BAB IV GERAKAN SEPARATISME BOUGAINVILLE
Pada bab ini akan dikaji mengenai beberapa aspek penting berkaitan dengan skripsi yang berjudul ”Gerakan Separatisme Bougainville di Papua New Guinea Tahun 1975-1992”. Aspek-aspek tersebut penulis bagi menjadi beberapa subjudul yang dimulai dari sejarah berdirinya negara Papua New Guinea, keadaan demografi Papua New Guinea, gerakan separatisme Bougainville dan upaya penyelesaiannya hingga dampak gerakan separatisme Bougainville pada aspek politik dan ekonomi. Paparan mengenai aspek-aspek tersebut diperoleh melalui studi literatur yang penulis uraikan sebagai berikut:
4.1 Sejarah Berdirinya Negara Papua New Guinea Papua New Guinea (PNG) merupakan salah satu wilayah di kawasan Pasifik Selatan, yang awalnya dijajah oleh bangsa Eropa. Sebagai suatu wilayah kesatuan, PNG awalnya terbentuk dari wilayah yang dijajah oleh negara-negara yang berbeda. PNG yang luas wilayahnya separuh dari pulau Irian dan pulaupulau di sekitarnya, tahun 1884 Jerman secara resmi melaksanakan pemerintahan di wilayah timur laut dan tahun 1899, Pemerintah Jerman secara langsung melaksanakan kekuasaan kolonial dan menyatakan wilayah tersebut sebagai “New Guinea Jerman”. Kekuasaan di Pulau tersebut di ikuti pula oleh Belanda yang menguasai wilayah barat pulau tersebut yang sekarang menjadi wilayah Indonesia, sedangkan Inggris menguasai daerah pantai Selatan New Guinea. Di
39
daerah tersebut Inggris kemudian mendirikan British Protectorat pada tahun 1884. Pada tahun 1886, Australia menduduki wilayah Irian Timur dan menyebutnya sebagai Teritory of Papua dan pemerintah kolonial Australia secara resmi dimulai pada tahun 1906, sedangkan wilayah kekuasaan Inggris yang meliputi bagian selatan pulau Irian Timur tersebut dikukuhkan menjadi British New Guinea. Di lain pihak, Jerman menguasai daerah timur laut pada tahun 1884 kemudian diperluas meliputi pulau-pulau di sekitarnya termasuk Buka dan Bougainville. Pada Perang Dunia II, Jerman kalah sehingga wilayah kekuasaan Jerman di sana, menjadi wilayah mandat teritori atas keputusan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tanggal 3 Desember 1946 PBB menyetujui dibentuknya suatu sistem perwalian internasional bagi administrasi New Guinea, yang berlanjut dengan diberlakukannya The Papua and New Guinea Act pada tahun 1949. Akta ini menyetujui bahwa wilayah yang disebut sebagai Trust Teritory of New Guinea yang pengurusannya diserahkan kepada Australia dan British New Guinea yang dikuasai Inggris yang kemudian digabung ke dalam Trust Teritory of Papua di bawah kekuasaan Australia. Kedua daerah tersebut, Trust Teritory of Papua dan Trust Teritory of New Guinea kemudian digabung di bawah administrasi Pemerintah Australia menjadi Teritory Papua of New Guinea atau teritori Papua dan New Guinea (Edgard, 1964).
40
Gambar 1: Peta Sejarah Wilayah Kekuasaan Belanda, Inggris, dan Jerman di Papua New Guinea. Sumber : (Edgar, 1964:251). Selama berada di bawah mandat Australia, di daerah teritori pada tahun 1951 dibentuk administrasi pemerintah (Dewan Legislatif), sebuah badan peradilan, badan pelayanan umum dan sebuah sistem pemerintahan lokal. House of Assembly juga dibentuk pada tahun 1963 untuk menggantikan Dewan Legislatif. Dengan kemenangan Partai Buruh Australia pimpinan Gough Whitlam maka terbuka peluang bagi PNG untuk menjadi merdeka. Pada tahun 1972,nama wilayah mandat Australia tersebut diganti menjadi Papua New Guinea. Kondisi Politik
pada tahun 1972 di Australia memberikan pengaruh
terhadap kelangsungan pemerintahan di Papua New Guinea, Whitlam salah satu tokoh politik dari partai Buruh berjanji dalam kampanyenya akan memberikan kemerdekaan bagi PNG bila memenangkan pemilu. Janji tersebut dipenuhi Whitlam yang kemudian mempersiapkan infrastruktur politik yang diperlukan bagi kemerdekaan PNG, termasuk memberikan kesempatan untuk membentuk suatu pemisahan sendiri. Pada tahun 16 September 1975 akhirnya PNG merdeka.
41
Sejarah penyatuan antara PNG yang sebelumnya bagian British New Guinea dan Bougainville adalah bagian dari kekuasaan Jerman, mempengaruhi pola penjajahan yang berbeda antara penjajahan Inggris dengan Jerman. Sejarah penyatuan wilayah PNG dan Bougainville tersebut dapatlah dimengerti mengapa terjadi pergolakan-pergolakan di PNG yang mengarah pada pemisahan diri. Akan tetapi hal itu bukanlah satu-satunya sebab mengapa daerah seperti Bougainville berusaha untuk memisahkan diri.
4.2 Keadaan Demografi Papua New Guinea Secara geografis, PNG terletak pada 1410 Bujur Timur dan 10 Lintang Utara 120 Lintang Selatan, dan memiliki luas 461.690 Km2.
Gambar 2: Peta Wilayah Negara Papua New Guinea Setelah Merdeka Sumber : https://id38.securedata.net/sweetmarias/papuanewguinea.gif. Penduduk PNG terdiri atas bermacam-macam suku dan budaya, sekitar 91 % dapat digolongkan sebagai suku bangsa Melanesia termasuk orang-orang Papua, yang selalu meneybut diri mereka sebagai etnik Papua, 1% Eropa sebagian besar orang Australia dan sisanya terdiri atas rumpun Mikronesia, Polinesia, Cina
42
dan lain-lain. Penduduk tersebar tidak merata di daerah-daerah pedesaan dan terkonsentrasi di kota-kota seperti Port Moresby, Lae, Rabaul, Madang, Wewak, Boroko, Arawa, Kieta dan Panguna (Hamid, 1996:67). Ini disebabkan meningkatnya urbanisasi sehingga penduduk terpusat pada kota-kota tertentu. Sebelum dijajah oleh Jerman dan Australia, PNG terdiri atas desa-desa yang berdiri sendiri tanpa ada kekuatan politik dominan yang menyatukan desa-desa tersebut. Keadaan berubah ketika orang-orang Eropa berdatangan untuk berdagang, mencari tambang emas dan tembaga. Dengan demikian, tumbuhlah daerah-daerah yang padat penduduknya karena pengelolaan yang dilakukan oleh orang-orang asing tersebut. Sejak saat itu di PNG berkembang kota-kota kecil yang dikelola dan diperintah oleh kongsi dagang asing. Banyak dari penduduk pribumi yang meninggalkan kebunnya dan menjadi buruh orang-orang asing. Pada tahun 1966, pertumbuhan penduduk yang tinggal di kota-kota kecil sekitar 5% dan kemudian meningkat menjadi 10%. Tingginya tingkat urbanisasi menimbulkan berbagai masalah,
diantaranya
masalah
pengangguran,
perumahan,
meningkatnya
kriminalitas, dan kesenjangan sosial antara kaum pendatang dengan penduduk pribumi (Lam, 1989:1-3). Bentuk topografi wilayah PNG terdiri dari gunung-gunung yang berjajar dari timur hingga ke barat (Papua Barat), sehingga menimbulkan hambatan komunikasi dan transportasi antar daerah. Keadaan ini menyebabkan tersebarnya penduduk secara terpisah jauh ke dalam kelompok-kelompok. Setiap suku memiliki bahasa serta budaya yang berbeda antara satu suku dengan suku yang
43
lainnya dan hanya beberapa wilayah yang dapat menggunakan bahasa inggris dan pidgin yang merupakan bahasa nasional. Hal-hal tersebut akhirnya menimbulkan masalah, seperti masalah integrasi nasional.
