BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI NILAI-NILAI TAKWA DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Peran dan Fungsi Takwa dalam Pendidikan Islam Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan Islam adalah pembentukan pribadi muslim yang isinya adalah pengamalan sepenuhnya ajaran Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pribadi muslim itu tidak akan tercapai atau terbina kecuali dengan pengajaran dan pendidikan. Jadi, dengan pendidikanlah manusia dapat menjadi orang yang bertakwa (muttaqin) atau dengan kata lain nilai ketakwaan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan pendidikan. Atas dasar itulah proses pendidikan Islam dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang antara lain adalah untuk menciptakan kepribadian yang beriman dan bertakwa, menanamkan insan yang bertakwa dan insan yang sempurna.1 Realitas kehidupan manusia di dunia bahwa sesungguhnya orangorang yang jiwanya goyah dan menderita batin adalah disebabkan oleh tidak adanya keimanan dan ketakwaan dalam diri mereka. Karenanya, meski sepanjang kehidupannya diliputi oleh kemewahan material, tetapi jiwanya tetap kosong, yang ada hanya perasaan tak berarti.2 Di sinilah letak peran dan fungsi iman dan takwa. Fungsi iman dan takwa perlu ditumbuhkan sejak kecil, karena dengan keduanya yang ditumbuhkan sejak kecil dan menyatu ke dalam kepribadian itulah yang membawa ketentraman bathin dan kebahagiaan.3 Keimanan dan ketakwaan yang diajarkan agama sangat penting artinya bagi kesehatan mental dan kebahagiaan hidup. Karena keimanan dan 1
Muslih Musa (editor), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), Cet. I, hlm. 55. 2 M. Rusli Amin, Pencerahan Spiritual Sukses Membangun Hidup Damai Dan Bahagia, (Jakarta: Al-Mawardi Prima. 2002), Cet.I, hlm. 48. 3 Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Grasindo), hlm. 232.
47
48
ketakwan itu memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi jiwa dan memelihara keseimbanganya serta menjamin ketentraman bathin.4 Dengan demikian penulis berkeyakinan bahwa apabila manusia hidup berdasarkan akal saja, atau terlalu memuja ilmu pengetahuan dan teknologi, melupakan atau meremehkan unsur-unsur keimanan, ia akan sering terbentur pada perasaan gelisah dan cemas. Yusuf
Qardhawi5
mengemukakan
beberapa
alasan
mengapa
ketenteraman bathin sangat dipengaruhi oleh iman dan takwa: 1. Iman (percaya kepada Allah) adalah fitrah manusia 2. Orang beriman itu memiliki tujuan hidup yang benar 3. Iman akan melahirkan rasa aman 4. Iman akan menumbuhkan optimisme Di antara hal-hal yang mendatangkan ketenangan jiwa bagi orangorang mukmin dan muttaqin adalah karena mereka selalu beraudiensi dengan Allah di sepanjang waktu, dengan mengerjakan shalat dan doa. Shalat dan doa (termasuk dzikir) sangat besar manfaatnya bagi penyembuhan suatu gangguan jiwa, jiwa yang sedang sakit menjadi tenang kembali.6 Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
(28 :ﺏ )ﺍﻟﺮﻋﺪ ﻦ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﻠﹸﻮ ﻤِﺌ ﺗ ﹾﻄ ﷲ ِ ﷲﻁ ﹶﺃﻟﹶﺎ ِﺑ ِﺬ ﹾﻛ ِﺮ ﺍ ِ ﻢ ِﺑ ِﺬ ﹾﻛ ِﺮ ﺍ ﻬ ﺑﻦ ﹸﻗﻠﹸﻮ ﻤِﺌ ﺗ ﹾﻄﻭ ﻮﺍﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻳ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenang (tentram) karena mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah (shalat) hati menjadi tenang” (QS. Ar Ra’d : 28). Dari uraian di atas penulis dapat menggarisbawahi bahwasanya segala sesuatu baik harta, pangkat, keturunan maupun ilmu pengetahuan, tanpa disertai agama, telah terbukti gagal mengantarkan manusia pada kehidupan bahagia dan tentram. Hanyalah keimanan dan ketakwaan yang diproyeksikan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari dengan pelaksanaannya yang
4
Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 9. Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan Terj. Jaziratul Islamiyah, Al Iman wal Hayat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), Cet. IV, hlm. 125. 6 Ibid., hlm. 118. 5
49
berpedoman kepada pokok-pokok ajaran agama akan selalu membawa manusia kepada kehidupan yang tentram dan bahagia. B. Strategi Pendidikan Taqwa Melalui Pendidikan Islam Dewasa ini perhatian pemerintah terhadap pendidikan keimanan dan ketakwaan demikian besar. Perhatian terhadap pendidikan keimanan dan ketakwaan ini pada akhirnya menunjukkan perhatian pada pendidikan agama, karena keimanan dan ketakwaan termasuk unsur agama paling asasi dan fundamental.7 Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akan memberi manfaat bagi kehidupan manusia, apabila disertai dengan keimanan dan ketakwaan. Dan dengan adanya iptek dapat mengantarkan manusia untuk cepat sampai pada tujuan, namun iptek tidak mengetahui tujuan apa yang harus dicapainya. Untuk itu agama datang menunjukkan apa yang seharusnya dicapai oleh iptek tersebut, yaitu untuk pengabdian diri kepada