BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROFESIONALISME GURU 4.1 Profesi Guru sebagai Panggilan Jiwa Berbagai teori yang dikemukakan ahli manajemen sumberdaya manusia, menyatakan orang yang secara sadar dan bebas memilih profesi tertentu berhak disebut sebagai manusia profesional (Hans, 2006). Lebih lanjut Hans (2006) menyatakan “Sebenarnya semua orang mempunyai darma, panggilan dan kewajiban suci dalam hidup ini, baik sebagai anggota keluarga, warga negara, warga dunia, dan hamba Allah”. Secara subyektif, rasa terpanggil datang dari hati sebagai tanggapan atas panggilan Tuhan, panggilan Ibu Pertiwi, bangsa dan negara, atau panggilan dari situasi khusus, misalnya kedamaian, kekeluargaan, keadilan, kemanusiaan atau kebenaran. Menurut Filsuf Kant (Danim, 2002), kesadaran akan darma ini disebutnya sebagai kesadaran moral yang pada gilirannya melahirkan kehendak Kant itulah kebaikan tertinggi, budi paling luhur yang diterjemahkannya sebagai tugas paling suci. Pemahaman dan penghayatan bahwa profesi adalah panggilan suci, sekaligus menjadikan bukti bahwa manusia memang merupakan mahluk sosial, yang oleh karena kesadaran moralnya mampu memberi tanggapan dinamis atas fakta moral dari luar dirinya dalam bentuk panggilan jiwa untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Seterusnya Hans (2006) menyatakan bahwa apabila rasa terpanggil itu cukup kuat, orang akan bekerja dengan motivasi kuat, yaitu motivasi superior yang unggul dibandingkan dengan motivasi yang cuma sebatas mencari uang saja. Ia akan menghayati pekerjaan tersebut sebagai tugas suci dengan misi yang bersifat transkenden. Berkaitan dengan profesionalisme ini ada dua pokok yang menarik perhatian dari keterangan Encyclopedia-nya Parsons mengenai profesionalisme itu. Pertama, manusia profesional tidak dapat digolongkan
55
sebagai kelompok kapitalis atau kelompok kaum buruh. Juga tidak dapat dimasukkan sebagai kelompok administrator atau birokrat. Kedua, manusia profesional adalah kelompok tersendiri yang bertugas memutar roda organisasi, dengan leadership status. Jelasnya manusia profesional merupakan lapisan kepemimpinan dalam memutar roda organisasi itu. Kepemimpinan di segala tingkat, mulai dari tingkat atas melalui pemimpin menengah sampai kepada pemimpin tingkat bawah. Dalam perkembangan, profesionalisme mengandung beberapa unsur, yaitu unsur keahlian dan unsur panggilan, unsur kecakapan teknik dan kematangan etik, unsur akal dan moral. Kesemua itu merupakan kebulatan dari unsur kepemimpinan. Jadi, jika berbicara tentang profesionalisme tidak dapat dilepaskan dari masalah kepemimpinan dalam arti luas (Purwanto, 2002). Kemampuan dan pengalaman merupakan guru yang terbaik. Tanpa kesanggupan untuk menarik pelajaran dari pengalamannya, seseorang tidak akan mengalami proses kemajuan dan pematangan dalam pekerjaan. Orang yang sudah puas dengan perolehan tanda lulus atau gelar sarjana dan tidak meneruskan proses belajarnya, akan mengalami kemunduran dalam dunia yang dinamis ini dan akan tertinggal dari yang lain. Anggapan yang menyatakan profesionalisme dapat diharapkan muncul sekedar anjuran, adalah tidak benar. Untuk itu perlu dikemukakan beberapa ciri profesionalisme sebagai berikut:
1) Menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil (perfect results), sehingga dituntut untuk selalu mencari peningkatan mutu.
2) Memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan.
3) Menuntut ketekunan dan ketabahan, yaitu sifat tak mudah puas atau putus asa sampai hasil tercapai.
4) Memerlukan integritas tinggi yang tidak tergoyahkan oleh keadaan terpaksa atau godaan iman seperti harta dan kenikmatan hidup.
5) Memerlukan adanya kebulatan pikiran dan perbuatan, sehingga terjaga efektifitas kerja yang tinggi (Whitty, 2006).
56
Menurut Stoltz (2005) “manusia profesional bagaikan seorang pendaki gunung (climber)”. Lebih lanjut Stoltz (2005) menyatakan bahwa seorang pendaki gunung selalu menganggap bahwa sukses itu berada di puncak gunung, yang untuk mencapainya dibutuhkan kerja keras, perjuangan, motivasi, dan tidak mudah menyerah. Selain itu pendaki gunung seumur hidupnya membaktikan diri pada pendakian, tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Seorang climber memikirkan kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, dan hambatan lain dalam menghadapi pendakiannya. Dengan prinsip seperti inilah, maka seseorang mampu mencapai kesuksesan, Faqi (2005) menawar 10 kunci yang dilakukan untuk mencapai sukses, yaitu: 1) motivasi sebagai penggerak utama, 2) sumberdaya diri, 3) keahlian, 4) perencanaan untuk menuju jalan kesuksesan, 5) tindakan sebagai jalan menuju kekuatan, 6) proyeksi menuju jalan kenyataan, 7) komitmen, 8) fleksibelitas, 9) kesabaran, dan 10) kedisiplinan. Disamping itu untuk mencapai sukses diperlukan etos kerja untuk menjadi seorang yang profesional. Hans (2006) menyatakan ada delapan etos kerja keprofesionalan yang berfungsi sebagai navigator menuju kesuksesan. Kedelapan etos kerja profesional tersebut berupa anggapan kerja adalah: 1) rahmat, 2) amanah, 3) panggilan, 4) aktualisasi, 5) ibadah, 6) seni, 7) kehormatan, 8) pelayanan. Kegiatan pengembangan sumberdaya guru dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang kegiatannya merupakan suatu siklus yang harus dilakukan secara terus-menerus. Hal ini dilakukan karena organisasi pendidikan terus berkembang sebagai salah satu bentuk antisipasi perubahan yang terjadi di luar pendidikan tinggi. Oleh karena itu seperti dikatakan oleh Sudarmayanti (2001) kemampuan sumberdaya guru yang dimiliki organisasi terus-menerus ditingkatkan seirama dengan kemajuan dan perkembangan pendidikan tinggi.
57
Pengembangan profesional guru di sekolah berhubungan dengan produktivitas kerjanya yang berprinsip bahwa “Kerja hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hasil hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Sikap seperti ini akan mendorong seorang guru menjadi lebih dinamis, kreatif, inovatif, dan terbuka serta kritis dalam mencari perbaikan dan peningkatan mutu. Produktivitas kerja yang tinggi ditentukan oleh unjuk kerja atau prestasi kerja yang tinggi. Sedangkan unjuk kerja sangat tergantung pada motivasi kerja dan proses manajemen yang ditentukan oleh kondisi sosial, iklim kerja, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Robbins (2001) menjelaskan bahwa “an organization is productive if it achieves its goals, and does so by tranferring inputs to outputs at the lowest cost. As such, productivity implies a concern for both effectiveness and efficiency”. Berdasarkan pendapat tersebut produktivitas organisasi harus menekankan pada efektifitas dan efisiensi. Kedua hal tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia yang berkualitas. Saat ini telah berkembang kesadaran bahwa sumberdaya manusia bukan sematamata sebagai alat yang menghasilkan jasa produksi, tetapi dipandang sebagai aset organisasi yang harus selalu ditingkatkan kualitasnya melalui upaya menciptakan lingkungan kerja yang kondusif yang dapat menghasilkan prestasi. Mengacu kepada kunci kesuksesan dan etos kerja profesional, maka ada beberapa faktor yang diperkirakan dapat membentuk seorang guru menjadi profesional. Dari deskripsi teori yang telah dikemukakan di atas, variabel yang turut mempengaruhi derajat profesionalisme bagi seseorang yang menjalani profesi guru, adalah: 1) panggilan jiwa yang diimplementasikan dalam bentuk pengabdian, 2) keinginan belajar untuk mengembangkan diri, 3) motivasi berprestasi, 4) kepakaran dalam bidang pengabdian masyarakat, 5) kemandirian dalam menjalani profesi, 6) penguasaan ICT, dan 7) kepemimpinan sekolah. Dari variabel tersebut, maka guru profesional akan memberikan dampak kepada peningkatan mutu hasil belajar siswa.
