BAB IV ANALISA TERHADAP PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA NU TEMANGGUNG DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN 2004 A. Analisa Terhadap Keterlibatan Ulama NU Dalam Pemilihan Umum Presiden 2004 Dalam Pemilihan Umum Presiden 2004, peta politik ulama NU Temanggung sebagaimana hasil penelitian penulis dapat di kategorikan dalam empat kelompok besar. Pertama, kelompok ulama yang berada di struktur partai
politik
tetap
mendukung
keputusan
partai,
walaupun
tidak
menginginkan dengan calon pilihan partai, misalnya KH. Ahmad Nasocha memilih pasangan Wiranto - Sholahudin Wahid karena mentaati lembaga partai. Kedua, Kelompok ulama yang memilih calon diluar keputusan partai, seperti KH. Amin Wasthoni lebih memilih pasangan SBY-Kalla, padahal Kiai Amin termasuk tokoh PPP. Kelompok ketiga adalah kelompok ulama yang menjadi tim sukses Megawati - Hasyim Muzadi, mereka ini ulama yang berada di struktural Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, walaupun secara institusional mereka netral tetapi individu mereka masuk dalam tim sukses kampanye MegaHasyim, seperti KH. Muhamad Badri dan H. Hamidun. Keempat adalah kelompok ulama yang lebih memilih diam dan tidak berpihak pada siapapun. Mereka menyatakan netral baik secara partai dan individual, mengenai pilihan merupakan hak individu dan terserah dengan pilihan masing-masing, mana yang sesuai dengan hati nurani.
68
Persinggungan ulama NU di Temanggung dengan politik praktis selama Pemilihan Umum Presiden 2004 terjadi karena mempertimbangkan beberapa faktor, pertama kepentingan, baik kelompok (organisasi) dan individu. Kedua ada benang merah yang menghubungkan antara pola pikir mereka dengan politik dan pemahaman keagamaan mereka. Ada kesalahan tesa jika menganggap keterlibatan ulama dalam pangung politik praktis hanya melihat aspek kepentingan semata. Hamdan Dauly dalam salah satu tulisannya di Kompas pernah melontarkan kecurigaan bahwa banyak ulama dewasa ini terseret pada kepentingan politik dan menjadi alat legetimasi penguasa.1 Memang jika melihat hubungan antara “siapa mendukung siapa” dan “siapa diuntungkan siapa”, maka sudut pandang terseretnya ulama ke panggung politik seperti memburu kepentingan. Jika melihat sikap KH. Amin Wasthoni yang keluar dari jalur intruksi PPP dengan keterlibatan dia mendukung SBY-Kalla dan juga beberapa kiai NU yang memilih netral maka sulit menganalisa mereka hanya melihat aspek kepentingan organisatoris. Catatan yang diberikan Alfan Alfian dalam pemilu 1999 dulu untuk melihat mengapa para ulama bersikap proaktif dalam politik, sepertinya masih relevan untuk dijadikan catatan mengenai keterlibatan ulama dalam pemilu 2004 kemarin. Menurutnya terdapat relasi yang khas antara ulama dan politik. Pertama
terdapat
semacam
kewajiban
bagi
mereka
untuk
memperjuangkan nilai-nilai Islam lewat pendekatan politik. Argumen-
1
Hamdan Dauly, “Kiai dan Godaan Politik”, dalam Kompas, 19 September 2003
69
