BAB III PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA TAFSIR MENGENAI TERM AL-MUSHRIKA>T
D
alam bab III ini, adalah penjelasan khusus mengenai pernikahan beda agama, yaitu, pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t), atau pernikahan antara wanita muslimah dengan pria musyrik (almushriki>n), terhadap penafsiran teks-teks pernikahan beda agama, yang menjadi pemicu perdebatan di kalangan ulama tafsir. Munculnya perdebatan tersebut, disebabkan karena perbedaan dalam menafsirkan istilah-istilah yang terkandung dalam teks-teks QS.alBaqarah/2:221, QS. al-Ma>idah/5:5, QS. al-Mumtahanah/60:10. Di antara istilah-istilah itu, mengenai, al-mushrika>t, ahl al-kita>b (apakah masuk penganut agama Yahudi dan Nasrani di dalamnya atau tidak), bahkan meluas pemahaman kepada istilah, al-maju>si, al-s}a>bi’ah. Karena itu, untuk memahami lebih luas penafsiran ayat-ayat tersebut, kajian terhadap istilah-istilah tersebut, sangatlah penting, yaitu : Pengertian Al-Mushrika>t ( musyrik ). Kata ” musyrik ” merupakan bentuk ism al-fa>’il ( = ) اسٌ اىفبعو ( kata benda yang menunjukkan pelaku ) yang berasal dari asal kata ashraka-yushriku-ishra>k-mushrik ( إششاك – ٍششك- ) أششك – يششك, dan perbuatan tersebut adalah shirk. Pelaku perbuatan syirk itu disebut musyrik. Secara bahasa, Ibn Manz}ur mengartikan kata shirk sebagai shari>k [ ] ششيل, atau [„ ] ّصيتpersekutuan‟ atau „bagian‟.1 Sementara Ra>ghib al-Asfaha>ni mengartikan mukha>lat}atu shari>kain [ ٍخبىطخ ِ ]اىششينيyakni, pencampuran dua kepemilikan tentang harta atau sesuatu yang diperoleh untuk dua hal atau lebih, baik secara subtansi maupun secara makna. Seperti dalam bagian warisan, atau kongsi dagang atau bersama-sama melakukan tugas tertentu. Karena musyrik merupakan pelaku shirk, maka secara bahasa kata itu berarti orang yang melakukan persekutuan atau perserikatan atau membagi bagian tertentu.2 Sedangkan secara terminologis (istilah), shirk berarti menjadikan sesuatu bersama Allah sebagai tuhan untuk disembah. Dan ” sesuatu ” yang dimaksudkan itu bisa berbentuk benda hidup A.
75
seperti binatang, pohon atau benda mati, seperti patung, bisa dalam bentuk materi, seperti matahari, bangunan, maupun immateri, yaitu ruh, jin, dan sebagainya. Dengan demikian, orang musyrik pada hakikatnya adalah orang yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, apakah dari segi zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Pengingkaran terhadap tiga segi tersebut, konsekwensinya, membawa kepada pengingkaran terhadap kemaha kuasaan Tuhan sebagai pencipta dan pengendali alam semesta, namun orang musyrik itu tidak mengingkari Allah sebagai Tuhan. 3 Mempersekutukan Allah dengan arti, menjadikan tuhantuhan kecil sebagai objek sesembahan bersama Allah, dibedakan kepada tiga pengertian, yaitu shirk rubu>biyyah [ ] ششك سث٘ثيخdan shirk ulu>hiyyah [ ] ششك أىٕ٘يخ, dan shirk ’ubudiyyah [] ششك عج٘ديخ.4 Di dalam tauhid rubu>biyyah, Tuhan adalah pencipta, pemelihara, dan pengendali alam semesta, sedangkan tauhid ulu>hiyyah, melihat Tuhan sebagai dhat yang wajib disembahan dan dipuja, diminta pertolongan, serta sebagai objek kepasrahan diri. Oleh karena itu, shirk rubu>biyyah, berarti pengakuan adanya, kekuatan lain, selain Allah di dalam penciptaan, pemeliharaan, dan pengendalian alam semesta, sedangkan shirk ulu>hiyyah, berarti pengakuan tentang adanya kekuatan dan kekuasaan selain Allah yang wajib disembah, dipuja, dimintai pertolongan, serta sebagai objek kepasrahan diri. Penjelasan itu juga didapati pada penjelasan Yusuf al-Qardawi dalam bukunya Haqi>qatu al-Tauhi>d, bahwa perbuatan syirk sebagai dosa yang sangat besar dibandingkan semua dosa yang diperbuat oleh manusia dan shirk merupakan dosa yang tak terampunai QS. AlNisa/4:48.5 Dalam hal ini, para ulama membagi shirk menjadi dua bagian, yakni shirk akbar (()ششك أمجشsyirk besar) dan shirk asghar ( ششك ()أصغشsyirk kecil), termasuk syirk besar atau syirk terang-terangan bila perbuatan atau keyakinan tentang akan adanya kekuatan dan sembahan selain Allah S.W.T, sedangkan syirk kecil atau syirk tersembunyi umumnya terdapat di dalam ibadah yang dikerjakan tidak karena mengharap ridha Allah SWT, seperti riya‟ dan munafik. Di dalam al-Qur‟an tidak terungkap secara jelas bentuk syirk ini, namun para mufassir, seperti al-Zamakhsyari, al-Baidawi dan alTaba‟taba‟i, mengartikan kata syirk dalam QS. Al-Kahfi/18:110, QS. Yusuf/12:106, dan al-A‟raf/7:190 sebagai syirk kecil dalam bentuk riya‟. 6 Selain itu, beberapa ayat tersebut dalam kaitannya syirk kecil,
76
termasuk dalam QS. Al-Kahfi/18:110, menurut Hamka, bahwa iman dan amal salih suatau hal yang tidak dapat dipisahkan, karena iman adalah kepercayaan di dalam hati, sedangkan amal saleh adalah bekas yang wajar dari keimanan. Maka tidak mungkin iman saja dengan tanpa menghasilkan amal, dan tidak mungkin amal saja, padahal tidak bersumber dari niat yang ikhlas. Dan ikhlas itu tidak akan ada, kalau tidak bersumber dari adanya Iman.7 Di dalam Al-Qur‟an, kata shirk terdapat dalam berbagai bentuk kata jadiannya, terulang sebanyak 168 kali, dengan berbagai derivasinya. Kata shirk terulang sebanyak 4 kali, satu kali dalam konteks shirk QS.Luqma>n/31:14, dan tiga kali dalam konteks menentang terhadap perbuatan shirk QS. Saba>‟/34:22,QS. Fa>thir/35:40, QS. al-Ahqa>f/46:4, sedangkan dalam bentuk jamak terulang sebanyak 49 kali. 8 Beberapa pengertian yang terkandung di dalamnya, secara umum dapat dikembalikan kepada arti kebahasaan. Meskipun demikian, tidak semua kata yang berasal dari kata dasar sha>raka [ ]شبسكmengandung pengertian mensyarikatkan Allah. Meskipun perlu segera dinyatakan, bahwa pengertian itulah, yang lebih banyak digunakan Al-Qur‟an. 9 Dalam kata kerja lampau (Ma>d}i), term shirk dijumpai sebanyak 18 kali, semuanya mengarah kepada perbuatan mensyarikatkan Allah. Perbuatan tersebut termasuk dosa besar, karena yang demikian ini, merupakan pengingkaran terhadap keesaan Allah, baik secara Dhat, Sifat, maupun perbuatan-Nya. Mensyarikatkan Allah akan menyebabkan akan hapusnya amal seseorang, karena meskipun mereka tidak mengingkari keberadaan Allah, tetapi perbuatan tersebut, ternodai kesempurnaan Allah, dengan menjadikan makhluk-Nya, sebagai sekutu bagi-Nya. Hal tersebut diperjelas dengan Firman-Nya, QS. Al-Zumar/39:65. Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang ( nabinabi ) sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Tuhan, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi ( QS. Al10 Zumar/39:65 ).