58
4.2 Panggilan Jiwa untuk Memasuki Profesi Guru Panggilan Jiwa diartikan sebagai keinginan seseorang memasuki sebuah profesi yang sudah pasti dilatarbelakangi oleh panggilan jiwa terhadap profesi tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Covey (2005) ada delapan kebiasaan manusia yang sangat efektif, yang salah satu diantaranya adalah menemukan suara panggilan jiwa dan mengilhami orang lain untuk menemukan suara kemerdekaan jiwanya. Menurut Tirtamihardja dan Sulo (2000) panggilan jiwa sering disebut dengan istilah lain seperti kata hati (conscience of man) atau hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan lain sebagainya. Conscience atau kata hati adalah pengertian yang mengikutsertakan atau pengertian yang mengikuti perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang dan yang telah diperbuatnya, bahkan mengerti juga akibat dari perbuatannya sebagai manusia untuk manusia lainnya. Dengan sebutan pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik dan buruknya perbuatan sebagai manusia. More (Sutisna, 1991) menyatakan seorang profesional terikat oleh panggilan hidup dan dalam hal ini memperlakukan pekerjaan sebagai perangkat norma kepatuhan dan perilaku. Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan panggilan jiwa adalah keinginan yang tinggi dalam diri seseorang untuk memilih salah satu profesi yang disenanginya. Panggilan jiwa semata ditujukan kepada tuntutan hati nurani terhadap satu perbuatan yang dianggap baik. Selanjutnya dibahas karakteristik panggilan jiwa. Faktor utama yang membuat seseorang menjadi profesional adalah panggilan jiwanya untuk mengabdi pada profesi yang dipilih. Seperti dikatakan de Mello (1991) bahwa tiap orang terlahir ke dunia dengan panggilan yang spesifik. Panggilan hidup itu dijalani tiap orang terutama melalui pekerjaannya. Jadi pekerjaan merupakan panggilan yang kita penuhi untuk menjawab suara Sang Pemanggil Agung. Jika orang mengingkari panggilannya ia akan gagal, bukan karena ia dihambat untuk sukses, tetapi mustahil orang sukses di bidang yang
59
bukan panggilannya. Sebaliknya, orang akan berhasil ketika ia menemukan dan melaksanakan panggilan jiwanya. Alasannya, tiap orang pasti dilengkapi dengan potensi dan kemampuan untuk melakukan panggilan itu. Menurut Hans (2006) sebenarnya kita semua mempunyai darma, panggilan, dan kewajiban suci dalam hidup ini, baik sebagai anggota keluarga, warga organisasi, warga negara, warga dunia, atau hamba Allah. Sehingga, seseorang yang memilih pekerjaan sebagai guru, harus dilandasi oleh panggilan untuk mendarma baktikan segenap kemampuannya pada dunia pendidikan. Dengan landasan panggilan jiwanya inilah seseorang akan sukses menjalankan tugas profesinya sebagai guru. Anoraga dan Suyati (1995) menyatakan orang yang memiliki panggilan jiwa biasanya dilandasi bakat dalam dirinya. Karena bakat merupakan unsur yang paling penting dalam mencapai kesuksesan bekerja. Bagaimana seorang dapat bekerja dengan baik kalau pada dirinya tidak memiliki bakat (talent) sama sekali terhadap apa yang dikerjakannya. Namun bakat bawaan bukanlah kunci untuk penguasaan karena bakat perlu diasah untuk pengembangan lebih lanjut. Tidak sedikit orang yang memiliki bakat tetapi tidak menghasilkan apa-apa dari bakat tersebut. Selain itu guru yang dilandasi oleh panggilan jiwa yang memiliki unsur pengabdian. Hal ini bermakna bahwa memilih profesi guru bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Sebagaimana dinyatakan Sofiah (2004), “Suatu profesi bukan bermaksud untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, baik dalam arti ekonomi maupun dalam arti psikis, tetapi untuk mengabdi pada masyarakat”. Seseorang yang memiliki panggilan jiwa disertai dengan komitmen yang tinggi dalam menjalani profesinya. Sahertian (2000) menyatakan seorang yang memiliki komitmen akan sanggup bekerja keras. Dari konsep-konsep yang dikemukakan di atas, disimpulkan beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi panggilan jiwa seseorang. Menurut Covey (2005) beberapa komponen yang menjadi faktor yang berpengaruh pada panggilan jiwa seseorang yaitu (1) bakat, (2) gairah, (3) kebutuhan, dan (4) hati nurani. Sedangkan Tirtamihardja dan Sulo (2000) menyatakan panggilan jiwa itu ditentukan oleh: (1) kemampuan seseorang
60
untuk memilih yang baik atau buruk, (2) kecerdasan akal budi, dan (3) kepekaan emosi. Semua ini terangkum dalam satu perbuatan yang disebut moral. Jabatan guru merupakan pekerjaan yang sudah mendapat pengakuan penuh sebagai sebuah profesi. Menurut Sikun Pribadi dalam Soetjipto dan Kosasi (1999) yang dimaksud dengan profesi adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Masuk ke suatu profesi bukan bermaksud mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, baik dalam arti ekonomis, maupun dalam arti psikis, tetapi untuk pengabdian kepada kepentingan masyarakat. Hal ini menurut Supriyadi (1999) “Profesi tidak boleh sampai merugikan, merusak, atau menimbulkan malapetaka bagi orang lain dan bagi masyarakat. Sebaliknya, profesi itu harus berusaha menimbulkan kebaikan, keberuntungan, dan kesempurnaan serta kesejahteraan bagi masyarakat.” Menurut Ndraha (1999) bagi orang yang memiliki kemampuan bekerja keras akan selalu menganggap bekerja adalah:
1) Kesenangan, hobi yang berkaitan dengan leisure sampai pada sumberdaya yang workaholic.
2) Gengsi atau prestise yang berhubungan dengan status sosial dan jabatan. Jabatan struktural jauh lebih diidamkan daripada jabatan fungsional.
3) Panggilan jiwa yang berhubungan dengan bakat. Dari sini timbul profesionalisme dan pengabdian kepada pekerjaan.
4) Pengabdian kepada antar sesama yang dilaksanakan dengan tulus dan tanpa pamrih.
5) Pernyataan syukur atas kehidupan di dunia ini; bekerja dilakukan seakan-akan kepada dan dari kemuliaan Tuhan dan bukan kepada manusia; oleh karena itu orang bekerja penuh antusias.
6) Bekerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan.
61
Lebih lanjut Purwanto (2002) menyatakan pengabdian diri berarti lebih mengutamakan kepentingan orang banyak. Misalnya, profesi dalam bidang hukum adalah untuk kepentingan kliennya bila berhadapan dengan pengadilan, profesi kedokteran adalah untuk kepentingan pasien agar cepat sembuh penyakitnya, profesi kependidikan adalah untuk kepentingan siswanya, profesi pertanian adalah untuk meningkatkan produksi pertanian agar masyarakat lebih sejahtera dalam bidang pangan. Dengan demikian, pengabdian yang diberikan oleh profesi tersebut harus sesuai dengan bidang pekerjaan tertentu. 4.3 Terpanggil Menjadi Guru Memilih profesi guru berarti terpanggil untuk melakukan pengabdian pada pekerjaan di bidang pendidikan. Seorang yang memasuki profesi sebagai tenaga pengajar berarti mau mengabdikan dirinya sebagai pelayanan kepada masyarakat, karena masyarakat bagian dari medan pelayanan. Sampai di sini Hans (2006) menegaskan bahwa kata darma, panggilan, dan profesi bermakna sejajar, yaitu tugas suci yang harus dilaksanakan pada tingkat personal. Tuntutan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, yang dalam hal ini adalah masyarakat yang belajar di lingkungan pendidikan lebih disebabkan oleh keinginan untuk mendarma-baktikan segenap kemampuan sebagai anggota sebuah profesi. Stoltz (2005) menyatakan jauh di dalam diri tiap individu terdapat kerinduan yang mendalam untuk menjalani kehidupan yang benar, yang agung, dan memberi sumbangan nyata dan sungguh merasa penting, serta untuk membuat perbedaan nyata. Mungkin saja individu tersebut meragukan dirinya sendiri dan kemampuannya melakukan hal tersebut, tetapi ia ingin mengetahui keyakinannya yang mendalam bahwa ia dapat menjalani kehidupan seperti itu. Tiap individu memiliki potensi di dalam dirinya, yang merupakan hak dimilikinya sejak lahir berupa anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia.
62
Satu kekuatan paling ampuh bagi individu yang terpanggil akan tugasnya adalah kesediaannya melaksanakan tugas tersebut betapapun beratnya. Seperti misalnya seorang laskar yang mau berangkat ke medan pertempuran, karena merasa terpanggil melaksanakan tugas tersebut. Individu yang terpanggil jiwanya tidak memperhitungkan untung atau rugi yang akan didapatkannya. Semuanya dilaksanakan dengan semangat yang berkobar-kobar, sebagai wujud dari pemberian darma baktinya kepada tugas tersebut. Menurut Anoraga & Suyati (1995) yang dimaksud dengan bakat adalah “kemampuan dasar yang menentukan sejauhmana kesuksesan individu memperoleh keahlian atau pengetahuan tertentu apabila individu diberi pelatihan secara khusus”. Selain itu ada juga orang memiliki kemampuan tanpa melalui pelatihan, inilah yang disebut dengan bakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Stoltz (2005) bahwa memang tidak diragukan lagi, dalam kehidupan ini ada orang-orang lebih berbakat dibandingkan dengan yang lain. Ada yang dianugerahi kecerdasan luar biasa, bakat khusus, jasmani yang sangat kuat, keluarga yang penuh kasih sayang, masyarakat yang kokoh dan sumberdaya yang tidak terbatas. Sementara ada juga yang sangat kekurangan. Di dalam bekerja, baik di rumah maupun di kantor diperlukan bakat yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Keterlibatan individu dalam pekerjaan yang mendayagunakan bakat dan mengobarkan semangat hidup muncul dari kebutuhan, sehingga individu tersebut merasa terdorong oleh nuraninya untuk memenuhi kebutuhan. Di situlah letak suara panggilan jiwa individu yang mengarah kepada kepuasan batinnya. Tiap organisasi yang melibatkan orang untuk melaksanakan tugasnya dituntut memiliki komitmen. Personil yang terlibat aktif dalam suatu kegiatan, harus sanggup membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Inilah yang dinamakan komitmen. Sahertian (2000) mengartikan komitmen sebagai “kecenderungan dalam diri seseorang untuk merasa terlibat aktif dengan penuh rasa tanggung jawab”.