argumen mereka tak lepas dari tinjauan normatif. Kedua pilihan untuk menjatuhkan diri pada pendekatan politik menunjukkan bahwa belum ada suatu alasan yang jelas bagi mereka untuk keluar dari dunia politik. Ketiga, menyangkut eksistensi komunitas yang dipimpinnya.2 Karena ulama mempunyai otoritas yang besar dalam komunitasnya, apalagi ulama-ulama pesantren yang memiliki ratusan, bahkan ribuan santri, ini dapat dijadikan “ladang suara” untuk menyalurkan aspirasi. Naluri ulama NU untuk masuk politik praktis seperti yang terlihat di Temanggung bisa dibilang cukup tinggi. Efek dari permainan politik mau tidak mau harus diterima para ulama, yaitu terjadinya perbedaan pendapat dan cara pandang. Di Temanggung para ulama NU telah di-dikotomi-kan sedemikian rupa sehingga terlihat seperti terpecah dalam kelompok misalnya ada kelompok ulama Parakan, ulama Temanggung, ulama struktural, ulama kultural dan sebagainya, ini seakan menjadi bukti nyata. Munculnya kelompok-kelompok ulama tersebut mengindikasikan terjadinya dukung-mendukung antar ulama yang dilatarbelakangi oleh pendapat yang berbeda-beda. Sejauh yang ditemukan penulis bahwa di Temanggung terjadi kelompok-kelompok ulama bukan merupakan hal yang baru, sebab para ulama sudah terlibat dalam partai politik baik secara langsung maupun menjadi simpatisan. Keinginan para ulama NU Temanggung masuk dalam dunia politik khususnya pada Pemilihan Umum Presiden 2004, dalam prespektif fiqh 2
M. Alfan Alfian M., ”Memahami Polarisasi Politik Ulama”, dalam Kompas, Rabu, 25 Agustus 1999
70
siyasah dapat dikatakan bahwa para ulama dipengaruhi oleh pemikiran Al Ghazali mengenai pengangkatan kepala negara. Seperti yang di tulis oleh Jeje Abdul Rojak, MA, bahwa Al-Ghazali mengemukakan, pembentukan pemerintahan adalah wajib syar’i, dasarnya ijmak umat dan kategori wajibnya adalah fardhu kifayah.3 Ijmak umat itu menurut Al Ghazali terdapat dalam historis umat islam, dimana pernah terjadi kesepakatan para sahabat untuk mengangkat khalifah menggantikan Nabi Muhamad SAW setelah beliau wafat.4 Disamping itu Al-Ghazali juga melihat pada sisi realitas sosialnya, menurutnya manusia itu cenderung bermasyarakat agar dapat bekerja sama dan tolong menolong dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tetapi dalam proses kerjasama tersebut sering terjadi persaingan dan pertentangan, oleh karena itu untuk mengatasinya dibutuhkan penguasa atau pemerintah yang melayani kepentingan rakyat.5 Terbaginya ulama dalam kelompok-kelompok itu juga merupakan keinginan mereka untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik guna mensejahterakan rakyat, sehingga terjadi persaingan dan pertentangan diantara ulama karena masing-masing menganggap pilihannya yang terbaik. Maka tidak mengherankan jika para ulama terlibat dalam pemilihan umum presiden 2004. Namun apakah keterlibatan ulama NU dalam pemilihan umum presiden tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara calon presiden yang didukung mayoritas ulama NU?
3
Jeje Abdul Rojak, MA, Politik Kenegaraan; Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999, hlm. 102 4 Ibid 5 Ibid., hlm 103
71
Berdasarkan hasil perolehan suara di Temanggung, dapat dikatakan bahwa keterlibatan ulama NU di Temanggung tidak berpengaruh banyak terhadap perolehan suara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang didukung mayoritas ulama. Ini bisa dilihat dari hasil perolehan suara Pemilihan Umum Presiden 2004 Tahap I, yaitu : No
1
Nama Pasangan Calon Presiden dan
Jumlah Perolehan
Wakil Presiden
Suara
H. wiranto , SH dan Ir. KH. Sholahudin
102.393
Wahid 2
Hj. Megawati Soekarno Putri dan KH.
96.815
Hasyim Muzadi 3
Prof. Dr. H.M. Amin Rais dan DR. Ir. H.
61.338
Siswono Yudo Husodo 4
H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.