4.3 Gerakan Separatisme Bougainville dan Upaya Penyelesaiannya Pada tahun 1934, dilakukan penelitian oleh ahli geologi dari Australia dan perusahaan pertambangan Conzino Rio Tinto yang merupakan perusahaan dari Australia mengenai sumber daya alam di wilayah Arawa yang merupakan salah satu bagian wilayah Bougainville. Hasil penelitian memperlihatkan adanya emas dan tembaga. Pada tahun 1964 dibuka perusahaan pertambangan oleh anak cabang Perusahaan Conzino Rio Tinto yaitu Bougainville Copper Limited (BCL), khususnya dalam hal tambang tembaga dan pengoperasiannya dilakukan pada tahun 1972 dengan luas wilayah sekitar 9000 km2. Dibukanya pertambangan tersebut, mengambil wilayah milik rakyat Bougainville dan hanya sebagian pemilik tanah yang mendapat kompensasi dari pertambangan (Claxton, 1998:8). Pada tanggal 1 Juni 1975, Majelis Provinsi Bougainville mengadakan pemungutan suara bahwa provinsi tersebut harus memisahkan diri dari PNG. Pemungutan suara tersebut berkaitan dengan tidak berhasilnya negosiasi yang dilakukan oleh para pemimpin Bougainville dengan pemerintahan Somare mengenai peningkatan pembayaran royalti bagi provinsi yang ditarik melalui perjanjian perpajakan yang diubah antara pemerintah PNG dan BCL atau perusahaan pertambangan di Bougainville. Usaha pemisahan diri Bougainville
44
terealisasikan pada tanggal 1 September 1975 dengan menyatakan kemerdekaan Bougainville. Ketua Majelis Provinsi Alexis Sarei memimpin pemungutan suara tersebut. Reaksi pertama dari pemerintah justru menyatakan bahwa pemisahan diri hanyalah taktik untuk memperoleh pembayaran royalti yang lebih besar (dalam http://www.hartford-hwp.com/archives/24/047.html) tetapi Leo Hannet yang merupakan salah seorang perencana bagi pemerintahan Provinsi Bougainville dalam siarannya menegaskan bahwa pemisahan diri adalah satu-satunya alternatif untuk mengelola kekayaan mineral di wilayahnya. Sementara itu, John Momis yang menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Provinsi mengundurkan diri dari parlemen dan bergabung dengan tokoh Bougainville lainnya yaitu Serei, Hannet dan Momis yang kemudian menjadi inti dari gerakan pemisahan diri wilayah Bougainville. Bulan Januari 1976, situasi di Bougainville tidak kondusif. Sekitar 300 penduduk Bougainville menyerang fasilitas umum dan pegawai pemerintah. Bangunan dan kendaraan dihancurkan tetapi tidak ada korban jiwa atau cedera (Hamid, 1996:97). Situasi yang terjadi pada tahun 1976 dapat diatasi dengan dilaksanakannya perundingan antara pihak Bougainville dengan pemerintah melalui Bougainville Agreement. Salah satu isinya adalah dilaksanakannya sistem pemerintah provinsi yang otonom dengan nama Provinsi Solomon Utara yang berada dalam negara PNG. Upaya tersebut sebelumnya dituangkan dalan rencana Michael Somare dalam menerapkan sistem desentralisasi di PNG.
45
Ancaman terhadap integritas negara kebangsaan PNG yang ditimbulkan oleh gerakan separatis Bougainville mulai muncul pada tahun 1976. Gerakan tersebut mereda setelah pemerintah memberikan semacam otonomi terhadap wilayah yang kaya tembaga itu. Pemberian otonomi ini ditandai dengan pengangkatan Theodore Miriung sebagai Menteri Utama Bougainville. Mantan hakim PNG ini sebelumnya dikenal sebagai penasihat hukum tokoh separatis dalam melakukan perundingan dengan Pemerintah PNG. Di wilayah Bougainville, terbentuk sekelompok komunitas bisnis yang memperoleh manfaat dari kehadiran perusahaan pertambangan tembaga. Provinsi ini pun menjadi salah satu wilayah terkaya di PNG yang memiliki fasilitasfasilitas modern. Namun perundingan tersebut tidak dapat bertahan lama, ini dibuktikan dengan adanya usaha untuk memisahkan diri kembali oleh Bougainville pada tahun 1977. Pertentangan juga sering timbul antara pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dalam mengontrol alokasi sumber-sumber yang langka. Jika pemerintah pusat dapat mengontrol, pemerintah dapat mengalokasikan kembali sumber-sumber dari daerah yang lebih baik. Ketidakseimbangan pembagian kekayaan antara pihak pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat menjadi penyebab lain terjadinya gerakan pemisahan diri. Begitu juga dengan diterapkannya sistem desentralisasi tidak menyelesaikan masalah Bougainville. Ketika di bawah pimpinan Perdana Mentri Julius Chan pada tahun 1981, dilakukan perundingan antara pemerintah PNG dengan Bougainville Copper Limited dalam mengkaji ulang kesepakatan yang telah dibuat pada tahun 1974.
46
Dalam perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan yang berarti karena hasil kesepakatan tersebut akan ditinjau kembali setelah tujuh tahun kemudian. Ketika masa tujuh tahun peninjauan kembali akan berakhir di tahun 1988, proses tersebut tidak berlangsung karena terjadi pertikaian diantara para pemilik tanah yang meningkat menjadi suatu kerusuhan pada bulan November 1988. Pada tahun 1988, terjadi kerusuhan yang besar di Bougainville. Konflik ini terjadi karena adanya pertikaian dari kelompok para pemilik tanah di Panguna yang tergabung dalam Panguna Landowners Association (PLA), sehingga kelompok ini terpecah menjadi dua. Kelompok pertama adalah para pemilik tanah dari generasi tua yang dipandang sebagai pemegang hak atas tanah adat milik kelompok mereka. Mereka adalah kelompok kecil yang melakukan transaksi dengan Bougainville Copper Limited, ketika perusahaan tersebut akan melaksanakan kegiatan penambangan di Panguna. Sebagian besar dari mereka telah menjadi kaya karena keuntungan yang diperoleh dari BCL tidak didistribusikan kepada para ahli waris yang juga berhak atas tanah tersebut. Kelompok yang kedua adalah generasi muda Panguna yang merupakan ahli waris dari tanah-tanah yang dipergunakan untuk pertambangan. Mereka merupakan kelompok terbesar dalam asosiasi tersebut, tetapi tidak memperoleh bagian keuntungan dari pertambangan. Kemudian mereka membentuk New Landowners Executive (NLE) yang dipimpin oleh Francis Ona. Mereka menuntut agar BCL mengakui keberadaan mereka dan mengklaim hak-hak mereka (Dorney, 1990:122-123). Dorney juga mengungkapkan bahwa Francis Ona pada mulanya tidak mempunyai maksud untuk memisahkan diri. Tetapi sebagai generasi muda
47
dan ahli waris dari para pemilik tanah, mereka tidak memperoleh keuntungan sedikitpun dari adanya pertambangan tersebut. Di lain pihak, BCL yang merasa telah membayar kepada para pemilik tanah tidak ingin memenuhi tuntutan mereka. Selain tuntutan atas hak tanah waris, Ona juga menuntut uang sejumlah 10 Milyar Kina (kira-kira 16 milyar Dollar Australia) sebagai kompensasi dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan tersebut (Hamid, 1996:114). Pada bulan November 1988 diadakan pertemuan umum yang membicarakan hasil penelitian konsultan lingkungan hidup dari Selandia Baru terhadap lingkungan yang rusak di sekitar pertambangan. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan bukan disebabkan oleh pertambangan tetapi oleh wabah penyakit yang sedang melanda seperti yang dialami oleh daerah lainnya di PNG. Francis Ona dan kelompok militan lainnya merasa kecewa dengan hasil penelitian tersebut kemudian mereka meninggalkan tempat perundingan. Sejak diumumkannya hasil penelitian tersebut pada akhir November 1988, Ona dan kelompoknya mengadakan sabotase terhadap kegiatan pertambangan di Panguna berupa peledakan tenaga listrik yang digunakan oleh pertambangan dan sarana umum milik pemerintah. Tidak dipenuhinya kompensasi yang dituntut oleh pemberontak menyebabkan Francis Ona dan pasukannya meningkatkan aksi sabotase. Francis Ona juga mengatakan akan berjuang terus untuk membebaskan rakyat dari Papua New Guinea (R.J May. Bougainville Crisis the Pasific Review, Vol.3 No.2 :176).