77
Sedangkan dalam bentuk kata kerja (Mud}a>ri), kata shirk muncul sebanyak 32 kali, semua menunjuk kepada perbuatan mensyarikatkan Allah. Dan Al-Qur‟an menyatakan secara ekplisit bahwa shirk adalah perbuatan dosa besar dan tidak diampuni oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ( QS. Al-Nisa’/4 : 48 ) 11
Ayat di atas, selain menyatakan betapa besarnya dosa shirk, juga secara ekplisit menyatakan, bahwa dosa syirk adalah dosa yang tidak diampuni Allah. Berdasarkan ayat itu, para ulama umumnya, sepakat, bahwa semua dosa besar dapat diampuni kecuali dosa syirik. Hal itu didasarkan pada riwayat mengenai sebab nuzul ayat tersebut. Hal itu, didasari pada riwayat, disebutkan bahwa ketika QS. alZumar/35:53 yang menyatakan, bahwa Allah mengapuni semua dosa, lalu Nabi S.A.W membacakannya di hadapan para sahabat. Salah seorang di antara mereka bertanya : Wahai Rasul, apakah dosa syirik termasuk dosa yang diampuni ? Tetapi Nabi diam saja. Sahabat tersebut, mengulangi pertanyaannya, namun Nabi diam. Hal itu berulang, hingga turunnya Qs. al-Nisa/4:48, yang menegaskan bahwa dosa syirk tidak diampuni Allah. 12 Mereka yang berpendapat dosa syirik tidak dapat diampuni Allah, menganggap firman Allah dalam QS. al-Zumar/39:53 menyatakan semua dosa diampuni oleh Allah, hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin yang berdosa, dan bukan kepada mereka yang musyrik. 13 Ibn Kathir mengemukakan, dosa yang diampuni Allah SWT itu adalah dosa orang Mukmin, bukan orang musyrik.14 Pada sisi lain, al-Zamakhshari sebagaimana al-T}aba>’taba>’i dan umumnya kelompok Mu‟tazilah, mengatakan bahwa semua dosa tanpa terkecuali, termasuk shirk, dapat diampuni oleh Allah SWT, asalkan bertaubat. 15 Bahkan al-Zamakhshari, mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hambal, mengatakan bahwa, dosa syirk dapat diampuni Allah SWT, jika pelakunya bertaubat, sedangkan dosa lainnya, dapat diampuni Allah SWT kendati tanpa taubat.16 Sementara itu, term
78
syirk yang diungkap dengan bentuk ism mas}dar ( infinitif ), sebanyak 5 kali, dua kali di antaranya secara tegas, memberikan makna syirik QS. Luqman/31:13 dan Fa>t}ir/35:14. Sedangkan tiga ayat lainnya, QS. Saba‟/34:22, Fa>t}ir /35:40 dan QS. al-Ahq>af/46:4, hanya menunjukan pengertian keterlibatan dalam suatu pekerjaan. Ketiga ayat yang disebutkan terakhir ini, menegaskan bahwa orang-orang musyrik sama sekali tidak terlibat dalam hal penciptaan langit dan bumi. Pengungkapan term shirk dalam bentuk amr (perintah), ditemukan dua kali, QS. al-Isra/17:64, dan QS. T}aha/20:32. Kedua ayat tersebut, tidak terkait dengan syirk dalam arti mensyarikatkan Allah. Kata sha>rik[]شاركQS.al-Isra‟/17:64, menunjukkan bahwa, Allah memerintahkan kepada iblis dengan segala kemampunnya untuk menyesatkan manusia, termasuk melakukan kerjasama untuk mempengaruhi mereka. Sedangkan kata ashrik [ ]أشركdalam QS. T}aha/20:32 berisi informasi tentang permintaan Nabi Musa as. kepada Allah SWT agar Harun a.s, saudaranya, dijadikan teman dan sekutu dalam menjalankan misis kerasulannya. 17 Sedangkan kata shari>k [ ] شريكdan shuraka> [ ]شركاءyang terulang sebanyak 40 kali, terkadang menunjuk kepada sesuatu yang dijadikan orang-orang musyrik sebagai sekutu Allah QS. alIsra‟/17:111,QS.al-Ra‟d/13:16. Tetapi terkadang pula menunjukan kepada arti berserikat dalam melakukan pekerjaan, seperti QS. AlZumar/39:29. Dalam hal ini, kata shuraka>, berarti orang-orang yang berserikat dalam memiliki seorang budak. Dalam bentuk ism fa>’il, term syirk disebutkan sebanyak 51 kali. Dua kali di antaranya diungkap dalam bentuk mushtarik ( ) مشتركQS. al-S}affa>t/37:33 dan QS. al-Zukhru>f/43: 39. Kedua ayat ini, tidak bermakna syirk, tetapi menunjukkan bahwa orang-orang kafir termasuk orang-orang musyrik, akan merasakan sisksaan api neraka secara bersama-sama. Sedangkan 49 kali diantarnya, diungkap dengan bentuk musyrik, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak, semuanya menunjuk kepada orang-orang musyrik. Pengungkpan term ism fa>il antara lain, menunjuk kepada sikap dan prilaku orang-orang musyrik, khususnya prilaku musyrik Makkah, yang tidak menginginkan umat Islam memperoleh kebaikan QS. al-Baqarah/2:105. Al-Qur‟an memerintahkan umat Islam untuk berpaling dari orang-orang musyrik QS. al-An‟am/6:106, QS. al-Hijr/15:94 perintah untuk melakukan perang terhadap orang-orang musyrik Makkah QS. al-Taubah/9:5 dan 36, larangan mendoakan orang-orang musyrik QS.Al-Ahzab/33:73,
79
Qs. Al-Fa>t}ir/48:6, dan al-Bayyinah/98:6, serta larangan terhadap orang-orang mukmin melakukan hubungan perkawinan dengan orang-orang musyrik QS.al-Baqarah/2:221. Dalam kaitannya dengan Nabi Ibrahim a.s sebagai,“ Bapak monotheisme“ yang dikenal sangat kokoh membersihkan„aqidah tauhid „ dari segala kemusyrikan, baik berupa patung-patung, binatang, bulan, matahari, bahkan juga segala sesuatu selain Allah, Al-Qur‟an memuat pernyataan secara tegas, bahwa beliau bukanlah dari golongan orang-orang musyrik.18 Setelah memahami definisi tentang al-mushrika>t, yang secara garis besar para ulama menyatakan, bahwa hal itu, suatu perbuatan menyarikatkan Allah SWT, sehingga setiap perbuatan yang berindikasi mensyarikatkan Allah adalah syirk dan dosa besar. Pembahasan berikutnya, penjelasan mengenai pernikahan dengan orang musyrik, yang akan dibahas dalam sub bab berikut ini.
B. Menikah Dengan Orang Musyrik ( al-Mushrika>t ). Pernikahan antara umat berbeda agama merupakan satu hal yang pelik, kaitannya dengan hubungan sosial antarumat beragama. Dalam sejarah-sosial pemahaman umat Islam, terutama dalam fiqh, telah banyak perbedaan pendapat yang muncul soal ini, ada yang membolehkan dengan catatan, dan ada yang tidak membolehkan, baik yang laki-laki dari pihak muslim, atau perempuan dari kalangan ahl al-kita>b atau mushrik dan sebaliknya.19 Al-Qur’an secara tegas melarang umat Islam menikahi wanita musyrik (al-mushrikah) dan juga pria musyrik (al-Mushrikin). Pria muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik, demikian wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria musyrik, menurut QS.Al-Baqarah/2:221, disebutkan sebagaimana bunyi teks ayatnya: *
80
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamumenikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya( perintahperintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS.alBaqarah/2:221).20
Ibn Kathi>r dalam kitabnya, menyatakan haram pria muslim menikahi wanita musyrik penyembah berhala, dan dalam ayat ini, tidak mencamtumkan larangan menikahi wanita ahl al-Kita>b, karena Allah telah menghalalkan pernikahan dengan mereka, sebagaimana QS. Al-Ma>idah/5:5.21 Keterangan ayat al-Baqarah di atas, telah jelas menyatakan ketidakbolehan seorang laki-laki muslim menikahi wanita musyrik, sebagaimana juga ketidakbolehan wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Hal itu, dapat juga disebabkan karena dua perbedaan yang mencolok antara dua pemeluk agama tersebut, bahwa orang beriman akan mengajak ke surga, sedangkan orang kafir mengajak ke neraka. Orang beriman percaya kepada Allah SWT, kepada para Nabi dan hari akhir, sedangkan orang musyrik menyekutukan Allah, mengingkari para nabi dan membangkang akan hari akhir. Dan menjadi sebuah pertanyaan, apakah mungkin akan terwujud suatu kedamaian, sebuah pernikahan atas dua sisi yang berbeda keyakinan ? Namun yang menjadi titik permasalahan menurut para ulama adalah wanita musyrik apakah yang dimaksudkan ayat di atas ? Ibn Jari>r al-T}}abari, seorang ahli tafsir terkemuka berpendapat, bahwa perempuan musyrik yang haram dinikahi adalah perempuan musyrik dari bangsa Arab saja. Sebab ketika diturunkan ayat Al-Qur’an, mereka adalah penyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci. 22 Konsekwensi dari pendapat ini, maka para laki-laki muslim dibolehkan menikahi wanita musyrik yang bukan bangsa Arab, dengan demikian, boleh menikahi wanita musyrik Cina, India, Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab sucinya, seperti pemeluk, agama Budha, Hindu, Konghuchu, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup setelah mati. Hal senada dengan al-T}abari juga dianut oleh Rashi>d Rid}a> dan Muhammad Abduh.23
81
Pendapat di atas, segera mendapat bantahan dari kalangan ahli tafsir dan ahli fiqh yang merupakan pendapat Jumhur, yang berpendapat, bahwa, wanita musyrik itu bukan sebatas pada wanita bangsa Arab saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrik non-Arab dimanapun mereka berada, bahkan, Imam Al-Ra>zi, seorang ulama yang menolak bahwa makna, 'musyrik', ditujukkan kepada orang-orang kalangan bangsa Arab, melainkan mereka yang suka memerangi orang-orang muslim. Karenanya, kaum musyrik bukanlah ahl al-dhimmah,24dengan demikian, semua perempuan musyrik baik dari kalangan bangsa Arab maupun non-Arab selain ahl al-kita>b seperti,Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dinikahi. Dan menurut pendapat ini juga, bahwa wanita yang bukan muslimah dan bukan Yahudi atau Kristen tidak boleh dinikahi oleh pria muslim apapun agama dan kepercayaannya, seperti, Budha, Hindu, Konguchu, Majusi/Zaroaster, karena mereka selain pemeluk agama Islam, Kristen dan Yahudi itu, termasuk katagori musyrik (al-mushrika>t). Bahkan lebih dari itu, para ulama memperluas keharamannya bukan hanya tertuju kepada wanita musyrik, tetapi juga kepada wanita atheis yang tidak percaya kepada Allah SWT, tetapi percaya kepada alam semesta ini, sebagai suatu bentuk yang kekal dan abadi.25 Terhadap pernikahan muslim dengan wanita musyrik selanjutnya akan dibahas, menurut perspektif ulama-ulama tafsir kalangan sahabat.
C. Perspektif Penafsiran Ulama Salaf (Periode Sahabat), Abad III H. 26 Diketahui sepuluh besar kalangan sahabat yang telah diakui kemampuannya dalam menafsirkan Al-Qur‟an di abad pertama ini. 27 Di antaranya, Empat di kalangan sahabat, mereka adalah, Khulafa>’ Al-Ra>shidi>n (11-40 H/622-651M), sedangkan enam yang lain, adalah Abdullah bin Abba>s ( w. 68 H/687 M), Abdullah bin Mas’u>d (32 H), Ubay bin Ka‟ab (w. 19 H), Zaid bin Tha>bit, Abu Musa Al-Ash‟ari serta Abdullah bin Zubayr (w. 95 H).28 Selain mereka juga, terdapat beberapa tokoh di kalangan sahabat, yang memang kurang begitu
82
tersohor dalam bidang tafsir, tetapi di bidang lain, enam di antara mereka adalah, Ana>s bin Malik, Abu> Hurairah, Abdullah bin Umar, Ja>bir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin A>sh dan Siti Aisyah.29 Perkembangan penafsiran para sahabat dijadikan rujukan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi‟in, sehingga lahirlah t}abaqa>t almufassiri>n (tingkatan para penafsir Al-Qur‟an). Di Mesir muncul t}abaqa>t yang tafsirnya merujuk pada tafsir Abdullah bin Abba>s, di Madinah muncul tabaqat lain, seperti Zaid bin Tha>bit, Abdur Rahman bin Aslam, dan Imam Ma>lik bin Ana>s.30 Di Kufah muncul t}abaqa>t yang bersumber dari Ibn Mas’u>d. 31 Memahami persoalan ini, beberapa penafsiran ulama (periode sahabat), menjadi rujukan utama, dengan melihat pemahaman, metodologi, serta alasan-alasan mereka dalam menafsirkan term almushrika>t, terkait kasus pernikahan beda agama, mengenai pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik. Beberapa penelitian secara komprehenshif, dapat ditelusuri dengan mengkaji, meneliti, melalui penafsiran para sahabat, mereka adalah : 1. Abdullah Bin Abba>s ( w. 68 H/ 687 M ). Abdullah bin Abbas adalah putra paman Rasulullah SAW, yang merupakan saudara sepupu Nabi. 32 Di usia yang relatif muda, Ibn Abba>s telah memperoleh kedudukan yang istimewa di kalangan pembesar para sahabat, mengingat luasnya ilmu dan ketajaman pemahamannya. Hal itu, sebuah realisasi atas do‟a Rasulullah terhadapnya yang berbunyi, ” Allahumma Faqqihu Fi> Al-Ddi>n Wa ’Alimhu al-Ta’wi>l ”, (Ya,Allah berilah pemahaman agama kepadanya dan ajarilah dia ta‟wil).33 Estafet keilmuan Ibn Abbas dalam bidang tafsir, dilanjutkan oleh murid-muridnya dari kalangan tabi‟in, di antara mereka adalah, Sa‟id bin Jubayr (w. 95 H),34 dan Muja>hid bin Jabr (w. 104 H),35 D}ahak (102 H ),36 Ikrimah Maula> Ibn Abba>s (w. 107 H),37 T}a>wus ibn K>aisa>n al-Yama>ny (w. 106 H), 38 Atha>‟ bin Abi> Rabba>h (w. 114 H) 39, mereka murid Ibn Abba>s di Makkah.40 Ibn Abba>s kurang terlihat cakap dalam kancah politik, namun kemasyhurannya, dikarenakan pengetahuan agamanya yang luas, terutama dalam tafsir al-Qur‟an, oleh karena itu dalam sejarah dimasukkannya dalam jajaran tokoh-tokoh para ulama. 41 Pandangan Ibn Abba>s dalam konteks pernikahan beda agama, terkait penafsiran QS.al-Baqarah/2:221 ini, menyatakan, bahwa Ia membolehkan pernikahan muslim dengan al-mushrika>t, dengan alasan, mereka
83
sebagai ahl al-Kita>b,42 yang dikecualikan (istisna>’a>t) ayat al-Baqarah di atas, dengan al-Ma>idah ayat 5.43 Pendapat Ibn Abbas tersebut, dikutip oleh al-Suyut}i dalam tafsirnya, melalui Ibn Jarir, Ibn Munzir, Ibn Abi Hatim, serta al-Nuhas (dalam kitab Na>sikh-nya), dan AlBaihaqi (dalam Sunan-nya), yang menyatakan bahwa, Ia melarang pria muslim menikahi wanita musyrik, kemudian Allah SWT kecualikan bagi wanita ahl al-Kita>b.
