72
BAB IV ANALISIS MODEL KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN PESANTREN DI PONPES BUNTET CIREBON 1995-2005
Kajian mengenai model kepemimpinan pendidikan pesantren Buntet sejak tahun 1995-2005 dianalisis melalui pendekatan sejarah (history) sebagai “pisau bedah”. Menurut Azyumardi Azra, istilah “sejarah” dari kata Arab “syajarah” yang berarti “pohon”. Pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan, bahwa “sejarah” – setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini – menyangkut tentang antara lain, syajarat al-nasab, pohon genealogis yang dalam masa sekarang agaknya bisa disebut “sejarah keluarga” (family history). Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajara juga punya arti “to happen”, “to accur” dan “to develop”. Namun selanjutnya, “sejarah” dipahami mempunyai makna yang sama dengan “tarikh” (Arab), “istoria” (Yunani), “history” atau “geschichte” (Jerman), yang secara sederhana berarti “kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam”.1
A. Analisis Kategorisasi Tipe Kepemimpinan Ponpes Buntet Untuk mengetahui tipe kepemimpinan, penulis menemukan bahwa berdasarkan jenis kepemimpinannya Pesantren Buntet dapat dilihat dari beberapa sudut pandang diantaranya berdasarkan: 1) Cara pengangkatannya, termasuk pemimpin keturunan. Sebab syarat untuk menjadi seorang pemimpin/sesepuh di pesantren Buntet harus keturunan dari pendiri pesantren dari garis ayah. 2) Keresmian Kedudukannya, termasuk pemimpin resmi. Sebab, cara pengangkatannya, merupakan hasil kesepakatan “consensus” bersama Sohibul Wilayah, yakni orang-orang yang mempunyai hak dan wewenang untuk menjadi pemimpin/sesepuh pesantren. 3) Kemampunnya, 1
Azyumardi Azra, Pnelitian Non-Nonformatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,dalam Harun Nasution dkk., “Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu”, (Bandung: Penerbit Nuansa, 1998), cet. 1, hlm. 119.
72
73
yakni termasuk pemimpin eksemplaris. Sesepuh pesantren Buntet harus mampu memberikan teladan kepada seluruh warga dan masyarakat pesantren, mulai dari kalangan santri, para pengurus, para ustadz, dan para Kyai yang ada dilingkungan kompleks pesantren Buntet khususnya dan juga masyarakat sekitar Buntet pada umumnya. 4) Gaya pelaksanaan tugas kepemimpinannya terkadang otokratik dan suatu saat mererapkan demokratik. Pada dasarnya gaya kepemimpinan pesantren secara umum adalah
kombinasi dari gaya-gaya kepemimpinan pesantren: kharismatik, otoriterkebapakan, dan laisser faire. Namun sebenarnya kepemimpinan pesantren Buntet menerapkan gabungan dari semua tipe kepemimpinan, hal ini disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan. Semua tipe kepemimpinan baik jika diterapkan sesuai dengan keadaannya, kebutuhannya, dan sesuai dengan posisi yang tepat selalu mendukung untuk diterapkan. Adapun kecenderungan kepemimpinan “kharismatik keagamaan” ditunjukkan dengan kewibawaan Kyai. Beliau diangkat menjadi seorang pemimpin selain karena akhlaknya dan ilmu agamanya, juga karena keturunan para sesepuh atau para pendahulunya. Seorang ulama besar memiliki pancaran aura yang sangat tajam dalam memberikan kesejukan bagi para pengikutnya. Hal ini bisa ditunjukkan dengan diangkatnya Sesepuh Pesantren Buntet sebagai Pengurus Majelis Syuriah NU Jawa Barat, disamping itu pula seorang sesepuh yang menjabat adalah seorang Mursyid Thariqah maka secara otomatis beliau memiliki jamaah thariqah yang memiliki anggota dalam jumlah besar. Kepemimpinan