48
Berbagai kerusuhan lainnya terus terjadi di Bougainville yang dilakukan oleh para pemilik tanah militan yang tidak puas terhadap BCL. Tuntutan Ona yang tidak mendapat perhatian dari pihak pemerintah dan BCL, menyebabkan kelompok tersebut mengadakan kekerasan terhadap pihak pertambangan, dan menimbulkan kekhawatiran terhadap keselamatan para pekerja tambang terutama yang berasal dari Provinsi New Britain Timur sehingga menyebabkan munculnya kerusuhan etnis antara penduduk Bougainville dengan penduduk daratan tinggi. Upaya pemerintah dalam mengatasi kerusuhan tersebut adalah dengan dikirimkannya pasukan dari kepolisian. Secara tidak langsung, Ona sebenarnya mendapat simpati dari pimpinan emerintahan provinsi Joseph Kabui. Kabui sendiri adalah orang Bougainville yang saat itu berusia sekitar 35 tahun. Sebagaimana generasi muda Bougainville yang lainnya, ia tumbuh dalam suasana yang penuh kebencian. Oleh karena itulah, ketika Ona dan kelompoknya mengadakan sabotase terhadap kegiatan pertambangan
sebagai
sikap
atas
aksi
protes
mereka,
Kabui
justru
mempersalahkan pihak BCL yang tidak memenuhi tuntutan mereka. Peristiwa kerusuhan Bougainville yang dipimpin oleh Francis Ona menjadi jalan lebih besarnya konflik yang terjadi di Bougainville bagi pemerintahan pusat PNG, sehingga akhirnya mengarah pada gerakan pemisahan diri dari pemerintahan PNG. Pada tahun 1987 terjadi serangan bersenjata terhadap pertambangan tembaga yang dijalankan perusahaan Australia (BCL), karena tuntutan rakyat pemilik tanah untuk memperoleh ganti rugi tidak dipenuhi. Untuk menumpas
49
'pemberontakan' itu, pemerintah di Port Moresby mengirimkan sekitar 2.000 tentara ke Bougainville, namun tidak berhasil menghentikan kekacauan dan BCL yang telah beroperasi sejak 1972, sebagai akibatnya pada tahun 1989 menutup pertambangan karena adanya sabotase dari BRA. Sementara pihak militer yang dikirim oleh pemerintah untuk menertibkan situasi dan menangkap Francis Ona mengalami kesulitan. Selain mendapat simpati dari rakyat Bougainville, kaum militan Bougainville juga mempunyai kemampuan untuk menyerang posisi-posisi militer dan mengadakan sabotase terhadap fasilitas pemerintah. Tidak ada laporan resmi mengenai kerugian yang di alami pemerintah, namun surat kabar menuliskan bahwa akibat dari sabotase dan serangan dari kaum militan diperkirakan kerugian sebesar 1,2 juta Dollar disamping kerusakan toko-toko dan gedung-gedung di pusat perdagangan Arawa (Kompas,1989 dan Fasifik Island Montly, 1989:10-11). Dari sabotase tersebut mengakibatkan kegiatan produksi pertambangan berhenti selama lebih dari 48 jam. Sabotase tersebut diantaranya peledakan tiang listrik yang merupakan pemasok aliran listrik untuk kegiatan penambangan. Dengan terhentinya kegiatan penambangan tersebut sekitar 1.000 ton tembaga dan 180 kg emas tidak dapat diolah (Kompas, 18 April 1989). R. J May (1993:58) mengungkapkan bahwa pada bulan April 1989, Francis Ona mengirimkan surat kepada para politisi PNG yang isinya Francis Ona memproklamasikan Bougainville sebagai “Republik” yang terpisah dengan PNG, serta menamakan kelompoknya sebagai Bougainville Revolutionary Army (BRA). Pihak BRA berhasil menutup pelayanan-pelayanan pemerintah pusat maupun
50
pemerintah provinsi terutama pelayanan kesehatan, pendidikan dan fasilitasfasilitas administrasi. Mereka juga berhasil mengacaukan kehidupan bisnis di Bougainville. Pertambangan Panguna ditutup pada bulan Mei 1989 sehingga mengakibatkan lumpuhnya pertambangan yang berakibat pada dihentikannya pelayanan kapal udara dan kapal laut. Pada bulan April 1989, Pemerintah PNG mengumumkan wilayah Bougainville sebagai wilayah darurat, dan Kepala Polisi Tohian memimpin wilayah tersebut untuk mengamankan Bougainville. Namun, pada pertengahan Januari 1990 kekerasan meningkat di PNG. Pihak BRA meningkatkan serangannya terhadap pos polisi, penjara dan beberapa tempat lainnya. Serangan tersebut juga dilakukan oleh para pemberontak dengan menyerang penjara Kuveris yang terdapat di provinsi tersebut. Dalam aksi tersebut 6 orang dan 11 orang luka-luka, aksi melibatkan sekitar 70-100 orang pemberontak. Keseluruhan jumlah korban sejak pecahnya konflik bulan November 1988 sebanyak 59 orang tewas (Pelita, 8 Januari 1990). Pada tanggal 2 Maret 1990 diadakan gencatan senjata antara pihak pemerintah Bougainville dengan pihak BRA. Pasukan pemerintah harus meninggalkan Bougainville dua minggu setelah gencatan senjata tersebut ditandatangani, sehingga pasukan tentara Papua New Guinea ditarik dari Bougainville. Pada akhir Maret 1990 tidak ada personil pemerintah pusat di wilayah tersebut, sementara pasukan perdamaian internasional yang terdiri atas wakil-wakil dari Sekretariat Commonwealth Kanada, Swedia dan Belanda tiba di Bougainville.
51
Surat kabar Pelita (1990) dan Suara Pembaharuan (1990) mengungkapkan bahwa sebagian pasukan BRA yang dipimpin oleh Sam Kuona akan
tetap
dipersenjatai untuk menangani pihak-pihak yang melanggar perjanjian tersebut dan tambang tembaga yang ditutup akan dibuka kembali tetapi dibawah pengawasan Pemerintah Provinsi Bougainville, BRA juga menuntut pembagian keuntungan dari hasil tambang. Perjanjian antara kedua belah pihak tidak berlangsung dengan baik karena pasukan pemerintah dan pasukan BRA kembali terlibat. Sementara itu,
Woolfrod (1990:227) menguraikan upaya lain yang
dilakukan pemerintah
dalam memulihkan keamanan dan ketertiban di
Bougainville agar pihak BRA tidak berhubungan dengan pihak luar, maka pemerintah Papua New Guinea mengadakan blokade militer sejauh radius 80 Km di perairan Bougainville. Blokade ini membuat Bougainville terkucil dari dunia luar dan mengalami kekurangan pasokan bahan makanan, bahan bakar, dan obatobatan. Blokade yang dilakukan pemerintah tersebut mendapat kecaman dari Uskup Bougainville, Gregory Sinkei yang mengatakan bahwa tindakan pemerintah PNG akan “membantai” orang-orang yang tak berdosa. Pihak Gereja sangat menyesalkan tindakan pemerintah PNG, tetapi Perdana Mentri Namaliu justru menuduh bahwa pihak BRA sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap merosotnya kesehatan penduduk dan terjadinya masalah sosial di Bougainville. Upaya untuk memproklamirkan kemerdekaan Bougainville dinyatakan kembali oleh pihak BRA pada tanggal 17 Mei 1990 dengan menyatakan
52
kemerdekaan lepas dari PNG dan menamakan negaranya sebagai “Republik Meekamui” (R. J. May, 1993:62). Pimpinan pemberontak Francis Ona diangkat menjadi Presiden dan pimpinan militer BRA, sedangkan Sam Kuona menjadi Mentri Pertahanan. Mereka meminta dukungan internasional kepada semua perwakilan negara asing yang ada di Port Moresby melalui faksimili. Tetapi tidak berhasil memperoleh dukungan dari satu negara pun. Sebaliknya pemerintah PNG menyatakan bahwa deklarasi semacam itu mencerminkan ketidakseriusan kaum militan
untuk
mengadakan
negosiasi
dengan
pemerintah
nasional
