjadi informan dalam penelitian ini bahwa pengalaman pribadinya ketika kecil yang melihat perilaku orang dengan gangguan jiwa yang membahayakan orang lain menimbulkan konstruksi berfikir bahwa mereka membahayakan dan menimbulkan rasa ketakutan hingga sekarang. “Ya ga sih, dulu sih pas waktu SD ada orang gila yang udah gedorgedor, gimana ya, yang tingkah lakunya udah tingkatan gila parah banget lah. Dia itu jalan-jalan keliling kampung, dan itu ga pake baju, terus ketemu apapun di lemparin. Jendela orang di lempar, begitu. Jadinya takut aja kalau sama orang gila. Padahal bukan aku yang dilemparin tapi itu udah bikin aku takut. Soalnya kan itu pas kecil ya, jadi kaya ngena gitu. Sampai sekarang tetep takut. Ga kaya commit to user kalau kita percaya sama orang normal. Gatau, tapi rasanya takut.
197
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gatau kenapa kenyataannya gitu. Labeling, mereka udah kaya labeling ya, susah, kalau udah sekali ini, yaudah.” (Juwita, 30 Juni 2015) Dan pernyataan yang sama juga dituturkan oleh Siswandi yang mengatakan bahwa konstruksi
berfikir masyarakat yang memiliki pandangan
negatif sulit untuk dihilangkan karena stigma buruk itu diwariskan secara turun temurun dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. “Stigma itu kuat. Karena umumnya masyarakat Indonesia atau yang pernah saya temui menganggap istilah gila ya tadi itu. Lihat saja di kondisi masyarakat, meniru dari masyarakat (yang lain) dan turun menurun jadi susah stigma itu hilang tapi bisa. Kalau menurut saya pribadi susah karena itu kebiasaan yang cara berfikir diwariskan turun menurun.” (Siswandi, 30 Juni 2015) Stigma buruk itu juga berpengaruh ke Griya PMI Peduli Surakarta karena di dalamnya tinggal orang dengan gangguan jiwa. Itulah yang menyebabkan ada rasa takut untuk Siswandi atau mahasiswa yang lain, yang tinggal tidak jauh dari penampungan gangguan jiwa seperti Griya PMI Peduli Surakarta enggan untuk peduli atau berkunjung ke dalamnya bahkan tak memunculkan semangat mengabdi seperti pengabdian untuk anak jalanan, kaum marginal dan masyarakat terpinggirkan lainnya karena ketakutan yang memenuhi konstruksi berfikir mereka akan perilaku penderita gangguan jiwa. “Ya ngaruh (buat tidak datang atau mengabdi) karena di dalemnya orang gila. Bukan takut, hanya khawatir. Enggak jijik. Cuma khawatir mereka tidak bisa mengendalikan diri mereka.” (Siswandi, 30 Juni 2015) Maka bila pandangan tentang gangguan jiwa mempunyai sifat yang negatif, apa akibatnya? Schelff mengatakan bahwa salah satu akibatnya adalah akan menstabilkan tingkah lakunya dan diakuinya commit to user gejala-gejala tertentu. Tentang
198
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini, hasil penelitian Scott (1969, 1970) mengenal kekuatan yang dimiliki oleh ahli untuk mempengaruhi pasien-pasiennya, dapat cocok dipakai karena dapat menjadi dasar yang penting untuk membentuk karakter-karakter dan mengarahkan tingkah laku si penderita (lihat juga diskusi siegler dan Osmond, 1966). Pertama, si penderita harus menerima kenyataan bahwa ia sakit, penerimaannya juga sesuai dengan pandangan seorang ahli sebelum proses penyembuhan dimulai. “Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho.” (Hayu, 7 Juli 2015) Kedua, bahwa pemberian julukan sebagai penderita gangguan mental akan menunjukkan kekurang sempurnaannya sebagai manusia. Dari segala bentuk penyakit, penyakit gangguan mental mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dalam kaitannya antara nama penyakitnya dengan semua bidang kegiatan sosial, dan langsung menanyakan tentang karakter orang tersebut. Semua perbuatannya ditanyakan (diteliti) dalam usaha mencari penyebab dari penyakit tersebut. “Kalau ditanya itu dia suka bilang kalau dia ga gila, yang gila itu yang disana gitu. Dulu mau diajak suntik juga pernah lari, gamau, udah sampai sana malah lari. “aku ga gila, yang gila kamu itu”, Dia suka bilang gitu.” (Tri Wulandari, 27 Juni 2015) Ketiga, adalah sulit sekali untuk menghilangkan julukan tersebut. Si penderita penyakit jantung selalu dianggap memiliki kelainan jiwa yang mereda, dengan kemungkinan timbul kembali. Seperti orang-orang yang cacat fisiknya, mereka selalu di olok-olok dan dicurigai, demikian pula orang yang diketahui commitTetapi to userada perbedaanya, bagi penderita pernah mengalami gangguan mental.
