Bab 2
TARI TONTONAN
B
ab ini akan membahas beberapa aspek mendasar yang terdapat dalam berbagai macam tari tontonan. Dimulai dengan pembahasan aspek yang bersifat teknis-praktis (bentuk dan konsep penggarapan), selanjutnya yang bersifat kontekstual. Aspek teknis-praktis yang paling mudah kita kenali, manakala melihat sebuah tontonan tari, yaitu jumlah penarinya. Apakah tarian dilakukan oleh seorang penari, dua penari atau secara massal. Penampilan tari dengan jumlah penari yang berbeda-beda, secara teknis memiliki kekuatan dan tantangan yang berbeda pula. Adapun yang dimaksud dengan kontekstual adalah cara melihat dan memahami tari berdasarkan pemahaman terhadap kaitan sosial, dan lingkungan kebudayaan yang menghidupkannya. 2.1 Berdasarkan Jumlah Penari Kita semua pasti pernah melihat orang menari. Ada tarian yang dibawakan sendiri, berdua, bertiga atau dalam jumlah yang banyak (massal). Bila diamati secara seksama, penampilan tari dengan jumlah penari yang berbeda-beda, memiliki daya pesonanya masing-masing. Demikian halnya jika kita yang menjadi penarinya, akan merasakan tantangan dan cara menyikapinya yang berbeda pula. Keberadaan tarian —baik yang ditarikan sendiri, berdua, atau pun massal— masing-masing mempunyai suasana, spirit (semangat) dan latar belakang yang berlainan. Itu pula yang turut mendasari keberagaman masing-masing tari etnis di Nusantara, dan bahkan berbagai macamragam tarian di dunia. Kita bisa merasakan perbedaan bentuk, suasana dan semangat tari Aceh, misalnya, yang berbeda dengan tari Sunda, tari Jawa,
36 — TARI TONTONAN
tari Bali, tari Bugis (Sulawesi), tari Kutai ataupun Dayak (Kalimantan), dan berbeda pula dengan tari-tari lain dari belahan pulau Sumatera seperti Batak, Minang, dan Lampung. Perbedaan-perbedaan itu terjadi karena masing-masing tari berdasarkan pada nilai-nilai kulturalnya. Kebudayaan yang merakyat, yakni yang hidup dalam wilayah luas hingga di perkampungan terpencil, umumnya lebih bersifat egaliter, tidak didominasi oleh suatu ketentuan dari pihak pemegang kekuasaan. Sesuai dengan semangat yang merakyat itu, gerakan tariannya lebih memiliki kebebasan ekspresif, spontan, tidak terkekang oleh norma-norma yang rinci. Lain halnya dengan tarian dari lingkungan keraton (istana), seperti misalnya di Surakarta dan Yogyakarta di Jawa, gerakan yang umumnya pelan dan gemulai itu banyak terikat oleh aturan-aturan yang dikukuhkan atau dikehendaki oleh rajanya (Sultan, Sunan). Karena itu, jarak atau perbedaan antara kesenian rakyat dan kesenian keraton di Jawa menjadi sangat jelas. Berbeda lagi dengan di Bali, di mana kehidupan tari menyatu dengan ritus keagamaan, baik dalam lingkungan keraton (puri) maupun rakyat, maka antara gaya tari keraton dan rakyat itu hampir-hampir tidak bisa dipisahkan. Selain itu, perbedaan gaya tari bisa pula dilihat dari penggunaan organ tubuh dalam bergerak. Misalnya ada masyarakat yang lebih menekankan tariannya pada gerakan tangan, seperti misalnya di pulau Jawa, Bali, dan Lombok, sementara banyak tradisi lain yang lebih menekankan pada gerakan kakinya, seperti beberapa jenis tari di Sumatra, Kalimantan, NTT, Maluku dan Papua. Begitu juga, ada masyarakat yang lebih banyak memiliki tari tunggal, dan masyarakat lainnya lebih banyak memiliki tari massal (akan dibicarakan di bawah). Gambaran di atas, hanyalah merupakan gambaran selintas dan umum, yang di sana-sini akan didapati kenyataan berbeda. Ditambah dengan terus-menerusnya terjadi perkembangan tari serta perubahan masyarakat itu sendiri, ciri-ciri umum itu pun dengan sendirinya mengalami perubahan. Yang jelas, kini kita memiliki keragaman tari tontonan, yang merupakan bagian dari kekayaan budaya. 2.1.1 Tari Tunggal Tari tunggal, tentu saja, adalah yang ditarikan oleh satu orang penari. Lebih dari itu, bukan hanya karena tarian itu dipertunjukkan oleh satu orang, melainkan karena sifat tariannya itu sesuai dengan penampilan penari yang sendirian. Dasar geraknya, susunan koreografi, pola lantai, dan iramanya senantiasa cocok dengan yang menarikannya.
TARI TONTONAN — 37
Dalam tari tunggal, si penari memiliki keleluasaan bergerak, karena ia tidak harus tergantung atau berhubungan dengan penari lain. Bentuk, rasa gerak, dan iramanya, diolah sendiri berdasarkan kepekaannya, sehingga ia lebih leluasa pula untuk menginterpretasikan atau melahirkan gerak spontan. Misalnya, dalam menentukan ruang gerak (maju-mundur, berputar, meloncat, dan sebagainya), mengatur waktu (mengolah irama, cepat-lambat, lama-sebentar), mengatur tenaga (kuat-lemah) dan mengungkapkan ekspresinya (memaknai gerak, tema dan isi), semuanya tergantung pada kemampuan dirinya sendiri. Kebebasan personal seperti itu, akan lebih sulit terdapat di dalam tarian berkelompok atau berpasangan—apalagi dalam dalam tari massal, yang mengutamakan kekompakan bersama. Dalam tari kelompok, setiap penari harus saling memperhatikan, dan saling mendukung. Karena itu pula, daya tarik tari tunggal terletak pada penampilan personal. Daya tarik itu ditentukan oleh kepiawaian penarinya, baik dalam menarikan suatu koreografi yang telah tersusun, maupun dalam menarikan gerakangerakan spontan atau improvisasi. Ia akan menjadi fokus perhatian, baik bagi pemusik yang mengiringinya, atau pun penonton yang menyaksikannya.
Gbr. 2-1: Dalam pertunjukan dabuik di Minangkabau, kebanyakan tariannya ditampilkan secara bergantian (tunggal), sambil menunjukkan kekebalan tubuh dari tusukan benda tajam.
38 — TARI TONTONAN
Gbr. 2-2: Tari Golek dari keraton Yogyakarta, disusun sebagai tari tunggal. Namun kini tarian itu sering ditampilkan sebagai tari kelompok sehingga dapat membuat komposisi pertunjukan yang lebih variatif.
Gbr. 2-4: Dalam acara kekeluargaan masyarakat Batak Simalungun, seorang laki-laki menari sendiri. Meski pada saat itu ada penari lain, namun ia menari secara tunggal tanpa berhubungan dengan penari lainnya.
Gbr. 2-3: Tari Kepahlawanan dari Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, biasa dipertunjukkan sebagai tari tunggal.
Gbr. 2-5: Tari Kandagan dari Sunda, Jawa Barat, yang disusun khusus sebagai tari tunggal. Meski tariannya gagah (seperti laki-laki), namun selalu ditarikan oleh perempuan.