150.812
H. Muhamad Jusuf Kalla 5
DR. H. Hamzah Haz dan H. Agum
32.213
Gumelar, M.Sc Sumber: Sekretariat KPUD Kabupaten Temanggung
Berdasarkan hasil perolehan suara tersebut pasangan Susilo Bambang Yudhoyono menempati urutan pertama dengan memperoleh 150.812 suara melebihi Wiranto dan Megawati, padahal pasangan Wiranto – Sholahudin Wahid didukung penuh oleh para ulama dan tergolong ulama sepuh seperti KH. Muhaiminan, dan KH. Achmad Nasocha. Juga pasangan Megawati
72
Soekarno Putri – KH. Hasyim Muzadi yang hanya memperoleh 96.815 suara, padahal KH. Hasyim mempunyai dukungan ulama struktur NU dari tingkatan cabang sampai ranting. Melihat hasil perolehan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sikap politik ulama NU tidak berpengaruh banyak terhadap pilihan warga secara umum. Ada kenyataan bahwa masyarakat sekarang sudah memiliki pilihan sendiri dan tidak lagi terlalu patron terhadap ulama dalam masalah pilihan politik. Masyarakat sekarang sudah bisa membedakan mana ulama yang benar-benar mengurusi umat dan mana ulama yang hanya menjadikan umat sebagai komoditas politik. Dalam bahasa Emha Ainun Najib masyarakat sekarang telah memiliki feeling dan jenis pengetahuan sendiri tentang siapa ulama pencoleng, siapa ustadz dan siapa bakul pasar.6 Pada pemilihan Tahap II, hal serupa terulang, . Di Temanggung pasangan Megawati Soekarno Putri dan KH. Hasyim Muzadi hanya memperoleh 176.358 suara lebih kecil di banding pasangan Susilo Bambang Yudhoyono yang memperoleh 238.762 suara7. Dengan demikian pengaruh ulama terhadap pilihan masyarakat tidak terlalu signifikan. Menurut catatan penulis berdasarkan hasil penelitian di Temanggung ada sejumlah faktor yang mempengaruhi tidak populisnya pengaruh ulama dalam Pemilu Presiden 2004.
6
Emha Ainun Nadjib, ”Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”, dalam Kompas, 17 Februari 2005, hlm. 3 7
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Temanggung
73
Pertama, masyarakat tidak mau lagi menjadi kelompok yang digiring oleh para tokoh dengan seenaknya, salah satu indikatornya adalah di Parakan perolehan SBY lebih besar di banding calon lain baik pada tahap I maupun tahap II. Pada tahap I SBY memperoleh 11.143 suara, Wiranto – Sholahudin 5.978 suara dan Megawati – KH. Hasyim Muzadi memperoleh 7.490 suara.8 Padahal di Parakan ada dua ulama NU yang cukup berpengaruh yaitu KH. Muhaiminan Gunardho dan KH. Achmad Nasocha. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat sudah mulai sadar dengan pilihannya sendiri, yang dalam sosiologi Weber, sebagaimana di tulis oleh Robert M.Z. Lawang disebut sebagai tindakan rasional.9 Kedua, Keinginan masyarakat untuk melakukan perubahan. Kejenuhan masyarakat atas krisis yang berkepanjangan dan tak ujung usai mengakibatkan pilihan masyarakat akan tampilnya sosok baru yang dapat membawa perubahan.,
terutama
dalam
peningkatan
kesejahteraan
sosial
yang
menyangkut kebutuhan dasar masyarakat. Hal in tidak bisa dipungkiri lagi, pasca reformasi kondisi Indonesia tidak lebih baik bahkan semakin terpuruk. Kelompok elit lebih mementingkan kepentingan individu maupuh kelompok dibanding kepentingan masyarakat, bahkan masyarakat semakin terjepit dan kebutuhan sehari-hari bertambah mahal. Oleh karenanya momentum pemilihan presiden secara langsung dijadikan wahana untuk merubah tatanan 8
KPU Kabupaten Temanggung, Hasil Perolehan Suara, Pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004. 9
Tindakan rasional menurut Weber adalah suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Lihat Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia, 1986, hlm. 220
74
kepemimpinan nasional, dengan harapan adanya perubahan kearah yang lebih baik. Dua faktor di atas menurut penulis merupakan faktor yang menyebabkan Susilo Bambang Yudhoyono mampu memperoleh suara yang signifikan di Temanggung, meskipun calon lain seperti pasangan Wiranto – Sholahudinn Wahid dan pasangan Megawati – KH. Hasyim Muzadi mendapat dukungan dari kiai-kiai sepuh di Temanggung. Di samping dua faktor tersebut di atas juga dipengaruhi oleh popularitas Susilo Bambang Yudhoyono.