Pesantren
Buntet
juga
menerapkan
gaya
kepemimpinan otoriter, akan tetapi kepemimpinan otoriter di sini tidak sebagaimana yang diterapkan pada kepemimpinan perusahaan, sebab gaya kepemimpinan ini biasanya diterapkan oleh seorang presiden direktur dalam suatu perusahaan besar. Biasanya pada gaya ini pemimpin merumuskan masalahnya serta menyodorkan cara pemecahannya sekaligus. Kemudian perumusan masalah dan pemecahannya itu dijual kepada bawahannya. Sehingga para bawahan sering membenci atas kebijakan-kebijakan yang
74
dikeluarkan oleh pimpinannya, dimana ia menentukan kebijakan secara keras, kasar, dan tidak memberikan ruang gerak bagi para karyawannya untruk mengelak,
memberikan
alasan,
berargumen
dan
mempertahankan
keberadaannya. Pada gaya ini pemimpin bersikap sebagai penguasa dan yang dipimpin sebagai yang dikuasai. Termasuk gaya ini, sebagaimana tertera pada bab II kita menjumpai pemimpin-pemimpin yang: a) Mengatakan segala sesuatu yang harus dikerjakan oleh mereka yang dipimpin. Inilah gaya kepemimpinan diktator. Yang dilakukan oleh pemimpin yang mengambil gaya ini hanyalah memberi perintah, aturan dan larangan. b) Menjual gagasan dan cara kerja kepada kelompok orang yang dipimpinnya.2 Lain halnya kepemimpinan otoriter pesantren, yang lebih mengarah pada “otoriter-kebapakan”, bedanya adalah bahwa respon bawahan (para ustadz maupun santri) tetap merasa senang, sadar, semangat untuk mengikuti dan melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang Kyai. Inilah yang menarik untuk diteliti, mengapa mereka mengikuti dan dengan kesadaran diri melaksanakan apa yang disampaikan, dan diperintahkan kiainya?, tanpa harus menolak atau bahkan menentangnya?. Penulis menemukan alasan mengapa para santri selalu mengikuti kebijakan yang dikeluarkan Kyainya diantaranya adalah mengamalkan ilmu yang telah diperoleh oleh para santri dari pengkajian kitab “Ta’limul Muta’alim” yang selalu diajarkan sebagai kitab pedoman menuntut ilmu di pesantren, sebagai catatan: (penghormatan santri yang ada di Jawa Barat khususnya di Buntet yang penulis ketahui berbeda dengan penghormatan santri yang ada di Jawa Timur kepada Kyainya seperti yang penulis ketahui penghormatan santri Ploso Mojo Kediri yang di dirikan oleh Kyai Hamim Dzazuli dimana seorang santri selalu membungkukkan badan bahkan cenderung tidak bergerak apabila bertemu dengan keluarga Kyai, lebih-lebih apabila berpapasan langsung dengan Kyai, berbeda dengan santri yang ada di
2
A.M. Mangunhardjana, SJ., Kepemimpinan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), cet. 20., hlm. 21-22
75
Jawa Barat khususnya santri Buntet, dimana santri selalu bersalaman apabila bertemu dengan keluarga Kyai kecuali yang lain muhrim, bahkan tidak sedikit seorang samtri berani menceritakan keluh-kesah, masalahnya bahkan masalah keluarganya yang sampai akhirnya orang tua/keluarga santri bias dekat dengan Kyai bahkan tidak berbeda dengan para santri itu sendiri walaupun mereka bukan alumni)kitab tersebut merupakan ciri khas pondok pesantren yang mengajarkan diantaranya sebagai berikut: 1. Ajaran “Ta’dzim” (menghormati, memuliakan, mengagungkan) Kiainya. Mengagumi
akan
keilmuan,
kekhusyukan,
perilaku,
dan
kharismatik dari sifat seorang Kyai. Sehingga para santri merasa rendah hati (tawadhu’), mengagungkannya dan selalu mengharapkan segala petunjuk berupa apapun dari Kiainya. 2. Ajaran “Sam’an wa Tha’atan” atau “Sami’na wa Atha’na” yaitu taat pada Ulama atau Kyai. Mau mendengarkan apa yang menjadi mauidhah hasanah