Allah, mensejahterakan kehidupan manusia dan sebagainya.8 Dalam hal ini berarti manusia harus memiliki wawasan ilmu (umum dan Islam) dan amal yang merupakan esensi pendidikan Islam.9 Sejalan dengan pokok permasalahan tersebut, maka diperlukan strategi pendidikan keimanan dan ketakwaan yang efektif melalui pendidikan Islam. Strategi yang dimaksud adalah: (1) Dari Segi Pendekatan Agar pendidikan Islam berperan menanamkan pendidikan iman dan takwa, maka seluruh pendidikan Islam tersebut harus dilihat secara utuh dan terpadu. Adanya pembagian macam dan cabang ilmu agama Islam tersebut harus dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat teknis dan spesialis, tetapi pada hakikat dan substansinya berasal dari wahyu Allah dan
7
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985),
hlm.11. 8
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), Cet.3, hlm. 440. Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur: Istac, 1991), hlm. 26. 9
50
digunakan untuk semakin menambah keimanan dan ketakwaan kepadaNya. Kedalaman memahami dan mengkaji berbagai cabang ilmu agama Islam tersebut pada hakekatnya merupakan cara lain untuk menunjukkan betapa luasnya ilmu yang dimiliki oleh Allah. Dengan cara demikian para siswa akan semakin meyakini dan mengagumi keagungan Tuhan. Dari segi pendekatan ini Abuddin Nata menjelaskan bahwa pendekatan pendidikan agama Islam yang tepat yang dapat diberikan kepada para siswa adalah pendekatan yang bersifat holistik, integralistik, kontekstual, dan aktual. Dengan pendekatan holistik diharapkan para siswa memiliki pemahaman keislaman yang utuh. Dengan pendekatan integralistik diharapkan antara pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum pada dasarnya adalah satu atau terikat olek keimanan dan tauhid. Dengan pendekatan kontekstual, diharapkan ajaran-ajaran agama berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi para siswa. Dan dengan pendekatan aktual, diharapkan pendidikan agama Islam terasa fungsional bagi kehidupan siswa. Dari pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah untuk menuju terciptanya keimanan dan ketakwaan yang kokoh, kuat, dan mantap yang berpengaruh terhadap berbagai tingkah laku para siswa dalam segala bidang kehidupan.10 (2) Dari Segi Metodologi Mahmud Yunus dalam bukunya Methodik Khusus Pendidikan Agama Islam telah menaruh perhatian terhadap metode pengajaran pendidikan agama Islam pada umumnya, dan pendidikan keimanan pada khususnya. Menurutnya, tujuan pelajaran keimanan, bukanlah menghapal rukun iman dan mengaji yang wajib, yang mustahil dan yang jaiz pada akal saja, melainkan untuk menimbulkan perasaan keimanan kepada Allah dalam hati anak-anak serta cinta kepada-Nya sehingga ia mempunyai iman yang teguh dan kepercayaan yang kokoh kepada Allah dan mencintai-Nya lebih dari yang lainnya. Untuk mencapai tujuan yang demikian itu dapat
10
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, op. cit., hlm.238.
51
digunakan melalui pendekatan psikologis yang menyebabkan anak sayang dan mau berterima kasih kepada orang yang mengasihinya, melalui penyampaian kisah dan kenyataan–kenyataan yang terjadi di masyarakat, karena hal yang demikian lebih memiliki daya tarik; dengan cara menghubungkannya dengan pelajaran lain seperti pelajaran fisika, biologi, dan sebagaianya; disertai dengan cotoh teladan yang baik dari pelaksanaan keimanan dan ketakwaan tersebut.11 Lebih lanjut Mahmud Yunus menjelaskan bahwa untuk membangun dimensi kognitif si anak terhadap masalah yang diimaninya itu dapat digunakan pendekatan rasional, sedangkan untuk membangun aspek afektif dan psikomotorik dapat digunakan pendekatan praktik dan pengalaman lapangan.12 Dari segi metodologi ini penulis dapat memahami bahwa mengenai pendidikan keimanan janganlah menggunakan pendekatan hafalan semata, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menanamkan rasa keimanan pada anak didik, dalam hal ini berarti tidak hanya menggunakan ranah kognitif semata untuk menimbulkan rasa keimanan pada anak didik, tetapi juga harus menggunakan ranah afektif dan psikomotorik melalui praktek lapangan. Di samping itu, metode yang digunakan oleh seorang guru harus sesuai dengan karakteristik siswa, sehingga proses belajar mengajar dapat mencapai keberhasilan yang diinginkan, yakni adanya perubahan tingkah laku siswa, baik itu perubahan kemampuan rasionalnya maupun perubahan fungsi-fungsi
kejiwaanya, lebih-lebih pada aspek
keimanan dan ketakwaanya bertambah kuat dan kokoh. (3) Dari Segi Media Pembelajaran Dari segi sarana dan prasarana perlu diciptakan dan disediakan berbagai media pembelajaran yang diperlukan untuk pengamalan ajaran Islam, seperti tempat ibadah lengkap dengan peralatannya, bimbingan 11 Mahmud Yunus, Methodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: Al-Hidayah, 1985), Cet. 4, hlm. 60. 12 Ibid.