(Hamid,1992:102). Pada tahun 1990, seluruh pasukan pemerintah ditarik dari Bougainville tetapi blokade atas pulau kaya tembaga itu tetap dilakukan. Sebagai akibat ditariknya pasukan pemerintah, maka para pemberontak dibawah pimpinan BRA semakin leluasa untuk melakukan aksinya. Puncak kejengkelan pemerintah Port Moresby menghadapi gerakan separatis Bougainville ini tidak dapat dibendung ketika pemimpin pemerintahan otonomi Theodore Miriung dibunuh oleh seseorang yang tak diketahui identitasnya pada bulan April 1996. Para pemberontak menuduh tentara yang dikirim pemerintah Port Moresby yang membunuh Miriung (http://www. hamline. edu/ apakabar / basisdata / 1997/04/ 11/0115.html). Selama awal tahun 1990 sampai awal 1991, diadakan perundingan antara pihak BRA dan pemerintah nasional. Pihak BRA dipimpin oleh Josep Kabui dan tiga Mentri Provinsi yaitu John Zale, Pendeta Gregory Sinkei, dan Lembias Mangesu. Sedangkan pihak pemerintah dipimpin oleh Mentri Luar Negeri
53
Michael Somare dan stafnya William Bill Dihm, Mentri Kehakiman Bernard Narakobi dan stafnya Pomat Paliau dan sekretaris dari kantor Perdana Mentri Paul Bengo. Perundingan dihadiri oleh dua pengamat internasional yaitu Dich Etheridge dari Kanada dan Tony Brown dari Selandia Baru. Perundingan pertama yang berlangsung di Kapal Angkatan Laut Selandia Baru, HMNZS Endeavour menghasilkan beberapa ketentuan pokok yaitu pemerintah berjanji untuk memulihkan semua sarana pemerintahan di Bougainville termasuk pengiriman bahan bakar dan obat-obatan. Pihak BRA berjanji untuk menangguhkan niat mereka untuk menjadi negara merdeka, dan kedua belah pihak berjanji untuk mengadakan perundingan lanjutan. Perundingan pertama tersebut tidak dibahas mengenai keamanan sehingga terjadi perselisihan pendapat mengenai siapa yang akan menangani keamanan wilayah Bougainville. Menurut media massa Kompas (1990), Pemerintah PNG ingin mengirimkan kembali polisi ke Bougainville untuk melindungi pegawai pemerintah dan untuk memulihkan keamanan, sedangkan pihak BRA berpendapat bahwa mereka mampu menjaga keamanan dan tidak memerlukan bantuan pemerintah pusat. Pada tanggal 6 Agustus 1990, pemerintah PNG mulai melakukan perbaikan fasilitas penting di Bougainville, pasokan obat-obatan dilakukan dari Rabaul menuju Arawa ibukota Bougainville. Dari persetujuan yang dicapai antara pemerintah PNG dengan pihak BRA, segala kegiatan dipulihkan kembali dalam masa 3 pekan yang kemudian akan disusul dengan pembukaan kembali sekolah-sekolah, restorasi sarana komunikasi dan pengerahan kembali kaum muda Bougainville bekerja di perkebunan.
54
Pada tanggal 23 Januari 1991, dilakukan upaya perundingan kedua yang dilaksanakan di Honiara ibukota negara Kepulauan Solomon dan menghasilkan Deklarasi Honiara. Deklarasi tersebut mengupayakan perdamaian dari kedua belah pihak antara pihak pemerintah PNG dengan pihak Bougainville yang diwakili oleh BRA. Dalam ketentuan Deklarasi Honiara juga disebutkan bahwa pemerintah tidak akan mengirim kembali tentara ke Bougainville, sedangkan BRA setuju untuk membubarkan diri dan meletakkan senjata dan menyerahkan tawanannya masing-masing. Selain itu, perbaikan sarana umum dan kestabilan keamanan dilaksanakan oleh kedua belah pihak diawasi oleh tim pengawas selama 36 bulan yang terdiri dari para tentara negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, Fiji, Vanuatu dan Kepulauan Solomon (Kompas, 1991). Dalam
deklarasi
Honiara
disebutkan
bahwa
BRA
akan
mendapatkan
pengampunan dan memiliki kekebalan hukum. Selain itu, Deklarasi Honiara juga menyatakan bahwa proses perdamaian akan berlangsung selama 3 tahun dan akan dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama, yaitu berupa pemulihan sarana penting seperti bidang kesehatan dan pendidikan. Tahap kedua, akan dibentuk badan otoritas hukum di Bougainville yang akan mengarah pada pemberian otonomi yang luas terhadap Bougainville. Proses perdamaian tersebut akan ditinjau kembali selama 6 bulan sekali dan jika terjadi sabotase dari salah satu pihak, maka proses tersebut akan dihentikan. Dalam hal kompensasi pertambangan, pada bulan April Pemerintah PNG mulai melakukan perundingan mengenai ganti rugi yang akan dibayarkan kepada para pemilik tanah dan pemerintah provinsi. Hasil perundingan tersebut menyebutkan
55
kesepakatan bahwa pemerintah akan memberi fasilitas yang besar kepada pemilik tanah dan pemerintah provinsi berupa separuh dari 19,1 % yang merupakan hak pemerintah Papua New Guinea yang berasal dari pertambangan, peningkatan keuntungan, dan pembayaran ganti rugi sebesar $300.000.000 Australia terhadap pelayanan sosial dan infrastruktur (Jackson, Pasific View Point. Vol 30, 1989:8693).
4.4. Dampak Gerakan Separatis Bougainville 4.4.1 Politik Masalah Bougainville adalah salah satu dari sekian banyak masalah integrasi nasional yang dihadapi oleh pemerintah PNG. Topografi PNG sangat tidak menunjang pada pembukaan suatu negara kesatuan yang berdaulat. Wilayah PNG yang luas merupakan daerah pegunungan yang sulit untuk dijangkau dan belum berkembangnya jaringan transportasi yang menghubungkan wilayahwilayah terpencil, kiranya menyulitkan komunikasi diantara penduduk PNG. Dalam wilayah yang luas ini terdapat 700 suku yang tersebar di seluruh wilayah PNG, disamping beragamnya bahasa diantara suku-suku tersebut yang terbesar diantaranya bahasa Pidgin dan Motu. Tersebarnya penduduk menurut suku, ditambah dengan sulitnya mereka berhubungan
satu
dengan
lainnya
menyebabkan
sulitnya
pemerintah
mengorganisir rakyatnya yang belum tersentuh oleh lembaga-lembaga modern. Sebaliknya, masing-masing suku lebih taat pada pemimpin lokal yang dianggap dapat memenuhi aspirasinya, sehingga lebih menguatkan sikap primordial
56
diantara masing-masing suku tersebut. Selama hampir tiga abad menguasai PNG, pemerintah kolonial Australia tidak pernah membina integrasi di kalangan sukusuku yang tersebar di wilayah ini. Satu-satunya lembaga bersifat nasional yang dibentuk pemerintah Australia pada masa kolonial adalah Angkatan Bersenjata Papua New Guinea yang didirikan sejak berakhirnya Perang Dunia II, sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Australia. Sementara lembaga-lembaga nasional lainnya seperti Parlemen Nasional, baru dibentuk sekitar tiga tahun menjelang kemerdekaan PNG pada tahun 1975 melalui lahirnya pemimpin-pemimpin PNG yang berwawasan nasional seperti Somare, Julius Chan, Joseph Kabui dan lainlain. Masalah sulitnya mengorganisir rakyat seperti di Bougainville sehingga menyebabkan para pemimpin menerapkan sistem desentralisasi melalui pemerintahan provinsi. Penerapan ini muncul bersamaan dengan berkembangnya masalah Bougainville. Sistem ini dimaksudkan agar rakyat dapat ikut serta dalam pemerintahan menurut cara-cara yang mereka terapkan secara tradisional. Sehingga tidak mengherankan bila semenjak kemerdekaan, PNG dihadapi oleh masalah pemisahan diri, seperti gerakan yang dilakukan oleh suku Tolai di Kepulauan Gazelle dan Papua Besena yang berlanjut pada gerakan pemisahan diri di Bougainville. Pada awal kemerdekaan, Perdana Mentri Somare membuat kebijakan politik dengan menerapkan upaya desentralisasi yang diharapkan mampu mengatasi
masalah
gerakan
pemisahan
diri
di
Bougainville.