(fatwa-fatwa/nasihat)
Kyai
untuk
kemudian
taat
untuk
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam diri para santri sudah melekat dan tertanam rasa percayanya dan mengakui akan keilmuan dan kebenaran ajaran yang disampaikan oleh Kyainya. 3. Ajaran “Tabarruk” (berharap berkah) dari Kyainya Para santri biasanya meyakini sepenuh hati bahwa apabila kita mau menurut dan patuh pada Kyai atas apapun perintahnya bahkan tanpa perintah sekalipun mereka dengan sigap-tanggap dan ikhlas, mau menjalankan. Seperti yang pernah terjadi pada masa peralihan setelah lengsernya presiden Suharto dimana banyak isu yang mengatakan bahwa sebagian Kyai digosipkan sebagai dukun santet yang kemudian banyak orang yang menyelakai Kyai, seperti yang terjadi di Madiun, Jawa Timur, berita ini pun sudah menyebar sampai ke Jawa Barat khususnya buntet, dimana para santri putera selalu berjaga-jaga baik siang ataupun malam hari demi menjaga keamana dari seorang guru/Kyainya, walaupun hal ini nyatanya tidak pernah terjadi di pesantren Buntet. Penulis berani dan bisa berbicara seperti ini karena pada tahun itu penulis masih menjadi santri
76
Buntet. Atas dasar ini maka para santri meyakini akan mendapatkan keberkahan dan bahkan menjadi do’a tersendiri dari seorang Kyai. Kemudian
penulis
menemukan
adanya
kecenderungan
kepemimpinan yang tadinya “otoriter-kebapakan” kemudian pasca tahun 1995 menuju ke “diplomatik-partisipatif”. Hal ini ditunjukkan dari kepemimpinan KH Abdullah Abbas yang mulai menerima masukan dari semua kalangan untuk membuka diri dari Lembaga pendidikan Islam (LPI) menuju Yayasan Lembaga pendidikan Islam (YLPI). Sebagaimana hasil wawancara dengan HM. Anis Wahdi Abbas (salah seorang putera Sesepuh yang ke-lima yaitu KH. A. Mustahdi Abbas) sebagai berikut: “Sejak kepemimpinan K.H Abdullah Abbas, pondok pesantren Buntet bernaung di bawah yayasan yang bernama YLPI dan juga induk dari semua aktivitas yang ada di pondok pesantren Buntet tersebut baik formal maupun non formal mulai dari TK sampai dengan perguruan tinggi (AKPER), sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa sebelum kepemimpinan K.H Abdullah Abbas pondok pesantren ini bernaung di bawah Lembaga Pendidikan Islam (LPI), yang notabene lembaga ini tidak berbadan hukum, sehingga untuk urusan keluar lembaga ini tidak memiliki kekuatan. Berangkat dari ini semua K.H. Abdullah Abbas berfikir untuk mejustifikasi lembaga menjadi lembaga yang berbadan hukum formal sehingga didaftarkannya sebagai yayasan.”3 4. Sejak itu pula lah maka YLPI menjadi induk dari semua aktivitas yang ada di pondok pesantren Buntet baik formal maupun non formal mulai dari TK sampai dengan perguruan tinggi (AKPER BPC). Informal berupa asramaasrama yang ada di lingkungan Buntet, pengajian kitab kuning dan dirasah-dirasah serta lembaga-lembaga yang bernaung di bawahnya. Lembaga-lembaga tersebut antara lain: KBIH, Majlis Qura’wa Ta’lim, Organisasi-organisasi kepemudaan seperti IKAPB, IKSADA, KESAT, PATTAS dan lain-lain sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya. Selanjutnya pesantren Buntet juga menerapkan gaya kepemimpinan laissez faire (kepemimpinan bebas), dimana Kiai hanya sebagai penonton
3
Wawancara dengan HM. Anis Wahdi Abbas (salah seorang putera Sesepuh yang kelima yaitu KH. A. Mustahdi Abbas) pada hari Senin Tanggal 23 Januari 2006 di kediaman beliau.