52
shalat berjamaah, penciptaan lingkungan yang agamis, pembudayaan tradisi keislaman, perayaan hari-hari besar Islam, aplikasi nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dalam bentuknya yang aktual, dan sebagainya. Dengan demikian, pada saat para siswa berada dalam lingkungan tersebut mereka akan merasa suasana yang khas Islami.13 Di samping itu, menurut penulis, media pembelajaran harus bernilai mendukung norma-norma Islami dan mampu berfungsi memperlancar proses pencapaian tujuan pendidikan Islam. Oleh karena itu media pembelajaran
tersebut
perlu
diseleksi
terlebih
dahulu
sebelum
dipergunakan dalam proses, mana yang tepat-guna dan mana yang kurang tepat-guna diukur dari tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam proses. Kemudian media pembelajaran ini harus mengandung sekurangkurangnya nilai pedagogis (yang bersifat mendidik), dalam hal ini juga harus mengandung nilai-nilai pendidikan keimanan dan ketakwaan yang akhirnya dapat dipraktekkan oleh anak didik dalam aktivitas sehariharinya. Ketiga aspek di atas memiliki kedudukan yang strategis, karena paling tidak dapat menjadi bahan masukan untuk dilihat kemungkinan aplikasinya dalam upaya peningkatan dan pengembangan pendidikan Islam, baik di dalam lembaga formal maupun di lembaga non formal. Tujuan ataupun sasaran utama strategi pendidikan takwa melalui pendidikan Islam ini adalah untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai ilmu pengetahuan secara mendalam dan meluas dalam pribadi anak didik,
sehingga akan terbentuklah dalam
dirinya sikap beriman dan bertakwa dengan kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
13
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet.3, hlm. 88-89.
53
C. Tarap dalam Pembentukan Insan Takwa melalui Pendidikan Islam Pembentukan kepribadian muslim berlangsung secara berangsur-angsur; bukan hal yang sekali jadi. Proses ini merupakan suatu jalan yang panjang, sehingga banyak tarap yang harus dilalui. Di antara tarap-tarap proses pembentukan kepribadian atau pembentukan insan takwa ini penulis akan menganalisis pendapat Marimba.14 Menurutnya setidak-tidaknya ada tiga tahap yang harus dipenuhi 1. Pembiasaan Marimba mengatakan bahwa tujuan utama dari pembiasaan adalah membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian atau penanaman kecakapan-kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu, agar cara-cara yang tepat dapat dikuasai oleh si terdidik. Dalam pendidikan, bagi manusia pembiasaan itu mempunyai implikasi yang lebih mendalam dari pada sekedar penanaman cara-cara berbuat dan mengucapkan (melafadhkan). Dengan demikian menurut hemat penulis bahwa pendidikan Islam yang merupakan pendidikan tingkah laku praktis, jangan merasa cukup dengan kata-kata atau hafalan, tetapi juga harus memperhatikan aspek perbuatan yang dijadikan kebiasaan dalam aktivitas sehari-hari. Rukun Islam yang lima, misalnya , menuntut tingkah laku verbal dan praktis secara simultan. Alat-alat yang digunakan dalam tarap pembiasaan ini menurut Marimba adalah teladan, anjuran-anjuran, suruhan, perintah, latihanlatihan, hadiah, kompetisi dan kooperasi. Dapat juga menggunakan alatalat seperti koreksi (pemeriksaan), pengawasan, larangan-larangan, hukuman dan sebagainya. Selanjutnya, Marimba mengatakan bahwa cara-cara yang dapat ditempuh dalam tarap-tarap pembiasaan ini adalah dengan mengontrol dan mempergunakan tenaga-tenaga kejasmanian (terutama) dan dengan bantuan tenaga-tenaga kejiwaan. Tujuan yang akan dicapai disini adalah membiasakan si terdidik dengan amalan-amalan yang dikerjakan dan yang 14
Ahmad D. Marimba, op.cit., hlm. 76-81.