63
Personil yang telah memiliki komitmen harus sanggup memilih satu dari beberapa alternatif yang dianggapnya baik. Sebelumnya Nawawi (2003) menyatakan komitmen adalah “suatu keputusan atau perjanjian seseorang dengan dirinya sendiri, untuk melakukan atau tidak melakukan, berhenti atau meneruskan perbuatan atau kegiatan”. Selanjutnya Nawawi (200) menyatakan, “komitmen merupakan penetapan di dalam diri seorang untuk menerima atau menolak satu atau lebih tujuan dan menuntun perbuatan atau kegiatan”. Selain itu orang yang telah menetapkan komitmen untuk dirinya akan sanggup bekerja keras. Hal ini dilakukan karena adanya rasa konsekuen dengan apa yang ia ucapkan. Clickman dalam Sahertian (2000) mengatakan “komitmen lebih luas dari kepedulian, sebab dalam pengertian komitmen tercakup arti usaha dan dorongan serta waktu yang cukup banyak.” Arikunto (1996) menyatakan “komitmen bukan sekedar keterlibatan saja. Komitmen adalah kesediaan seseorang untuk terlibat aktif dalam suatu kegiatan dengan tanggung jawab yang tinggi”. Pada dasarnya, komitmen dimiliki oleh semua orang yang terlibat dalam kegiatan organisasi. Robbins (2001) mengatakan “semua orang secara alamiah memiliki komitmen.” Namun komitmen tiap orang tidak pernah sama. Ada orang tingkat komitmennya rendah dan ada pula yang tingkat komitmennya tinggi. Hal ini ditentukan oleh perkembangan dan proses kejiwaan yang bersifat alamiah. Castetter (1996) juga menyatakan komitmen seseorang itu dapat bertambah atau berkurang. Bertambah dan berkurangnya komitmen seseorang terhadap tugasnya sangat dipengaruhi oleh sikap. Pendapat Sherly yang dikutip oleh Arikunto (1996) bahwa “sikap orang beralih atau berganti sesuai dengan perkembangannya. Sikap seseorang sewaktu ia masih muda tidak akan sama setelah ia berusia lanjut”. Sebagai pengajar, guru harus lebih tertuju pada tugas merencanakan dan melakukan pembelajaran. Dalam hal ini dituntut komitmen yang tinggi dari tiap guru untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Amstrong dalam Sudjana (1999) mengatakan bahwa guru sebagai manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab pembelajaran, tanggung jawab dalam memberikan
64
bimbingan, tanggung jawab dalam mengembangkan profesi, tanggung jawab dalam mengembangkan kurikulum, dan tanggung jawab membina hubungan dengan masyarakat. Pada lembaga pendidikan, komitmen seorang guru tidak saja pada saat mengajar di kelas. Tetapi diperlihatkan saat menentukan supervisi pembelajaran. Law & Glover (2000) menyatakan “tingkat komitmen guru di Sekolah yang perlu diperhatikan adalah pada saat menentukan supervisi pembelajaran”. Supervisi pembelajaran yang sudah ditentukan secara matang dirasakan tidak akan ada gunanya apabila para guru tidak memiliki komitmen dengan apa yang dibuatnya. Komitmen yang ada dalam diri seorang guru merupakan modal utama dalam mengabdi pada lembaga pendidikan. Sebagai pengajar dan pendidik, guru harus mampu memberi bimbingan kepada siswa, termasuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh siswa. Di samping sebagai pendidik, guru juga diwajibkan memberi penilaian dan mentransfer ilmu pengetahuan. Semua ini akan dapat berhasil apabila ada komitmen yang tinggi dalam diri guru untuk mengabdikan dirinya kepada tugas. Seorang guru yang memiliki komitmen melaksanakan tugasnya dituntut memiliki loyalitas yang tinggi, baik kepada pimpinan maupun kepada organisasi profesinya. Sudjana (1999) mengatakan “orang yang memiliki komitmen tinggi biasanya menunjukkan loyalitas dan kemampuan profesionalnya. Sudjana (1999) menambahkan “Seorang bawahan yang loyalitasnya tinggi kepada atasan atau lembaganya, biasanya menunjukkan kepatuhan, rasa hormat kesetiaan serta disiplin yang sangat tinggi”. Kesetiaan bukan ditunjukkan dengan sanggup bertahan di dalam suatu lembaga dan sanggup tidak pindah ke lembaga lain. Hal ini dijelaskan oleh Robbins (2001) “Apabila ada orang pindah dari suatu organisasi ke organisasi lain belum tentu loyalitasnya rendah, atau tidak memiliki komitmen yang tidak dapat diandalkan.” Kesediaan menerima komitmen datangnya dari dalam diri seseorang. Kemudian sifat ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan di sekitarnya. Seringkali orang yang memiliki komitmen tinggi tidak menunjukkan kepada
65
orang lain secara terbuka. Karena komitmen merupakan perjanjian seseorang dengan dirinya sendiri untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Akan tetapi menurut Sudjana (1999) “Komitmen yang ditunjukkan lebih baik daripada tidak ditunjukkan.” Selanjutnya Ouchi yang dikutip oleh Robbins (2001) menyatakan “Meskipun bukan sesutu yang negatif, banyak orang menghindar dari komitmen.” Karena komitmen membuat seorang menjadi terikat. Dalam organisasi pendidikan seperti sekolah, diperkirakan semua guru memiliki komitmen, karena tiap guru memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab dan tugas yang dipikul oleh guru dapat terlaksana dengan baik apabila guru mempunyai komitmen tinggi terhadap semua tugas yang dibebankan kepadanya. Bafadal & Fallon (2007) menyatakan “Guru yang kurang memiliki komitmen biasanya bekerja semata-mata memandang dirinya sendiri, dan kurang berusaha mengembangkan diri”. Arikunto (1996) juga menyatakan: “Guru yang tidak memiliki komitmen tampaknya hanya bertindak atas dasar keperluan diri sendiri, dan hanya melakukan pekerjaan yang menjadi kewajibannya saja, dia tidak akan mencoba berusaha meningkatkan hasil pekerjaan.” Seterusnya Sahertian (2000) menyatakan bahwa “Guru yang kurang memiliki komitmen juga kurang memiliki kepedulian terhadap tugas, kebutuhan para siswanya, teman sejawat ataupun atasan langsung. Guru yang memiliki komitmen biasanya memiliki perhatian kepada siswanya, sesama guru dan kepada tugas pokoknya yaitu mengajar”. Meskipun guru memiliki komitmen, tetapi tingkat komitmen pada tiap guru tidak akan sama. Menurut Sherly dalam Sahertian (2000) “Guru yang berusia muda mempunyai semangat serta rencana hidup yang lebih bergairah daripada guru yang berusia di atas setengah abad”. Selanjutnya Sherly menyatakan “Guru yunior berambisi dalam meniti karirnya. Sedang guru senior semangat dalam meniti karirnya sudah mulai kurang. Ini disebabkan guru yang sudah tua sudah tidak mampu membuat komitmen dalam menjalankan tugas”. Sedangkan bagi guru yang berusia muda, tiap saat dituntut meningkatkan komitmen dan kepeduliannya terhadap tiap perubahan tugas dan profesinya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Full dalam Sahertian
66
(2000) disimpulkan bahwa guru yunior bertugas lebih banyak mempedulikan kelangsungan hidup profesinya. Dari berbagai hasil penelitian yang dikutip oleh Sahertian (2000) dinyatakan bahwa “Guru yang memiliki komitmen tinggi ditentukan oleh pengaruh internal yang ada pada guru itu sendiri. Selain itu komitmen seseorang kepada tugasnya ditentukan pula oleh pemahaman terhadap konsep yang dimilikinya”. Para guru yang memiliki pemahaman konseptual tinggi terhadap masalah kependidikan, akan memilih hubungan lebih positif dengan siswanya maupun dengan rekan sejawat dan pimpinan. Seseorang yang terpanggil jiwanya mempunyai perasaan puas dengan pelaksanaan tugas yang sudah dikerjakannya. Orang yang terpanggil jiwanya selalu menganggap bahwa pekerjaan adalah ibadah, diwujudkan dalam cinta terhadap pekerjaan atau mencintai melalui bekerja (Gibran, 2000). Ibadah yang diwujudkan dalam bentuk kasih sayang kepada sesama, termasuk atasan, rekan sekerja, bawahan, dan pelanggan. Hans (2006) menyatakan bahwa “kerja memang ibadah, atau bisa juga sebentuk ibadah”. Agama mengajar agar manusia berbuat kebajikan sebesar-besarnya dan menjauhi kemungkaran sebisanya. Intinya, kita turut berkarya membangun yang baik, benar, dan adil sebanyak-banyaknya. Hans (2006) menyatakan “Kerja sebagai ibadah sesungguhnya adalah tindakan memberi atau membaktikan (the act of giving) kepada Tuhan yang kita abadikan.” Hakikat dari ibadah adalah memberi. Meskipun ada ungkapan “lebih bahagia memberi daripada menerima”, tetapi secara umum menerima lebih disukai daripada memberi. Kebanyakan orang lebih suka berpikir “Apa yang bisa kudapat untuk diriku?” Mengapa demikian? Menurut Hans (2006) karena hakikat memberi belum dipahami dengan benar dan mendalam. Dalam The Art of Loving (Fromm, 1976) dinyatakan bahwa memberi adalah ekspresi tertinggi potensi kemanusiaan individu. Dalam tindak memberi sesungguhnya individu sedang mengalami kekuatan, kekayaan, dan kemampuannya. Pengalaman puncak dan vitalitas tertinggi tersebut akan memenuhi seluruh jagad hati individu dengan sukacita dan rasa bahagia. Disitulah individu merasakan kelimpahan. Tatkala memberi, in spending our
67
ability, individu mengalami hidup sehidup-hidupnya sehingga individu mengalami sukacita dan kebahagiaan otentik. Memberi lebih membahagiakan daripada menerima bukan karena individu kita kekurangan, tetapi karena dalam tindak memberi itulah terletak ekspresi kehidupan yang paling dinamis (Fromm, 1976). 4.4 Belajar untuk Mengembangkan Diri Pengembangan diri dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengembangkan sumberdaya diri dengan cara menggali semua potensi yang ada dalam diri. Belajar untuk pengembangan diri dilakukan secara terusmenerus sampai akhir hayat, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, lingkungan sosial, dan sebagainya. Pengembangan diri tidak dapat dipisahkan dari proses belajar karena pengembangan diri merupakan suatu rangkaian dalam kegiatan belajar. Jadi dalam pengembangan diri ada suatu proses peningkatan kemampuan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian dalam belajar pengembangan diri, seseorang dituntut selalu terus belajar. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti meningkatkan kualifikasi pendidikan, mengikuti berbagai pelatihan, mengikuti berbagai macam kursus, seminar, lokakarya, workshop. Dari berbagai komponen inilah disimpulkan sebagai konsep belajar untuk mengembangkan diri, yang meliputi: (1) menggali potensi diri, dan (2) mengikuti proses profesionalisasi. Artinya, belajar untuk pengembangan diri dapat dilakukan melalui lembaga formal maupun kegiatan non-formal. Belajar untuk pengembangan diri pada sebuah profesi sering disebut dengan istilah profesionalisasi. Adapun profesionalisasi dimaknai sebagai suatu proses untuk menjadikan suatu pekerjaan memperoleh status profesional. Danim (2002) menyatakan bahwa: “Profesionalisasi adalah proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesi itu.”