و النحاس فى ] ناسخه [ و, وابن أبى حاتم, وابن المنذر,وأخرج ابن جرير ت َح َّتى ِ ] َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا: البيهقى فى ] سننه [ عن ابن عباس فى قوله ُ ص َن ات َ ْ ] َو ْالمُح: فقال, استث نى هللا من ذالك نساء أهل الكتاب: ي ُْؤمِنَّ [ قال [ 5 : اب مِن َق ْبلِ ُك ْم [] المائدة َ ِين أُو ُتوا ْال ِك َت َ م َِن الَّذ Disampaikan oleh Ibn Jarir, dan Ibn Munzir, dan Ibn Abi Hatim, dan al-Nuhas (dalam Na>sikh-nya ), dan Baihaqi (dalam kitab sunnan-nya), dari Ibn Abba>s, dalam Firman Allah (Janganlah kamu sekalian menikahi wanita musyrik hingga ia beriman), berkata Ibn Abbas : Allah SWT mengecualikan darinya wanita ahl alKita>b, dengan firman-Nya (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu) 44 (QS. Al-Maidah/5:5)
Ibn Kathi>r membenarkan pendapat Ibn Abba>s r.a., terhadap larangan pria muslim menikahi wanita musyrik, baik al-mushrika>t, wanita kita>biyah (ahl al-Kitab) maupun wathaniyah (penyembah berhala), akan tetapi wanita ahl al-kita>b di-tah}s}i>s} (boleh dinikahi). Sebagaimana dalam tafsirnya, Ia menyatakan :
هذا تحريم من هللا عز وج ّل على المؤمنين أن يتزوّ جوا المشركات من عبدة وأ ّنه يدخل فيها ك ّل مشركة ٍ من كتابية, ثم ّ إنّ كان عمومها مرادا, األوثان ُ ص َن ِين َ ات م َِن الَّذ َ ْ] َو ْالمُح: فقد خصّ من ذالك نساء أهل الكتاب بقوله, ٍ ووثنية [ِين َ ِين َغي َْر م َُسافِح َ ُورهُنَّ مُحْ صِ ن َ اب مِن َق ْبلِ ُك ْم إِ َذا َءا َت ْي ُتمُوهُنَّ أُج َ أُو ُتوا ْال ِك َت Hal ini merupakan pengharaman dari Allah S.W.T atas kaum mukminin untuk menikahi wanita musyrik dari penyembah berhala, lalu jika hal itu, merupakan keterangan secara umum, bahwa masuk di dalamnya pengertian setiap wanita musyrik, baik ahl al-Kita>b maupun penyembah berhala, maka telah di-takh}s}is} ketentuan itu, wanita ahl al-Kita>b dengan firman-Nya, [Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka 45 dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina](al-Ma>idah/5:5).
84
Berdasarkan ungkapan di atas menurut Ibn Kathi>r, bahwa larangan menikahi al-mushrika>t dipahami, tidak lagi berlaku bagi wanita ahl al-Kita>b, dengan alasan, telah di-takhs}i>s}. 46 Keterangan lain, Ali bin Abi T}alhah menyatakan, maksud Ibn Abbas r.a, terhadap ayat (Wala> Tankihu> al-Mushrika>t Hatta> Yu’minna), sebagai bentuk pengecualian untuk wanita ahl al-Kita>b, yang boleh dinikahi. Pendapat tersebut, didukung oleh sejumlah ulama kalangan sahabat, seperti, Muja>hid, Ikrimah, Said bin Jubai>r, Makhu>l, alHasan, D}aha>q, Zaid bin Aslam serta al-Rabi’ bin Anas.47 2. Abdulla>h bin Mas’u>d (w. 32 H). Di antara sahabat-sahabat Nabi yang terkenal setelah Ibn Abbas di bidang tafsir Al-Qur’an adalah Abdullah bin Mas’ud.48 Ia adalah sahabat Rasulullah SAW yang termasuk dalam golongan yang pertama masuk Islam (Al-Sa>biqu>na al-Awwalu>n ), kemudian ia lebih dikenal dengan panggilan Ibn Mas’ud, meskipun ada yang memanggilnya dengan sebutan Ibn Ummu Abd yang berarti ’ putra dari budak wanita’. Kendati demikian, ia termasuk sahabat yang paling memahami Kita>bullah (Al-Qur’an), maka darinya dapat diketahui yang muhka>m, yang mutasha>bih, yang halal dan haram, kisah-kisah dan amtha>l ( perumpamaan ). Setelah Ibn Mas’ud masuk Islam, ia slalu setia mengikuti Nabi, bahkan dikabarkan ia menjadi pembantu khusus beliau, termasuk dalam urusan rumah tangga. 49 Dalam konteks pernikahan beda agama, tidak terdapat keterangan yang menyatakan, bahwa Ibn Mas’ud berbeda pandangan sahabat pendahulunya atau sahabat yang lain, maka dalam kasus pernikahan beda agama, telah jelas, mayoritas para ulama mulai dari kalangan sahabat, tabi’in bahkan ulama pada masa awwal Islam hingga kontemporer, membolehkan status pernikahan muslim dengan wanita musyrik, dengan alasan ia adalah wanita ahl al-Kita>b, berdasarkan firman Allah SWT QS. al-Ma>idah/5:5.50 3. Ali Bin Abi> T}a>lib r.a(w. 40 H/660 M). Pandangan Ali51 tentang nikah beda agama, lebih kepada pendekatan naskh, yaitu terkait kaidah na>sikh dan mansu>kh, menurutnya, sangat tepat, karena Ia sorang yang sangat memperhatikan akan pentingnya, na>sikh dan mansu>kh bagi para penafsir al-Qur‟an. Bahkan Ia menegaskan, bahwa bila seseorang yang tidak memahami ilmu naskh, maka ia menyatakan, ia adalah
85
telah celaka dan sesat. Sebagaimana sebuah athar Ali bin Abi T}alib mengungkapkan hal itu terhadap seorang Hakim. Sebagaimana ditulis oleh Al-Zarkasyi (w.794 H) dalam kitabnya, al-Burha>n dan juga alSuyu>t}i (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m al-Qur'an.
, وال يجوز ألح ٍد أن يف ّسر كتاب هللا إالّ بعد أن يعرف منه الناسخ والمنسوخ هللا: أتعرف الناسخ والمنسوخ ؟ قال: لقاض وقد قال علىّ بن أبى طالب ٍ ْ َ . وهلكت هلكت : قال, أعلم ” Tidak diperkenankan seseorang untuk menafsirkan Al-Qur‟an, kecuali ia mengetahui na>sikh dan mansu>kh. Lalu Ali bin Abi T>}alib berkata kepada seorang Hakim, ” Apakah anda mengetahui yang na>sikh dari yang mansu>kh ? Hakim menjawab : Tidak, jawab seorang hakim itu. Lalu Ali berkata : Celakalah anda dan mencelakai orang lain ”. 52
Memahami na>sikh dan mansu>kh yang merupakan sebagai dasar memahami tafsir Al-Qur‟an, selain merupakan salah satu cara mengetahui yang halal dan yang haram hingga tidak bercampur-aduk antara keduanya, penafsiran teks-teks pernikahan beda agama QS. alBaqarah/2:221 dan al-Maidah/5:5, sebagaimana yang dikutip oleh alSuyuti, bahwa ayat Al-Baqarah di-nasakh dengan ayat Al-Maidah. Atas pemahaman itu, Ali bin Abi T}a>lib jelas apa yang dimaksudkan kedua ayat tersebut, bahkan dalam persoalan pernikahan dengan non muslim, terhadap larangan pria muslim menikahi wanita musyrik ( almushrika>t). Karena ia mengetahui status ayat al-Baqarah di atas, telah di-nasakh dengan Al-Maidah, sehingga menyetujui para sahabat yang lain, membolehkan pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl-Kita>b. 53
4. Abdullah Bin Umar r.a ( w. 72 H ) Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah kedua, yaitu Umar bin al-Khattab r.a.54 Ia adalah di antara sekian orang yang bernama Abdullah yang terkenal sebagai kelompok pemberi fatwa, mereka adalah ; Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah bin Zubair serta Abdullah bin Umar .55 Dalam penafsirannya, Abdullah bin Umar, terhadap teks-teks pernikahan beda agama, QS. Al-Baqarah/2:221, sekilas tampak, tidak menyetujui adanya pernikahan seorang muslim dengan wanita
86
musyrik (al-mushrika>t). Sebagaimana dikutip dalam beberapa riwayat darinya. Ibn Abi> Shaibah dan Ibn Abi Ha>tim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar.
أنه كره نكاح نساء أهل, عن ابن عمر, وابن أبى هاتم, أخرج ابن أبى شيبة .) َّت َح َّتى ي ُْؤمِن ِ ( َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا: تأول ّ وي, الكتاب Dikeluarkan dari Ibn Abi Syaibah dan Ibn Hatim, dari Ibn Umar, bahwasanya, Ia mencela pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahl al-Kitab. Kemudian ia menafsirkan ayat, (Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita 56 musyrik, sebelum mereka beriman).