TARI TONTONAN — 39
2.1.2 Tari Berpasangan Tari berpasangan dibawakan oleh dua orang secara berpasangan, yang biasa juga disebut duet. Dalam tarian ini, koreografi tari yang satu umumnya berbeda dengan yang satunya lagi, karena mereka harus saling merespons, seperti ”bercakap-cakap” dalam dialog—meski ada pula saatsaat di mana mereka melakukan gerakan yang sama. Oleh sebab itu, dalam tari berpasangan dibutuhkan kerjasama, agar satu sama lain bisa saling mengisi atau saling mendukung. Tarian berpasangan bisa dilakukan oleh dua penari: laki-laki dan perempuan, laki-laki saja, atau perempuan saja. Secara tematik, tarian berpasangan dapat menggambarkan pertemanan, percintaan, atau juga pertentangan. Tari Payung dari Minangkabau, Serampang Dua Belas Melayu, Lenso dari Maluku-Menado, umpamanya, menggambarkan keceriaan secara berpasangan, yang mungkin pula mengandung unsurunsur romantisme percintaan. Sedangkan tari Oleg Tambulilingan (Bali), tari Jaran Goyang (Banyuwangi), menggambarkan percintaan disertai ungkapan kisahnya melalui adegan-adegan yang memiliki ceritera. Berbagai budaya mempunyai tradisi tari berpasangan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, seperti misalnya ketuk tilu (Sunda), tayub (Jawa), gandrung (Banyuwangi dan Lombok), ronggeng (Melayu), dan lainlain. Sebagian besar (tidak semua) dari tradisi tersebut, para perempuannya adalah penari profesional. Sementara itu penari laki-lakinya adalah penonton yang menari bergiliran. Dalam tradisi masyarakat Batak, tari berpasangan dilakukan secara berkelompok, seperti umpamanya dalam upacara guro-guro aron dari Karo yang telah disinggung di muka. Dalam konteks itu, tari berpasangan tidak serta-merta menggambarkan adegan percintaan, melainkan merupakan suatu forum sosial-kekeluargaan. Walaupun demikian, mungkin saja forum tari tersebut menjadi ajang terjalinnya hubungan kasih, bahkan sampai terjadi pernikahan. Karena itu pula, orang semarga dilarang adat untuk menari bersama. Selain itu, sangat banyak budaya yang memiliki tari berpasangan yang mengungkapkan ketangkasan, adu kekuatan, atau peperangan, seperti yang terdapat di Minahasa, Sulawesi Tengah, Dayak, Nias, Sasak, Papua, Sumba, berbagai suku di NTT, dan lain-lain. Demikian pula dalam tradisi keraton di Jawa, terdapat tari Lawung (penari laki-laki dengan memakai tombak), tari Srimpi (perempuan yang terdiri 2 pasang), dan tari Bambangan-Cakil (perempuan-laki-laki) yang menggambarkan kehalusan melawan kekasaran (lihat Bab 1, Gbr. 1-24).
40 — TARI TONTONAN
Gbr. 2-6: Tari berpasangan dari Monggolia: walaupun tidak berhadapan, gerakan antar penari yang satu berhubungan dengan yang lainnya.
Gbr. 2-7: Tari pergaulan dari Manado, Sulawesi Utara, penari laki-laki dalam foto ini diperankan perempuan, pada acara pelatihan guru Pendidikan Seni Nusantara (atas). Tari Kreasi Baru Didik Nini Thowok (kanan bawah) dengan seorang penari dari Kanada, keduanya laki-laki yang memerankan
Gbr. 2-8: Gerakan silek (silat) sangat kuat mendasari tarian di Minangkabau. Gambar ini lebih menampakkan komunikasi makna gerak tari daripada bela diri.
TARI TONTONAN — 41
2.1.3 Tari Kelompok Jenis-jenis tari yang dilakukan oleh lebih dari dua penari disebut tari kelompok. Tari kelompok bisa dilakukan dalam jumlah yang sedikit (kelompok kecil) 3, 5, 10, 15 orang, dan kelompok besar, dari 15 orang sampai dengan ratusan orang (kolosal). Kategori besar dan kecil sesungguhnya sangat relatif, tergantung pada ruang yang digunakan. Bisa saja tari dengan jumlah 15 orang akan termasuk tari kelompok kecil jika dipertunjukkan di ruangan atau lapangan yang luas. Demikian pula sebaliknya. Sifat koreografi tari kelompok umumnya tidak mempertimbangkan detail gerak yang rumit, tidak seperti koreografi untuk tari tunggal. Sebab, yang diutamakan di situ adalah kekompakan atau koordinasi kebersamaannya, sedangkan gerakan-gerakan yang terlalu rumit akan menyulitkan kekompakan. Aspek yang acapkali ditonjolkan pada tari kelompok ialah variasi pola lantai. Bahkan, dalam bentuknya yang massal atau kolosal, pola lantainya seringkali dapat membentuk bermacammacam konfigurasi yang rumit. Tarian kelompok kerap juga membawakan suatu tema, bahkan banyak yang membawakan suatu cerita (lakon) dalam bentuk dramatari. Tari kelompok banyak tersebar di Nusantara contohnya tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur, tari Seudati, tari Saman dari Aceh, tari Pakarena dari Makasar, Maengket dari Minahasa, Lumense dari Sulawei Tenggara, Bebing dan Manunggo dari Flores, dan lain sebagainya.
Gbr. 2-9: Tari kelompok dari Banda, Maluku, dokumentasi KITLV (perpustakaan di Belanda) tahun
42 — TARI TONTONAN
Gbr. 2-10: Tarian perempuan dari Jepang, bon odori (“tari Bon”), yang dipertunjukkan pada ritus tahunan untuk menghormati leluhur.
Gbr. 2-11: Tari Saputangan dari Flores, yang populer hingga tahun 70-an, hampir sama dengan di wilayah lain di Indonesia saat itu.
Gbr. 2-12: Tari Kupu-kupu dari Jawa Barat, yang diciptakan untuk tari kelompok sehingga tampak meriah dengan penari berseliweran: sangat populer dalam tahun 50-60-an.
2.2 Tema Tema-tema tari tontonan, baik tari tradisi, maupun tari kreasi sangat beragam. Pengambilan tema bisa diilhami atau didasari oleh berbagai peristiwa kehidupan, baik kehidupan manusia (sosial, perilaku), maupun kehidupan satwa. Berlimpahnya sumber tema sebagai ide penggarapan
TARI TONTONAN — 43
tari kreasi baru telah mendorong kreativitas para koreografer. Bentukbentuk tari yang diciptakannya semakin variatif. Di samping itu, suasana pergaulan semakin terbuka, para seniman tari daerah sering saling berkenalan. Pertemuan kesenian antardaerah yang kian banyak terjadi dalam berbagai forum festival, semakin mendorong tumbuh suburnya tari-tari kreasi baru di berbagai daerah. Tarian dari suatu daerah bisa ikut mengilhami proses kreativitas para seniman tari dari daerah lainnya. Oleh karena itu, saling pengaruh-mempengaruhi, saling memanfaatkan unsurunsur tari daerah lain, merupakan hal yang sangat lumrah, dan dengan itu pula tema-tema tarian menjadi tumbuh atau berubah cepat. Dalam penyajian garapan tari, tema merupakan sesuatu yang selalu ada. Sesederhana apapun sebuah tarian, pastilah bertema. Melalui tema itulah aspek-aspek penyajian tari menjadi bermakna untuk dikomunikasikan kepada penontonnya. Tema dapat disampaikan secara literer maupun non-literer. Tema literer, adalah yang penggambarannya seolah bercerita, pengungkapan gerak-geraknya naratif, karena mengandung suatu lakon yang ingin diungkapkan. Sedangkan tema non-literer adalah yang menitikberatkan pada penggambaran suatu suasana emosional tertentu (yang tidak naratif). Berikut ini berbagai tema yang terdapat pada bentuk-bentuk tari tontonan. 2.2.1 Tema Religius Tari-tari bertemakan religius atau pemujaan banyak ditemukan di daerahdaerah di Indonesia. Salah satu gerak umum yang kerap muncul pada tari yang bertemakan persembahan ialah gerak dan sikap tangan yang menengadah ke atas, atau mengatupkan kedua telapak tangan, baik di ujung hidung (gerak sembahan pada tari Jawa misalnya) atau di depan dada, seperti terdapat dalam Tari Jajar dari Manado. Tema-tema religius dapat juga dirasakan pada suasana dan konteks peristiwanya, terutama pada pertunjukan yang berhubungan dengan upacara adat. Tari-tarian di Bali, kebanyakan menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan. Pada masyarakat Simalungun (Sumatera Utara) terdapat jenis tarian yang disebut Huda-huda dan Toping-toping, yaitu tarian yang biasanya menjadi bagian dari ritus (upacara) kematian. Masyarakat Desa Tutup Ngisor di lereng gunung Merapi memiliki ritual dalam bentuk ruwatan bumi. Pada setiap tahun baru Jawa-Islam, tanggal 1 Sura. Pada pelaksanaan upacaranya terdapat antara lain pertunjukan wayang wong (wayang orang) yang dianggap sakral (suci).