68
Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Seterusnya Danim (2002) menyatakan aktualisasi dari profesionalisasi itu antara lain dengan melakukan penelitian, diskusi antar anggota profesi, penelitian dan pengembangan, melakukan ujicoba mengikuti forum ilmiah, studi mandiri dari berbagai sumber media, studi lanjutan, studi banding, observasi praktikal, dan beberapa langkah lain yang dituntut oleh persyaratan profesi. Cakupan proses profesionalisasi ini cukup luas, dinamis, berlangsung lama melalui berbagai tahap, yang menurut Supriyadi (1999) ”... dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan, termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi, pengakuan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon dan imbalan secara bersama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru. Philip Kochman dalam Usman (2001) menyatakan seorang yang ingin memiliki kemampuan profesional mengutamakan perbaikan diri dan perkembangan dalam usaha-usaha pelayanan. Hal senada sebelumnya telah dikemukakan oleh Makmun (1996) bahwa “Proses usaha menuju ke arah terpenuhinya persyaratan suatu jenis model pekerjaan ideal adalah profesionalisasi”. Proses profesionalisasi bagi seorang profesional harus berlangsung secara kontinyu selama hidupnya, dan hanya akan berakhir dengan fase kematian jasadnya sang profesional. Bagaimana membantu guru agar dapat bertumbuh dalam jabatannya? Menurut pendapat Sahertian (2000) seorang guru harus tampak bugar (fitness) dalam penampilannya. Ia seorang yang gemar membaca, suka belajar terus-menerus, terbuka untuk menerima ide baru (inovasi) dan sadar akan tanggung jawab profesionalnya. Tugas pelayanan telah menyatu dalam dirinya, sehingga belajar dan mengajar telah menjadi karir hidup (life career) baginya. Lebih lanjut Sahertian (2000) mengungkapkan beberapa usaha dalam membantu pengembangan profesi, antara lain: 1) Selalu belajar dan mengembangkan dorongan ingin tahu. 2) Selalu ada kesediaan untuk memperoleh pengetahuan dan informasi yang baru. 3) Selalu peka dan peduli
69
terhadap tuntutan kemanusiaan dan kepekaan sosial, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya. 4) Menumbuhkan minat dan gairah terhadap tugas mengajar, karena tugas mengajar sudah menyatu dengan hidupnya. Hans (2006) berpendapat bahwa “pengembangan diri ditujukan untuk mencapai kesuksesan. Pencapaian kesuksesan tersebut dibutuhkan strategi pengembangan diri. Tiap orang memendam hasrat menjadi lebih sukses, baik secara fisik, intelektual, emosional, sosial, finansial, maupun spiritual”. Lebih lanjut Hans (2006) menjelaskan bahwa secara fisik tiap orang ingin lebih sehat, penuh energi dan vitalitas. Secara intelektual tiap orang ingin lebih mampu memecahkan masalah. Secara emosional tiap orang ingin lebih mampu merelakan apa yang dipikirkan sekarang untuk mendapatkan suatu yang lebih bernilai kemudian. Secara sosial tiap orang ingin lebih mampu berinteraksi dan saling menguntungkan dengan orang yang berlatar belakang berbeda. Secara finansial tiap orang ingin meningkatkan kondisi keuangan dari posisi berjuang mencapai posisi aman, dan kalau mungkin mencapai posisi dan berkelimpahan. Secara spiritual tiap orang ingin meninggal dunia dalam keadaan yang baik. Pengembangan diri perlu dilakukan oleh guru. Bertitik tolak pada pengertian ini, maka yang dimaksud dengan guru di sini adalah tenaga pengajar yang memiliki kemampuan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimal. Guru adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang layak di bidangnya. Belajar untuk pengembangan diri disebut oleh Covey (2005) dengan istilah “ mengasah gergaji”. Mengasah gergaji yang dimakudkan oleh Covey sama dengan mengasah kemampuan melalui proses belajar secara berulang, di mana pengetahuan dan keterampilan yang tidak pernah diasah, dan menjadi tumpul akan pengembangan diri merupakan proses untuk menempa seseorang menjadi profesional dalam bidang profesi yang ditekuninya.
70
4.5 Belajar Menjadi Profesional Selaku tenaga profesional guru harus memberi pelayanan prima. Sebagai manusia profesional, guru selalu berkeinginan untuk belajar terusmenerus, membina hubungan dengan rekan sejawat, berdisiplin melaksanakan tugasnya dan meningkatkan kompetensinya sebagai tenaga kependidikan. Di dalam kompetensi profesional ini tercakup kinerja yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu. Beberapa aspek tugas kependidikan tercermin dari dimensi kognisi, seperti memahami materi yang diajarkan dan mengenal strategi belajar mengajar. Dimensi afeksi, tanggung jawab profesional, sedangkan dimensi psikomotor adalah kemampuan melakukan sesuatu secara fisik. Setelah seseorang memasuki sebuah profesi, maka akan ada proses profesionalisasi dalam rangka mencapai derajat pengembangan diri yang lebih tinggi. Profesionalisasi merupakan proses mencapai tingkat profesional. Danim (2002) menyatakan “Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi para anggota penyandang profesi mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh para penyandang profesi itu”. Pencapaian tingkat profesional tersebut, harus mengikuti berbagai macam kegiatan sebagai bentuk proses profesionalisasi. Danumihardja (2000) mengartikan profesionalisasi sebagai “pengembangan menurut profesional”. Berkenaan dengan peningkatan pendidikan guru, maka dilakukan preservice education, yaitu pendidikan sebelum seorang mempunyai jabatan tertentu. Di samping itu ada yang disebut dengan istilah inservice education (pendidikan dalam jabatan), artinya seorang sudah menjabat guru, lalu belajar lagi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Misalnya guru berkualifikasi lulusan strata satu (S1) pendidikan dan ingin melanjutkan ke jenjang strata dua (S2) dan lulusan ingin melanjutkan ke S3 atau ingin mengikuti pendidikan spesialis dan mengikuti inservice training, seperti pelatihan, penataran, lokakarya, seminar, dan berbagai usaha pertumbuhan (Tirtamihardja dan Sulo, 2000). Dalam profesionalisasi terdapat dua strategi belajar untuk mengembangkan diri, yaitu: (1) strategi datang (come strategy) dan (2)
71
Strategi pergi (go strategy). Strategi datang adalah para peserta pelatihan datang dari berbagai daerah ke tempat diselenggarakannya kegiatan latihan, misalnya di ibukota Negara Republik Indonesia (Jakarta) atau tempat diselenggarakannya program pelatihan. Sebaliknya strategi pergi adalah para peserta pelatihan menunggu di daerahnya untuk dilatih oleh pelatih yang datang dari pusat pelatihan. Berkenaan dengan hal tersebut, konsep dasar yang melatarbelakangi peningkatan kualitas guru melalui pendidikan adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Supriyadi dan Jalal (2001) bahwa dalam kenyataannya, mutu guru amat beragam. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa tingkat penguasaan bahan ajar dan keterampilan dalam menggunakan metode mengajar inovatif kurang. Tiap guru dituntut meningkatkan kemampuan diri, melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan jabatannya sebagai guru. 4.6 Motivasi Berprestasi Membicarakan tentang konsep motivasi berprestasi tidak luput dari pembahasan tentang teori motif dan prestasi kerja. Karena kedua kata ini memiliki makna berbeda, motif diartikan sebagai sebentuk dorongan yang ada pada diri seseorang, sumbernya dapat berasal dari dalam (inner) maupun dari luar diri. Sedangkan prestasi kerja diartikan sebagai hasil yang dicapai dalam bentuk mutu produktivitas kerja. Manusia merupakan mahluk sosial yang mengalami perkembangan terus-menerus. Manusia berbuat dan bertindak karena adanya faktor dari dalam dan faktor berasal dari luar dirinya. Seseorang dapat berbuat sesuatu karena didorong oleh kekuatan yang datang dari dalam dirinya. Misalnya mengapa orang berlari, tentu saja ada pendorong dari dalam maupun dari luar yang menyebabkan ia berlari. Adapun dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk berbuat disebut 'motif'. Pengertian motif menurut Anoraga dan Suyati (1995) adalah “daya gerak yang mencakup dorongan, alasan, dan kemauan yang timbul dari dalam diri seseorang sehingga menyebabkan ia berbuat sesuatu”.