199
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gangguan mental hal itu bisa merugikan statusnya semula, sedangkan penderita cacat fisik tidak. Namun harus ditekankan bahwa akibat-akibat tersebut sangat berbeda menurut kekuatan dan pengaruhnya. “Jadi adanya cuma menutup diri terus tiduran sama tutup bantal karena merasanya hayu kamu kalau ada di RSJ kamu itu kalah, kamu pisah sama anak-anakmu, anak-anakmu sedih jadi kaya ada kesempatan untuk wake up, bangun, untuk jadi orang yang normal ga sakit jiwa lagi tapi aku tu ragu-ragu. Jadi akhirnya aku jadi orang yang sakit lagi, disalahkan sama keluarga. Kan keluargaku sampe saat ini dukungan keluarga nol. Iya jadi karena udah setiap kali masuk ke RSJ jadi aku udah ga percaya kalau aku bisa sembuh gitu, sampe segitunya. Kakak ku bilang gini, “aku wes ga percaya sama kamu, kamu kalau udah kumat itu sampe berkali-kali. Jadi aku udah ga ada rasa percaya sama kamu.” (Hayu, 7 Juli 2015) Namun ada juga akibat positifnya yang berhubungan dengan pemberian julukan penyakit, yakni keuntungan teratasinya keraguan dan mudahnya memberikan bantuan yang diberikan pada penderita dalam menghadapi penyakitnya. Aspek-aspek positif ini juga terlihat pada gangguan mental yaitu: pertama, julukan terhadap tingkah laku non sosial sebagai penyakit sangat penting dalam menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi anggapan bahwa tingkah laku dan karakter semula secara moril negatif. “Orang dengan shizofrenia itu sedang sakit, sehingga tidak tepat dikatakan menyimpang. Dimana mrnyimpang identik dengan suatu hal yg negatif.” (Gatot, 30 Juni 2015) “Ga, kalau perilaku menyimpang itu dilakukan oleh orang yang psikologisnya, psikisnya, otaknya waras ya. Kalau orang gila itu bukan penyimpangan sih kalau menurutku, jadi kaya, ya bukan penyimpangan. Kalau penyimpangan itu dilakukan oleh mereka yang tahu dan sadar tapi di langgar, tapi kalau orang gila kan mereka pastilah ga ngerti yang bener gimana, yang salah gimana.” (Juwita, 30 Juni 2015) “bukan. Karena pelaku perilaku commit to user menyimpang itu masih punya kesadaran dan berpikir rasional, beda dengan orang gila. iya. Bahkan 200
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam hukum orang gila bebas dari jerat hukum.” (Gilar, 27 Juni 2015) Kedua, penderita gangguan mental memang sedang menghadapi masalah-masalah. Dengan julukan atas penyebab persoalan-persoalan itu sebagai penyakit, setidak-tidaknya hal itu mempermudah untuk meminta dan menerima pertolongan orang lain untuk menyelesaikannya. Tidak hanya orang normal yang bisa menstigma orang dengan gangguan jiwa, tapi orang dengan gangguan jiwa pun bisa memberikan stigma kepada orang yang normal. Karena stigma bisa diberikan oleh siapapun, layaknya stigma orang Jawa terhadap orang Sunda yang boros, Stigma orang Sunda terhadap orang Batak yang kasar, dan lain sebagainya yang disebabkan perbedaan kebudayaan, nilai dan norma yang dianut oleh masing-masing masyarakat yang melahirkan perbedaan kebiasaan. Karena nilai dan norma yang dianut oleh orang dengan skizofrenia di Griya PMI Peduli berbeda dengan nilai dan norma yang di anut oleh masyarakat di luar Griya PMI sebagai institusi sosial, begitu pun sebaliknya. Maka stigma dapat diberikan kepada semua orang yang menjadi penilaian untuk orang lain. Jadi stigma bukanlah penyakit, stigma hanyalah perbedaan pemahaman dan mendefinisikan realita yang akhirnya melahirkan jarak virtual dan jarak realita.
commit to user
201
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Sumber : Dokumen Pribadi) Gambar IV.7 Kaligrafi Dari Stereoform Karya Orang Dengan Skizofrenia di Griya PMI Peduli
Maka kesimpulannya dalam pembahasan ini adalah setiap orang memiliki panggung depan dan panggung belakang. Perbedaan pemahaman tentang panggung depan yang ditangkap oleh audiance merupakan panggung belakang yang ditampilkan oleh orang dengan skizofrenia di hadapan publik. Sedangkan panggung depan bagi orang dengan skizofrenia hanya terjadi ketika mereka dalam kondisi yang membaik dampak dari obat yang diminum sehingga bisa mengontrol kejiwaannya dan menjadikannya bisa memahami bahwa ada realitas masyarakat di luar realitas baru yang ia miliki. Hal inilah yang melahirkan commit to user jarak sosial. Bagi Goffman, stigma itu lahir karena ada jurang antara seperti apa
202
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seseorang seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan seperti apa seseorang itu secara aktual, “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai celah diantara dua identitas tersebut di stigmatisasi. Hal inilah yang menyebabkan orang dengan skizofrenia di stigma. Karena ada jarak antara identitas sosial virtual dan identitas sosial aktual dalam dirinya di mata penontonnya (masyarakat) melihat sebagai dari panggung depan yang di nilai tidak memenuhi tuntutan naskah dan ekspektasi audiance yang disebabkan ada perbedaan pemahaman naskah antara orang dengan skizofrenia yang memilki realitas baru dengan penonton yang tidak bisa memahami realitas di luar realitas yang mereka pahami.