44 — TARI TONTONAN
Adegan penting dalam pertunjukkan itu berupa puja semedi (meditasi) untuk memanjatkan doa. Di wilayah kota Palu khususnya pada masyarakat Kaili, terdapat tari Balia Tampilangi dan tari Novero (tari pengobatan). Dalam beberapa garapan tarian ini dimulai dengan gerak pamulana (gerak membuka), selanjutnya gerak untuk memberi kekuatan kepada si sakit sambil melakukan mosive (memercikan air), diikuti dengan gerak notaro (acungan parang) yang menyimbolkan pengusiran roh jahat. Sementara itu gerak-gerak yang bersifat khusyuk disebut noparemba dan neronde, yaitu gerak-gerak untuk memanggil kekuatan roh. Sebagai penutup, dilakukan gerak norumuta (ungkapan syukur) yang dilakukan dengan prosesi melingkar.
Gbr. 2-13: Tarian dari Mamasa, Sulawesi Selatan, yang biasanya dilaksanakan untuk keperluan ritual.
Gbr. 2-14: Tari Jajar dari Manado, Sulawesi Utara, tarian muda-mudi dari masyarakat agama Katolik, khas wilayah keuskupan Manado: menari sambil menyanyi dengan suasana kerohaniahan.
Gbr. 2-15: Tari Topeng Sidakarya dari Bali: walaupun wajahnya tampak seram tapi bermakna pemberkahan, yang ditampilkan sebagai tarian terakhir dari topeng pajegan.
TARI TONTONAN — 45
Gbr. 2-16: Tarian Rudat (rhodat) dari masyarakat Muslim di Bali, dengan kostum campuran antara pejabat dan tentara kolonial. Para penarinya menggunakan kopiah, sambil menyanyikan syair-syair pujian berbahasa Arab, diiringi rebana, dengan gerakan-gerakan pencak silat dan baris-berbaris. Tarian seperti ini banyak terdapat di banyak daerah di Jawa.
Gbr. 2-17: Tari Seblang dari Banyuwangi, Jawa Timur, diadakan setiap tahun untuk upacara syukuran atau selamatan desa.
46 — TARI TONTONAN
Namun demikian banyak juga tari-tarian di Nusantara yang memiliki bobot persembahan atau berlandaskan tema rohaniah tapi tidak secara eksplisit terlihat di dalam gerak atau bentuk tariannya. Misalnya, tari Seudati dari Aceh. Gerak-gerak dalam tari Seudati cenderung energik, gagah, dan lincah. Di balik gerak tersebut, juga bermakna falsafah religius dan kesantunan sosial. Sifat religiusitasnya tampak antara lain di dalam syair-syair nyanyian yang menjadi lagu pengiring tarian tersebut. Salah satu penggalan syair Seudati itu antara lain: “Rakyat jipateh peu nyang geu peugah, hantom meubantah ban kheun ulama, uroe ngon malam geuyeu ibadah, bak jalan Allah...... (Rakyat percaya akan petuah, tidak membantah ucapan ulama, siang-malam disuruh ibadah, di jalan Allah.... dan seterusnya). Seudati umumnya dipentaskan di depan meunasah (surau), pada acara syukuran khitanan, perkawinan, atau hari besar agama Islam, diyakini tarian itu sebagai simbolisasi syahadat atau dasar pengakuan keimanan. Kalian pernah menonton tari liong (naga-nagaan) dan barongsay (singa-singaan)? Tarian ini sangat atraktif bahkan akrobatik. Dasar-dasar geraknya banyak berlandaskan gerak silat, terutama pada tari barongsay yang ditarikan oleh dua orang, yang menuntut keseimbangan, kekuatan, dan kekompakan. Liong dan barongsay, memang, bisa tampil tersendiri, namun yang hampir tak pernah absen adalah pada acara ritual Tionghoa tahunan yang disebut peh cun, dan cap go meh (tahun baru). Peh cun adalah acara penghormatan kepada leluhur, Khu Gwan (Qu Yuan), yang dihormati sebagai negarawan patriotis. Meskipun peh cun adalah upacara ritual, tari liong dan barongsay pada acara itu pun tetap pada karakternya yang lincah dan akrobatis. Di Makassar ada pula kesenian yang disebut turiolo. Kesenian ini secara utuh menyajikan musik, tari, dan teater. Dibawakan oleh delapan orang yang berperan sebagai pemusik dan empat orang penari. Musik dan tariannya cenderung riang, dengan gerak-gerak yang lincah, bersemangat. Tapi, kesenian ini awalnya merupakan acara religius untuk menghayati peristiwa mukzizat Nabi Ibrahim manakala dibakar. Tapi, hubungan dengan sifat keagamaannya tak kelihatan dalam gerakannya. Kalau pun ada yang eksplisit dengan tema itu, adalah manakala tiba bagian tari api, yang menunjukkan suatu kekuatan ajaib. Tari persembahan yang eksplisit (terlihat langsung) atau pun yang implisit (tak terlihat langsung), banyak lagi tersebar di Nusantara. Karena itu, di tempat kalian tinggal pun sangat mungkin terdapat tradisi tari bertema ketuhanan dengan bentuk dan motif-motif geraknya yang lain pula. Cobalah cari informasinya, kemudian saksikan dan amati pertunjukannya. Coba pula kalian catat dalam bentuk tulisan. Manakala
TARI TONTONAN — 47
kalian menyaksikan tarian itu, dan apalagi setelah mencatatnya, maka akan lebih jelas lagi tampak perbedaan sekaligus persamaannya dengan yang dikatakan di atas. Jika kalian mengamati secara langsung, seperti halnya mengadakan wawancara dengan para seniman tari, niscaya kalian akan mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam, dan pengalaman atau keterlibatan emosional yang lebih terasa. 2.2.2 Tema Alam dan Lingkungan Alam dan lingkungan tak pernah terpisahkan dari kehidupan manusia. Hidup manusia amat bergantung pada alam dan lingkungan, yaitu alam semesta dengan segala isinya: air, gunung, pepohonan, bunga, dan lainlain, yang menyangkut berbagai jenis flora dan fauna yang tak terhingga jumlahnya. Penerimaan, penghargaan, ataupun kekaguman seniman tari pada alam dan lingkungan, biasa terungkap dalam karya-karyanya. Pada perbendaharaan tari tradisi, ungkapan mengenai alam dan lingkungan mungkin terwujudkan langsung melalui tarian-tarian seperti tari teratai, tari air, dan tari bintang. Tarian-tarian yang menggambarkan dunia fauna sangat banyak: ada tari kijang, kelinci, burung, ayam, ikan, kera, harimau, singa, ular, gajah, dan lain sebagainya. Tarian suku Aborigin di Australia, banyak yang menggambarkan kanguru. Demikian juga di Papua, binatang buruan biasa digambarkan dalam tarian yang menjadi bagian dari tarian upacara berburu. Masyarakat Pakpak-Dairi (Batak), Sumatera Utara, memiliki tarian yang menggambarkan burung. Selain jenis-jenis binatang nyata (realistis), ada pula tarian yang menggambarkan binatang tidak nyata, imajiner, atau mitologis, seperti misalnya barong, liong, garuda, dan lain-lain. Cara mengungkapkannya pun bermacam-macam: dari yang mimetis sampai yang simbolis; dari yang hanya mengungkapkan sebagian dari geraknya saja sampai dengan yang mengungkapkan perilakunya dalam suatu karya tari secara lengkap. Topeng-topeng hudoq di Kalimantan umumnya menggambarkan bentuk binatang seperti burung, babi, hama padi, dan binatang-binatang yang tidak realistis. Selain itu, dalam beberapa tradisi terdapat frasa-frasa gerak yang penamaannya berdasarkan perilaku binatang atau gerak alam, seperti misalnya bango ngebak (burung bangau mandi), oray meuntas (ular menyeberang), ombak banyu (air berombak), kleang tiba (daun kering jatuh melayang), gajah ngoling (gajah memainkan belalai) dan sebagainya— walaupun tarian tersebut tidak menggambarkan perilaku binatang.