B. Analisa Terhadap Perbedaan Pandangan Ulama NU Temanggung Dalam Pemilihan Umum Presiden 2004 Berdasarkan hasil penelitian di Temanggung, ada sejumlah faktor perbedaan pandangan ulama NU Temanggung dalam pemilihan Umum presiden 2004, seperti yang sudah penulis paparkan pada Bab III, antara lain : 1. Perbedaan yang disebabkan oleh afiliasi partai politik ulama. Masuknya ulama dalam partai politik bukan merupakan hal baru, sebab dalam sejarahnya ulama telah berkecimpung dalam politik. NU sendiri pernah menjadi partai politik walaupun akhirnya menyatakan diri kembali ke khittah 1926 pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Apa yang terjadi di Temanggung berkaitan dengan dukung-mendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden, ulama pun bersikap sebagaimana keputusan politik partai seperti sikap yang dilakukan oleh KH. Muhaiminan Gunardho dan KH. Ahmad Nasocha.
75
Hal ini mengindikasikan bahwa ulama masih terkotak-kotak dengan
kepentingan
kelompok
atau
partainya
dibanding
dengan
kepentingan secara umum. Perbedaan kelompok semacam ini tidak bisa dihilangkan sepanjang ulama masih mempunyai peran dominan di masyarakat, tidak hanya dalam bidang sosial keagamaan tetapi juga dalam persoalan politik. Karena ulama dianggap sebagai kelompok elit masyarakat yang dapat mempengaruhi dan menggiring massa, sehingga sangat wajar ketika tim sukses calon pasangan presiden dan calon wakil presiden berlomba-lomba untuk mendekati ulama guna merebut suara masa pemilih. Hal ini setidaknya sesuai dengan teorinya pareto10 yang menyatakan bahwa : “Setiap masyarakat dipimpin oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas tertentu yang diperlukan kehadirannya bagi mereka untuk menyokong kekuasaan sosial politik penuh.11 Dalam konteks ini penulis memaknai kelompok-kelompok kecil yang berkualitas itu adalah ulama. Di samping itu ulama NU juga lebih tertarik pada politik kekuasaan dibanding dengan politik kebangsaan atau kenegaraan dan politik kerakyatan12. Lain halnya dengan sikap politik KH. Amin Wasthoni yang mendukung SBY karena faktor kepemimpinannya. Dalam pandangan KH. 10
Pareto memepunyai nama lengkap Vilfredo Pareto, ia seorang pemikir Eropa pada awal pmunculnya fasisme, diambil dari SP. Varma, Teori Politik Modern, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan keenam Februari 2001, hlm. 199 11 12
Ibid
Dalam pemahaman NU ada tiga jenis poltik yaitu Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan dan Politik Kekuasaan, sebagaimana yang di sampaikan KH. Sahal Mahfudz, “Kalangan NU Lebih Tertarik Politik Kekuasaan”, Suara Merdeka, 2 Juli 2004, hal. 2
76
Amin, SBY mempunyai nilai lebih dibanding calon lain, Ia mengatakan bahwa : “Memilih presiden bukan seperti memilih ketua organisasi atau ketua partai, tapi memilih pemimpin negara”13. Sikap politik yang diambil KH. Amin Wasthoni tersebut dalam prespektif fiqh siyasah sejalan dengan rumusan al-maslahat-nya Al Ghazali mengenai pengangkatan kepala negara yang mensyaratkan adanya landasan integritas pribadi dan moral bagi seseorang yang akan menduduki jabatan, karena tanpa adanya kualifikasi seperti disebut diatas, kemaslahatan akan sulit terwujud.14
2. Perbedaan yang disebabkan oleh pemahaman keagamaan. Di Temanggung, pemahaman perbedaan mengenai boleh tidaknya seorang wanita menjadi pemimpin atau presiden bukan merupakan hal yang krusial, munculnya perbedaan tersebut dipengaruhi oleh afiliasi ulama NU Temanggung dan pemahaman masing-masing ulama. Seperti KH. Muhaiminan dan KH. Achmad Nasocha. Mereka berafiliasi dalam partai politik yang sama tetapi dalam persoalan boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden berbeda pendapat. KH. Muhaiminan secara tegas mengatakan bahwa presiden wanita itu haram sementara KH. Nasocha masih menganggap itu masih khilafiyah.