Tabel IV.5 Gambar Pandangan Mengenai Stigma Gangguan Jiwa INFORMAN FRONT STAGE BAGI AUDIANCE Dokter Panggung depan yang di lihat oleh dokter terhadap orang dengan gangguan jiwa adalah tidak mampu mengontrol emosi atau fluktuasi mental. Namun di sisi lain mereka memiliki kelebihan dengan apa yang menjadi ketertarikan bagi minat mereka seperti seni maupun ibadah, dan lain- lain.
ORANG DENGAN SKIZOFRENIA FRONT STAGE BACK STAGE
Di wilayah ini lah mereka berusaha memenuhi indikator nilai dan norma yang ada di masyarakat dengan menunjukan kelebihankelebihan yang mereka miliki, seperti kemampuan menyanyi, merajut, menjahit, memasak, melukis dan lain sebagainya yang sama dengan kemampuan penonton commit to user pada umumnya. Di 203
Apa yang di anggap dokter sebagai panggung depan adalah panggung belakang bagi ODS. Mereka bukan tidak mampu mengontrol emosi, namun emosi yang keluar adalah emosi yang mengekspresikan perasaannya tanpa terikat oleh nilai dan norma yang berlaku bagi dokter karena di wilayah inilah mereka menjadi diri sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id
Perawat
Aktivis
Keluarga
digilib.uns.ac.id
wilayah ini juga di pengaruhi dengan khasiat obat yang di konsumsi ODS untuk kesehatan jiwanya. Panggung depan yang di Orang dengan lihat oleh perawat skizofrenia terhadap orang dengan berusaha bersikap skizofrenia adalah orang manis, menunjukan yang melakukan kemajuan perbuatan menyimpang kesehatannya, dan karena di luar kebiasaan mematuhi aturan nilai dan norma yang ditetapkan masyarakat yang di seperti aturan anut. Dimana panggung mandi, makan, depan yang dilihat tidur dan aktivitas audiance ini adalah lainnya kegagalan ODS dalam sebagaimana mengorientasikan mestinya. sesuatu termasuk dirinya sendiri, tidak bisa menjaga dirinya dan emosi yang tidak stabil mengarah membahayakan jika tanpa pengawasan. Panggung depan yang di Di depan aktivis lihat aktivis adalah yang memberikan kelemahan akal mereka. terapi untuk Selain itu mereka di penyembuhan, anggap memiliki mereka keinginan yang sangat menampilkan tinggi. Di sisi lain kemampuannya aktivis melihat orang dengan baik dengan gangguan jiwa sehingga terlihat adalah orang yang bakat dan potensi cerdas dan memiliki yang terpendam bakat yang mereka dari mereka, untuk miliki sebagai dampak mempengaruhi dari rehabilitasi untuk agar di apresiasi kembali ke realita dan memiliki masyarakat. teman dari luar Griya PMI. Bagi keluarga, Di depan keluarga commit to user panggung depan yang di mereka berusaha
204
Bagi orang dengan skizofrenia, apa yang diutarakan adalah apa yang dirasakan dan nyata bagi mereka sebagai sebuah realitas baru yang tidak di pahami oleh orang lain di luar realitas mereka dan sebaliknya. Maka perawat maupun aktivis tidak jarang tak memiliki kemampuan berkomunikasi karena perbedaan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman yang dialami oleh keduanya. Sebagai panggung belakang, hal itu ditampilkan untuk berekspresi dengan jujur dan nyata.
Mereka menunjukan rasa cinta yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tampilkan oleh anggota keluarganya yang mengalami schizofrenia bukanlah kekurangan. Hal ini karena keluarga menganggapnya bukan suatu masalah. Namun di tempat yang lain, ada keluarga yang merasa kecewa, hilang kepercayaan dan putus asa dampak dari penampilan anggota keluarganya yang mengalami skizofrenia. Keluarga juga menganggap bahwa itu adalah pengaruh makhluk halus.
menunjukan bakti sebagai anak, rasa cinta, keinginan untuk sembuh, meyakinkan bahwa mereka sudah sembuh, menunjukan keinginan yang besar untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga serta berusaha meyakinkan bahwa dirinya sudah kembali seperti keadaan semula.