48 — TARI TONTONAN
Burung merupakan satwa yang banyak mengilhami para koreografer tari kreasi baru. Tari Merak, misalnya diciptakan oleh Tjetje Soemantri pada tahun 1955 di Jawa Barat. Tarian ini menggambarkan kelincahan dan keriangan burung merak yang sedang mengepak-ngepakkan keindahan sayapnya. Tata busananya warna-warni penuh ornamen, menggambarkan keindahan bulu-bulunya. Tarian yang biasanya ditarikan oleh tiga remaja putri itu hingga tahun 1970-an amat dikenal secara luas. Kemudian, Bagong Kusudiardja tahun 60-an di Yogyakarta juga menciptakan tari Merak yang diilhami oleh tari Merak Sunda. I Wayan Dibia pada dekade 80-an, di Bali, juga menciptakan tari Manuk Rawa yang sangat lincah dan dinamis. Ada pula tari Belibis Putih karya Swasti Bandem juga dari Bali, yang busananya didominasi oleh warna putih. Tari Manuk Rawa pernah mendominasi pementasan tarian remaja di Jakarta, karena tarian ini memang cocok untuk ditarikan oleh remaja putri. Jadi, sampai sekarang tema alam-lingkungan ini terus hidup dalam dunia cipta karya tari. Karya tari yang lebih besar—selain drama tari, sendratari, biasa juga disebut teater tari karena merupakan pertunjukan penuh dan menyertakan berbagai idiom—banyak yang mengungkapkan kondisi lingkungan. Sebagian dari karya mereka bukan untuk menggambarkan keindahan
Gbr. 2-18: Wayang wong Bali menampilkan banyak tokoh kera sebagai pahlawan bahkan raja. Gambar dari kiri ke kanan: Anoman (kera putih), Sugriwa (raja), Dewi Tara (bidadari istri Sugriwa) dan Anggada (anaknya).
TARI TONTONAN — 49
alam, melainkan mengemukakan persoalan lingkungan yang rusak oleh cara hidup jaman modern ini. ”Metaekologi” dan ”Hutan Plastik” karya Sardono W. Kusumo, ”Sampah” karya Miroto, merupakan beberapa misal dari karya tari seperti itu. Dengan demikian, seperti halnya disiplin seni yang lain, tari bukan hanya merupakan karya panggung yang layak untuk ditonton, melainkan juga dapat berupa ajang ekspresi kritis, yang berisi komentar atau penyadaran sosial.
Gbr. 2-19: Tari kuda lumping (kuda kulit), yang asalnya dari desa, banyak menjadi tontonan di kota dengan garapan baru dan dengan penari yang lebih banyak.
Gbr. 2-20: Tari Merak dari Jawa Barat, dengan kostum gemerlap. Sebagian menunjukkan identitas merak (tutup kepala, baju, sayap), tariannya pun menunjukkan keriangan.
50 — TARI TONTONAN
Gbr. 2-21: Tari Belibis Putih dari Bali, kreasi baru ciptaan Swasti Bandem, kain putih menggambarkan sayap.
2.2.3 Tema Kehidupan Pengalaman hidup, baik secara individual maupun komunal, yang langsung maupun tak langsung, merupakan sumber inspirasi tema tari dan kesenian pada umumnya. Itu semua tergantung dari minat, kepekaan, dan kepiawaian si seniman untuk mewujudkannya. Kehidupan manis dan pahit, keberuntungan dan kemalangan, percintaan dan perseteruan, banyak dijadikan tema karya seni. Ceritera Ramayana—seperti halnya berbagai jenis hikayat, dongeng, dan legenda yang terdapat di manamana—mengandung sejumlah tema yang menyangkut perjalanan hidup, dan karena itu sampai sekarang sering dipertunjukkan. Tahun 2004-2005, ceritera I La Galigo dari Sulawesi Selatan digarap oleh sutradara terkenal, Robert Wilson (bersama komponis Rahayu Supanggah), menjadi suatu pertunjukan teater tari yang sangat besar, dipertunjukkan di panggung internasional, dengan menyertakan penari dan pemusik dari berbagai wilayah budaya Nusantara. Selain percintaan atau ceritera-romantis, tema perjuangan atau kepahlawanan pun banyak menjadi tema tari. Hal itu terungkap misalnya dalam tari-tari perang atau tari keprajuritan. Begitu pula kehidupan komunal yang kemudian banyak diwujudkan menjadi tarian, seperti misalnya tari Gotong Royong dan tari Pesta Desa karya Bagong Kussudiardja,
TARI TONTONAN — 51
dan tari Tabuik karya Dedy Luthan dari Sumatera Barat. Kehidupan keseharian dan pekerjaan acapkali muncul juga menjadi tema tari, antara lain kita mengenal tari tani, tari nelayan, tari layang-layang, tari memetik daun teh, tari tenun, dan lain-lain. Bahkan benda-benda di sekitar kehidupan sehari-hari pun muncul menjadi tema, misalnya tari lilin, tari payung, tari saputangan, tari kipas, tari piring, dan lain-lain. Kehidupan tragis/kesedihan manusia biasa diangkat pula menjadi tema tari, misalnya tari Gugur Bunga dan tari Sabai Nan Aluih dari Minangkabau. Demikian pula suasana ceria, humor dan komikal bisa muncul menjadi tema. Salah satu penari dan koreografer yang kerap menggarap tari humor antara lain adalah Didik Nini Thowok dari Yogyakarta, Bang Tilil dari Jawa Barat yang biasa tampil di pasar dengan tari layanglayangnya yang humoris, tarian atau adegan pertunjukan tekae’ dari masyarakat Dayak, dan lain-lain. Salah satu tarian yang bertema kahidupan adalah tari Nelayan, yang terdapat di berbagai daerah. Tarian ini ada yang berupa tari tunggal, berpasangan, atau pun kelompok. Gerakannya umumnya mimetis menggambarkan cara-cara menangkap ikan, baik berupa gerak tanpa alat atau pun dengan alat seperti jaring dan jala. Struktur tarinya naratif, menggambarkan mulai dari persiapan menuju ke sungai atau laut, proses menangkap ikan, sampai ungkapan kegembiraan setelah membawa hasil tangkapannya—serupa itu pula untuk tari Tani, yang menggambarkan cara bercocok tanam, yang juga terdapat di banyak tempat. Penciptaan tari Nelayan ada yang dilakukan secara individual dan ada yang kolektif. Tari Nelayan di daerah Belitung, Sumatera Selatan, diciptakan oleh Suhari Saridin; sementara di daerah Sangir-Talaud, Sulawesi Utara, tarian ini tercipta secara kolektif oleh para seniman setempat. Huriah Adam, koreografer dari Sumatera Barat, pernah juga menciptakan tari nelayan dalam gaya Minang, dan dengan penyajian yang lebih modern. Alat-alat musik pengiringnya terdiri dari piano, akordeon, biola, gitar, dan gendang Minang. Masing-masing penarinya (berjumlah 6 orang) membawa indang atau rebana sebagai properti tari dan alat pengiringnya sekaligus. Ada lagi tarian (dan permainan) yang berhubungan dengan kehidupan penangkapan ikan, yakni Lukah Gile dari Kabupaten Karimun, Provinsi Riau Kepulauan. Lukah adalah bubu, yakni alat penangkap ikan terbuat dari bambu, berukuran sekitar 150 x 50 cm. Tradisi menangkap ikan dengan bubu ini digarap menjadi sebuah karya tari oleh Suryaminsyah, yang lebih dikenal dengan panggilan Wak Min. Tarian ini ditarikan oleh tiga penari putra dengan sebuah properti lukah. Alat musik yang