72
Menurut Danumihardja (2003) “Motif merupakan tenaga yang mendorong manusia bertindak atau tenaga di dalam diri seseorang untuk berbuat”. Sesuai dengan pengertian tersebut di atas ”motif” adalah sesuatu yang dapat menimbulkan dorongan berbuat pada diri seseorang sehingga ia berbuat atau melakukan tindakan. Semua proses yang bertujuan merealisasikan motif, disebut motivasi. Danumihardja (2003) menyatakan istilah motivasi berasal dari kata 'motivation', yang berarti pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Motivasi diartikan faktor yang mendorong orang bertindak dengan cara tertentu. Kemudian Winardi (2001) berpendapat bahwa motivasi adalah pembangkitan atau penimbulan motif, dapat pula sebagai kegiatan menjadi motif. Selanjutnya Hamalik (2002) mengemukakan bahwa motivasi merupakan fungsi dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi. Ia merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri manusia atau suatu proses psikologis. Seseorang yang kelihatan sibuk adalah orang yang tinggi motivasinya. Padahal mungkin saja ia pegawai yang sedang melarikan diri dari kekurangan psikologi. Sebaliknya, ada sekelompok orang yang sedang berbincangbincang sering pula dianggap sebagai kelompok orang yang kurang atau malah tidak mempunyai motivasi. Pendeknya kita sering menghubungkan motivasi hanya dengan tindakan atau perilaku yang tampak nyata. Ini mungkin benar dan mungkin pula tidak benar, sebab motivasi sesungguhnya merupakan proses psikologis dalam diri yang mana terjadi interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, proses belajar, dan pemecahan masalah. Dari pendapat di atas, pengertian motif lebih ditekankan pada faktor yang mendorong seseorang berbuat. Sedangkan motivasi adalah proses yang mendorong tercapainya motif. Dengan demikian, tiap orang melakukan perbuatannya, mau tidak mau ada faktor pendorong atau alasan tertentu atau kemauan tertentu yang melatar belakanginya.
73
Fadzil (2007) mengemukakan bahwa untuk mengembangkan motivasi diri terdapat 10 langkah yang harus diperhatikan, yaitu:
1) Do not worry if you make mistakes. Making mistakes is one way we can learn and improve in our life.
2) Feel happy about your life. Happiness generates more positive energy within you. This energy is important to keep you more optimistic & enthusiastic about your life.
3) Get out of your comfort zone. You need to learn to get into unfamiliar surroundings to explore better opportunities.
4) Think the unthinkable. Nothing will stop you from thinking of goals you want to achieve.
5) Read and listen to inspirational materials. You have to start spending time reading motivational books and listening to inspirational tapes.
6) Resolve problems instead of running away. Your ride to success destination will not be smooth all the time.
7) 8) 9) 10)
Appreaciate every moment of your life. Think of what your life really is. Appreciate every moment you have currently. Finish what you start. Once you have started something, finish it. Face challenges one at a time. Challenges come to us almost all the time.
11) Care less about what people say. You may hear a lot of bad things people say about you. Jadi dapat disimpulkan bahwa motif tiap orang akan berbeda-beda sesuai dengan apa yang menjadi penyebabnya. Tentu saja bagi tiap guru, motif yang ingin dicapainya ada berbagai macam, salah satu diantaranya adalah motivasi berprestasi dalam melaksanakan tiap tugasnya. Menurut Hamalik (2002) bahwa di dalam teori motif ada dua golongan motif, yaitu: (1) teori tukar menukar dan teori harapan; dan (2) teori motif kebutuhan. Sardiman (2001) menyatakan “suatu dorongan yang menjadi pangkal orang melakukan sesuatu atau bekerja, misalnya motif orang bekerja disebabkan
74
oleh: (a) ingin mendapat nafkah hidup, (b) ingin mendapat kekayaan, (c) prestise/kehormatan dalam masyarakat, dan (d) memperjuangkan ide” disebutnya sebagai motivasi. Dalam teori ”motif harapan” dikemukakan bahwa “motif seseorang dalam organisasi bergantung pada harapannya. Seseorang akan mempunyai motif yang tinggi untuk berprestasi dalam organisasi kalau ia berkeyakinan bahwa dari prestasi itu harapannya akan tercapai”. Hal ini berarti bahwa seseorang yang tidak mempunyai harapan, maka prestasinya tidak akan meningkat. Pada tiap organisasi sudah barang tentu apa yang diinginkan oleh anggota organisasi akan berbeda. Perbedaan ini mungkin karena adanya pengaruh perbedaan kepribadian, dasar pendidikan, latar belakang pengalaman, perbedaan pendapat atau perbedaan faktor lainnya. Namun ada harapan yang sama pada tiap orang tanpa melihat perbedaan tersebut. Siagian, et al (2002) menyatakan bahwa harapan para pegawai pada organisasi biasanya tercermin dalam: kondisi kerja yang baik, merasa diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan terutama menyangkut nasibnya, cara pendisiplinan yang diplomatis, penghargaan yang wajar atas prestasi kerja yang tinggi, kesetiaan pimpinan terhadap bawahannya, penggajian yang adil dan wajar, kesempatan promosi dan berkembang di dalam organisasi, adanya pengertian pimpinan jika bawahan menghadapi masalah pribadi, jaminan dan diperlakukan adil dan objektif, dan pekerjaan menarik dan penuh tantangan. Menurut Siagian, et al (2002) “Sebenarnya harapan pegawai tersebut bersifat individual, maka dapat dipahami kalau seorang pemimpin organisasi mendapat kesulitan dalam menghadapi masalah motif ini”. Kesulitan yang dihadapi adalah bagaimana memberikan tingkat kepuasan memadai kepada tiap anggota organisasi yang berada di bawah pimpinannya, bagaimana menentukan dengan tepat apa sesungguhnya yang menjadi harapan bawahannya. Schien dalam Makmun (1996) mengemukakan kriteria pekerja profesional memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja, merupakan
75
dasar bagi pilihan jabatan tersebut, sehingga jabatan tersebut akan dikerjakan dengan sepenuh hati. Seorang pimpinan berusaha mengetahui apakah yang menjadi harapan bawahannya, terutama dalam hubungan antara pegawai dengan pekerjaannya. Dengan kata lain untuk dapat menimbulkan dan meningkatkan semangat kerja dan gairah kerja, maka rahasianya adalah pimpinan mengetahui dengan tepat kebutuhan para pegawai yang bilamana dipenuhi dapat menimbulkan atau meningkatkan kepuasan para pegawai tersebut. Kewajiban seorang pimpinan mencari dan memenuhi kebutuhan bawahan. Dalam teori kebutuhan dinyatakan bahwa yang menjadi kebutuhan seseorang merupakan dasar baginya melakukan motivasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu motif utama seseorang menjadi anggota organisasi adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan. Kebutuhan yang hendak dipuaskan seseorang mempunyai bentuk beraneka ragam dan bobot nilai tertinggi akan menuntut pemuasan terlebih dahulu daripada kebutuhan yang bobot nilainya lebih rendah. Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, maka bobotnya menjadi berkurang dan tidak lagi dirasakan sebagai kebutuhan mendesak. Selanjutnya kebutuhan kedua akan nampak sebagai kebutuhan mendesak dan menuntut segera dipuaskan, setelah terpenuhi maka beralih kepada kebutuhan ketiga dan seterusnya. Menurut Maslow (Sardiman, 2001) ada lima macam kebutuhan manusia itu didasarkan kepada kekuatan potensi dan desakan urgensinya. Kelima kebutuhan tersebut adalah: (1) Kebutuhan dasar manusia sehari-hari untuk makan, minum, dan bertempat tinggal (fisiologis). (2) Kebutuhan memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan perlindungan (rasa aman). (3) Kebutuhan untuk disukai dan menyukai, disenangi dan menyenangi (sosial). (4) Kebutuhan memperoleh kehormatan, penghargaan dan pujian (mencerminkan diri). (5) Kebutuhan memperoleh kebanggaan, keagungan, dan kekaguman (aktualisasi diri).