Axline
mengungkapkan bahwa :
57
Budaya yang bervariasi, perkembangan ekonomi yang tidak sama, perbedaan suku dan loyalitas primordial sering menghasilkan tekanantekanan tersebut mengarah pada pembentukan desentralisasi. Walaupun tekanan politik pada dasarnya berasal dari tuntutan untuk memisahkan diri. Banyak negara-negara harus menyediakan pelayanan khusus dan otonomi regional bagi suku minoritas. Desentralisasi dipandang sebagai penahan terhadap tuntutan daerah bagi kestabilan, terutama dalam kondisi sosial yang heterogen seperti yang terdapat di negara-negara dunia ketiga. (W. Andrew Axline “Police Implementation In Papua New Guinea: Decentralitation and Redistribution”. Journal of Commonwealth and Comparative Politic. Vol XXV. No.1. March 1988:74). Pernyataan di atas secara khusus tepat bagi Papua New Guinea dimana substansi desentralisasi berlangsung sejak kemerdekaan pada bulan September 1975. PNG mengalami kesulitan dalam komunikasi dan memiliki populasi dengan budaya yang berbeda. Desentralisasi membawa pada suatu pembentukan lagi pemerintah provinsi. Beberapa sumber hukum seperti konstitusi, perjanjian Bougainville tahun 1976, dan hukum organik bagi pemerintah provinsi merupakan ketentuan yang memperkuat posisi pemerintah provinsi. Hukum organik menyatakan adanya kekuasaan legislatif di provinsi dan khususnya mengenai masalah keuangan provinsi. Hal tersebut telah meletakkan kerangka kerja bagi pemerintah provinsi untuk dapat menjalankan berbagai aktifitas dengan lebih baik. Tetapi banyak provinsi yang belum mampu, sehingga timbul persoalan yang harus diputuskan melalui konsultasi antara pemimpin provinsi dengan pemerintah pusat. Desentralisasi yang diterapkan tersebut telah diterima secara mendasar sebagaimana harapan setiap orang dari berbagai provinsi. Seluruh provinsi menjalankan pemerintahan provinsi yang sementara dan akan diberikan pemerintah provinsi yang penuh setelah diadakan pemilihan majelis provinsi.
58
Tetapi pemerintah mengubah kebijakan yang seragam dalam mendelegasikan staf dan fungsi departemen provinsi yang telah berdiri memikul tanggung jawab dan kontrol terhadap keuangan, perbaikan dan program peningkatan desa. Jabatan dan pegawai dari departemen pendidikan urusan provinsi, industri, pengembangan bisnis, dan pekerjaan nasional akan dipindahkan sejak 1 Januari 1978, sedangkan Departemen Kesehatan dan informasi sejak 1 Juli 1978 (Axline “Police Implementation In Papua New Guinea: Decentralitation and Redistribution”. Journal of Commonwealth and Comparative Politic. Vol XXV.No1.March 1988:76). Sejak diberlakukannya desentralisasi, terdapat persaingan diantara pemimpin Bougainville di pemerintahan provinsi untuk duduk sebagai anggota parlemen yang bertujuan dalam mengatur pengelolaan kekayaan daerahnya, sehingga terjadi persaingan untuk duduk sebagai anggota parlemen nasional ataupun pimpinan pemerintahan provinsi. Tokoh-tokoh seperti Momis, Hannet dan Serei yang merupakan tokoh-tokoh pemisahan diri mulai bersaing secara politik. Momis menjadi anggota parlemen pada tahun 1977, sementara Hannet dan Serei saling bersaing memperebutkan jabatan pimpinan pemerintahan provinsi. Dalam mengkaji dampak gerakan separatis Bougainville, mengarah pada masalah integrasi yang dialami oleh Pemerintah PNG, kemudian masalah integrasi ini mengarah pada disintegrasi politik. Masyarakat Bougainville diketahui bukan berasal dari daerah asal yang sama dengan penduduk PNG lainnya. Mereka
akhirnya mendiami daerah Bougainville baik di pedalaman
maupun di sekitar pantai. Integrasi yang intensif antara penduduk Bougainville
59
tersebut menciptakan suatu budaya yang spesifik yang menjadi ciri masyarakat Bougainville. Walaupun tidak terdapat budaya yang melingkupi seluruh wilayah Bougainville, tetapi budaya tersebut berbeda dengan penduduk PNG lainnya. Diantara ciri-ciri yang ada tersebut di atas, ciri-ciri yang sangat menonjol yang membedakan masyarakat Bougainville dengan penduduk PNG lainnya yaitu dalam hal warna kulit. Orang Bougainville mempunyai warna kulit yang sangat hitam, sedangkan penduduk PNG lainnya mempunyai warna kulit agak merah. Perbedaan inilah yang menjadikan masyarakat Bougainville merasa diri mereka bukan bagian dari penduduk PNG. Bougainville tidak memiliki hubungan emosional dengan penduduk PNG lainnya. Pengalaman penjajahan Bougainville dengan PNG juga berbeda. Penyatuan mereka menjadi satu kesatuan, mereka anggap sebagai penyatuan yang salah. Bougainville sendiri merasa mempunyai kedekatan dan hubungan emosional dengan penduduk kepulauan Solomon. Hal ini terbentuk dari komunikasi melalui perdagangan antar pulau Bougainville dengan kepulauan Solomon. Migrasi
tersebut sudah sejak lama terjadi, sehingga masyarakat
Bougainville merasa menjadi bagian dari Kepulauan Solomon. Dengan melihat pada pengalaman penjajahan yang berbeda tersebut dapat dilihat bahwa rasa bersatu dan saling memiliki tidak terbentuk sejak awal. Sejak adanya perusahaan pertambangan Conzino Rio Tinto yang merupakan salah satu perusahaan milik Australia, tentu saja masalah separatis Bougainville berpengaruh besar terhadap kepentingan Australia di PNG. Dibalik kepentingan ekonomis, nampaknya Pemerintah Australia juga melihat separatisme
60
di Bougainville dapat membahayakan kepentingan strategisnya di PNG. Pemerintah Australia mengkhawatirkan bahwa kerusuhan di Bougainville dapat membawa kemungkinan masuknya kekuatan-kekuatan asing yang dapat mengganggu keamanan wilayahnya. Menyadari pentingnya PNG dalam kepentingan strategisnya, Australia sangat berkenan membantu pemerintah PNG dalam rangka mengatasi keadaan di Bougainville. Ketika di Bougainville terjadi teror dan kerusuhan akhir tahun 1988, sebagai akibatnya Australia meningkatkan bantuan keuangannya kepada Angkatan Bersenjata Papua New Guinea dalam bentuk obat-obatan, dan sebagai biaya latihan bagi militer dan paramiliter yang ditugaskan di Bougainville. Selanjutnya, ketika kerusuhan memburuk, meskipun menolak untuk terlibat secara dalam di PNG, namun Mentri Luar Negeri Gareth Evans menyatakan bahwa Australia sangat sensitif bila permohonan untuk terlibat diajukan oleh pemerintah “negara-negara sahabat”. Oleh karena itu pulalah Australia memenuhi permintaan pemerintah PNG untuk mengirim empat buah helikopter untuk mengevakuasi tentara PNG yang terluka dan warga negara Australia. Meskipun secara resmi pengiriman helikopter tersebut untuk evakuasi, namun helikopter yang dikirim adalah jenis heli tempur yang mampu mengangkut pasukan dan mengirimkan bantuan logistik (Suara Karya, 8 Desember 1988). Dengan demikian, hubungan yang dibentuk antara Australia dengan pemerintah PNG atas dasar kepentingan politik yang mengarah pada hubungan kerjasama kedua belah pihak. Sebagai akibat dari konflik antara Bougainville yang berada di Provinsi Solomon Utara dan pemerintah PNG menyebabkan hubungan dengan negara
61