52 — TARI TONTONAN
mengiringinya adalah gendang, gong, dan mantra-mantra. Bagian awal struktur tari ini berisikan gerak-gerak silat, diiringi irama repetitif (berulang-ulang) sehingga memberi pengaruh kepada penarinya yang kemudian bisa mencapai setengah sadar (trance). Dalam tari Lukah Gile, yang nyaris sama dengan tari Bambu Gila dari Maluku, setiap adegannya menggambarkan lukah (bambu) yang memiliki kekuatan sehingga membuat sejumlah orang bergerak menari. Tarian atau permainan dengan bubu ini terdapat di wilayah-wilayah lain seperti di Minangkabau, Lampung, Jambi, dan lain-lain.
Gbr. 2-22: Tari Metik Teh dari Jawa Barat, memakai properti keseharian seperti kantong dan topi.
Gbr. 2-23: Tari Piring dari Minangkabau.
TARI TONTONAN — 53
2.3 Lingkungan Sosial Uraian di atas telah juga menunjukkan bahwa kehidupan sosial masyarakat sangat berpengaruh terhadap perwujudan gaya tari. Hal itu menunjukkan pula bahwa masing-masing lingkungan sosial di Nusantara mempunyai tari tradisinya sendiri-sendiri, dengan fungsinya yang tersendiri pula. Khazanah berbagai tari tontonan yang hidup di setiap kalangan masyarakat itu, biasanya ditandai dengan dua sebutan, yaitu tari tradisi dan tari kreasi (atau kreasi baru). Kedua sebutan tadi, menunjukkan kadar ketradisian dan/atau kebaruan kreasi, yang kemudian termanifestasikan (terwujudkan) di dalam visualisasi geraknya. Namun, perbedaan antara tari tradisi dan tari kreasi, itu seringkali kabur. Apalagi bagi orang yang bukan berasal dari tradisinya, kemungkinan sulit untuk bisa membedakannya. Kesulitan itu disebabkan oleh karena kita tidak akan bisa secara jelas memberikan ukuran sejauh mana keaslian yang harus dipertahankan sehingga karya itu bisa disebut tradisi, dan sebaliknya harus sejauh mana kebaruan yang diciptakan untuk bisa disebut kreasi baru. Seperti telah disinggung terdahulu, bahwa dalam tradisi selalu tumbuh kreativitas, karena tradisi itu selalu berubah. Sebaliknya, karya baru itu juga banyak bersumber pada khazanah tradisional. Kita tahu pula bahwa perbedaan gaya-gaya dalam kesenian tidak pernah bisa dibatasi dengan ukuran yang pasti. Akan tetapi, kalian tidak perlu bingung atau khawatir dengan “ketidakjelasan” itu, karena dalam kehidupan sehari-hari pun kita sering cukup aman dengan ketidakjelasan. Contohnya, semua orang tahu perbedaan waktu pagi, siang, dan sore, walaupun tidak ada seorang pun yang bisa menunjukkan jam berapa atau menit ke berapa beralihnya pagi ke siang, dan siang ke sore. Seperti itulah pula kira-kira batas antara tradisi dan kreasi baru dalam kesenian. Dengan kesadaran terhadap ketidakhitam-putihan, maka perbedaan antara tradisi dan kreasi baru bisa kita rumuskan sebagai berikut: dalam seni tradisi kebaruan bukanlah untuk tujuan ideologis, sedangkan dalam karya kreasi baru keinginan atau gagasan untuk menciptakan kebaruan lebih dominan. Hal ini akan kita bicarakan lebih jauh berikut ini. 2.3.1 Tari Tradisi Kata tradisi, dalam perbincangan umum, seringkali diartikan sebagai sebuah kebiasaan, yang telah secara turun temurun, berulang-ulang dari satu generasi ke generasi berikutnya, dalam rentang waktu yang cukup panjang. Karena itu pula, di dalam suatu tradisi terkandung nilai-nilai atau norma-norma yang mengikat bagi mayarakatnya.
54 — TARI TONTONAN
Lalu, apakah yang dimaksudkan dengan tari tradisi? Apakah yang dimaksudkan adalah tari-tarian yang telah lama hidup secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya? Apakah yang dimaksudkan adalah tari-tarian yang secara konvensional memiliki aturan-aturan atau normanorma baku yang tidak boleh dilanggar? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut, kita tidak bisa secara sederhana merumuskannya, mengingat antara tari tradisi dan tari yang dianggap bukan tradisi (kreasi), perbedaannya seringkali sangat tipis, seperti telah dikatakan di atas. Bertitik tolak pada pandangan secara umum, bahwa yang dimaksudkan dengan tari tradisi adalah tarian yang tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah atau suatu komunitas, sehingga kemudian menciptakan suatu identitas budaya dari masyarakat bersangkutan. Karena itu, kemudian dikenal tari-tarian Minang, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, suatu tari tradisi ternyata tidak hanya hidup dan berkembang di lingkungan wilayah budayanya saja, melainkan banyak juga yang berkembang di luar wilayahnya. Tari Aceh, Minang, Jawa, Batak, Papua, berkembang pula di kota Jakarta. Demikian pula tari-tarian Bali dan Dayak juga bisa hidup di Yogyakarta atau Bandung yang secara geografis bukan wilayah budayanya. Tetapi, di mana pun suatu tari tradisi hidup, tarian tersebut bisa dikenali dari ciri-cirinya yang khas, dan diakui berasal dari suatu wilayah asalnya. Ciri-ciri tersebut meliputi unsur gerak, tata rias dan busana, spirit, serta musik iringannya. Selain dari wilayah geografis etnisnya, tingkatan atau strata sosial-budaya suatu kelompok masyarakat ikut pula mewarnai kekhasan kehidupan tarinya. Tari-tarian yang tumbuh di lingkungan kaum bangsawan (menak, ningrat) atau istana, bentuk dan spiritnya berbeda dengan taritarian yang hidup dalam kalangan rakyat umum di desa-desa. Demikian pula tari-tarian di kota berbeda dengan tari-tarian di desa atau kampung. Kehidupan tari di lingkungan akademisi (sekolah seni) berbeda pula dengan di masyarakat umum, tarian di masyarakat pegunungan/ladang dan pesawahan (agraris) berbeda dengan masyarakat pantai. Karena kondisi itu pula, muncullah pengkategorian tari yang disebut tari istana dan tari rakyat. Penting untuk digarisbawahi, kategorisasi ini tidak merujuk pada kualitas masing-masing jenis tari. Artinya, tari dari suatu lingkungan tidak lebih tinggi nilainya, atau lebih adiluhung, daripada tari di lingkungan lainnya. Pengkategorian tari istana dan kerakyatan atas dasar pendekatan lingkungan sosial, berdasar pada pemahaman bahwa tumbuhnya suatu kebudayaan itu ditentukan oleh lingkungannya masing-masing. Lingkungan yang berbeda turut menumbuhkan corak kebudayaan yang berbeda pula.