76
Dari kelima tingkat kebutuhan tersebut di atas jelas terlihat bahwa harmonisasi tujuan pribadi dengan tujuan organisasi tidak terbatas hanya pada hal-hal yang bersifat material saja melainkan menyangkut pula kebutuhan yang bersifat sosial dan spiritual. Motif yang dikemukakan di sini adalah motif untuk mencapai prestasi, motivasi berprestasi ini bagian dari motif untuk memperoleh kehormatan, penghargaan dan pujian (Robbins, 2001). McCleland (Sardiman, 2001) menyatakan dalam motivasi itu terdapat tiga kebutuhan yang harus terpenuhi, yaitu: kebutuhan akan pencapaian prestasi (need of achievement, nAch), kebutuhan akan kekuasaan (need of power, nPow), dan kebutuhan akan ikatan dan kelekatan (need for affiliation, nAff). McCleland dan para pakar lain telah mengemukakan teori tiga kebutuhan yang menjadi motif utama dalam pekerjaan. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan akan pencapaian prestasi, yakni dorongan untuk unggul, untuk berprestasi menurut serangkaian standar, untuk berusaha keras supaya berhasil; kebutuhan akan kekuasaan: merupakan kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dengan cara yang sebenarnya tidak akan mereka lakukan jika tidak dipaksa; dan kebutuhan akan afiliasi merupakan keinginan akan hubungan antarpribadi dalam persahabatan yang erat. Dari ketiga kebutuhan itu, kebutuhan akan pencapaian prestasi paling banyak diteliti. Bagi guru motivasi berprestasi itu menyangkut tiga hal pokok yaitu motivasi berprestasi dalam melakukan pembelajaran, motivasi berprestasi dalam melakukan penelitian, dan motivasi berprestasi dalam melaksanakan pengabdian pada masyarakat. Berbagai tugas yang dibebankan pada tiap guru tidak hanya menyangkut tiga aspek itu saja, melainkan juga tugas pembimbingan kepada siswa dan tugas administratif lainnya. Orang yang kebutuhan akan pencapaian prestasinya tinggi akan berjuang meraih prestasi pribadi daripada meraih fasilitas jabatan dan imbalan atas kesuksesan. Orang tersebut mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien daripada yang telah dilakukan sebelumnya. Mereka lebih menyukai pekerjaan yang menawarkan tanggung jawab pribadi guna mencari solusi masalah, yang mana ia dapat menerima
77
umpan balik yang cepat dan tidak ambigu atas kinerja yang memberitahu apakah pekerjaannya telah membaik, dan di mana ia dapat menetapkan sasaran yang menantang tetapi masih terjangkau. Motivasi berprestasi dalam sebuah organisasi pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan pelaksanaan sistem karir. Menurut Winardi (2001) peningkatan motivasi berprestasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) kemampuan melaksanakan tugas, (2) memiliki kecakapan, dan (3) mampu meraih pangkat dan jabatan yang lebih tinggi. Motivasi berprestasi bagi guru ditujukan pada pelaksanaan tugas pendidikan; memiliki kecakapan membimbing siswa, dan melaksanakan tugas administrasi, dapat meraih pangkat/jabatan yang lebih tinggi. Dari ketiga bidang tersebut, guru akan mendapat suatu penghargaan berupa peningkatan karir sebagai bentuk prestasi yang harus dicapai. 4.7 Prestasi Kerja Guru Motif berhubungan erat dengan kinerja, dan kinerja berpengaruh kepada tingkat produktivitas yang dihasilkan. Motif menurut Goleman (Stein & Book, 2002) merupakan “kecenderungan emosi untuk memudahkan meraih sasaran seperti dorongan berprestasi”. Sudarmayanti (2001) menggambarkan orientasi berprestasi (achievement orientation) merupakan derajat kepedulian atau derajat usaha seseorang untuk berprestasi dalam pekerjaannya, sehingga ia berusaha bekerja dengan baik atau di atas standar. Adapun yang termasuk dalam kompetensi ini meliputi orientasi pada hasil, efisiensi, standar, perbaikan, dan optimalisasi penggunaan sumberdaya. Produktivitas yang tinggi merupakan prestasi. Menurut Robbins (2001) tinggi rendahnya produktivitas tergantung pada tiga aspek, yakni prestasi akademik, kreativitas, dan pemimpin. Seorang yang prestasi akademik atau intelegensinya tinggi mempunyai kecenderungan kreatif, berprestasi, dan akhirnya mempunyai produksi tinggi. Tentu saja gambaran yang diberikan ini berdasarkan hasil produksi yang didapat.
78
Prestasi merupakan penampilan kerja yang berhasil dalam menghasilkan produktivitas yang tinggi. Produktivitas tersebut dapat berbentuk hasil yang sempurna, tinggi nilainya, banyak jumlahnya, dan sebagainya yang didemonstrasikan dalam penampilan kerja. Castetter (1996) menyatakan ada beberapa faktor individu yang menyebabkan tidak efektifnya penampilan kerja, yaitu kelemahan intelektual, kelemahan psikologis, kelemahan fisiologis, motivasi, personalitas, keusangan atau ketuaan, preparasi posisi, dan orientasi nilai. Kelemahan intelektual ternyata akan menurunkan penampilan kerja seseorang. Dengan kata lain apabila intelegensi seseorang rendah, maka produktivitas orang tersebut juga rendah, dan sebaliknya. Walaupun pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena tidak sedikit orang yang tingkat intelegensinya rendah dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi. Menurut Winardi (2001) “Kinerja merupakan hasil perpaduan dari kecakapan dan motif tertentu, yang variabelnya dihasilkan dari sejumlah faktor yang saling mempengaruhi”. Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa motivasi berprestasi bagi seorang guru merupakan dorongan pada seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam mencapai prestasi kerja yang sempurna sehingga layak disebut sebagai profesional. 4.8 Kepakaran Seseorang yang pakar pada bidang tertentu sering disebut sebagai seorang yang memiliki keahlian khusus. Kepakaran pada intinya menunjukkan kompetensi yang dikuasai oleh seorang. Kompetensi itu sendiri merupakan kepemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang persyaratan oleh suatu jabatan atau profesi. Berkaitan dengan implikasi kompetensi individu, Uno (2007) mengemukakan bahwa competence adalah capacity for action, yaitu kapasitas yang dimiliki seseorang untuk beraktivitas. Sedangkan orang yang memiliki kompetensi khusus, disebut dengan istilah sebagai seorang pakar. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia “pakar” berarti orang yang memiliki keahlian khusus. Jadi kepakaran diartikan juga sebagai orang yang mempunyai keahlian di bidang ilmu pengetahuan tertentu dan telah diakui oleh banyak
79
orang. Kemampuan seorang pakar akan berbeda dengan kemampuan masyarakat awam, kemampuan seorang pakar bila diukur akan berada di atas nilai rata-rata. Menurut Sunarno (2005) pakar bidang ilmu berarti orang yang mempunyai keahlian di bidang ilmu pengetahuan tertentu. Kepakaran seorang guru merupakan penguasaannya pada suatu disiplin ilmu berdasarkan kajian teoritis ataupun metodologis konseptual. Sedangkan ahli merupakan seorang yang menekuni bidang khusus atau keahlian pada cabang tertentu, misalnya pada ilmu kedokteran. Apa yang dikemukakan para ahli tentang kepakaran para pengelola pendidikan, tidak ada yang sama rinciannya. Rumusan yang diutarakan sangat bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun dari berbagai definisi yang dikemukakan para ahli, ada satu kesamaan, pengertian kepakaran itu diidentikkan dengan kemampuan, kompetensi, keahlian, kecakapan, kepintaran, kecerdasan. Oleh karena tiap istilah tersebut memiliki makna yang hampir sama, maka semua istilah tersebut dipakai dalam tulisan ini secara bergantian sesuai dengan peruntukannya. Menurut Uno (2006) kompetensi yaitu suatu penampilan yang rasional yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan penuh kesenangan. Dari batasan tersebut kompetensi adalah suatu penampilan spesifik yang rasional sebagai harmoni dan pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan oleh tugas pekerjaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan penuh keberhasilan. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepakaran merupakan karakter sikap, perilaku atau kemauan serta kemampuan yang relatif stabil dari seseorang ketika menghadapi kondisi kerja dengan menggunakan kemampuan intelektualnya termasuk keahlian khusus yang diperoleh atas dasar pengetahuan, pendidikan dan latihan. Tiap orang yang layak disebut pakar pada suatu profesi memiliki beberapa karakteristik, yang tentu saja tidak dimiliki oleh orang awam. Menurut Usman (2001) untuk menjalankan profesi, seseorang yang layak disebut pakar harus memiliki keahlian dan keterampilan. Supriyadi (1999) menyatakan “profesi menunjukkan pekerjaan atau jabatan yang menuntut
80
keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi tersebut”. Parelius & Parelius dalam Usman (2001) memberikan batasan tentang pekerjaan profesi itu menuntut adanya spesialisasi secara menjurus (highly specialized), dilandasi oleh pengetahuan khusus (esoteric knowledge), pendidikan tinggi dengan program pendidikan dan latihan yang matang. Begitu juga Ornstein & Levine dalam Soetjipto dan Kosasi (1999) menyatakan orang yang disebut pakar memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak tiap orang dapat melakukannya). Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori praktik (teori baru dikembangkan dari hasil penelitian). Sanusi dkk (1991) mengemukakan ciri utama orang yang layak disebut pakar dalam profesi yaitu: (1) memiliki keterampilan/keahlian tertentu; (2) keterampilan/ keahlian yang dituntut untuk pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah; (3) berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum; (4) memerlukan pendidikan tingkat pendidikan tinggi dengan waktu yang cukup lama; (5) proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai profesional itu sendiri. Satria (2007) menyatakan untuk menjadi seorang pakar dibutuhkan persiapan yang relatif lama dan menjurus, disertai oleh kegiatan intelektual yang ulung dan anggotanya memiliki pengetahuan serta kecakapan khusus. Begitu juga Sutisna (1991) mengutif pendapat More menyebutkan ciri seorang yang layak disebut pakar, menguasai pengetahuan yang berguna dan keterampilan atas dasar latihan spesialisasi atau pendidikan yang sangat khusus. Schien dalam Makmun (1996) berpendapat bahwa seorang profesional itu memiliki pengetahuan khusus dan keterampilan yang diperolehnya dalam pendidikan yang cukup lama, dan memiliki pengetahuan spesifik. Uno (2007) mengemukakan bahwa berkaitan dengan kompetensi individu digambarkan sebagai karakteristik dasar seorang pekerja yang menggunakan bagian kepribadiannya yang paling dalam mempengaruhi perilakunya ketika ia menghadapi pekerjaan, yang akhirnya berpengaruh pada
81
kemampuan menghasilkan prestasi kerja. Kompetensi itu terbentuk dari lima karakteristik, yaitu (1) watak, (2) motif, (3) konsep diri, (4) pengetahuan, dan (5) keterampilan. Ciri khusus kompetensi adalah perpaduan antara semangat atau keinginan dan sikap kuat dengan pengetahuan dan keterampilan optimal yang dimiliki seseorang dengan semangat yang didukung keahlian dan keterampilan. Jadi kompetensi merupakan unsur pelaksanaan kerja yang diperlukan untuk memungkinkan anggota bekerja dengan cara tertentu yang didukung oleh keinginan dan kegairahan atau motivasi. Kompetensi keterampilan dan pengetahuan cenderung dapat dilihat, karena berada di permukaan. Kedua kompetensi ini relatif mudah dikembangkan, misalnya melalui pengalaman dan pelatihan. Sedangkan kompetensi konsep diri, watak dan motif bersifat tersembunyi lebih dalam dan berperan sebagai sumber dari kepribadian, lebih sulit untuk dikembangkan. Hubungan antar karakteristik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Watak Pengetahuan
Motivasi Kompetensi Individu
Konsep Diri
Keterampilan
Sumber : Uno (2007) Gambar 5. Konsep Kompetensi Individu Pertama, motif merupakan gambaran pada diri seseorang tentang suatu yang dipikirkan atau diinginkannya, dan merupakan dorongan mewujudkan cita-cita atau memenuhi ambisinya ketika ia menduduki jabatan/
82
posisi baru. Kedua, watak merupakan karakteristik mental seseorang yang konsisten merespon rangsangan, tekanan, situasi atau informasi. Ketiga, konsep diri merupakan gambaran tentang nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seseorang, serta bayangan diri atau sikap pada masa depan ideal yang dicitacitakan, yang diharapkan dapat terwujud melalui kerja dan usahanya. Keempat, pengetahuan merupakan kemampuan seseorang yang terbentuk dari informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang kajian tersebut. Kelima, keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik atau mental. Horby (Makmun, 1996) menyatakan kompetensi yaitu: 1) Kompetensi pada dasarnya menunjukkan kepada kecakapan atau kemampuan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. 2) Kompetensi pada dasarnya merupakan suatu sifat (karakteristik) orang (kompeten yang memiliki kecakapan, daya (kemampuan) otoritas (kewenangan), kemahiran (keterampilan), pengetahuan, dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang diperlukan. 3) Kompetensi menunjukkan kepada tindakan (kinerja) rasional yang dapat mencapai tujuannya secara memuaskan berdasarkan kondisi. Dengan demikian menurut Makmun (1996) makna kompetensi tersebut di atas, dapat dimaklumi jika kompetensi dipandang sebagai pilarnya atau terasnya kinerja dari suatu profesi. Tiap individu yang menekuni profesi diharapkan memiliki dukungan kompetensi atas kepakarannya. Uno (2007) menyatakan daya pikir dan keahlian itu mencakup kompetensi berikut:
(1) Berpikir analitis (analytical thinking), merupakan kemampuan untuk memahami situasi atau masalah dengan cara menguraikan masalah menjadi bagian yang lebih rinci atau mampu untuk mengamati implikasi keadaan tahap demi tahap berdasarkan pemahaman dan pengalaman masa lalu.
(2) Berpikir konseptual (conceptual thinking) yaitu kemampuan memahami situasi atau permasalahan dengan cara memandangnya sebagai satu kesatuan mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi pola keterkaitan antara masalah yang bersifat maya (tidak nampak) atau kemampuan
83
mengidentifikasi masalah mendasar dalam situasi yang komplek.
(3) Keahlian teknik (expertise) yaitu penguasaan pengetahuan eksplisit berupa keahlian atau keterampilan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan serta motivasi untuk mengembangkan, menggunakan, dan mendistribusikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain. Whitty (2006) melakukan kajian tentang kompetensi insani yang memiliki unsur intelektual dan kerjasama. Unsur intelektual terkait dengan profesi yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan yang dianggap cerminan inteligensi. Hal ini dibangun melalui proses pendidikan, keterampilan yang biasanya dikaitkan dengan talenta dan dikembangkan melalui pelatihan, kemampuan (ability), yang biasanya dikaitkan dengan kemampuan fisik dan daya tahan seseorang dalam kegiatan kerja. Seorang guru profesional diharuskan memiliki keahlian, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sahertian (2000) bahwa “seorang profesional itu dapat dilihat dari empat dimensi, salah satu diantaranya adalah keahlian (expert)”. Lebih lanjut Sahertian menyatakan bahwa “keahlian pertama kali harus dimiliki oleh seorang guru dalam bidang ilmu pengetahuan yang diajarkan dan juga ahli dalam tugas mendidik.” Seorang guru tidak hanya menguasai materi pembelajaran yang diajarkan kepada siswa, tetapi juga mampu membelajarkan penguasaan konsep pengetahuan yang diajarkan. Kepakaran atau kompetensi yang dimiliki oleh seseorang berhubungan erat dengan kinerja profesi. Sedangkan kinerja berpengaruh kepada tingkat produktivitas yang dihasilkan. Produktivitas tinggi merupakan gambaran dari kesuksesan yang berhasil dicapai. Menurut Stoltz (2005) “kesuksesan tidak ditentukan oleh tingkat kecerdasan intelegensi (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) saja, tetapi juga ditentukan oleh kecerdasan mengatasi kesulitan (AQ). Hal ini mengindikasikan bahwa seorang pakar memiliki ketiga ciri ini. Sedangkan Tilaar (2000) mengemukakan kinerja tidak dapat dipisahkan dari perilaku pekerja berkenaan dengan motivasi, kemampuan berpikir dan keterampilan dari jabatan. Sutermeister (Robbin, 2001)
84
menyatakan “kinerja merupakan hasil perpaduan dari kecakapan dan motivasi, tiap variabel dihasilkan dari sejumlah faktor yang saling mempengaruhi”. Pandangan ini senada dengan pendapat Mitchell dan Larson (Robbin, 2001) yang menyatakan bahwa kinerja yang baik dapat dipengaruhi oleh kecakapan dan motivasi. Kepakaran berhubungan dengan kompetensi dalam penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan pembelajaran. Guru adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya dengan tugas utama mengajar, sehingga harus memenuhi kompetensi sebagai pendidik. Kompetensi itu sendiri merupakan kepemilikan pengetahuan dan kemampuan yang dituntut jabatan atau profesi. Berkaitan dengan implikasi kompetensi individu, Devenport (Law & Glover, 2000) mengemukakan bahwa kompetensi adalah capacity for action yang merupakan kapasitas yang dimiliki seseorang untuk bekerja. Selanjutnya Fattah (1999) mengemukakan bahwa para anggota organisasi bisnis maupun organisasi publik, hendaknya selalu memperhatikan masalah learning organization yang mengacu pada perhatian menyeluruh terhadap lima disiplin, yang menghendaki agar anggota organisasi memiliki: (1) keahlian pribadi, (2) model mental, (3) visi bersama, (4) pembelajaran tim, dan (5) pemikiran sistem. Di lingkungan pendidikan di Indonesia telah ditetapkan empat jenis kompetensi yang harus dikuasai oleh guru. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, keempat kompetensi tersebut adalah: (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi personal, dan (4) kompetensi sosial. Keempat jenis kompetensi tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan tidak terpisahkan satu sama lainnya. Hammond & Bransford (2005) mengembangkan kompetensi yang berhubungan dengan pembelajaran yang dilakukan tenaga kependidikan. Kompetensi tersebut dinamakan framework for understanding teaching and learning yang terdiri dari knowledge of learners and their development in social contexts, knowledge of subject matter and curriculum goals, knowledge of teaching.