54
diucapkan sesuai dengan kerangka pembinaan Islam. Contoh konkritnya dalam praktek shalat. Dalam hal ini si pendidik
harus mengontrol
gerakan-gerakan anak-anak yang serampangan dan tidak sesuai dengan maksud gerakan shalat. Untuk itu si pendidik jangan segan-segan untuk memberikan bimbingan dan latihan kepada si terdidik bagaimana cara-cara bershalat yang benar dan tepat. Dari taraf yang pertama ini penulis dapat menggarisbawahi bahwasanya pembiasaan itu merupakan proses pendidikan. Kemungkinan tradisi dan karakter (perilaku) anak didik diciptakan melalui latihan dan pembiasaan. Ketika suatu praktek sudah terbiasa dilakukan, berkat pembiasaan ini, maka akan menjadi habit (kebiasaan yang sudah dengan sendirinya, dan bahkan sulit untuk dihindari). 2. Pembentukan Pengertian, Sikap dan Minat15 Tarap pembentukan ini adalah lanjutkan dari tarap yang pertama. Dalam tarap pembentukan ini, semua alat-alat dalam tarap pertama pada prinsipnya masih dipergunakan. Hanya lambat–laun inisiatif beralih dari pendidik kepada si terdidik. Misalnya soal teladan tidak lagi berupa pemberian teladan, melainkan pencarian teladan. Lebih lanjut Marimba mengkategorikan bahwa pembentukan pada tarap ini dapat bersifat formil, materiil, dan intensiil (pengarahan). a. Formil Pembentukan secara formil dilaksanakan dengan latihan-latihan cara intensif (pengarahan) yang kuat, dan sikap (pendirian) yang tepat. Tujuan dari pembentukan formil ini adalah : terbentuknya cara-cara berpikir yang baik, terbentuknya minat yang kuat dan terbentuknya sikap yang tepat. b. Materiil Pembentukan ini berupa pemberian ilmu pengetahuan. Kalau diibaratkan pemberian formil itu, membuat wadahnya, menyusun dan
15
Ibid.
55
menempanya agar kuat dam mempunyai bentuk yang tertentu, maka pembentukan material memberi isinya, baik mengenai ilmu-ilmu duniawi, kesusilaan, maupun keagamaan. c. Intensiil Pembentukan intensiil ialah pengarahan, wadah yang telah berisi ini digerakkan, diguling (ibarat bola) ke arah yang tertentu. Bagi pendidikan Islam, arah itu sudah jelas, yaitu ke arah terbentuknya kepribadian muslim. Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa pada taraf yang kedua ini bukan saja memberikan pengetahuan tentang sesuatu tetapi juga tentang nilai-nilai. Di samping pemberian ilmu pengetahuan umum ethika dan religi ditekankan juga mengenai nilai-nilai kemasyarakatan, ethis dan keagamaan. Bagi pendidikan berarti pendidik menuntun si terdidik ke arah pelaksanaan nilai-nilai itu dalam kehidupanya. 3. Pembentukan kerohanian yang luhur16 Pada taraf ini terakhir ini Marimba menerangkan bahwa pembentukan ini menanamkan rukun iman yang enam. Alat yang utama ialah tenaga budhi dan tenaga-tenaga kejiwaan sebagai alat tambahan. Pikiran dengan disinari oleh budhi mendapatkan pengenalan akan Allah. Hasilnya adalah adanya kesadaran dan pengertian yang mendalam. Seperti pada taraf yang kedua, Marimba mengatakan bahwa pembentukan taraf ini pun meliputi pembentukan formil, materiil dan intensiil. Pada pembentukan formil, berupa lanjutan taraf kedua dalam segisegi pikiran, minat dan sikap dan terutama pembentukan atau lebih tepat memperkuat budhi. Sebagai contoh; agar pembentukan pikiran dapat berlangsung dengan baik, perlulah tenaga-tenaga lain seperti dorongandorongan nafsu, keinginan, dan sebagainya.
16
Ibid.