Riwayat di atas, menyatakan bahwa, Abdullah bin Umar tanpak tidak menyetujui adanya pernikahan beda agama, bahkan ia mencela pernikahan semacam ini. Hal itu bisa pahami, karena Ibn Umar r.a, memandang, bahwa ahl al-kitab adalah musyrik menurut QS. Al-Baqarah/2:221, dan oleh karenanya, Ia mengharamkan pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl al-Kita>b dengan alasan kemusyrikan, sebagaimana menurut ayat al-Baqarah di atas. Tentu pendapat ini, beseberangan dengan pendapat para sahabat umumnya, yang secara historis mereka telah sepakat membolehkan pernikahan semacam ini, seperti yang telah dilakukan para sahabat, Usman bin Affan menikahi Nailah binti Fara>fisah yang merupakan seorang wanita dari agama Nasrani, kemudian ia masuk Islam dan Hudhaifah menikahi perempuan bangsa Yahudi. Pernikahan semacam ini juga, dilakukan di kalangan sahabat lain, seperti, Ibn Abba>s, T}alhah, Ja>bir dan lainnya. Bahkan di kalangan para tabi‟in, seperti, Sayyid bin Musayyab, Muja>hid, Said bin Jubair, al-Ra>bi’ bin Ana>s, Ikri>mah, al-Sha‟bi, D}ahak, serta beberapa kalangan ulama fiqh.57 Pendapat Ibn Umar bukan tanpa alasan. Dasar pelarangannya itu, bersumber dari beberapa riwayat, yang disampaikan oleh Imam al-Bukha>ri dan juga Al-Nuha>s, yang keduanya bersumber dari Na>fi’ :
انّ عبد هللا بن عمر, والنحاس فى ( ناسخه ) عن نافع, وأخرج البخارى حرّ م هللا: قال. كان إذا سئل عن نكاح الرجل النصرانية أو اليهودية وال أعرف شيئا من اإلشراك أعظم من أن تقول, المشركات على المؤمنين . ربها عيسى أو عبد من عباد هللا: المرأة
87
Dari Al-Bukhari dan Al-Nuhas dalam kitab (Na>sikh Wa al-Mansu>kh), dari Na>fi’, bahwasanya Abdullah bin Umar, setiap kali ditanya tentang pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi. Ia berkata : Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi pria-pria muslim, dan aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari perkataan seorang wanita yang berkata, bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba 58 Allah.
Ibn Umar r.a dikenal sahabat yang sangat cerdas dan teliti, memahami apa yang dengarnya dari Rasulullah SAW, selain, mengetahui kemana Rasullulah pergi, sehingga pengetahuannya segala ucapan dan perbuatan Rasul. Sebagaimana dalam kasus pernikahan yang disebutkan athar di atas, larangan pernikahan seorang muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t), yang secara luas, menurut pandangannya, tentang ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani) adalah musyrik. Abdullah bin Umar r.a mengatakan, bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang wanita yang berkata, ‚Bahwa Tuhannya, adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah ‚. Dan atas, dasar inilah, Ibn Umar berbeda pandangan dengan para sahabat umumnya. Pendapat di atas diperkuat dengan riwayat lain, yang atas ketidaksetujuan Ibn Umar terhadap pernikahan semacam ini, dengan memprioritaskan nilai agama di atas segala hal, baik harta, tahta maupun kecantikan wanita. Diriwayatkan dari Sa’id bin Mansur, bahwa Abdun bin Humaid (dalam musnad-nya) dan Ibn Majah serta Imam al-Baihaqiy (dalam Sunan-nya), dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah bersabda :
, وعبد بن حميد فى ( مسنده ) وابن ماجة, وأخرج سعيد بن منصور )) عن النبى صلى هللا عليه وسلّم,والبيهقى فى ( سننه ) عن عبد هللا بن عمرو ّ وال تنكحوهن, ّ فعسى حسنهنّ أن ترديهن, ّ ال تنكحوا النساء لحسنهن: قال فألمة, وانكحوهنّ على الدين, ّعلى أموالهنّ فعسى أموالهنّ أن تطغيهن ((. سوداء خرماء ذات دين أفضل Disampaikan dari Said Ibn Mansu>r dan Abdullah bin Humai>d (dalam
musnad-nya ) dan Ibn Ma>jah dan al-Baihaqi ( dalam Sunan-nya ) dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa Rasulullah S.A.W bersabda : ‛ Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, karena barangkali kecantikan itu akan menjerumuskan, dan jangan kamu menikahi mereka karena hartanya, karena barangkali harta benda membuat kamu melampaui batas, tetapi nikahilah karena agamannya,
88
sesungguhnya budak wanita yang hitam, walaupun tidak cantik tetapi beragama, 59 itu lebih utama ‛.
Disebutkan dalam kitabnya S}ahi>hain, al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu> Hurairah r.a, bahwa Rasulullah S.A.W bersabda :
رْنح اىَشأح: هللا عيئ ٗسيٌ قبهٚ صيٚ هللا عْٔ عِ اىْجٚ ٕشيشح سضٚعِ أث . فبظفش ثزاد اىذيِ رشثذ يذاك, ىَبىٖب ٗىحسجٖب ٗىجَبىٖب ٗىذيْٖب: ألسثع Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi SAW bersabda : ‛ Nikahilah wanita itu karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan 60 beruntung ‛ (HR. al-Bukha>ri-Muslim) .
Disebutkan pula oleh Imam Muslim, dari Ja>bir ra. Hal yang semisal, Imam Muslim meriwayatkan yang bersumber dari Ibn Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة ‛ Dunia adalah keindahan, dan sebaik-baik keindahan dunia adalah istri 61 yang shalehah ‛. ( HR. Muslim ).
Beberapa alasan, yang menjadi dasar pelarangan pernikahan pria muslim menikahi wanita musyrik itu, atau sumber riwayatriwayat yang menjadi alasan Ibn Umar adalah berpangkal kepada satu Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah/2:221[ ت َح َّتى ِ والَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا َّ []ي ُْؤمِنJanganlah kamu menikahi wanita musyrik, sehingga mereka beriman], maka kedudukan ayat al-Baqarah itu adalah sama dengan larangan menurut QS. Al-Mumtahanah/60:10 ( الَهُنَّ حِل لَّ ُه ْم َوالَ ُه ْم َّون لَهُن َ () َيحِلmereka wanita-wanita yang beriman tidak halal bagi orang-orang kafir, dan orang-orang kafir tidak halal pula bagi mereka”. 62 Berdasarkan keterangan-keterangan pendapat di atas, disimpulkan bahwa pendapat para sahabat di atas, baik Ibn Abba>s r.a, Ali bin Abi T}a>lib r.a maupun Abdullah bin Umar, dapatlah digarisbawahi, Ibn Abba>s r.a, dan juga Ibn Mas'ud r.a membolehkan pria muslim menikahi wanita musyrik, dengan alasan, kriteria almushrika>t tidak berlaku bagi wanita ahl al-kita>b, atau karena alasan lain, bahwa ayat al-Baqarah 221 telah di-takhs}is} dengan al-Maidah
89
ayat 5. Ali r.a, sependapat dengan Ibn Abba>s r.a walaupun yang menjadi alasan berbeda, yaitu melalui pendekatan naskh, bahwa ayat Al-Baqarah/2:221 telah di-nasakh dengan ayat Al-Maidah/5:5, menurut Ali r.a, boleh menikahi wanita ahl al-Kita>b, berbeda dengan Abdullah bin Umar. r.a, dengan para sahabat yang lain yang melarang pernikahan dengan wanita musyrik, dengan alasan yang bersifat umum, bahwa ahl al-kita>b (Yahudi-Nasrani), atau penyembah berhala adalah musyrik. Oleh karena itu, melarang untuk menikahi wanita ahl al-kita>b, karena alasan kemusyrikan, atau karena alasan perbuatan mereka adalah syirk terbesar ( shirk akbar ). Sub bab berikutnya, menjelasakan tentang pandangan para ulama, terhadap pernikahan muslim dengan wanita musyrik perspektif ulama-ulama salaf periode klasik. D.
Perspektif Penafsiran Ulama Salaf (Periode Klasik) : 6501250 M/Abad IV-VI /X M Sejalan dengan perkembangan Islam, banyak terjadi perubahan-perubahan di berbagai aspek, misalnya aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Hal itu karena para ulama telah berkontribusi dan andil besar terhadap perkembangan keilmuan Islam, seperti, ilmu-ilmu keagamaan, tafsir, hadits, fiqh, dan sebagainya. Kemudian setelah berakhirnya masa Khulafa> alRa>shidi>n, estafet keilmuan mereka, dilanjutkan oleh para sahabat dan tabi‟in dan para pengikutnya. Maka sejak saat itulah, perkembangan keilmuan, menjadi pesat, bahkan dipertengahan abad II H ini, muncul para ulama, seperti, Ismail Suddi (w. 128 H), al-Dhahah bin Muzhahim (w.105 H), al-Kalbi (w.146 H), Muqa>til bin Hayya>n (w.150 H), dan Muqatil bin Sulaima>n (w.150 H), walapun kitab-kitab tafsir mereka tidak sampai kepada umat, melainkan hanya sebagian dari beberapa kitab tafsir mereka, yang terkenal, di antaranya, seperti, tafsir Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n, karya al-Imam al-T}abari (w. 310 H), yang merupakan cerminan karya para ulama tafsir terdahulu, cerminan kelompok ulama, dengan metode tafsir alQur‟an, dengan bentuk, tiga jenis (corak) tafsir, yaitu, tafsir bi alma’thu>r, tafsir bi al-ra’yi dan tafsir al-isha>ri. 63 Dan beberapa ahli tafsir yang muncul di abad 4 H ini, di antaranya, adalah: 1. Ibn Jari>r Al-T}abari> ( w. 310 H / 925 M ), dalam Tafsirnya, Tafsi>r al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n.
90
Ibn Jari>r al-T>}abari> [lanjutnya al-T}abari>] 64 dalam tafsirnya, menafsirkan teks QS. al-Baqarah/2:221, dengan merinci beberapa perbedaan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan teks pernikahan beda agama itu, yang bersumber kepada Rasulullah, sahabat, serta tabi‟in. 65 Dalam beberapa persoalan yang ditafsirkannya, terdapat pertanyaan-pertanyaan yang mendasar terkait ayat al-Baqarah di atas, apakah ayat itu ditujukkan untuk semua jenis kemusyrikan atau untuk kriteria yang memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur kemusyrikan saja, atau diturunkan khusus sebagai penghapus (na>sikh) terhadap hukum yang telah ditetapkan ? Dalam tafsirnya, Al-T}abari menyebutkan tiga kelompok, penafsiran ayat QS. alBaqarah/2:221,[ َّت َح َّتى ي ُْؤمِن ِ ] َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا. Di antaranya, 66 mereka adalah, kelompok pertama, yang menyatakan, bahwa ayat ini diturunkan, sebagai bentuk pengharaman terhadap pernikahan seorang muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t) yang tidak terbatas untuk jenis kemusyrikan, baik penyembah berhala[‟abdatul wathan], agama Yahudi, Nasrani, maju>si serta sebagian mereka yang memiliki unsur-unsur kemusyrikan, yang kemudian turun ayat sebagai penghapus (nasakh) perintah pengharaman itu, terhadap wanita ahl al-Kita>b, dengan Firman Allah S.W.T :
ُ َيَ ْسئَيَُّ٘لَ ٍَب َرآأ ُ ِح َّو ىَُٖ ٌْ قُوْ أ ُ ِح َّو ىَ ُن ٌُ اىطَّيِّج َُّبة ِحو َ َٗطَ َعب ًُ اى َّ ِزيَِ أُٗرُ٘ا ْاى ِنز..... بد ُ ْص ُ ْص َبد ٍَِِ اىَّ ِزيَِ أُٗرُ٘ا َ ْد َٗ ْاى َُح َ ْىَّ ُن ٌْ َٗطَ َعب ٍُ ُن ٌْ ِحوُّ ىَُّٖ ٌْ َٗ ْاى َُح ِ َبد ٍَِِ ْاى َُ ْؤ ٍَِْب ٌْ َبة ٍِِ قَ ْجيِ ُن َ ْاى ِنز Mereka menanyakan kepadamu," Apakah yang dihalalkan bagi mereka". Katakanlah : " Dihalalkan bagimu yang baik-baik (makanan)(sembelihan) orangorang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di 67 antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.( QS.Al-Maidah/5:4-5).