85
Profil seorang ilmuwan atau pakar sesungguhnya adalah orang jujur dan pekerja keras, tekun dengan mengandalkan ketajaman pikiran, berpikir secara objektif, analitis, kritis, dan sistematik, mampu menggabungkan aspek intuitif, teologis, filosofis, dan metafisik yang melengkapi fokus pemikiran empiris rasional yang bertumpu pada ketajaman nalar belaka. Pencapaian semua itu dibutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Perkembangan karir fungsional menyita waktu dan proses yang cukup lama. Selain itu disiplin kepakaran ditentukan oleh tingkat keahlian dan kompetensi yang dikuasai. Adams & Dickey (Hamalik, 2002) menyimpulkan terdapat 13 peran guru profesional di dalam situasi pembelajaran. Tiap peran menuntut kompetensi atau keterampilan mengajar. Dalam tulisan ini hanya disebutkan beberapa keterampilan yang dipandang “inti” untuk tiap peran guru, yaitu guru sebagai:
1) Pengajar, menyampaikan ilmu pengetahuan perlu memiliki keterampilan memberi informasi.
2) Pemimpin di kelas, perlu memiliki keterampilan cara memimpin kelompok siswa.
3) Pembimbing, perlu memiliki keterampilan cara mengarahkan dan mendorong kegiatan belajar siswa.
4) Pengatur lingkungan, perlu memiliki keterampilan mempersiapkan, menyediakan alat dan materi belajar.
5) Partisipan, perlu memiliki keterampilan cara memberi saran, mengarahkan pemikiran siswa dan memberikan penjelasan.
6) Ekspeditur, perlu memiliki keterampilan menyelidiki sumber masyarakat yang akan digunakan.
7) Perencana, perlu memiliki keterampilan cara memilih dan meramu materi pembelajaran secara profesional.
8) Supervisor, memiliki keterampilan mengawasi kegiatan siswa. 9) Motivator, memiliki keterampilan memotivasi siswa belajar. 10) Penanya, perlu memiliki keterampilan cara bertanya yang merangsang siswa berpikir dan cara memecahkan masalah.
86
11) Pengajar, perlu memiliki keterampilan cara memberi penghargaan terhadap siswa yang berprestasi. 12) Evaluator, perlu memiliki keterampilan cara menilai siswa secara objektif, kontinyu, dan komprehensif. 13) Konselor perlu memiliki keterampilan cara membantu siswa yang mengalami kesulitan tertentu. 4.9 Kemandirian Konsep kemandirian pada hakikatnya bersumber dari motivasi internal yang dimiliki seseorang. Covey (2005) menyatakan bahwa di dalam kehidupan manusia ada tiga komponen penting yang harus dilalui, yaitu: ketergantungan kepada orang lain, (2) kemandirian, dan (3) kesalingtergantungan. Ketiga komponen tersebut secara terus menerus terjadi dalam kehidupan manusia. Covey (2005) menyatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak tergantung kepada orang lain secara emosional. Pada intinya kemandirian mencerminkan keinginan yang mengakar untuk mengatur diri sendiri, kemampuan untuk mengikuti pikiran sendiri dan berusaha mewujudkan keinginan yang ditentukan sendiri. Kemandirian merupakan prestasi. Jika individu tidak ingin mencapai kemandirian sejati, adalah bodoh untuk berusaha mengembangkan keterampilan dalam hubungan manusia. Lebih lanjut Covey (2005) menyatakan bahwa “kemandirian adalah penghargaan diri”. Penghargaan diri merupakan kemampuan menghormati dan menerima diri sendiri sebagai pribadi, yang pada dasarnya baik. Selain itu penghargaan diri itu memahami kelebihan dan kekurangan diri. Makna lain dari penghargaan diri adalah menyukai diri sendiri sehingga tidak perlu berusaha membuat orang lain terkesima. Covey (2005) lebih lanjut menyatakan bahwa kemandirian juga berarti aktualisasi diri, yang merupakan kemampuan mengejewantahkan (mengaktualisasikan) kemampuannya yang potensial.
87
Kemandirian diartikan sebagai aktivitas yang berlangsung karena didorong kemauan, pilihan dan tanggung jawab sendiri, yang diperankan oleh guru yang membina siswa dalam proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan konsep kemandirian dalam bekerja dijelaskan Tirtamihardja dan Sulo (2000) yang “bertumpu pada prinsip individu bekerja hanya akan sampai kepada memperoleh hasil dari pekerjaannya, mulai dari keterampilan, pengembangan nalar, pembentukan sikap, sampai kepada penemuan diri sendiri.” Kemandirian adalah segenap aktivitas yang dilakukan oleh seseorang untuk melaksanakan keinginannya yang mengakar, mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri; tidak bergantung kepada orang lain; mengatur diri sendiri, pilihan sendiri, tanggung jawab sendiri; menghargai diri sendiri; dan melakukan aktualisasi diri. Danim (2002) menyatakan kemandirian itu adalah: “…orang yang biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan mengabdikan diri pada pengguna jasa disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya, atau penampilan seseorang yang sesuai dengan ketentuan profesi”. Ornstein & Levine dalam Soetjipto dan Kosasi (1999) menyatakan kemandirian itu”… otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu yang tidak diatur oleh orang luar”. Sanusi dkk (1991) menyatakan “tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya. Dalam praktiknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar. Kochman dalam Usman (2001) berpendapat seorang yang mandiri itu mempunyai otonomi yang luas dan dalam banyak hal menentukan standarnya sendiri. Tenaga kependidikan memiliki kemandirian yang memenuhi semua sifat profesional. Untuk itu guru harus profesional dalam melaksanakan tugasnya. Pendapat More (Sutisna, 1993) menyatakan guru mandiri memperoleh otonomi berdasarkan spesialisasi teknis yang tinggi sekali. Schien (Makmun, 1996) mengemukakan kriteria pekerja profesional mempunyai otonomi dalam bertindak mengenai apa yang baik bagi klien. Dia adalah orang yang lebih tahu tentang apa yang baik bagi klien daripada klien itu sendiri.
88
Berarti kemandirian itu bersumber dari dalam diri sendiri. Al Faqi (2005) menyatakan “motivasi internal dapat membuat seseorang mampu mengarahkan kekuatan diri secara maksimal untuk merealisasikan keinginan yang besar” Terutama bagi guru di lingkungan tempatnya bertugas, harus memiliki kemampuan mandiri. Selanjutnya Al Faqi (2005) menyatakan akibat yang ditimbulkan oleh motivasi internal tersebut adalah: 1) Penyebab bangkitnya seseorang untuk melakukan berbagai hal, lebih dari biasanya. 2) Kekuatan yang terpendam di balik kesuksesan seseorang. 3) Perselisihan yang menjelaskan perbedaan hidup manusia. 4) Kekuatan yang mendorong seseorang menanam “bunga” pada diri sendiri daripada menunggu orang menyediakan. 5) Cahaya yang terpancar dari diri sendiri. 6) Raksana yang tidur, yang berada dalam diri sendiri dan menunggu untuk dibangunkan. Kemandirian juga merupakan motivasi internal yang merupakan potensi diri yang besar. Sebagaimana dinyatakan oleh Emerson yang dikutip Murdoko (2006) “Sesuatu yang berada di depan dan di belakang kita dianggap sangat kecil dibandingkan dengan yang ada di dalam diri”. Tiap orang perlu mengolah apa yang ada di dalam dirinya. Selanjutnya Murdoko (2006) menyatakan untuk mengefektifkan pengelolaan diri diperlukan empat pilar kualitas pribadi. Keempat pilar ini merupakan indikator pengelola diri, yaitu: (1) kesadaran diri, (2) pengaturan diri, (3) pembiasan diri, (4) evaluasi diri. Tiap kemandirian menuntut kecerdasan emosi. Menurut Goleman (Stein & Book, 2002) dalam kecerdasan emosi terdapat dua kecakapan yang meliputi (1) kecakapan pribadi yaitu mengelola diri sendiri, dan (2) kecakapan sosial. Dalam kecakapan pribadi tercakup kesadaran diri, yaitu mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumberdaya dan institusi seperti kesadaran emosi merupakan pengenalan emosi diri sendiri beserta efeknya. Penilaian diri secara teliti akan mengetahui kekuatan dan batas diri sendiri. Percaya diri merupakan keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri. Selain itu dalam kecerdasan emosi Goleman (Stein & Book, 2002) terdapat pengaturan diri yaitu mengelola kondisi dan sumberdaya diri seperti pengendalian diri. Pengendalian diri adalah mengelola emosi dan desakan hati yang rusak. Sifat dapat dipercaya yaitu memelihara kejujuran dan integritas, kewaspadaan untuk bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
89
Guru perlu mandiri, karena sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, ada alasan yang dapat memperkuat konsep kemandirian guru. Semiawan dkk (1998) mengemukakan alasannya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan yang pesat sehingga tidak mungkin lagi guru mengajarkan semua konsep kepada siswa. Di samping, kemungkinan juga tidak perlu karena kemampuan manusia yang terbatas untuk menampung ilmu. Jalan keluarnya adalah guru dari sejak dini dibiasakan bersikap selektif terhadap informasi yang membanjirinya, mencari dengan menggunakan berbagai sumber dan media. Guru perlu belajar memiliki sikap mandiri, sebagaimana sikap seseorang yang harus dapat melepaskan ketergantungan kepada orang lain. artinya guru harus aktif mencari sendiri materi terbaru tanpa perintah dari pihak manapun. Termasuk dalam hal ini, guru mandiri dalam mengembangkan kemampuan intelektualnya dan kemajuan karir.
90