56
Banyak usaha yang bertujuan untuk menahan nafsu-nafsu, perasaanperasaan, malah pikiranpun dibatasi agar tercapai keheningan bathin yang dapat menghubungkan dirinya dengan Yang Maha Agung. Usaha-usaha yang dapat dijalankan misalnya ; bertapa ke tempat-tempat yang suci, menjauhkan diri dari kehidupan sehari-hari, mengembara kemana-mana hanya untuk beribadah kepada Allah. Praktek yang semacam ini biasanya dilakukan oleh orang sufi. Selain itu usaha yang lain adalah dengan melakukan sholat dengan tertib dan khusyu. Pada pembentukan materiil juga adalah lanjutan taraf-taraf yang sudah di jelaskan di atas. Terutama penanaman nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan. Pembentukan intensiil untuk taraf ini sudah jelas. Apa yang diusahakan oleh pendidik terhadap si terdidik secara implisit dalam taraf pembiasaan lebih diintensifkan oleh si terdidik sendiri dengan bantuan pendidik. Pada taraf yang ketiga ini kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa setelah diberikan pembinaan oleh pendidik melalui proses pembiasaan pengertian, pembentukan sikap yang tepat dan minat yang kuat, maka yang diharapkan adalah adanya kesadaran dan pengertian yang mendalam dari peserta didik. Segala apa yang dipikirkannya, dipilihnya dan diputuskannya, serta yang dilakukannya adalah berdasarkan keinsyafanya sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab. Ketiga taraf pembentukan ini tidaklah dipisahkan satu sama lain, melainkan
saling
bantu-membantu,
serta
pengaruh-mempengaruhi.
Dengan demikian berhasilnya pembentukan ini keseluruhannya, maka tercapailah kepribadian yang sempurna yang biasa disebut kepribadian muslim, atau lebih spesifiknya adalah menjadi insan yang bertaqwa (mutaqqin).
D. Implementasi Nilai Takwa dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Islam Nilai-nilai yang sudah disebutkan di depan, baik nilai keimanan, nilai ibadah, nilai akhlak, nilai sosial,dan sebagainya adalah bisa disebut sebagai
57
manifestasi takwa. Nilai-nilai takwa itu tidak hanya mencakup nilai ketuhanan, tetapi juga meliputi nilai kemanusiaan. Dalam hal ini pendidikan Islam harus diarahkan pada pembentukan kepribadian muslim yang sempurna, yang senantiasa mengacu pada nilai-nilai Al Qur’an (nilai-nilai taqwa) yang dijadikan pedoman setiap manusia. Atas dasar inilah penulis akan memaparkan nilai-nilai taqwa yang dapat dikembangkan dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam. 1. Keimanan yang Sejati dan Murni Pembentukan
nilai keimanan agar tertanam pada anak didik
dengan kuat, tidak terpengaruh dan tidak tergoyahkan oleh apapun tidaklah mudah, melainkan butuh keseriusan dan kesabaran. Dalam hal ini penulis akan menganalisis pendapatan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bagaimana cara-cara pembinaan dan pembentukan nilai keimanan ini pada anak didik. Dalam kitab Ihya Ulumuddin17, Imam Al-Ghazali menganjurkan tentang asas pendidikan keimanan ini agar diberikan kepada anak-anak sejak dini. Menurutnya, Mendidik anak tentang keimanan pada awal pertumbuhanya
merupakan
keharusan,
yang
dimulai
menghafal,
memahami, kemudian beri'tikad, mempercayai dan membenarkan. Jadi, jelaslah bahwa asas pendidikan keimanan, terutama akidah atau iman kepada Allah harus diutamakan, karena akan hadir secara sempurna dalam jiwa anak perasaan keTuhanan yang berperan sebagai fundamen dalam berbagai aspek kehidupannya”. Keimanan yang tertanam kokoh dalam jiwa anak, maka ia akan mewarnai kehidupanya sehari-hari. Jadi, penanaman akidah atau iman adalah masalah pendidikan perasaan dan jiwa, bukan akal pikiran sedangkan jiwa telah ada dan melekat pada anak sejak kelahirannya, maka sejak mula pertumbuhannya harus ditanamkan rasa keimanan dan akidah tauhid sebaik-baiknya.
17
Imam Al-Ghazali, op. cit., hlm. 89.