Kemudian Al-T}abari> menyebutkan beberapa pendapat sahabat yang lain, yang mengharamkan untuk semua jenis kemusyrikan itu, menurut kelompok pertama ini, adalah, (1). Pendapat Ibn Abba>s, yang sumber dari Ali Bin Abi T}alhah, dari Muawiyah bin Sa>leh, dari Abdullah bin S}aleh, yang disampaikan dari Ali bin Abu Daud tentang larangan menikahi wanita-wanita musyrik terhadap yang di-nasakh atau dikecualikan.
91
, ٍعبٗيخ ثِ صبىحْٚ قبه ث, عجذ هللا ثِ صبىحْٚ ث: قبه, ثِ داٗدٚعي ّ ْٚحذث ْ [ َِّ ٍِ ي ُْؤَّٚد َحز ّ ِع ِ ] َٗالَ رَ ْْ ِنحُ٘ا اى َُ ْش ِش َمب: ُٔ ثِ طيحخ عِ اثِ عجبس ق٘ىٚعي ُ ْ ْ ُ ْص ٌَبة [ حوٌّ ىن َ َبد ٍَِِ اىَّ ِزيَِ أٗرُ٘ا اى ِنز َ ْ] َٗاى َُح: ّسبء َإٔو اىنزبةْٚثٌ اسزث . [ َُِّ ُٕ٘س َ ]إِ َرا َءارَ ْيزُ َُٕ٘ َُِّ أُج Telah menceritakan kepada saya Ali bin Da>ud, Ia berkata:telah menceritakan kepada saya Abdullah bin S}a>leh, ia berkata lagi, telah menceritakan kepada saya Muawiyah bin S}aleh dari Ali bin Abi T}alhah dari Ibn Abba>s, seraya berkata : (Janganlah kalian menikahi wanita musyrik hingga mereka beriman), kemudian dikecualikan (istathna ) bagi wanita ahl al-Kita>b dengan firman Allah S.W.T (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab) : maka halal bagi mereka, (bila kamu 68 telah membayar maskawin mereka ).
Yang ke (2). Pendapat Ikrimah dan Hasan Basri yang bersumber, dari Yazi>d al-Nahwi, dari Husein bin Wa>qid, dari Yahya bin Wa>d}ih, yang bersumber dari Muhammad bin Humaid, keduanya mengatakan tentang larangan menikahi wanita al-mushrika>t itu, setelah di-nasakh dengan halalnya menikahi ahl al-kita>b (Ikrimah dan Hasan Basri keduanya murid Ibn Abba>s).
عن, ٍ عن الحسين بن واقد, ثنا يحيى بن واضح: وقال,ٍحدثنا محمد بن حميد ت ِ ] َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا: قاال, عن عكرمة والحسن البصرى, يزيد َ النحوى . أحلهن َّ للمسلمين, فنسخ من ذالك نساء أهل الكتاب:[ ََّح َّتى ي ُْؤمِن Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Humaid, berkata : telah menceritakan kepada kami Yahya bin Wa>d}ih dari Hasan bin Wa>qid dari Yazi>d alNahwi, dari Ikrimah dan Hasan Basri, seraya keduanya menyatakan (Janganlah kalian menikahi wanita musyrik hingga mereka beriman), maka di-nasakh ketentuan itu wanita ahl al-Kitab, dan dihalalkan mereka untuk orang-orang 69 muslim.
Dan yang ke (3), Pendapat Muja>hid, yang disampaikan Ibn Abu> Naji>h, dari Isa, dari Abu A>s}im, yang bersumber dari Muhammad bin ‟Amr dengan alasan naskh untuk wanita ahl al-kita>b.
عن ابن أبى, عن عيسى, حدثنا أبو عاصم: وقال,حدثنى محمد بن َعمرو : ت َح َّتى ي ُْؤمِنَّ [ قال ِ ] َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا: نجيح ٍ عن مُجاهد ٍ فى قول هللا ثم أح ّل منهنّ نساء َ أهل الكتاب, نساء أهل مكة َ ومن سواهنّ من المشركين .
92
Telah menceritakan kepada saya Muhammad bin ’Ammar, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu ’A>s}im dari Isa>, dari Abn Abi Na>jih dari Muja>hid dalam Firman Allah SWT : (Janganlah kalian menikahi wanita musyrik hingga mereka beriman), berkata Muja>hid : wanita itu adalah ahl Makkah (penduduk
Makkah ), dan selain mereka yang memilki unsur kemusyrikan, lalu dihalalkan 70 (di-nasakh) bagi mereka wanita ahl al-Kita>b.
Dan ke (4). Pendapat Al-Ra>bi, dari Ayahnya, yang disampaikan dari Ibn Abi> Ja‟far, dengan sumber ‟Amma>r, tentang larangan menikahi wanita musyrik, yang kemudian dikecualikan untuk wanita ahl al-kita>b.
ُ ح َ َٗ ] : ٔ عِ اىشثيع ق٘ى, ٔعِ أثي, جعفشٚ ثْب اثِ أث: ُذثذ عِ ع َّبس قبه ال ٚ حشّ ً هللا اىَششمبد ف: ق٘ىٔ ] ىَ َعيَُّٖ ٌْ َيزَ َز َّمشَُُٗ [ قبهٚد [ اى ِ رَ ْْ ِنحُ٘ا ْاى َُ ْش ِش َمب : فقبه, ّسبء َ إٔو اىنزبةْٚ س٘سح ] اىَبئذح [ فبسزثٚ ثٌ أّزه ف, ٕزٓ األيخ ُ ْص ُ ْص َبة ٍِِ قَ ْج ِي ُن ٌْ إِ َرا َ َبد ٍَِِ اىَّ ِزيَِ أُٗرُ٘ا ْاى ِنز َ ْد َٗ ْاى َُح َ ْ] َٗ ْاى َُح ِ َبد ٍَِِ ْاى َُ ْؤ ٍَِْب ُ [ َُِّ ُٕ٘س َ َءارَ ْيزُ َُٕ٘ َُِّ أج Bercerita kepadaku ’Amma>r, ia berkata: bercerita kepada kami Abu Ja’far, dari bapaknya, dari al-Rabi’, tentang firman Allah S.W.T (Janganlah kalian menikahi wanita musyrik) sampai akhir ayat (La 'alahum Yatadhakkaru>n)(supaya mereka mengambil pelajaran), berkata:Allah telah mengharamkan al-musyrika>t dalam ayat ini, kemudian Allah menurunkan surat al-Maidah/5:5, maka dikecualikan wanita ahl al-kita>b dengan firmanNya (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin ).71
Selanjutnya al-T}abari, menyebutkan, kelompok kedua : Yang berpendapat, bahwa ayat al-Baqarah/2:221, diturunkan ditujukan kepada orang-orang musyrik bangsa Arab saja, dan tidak me-nasakh suatu ayatpun, dan tidak pula sebagai pengecualian(istisna>‟), melainkan diturunkan secara umum, kemudian dita‟wilkan secara khusus. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan sahabat, di antaranya, (1). Qata>dah, yang disampaikan dari Said bin Zubayr, berasal dari Yazid> bin Zurai‟, yang diceritakan Basyar bin Mua>z.
عن قتادة, ثنا سعيد: قال, ثنا يزيد بن زريع: قال, حدثنا بشر بن معاذ ت َح َّتى ي ُْؤمِنَّ [ يعنى مشركات العرب الالتى ِ ] َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا: قوله ليس لهنّ كتاب يقرأنه
93
” Bercerita kepada kami Basyar bin Muaz, berkata : bercerita kepada kami Yazid bin Zura‟i, bercerita kepada kami, Said bin Jubayr dari Qata>dah, berkenaan Firman Allah S.W.T, [Janganlah kalian menikahi wanita musyrik hingga mereka beriman ], yakni, orang-orang musyrik Arab yang mereka tidak memiliki kitab suci 72 yang dibaca. Masih menurut pendapat Qata>dah dari jalur yang lain, yang disampaikan oleh Ma‟mar, berasal dari Abdul Raza>q, bersumber dari Hasan bin Yahya, mengungkapkan hal yang sama, akan tetapi lebih umum, bahwa yang diharamkan adalah wanita musyrik yang bukan ahl al-Kita>b yang boleh dinikahi.
أخبرنا معمر عن: قال, أخبرنا عبد الرزاق: حدثنا الحسن بن يحيى قال المشركات من ليس: ت َح َّتى ي ُْؤمِنَّ [ قال ِ ] َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا: قتادة قوله . وقد تزوّ ج حذيفة يهودية أو نصرانية, من أهل الكتاب Bercerita kepada kami Hasan bin Yahya, berkata : menyampaikan kepada kami Abdul Raza>q, berkata, menyampaikan kepada kami, Ma‟mar dari Qata>dah [dan janganlah kalian menikahi wanita musyrik, hingga mereka beriman], ia mengatakan lagi : adalah orang-orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab, dan telah menikah Hudhaifah dengan wanita Yahudi atau Nasrani.73
Ke (2). Pendapat Sa'i>d bin Zubayr (w. 95 H),74 yang disampaikan Hamma>d, yang berasal dari Sufyan, yang disampaikan Wa>qi’, bersumber dari Abu> Kuraib, bahwa wanita musyrik (almushrika>t) yang tidak boleh dinikahi adalah wanita musyrik penyembah berhala.
عن سعيد بن جبير, عن حمّاد, عن سفيان, ثنا وكيع: حدثنا أبو كريب قال . مشركات أهل األوثان: ت َح َّتى ي ُْؤمِنَّ [ قال ِ ] َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا: قوله Bercerita kepada kami Abu Kuraib, berkata: bercerita kepada kami Waqi‟, dari Sufyan dari Hammad, yang bersumber dari Said bin Zubayr, terhadap firman Allah [dan janganlah kalian mengawini wanita musyrik, hingga mereka beriman], 75 ia berkata : adalah wanita musyrik penyembah berhala.