besar kepada keluarganya dengan melakukan hal-hal yang di anggap tidak ladzim oleh keluarga. Hal ini dikarenakan ODS mendapati bisikan atau memiliki kepercayaan bahwa orang disekitarnya terancam dari kejahatan yang membuat mereka melakukan tindakan untuk menjaga dan menyelamatkan keluarganya dengan meyakini ini adalah suatu yang normal, nyata, dan sesuai dengan aturan di masyarakat. Relawan Panggung depan yang di Berusaha untuk Mereka Pasif tonton oleh masyarakat menunjukan mengekspresikan selama ini adalah sosok kesamaan antara perasaan dan yang menakutkan, dirinya dengan menjadi diri mereka mengancam, masyarakat lainnya sendiri tanpa terikat membahayakan, hilang melalui sikap, dengan nilai dan rasa malu, kotor dan perilaku, tindakan norma di tidak sesuai dengan dan kebiasaan yang masyarakat yang kebiasaan yang diinginkan oleh berbeda dengan dilakukan oleh masyarakat. nilai dan norma masyarakat pada yang mereka yakini. sewajarnya. Apa yang mereka tampilkan adalah kejujuran ekspresi dan bukan suatu hal yang di rekayasa. *nb : panggung depan terjadi ketika orang dengan skizofrenia yang kesehatannya sudah terkontrol dengan obat yang dikonsumsi rutin sehingga mereka dapat merasakan kembali realitas yang berbeda dan berada di luar mereka.
commit to user
205
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Pembahasan
Pada dasarnya ada banyak pandangan mengenai gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Ada banyak perbedaan maupun persaman pandangan tentang pemahaman tentang sakit. Saki yang di bagi menjadi dua yakni sakit fisik dan sakit jiwa yang kemudian membentuk pandangan tentang normal dan abnormal yang kerap disebut dengan gangguan jiwa atau “gila” dalam bahasa keseharian masyarakat. Kemudian pandangan tentang normaletis yang membahas serangkain nilai dan norma yang menjadi atruran sosial sebagai acuan perilaku dan bersikap membentuk panggung depan dan panggung belakang seseorang yang dikenal dengan istilah Dramaturgi. Pandangan-pandangan inilah yang akhirnya membentuk stigma di masyarakat. Namun stigma tersebut terbentuk bukan tanpa sebab. Bagaimana proses stigma hadir untuk orang dengan skizofrenia disebabkan oleh adanya jurang pemisah atau jarak antara realitas virtual dan realitas faktual. Penelitian ini menggunakan teori Dramaturgis Erving Goffman. Goffman menyatakan bahwa hukum interaksi sosial bisa ditemukan pada hukum panggung (stage) atau individu yang memainkan peran dipermaianan teater atau drama pertunjukkan (Rachmad Dwi Susilo, 2008:368). Begitu pun dengan kehidupan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang tinggal di Griya PMI Peduli Surakarta. Mereka semua tidak lepas dari hukum panggung seperti yang telah di ungkapkan Goffman jika sudah berhadapan dengan audiance atau penontonnya. Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang di dalamnya termasuk Orang dengan Skizofrenia (ODS) menjadi fokus penelitian ini juga tidak bisa commit to user lepas dari pandangan dan penilaian audiance. Mereka di tuntut untuk memahami
206
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa hidup hanyalah pementasan pertunjukan panggung yang di dalamnya dibutuhkan beragam perangkat yang harus dipersiapkan untuk menunjang penampilan seperti penampilan pemain (performer) yakni dirinya sendiri beserta team yang terlibat, kualitas penampilan (performance), tempat (region) atau panggung (stage), naskah (script), latar (setting), dan yang tidak kalah penting, yakni penonton (audience) karena hidup tidak lepas dari evaluasi penonton yakni masyarakat itu sendiri. Dalam setiap pementasan setiap individu atau kelompok yang menjadi teamnya di pandang Goffman harus memainkan pertunjukan dengan penuh kehati-hatian agar penampilan yang di suguhkan untuk penonton adalah penampilan yang terbaik. Acuannya hanya dua, naskah (script) dan penonton itu sendiri yang menjadi audiance. Kemudian individu atau kelompok harus mengerti ia pada posisi di panggung depan (front stage atau front region) atau panggung belakang (back stage atau back region). Panggung depan menunjuk pada sebuah drama yang dipentaskan, yang mana perilaku pemain selalu dikendalikan, dimonitoring, dan di evaluasi oleh dua hal, yakni naskah dan tanggapn penonton. Dalam panggung depan, individu melakukan upaya yang dikatakan Goffman sebagai make work. Dalam panggung sandiwara itulah seseorang harus mampu menampilkan “kesan realitas“ kepada sesamanya agar bisa meyakinkan gambaran (citra) yang hendak diberikan kepada orang lain. Untuk itu ia harus mengadapstasi “permukaan pribadinya lewat peran dan mendramatisasinya, yaitu dengan memasukkan tanda-tanda yang akan memberikan kesan melalui aktivitas yang commit user dilakukan dan perilakuknya tampak tidak to keliru.