13 14
Disampaikan dalam wawancara dengan KH.Amin Watoni, Sabtu, 29 Januari 2005 Drs. Jeje Abdul Rojak, MA, op cit, hlm. 106
77
Perdebatan ini bagi penulis, juga di pengaruhi konstalasi politik ulama di tingkat nasional. KH. Muhaiminan misalnya sejalan dengan pemikiran KH. Abdullah Faqih yang memberikan fatwa haramnya presiden wanita, alasan syar’i-nya antara lain saat ini situasinya bukan darurat karena ada calon presiden laki-laki.15 KH. Muhaiminan dan KH. Abdullah Faqih ini merupakan anggota dari forum kiai langitan atau sekarang dikenal sebagai kiai sepuh atau kiai khos.16 Perdebatan mengenai sah tidaknya seorang wanita menjadi pemimpin menurut penulis berasal dari hadits nabi yang berbunyi :
Artinya : Tidak mungkin akan beruntung (jaya) suatu masyarakat yang menguasakan urusan mereka kepada seorang perempuan.17 Sementara itu sejumlah ulama dan tokoh NU yang lain menilai, perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk menjadi presiden. Pendapat ini setidaknya diungkapkan sejumlah tokoh dan ulama NU. Diantaranya adalah KH. Masdar Farid Mas’udi dan KH. Said Agil Siradj. Menurut Said Agil fatwa tersebut merupakan upaya politicking
15
Pikiran rakyat, 5 Juni 2004
16
Sebutan kiai khos ini berkaitan dengan fatwa-fatwa kiai sepun yang sering dijadikan pedoman bagi ulama NU terutama ayng ada di Partai Kebangkitan Bangsa. Ini bisa dilihat, menjelang Pemilu Presiden 2004, KH. Muhaiminan dan KH. Abdullah faqih selalu terlibat dalam setiap langkah langkah politk, misalnya pertemuan Buntet I, Buntet II. Lihat “Dari Bagi, Untuk Presiden”, Kompas, Jum’at, 23 April 2004, hal. 8 17
Imam Bukhori, Sahih Bukhori, IX, (Semarang: Toha Putra ) hlm 77 – 78, dikutip dari Drs. Muhibbin Noor, MA, Hadis – Hadis Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm 75
78
dengan tujuan untuk menjegal Megawati, padahal Megawati sudah menjadi presiden selama tiga tahun.18 Menurut pandangan Abdurrahman Wahid, fatwa yang disampaikan oleh KH. Abdullah Faqih merupakan pendapat pribadi dan bukan seluruh ulama NU, di samping itu KH. Abdullah Faqih termasuk orang yang konsisten sejak dulu bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin termasuk bupati atau presiden.19 Terlepas dari perdebatan antar ulama NU mengenai boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden, menurut pandangan penulis munculnya fatwa tersebut bermotif politik dibanding dengan kajian keagamaan yang mendalam. sebab pertama, para ulama dalam mengemukakan pendapat mengenai haramnya seorang perempuan menjadi pemimpin pada pemilihan umum presiden 2004 tidak didasari oleh alasan mengenai latar belakang munculnya hadits tersebut. Disamping itu tidak ada ulama yang memuculkan fatwa selama tiga tahun Megawati memimpin Indonesia, kenapa menjelang pemilihan umum presiden pernyataan itu baru muncul. Kedua, Tidak pernah ditemukan hadtis nabi yang menyatakan dengan jelas tentang syarat pemimpin negara harus laki-laki.20 Bahkan dalam Al Qur’an diceritakan ada seorang perempuan yang menjadi
18
Said Agil memepertanykakan fatwa ulama tersebut, mengapa baru keluar padahal selama Mega jadi Presiden selama 3 tahun tidak ada fatwa yang mengharamkannya. Lihat Pikiran Rakyat, Ibid. 19
Ibid
20
Drs. Muhibin Noor, MA, op cit, hlm 78
79
pemimpin negara dan sukses yaitu Ratu Bilqis di negeri saba.21 Ayat tersebut berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya Aku (Hud-hud) menjumpai seorang wanita (Ratu Bilqis) yang memerintah mereka (rakyat Saba’) dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.22 (QS. An Naml; 23).