Sedangkan kelompok ketiga : Menyatakan haram untuk semua jenis kemusyrikan dengan berbagai bentuknya, dan tidak dikhususkan, baik penyembah berhala, maju>si, ahl al-Kita>b dan tidak
94
pula me-nasakh suatu ayatpun. Hal itu, dikemukakan oleh (1). Shahar bin Haushab yang disamapaikan oleh Abdu Humaid bin Bahram alFaza>ri, yang diceritakan bapaknya, dari Ubaid bin A>dam bin Abi Iya>s al-Asqala>ni:
حدثنا عبد الحميد بن, حدثنا أبى, حدثنا عبيد بن أدم بن إياس العسقالنى سمعت عبد هللا بن عباس: حدثنا شهر بن حوشب قال: قال, بهرام الفزارى عن أصناف النساء إال ما كان, نهى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: يقول ] : قال تعالى. وحرّ م كل ذات دين غير اإلسالم,من المؤمنات والمهاجرات , وقد نكح طلحة بن عبيد هللا يهودية,[ ومن يكفر باإليمان فقد حبط عمله فغضب عمر بن الخطاب غضبا شديدا حتى, ونكح حذيفة بن اليمان نصرانية : فقال, نحن نطلق يا أمير المؤمنين وال تغضب: فقاال, ه ّم أن يسطو عليهما . لك ّنى أنتزعهن منكم صغرة قماء, ّلئن حل طالقهن لقد ح ّل نكاحهن Bercerita kepada kami Ubaid bin A>dam bin Abi> Iya>s al-Asqala>ni, berkata ia, menceritakan kepada kami bapakku, berkata : menceritakan kepada kami Abdu Humaid bin Bahram al-Fazari, berkata ia : menyampaikan kepada kami Shahar bi Haushab, berkata : aku telah mendengar Abdullah bin Abbas berkata : Rasulullah melarang semua kriteria wanita, kecuali wanita-wanita beriman dari kalangan Muhajirin dan mengharamkan pula mengawini wanita selain yang beragama Islam. Allah SWT berfirman : ‚ Siapa yang kufur setelah beriman, maka telah hapuslah amalnya ‚. Dan T}alhah bin Abdullah pernah menikah dengan seorang wanita Yahudi, dan Hudhaifah bin Yaman pernah menikah dengan wanita Nasrani, maka Umar Bin al-Khattab marah sekali mendengarnya, hingga hampir saja dia menghajar keduanya, tetapi keduanya mengatakan; ‚Wahai Ami>rul Mukmini>n Janganlah engkau marah, kami akan menceraikannya, " khalifah Umar menjawab : ‚ Sekiranya boleh ditalak, berarti boleh dinikahi, akan tetapi aku akan mencabut 76 mereka dari kalian secara hina-dina.
Diakhir keterangannya, al-T}abari, menyebutkan pendapatpendapat dari kelompok pertama, kedua dan ketiga, kemudian Ia menyatakan pendapatnya : Pertama, Ibn Jari>r Al-T}abari>, lebih setuju dengan pendapat yang dikemukakan Qata>dah yang menyatakan, bahwa larangan pernikahan ( ّ)وال تنكحواالمشركات حتى يؤمن, tidak ditujukkan kepada wanita ahl al-Kita>b, atau kriteria lain, untuk jenis kemusyrikan, melainkan ditujukkan kepada wanita-wanita bangsa Arab yang tidak mempunyai kitab suci. 77 Selanjutnya, al-T}abari> tidak mengakui adanya nasakh pada kedua ayat tersebut, baik al-Baqarah ayat 221 atau al-Ma>idah ayat 5, melainkan keduanya, diturunkan secara umum
95
dan di-ta’wi>l-kan secara khusus, karena alasan itulah, dengan tegas, al-T}abari, menyatakan, bahwa ahl al-kita>b bukan bagian dari ayat yang dimaksudkan, melainkan karena Allah SWT telah menghalalkan status pernikahan dengan mereka, dengan firman-Nya, QS. alMaidah/5:5,[Wa al-Mukhs}ana>tu Min al-Mu’mina>t Wa al-Muhs}ana>tu Min al-Lazi>na Utu> al-Kita>b Min Qablikum ].78 Kedua, bahwa menurut al-T}abari>, pendapat Ibn Abba>s r.a, yang disampaikan Sahar bin Haushab, tentang Umar bin al-Khattab r.a yang memisahkan (mencerai) T}alhah dan Hudhaifah, terhadap istri-istrinya, ahl al-Kita>b itu, tidak memiliki alasan, karena jelas, pernikahan itu, telah dihalalkan, dengan turunnya ayat al-Ma>idah/5:5, dan diperkuat beberapa riwayat dan hadith rasul yang membolehkan. Akan tetapi pendapat larangan pernikahan itu, lebih bersifat politis, 79 yang ditujukan kepada orang-orang yang beragama, selain Islam, sebagaimana riwayat yang bersumber dari Sahar bin Haushab, Ibn Abba>s menyampaikan :
حذثْب عجذ: قبه, ٚ أثْٚ حذث: قبه, ّٚحذثْب عجيذ ثِ أدً ثِ إيبس اىعسقال ُ سَعذ عجذ هللا : حذثْب شٖش ثِ ح٘شت قبه: قبه, ٙاىحَيذ ثِ ثٖشاً اىفزاس هللا عيئ ٗسيٌ عِ أصْبف اىْسبء إال ٍبٚ سس٘ه هللا صيّٖٚ : ثِ عجبس يق٘ه ًّّ , مبُ ٍِ اىَؤٍْبد ٗاىَٖبجشاد قبه هللا. ًٗحشً مو راد ديِ غيش اإلسال ٗقذ ّنح,[ 5: ] اىَبئذح,[ ٔ ] ٍِ ينفشثبإليَبُ فقذ حجظ عَي: ٓ رمشٚرعبى ِ فغضت عَش ث, ّٗنح حزيفخ ثِ اىيَبُ ّصشاّيخ, طيحخ ثِ عجيذ هللا يٖ٘ديخ ّحِ ّطيّق يب أٍيش: ٕ ٌّ أُ يسط٘ عييَٖب فقبالٚاىخطبة غضجب شذيذا حز ّ ّ ّ ِٖأرزع ٚ ّطالقِٖ ىقذ حو ّ ىئِ حو: اىَؤٍْيِ ٗال رغضت فقبه ّ ْ ىن, ِّٖنبح . ٍْنٌ صغشح قَأح Bercerita Ubaid bin Adam bin Iya>z al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Bahran al-Faza>ri, telah menceritakan kepada kami Syahr bin Hausyab yang mengatakan bahwa ia telah mendengar Abdullah bin Abbas mengatakan hadits berikut ini, ‛ Rasulullah melarang menikahi berbagai macam wanita, kecuali wanita-wanita yang mukmin dari kalangan Muhajirin dan mengharamkan mengawini wanita-wanita beragama selain Islam " . Allah SWT telah berfirman : ‛ Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amal-amalnya ‛. Dan telah menikah Thalhah bin Abaidillah seorang wanita Yahudi, dan Huzaifah bin Yaman menikahi wanita Nasrani, maka Umar bin Khattab marah sekali mendengarnya, hampir-hampir ia menghajar keduanya. Tetapi keduanya mengatakan, ‛ Wahai Amirul Mukminin janganlah engkau marah kami akan menceraikannya ", Khalifah Umar menjawab,
96
‛ Kalau boleh ditalak, berarti halal dinikahi. Tidak, aku akan mencabut mereka dari kalian, secara hina-dina ”. 80
Selain mengkritik, riwayat yang disampaikan Sahar bin Haushab yang bersumber dari Ibn Abba>s r.a terhadap Umar bin alKhatta>b r.a yang melarangan pernikahan T}alhah dan Hudhaifah dengan wanita ahl al-kita>b, karena secara jelas, kedua wanita yang dinikahinya adalah ahl al-kita>b, dan keduanya memiliki kitab suci. Selain, merupakan kesepakatan Jumhur ulama status kebolehan menikahi mereka, baik berdasarkan ayat atau khabar yang bersumber dari Nabi SAW. Sedangkan perselisihan yang terjadi antara Umar r.a dan para sahabat yang lain, itu hanyalah sebuah alasan, yang didasari atas kekwatiran Umar saja terhadap umat Islam, yang mungkin akan meninggalkan dan enggan menikahi wanita-wanita muslim, karena alasan lebih memilih ahl al-kita>b. Tetapi semua rasa kehawatiran itu, telah terjawab dengan hadits Nabi yang berbunyi :
نتزوّ ج نساء: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: عن جابر بن عبد هللا قال . أهل الكتاب وال يتزوّ جون نساء نا Dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah SAW bersabda :‛ Kita boleh menikahi wanita ahl al-kita>b, dan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita‛. 81
Kritikan al-T}abari terhadap hadith di atas, walaupun dalam sanadnya(diperselisihkan), namun secara Ijma‟ telah disepakati para ulama. Karena itulah, Ibn Jarir al-T}abri menyimpulkan, bahwa maksud ayat al-Baqarah di atas, ditafsirkan, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menikahi wanita musyrik (selain ahl al-Kita>b), hingga mereka beriman, beriman kepada Allah dan RasulNya, dan membenarkan apa-apa yang diturunkan kepadanya ".82 Penjelasan berikutanya ayat( ووووت ِك َ َحتووووو ِ َوالَ ُتن ِك ُحووووووم ْمْ ُِ ِْو () ُْؤ ِِ ُنووومJanganlah kamu menikahkan wanita muslimah dengan pria musyrik), al-T}abari menyebutkan, bahwa Allah S.W.T telah mengharamkan wanita mukminah untuk menikah dengan pria musyrik, apapun jenis kemusyrikannya. Karena menikahkan wanita mukminah dengan pria musyrik, selain haram, bagi seorang hamba sahaya yang beriman sekalipun, karena membenarkan Allah SWT
97
dan Rasul-Nya, akan lebih baik dari pada menikah dengan pria musyrik meskipun statusnya kaya raya dan tinggi kedudukannya. 83 Abu Ja‟far Muhammad bin Ali berkata: bahwa ini adalah perintah Allah SWT menyebutkan perintahnya dengan dasar dalil, bahwa seorang wali wanita itu lebih berhak untuk menikahkan anaknya dari pada dirinya. Berkata Abu Ja‟far,( مزابة هللاٚ) اىْناب ثا٘ى ّ فا ” Nikah itu syaratnya ada wali dalam Kitab Allah”. Kemudian Ia membacakan ayat (ُْؤ ِِ ُنوووم () َوالَ ُتن ِك ُحوووم ْمْ ُِ ِْو ِوت ِك َ َحت وDan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman ). Dalam riwayat yang bersumber Yazid dari Ikrimah dan Hasan Basri, bahwa diharamkan wanita muslimah terhadap pria musyrik.