Pulau Solomon Selatan terganggu. (R. J. May 1993:68) mengungkapkan sejak terjadinya konflik Bougainville mengakibatkan hubungan dengan negara tetangga terganggu khususnya dengan Pulau Solomon yang berbatasan langsung dengan provinsi Solomon Utara. May juga menguraikan bahwa telah terjadi bantuan militer dalam pengadaan persenjataan yang digunakan oleh gerakan separatis Bougainville “ …attempts to prevent the movement of people, supplies and weapons. There were even suggestions that the Solomon Island government was providing covert support to the BRA…(May, 1993:68-69). Hal tersebut tentu saja mengakibatkan terganggunya hubungan bilateral kedua negara. Negara Solomon bisa saja membantu Bougainville karena secara geografis wilayah tersebut berbatasan langsung dengan Negara Solomon. Selain karena letak geografis, jika dilihat secara ciri-ciri fisik dimana rakyat Solomon Utara lebih hitam pekat dan keriting sama dengan ciri-ciri fisik orang-orang dari negara Solomon dan jika dibandingkan dengan ciri-ciri fisik orang PNG. Selain itu pula, perbedaan sejarah kolonial dimana wilayah PNG berada dibawah mandat teritori Australia sedangkan wilayah Solomon berada dibawah mandat teritori Jerman. Namun sejak berakhirnya Perang Dunia II, wilayah Bougainville masuk pada daerah mandat Australia. Dalam hal ini sangat mungkin Kepulauan Solomon
turut merasakan
dampak dari konflik antara gerakan separatis Bougainville dengan pemerintah PNG. Dalam konflik tersebut, Kepulauan Solomon yang berbatasan langsung dengan Bougainville bukan tidak mungkin bersimpati terhadap pasukan BRA. Selain karena rakyat Bougainville satu wilayah dengan Kepulauan Solomon tetapi
62
juga karena kepentingan ekonomis dimana Bougainville jika masuk menjadi wilayah kesatuan Kepulauan Solomon akan meningkatkan pendapatan dari adanya pertambangan tersebut. Selain itu, salah satu akibat yang dirasakan oleh negara-negara tetangga akan memunculkan instabilitas dan gangguan keamanan di wilayah perbatasan seperti perbatasan antara Irian Barat (Indonesia) dengan PNG atau dengan Kepulauan Solomon. Menurut Premdas (1987:100), situasi tersebut akan dirasakan oleh negara-negara tetangga dan bukan tidak mungkin negara-negara tetangga pada akhirnya akan bereaksi. Konflik yang terus berkepanjangan antara pemerintah dengan BRA, di suatu sisi mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dalam menyelesaikan konflik Bougainville, selain karena kondisi politik di PNG sering berubah-ubah karena sejak kemerdekaan tidak ada satu pun partai di PNG yang memenangkan suara mayoritas. Oleh karena itu, kabinet terbentuk berdasarkan koalisi diantara partai-partai politik. Sehingga menyebabkan seringnya suatu pemerintahan di PNG jatuh akibat mosi tidak percaya. Salah satu dampak politik dari adanya gerakan pemberontakan Bougainville pada tahun 1988 dibawah kepemimpinan pemerintah Namaliu terjadi mosi tidak percaya karena masalah Bougainville tidak teratasi dengan cepat dan menimbulkan kerusuhan. R. J May menguraikan sejak PNGDF (Papua New Guinea Defence Force) berupaya secara militer menyelesaikan konflik yang terjadi pada tahun 1989, masyarakat berharap banyak bahwa konflik tersebut dapat diselesaikan. Namun pada kenyataannya, konflik Bougainville menjadi lebih luas. Selain operasi penyelesaian konflik di Bougainville yang ditangani oleh PNGDF, upaya militer
63
tersebut menghabiskan dana yang cukup besar. Tidak hanya kegagalan secara militer tetapi upaya pemerintah dalam mengatasi gerakan separatis Bougainville berakibat pada krisis kepercayaan rakyat PNG terhadap situasi politik di pemerintah pusat dan kecaman dari negara-negara luar. May (1993:70) berpendapat upaya militer yang cukup keras terhadap BRA mengakibatkan terjadinya pro dan kontra pada kalangan elite politik terjadi keberpihakan elite politik terhadap BRA dari pada PNGDF (Papua New Guinea Defence Force). Kemampuan PNG dalam mengatur kebijakan politik tentu saja masih dalam taraf berkembang. PNG yang baru merdeka tahun 1975, masih memerlukan perjalanan yang panjang dalam mengatur pemerintahan yang stabil secara politik dan ekonomi. Sistem pemerintahan yang digunakan mengadopsi sistem pemerintahan Australia walaupun tidak secara keseluruhan. Tetapi hal ini memberikan pengaruh terhadap pola kebijakan, khususnya dalam mengatasi masalah separatis Bougainville. Upaya militer yang dilakukan oleh pemerintah tidak terlepas dari pengaruh pola-pola yang diterapkan militer Australia. Sebelumnya, PNGDF (Papua New Guinea Defence Force) terbentuk sejak Australia ikut serta dalam Perang Dunia II. Dalam pasukan Australia dilibatkan pasukan PNG sehingga pola-pola kemiliteran sudah terserap sejak PNG belum merdeka. Hubungan pasukan militer dengan Australia didukung oleh bantuan Australia dalam pengembangan dan pendidikan militer. Sejak PNG merdeka, bantuan dana sudah mengalir ke kas negara (Woolford, 1990:229). Gerakan separatis Bougainville ini mengakibatkan krisis politik di PNG. Hal yang menarik dalam melihat elite politik dan para pemimpin militer adalah
64
sikap para pemimpin militer yang tidak berupaya untuk mengambil jalan tengah, yaitu mengambil alih pemerintahan. Meski memperoleh dukungan luas, Brigjen Jerry Singirok masih tetap konsisten menghormati sistem politik PNG yang mengakui supremasi sipil atas militer dalam kehidupan politik di dalam negeri. Tradisi militer PNG yang mengikuti negara pelindungnya Australia agaknya membuat mereka mampu menahan diri. Hal lain yang membuat pemimpin militer dari PNG yaitu Sinirok masih tetap konsisten adalah pertimbangan bahwa gerakan militer tidak akan diterima oleh Australia maupun Selandia Baru sebagai negara tetangga yang menjadi tumpuan perekonomian PNG. Kondisi politik yang berkembang antara tahun 1975 sampai tahun 1992 dipengaruhi oleh masalah yang dihadapi PNG sebagai negara muda yang baru merdeka. Tidak mengherankan apabila sejak awal kemerdekaan sering terjadi konflik-konflik di berbagai daerah yang menyatakan ingin lepas dari PNG. Struktur pemerintahan yang dibangun dan kondisi politik yang masih belum stabil mempengaruhi kondisi keamanan di berbagai daerah di PNG. Proses politik yang masih berkembang tersebut mempengaruhi terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani masalah Bougainville. Seringnya terjadi pergantian Perdana Mentri sebagai akibat dari mosi tidak percaya oleh koalisi politik mempengaruhi upaya pemerintah dalam mengatasi masalah di Bougainville. Seperti pada masa pemerintahan Perdana Mentri Julius Chan dan Rabbie Namaliu yang turun sebagai akibat dari mosi tidak percaya, karena upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah di Bougainville menggunakan cara-cara militer. Sementara itu kebijakan yang dilakukan Julius
65
Chan mendapat tanggapan menolak cara-cara militer. Masalah yang berkembang di PNG tidak hanya masalah separatis tetapi pemerintah menghadapi masalah perbatasan dengan Indonesia. Hal tersebut mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah di Bougainville.
4.4.2 Ekonomi Masalah pembangunan ekonomi di PNG mulai ditangani lebih teratur oleh pemerintah pusat sebagai pengelola pada tahun 1962. Bank Dunia dipercaya untuk melakukan penelitian menangani sumber-sumber alam di PNG dan bagaimana menggunakan sumber-sumber tersebut seperti meningkatkan hasil kopi, kopra, karet, teh, dan hasil-hasil hutan. PNG mempunyai kekayaan alam seperti sumber-sumber mineral terutama tembaga dan emas, perikanan, perkebunan dan kehutanan. PNG merupakan negara agraris, karena sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam berupa coklat, kopi, teh, kopra dan karet. Sumber daya alam yang terbesar adalah tembaga dan emas, yang menyumbang sekitar 60% ekspor PNG. Pada tahun 1989, ekspor PNG telah mencapai AS$1,4 milyar. Penambangan terbesar terdapat di Bougainville. Di provinsi bagian barat juga dilakukan penambangan di OK Tedi, yang selain tembaga juga terdapat penambangan emas. Selain itu, gas alam serta minyak dihasilkan di Teluk Papua. Hutan PNG merupakan kekayaan alam yang penting pula, karena menghasilkan kayu-kayu berkualitas tinggi. Sedangkan laut di wilayah ini sangat banyak mengandung ikan sehingga hasilnya diekspor ke negara lain (Lam, 1989:22-23 dan Hamid, 1996:72).