77
bersifat pasif. Hal ini dilakukan ketika pengajian yang menggunakan metode diskusi. Dalam proses pembelajaran Kiai hanya memantau, membiarkan diskusi berjalan sendiri kemudian baru setelah itu memberikan petunjuk dan meluruskannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan kesempatan para
santri
dewasa
(tingkat
tinggi)
untuk
berfikir
bebas
(bebas
terpimpin/terarah) dengan membandingkan beberapa kitab, pemikiran para tokoh maupun perbedaan mazhab. B. Analisis Peran Tipe Kepemimpinan Kyai terhadap Pengembangan Ponpes Hemat penulis peran tipe kepemimpinan pesantren yang berlaku di pondok pesantren Buntet walaupun memakai banyak gaya kepemimpinan yang bermacam-macam dan dipadukan dengan prinsip kepemimpinan amanah seperti yang telah penulis tuangkan dalam bab III peran tipe kepemimpinan pesantren dapat dikatakan sukses. Hal ini dapat dilihat dari awal memulai kepemimpinannya Kyai Abdullah Abbas tidak banyak melakukan perubahan signifikan terhadap struktur pendidikan pesantren, namun, sebuah draf 10-tahun (1990-2000) pengembangan pesantren telah berhasil disusun dengan sasaran membangun kompleks pesantren yang baru di atas tanah seluas 2 hektar di tepi jalan yang menghubungkan pondok pesantren dengan jalan utama Cirebon-Sindanglaut. Kemudian dilanjutkan pada tahu 1993 dengan merubah induk semua kegiatan yang ada di pesantren Buntet dari Lembaga Pendidikan Islam (LPI) menjadi Yayasan
Lembaga
Pendidikan
Islam
(YLPI)
dengan
alasan
untuk
mempermudah akses dan berbadan hukum. Kemudian pada tahun 1997 didirikan Akademi Perawat Buntet Pesantren Cirebon (AKPER BPC). Dan terakhir ketika penulis melakukan penelitian tepatnya pada Bulan Januari Tahun 2005 dibagun sekolah yang diperuntukkan bagi Madrasah Aliyah Nahdathu Ulama’ Putra (MANU Pa). Yang mana bangunan ini sudah mulai digunakan.
78
Kecenderungan “kharismatik keagamaan” ditunjukkan dengan kewibawaan Kyai. Beliau diangkat menjadi seorang pemimpin selain karena akhlaknya dan ilmu agamanya, juga karena keturunan para sesepuh atau para pendahulunya.
Gaya
pelaksanaan
tugas
kepemimpinannya
terkadang
otokratik dan suatu saat menerapkan demokratik. Gaya kepemimpinan ini sangat efektif bila diterapkan pada pesantren “salaf” yang masih mempertahankan ciri khasnya sebagai pesantren yang mengkaji kitab kining, namun juga ingin menyesuikan atau mengikuti perkembangan zaman yang serba canggih. Gaya otokratik akan efektif jika diterapkan dalam keadaan yang mendukung (tepat) contohnya fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sesepuh, khususnya berkaitan dengan permasalahan hukum agama (fiqih), tasawuf (akhlak), dan akidah (ahli sunnah wal jamaah). Selain itu, terdapat kebijakankebijakan tertentu yang diyakini harus dilaksanakan oleh semua santri dan pengurus pondok. Misalnya peraturan/tata tertib pondok, saran sesepuh, peringatan sesepuh, dan lain-lain. Adapun gaya demokratik lebih efektif dilakukan ketika berkaitan dengan pengembangan kelimuan yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan peraturan pesantren. Misalnya bebas memilih untuk mengikuti thariqah apa saja, diperbolehkan menuntut ilmu yang tidak diajarkan di pesantren seperti sekolah formal (SMP, SMA, kuliah, dll), kursus, olah raga, dan lain sebagainya. Dibebaskan mengikuti pengajian kitab di luar pesantren Buntet, seperti di desa Mertapada (AI) dan di desa Kendal. Diskusi dan pengajian kitab juga dikembangkan sebagai bentuk kebebasan berfikir dan meningkatkan kemampuan dan pemahaman intelektual para santri khususnya yang sudah lama (senior dan pengurus). Gaya kepemimpinan demokratis selalu diterapkan dengan mempersilakan para santri untuk berpendapat, mengkritisi, dan bahkan berebut untuk memberikan solusinya. Inilah bentuk kepemimpinan yang harus dikembangkan, agar pesantren di masa mendatang tidak ketinggalan zaman dan tetap memegang ciri khasnya sebagai tempat mengkaji ilmu keagamaan, khususnya kajian