عاِ يزياذ, ثِ ٗاضح عِ اىحسيِ ثِ ٗاقذٚ قبه يحي: ثْب:حذثْب اثِ حَيذ قبه ,) ( َوالَ ُتن ِكحُوم ْمْ ُِ ِْ ِت ِك َ َحت ُْؤ ِِ ُنووم: ٙ عِ عنشٍخ ٗاىحسِ اىجصشٙ٘اىْح . ِ سجبه اىَششميْٚ يع, ٌٖ سجبىٚ حشّ ً اىَسيَبد عي:قبه Bercerita Ibn Humaid Ia berkata: menyampaikan kepada kami, berkata: Yahya bin Wadih dari Hasan bin Waqid dari Yazid al-Nahwi dari Ikrimah dan Hasan Basri, (Janganlah kamu menikahkan orang musyrik itu (dengan wanita beriman) sebelum mereka beriman), berkata Yazid : Allah mengharamkan wanita muslimah terhadap pria-pria mereka, maksudnya pria musyrik. 84
Diakhir keterangannya, Ibn Jarir menafsirkan ayat
ُ ابس ِ َّْ ْاى َجَّْ ِخ َٗ ْاى ََ ْغفِ َش ِح ِثئ ِ ْرِّ ِٔ َٗيُجَيُِِّ َءايَبرِ ِٔ ىِيَٚبس َٗهللاُ يَ ْذعُ٘ا إِى ِ َّْ اىَٚأْٗ ىئل يَ ْذ ُعَُ٘ إِى َُُٗىَ َعيَُّٖ ٌْ يَزَ َز َّمش ‚ Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran ‚. (QS.Al-Baqarah/ 2:221) Menurut ayat ini, Al-Tabari menerangkan, kata ()أُْٗ ىئل, dimaksudkan kepada mereka baik wanita musyrik maupun pria musyrik telah diharamkan bagi orang Islam untuk dinikahi karena alasan, mereka akan slalu mengajak kepada jalan ke Neraka, yakni perbuatan-perbuatan yang membawa kepada sebab-sebab masuk neraka, karena itu bagian dari, ajakan-ajakan orang kafir, yaitu kufur kepada Allah dan kepada ajaran yang dibawa Rasul-Nya. Kemudian, ditutup ayat () بإذنه, adalah izin Allah SWT untuk menjadi peringatan
98
dan ingat ajaran sebagai perintah untuk berbuat baik dan jalan menuju ke surga karena izin-Nya. Untuk tidak melakukan ajakanajakn mereka, termasuk menikahi pria atau wanita mereka.85 2. Al-Jas}a>s} ( w. 370 H ), Dalam kitabnya, Tafsir Ahka>m Al-Qur’a>n Al-Jas}as}, 86 menafsirkan teks QS.Al-Baqarah/2:221[ ٗال رْنح٘ا ٍِ يؤٚ]اىَششمبد حز, bahwa ia juga sependapat dengan Para Mufassir pendahulunya, seperti, Ibn Jari>r al-T}abari, yang mengharamkan pria muslim menikahi wanita musyrik, yang bersumber dari riwayat Ibn Abba>s r.a.
: حذثْب جعفش ثِ ٍحَذ ثِ اىيَبُ قبه: قبهٚحذثْب جعفش ثِ ٍحَذ اى٘اسط ٚ عِ أث, عِ ٍعبٗيخ ثِ صبىح, حذثْب عجذ هللا ثِ صبىح: حذثْب أث٘ عجيذ قبه : ت َح َّتى ي ُْؤمِنَّ ) قبه ِ ( َوالَ َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا: ٔ ق٘ىٚ عِ اثِ عجبس ف, طيحخ ُ ص َن اب ِِ َق ْبلِ ُك ْم إِ َذم َ ات ِِ َ مْ ِذ َ أُو ُتوم ْمْ ِك َت َ ْ ] َو ْمُِْح: إٔو اىنزبة فقبهْٚثٌ اسز [ خذِي أَ ْخدَ م ِ ح َ َوالَ ُِت ِ ِوت ُه ُِحْ صِ ِن َ َغ َْت ِ َُساف َ َءم َت ْ ُتُِو ُه أ ُ ُج Bercerita kepada kami Ja‟far bin Muhammad al-Wasit}i, berkata : Bercerita kepada kami Ja‟far binMuhammad bin al-Yaman, ia berkata : bercerita kepada kami Abu Ubaid, berkata, bercerita kepada kami Abdullah bin S}aleh, dari Muawiyah bin Saleh, dari Abi T}alhah, dari Ibn Abbas r.a. Allah S.W.T berfirman ( Wala> Tankihu> al-Mushrika>t ….), berkata : Ibn Abbas, lalu Allah S.W.T mengecualikan mereka wanita Ahl al-Kitab, dengan firmanNya, (Wal Muh}s}ana>tu Min al-Zi>na Utu> al87 Kita>ba min Qablikum…).
Keterangan ayat di atas, menurut al-Jas}a>s} setuju dengan Para Mufassir, yang membolehkan pernikahan dengan wanita Ahl al-Kita>b sebagai bentuk pengecualian QS. al-Maidah/5:5 terhadap QS. AlBaqarah/2:221, bahwa, mereka adalah wanita muh}s}ana>t, wanita terpelihara kehormatan dari perbuatan zina. 88 Penafsiran ayat [ ٗال ّ ٍِيؤ ٚ] رْنح٘ا اىَششمبد حز, telah jelas, menurut Al-Jasa>s, bahwa, makna al-mushrika>t itu adalah penyembah barhala. Pendapat itu, dipahami, atas landasan QS.al-Baqarah/2:105 [ هْل َ مَّا َي َود الَّذ ِ َِين َك َف ُروا مِنْ أ ْ ْ ُِين أَن ُي َن َّز َل َعلَ ْي ُكم مِّنْ َخي ٍْر مِّنْ رَّ ِّبكم ْ َ ِ ] ال ِك َتاdan QS.alَ ب َوال ال ُمش ِرك Bayyinah/98:1[ ب َو ْال ُم ْش ِر ِكي َْن ُم ْن َف ِّكي َْن َح َّتى َيأْ تِ َي ُه ُم ِ لَ ْم َي ُك ِن الَّ ِذي َْن َك َف ُر ْوا مِنْ أَه ِْل ْال ِك َت ] ا ْل َب ِّي َن ُة, bahwa orang-orang musyrik, atau orang kafir serta ahl al-kita>b berbeda statusnya. Pembatasan dengan wawu at}af dalam QS.alBayinah/98:1 itu, membedakan status di antara mereka, karena itulah, ahl al-Kita>b bukanlah musyrik, sedangkan orang musyrik adalah para
99
pelaku penyembah berhala. 89 Tetapi alasan al-Jashas itu, berbeda dengan para mufassir umumnya, yang menyatakan, bahwa pengharaman pernikahan itu bukan atas dasar kemusyrikan, melainkan berdasarkan Illah al-Shar’i>yah (alasan hukum), bahwa ajakan orang-orang kafir itulah yang membawa kepada kekufuran, atau sebagai jalan menuju neraka [ اىْبسٚ] أٗىئل يذعُ٘ إى. Maka dengan alasan itu, sebagai contoh telah berlaku sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, bahwa pernikahan dengan orang musyrik dihalalkan, hal itu terjadi di masa Para Nabi, seperti, Nabi Nuh a.s, Nabi Lut} a.s, yang memiliki seorang istri yang ka>fir, [ ِين َ ب هللاُ َم َثالً لِلَّذ َ ض َر َ َ َ ُ ُ َ َ َ َ َ َت َت َت ْن َف َخا َن َتا َهمُا َفلَ ْم ي ُْغنِ َيا ي ِح ل ا ص ا ن َاد ب ع ِْن م ْن ي د َ ب ْ ع ْح ت ا ت ن ا ك ٍوط ل أ ْر م ا و وح ن أ ْر م ا وا ر ُ َك َف ِ َ َ َ ٍ َ ِ َ َ ِ َ ً ُ ْ َّ َ َ ِين َ ار َم َع الدَّا ِخل َ [] َعن ُه َما م َِن هللاِ ش ْيئا َو ِقي َل ْادخال النAllah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): " Masuklah ke Neraka bersama orang-orang yang masuk (Neraka)‟.QS.al-Tahri>m/66:10. Berdasarkan contoh itu pula, pengharaman pernikahan dengan orang musyrik, bukan berdasarkan kemusyrikan, melainkan atas dasar illah al-Shar’i>yah (alasan syar‟i). 90 Menurut al-Jas}a>s, bahwa landasan pengharaman penikahan itu bukan sebagaimana umumnya para ulama tafsir, melainkan atas alasan syar‟iyah, yaitu, ajakan kepada kekufuran. 3. Al-Baghawi ( w. 516 H/1122 M ), dalam Tafsir Ma’a>lim Tanzi>l Al-Baghawi91 menafsirkan QS.al-Baqarah/2:221[ َوالَ َت ْن ِكحُوا َّت َح َّتى ي ُْؤمِن ِ ] ْال ُم ْش ِر َكاdengan menyebutkan asba>b nuzu>l ayat, yang berkenaan Abu Marthad yang ingin menikahi seorang wanita musyrik. Kemudian Rasulullah mendengar dan melarangnya, dengan alasan kemusyrikan, dengan turun asba>b al-nuzu>l ayat.92 Jelas, menurut pendapat Al-Baghawi tentang larangan pernikahan dengan wanita musyrik, walaupun dengan asba>b al-nuzu>l ayat itu, bahwa kemusyrikan sebagai alasan, pengharaman. Diberitakan dalam suatu riwayat,93 bahwa ayat al-Baqarah di itu, telah di-nasakh dengan ayat ُ ص َن al-Ma>idah ayat 5, terhadap hak ahl al-kita>b [ ِين َ ات م َِن الَّذ َ َْو ْالمُح ُ اب مِن َق ْبلِ ُك ْم َ ]أو ُتوا ْال ِك َت. Yang menjadi masalah, menjadi pertanyaan,
100
apakah kemusyrikan yang dimaksudkan ayat, ditujukan kepada orang yang mengingkari kenabian Muhammad SAW saja ? Pertanyaan itu berawal dari penyebutan nasakh, terhadap ayat al-Baqarah tadi. Maka sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, menurut Abu Hasan Ibn Faris yang menjawab, siapapun yang menyatakan Al-Qur‟an itu bukan firman Allah, sungguh ia telah berbuat shirk. Menurut Qata>dah dan juga Sa'i>d bin Jubayr, menyatakan maksud kata al-Mushrika>t adalah al-Watha>niyah (penyembah berhala).94 Dengan demikian, jelas, kemusyrikan itu sebagai alasan, pengharaman, kemudian, AlBaghawi sebagaimana pendapat mufassir sebelumnya, seperti, Ibn Jari>r al-T}abari> dan juga al-Jas}a>s}, menjelaskan, ayat [ َُوألَ َم ٌة م ْؤ ِم َن ٌة َخيْر ] مِّن م ْش ِر َك ٍة َولَ ْو أَعْ َج َب ْت ُكم, maka lebih memilih budak wanita yang beriman, dengan alasan status beriman itu lebih baik dari kemusyrikan. Karena alasan itu pulalah, Hudhaifah bin Yaman memerdekakan seorang budak wanitanya yang beriman, yang kemudian dinikahinya. ْ ُِ َْوالَ ُتن ِكحُوم ْم Al-Baghawi menafsirkan ayat ( ِ ِت ِك َ َحت ) ُْؤ ِِ ُنوم, bahwa telah sepakat ulama, melarang menikahkan wanita muslimah dengan pria musyrik, karena alasan-alasan mereka yang membawa kepada perbuatan-perbuatan menuju ke neraka, maka jika dalam kondisi yang demikian, menikahi pria yang budak sekalipun lebih utama, karena iman yang dimilikinya, alasan itulah Allah S.W.T mengizinkan agar pernikahan dapat membawa segala kebaikan dan jalan menuju surga.95 4. Al- Zamakshari> ( 467-538 H / 1075-1144 H ), Dalam Tafsi>r Al-
Kasha>f
Al-Zamakhshari96 menafsirkan, makna al-mushrika>t QS.alBaqarah/2:221[ ّ ٍِ يؤٚ ] ٗال رْنح٘ا اىَششمبد حزadalah wanita harbiya>t (wanita musyrik yang dinikahi di medan perang).97 Sebagian terdapat pendapat yang menyatakan, terkait ahl al-Kita>b dan harbiya>t memiliki kriteria yang sama, karena itulah, al-Zamakshari menganggap, ahl al-kita>b adalah musyrik, berdasarkan Firman Allah SWT dalam QS. al-Taubah/9:30 (Waqa>lat al-Yahu>du ’Uzairubnullah Wa Qa>lat al-Nasha>ra al-Masi>hubnullah). Hal itu, sangat beralasan, karena orang-orang Yahudi beranggapan Uzai>r sebagai anak Tuhan, al-Masih menurut orang Nasrani anak Tuhan. Tetapi status ayat alBaqarah itu, telah di-nasakh dengan ayat al-Maidah/5:5, maka