207
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak semua panggung depan yang ditampilkan setiap orang akan memenuhi harapan penonton. Seperti yang diungkapkan Kartini Kartono bahwa ekspresi dan penampilan orang yang mengalami kekalutan mental (mental disorder) seperti skizofrenia adalah penampilan yang tidak lazim pada umumnya seperti komunikasi sosialnya terputus-putus, dan ada disorientasi sosial. Selain itu timbul delusi-delusi yakni ilusi yang keliru (khayalan yang tidak benar) yang menakutkan dan dihinggapi delusi of grandeur (merasa dirinya super, paling) yang membuatnya selalu iri hati dan curiga. Adakalanya dihinggapi delusi of persecution (khayalan yang dikejarkejar). Sehingga dia menjadi sangat agresif, berusaha melakukan perusakan, dan bunuh diri (Kartini Kartono, 2005:271). Hal ini menjadi realitas baru yang dialami oleh orang dengan skizofrenia, terlihat sangat nyata dan sudah tidak bisa dibedakan lagi oleh dirinya mana yang ilusi dan mana yang realitas sebenarnya. Realitas baru inilah yang menjadi panggung depan untuk orang dengan skizofrenia. Mereka menampilkan pertunjukan yang dipengaruhi oleh naskah realitas baru, mengikuti nilai dan norma realitas baru yang hanya disepakati oleh mereka yang memiliki realitas yang sama. Dan hal ini dianggap tidak wajar oleh masyarakat pada umumnya yang memiliki realitas sendiri dengan naskah yang berisi kesepakatan nilai dan norma yang telah disetujui dan dilaksanakan oleh anggota kelompoknya dan dimaknai sebagai kebiasaan yang sewajarnya. Orang dengan skizofrenia menampilkan panggung depan yang di nilai tidak wajar atau tidak ladzim dilakukan manusia sehat secara kejiwaan, padahal commit to userpanggung belakang mereka yang panggung depan yang di tampilkan itu adalah
208
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesungguhnya. Panggung belakang yan dimana mereka sudah tidak melihat kondisi penonton, mana yang benar-benar ia kenali karakternya dan mana yang tidak ia kenali, sehingga apapun yang ditampilkan tidak disesuaikan lagi dengan karakter penonton, tidak disesuaikan dengan nilai dan norma penonton, tidak disesuaikan dengan harapan dan apapun yang di inginkan penonton, mereka tidak lagi memperhatikan apakah ini penonton yang baru atau penonton lama yang biasanya melihat pertunjukannya, apakah karakter penonton dihadapannya sudah di pahami atau tidak untuk kemudian disesuakan dengan penampilannya, mereka sudah mengacuhkan itu semua seperti ketika penonton atau manusia pada umumnya berada di panggung belakangnya. Mereka sudah melepaskan semua nilai dan norma yang melekat ketika berada di fornt stage. Panggung belakang bagi Goffman sangat berbeda dengan penampilan pada panggung depan yang membutuhkan banyak perangkat yang harus dipelajari untuk menunjang penampilan dan mengelola kesan di hadapan penotonnya yakni individu atau kelompok yang sedang dihadapi, sebaliknya panggung belakang merupakan tempat para pemain lepas dari sorotan penonton, atau dalam bahasa Erving Goffman dinyatakan, “Panggung belakang didefinisikan sebagai suatu tempat, yang relatif menjadi tempat penampilan biasa, dimana kesan dikembangkan oleh penampilan yang secara sadar dikontradiksikan sebagai sebuah hal yang biasa (Goffman, 1959:112)” commit to user
209
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada panggung belakang inilah, penampilan begitu apa adanya dan panggung depan bagi penonton yang mengamati orang dengan skizofrenia adalah panggung belakang yang sesungguhnya bagi mereka karena di posisi inilah mereka sudah lepas dari naskah-naskah yang menuntut dan membatasi gerak mereka. Seperti Doni yang dikisahkan oleh keluarganya dalam penelitian ini bahwa ia menghalangi semua orang berlalu lalang di depan rumahnya karena sedang melindungi rumah dan keluarganya yang akan roboh jika semua orang terus berlalu lalang dengan kendaraannya di depan rumahnya. Doni melakukan ini semua sebagai suatu hal yang wajar, sama seperti anak-anak lainnya yang akan melindungi keluarga dan rumah sebagai tempat tinggalnya dari ancaman yang ia yakini dapat membahayakan seperti maling, orang jahat atau kecerobohan karena api yang mengancam terjadinya kebakaran. Doni tidak lagi kwatir akan penilaian orang lain karena realitas barunya menuntun dirinya untuk melakukan hal ini sekalipun tidak diharapkan banyak orang karena mengganggu aktivitas warga karena jalan yang dilaluinya menjadi terganggu dan tidak masuk akal bagi penonton jika karena motor, mobil atau kendaraan lain yang berlalu lalang bisa merobohkan rumah yang kokoh, karena kecepatan dan kekuatan kendaraan manusia tidak sama dengan kekuatan gempa bagi masyarakat sebagai penonton pada umumnya yang melihat penampilan Doni. Dari sinilah penonton menilai panggung depan Doni, Hayu, Supri dan orang dengan skizofrenia lainnya di Griya PMI Peduli memiliki kelainan kejiwaan dari hasil pertunjukan mereka di panggung depan dengan naskah yang tak lagi sama antara naskah yang dimiliki penonton dan naskah yang dimiliki oleh orang dengan skizofrenia seperti mereka. commit to user