58
Al-Ghazali mengaturkan cara berangsur-angsur mulai membaca, menghafal, memahami. mempercayai dan membenarkan, kemudian tertanam sangat kuatnya pada jiwanya setelah ia dewasa, sehingga akan mempengaruhi segala perilakunya yang menyangkut pola pikir, pola sikap dan pola tindak lahir dan pandangan hidupnya.18 Kemudian,
Al-Ghazali
memandang
pada
keyakinan
yang
berdasarkan taklid (ikut-ikutan dengan dasar pengetahuan atau bahkan tidak sama sekali) semata-mata itu mengandung kelemahan, dalam artian mungkin hilang apabila datang lawan (sesuatu yang menantang keyakinannya). Oleh karena itu harus diteguhkan dalam jiwa anak-anak dan orang awam, sehingga imannya kuat, kokoh dan tidak tergoyahkan lagi .19 Menurutnya, cara menguatkan dan meneguhkanya, bukanlah dengan mengajar dan berdebat ilmu kalam. Tetapi dengan cara memperbanyak membaca Al Qur’an dan tafsirnya, membaca Al-Hadits dan pengertiannya, serta mengerjakan dengan sebenarnya segala macam bentuk ibadah. Jadi, cara memperteguh iman adalah melalui tiga unsur dari pengertian iman itu sendiri, yaitu: Pertama, dibaca dan diucapkan dengan lisan atau bahkan dihafalkan ayat-ayat maupun hadits yang berhubungan erat dengan keimanan. Kedua, memahami pengertiannya dan menanamkan dalam pikirannya kemudian diakui kebenaranya dalam hati, agar dapat meresap sedalam-dalamnya. Ketiga, mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, terutama dalam rangka beribadah kepada Allah, dengan cara yang sebenar-benarnya. Al-Ghazali juga menganjurkan untuk mendidik dan meningkatkan keimanan seseorang anak dengan cara yang halus dan lemah lembut, bukan dengan paksaan ataupun dengan berdebat, karena yang demikian itu akan dengan mudah dan senang diterima anak. Adapun bagi orang awam 18
Ibid Ibid, hlm. 90.
19
59
yang berakidah bid’ah seharusnya ia diajak kepada kebenaran dengan cara lemah lembut bukan yang fanatik. Dengan kata-kata yang halus yang dapat memuaskan hatinya serta membekas ke dalam jiwanya, mendekati dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits yang disertai dengan seni pengajaran dan peringatan.20 Cara di atas dimaksudkan adalah untuk meningkatkan iman seseorang (peserta didik) agar dapat mencapai ilmu yang murni, bersih dan hakiki, bukan karena kewibawaan, pengaruh harta benda ataupun paksaan. Adapun untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dalam hal ini tujuan pendidikan keimanan menurut Imam Al-Ghazali ialah sebagai berikut : “Jika ia bermaksud menjadi orang menuju ke jalan akhirat dan mendapat taufiq (pertolongan), sehingga ia memperbanyak amal, selalu bertakwa, mencegah diri dari hawa nafsu, selalu melatih diri dan bermujahadah (berjihad untuk memperbaiki kehidupan dan kesempurnaan kepribadian) niscaya terbukalah baginya pintu hidayah (petunjuk), tersingkaplah segala hakikat dari akidah (apa yang diyakini) ini dengan Nur Ilahi yang dipancarkan dalam hatinya dengan sebab bermujahadah itu.” Itulah tujuan keimanan dengan manifestasi amal perbuatan yang nyata, dengan menjadikan hidup dan kehidupan di dunia ini sebagai bernilai ibadah, bertakwa yang sebenarnya dan berakhlak yang mulia. Dalam ruang lingkup pendidikan Islam dalam pencapaian tujuanya harus sejalan dengan tujuan muslim hidup di dunia ini. Mengenai hal ini Sholeh Abdul Aziz dan Abdul Majid21 berkomentar bahwa kehidupan ini adalah madrasah. Jadi, hidup di dunia ini ibarat madrasah yang memiliki tujuan untuk mendidik, dalam lingkup ini adalah pendidikan keimanan. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam lingkup ini adalah tujuan pendidikan keimanan. Dengan kata lain, tujuan pendidikan Islam dalam lingkup ini adalah tercapainya kebajikan, beribadah dan keimanan kepada Allah. 20
Ibid Sholeh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid, At-tarbiyah Wa Turuqu Al-Tadris, (Beirut: Darul Ma’arif, t.th), Juz. I, hlm. 74. 21
60
2. Kemuliaan Akhlak Dalam kerangka pendidikan Islam faktor kemuliaan akhlak ini di nilai sebagai faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan, yang menurut pandangan Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera di dunia dan kehidupan di akhirat. Atas dasar itu yang terpenting adalah bagaimana untuk mencapai kehidupan yang baik, tiada lain untuk mencapai yang dimaksud adalah melalui pendidikan akhlak. Dalam hal ini penulis akan menganalisis pendapatnya Muh. Athiyah Al-Abrasy dalam bukunya Attarbiyah AlIslamiyah.22 Menurut Muh. Athiyah Al-Abrasy pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan dengan tidak mengesampingkan aspek-aspek penting lainnya; pendidikan jasmani, akal, ilmu
pengetahuan
ataupun
segi-segi
praktis
lainnya.
Kemudian
menurutnya tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, melainkan mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa keutamaan, membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Jadi, dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwa tujuan pokok dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Dalam hal ini cakupan kurikulum harus lebih mengandung
pelajaran-pelajaran
akhlak,
setiap
pendidik
haruslah
memikirkan akhlak sebelum yang lain-lainnya. Pendek kata, pendidikan itu tidak boleh keluar dari pendidikan akhlak. Athiyyah Al-Abrasy mengatakan bahwa tidak hanya sekolah saja yang sanggup mendidik anak-anak dengan pendidikan akhlak yang 22
Muh. Athiyah Al Abrasy, op. cit., hlm. 113.