TARI TONTONAN — 55
2.3.1.1 Tradisi Tari Keraton (Istana) Tari keraton adalah tari yang hidup di kalangan keraton atau istana. Corak kebudayaan istana umumnya merujuk pada nilai-nilai monarki, dengan struktur sosial yang mengacu pada sistem atau kekuasaan kelas, di mana raja merupakan puncak dari struktur kelas tersebut. Di dalam tata kehidupan istana—sebagaimana pernah terdapat di pulau-pulau Jawa, Bali, Lombok, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan lain-lain—figur raja umumnya memiliki otoritas tertinggi, sehingga dialah pula yang menentukan kebijakannya, baik aspek politik maupun kebudayaannya. Namun demikian, tidak semua sistem yang dibangun di setiap istana sama. Ada yang lebih mengutamakan politik kekuasaan Sang Raja, ada yang lebih mengutamakan kebersamaan hidup dengan masyarakat luas. Itu semua tergantung pada kebijakan budaya (etnisitas, lingkungan) atau agamanya, keberadaan atau kekayaannya, dan sebagian lagi tergantung pada karakter pribadi rajanya. Dengan demikian, di suatu istana antara raja yang satu bisa berbeda dengan raja sebelum atau sesudahnya. Karena itu, bisa terjadi pada suatu masa pertumbuhan kebudayaannya sangat meningkat, tapi pada masa kekuasaan berikutnya menurun. Dengan demikian, tidak seluruh kesenian istana itu memiliki corak atau kualitas yang sama. Yang tak kalah penting pula adalah menyangkut hubungan antara kalangan istana dan kalangan rakyat. Ada raja yang mengutamakan keintiman hubungan, ada pula raja yang ingin mengukuhkan kekuasaannya. Raja yang cenderung mengukuhkan kekuasaan, akan berdampak kepada kehidupan kesenian, yang antara lain tidak memiliki keakraban dengan kesenian di luar istana. Pada masa tertentu di Jawa, umpamanya, batas antara tembok keraton dan rakyat cukup tebal, sehingga kebanyakan jenis keseniannya pun berbeda sekali di antara dua kalangan tersebut. Tari Lawung dan tari Bedaya, umpamanya, adalah jenis tari yang eksklusif di istana. Demikian pula peralatannya, seperti gamelan, di istana lebih megah, lebih besar, daripada gamelan-gamelan di desa-desa, karena istana jelas lebih mempunyai uang (dari pajak rakyat) dibanding dengan desa. Kehidupan istana di Bali, agak berbeda dengan Jawa. Keakraban kesenian antara kalangan istana dan rakyat lebih terbangun, sehingga kategori seni istana dan seni rakyat di sana sampai sekarang pun umumnya sulit dibedakan. Kemungkinan besar, yang menciptakan keakrabannya itu adalah karena kesenian menjadi bagian integral dari kehidupan keagamaannya, yang sama-sama dipentingkan di kedua lingkungan ini. Ketika kekuasaan politik memudar, berubah pula kehidupan keseniannya. Dalam kasus Nusantara, hadirnya pemerintah kolonial sangat
56 — TARI TONTONAN
berpengaruh. Ketika sudah tidak ada lagi kerajaan yang berkuasa sejak abad ke-19, lahirlah semangat nasionalisme atau kebangsaan dari seluruh kawasan Hindia Belanda, yang berujung pada kelahiran republik kita ini. Kaum intelektual, umumnya dari kaum bangsawan atau kaum kaya (karena punya akses pada pendidikan di zaman itu) melahirkan gerakan “merakyat” yang lebih demokratis. Di Yogyakarta, umpamanya saja, pada tahun 1912 lahir suatu perkumpulan tari bernama Krida Beksa Wirama (KBW; arti katanya: krida = gerakan, beksa = tari, wirama = irama), yang membawa tarian istana Yogyakarta ke luar tembok keraton. Sasarannya adalah kaum pelajar, bekerja sama dengan perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara. Gerakana KBW ini berpengaruh besar pada perkembangan apresiasi tari di masyarakat, karena selain dipelajari juga dipertontonkan kepada masyarakat luas. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Republik Indonesia lahir dengan gerakan memperluas hak rakyat (publik) sebagai warga negara yang setara, maka tarian-tarian istana Jawa pun menjadi luluh dalam kehidupan masyarakat umum. Setelah tari istana menjadi hak publik, terutama setelah lahirnya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi seni tari, tarian pun mengalami perubahan besar, dan bahkan banyak muncul tari-tarian baru yang berpijak pada tari-tarian istana. Penyajiannya banyak yang dikemas baru sebagai tari tontonan; pemanggungannya yang dahulu hanya di pendopo kini di berbagai format panggung modern; konsep koreografinya bukan lagi untuk ritus atau kelangenan (kesenangan) Sang Raja melainkan untuk penonton luas, termasuk untuk sajian siaran televisi; durasinya lebih pendek, misal dari satu jam menjadi sekitar 10 menit saja; ceritera untuk drama tarinya lebih bervariasi; norma atau pakem tari yang dahulu tidak boleh, kini ada yang dibolehkan; dan sebagainya. Singkatnya, setelah tarian itu diperuntukkan sebagai tari tontonan publik, maka sebutan tari istana dan tari kerakyatan itu pun menjadi tidak begitu jelas batasannya. Namun demikian, walau kekuasaan politik keraton tidak lagi seperti dahulu, sampai sekarang pun pengakuan dan penghargaan publik terhadap otoritas budaya keraton masih cukup kuat. Selain mengakui pada sejarah asal-usulnya, masyarakat Jawa juga masih menghargai otoritas keraton terhadap kebudayaannya. Lebih dari itu, karena sebagian dari ritus budaya keraton itu sampai sekarang masih dipelihara, maka masyarakat masih bisa menyaksikan bagaimana kehidupan pertunjukan tari di lingkungan asalnya, yakni lingkungan keraton. Karena itu pula, kategori tari istana dan tari rakyat untuk kasus budaya Jawa, dirasa tetap relevan —yang mungkin tidak demikian halnya dengan daerah-daerah lain.