3. Perbedaan yang disebabkan oleh pemaknaan khittah NU 1926. Dari sejumlah keterangan yang berhasil dihimpun penulis di Temanggung muncul pendapat yang berbeda-beda antar ulama. PCNU melalui sekretarisnya H. Hamidun dan KH. Nawawi (Rois Syuri’ah) mengatakan bahwa NU Netral dan tidak terlibat. Berbeda dengan keterangan KH. Muhaiminan, dan KH. Nuqman Dimyati, yang memberi keterangan bahwa NU terlibat secara aktif. Perdebatan ini menunjukkan bahwa antar ulama NU baik yang ada di struktur maupun diluar struktur tidak bisa berjalan seiring terutama dalam Pemilihan Umum Presiden 2004. Sementara pada sisi yang lain pemaknaan khittah di NU belum tuntas dimaknai oleh ulama NU. Karena dalam sejarahnya, lahirnya khittah dalam kondisi situasi politik yang tidak normal dimana NU sebagai kekuatan politik selalu dirugikan dan hanya
21
Ibid Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Diponegoro, 2003, hlm. 302 22
80
dijadikan legitimasi belaka oleh rezim yang berkuasa. Ada dua faktor penyebab terjadinya penafsiran yang berbeda dalam memaknai khittah, sebagaimana ditulis Rumadi, pertama ketidaksiapan elit NU dan warga NU melakukan sekularisasi politik dalam mengimplementasikan khittah , sehingga banyak calon presiden yang ingin menjadikan orang NU sebagai calon wakil presidennya. Kedua Kultur warga NU yang tidak siap dengan implikasi khittah yang meniscayakan kemandirian pilihan politik.23 4. Perbedaan yang disebabkan karena kepentingan Kepentingan dimaksud sebagaimana yang di temukan penulis di Temanggung adalah kepentingan individu atau keluarga atau kelompok, kepentingan organisasi dan kepentingan materi. Tiga kepentingan ini setidaknya turut mendominasi faktor munculnya perbedaan ulama Temanggung dalam pemilihan presiden 2004. Menurut pengamatan penulis selama penelitian, ada beberapa indikator yang menguatkan alasan kepentingan ulama masuk dalam politik praktis diantaranya adalah, ada beberapa ulama yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD II) Temanggung, padahal beliau seorang Pengasuh Pondok Pesantren seperti KH. Khozin (Pengasuh Pondok pesantren Blado Kaloran Temanggun, Anggota Dewan dari PKB), KH. Tholhah Mansur (Pengasuh Pondok Pesantren Al Islam Ngadirejo, Anggota Dewan dari PKB), KH. Sya’roni (Pengasuh Pondok Pesantren Barang Jumo, Anggota Dewan dari PPP).
23
Ibid.