61
sempurna. Rumah tangga dan lingkungan masyarakat pun turut bersamasama sekolah dalam hal ini, karena keduanya mempunyai pengaruh besar dalam pendidikan akhlak ini. Jadi antara sekolah, rumah tangga dan masyarakat haruslah bekerja sama melaksanakan pendidikan akhlak anakanak. Untuk sampai pada pembentukan akhlak yang sempurna yang dibangun atas kerja sama sekolah, rumah tangga dan masyarakat harus sama-sama mengetahui norma-norma yang akan dibangun. Dalam hal ini Athiyah Al-Abrasy memberikan penjelasan bahwa pembentukan akhlak yang utama adalah di waktu kecil. Pendidikan akhlak pada anak-anak sejak kecil harus mendapatkan perhatian penuh. Ia harus di didik yang baik sehingga tidak terbiasa dengan adat dan kebiasaan yang tidak baik. Bila dibiarkan saja, tidak diperhatikan, tidak dibimbing, ia akan melakukan
kebiasaan
yang
kurang
baik,
sehingga
sukarlah
mengembalikannya dan melaksanakannya untuk meninggalkan kebiasaan tersebut. Adapun metode yang digunakan menurut At-Thiyah Al-Abrasy23 dalam bentuk akhlak yang sempurna adalah sebagai berikut : a. Pendidikan secara langsung, yaitu dengan cara mempergunakan petunjuk, tuntunan, nasehat, menyebutkan manfaat dan bahayanya sesuatu. b. Pendidikan secara tidak langsung, yaitu dengan jalan sugesti, seperti memberikan nasehat-nasehat dan berita-berita berharga, mencegah mereka dari sajak-sajak yang kosong dan tidak bermanfaat. c. Mengambil manfaat dari kecenderungan dan pembawaan anak dalam rangka pendidikan akhlak. Sebagai contoh, mereka senang meniru ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, gerak-gerik orang-orang yang berhubungan erat dengan mereka, dalam hal ini guru, orang tua ataupun orang lain.
23
Ibid, hlm. 115.
62
Metode yang ditanamkan di atas menurut penulis tidak mungkin dapat ditegakkan secara langsung oleh sekolah saja, melainkan harus dengan pihak-pihak lain yang berpengaruh dalam pendidikan anak-anak itu, seperti rumah tangga dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian agar sampai pada tujuan terakhir dalam rangka pendidikan akhlak anak, rumah tangga haruslah menjalankan tugasnya dengan baik. Begitu pula masyarakat, jangan sampai menghancurkan apa yang dibina di rumah tangga atau di sekolah. Dengan demikian dari uraian diatas penulis dapat memahami bahwa dengan adanya kerja sama antar sekolah, rumah tangga dan lingkungan masyarakat tujuan pendidikan akhlak berarti telah tercapai dan tercapai pula tujuan pendidikan Islam. 3. Taat Beribadah Sebagaimana dijelaskan pada uraian di depan, bahwa pendidikan dalam Islam bertujuan mengabdikan diri kepada Allah. Menyembah (mengabdi) dimaksudkan adalah bersifat ekstensif dan komprehensif, dimana ia tidak terbatas pada pelaksanaan fisik dari ritual agama semata, melainkan mencakup seluruh aspek aktivitas: iman, pikiran, perasaan dan pekerjaan.24 Jadi, nilai hakiki ibadah ini terletak pada keterpaduan antara tingkah laku, perbuatan, dan pikiran, antara tujuan dan alat, serta teori dan aplikasi. Kemudian ibadah dalam pendidikan Islam sebagaimana diketahui adalah sebagai sarana mengaktualisasikan diri untuk memperoleh derajat taqwa, yang pada akhirnya dengan takwa itu akan dapat diraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tujuan pendidikan yang disebutkan di atas pada dasarnya merupakan tujuan hidup muslim. Perpaduan tujuan tersebut yang mengarah pada pengabdian kepada Allah dan kebahagiaan merupakan tujuan pendidikan yang akan mengantarkan manusia mencapai tujuan teologiknya, kembali kehadirat Allah SWT. Dalam pendidikan dengan 24
Syed Sajjad Hussain Dan S. A. Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam Terj. Rahmani Astuti, Crisis Muslim Education,, (Bandung: Gema Risalah Press, 1986), hlm. 62.