66
Untuk mengatur pembangunan ekonomi, pemerintah PNG membuat rencana pembangunan setelah lima tahun yang dibuat pada tahun 1968. Program ini dimaksudkan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi, sosial, termasuk peningkatan penduduk asli dalam segala bidang. Karena tidak mencapai sasaran, pada tahun 1973 sampai tahun 1976, tercatat 44% penduduk PNG masih melakukan kegiatan secara barter (Tim peneliti PDE dan FE UGM, 1984). Hamid (1992:73) mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi PNG sangat lamban bahkan cenderung stagnan. Hal tersebut dikarenakan ada dua faktor yang menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi di PNG. Pertama, sulitnya mengeksploitasi sumber-sumber alam yang terletak di daerah-daerah pegunungan sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk membangun infrastruktur perekonomian tersebut. Kedua, sering terjadinya pertikaian mengenai masalah tanah dan pembagian keuntungan antara para pemilik tanah dengan pemerintah. PNG mendapat kemerdekaan dari Australia pada tahun 1975 sehingga hubungan dengan Australia masih cukup erat. Hal ini terlihat dalam bantuan yang diberikan Australia serta beberapa konsep kebijakan yang ditiru seperti penentuan upah minimum. Sejak PNG merdeka, pemerintah mulai menyusun rencana pembangunan ekonominya. Pada awalnya, pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan utama pembangunan tahun 1972, namun tujuan pembangunan tersebut berubah sehingga dibuatlah delapan tujuan yaitu: 1. Penguasaan kegiatan ekonomi oleh bangsa Papua New Guinea sendiri. 2. Distribusi hasil pertumbuhan ekonomi yang merata. 3. Desentralisasi kegiatan ekonomi, perencanaan serta pengeluaran pemerintah.
67
4. Usaha lebih menitikberatkan pada small scale. 5. Mengurangi ketergantungan pada luar negeri (self rellant). 6. Menaikkan kemampuan membiayai pengeluaran pemerintah dengan sumbersumber dari dalam negeri. 7. Meningkatkan partisipasi/peranan wanita dalam kegiatan ekonomi dan sosial. 8. Pengawasan pemerintah dalam kegiatan ekonomi agar sejalan dengan tujuan pembangunan (Sumber: Tim peneliti PDE dan FE UGM, 1984). Penyusunan rencana 8 tujuan pembangunan tersebut, dilaksanakan oleh Komite Perencanaan Nasional (The National Planning Committee). Pada waktu tujuan ini dirumuskan PNG sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat yang didorong oleh sektor pertambangan (tembaga) sehingga pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak dirumuskan dalam tujuan pembangunan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNG bekerja sama dengan negara-negara tetangga yang berada dalam kawasan Pasifik, tidak terkecuali dengan Australia dan Selandia Baru. Besarnya bantuan dari kedua negara tersebut dilihat dari adanya kepentingan terhadap kawasan di Pasifik ini. Ditetapkannya delapan tujuan PNG berharap dapat lebih percaya diri dan mandiri dalam membangun ekonomi. Keinginan untuk tidak bergantung terhadap Australia memang ada tetapi sulit untuk dihindarkan. Kesulitan itu diantaranya adalah kekurangan modal. Karena modal dan tenaga terampil merupakan fasilitas mendasar bagi pembangunan ekonomi. Dalam sektor moneter, sekitar 88% dikuasai perusahan-perusahaan asing, 80% oleh Australia. Pemilikan industri lokal oleh investor Australia sekitar 55-60%, usaha kopi 20-25 %, kopra 80%,
68
produksi teh hampir 90% dikuasai oleh investor asing, sedangkan karet hampir seluruhnya dimiliki oleh investor asing, dengan adanya penguasaan dari pihak asing, maka pengusaha dalam negeri sulit untuk bersaing (Tim peneliti PDE dan FE UGM, 1984). Tujuan-tujuan pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah PNG tidak sepenuhnya konsisten dengan usaha untuk mencapai pertunbuhan ekonomi yang cepat. Salah satu contohnya adalah tujuan pertama yaitu untuk mengusahakan tercapainya kontrol ekonomi di tanagn masyarakat dan pemerintah PNG sendiri akan membatasi digunakannya tenaga-tenaga ahli asing dan mengurangi modal luar negeri, padahal kedua aspek ini jelas masih dibutuhkan oleh PNG untuk mempercepat pembangunan nasional. Gerakan separatis yang terjadi di PNG menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar, selain karena sejak tahun 1991 bantuan ekonomi yang diberikan oleh Australia berkurang. Dalam bukunya Tim peneliti PDE dan FE UGM (1984) diungkapkan bahwa sejak tahun 1981 sampai dengan tahun 1985 bantuan Australia diperkirakan berkisar antara US $200 juta sampai US $250 juta per tahun sehingga bantuan per kapita yang diperoleh PNG dari Australia rata-rata US $80. Maka tidak mengherankan bahwa gerakan separatis di Bougainville memberikan
dampak
besar
terhadap
pendapatan
PNG.
Selain
karena
ketergantungan PNG terhadap Australia, sejak awal menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah PNG dalam menghentikan ketergantungan secara ekonomi. Di suatu sisi, PNG belum mampu untuk mengatur kehidupan ekonomi namun di sisi lain kestabilan politik dan keamanan masih jauh dari harapan PNG.
69
Bantuan dari luar negeri menjadi solusi pertama dalam menstabilkan perekonomian di PNG tetapi bantuan tersebut tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Australia sebagai contohnya, perusahaan-perusahaan milik Australia yang berada di PNG memberikan devisa yang besar terhadap pemerintahan Australia. Dengan adanya kepentingan ekonomi tersebut Australia menjadi donator utama bagi PNG. Bantuan Australia terhadap PNG dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut. Bantuan Australia terhadap PNG lebih besar dari pada bantuan Australia terhadap negara-negara lain di Pasifik Selatan. Tabel 4.1 Bantuan Luar Negeri Australia di Kawasan Pasifik Selatan tahun 1977 Negara Bantuan (Ribuan $) Kepulauan Cook 341 Fiji 7.067 Guam Kiribati 1.686 Nauru 1 New Hebrirdes (Vanuatu) 928 Niue 1 Kepulauan Norfolk 144 Papua New Guinea 250.162 Kepulauan Solomon 1.949 Tonga 2.397 US Trust Territory 26 Tuvalu 409 Samoa Barat 4.333 Kawasan yang tidak teralokasi 1.530 Jumlah 270.832 Sumber: Debrecency, (Litbang dan FE UGM,1984) Kepentingan Australia tersebut cukup beralasan sehingga pemerintah Australia ikut campur dalam masalah gerakan separatis di Bougainville. Hal ini terlihat dalam artikel Bob Aiken, seperti uraian berikut:
70
…Bougainville is the site of a giant a copper mine, closed by the war, owned on Canberra to halt military by the Anglo-Australian Corporation CRA/RTZ. There are a number of major Australian-owned enterprises in PNG. The Australian governmet has supplied nearly $200 million in military aid to Port Moresby since 1988. Terjemahan: …Bougainville adalah sebuah wilayah yang mempunyai tambang tembaga yang besar, berada dekat dengan konflik, dimiliki oleh Canberra sebuah perusahaan CRA/RTZ milik Anglo-Australia. Terdapat sejumlah perusahaan besar yang dimiliki oleh Australia di PNG. Pemerintah Australia telah memberikan bantuan kurang lebih $200 juta dalam bantuan militer terhadap Port Moresby sejak 1988. (Bob Aiken, 1998), Bougainville Premier Killed As Independence Fight Heats Up. (Tersedia) Online:http ://www.hartford-hwp.com/archives/24/049.html.(9 Juni 2007). Pembangunan ekonomi PNG dapat dikatakan sangat lamban, bahkan cenderung stagnan. Sekalipun Gross Domestic Product (GDP) PNG pada tahun 1989 telah mencapai US$2,7 milyar, namun tingkat pertumbuhan ekonomi ratarata justru berada pada angka -3%. Masalah tersebut dikarenakan sulitnya mengeksploitasi sumber-sumber alam yang terletak di daerah-daerah pegunungan yang curam sehingga membutuhkan biaya besar untuk membangun infrastruktur perekonomian tersebut. Oleh karena itu, pembangunan pertambangan sering dilakukan oleh pihak asing. Dengan sering terjadinya pertikaian di Bougainville mengenai masalah tanah dan pembagian keuntungan antara para pemilik tanah dengan pemerintah mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi. Masalah yang terjadi di Bougainville, manajemen dan buruh tambang hanya dikuasai oleh orang-orang Australia dan buruh dari Provinsi New Britain Timur. Sedangkan penduduk setempat yang dipekerjakan relatif sedikit, namun kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan tersebut justru diserahkan kepada penduduk setempat yaitu para pemilik tanah. Oleh karena itu, pemimpin
71
pemberontakan Francis Ona menganggap bahwa kompensasi atas kerusakan lingkungan demi masa depan generasi muda Bougainville yang dilanjutkan dengan usulan peningkatan jumlah saham bagi pemilik tanah di perusahaan pertambangan tersebut. Kompensasi yang diberikan pertambangan hanya kepada para pemilik tanah yang diakui dan terdaftar di perusahaan pertambangan. Salah satu perjanjian antara perusahaan pertambangan dan asosiasi para pemilik tanah yang menuntut hak para pemilik tanah terhadap adanya pertambangan tersebut.