TARI TONTONAN — 57
Di wilayah-wilayah lain di mana dahulu ada kerajaan, sekarang banyak tumbuh gerakan untuk menghidupkan kembali tradisi tari istana, sebagai upaya pelestarian budaya. Hal ini tentu saja tidak mudah, karena ketika suatu budaya sudah tidak hidup, kita kehilangan pegangan. Umpamanya saja, jika penarinya sudah meninggal, dan tidak pernah diturunkan pada yang lain, untuk menelusurinya sangatlah sulit. Berbeda dengan kondisi budaya dimana kehidupan tari yang menerus tak terputus. Walaupun telah berubah banyak, tapi itu suatu perubahan yang alamiah, sehingga yang berubah itu pun menjadi bagian dari “keaslian” —ingatlah kembali bahwa tidak ada suatu kebudayaan yang tidak berubah. Ada beberapa usaha untuk menggali atau meneliti tarian yang sudah tidak hidup, kemudian disusun ulang, disebut rekonstruksi. Sedangkan upaya menghidupkan kembali tarian yang hampir punah, disebut revitalisasi. Selain itu, beberapa tarian yang dianggap terlalu panjang, sering diperpendek dengan melakukan pemadatan untuk mempersingkat pertunjukannya.
Gbr. 2-25: Adegan drama tari wayang wong dari keraton Yogyakarta dengan ceritera Ramayana: Anoman (pahlawan kera, kiri), Dewi Sinta (isteri Rama yang diculik Rahwana, tengah) dan Trijata (keponakan Rahwana yang kemudian menjadi istri Anoman).
Gbr. 2-24: Tari Golek dari tradisi keraton Yogyakarta, yang populer di kalangan masyarakat umum: biasa dipertunjukkan tunggal ataupun dengan banyak penari. (lihat juga gbr. 2-2) Gbr. 2-26: Adegan drama tari wayang wong dari keraton Yogyakarta dengan ceritera Mahabarata: Batara Guru (depan) yang bertangan 4 duduk dengan kaki beralaskan Lembu Andini, dengan diiring para
58 — TARI TONTONAN
2.3.1.2 Tradisi Tari Kerakyatan Berbeda dengan budaya istana, budaya kerakyatan lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepemilikan secara kolektif. Budaya kerakyatan sangat kuat peran dan fungsinya di lingkungan masyarakat agraris, masyarakat petani dan nelayan di pesisir. Sistem kehidupan sosial budaya juga selalu terkait dengan sistem kepercayaan dan sistem mata pencaharian (pertanian, perikanan, perdagangan, dan lain-lain). Norma-norma kehidupan kolektif itu merupakan hasil kesepakatan bersama yang berguna untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan alam kehidupan. Tari yang bersifat kerakyatan sering berfungsi sebagai tari upacara, sebagai kelengkapan atau penguat sistem sosial-kekeluargaan, dan juga sebagai hiburan dalam kehidupan masyarakat bersangkutan. Memang ada sejumlah tarian kerakyatan yang penyajiannya terkait langsung dengan upacara-upacara ritual. Dalam hal ini, tempat dan waktu upacaranya secara khusus ditentukan. Begitu pula para seniman pendukungnya harus terpilih. Biasanya hal-hal yang bersifat supranatural melatari sepanjang peristiwa pertunjukan berlangsung. Misalnya, adanya saji-sajian khusus yang diperuntukkan bagi roh-roh halus yang diyakini memiliki kehidupan dan kekuatan tersendiri, yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, di dalam upacara ritual biasanya terdapat tokohtokoh utama yang dituakan, dan bertindak sebagai pemimpin upacara. Tokoh-tokoh shaman sering pula berasal dari para seniman sendiri, baik tokoh tari maupun tokoh musiknya. Dalam peristiwa semacam itu, batas antara penonton dengan penari sering tidak jelas. Karena, para penonton itu sebenarnya juga menjadi bagian dari upacara tersebut. Artinya, penonton melihat tari tersebut bukan sebagai hiburan, akan tetapi sebagai media untuk menyampaikan maksud dan tujuan dari upacara tersebut. Pada perkembangan berikutnya, tari rakyat bisa pula dilakukan untuk dua kepentingan. Pertama, sebagai hiburan pada acara pesta atau upacara-upacara sosial kemasyarakatan. Sedangkan yang kedua, adalah tarian kerakyatan yang dikemas secara khusus untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk festival, lomba atau kepentingan-kepentingan lainnya yang secara khusus diadakan untuk upaya menumbuhkembangkan serta meningkatkan frekuensi pementasannya. Untuk itulah, banyak koreografer mengemas dan memanfaatkan tari-tarian kerakyatan ini menjadi tari tontonan dan mengkomunikasikannya pada penonton yang lebih luas. Penyajian itu dilakukan agar orang-orang di luar komunitas tradisinya juga bisa lebih tertarik dan bisa lebih menikmati keindahannya. Kegiatan pengemasan biasanya tak lepas dari upaya untuk meningkatkan
TARI TONTONAN — 59
kualitas tari tradisi itu dari berbagai aspek. Tetapi, upaya seperti itu tidaklah mudah. Persoalannya tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat teknis koreografi saja, melainkan juga akan menyangkut latar belakangnya. Oleh sebab itu, seorang pengemas memerlukan sikap dan tindakan yang hati-hati dan penuh kecermatan serta kearifan agar pengemasan itu tidak menimbulkan konflik sosial. Hal ini diperlukan mengingat dalam tari tradisi terdapat norma-norma yang tidak bisa dilanggar secara semenamena. 2.4 Tari Beladiri Mencermati keragaman tari-tari tradisional di Nusantara, ada jenis tari tradisional yang dapat digolongkan sebagai tari beladiri. Jenis tari ini hidup di semua kalangan: masyarakat umum, santri (pesantren), dan istana. Kata “beladiri” pada umumnya menunjukkan rangkaian gerak yang memiliki fungsi untuk menyerang dan mempertahankan/menghindarkan diri dari serangan lawan. Kita mengenal berbagai jenis beladiri, misalnya pencak, silek, yudo, kempo, tai chi, dan sebagainya. Dari sejumlah jenis beladiri tersebut, pencak-silat adalah jenis beladiri yang mewakili bentuk beladiri tradisional Indonesia. Pencak-silat, dengan berbagai sebutan/istilah lokalnya masing-masing, juga tumbuh dan berkembang secara berbedabeda di berbagai daerah Nusantara. Misalnya, di Jawa Barat dikenal penca (tanpa huruf “k”), di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut pencaksilat (dengan huruf “k”), dan di ranah Minang dikenal istilah silek. Sementara di Bali disebut mancak atau encak, dan di Makasar disebut akmencak, dan pelbagai sebutan lain untuk daerah-daerah lainnya. Istilah “pencaksilat” sudah dikenal secara nasional, bahkan internasional, tapi secara umum lebih dikaitkan dengan dunia olah raga daripada dunia kesenian. Selanjutnya, pertumbuhan dan perkembangan tarian pencak-silat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan-perbedaan ini justru menunjukkan keragaman jenis-jenis tari beladiri di Indonesia. Karena, bagaimanapun, ketika gerak-gerak pencaksilat dikaitkan dengan unsur-unsur seni (tari), maka pembawaan gerak-gerak pencaksilat itu pun tidak sekadar sebagai gerak-gerak yang mengandalkan kekuatan dan ketangkasan. Tentunya, sebagaimana hakikat atau makna tari (lihat Bab 1), gerak-gerak pencaksilat memiliki unsur-unsur yang terdapat dalam tari. Gerakan-gerakan tarinya bermotif beladiri, dan koreografinya merupakan susunan dari jurus-jurus. Di Jawa Barat, pencaksilat yang dikategorikan sebagai seni tari disebut dengan penca kembang (silat bunga), yang lebih ditujukan untuk
60 — TARI TONTONAN
pertunjukan daripada untuk latihan keterampilan berkelahi. Penca kembang mempunyai tiga jenis tahapan koreografi beserta iramanya, seperti misalnya tepak dua berirama lebih lambat, tepak tilu berirama sedang dan padungdung berirama cepat. Alat-alat musik yang digunakannya terdiri atas dua set kendang, sebuah gong dan sebuah terompet, yang secara keseluruhan disebut gendang penca. Kelompok gendang penca (atau kendang penca) pun terbentuk seperti halnya grup-grup kesenian lain, yang bisa diundang (ditanggap) untuk main pada acara-acara keramaian, termasuk pernikahan dan khitanan. Dasar gerak pencaksilat tidak hanya tampil sebagai tari bela diri. Ia banyak terdapat pada bagian-bagian tertentu di dalam suatu komposisi tari. Adegan-adegan randai dari Minagkabau, misalnya, banyak sekali dihiasi oleh gerak-gerak yang sumbernya dari pencaksilat. Namun demikian, adegan atau tarian di dalam randai itu tidak mesti menggambarkan perkelahian. Pendek kata, gerakan pencak silat itu tidak serta-merta harus menggambarkan ketangkasan, melainkan bisa melulu berfungsi sebagai tari semata. Varian gerak pencaksilat bisa dilihat pada unsur-unsur gerak tari tontonan, seperti misalnya tari Cakil (yang berperang melawan Arjuna) dan tari Handaka-Bugis di Jawa Tengah. Demikian pula penari pria dalam ketuk tilu di Jawa Barat banyak didominasi oleh gerakan-gerakan pencaksilat.