210
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat mengatakan mereka gila, tapi bagi mereka melalui pernyataan langsung yang telah disampaikan di hasil penelitian, mereka sadar bahwa apa yang dilakukan itu wajar dan tidak sepantasnya mereka mengatakan gila. Ini semua karena perbedaan naskah yang dimiliki antara masyarakat yang mengatakan gila karena penilaian panggung depannya disesuaikan dengan nila dan norma yang mereka sepakati dengan orang dengan skizofrenia yang memiliki naskah sendiri karena ada realitas baru dengan menghadirkan nilai dan norma baru yang berlaku bagi mereka. Goffman mengatakan bahwa Individu atau kelompok akan selalu menghindari sumber – sumber yang memalukan dalam interaksi yang disebut dengan kekacauan penampilan. Kekacauan dalam konsep sehari-hari disebut insiden dan ketika itu terjadi individu sebagai aktor cenderung bereaksi dalam tindakan seperti bingung, tidak nyaman, malu, dan grogi mengingat hal ini bukanlah tindakan individu yang telah dipersiapkan sehingga ia dituntut untuk memakai topeng guna menyelamatkan penampilannya. Pada titik inilah Goffman menyebut individu atau kelompok memiliki perlengkapan (alat tertentu) dan mengekspresikan atribut ini untuk menyelamatkan pertunjukkan. Sama hal nya dengan orang skizofrenia, ketika mereka berada di panggung depan seperti ketika berada di hadapan perawat atau dokter kejiwaan yang menangani mereka seharihari, orang dengan skizofrenia di Griya PMI Peduli menampilkan kesan sebagai orang yang sehat agar di beri izin dan kebebasan kembali kepada keluarganya. Mereka menunjukan diri bahwa mereka sudah pulih, tidak marah, tidak to user kemajuan signifikan dengan menyendiri, tidak menangis, commit dan memiliki
211
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menunjukan sifatnya yang rajin, membantu warga lain yang juga mengalami gangguan jiwa, ramah dan senyum kepada setiap orang yang di hadapannya dan inilah yang membuat akhirnya Mbak Hayu, Mas Pras, di katakan sembuh dan bisa kembali kepada keluarganya. Jadi orang dengan skizofrenia juga memiliki panggung depan sama seperti masyarakat pada umumnya, namun panggung depan yang ditampilkan tidak semua di pahami oleh masyarakat. Hanya orang-orang yang intens berinterkasi dengan merekalah yang bisa memahami seperti perawat, dokter dan teman di lingkungannya hidup yakni panti rehabilitasi dan penampungan gangguan jiwa di Griya PMI Peduli Surakarta. Selain itu orang dengan skizofrenia tidak menderita masalah kejiwaan selama 24 jam, bisa jadi dari 24 jam dalam sehari hanya beberapa jam mereka mengalami masalah kejiwaan atau bahkan bisa tidak sama sekali jika obat dan fikirannya di jaga dengan baik, ketika itu mereka beraktivitas seperti orang pada umumnya bisa menjahit, menyulam, membuat kerajinan tangan, memasak, mencuci piring, berwirausaha, menjadi seniman atau bekerja untuk menghasilkan uang seperti Mbak Hayu. Inilah panggung depan yang tidak bisa di lihat oleh semua penontonnya karena mereka berada di istitusi total bernama Griya PMI Peduli Surakata yang tidak semua orang bisa mengakses kecuali yang sudah disepakati oleh atauran atau diizinkan oleh yang berwewenang. Istilah institusi total (total institution) diperkenalkan Erving Goffman dalam karyanya yang berjudul Asylums:Essays on the Social Institution of Mental Patients and Other In mates (1961). Buku ini terdiri dari serangkaian makalah commit to tentang orang-orang yang ditempatkan di user institusi total . Maksudnya, adalah
212
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tempat-tempat yang memisahkan penghuninya dari dunia luar dengan pintu terkunci dan tembok tinggi. Termasuk institusi total adalah rumah sakit jiwa, penjara, sekolah asrama, dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut juga diistilahkan asylum (suaka). Di asylum, Goffman memandang orang-orang dalam institusi ini berusaha menafsirkan pengalaman mereka daripada membenarkan sistem yang mereka hadapi. Selain buku tersebut, melalui The Presentation of Self in
Everyday
Life,
Goffman
memperlihatkan
bagaimana
orang-orang