Perusahaan
mengklaim bahwa hanya terdapat 850 para pemilik tanah yang terdaftar atas surat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan 5.000 orang lainnya tidak mempunyai
hak
dan
salah
satunya
Francis
Ona
(http://www.hartford-
hwp.com/archives/24/163.html). Sementara itu, terjadinya pergolakan di salah satu wilayah Papua New Guinea menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Masalah separatisme Bougainville yang sudah mewarnai kehidupan politik PNG sejak September 1975 dan muncul lagi pada tahun 1984 mempunyai akar permasalahan yang sama dengan gerakan Francis Ona pada tahun 1988. Separatisme yang dilakukan oleh kaum pemuda militan pimpinan Ona pada tahun 1988 ini, meskipun tidak mempunyai hubungan dengan para pemimpin gerakan separatis yang lalu tetapi tetap mempermasalahkan kepentingan ekonomi. Sebagai daerah yang kaya dan menjadi daerah penghasil tanaman industri terbesar di PNG seperti kopi, coklat dan kelapa, Bougainville menjadi daerah tujuan para pencari kerja bagi sebagian besar penduduk PNG. Kehadiran para
72
pekerja dari luar Bougainville tersebut menjadi masalah baru di Bougainville. Pertambangan yang ada telah mengambil tanah-tanah milik adat penduduk setempat. Sedangkan bagi penduduk Bougainville sendiri mereka memiliki ikatan spiritual dengan tanah mereka dan tidak pernah menjual tanah-tanah mereka pada orang lain. Peraturan pertambangan yang dibuat oleh pemerintah dianggap telah merugikan rakyat disebabkan karena pemerintah menggunakan hukum yang berasal dari Barat (Australia) yang menganggap kandungan mineral yang ada di dalam tanah menjadi hak milik negara. Peraturan tersebut bertentangan dengan hukum adat setempat. Meski rakyat menentang pengambilalihan tanah dan kehadiran pertambangan tetapi pertambangan tersebut tetap didirikan. Masalah pemisahan diri Bougainville merupakan implikasi dari besarnya kepentingan
ekonomi
Pemerintah
PNG
yang mengabaikan
kepentingan
masyarakat setempat. Hamid (1992:117) mengungkapkan bahwa sebagai provinsi yang kaya akan biji besi, penduduk Bougainville sebagai pemilik tanah hanya menikmati uang hasil sewa tanah. Sementara keuntungan terbesar dari eksploitasi ini jatuh ke tangan perusahaan BCL yang merupakan cabang perusahaan Conzino Rio Tinto yang berpusat di Australia, dan menyumbang 45% dari ekspor PNG serta memasukkan sekitar 20% devisa pemerintah PNG. Jika melihat akar permasalahannya, gerakan separatis Bougainville hanya menginginkan pembagian keuntungan dan keadilan ekonomi atas pertambangan yang ada di Bougainville, karena tuntutan tersebut tidak dilaksanakan oleh pemerintah maka gerakan
73
separatis Bougainville mengarah pada konflik politik dimana pada awalnya ini merupakan konflik ekonomi saja. Dampak negatif dari pertambangan tersebut sangat dirasakan oleh penduduk di sekitar pertambangan. Penggusuran rumah-rumah penduduk, terdesaknya penduduk oleh para pendatang, pengaruh budaya asing yang merusak norma-norma dan perusakan lingkungan oleh pertambangan. Melihat kondisi seperti itu, Bougainville menuntut perbaikan sosial dan ekonomi dengan menuntut pembagian hasil keuntungan pertambangan. Pemerintah dan BCL menolak tuntutan Bougainville. Akibat penolakan tersebut penduduk Bougainville merasa kecewa oleh kebijakan yang dijalankan pemerintah. Kemudian, mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah dalam bentuk perusakan terhadap fasilitas pemerintah dan melakukan protes. Pertentangan seperti ini disebabkan adanya pluralisme ekonomi dalam kehidupan perekonomian mereka yang dicirikan dengan tidak adanya kehendak bersama yang dapat diterima. Masyarakat Bougainville tidak dapat menerima kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah, sedangkan pemerintah sendiri kurang mampu mengantisipasi tuntutan yang dilakukan oleh Bougainville. Hal ini juga disebabkan tuntutan mereka tidak sama dengan daerah-daerah lainnya. Oleh karena itu, pemerintah memandang tidak perlu memenuhi tuntutan mereka. Akibatnya perlawanan BRA terhadap pemerintah sulit dihindari, Bougainville sebagai wilayah yang letaknya paling jauh dari pusat pemerintahan yaitu sekitar 600 Km2 dari Port Moresby ibukota PNG, Bougainville memiliki potensi yang paling besar untuk tidak tunduk kepada pemerintahan pusat. Hal ini
74
berkaitan dengan integrasi wilayah, dimana wilayah yang jauh dari pusat kontrol terhadap wilayah tersebut semakin lemah. Akan tetapi sebagai negara yang berdaulat, PNG merasa perlu untuk menetapkan peraturan yang dimiliki pemerintah terhadap daerah Bouganiville. Sedangkan Bougainville sendiri mempunyai keinginan untuk mengatur urusan domestik mereka sendiri. Secara De Jure pemerintah memenuhi tuntutan Bougainville untuk memperoleh otonomi yang besar. Akan tetapi dalam prakteknya (de facto) otonomi yang besar tersebut tidak pernah dilakukan, ini sangat dirasakan oleh Bougainville. Oleh karena itu, BRA terus memperjuangkan hak otonomi yang besar tersebut. Francis Ona sendiri yang merupakan pemimpin BRA, dalam tuntutannya tidak hanya mengenai masalah otonomi, tetapi juga menyangkut masalah kerusakan lingkungan dan tuntutan ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan dari pertambangan. Akan tetapi tuntutan tersebut berkembang menjadi tuntutan untuk memisahkan diri akibat diabaikan oleh pemerintah. Pemisahan diri tersebut sangat ditentang oleh pemerintah. Tetapi Ona tidak mundur bahkan meningkatkan aksinya menjadi sabotase terhadap pertambangan. Sabotase tersebut menimbulkan banyak korban jiwa. Dampak yang ditimbulkan dari konflik antara pemerintah PNG dengan gerakan
separatis
Bougianville
terhadap
aspek
ekonomi
cukup
besar.
Bougainville sebagai wilayah yang kaya akan tambang menjadi pemasok utama dalam
pendapatan
negara.
Sejak
terjadi
kerusuhan
dan
konflik
yang
berkepanjangan mengakibatkan pendapatan negara berkurang bahkan harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengatasi masalah Bougainville
75
khususnya dalam pengeluaran dana militer. Selain itu, rakyat Bougainville kehilangan pekerjaan karena sarana pemerintah rusak sebagai akibat dari kerusuhan yang berkepanjangan. Pada tahun 1989, sejak ditutupnya pertambangan mengakibatkan 2.000 tenaga kerja dinonaktifkan. Tidak hanya sarana dan prasarana tetapi juga perkebunan yang ada ditutup dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Pemerintah PNG berupaya untuk memperbaiki sarana dan prasarana guna menstabilkan pendapatan ekonomi rakyat Bougainville. Selain itu, dampak dilakukannya blokade terhadap wilayah Bougainville menyebabkan lumpuhnya pembangunan dan alur perekonomian di Bougainville. Pemerintah PNG melarang adanya hubungan baik keluar maupun kedalam Bougainville. Situasi tersebut memperburuk keadaan masyarakat, dengan tidak adanya pasokan bahan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan yang menimbulkan kesehatan masyarakat terganggu. Don Woolford (1990:227) mengungkapkan bahwa akibat dari blokade yang dilakukan pemerintah menimbulkan korban jiwa sekitar 200 tentara PNG telah gugur, dan sekitar 10.000 penduduk Bougainville meninggal dunia, yang kebanyakan meninggal karena sakit menular dan busung lapar akibat dari blokade tersebut.
76