Gbr. 2-27: Gerakan-gerakan pencaksilat bermotif bela diri, koreografinya merupakan susunan jurus-jurus.
TARI TONTONAN — 61
Hal lain yang menarik dari kasus pencaksilat, adalah latihan ketangkasan tubuh untuk bela diri ini acapkali dianggap seperti bagian dari ”permainan” keseharian. Di beberapa daerah di Jawa Barat, misalnya, manakala seseorang mengajak temannya untuk bersilat, ajakan itu dikatakan “mari kita ulin.” (mari kita bermain-main). Di Makassar, silat pun disebut akarena yang berarti juga ”main-main.” Kecenderungan seperti ini dapat pula dilihat pada permainan kapuera di Brazil dan berbagai jenis adu ketangkasan yang terdapat di negeri kita. Walau kadang-kadang terasa sangat keras, akan tetapi pertandingan ketangkasan itu bukan terutama untuk mengalahkan musuh, melainkan sebagai bagian dari ”permainan,” ritus atau pesta komunal. 2.5 Tari Permainan Dalam kehidupan anak-anak (tempo dulu), banyak berkembang tari anak-anak yang lebih bersifat main-main daripada tontonan. Oleh sebab itu, di sebagian daerah Nusantara, di Jawa misalnya, tari anakanak disebut dengan istilah tari dolanan (main-main) atau tari kaulinan barudak (permainan anak-anak) di Sunda. Jenisnya bermacam-macam, tapi umumnya merupakan tari kelompok, dilakukan secara bersama-sama, di kala senggang, pada sore hari sampai menjelang malam. Beberapa tema tari permainan anak mengambil dari perilaku atau bentuk binatang. Di Jawa Barat, misalnya terdapat tari permainan orayorayan (permainan meniru ular), di mana sejumlah anak membentuk satu barisan berpegangan bahu, berjalan meliuk-liuk seperti ular sambil bernyanyi dengan kata-kata yang juga berkenaan dengan ular. Permainan seperti itu dengan tema binatang kuda terdapat dalam beberapa tradisi, di antaranya dengan membuat kuda dari pelepah daun pisang, dan Si Anak sebagai penunggangnya, mirip penari kuda-lumping. Banyak pula tarian anak yang tidak menirukan gerak binatang, atau bahkan tak bertema sama sekali. Bisa jadi tujuan atau fungsi utamanya hanyalah untuk pengungkapan energi bergerak dan bermain. Mungkin gerakan itu terwujud dalam mengisi nyanyian yang sudah ada, mungkin nyanyiannya yang menyusul, atau mungkin keduanya dibuat secara bersamaan. Yang jelas bahwa hampir semua tari permainan anak itu disertai nyanyian yang nama lagunya (biasanya) sama dengan nama tarinya, yang juga dinyanyikan oleh penarinya sendiri. Ada yang berkenaan dengan perilaku geraknya sendiri, seperti berayun atau bergoyang di atas dahan yang lentur; ada yang bergandengan tangan; ada yang berkaitan kaki sehingga semua penarinya hanya berdiri di atas satu kaki dan kemudian
62 — TARI TONTONAN
berjingkrak bersama. Pendeknya, bertema ataupun tidak, tari permainan anak terdapat hampir di seluruh penjuru dunia, karena bergerak (menari), bernyanyi, bermain, merupakan sifat alamiah manusia. Walaupun tari permainan anak bukanlah sebagai tari tontonan yang biasa dipertunjukkan di gedung-gedung pertunjukan, jenis tari ini sering pula dijadikan sumber garapan baru para koreografer dalam menyusun tari tontonan. Di perkumpulan, sanggar, atau studio-studio tari terdapat sejumlah tari yang khusus untuk anak-anak yang sumbernya berasal dari tari tradisi permainan tersebut. Namun sayang, beberapa jenis tari permainan anak tersebut kini sudah punah sehingga sulit untuk bisa menyaksikannya kembali. Untuk mengetahuinya, kalian bisa bertanya kepada orang-orang tua yang pernah melakukan tari permainan pada masa mereka anak-anak. Kini, tari anak-anak dalam bentuknya yang baru, sesekali bisa kita saksikan, misalnya dalam pelajaran kelas di Taman Kanak-kanak, pesta kenaikan kelas di Sekolah Dasar, acara pertunjukan ulang tahun sanggar tari, acara perayaan kemerdekaan, dan sebagainya. 2.6 Rangkuman Berdasarkan uraian Bab 2 ini, kita dapat melihat tari tontonan dari berbagai segi. Kita bisa melihatnya dari sisi jumlah penari atau pun dari tingkat usia pelakunya, Tarian pun bisa dilihat dari sisi tema yang diungkapkannya. Ada tarian yang bertemakan persembahan, mengungkapkan aspek alam dan lingkungan, dan ada juga tari yang mengangkat tema kehidupan keseharian. Kita juga bisa melihatnya dari sisi lingkungan sosial di mana tarian itu hidup. Ada tarian yang ditumbuhkan di lingkungan istana, dan ada juga yang tumbuh di lingkungan masyarakat umum; ada yang hidup di perkotaan dan ada yang di pedesaan. Ada yang dibuat untuk pertunjukan panggung, ada yang berupa media permainan. Masing-masing tradisi ini bisa berjalan pada wilayahnya masing-masing, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, tapi di sana-sini juga sering terjadi pertemuan, percampuran, atau saling mempengaruhi. Semua pendekatan ini diharap akan dapat menambah kepekaan dan pemahaman kita pada makna tari secara khusus, kesenian pada umumnya, dan bahkan pemahaman kebudayaan secara lebih luas lagi.