79
kitab kuning. Adapun konsep pesantren “al-muhafadhatu ‘alal qadimish shalih wal ahdzu bil jadidil ashlah” memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Tipe kepemimpinan kharismatik ini memiliki kekurangan yang perlu disadari, yakni karena kyai harus diangkat berdasarkan keturunan, maka tidak membuka peluang bagi orang lain (di luar keturunan shahibul wilayah) untuk memimpin walaupun memiliki kualitas yang memadai. Sedangkan bagi ia yang memiliki garis keturunan, meskipun kemampuannya masih jauh di bawah orang lain (non shahibul wilayah) tetap mempunyai peluang untuk dijadikan sebagai sesepuh. Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa penghuni pesantren Buntet selain para santri dan para pengikut setia Kyai (Pager Sari) juga ada para Kyai yang tidak memiliki garis keturunan dari garis ayah, dengan adanya ketentuan seperti itu mereka tetap merasakan adanya kecemburuan sosial, karena tidak menutup kemungkinan mereka pun punya potensi untuk menjadi seorang pemimpin, namun apa hendak dikata, karena keputusan Shahibul Wilayah tidak bisa diganggu gugat. Artinya walaupun mereka mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin maka hal itu tidaklah mungkin bisa dicapai karena diantara syarat yang paling mutlak untuk menjadi seorang pemimpin pesantren Buntet harus mempunyai garis keturunan pendiri pesantren dari garis ayah..
C. Analisis Tipe Kepemimpinan Pendidikan Pesantren Buntet Tahun 19952005 Tipe kepemimpinan kharismatik ini ternyata juga masih sangat dibutuhkan bagi pesantren Buntet dan pesantren salafiyah yang lain umumnya. Tipe kharismatik ini dijadikan sebagai ciri khas yang tidak mungkin bisa dihilangkan. Sebab, kharisma ini adalah sebuah keadaan yang natural tanpa direkayasa, ketaatan para santri bukan karena paksaan tetapi karena kesadaran dari dalam hati pribadi mereka. Prinsip yang selalu menjadi pegangan ialah “Ta’dzim” (menghormati, memuliakan, mengagungkan) kiainya, sehingga
80
para santri merasa rendah hati (tawadhu’. Ada juga ajaran “Sam’an wa Tha’atan” atau “Sami’na wa Atha’na” yaitu taat pada Ulama atau Kyai. Kemudian termasuk menjadi pegangan pula ajaran “Tabarruk” (berharap berkah/grace) dari Kyainya. Penerapan kebijakan bagi kepemimpinan kharismatik ini juga tidak selamanya bersifat otoriter, namun memungkinkan juga bersikap demokratis, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang bersifat psikologis. Di era globalisasi ini justru dibutuhkan kepemimpinan pesantren yang demokratisterpimpin dalam kondisi tertentu, dengan tanpa menghilangkan ciri khasnya yakni otokratis pada kondisi tertentu pula. Sebagai salah satu pondok pesantren yang inklusif dan menerima semua masukan yang bersifat membangun membuat pondok pesantren Buntet menjadi pesantren yang paling moderat di saat masa-masa peralihan sistem politik di Indonesia, yaitu masa sebelum tahun 1995. Salah seorang sesepuh Buntet Pesantren yaitu K.H Mustahdi Abbas termasuk ulama Indonesia pertama yang menerima asas tunggal (Pancasila sebagai asas tunggal) di mana saat itu asas tunggal masih menjadi momok di kalangan Ulama-ulama Indonesia. Hal lain yang menunjang inklusifnya pondok pesantren Buntet terbukti dari pendiriannya, yayasan sebagai wadah yang berbadan hukum, kemudian dengan berdirinya Akademi Perawat (AKPER) dan akreditasi Madrasah-madrasah setempat yang mengacu pada kurikulum pemerintah. Sehingga bisa dikatakan bahwa dalam kondisi dan keadaan tersebut di atas, penerapan model kepemimpinannya lebih bersifat demokratis, yakni menerima saran, kritik dan masukan yang membangun demi terciptanya keseimbangan dengan kemajuan zaman. Pada