63
adanya tujuan tersebut penanaman pendidikan ibadah pada anak kiranya jangan hanya terbatas pada pengajaran saja, melainkan perlu perhatian yang serius dengan melalui pendidikan dan bimbingan dari orang tua, guru dan sebagainya.25 Dengan demikian, tugas pendidikan bukan hanya sekedar alih informasi pengetahuan (transfer of knowledge) kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan harus profesional dalam membentuk kepribadian anak. Mengenai hal itu Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa beribadah itu tidak terbatas hanya pada tata cara peribadatan yang telah ditentukan, melainkan mempunyai makna yang lebih menyeluruh dan luas sekali, meliputi seluruh aktivitas dan bidang kehidupan dan mencakup seluruh perbuatan, karsa dan rasa.26 Ibadah dalam arti inilah yang patut dijadikan tujuan pendidikan Islam. Dari formulasi tujuan pendidikan Islam seperti di atas penulis berkesimpulan bahwa pendidikan Islam dalam konteks ibadah yang luas akan berusaha membentuk manusia yang sholeh pribadi dan sholeh sosial. Menurut Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, keterbatasan, perasaan ataupun panca indera.27 Metode tersebut tidak akan berjalan, kecuali jika ada pihak yang mau memperhatikan metode penanaman ibadah ini dengan kesabaran dan keseriusan, baik dari keluarga ataupun sekolah. Selanjutnya, untuk mencapai tujuan pendidikan ibadah ini perlu ditekankan bahwasanya anak-anak harus mengetahui dan melaksanakan dengan baik mengenai ibadah ini baik ibadah yang mahdlah maupun yang ghoiru mahdlah. Dalam keluarga pembinaan ibadah ini dapat melalui persuasi, ajakan dan bimbingan kepada mereka, dengan syarat orang tua harus menjadi teladan atau contoh terhadap mereka. Demikian juga di sekolah, anak didik harus diberi pemahaman, pemaknaan dan penghayatan 25
Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infnite Press, 2004), hlm. 92. 26 Abdul Fatah Jalal, op. cit., hlm. 139. 27 Syamsul Arifin Dan Ahmad Barizi, op. cit., hlm. 149.
64
terhadap ibadah ini, tidak hanya ibadah yang bersifat ritual saja, melainkan juga harus yang bersifat muamalah.
4. Kepedulian Sosial Yang Tinggi Fungsi pendidikan dalam mewujudkan tujuan sosial ini adalah menitikberatkan pada perkembangan karakter-karakter manusia yang unik, agar manusia mampu beradaptasi dengan standar-standar masyarakat bersama-sama dengan cita-cita yang ada padanya.28 Pendidikan dalam konteks ini adalah merupakan usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar mereka dapat berperan serasi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat lingkungannya.29 Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan manusia yang memiliki kesadaran akan kewajiban, hak dan tanggung jawab sosial, serta sikap toleran agar keharmonisan hubungan antar sesama manusia dapat berjalan dengan harmonis.30 Dalam hal ini keharmonisan berarti menjadi karakteristik utama yang ingin dicapai dalam tujuan pendidikan Islam. Berangkat dari pendekatan ini, penulis dapat menggarisbawahi bahwa pendidikan dalam dimensi sosial ini dititikberatkan pada bagaimana upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik agar dapat
berperan
secara
harmonis
dan
serasi
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Di samping itu agar dapat berperan sebagai seorang individu yang bertakwa. Selanjutnya dalam proses pembinaannya menurut Mahmud Yunus mengatakan bahwa pendidikan sosial pada anak tidak hanya dilaksanakan di sekolah saja, di dalam keluarga dan di masyarakat pendidikan akhlak juga merupakan keharusan, karena keduanya sangat berpengaruh dan
28
Arief Armai, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 21. 29 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 95. 30 Ibid.
65
berperan dalam diri anak untuk menjadi kepribadiannya.31 Kemudian ia menambahkan bahwa orang tua atau guru jangan mengabaikan pendidikan sosial ini, karena akan mengakibatkan anak mementingkan diri sendiri, yang
akhirnya
akan
lahir
dalam
masyarakat
orang-orang
yang
mementingkan dirinya sendiri.32 Oleh sebab itu anak-anak haruslah dididik dengan pendidikan sosial, mulai dari rumah tangga sampai sekolah dan dalam masyarakat. Biasakanlah anak-anak dari kecil supaya menurut peraturan dan adab sopan santun, menunaikan kewajiban terhadap diri dan orang lain dan terhadap
masyarakat,
mendahulukan
kepentingan
bersama
dari
kepentingan diri sendiri, serta saling tolong menolong untuk kemajuan masyarakatnya. Dengan adanya proses pembinaan tersebut dan betul-betul diaplikasikan oleh peserta didik kiranya tujuan pendidikan sosial telah tercapai, di mana peserta didik mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat bahkan mungkin juga sampai pada kepedulian sosial yang tinggi dengan adanya perkembangan kepribadiannya.
31 Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1988), Cet. 2, hlm. 14. 32 Ibid.