81
Beberapa ulama yang penulis sebut di atas merupakan salah satu contoh masuknya ulama dalam politik praktis dan motivasi individu untuk memperoleh keuntungan materi, hal ini juga di akui oleh KH. Yaqob Mubarok dan KH. Amin Wasthoni.24 Seperti halnya pendapat Azyumardi Azra yang membedakan antara ulama pejabat dan ulama bebas. Azyumardi mengatakan bahwa : “Perbedaan-perbedaan diantara ulama pejabat dan ulama bebas tidak hanya terbatas pada segi pandangan, sikap dan respon idiologis dan politis terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa tetapi juga berlatarbelakang sosio-ekonomis mereka”25. Azyumasrdi Azra mencotohkan kasus Turki Utsmani26, ia mencatat bahwa
:
“Sekurang-kurangnya
dalam
kasus
Turki
Utsmani,
memperlihatkan bahwa mayoritas ulama pejabat Dinasti Utsmani berasal dari sekelompok kecil keluarga ulama yang berusaha memonopoli posisiposisi kunci dalam religious establishment guna mencapai tujuan-tujuan politis dan material. Mereka bahkan menjadi semacam aristokrasi ulama, yang berkembang sejajar dan berkolaborasi dengan kaum aristokrat awam. Mereka meninggalkan solidaritas dengan mayoritas ulama yang secara sosio ekonomis termasuk kalangan bawah, dan mereka sama sekali tidak sentuhan dengan massa”.27
24
Hasil wawancara dengan KH. Amin Wathoni, 29 Januari 2005 dan wawancara dengan KH. Yaqob Mubarok, Rabu, 2 Februari 2005 25
Azyumardi Azra, ”Ulama, Politik dan Modernisasi”, dalam Ulumul Qur’an, No 7, Vol. II. 1990/1411 H, hlm 9 26
Ibid
27
Ibid
82
Ulama yang demikian menurut Al Ghazali sebagaimana di tulis oleh KH. Mustofa Bisri, disebut sebagai ulama dunia atau ulama su28’ yaitu ulama yang menggunakan ilmunya bukan lillahita’ala dan hanya untuk kepentingan-kepentingan duniawi, termasuk mencari kedudukan dimata umat atau hanya mencari popularitas dan sebagainya.29 5. Perbedaan yang disebabkan karena kecemburuan sosial. Perbedaan yang berawal dari kecemburuan sosial ini, dalam pandangan penulis merupakan sifat manusiawi, sebagaimana halnya ulama, ia adalah manusia biasa yang mempunyai keinginan, kedengkian, hasut dan lainnya. Dalam pemilihan presiden 2004 di Temanggung muncul perbedaan ulama yang berdasar karena kecemburuan sosial antara kiai satu dengan kiai yang lain. Ini terjadi terutama di daerah-daerah seperti Parakan yang terdapat banyak kiai dan pondok pesantren. Sebagaimana dicontohkan kiai Yaqub dalam bab III. Menurut penulis ada beberapa indikator yang menyebabkan perbedaan ulama dikarenakan faktor kecemburuan sosial antara lain ; pertama,
karena
popularitas
ulama.
Dalam
kasus
Temanggung
Kepopuleran salah satu kiai dapat mempengaruhi hubungan antar kiai, apalagi ulama tersebut dalam satu desa. Kedua, faktor status sosial dan Ketiga, faktor kewibawaan ulama.
28
Al Ghazali mengkategorikan ulama dalam dua macam yaitu ulama dunia dan ulama akhirat, lihat KH. A. Mustofa Bisri, Ulama Itu, dalam Subhan SD, Ulama-ulama Oposan, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, hlm 8 29 Ibid
83
Hal itu juga dipengaruhi oleh keinginan manusia yang sangat besar, karena pada dasarnya manusia diciptakan dengan keinginan yang besar, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Ma’arij ayat 19 yang berbunyi :
Artinya: Sesungguhnya keinginan besar.30
manusia
telah
diciptakan
dengan
Berdasarkan ayat tersebut maka wajar jika terjadi persaingan dan pertentangan antar manusia guna mencapai keinginannya, temasuk ulama.
30
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Diponegoro, 2003, hlm 454