menyesuaikan diri dalam peran-peran masyarakat, dan bagaimana berbagai institusi mendukung dan menegakkan peran-peran mereka. (Sugeng Pujileksono, 2010) Dilihat dari analisis yang Goffman lakukan terkait institusi total, Griya PMI Peduli Surakarta memenuhi seluruh kriteria. Tampilan institusi total dapat dideskripsikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: pertama, semua aspek-aspek kehidupan dilakukan di tempat yang sama dan dalam pengawasan tunggal yang sama. Kedua, masing-masing anggota melakukan aktivitas yang sama dan cenderung memiliki pemikiran yang sama. Ketiga, seluruh rangkaian kehidupan sehari-hari terjadwal secara ketat, dalam keseluruhan urutan yang diawasi oleh sistem/ organisasi dan pengawas formal. Keempat, berbagai aktivitas dipaksa dan diarahkan bersama-sama ke dalam rencana tunggal untuk memenuhi tujuan pimpinan institusi Griya PMI Peduli Surakarta di anggap sebagai institusi total yang fungsinya sama seperti Rumah Sakit Jiwa atau Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa. commit to user Istilah institusi total ini dipakai untuk menganalisis lembaga-lembaga yang 213
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membatasi perilaku manusia melalui proses-proses birokratis yang menyebabkan terisolasinya secara fisik dari aktivitas normal disekitarnya. Menurut Goffman institusi total adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individu yang terkait dengan institusi tersebut. Individu diperlakukan sebagai sub-ordinat yang sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Di Griya PMI Peduli, warga yang mengalami gangguan jiwa termasuk skizofrenia merupakan individu yang hidup dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas bahkan keluarganya sendiri dan berada dalam jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung, dan diatur secara formal dengan aturan yang berlaku di Griya PMI Peduli Surakarta. Disinilah tempat tinggal mereka, tempat tinggal mereka setelah berbulan-bulan hilang dan menggelandang di jalan, disini mereka hanya berinteraksi dengan masyarakat tertentu yang sudah di izinkan oleh lembaga sebagai organisasi yang menjaga mereka. Seluruh perilaku mereka di atur secara ketat agar tidak merugikan orang lain disekitarnya dan kembali pada nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Mereka di ajak keluar dari realitas yang mereka miliki dan masuk ke dalam realitas masyarakat pada umumnya. Semua kegiatan di dalam griya sudah diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan yang ada sesuai dengan pranata-pranatanya yang dijalankan oleh dan melalui kekuasaan pimpinan Griya PMI Peduli. Misalnya untuk pemenuhan kebutuhan makan setiap warga Griya PMI Peduli sudah diatur melalui aturan-aturan yang ketat (makan apa, lauknya commitditotempat user mana mereka boleh makan dan apa, jam berapa diperbolehkan makan,
214
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak boleh makan, dan seterusnya) semuanya diawasi dan ditentukan oleh para dokter dan perawat. Semua kegiatan diatur dan dijalankan berdasarkan atas hirarki kekuasaan yang ketat. Mereka tidak bisa melepaskan diri, abnormal yang nampak dari luar diharapkan mampu menghasilkan dan mereproduksi kenormalan didalam institusi. Seperti itulah, institusi total sebagai organisasi yang mengatur keseluruhan kehidupan anggotanya. Institusi total bagi Goffman merupakan tempat sosialisasi setiap individu. Sosialisasi mengacu pada proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan proses di mana seseorang menghayati norma-norma kelompoknya, sehingga timbulah diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan diri . Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer (di dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (di dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung diatur secara formal. Orang dengan skizofrenia memili lingkungan yang tidak sama dengan individuindividu lainnya yang berada di Griya PMI Peduli, di dalam institusi ini ada nilainilai dan norma yang telah disepakati oleh masyarakat yang hidup di lingkungan Griya PMI Peduli Surakarta yang berbeda dengan masyarakat lainnya seperti commit to user perempuan botak menjadi hal yang biasa dan ini dipandang tidak menyalahi
215
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aturan karena ini adalah bentuk penjagaan kesehatan tubuh mereka yang lebih membahayakan jika dibiarkan panjang tak terurus karena kutu yang bisa membuat kulit kepala mereka lecet. Minum obat setiap hari adalah tindakan yang wajar bagi orang dengan skizofrenia, malah jika mereka tidak mau minum obat itu dianggap menyalahi aturan dan dikenakan sanksi dengan dikembalikan ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Dan masih ada banyak hal lain yang di anggap tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat yang menjadi nilai dan norma baru bagi orang-orang dengan skizofrenia yang tinggal bersama-sama dalam waktu yang relatif lama di Griya PMI Peduli. Masyarakat luas tidak bisa mengikuti nilai dan norma mereka karena dirasa tidak ladzim atau tidak wajar, begitupun sebaliknya, orang dengan skizofrenia juga tidak bisa sepenuhnya mengikuti nilai dan norma masyarakat karena mereka memiliki realitas baru yang tidak dipahami oleh masyarakat. Hal inilah yang menurut Goffman melahirkan stigma.