era
globalisasi,
pondok
pesantren
Buntet
ini
dapat
mempertahankan eksistensi sebagai pondok pesantren salafiyah (tetap mengkaji kitab-kitab kuning) seraya menyerap pengetahuan yang bersifat modernis, seperti berdirinya Lembaga Bahasa Arab dan Inggris, lembaga kursus komputer, serta PGTK. Hal ini membuat globalisasi dapat diterima sebagai sesuatu yang positif. Pondok pesantren ini juga beberapa kali
81
menerima bantuan yang bersifat tidak mengikat berupa, mesin jahit, alat tenun serta alat rajut atau obras. Pada kesempatan yang lain pondok pesantren Buntet ini mendapat bantuan dari Dinas Peternakan berupa benih ikan tambak dan bibit kumbang madu, hal tersebut di atas menunjukkan terbukanya pondok pesantren ini untuk menerima globalisasi dengan nilai yang positif tentunya. Dalam acara tahunannya yang dikenal dengan istilah haul (yaitu hari peringatan wafatnya para sesepuh dan pendiri ponndok pesantren Buntet) pada peringatan ini pondok selalu mengadakan seminar, halaqoh ilmiyah, dan bahsul masail/bahsul kutub, juga dalam acara tahunannya itu pula pondok pesantren Buntet ini sering mengundang aparatur negara, menteri, bahkan Presiden RI, hal ini tidak lain menunjukkan bahwa pondok pesantren Buntet ini begitu terbuka dan inklusif. Apabila dilihat kegiatan-kegiatan pondok pesantren yang telah disebut di atas, maka pondok peantren di bawah kepemimpinan K.H Abdullah Abbas nampak begitu luwes baik dalam berhubungan dengan pemerintahan maupun dengan dunia pendidikan secara luas atau dengan kata lain pemimpin pondok pesantren ini berusaha meningkatkan kualitas intelektual bagi para santrisantrinya dengan memberi peluang untuk berpendapat, hal ini didukung dengan sikap moderat pemimpinnya. Demikian ini memang sudah sewajarnya, karena dari pendiri hingga para sesepuhnya merupakan pewaris dan pemegang amanah dari Walisongo khusunya Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati yang kata-katanya masih dijadikan simbol perjuangan untuk memajukan pendidikan agama khususnya dan pemerhati fuqoro, masakin dan ibnu sabil. Kata-kata Syarif Hidayatullah tersebut adalah: “Ingsun titip tajug lan fakir miskin” yang berarti “Saya titip masjid dan fakir miskin”. Apabila diartikan secara luas maka artinya adalah para sesepuh dan umum para santri agar bisa meneruskan garis perjuangan untuk menghidupkan masjid (perjuangan dan pendidikan Islam) baik melalui pesantren, pendidikan umum (madrasah) maupun di lingkungan masyarakat.
82
Kemudian juga tidak melupakan para fakir miskin, supaya mereka diperhatikan kesejahteraannya, dan bahkan diberikan solusinya. Berdasarkan analisis di atas, maka jenis kepemimpinan pesantren Buntet adalah khrismatik keagamaan, yang untuk selanjutnya disebut kharismatik. Walaupun pada dasarnya gaya kepemimpinan pesantren Buntet merupakan
kombinasi dari gaya kharismatik dan otoriter-kebapakan. Gaya tersebut bisa diterapkan pada pesantren masa kini, khususnya pesantren Buntet dan umumnya pesantren-pesantren salaf lainnya yang sejenis.