Bagi Goffman, stigma itu lahir karena ada jurang antara seperti apa seseorang seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan seperti apa seseorang itu secara aktual, “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai celah diantara dua identitas tersebut di stigmatisasi. Hal inilah yang menyebabkan orang dengan skizofrenia di stigma. Karena ada jarak antara identitas sosial virtual dan identitas sosial aktual dalam dirinya di mata penontonnya yakni masyarakat itu sendiri di tilik dari panggung depan yang di nilai tidak memenuhi tuntutan naskah dan ekspektasi audiance yang disebabkan ada perbedaan pemahaman naskah commit to user
216
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antara orang dengan skizofrenia yang memilki realitas baru dengan penonton yang tidak bisa memahami realitas di luar realitas yang mereka pahami.
Bagi Goffman, stigma berfokus pada interaksi dramaturgis antara orang yang memberi stigma dan orang-orang yang distigma. Dan hal ini dapat di lihat dari penelitian ini, bahwa setiap orang bisa saja memberi menstigma orang yang lain karena ada perbedaan pemahaman antaa keduanya atas sesuatu. Hakikat interaksi itu bergantung pada mana dari kedua tipe stigma yang dimiliki seorang individu. Di dalam kasus stigma yang dideskriditkan, aktor menganggap bahwa perbedaan-perbedaan di ketahui oleh anggota audiance atau nyata bagi mereka (Contohnya, orang yang lumpuh di bagian bawah tubuh atau seorang yang kehilangan anggota tubuhnya). Suatu stigma yang dapat di diskreditkan adalah stigma yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak di kenal oleh para anggota audiance dan juga tidak dapat mereka rasakan (Misalnya, seseorang yang memiliki anus buatan atau nafsu homoseksual). Untuk seseorang dengan stigma yang dapat didiskreditkan seperti homoseksual, masalah dramaturgis ialah mengelola informasi sehingga masalah itu tetap tidak diketahui oleh para audiance. Namun untuk kasus skizofrenia adalah stigma yang didiskreditkan, ini perkara bagaimana mengelola ketegangan untuk memberikan pemahaman kepada orang lain atas fakta-fakta yang terjadi antara mereka yang selama ini miskonsepsi atau terjadi kesalahpahaman karena keduanya tidak memiliki pengalaman (realitas) yang sama.
commit to user
217
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maka kesimpulannya adalah stigma yang melekat pada orang dengan skizofrenia seperti cap orang yang sakit, memiliki kelainan kejiwaan, membahayakan, menular, mengancam, menakutkan, menjijikan, tidak memiliki kesambungan komunikasi yang akhirnya membuat audiance
yang melihat
panggung depannya menjauhi karena ketidakwajaran atas apa yang orang dengan skizofrenia alami dan apa yang kerap mereka lakukan yang kemudian melahirkan dampak diskriminasi, pengucilan dan sikap skeptis dari audiance kepada orang dengan skizofrenia maupun pada orang dengan gangguan jiwa pada umumnya. Hal ini hanyalah perbedaan pemahaman antara panggung depan yang di pahami audiance yang menjadi back stage atau panggung belakang dari orang dengan skizofrenia. Dan apa yang dipahami sebagai panggung depan orang dengan skizofrenia tidak pernah di tonton oleh audiance karena mereka hidup dalam institusi total yang tidak semua orang bisa mengakses kehidupan mereka. Karena ada garis imajiner yang menjadi pembatas tak terlihat yang Goffman sebut jurang virtual dengan realita inilah yang melahirkan stigma. Dan merubah pandangan penonton yakni masyarakat pada umumnya kepada orang dengan skizofrenia yang tadinya memiliki pandangan positif karena apa yang ditampilkan sesuai naskah yang sesuai dengan acuan nilai dan norma yang berlaku kemudian berubah karena hadirnya realitas baru yang tidak dialami dan tidak dipahami oleh penonton yang dimana realitas baru itu melahirkan nilai dan norma yang baru yang bisa saja membuat orang dengan skizofrenia turut menstigma masyarakat sebagai orang yang jahat atau orang yang gila karena tidak mampu memahami nilai dan norma mereka. Stigma yang diberikan masyarakat diakui oleh Dokter Gatot menjadi commit to user
218
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemicu mereka untuk kembali kambuh yang dimana ini bisa diartikan bahwa orang dengan skizofrenia yang kambuh disebabkan perbedaan nilai dan norma yang di anut dan tidak dipahami oleh keduanya. Maka stigma yang selama ini berpandangan buruk tidak hanya diberikan dari penonton ke orang dengan skizofrenia, tapi bisa juga dari orang dengan skizofrenia kepada penontonnya. Maka stigma bukanlah penyakit, hanya perbedaan konstruksi nilai dan fikiran antara yang menstigma dan yang di stigma.
commit to user
219