101
kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b dibenarkan, dengan alasan, ayat al-Maidah adalah tetap, tidaklah sebagai na>sikh atau mansu>kh, mengutip pendapat Ibn Abba>s dan Auza>‟i. 98 Diperkuat pernyataan itu, dengan riwayat, bahwa Rasulullah SAW melarang menikahi wanita musyrik. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah mengutus Marthad bin Marthad alGhinawi ke Makkah, membebaskan seorang tawanan di sana. Terdapat di dalamnya seorang wanita bernama Anaq, wanita itu mencintainya. Lalu datang wanita itu, dan berkata : apakah anda akan menikahi saya? Marthad menjawab : ya, tetapi aku harus, mendapat izin Rasulullah terlebih dahulu. Maka turun ayat [ ] ٗألٍخ ٍؤٍْخ خيش [ budak wanita beriman lebih baik ]. Demikian ayat [ ٍِ] ٗىعجذ ٍؤ, karena, semua manusia adalah sama sebagai hamba Allah, tidak memandang status, merdeka atau sebagai budak. 99
Kemudian, Al-Zamakhshari> setelah QS.al-Baqarah/2:221 itu, melalui kata ”amah ” [ ] ٗألٍخ ٍؤٍْخ خيشdan ” ‟abd” [ ٍِ] ٗىعجذ ٍؤ, tidak lagi memahami sebagai budak, melainkan sebagai hamba Allah yang beriman, yang tidak membedakan status merdeka atau sebagai budak sahaya. 100 Berdasarkan alasan ini, al-Zamakshari>, melarang pernikahan dengan wanita-wanita musyrik, karena pernikahan dengan mereka, membawa dampak negatif dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga, bahkan membawa kepada kekufuran, yang mengajak menuju jalan ke neraka. Demikian alasan-alasan yang dimaksudkan kata ( )أٗىئل, yang dimaksudkan sebagai isyarat sebagai larangan menikahi pria musyrik dan musyrikah, karena alasan perbuatan mereka yang slalu mengajak kepada kekufuran, selain ajakan kepada permusuhan dan perang. Tetapi menikahi wanita muslimah dan bagian ajaran yang disampaikan wali-wali Allah (orang-orang beriman), mengajak slalu kepada ampunan dan menuju surga-Nya, maka karena itulah perintah mentaati mereka, karena bagian dari cara meraih keridaan Allah SWT. 101 Kesimpulan penafsiran ulama-ulama tafsir (periode klasik) ini, yaitu, (1). Ibn Jari>r Al-T}abari, menyatakan larangan pernikahan muslim dengan wanita musyrik/pria musyrik yang ditujukkan kepada bangsa Arab yang tidak mempunyai kitab suci atau dengan alasan, tidak adanya nasakh pada kedua ayat al-Baqarah/2:221 atau alMaidah/5:5, melainkan keduanya, diturunkan secara umum dan dita’wi>l-kan secara khusus, karena itulah menikahi wanita ahl al-kita>b dibolehkan dan tetap mengharamkan menikahi wanita Musyrik
102
(Bangsa Arab)(2).Tetapi al-Jasha>s menyutujui dengan pendapat mufasir, yang membolehkan pernikahan dengan wanita Ahl al-Kita>b sebagai bentuk pengecualian dengan QS. al-Maidah/5:5, bahwa, mereka adalah sebagai wanita terpelihara kehormatannya dari perbuatan zina(muh}s}ana>t), dan mengharamkan nikah dengan wanita musyrik, penyembah barhala, (3). Al-Baghawi, sependapat dengan alJas}as}, menyatakan, bahwa wanita al-Mushrika>t adalah alWatha>niyah (penyembah berhala).(4). Al-Zamakhshari, menyatakan, makna al-mushrika>t adalah untuk wanita harbiya>t, yaitu wanita yang dinikahi di saat perang, bahkan ahl al-Kita>b dan harbiya>t berstatus sama. Karena itu menikahi wanita ahl-al-kita>b dan harbiya>t adalah haram, karena sama-sama musyrik. Tetapi berbeda dengan wanita Yahudi dan Nasrani, bahwa status menikahi wanita mereka dibolehkan, berdasarkan QS. Al-Maidah/5:5. Kemudian, pernikahan seorang muslim dengan wanita musyrik atau dengan pria musyrik dalam perspektif ulama tafsir abad pertengahan, akan dibahas dalam sub berikutnya. E. Penafsiran Menurut Persfektif Ulama Salaf Abad Pertengahan I ( Masa Kemunduran I 1250-1500 M ). Islam mencapai puncak kejayaannya, di masa Daulah Abbasiyah, yang dipimpin oleh khalifah Ha>run Al-Rashi>d (170-193 H/78-809 M), dan ibu kota saat itu, masih berada di Damashqus, yang kemudian pindah ke Baghdad, Irak.102 Disanalah dibangun perpustakaan besar, bernama Bait al-Hikmah. Berkembang pula ilmu pengetahuan, baik umum, seperti, filsafat, logika, matematika, kimia dan kedokteran, maupun pengetahuan agama, seperti, ilmu AlQur'an, Qira‟at, al-Hadits, fiqh, kalam, bahasa dan sastra. Selain itu, tumbuhnya ulama-ulama Imam Mazhab, seperti, Ima>m Abu> Hani>fah (80-150 H/699-767 M), Imam Ma>liki (93-179 H), Ima>m Sha>fi'i (150204 H) dan Ima>m Hambali (164-241 H).103 Dan dalam kancah keilmuan agama, terutama di bidang tafsir, maka tulisan ini akan menyoroti perkembangan dan pemikiran karya-karya ulama tafsir, diantaranya, Imam Fakhruddin Al-Ra>zi (w.606 H), al-Qurt}ubi (w. 671 H), al-Baid}a>wi (w.791 H), Jala>luddi>n al-Mahalli (864 H), Jala>luddin al-Suyu>t}i (911 H), Ibn Kathi>r (w.774 H), al-Alu>si (1270H).
103
1. Al-Imam Fakhruddi>n Al-Ra>zi> (w. 606 H / 1209 M), Tafsi>r Mafa>tih
Al-Ghaib /Tafsi>r al-Fakhru al-Ra>zi/Tafsi>r al-Kabi>r.
Di awal tafsirnya, al-Imam Al-Ra>zi104 menjelaskan asba>b alnuzu>l ayat, mengenai Marthad bin Abu Marthad al-Ghanawi yang ingin menikahi wanita musyrik, yang berakhir dengan larangan itu, dengan turunnya ayat QS.al-Baqarah/2:221,ini. 105 Pernikahan dengan kriteria al-Mushrika>t menjadi perdebatan di kalangan sahabat, karena diantara mereka ada yang tidak memasukan katagori ahl al-kita>b kedalam kriteria musyrik, meskipun hal itu menuai perdebatan kalangan sahabat.106 Para ulama tafsir, termasuk al-Ra>zi, memasukkan kata al-mushrikat mencakup untuk semua orang-orang kafir, termasuk ahl al-Kita>b. Dasar pendapat itu, bermula berdasarkan atas alasan yang menurutnya QS. al-Taubah/9:30, menyatakan, bahwa Uzeir adalah anak Tuhan menurut Yahudi, dan al-Masi>h demikian menurut orang Nasrani adalah putra Allah. Berdasarkan dua alasan itulah, al-Ra>zi menyatakan, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani adalah musyrik, selain batalnya, akidah mereka karena anggapan mereka, Allah itu ketiga dari trinitas 107 menurut QS. al-Maidah/5:73. 108 Selain itu juga, Al-Ra>zi>, menafsirkan kata al-mushrika>t ( ) ٗال رْنح٘ا اىَششمبد, yang ditujukkan hanya kepada wanita penyembah berhala atau untuk semua orang-orang kafir dalam pandangan umum, yang artinya, larangan menikahi orang-orang kafir secara mutlak, baik untuk ahl al-kita>b atau non ahl al-Kita>b. Jika pernyataan demikian, maka lafaz mushrik adalah untuk orang-orang kafir atau penyembah berhala dalam pandangan yang umum, yang menjadi larangan pernikahan dengan wanita-wanita musyrik.109 Dalam penjelasan pandangan al-Ra>zi, jika menikahi wanita musyrik itu diharamkan, maka demikian maksudnya menikahi pria musyrik lebih diharamkan. Karena statusnya sama, baik musyrik lakilaki maupun musyrik perempuan. 2. Al-Qurt}ubi> (w. 671 H / 1273 M), dalam tafsirnya, al-Ja>mi’ Li
Ahka>m Al-Qur’a>n Al-Qurt}ubi110 menafsirkan QS. al-Baqarah/2:221, membagi dua kelompok besar, Pertama ( )ٗال رْنح٘ا اىَششمبدyang terbagi kepada tujuh masalah, sedangkan kedua (ِ)ٗال رْنح٘ا اىَششمي, terbagi kepada sepuluh masalah besar. Diawal penafsirannya, al-Qurtubi menerangkan korelasi antara dua ayat al-Baqarah 221 dan ayat al-
104
Maidah 5, yang tidak hanya diterangkan dari sudut pandang al-Suddi, melainkan juga menurut Muqa>til.111 Dalam penjelasan pertama, penafsiran[]ٗال رْنح٘ا اىَششمبد, merujuk kepada riwayat Ibn Abba>s r.a, yang menyatakan, bahwa ayat tersebut, berlaku untuk semua kafir berdasarkan al-Baqarah/2:221, tetapi secara khusus telah di-nasakh dengan QS.al-Maidah/5:5, maka status pernikahan dengan ahl alKita>b dibolehkan. Beberapa ulama yang mendukung pendapat ini, Malik bin Anas, Sufyan bin Said al-Thauri dan Abdurahman bin Umar al-Awza>‟i, walaupun pendapat itu, tidak didukung oleh Ibra>him bin Isha>q al-Harbi, yang menyatakan bahwa ayat QS. AlBaqarah/2:221 itu, sebagai na>sikh (penghapus), sedangkan QS. alMaidah/5:5 adalah mansu>kh (dihapus), maka menurutnya, status hukum pernikahan dibatalkan untuk semua kafir, baik ahl al-Kita>b maupun non ahl al-Kita>b. Pernyataan itu, juga disampaikan oleh Abu Ja‟far al-Nuhha>s, yang menyitir pendapat Ibn Umar r.a melalui Na>fi’, dengan anggapan perbuatan ahl al-Kita>b itu adalah syirik. 112 Selain itu, al-Nuhha>s juga mengkritik pendapat Ibn Umar r.a yang keluar dari pendapat Jumhur kalangan sahabat dan tabi‟in yang sepakat membolehkan pernikahan itu dengan ahl al-kita>b.113 Lalu Ia berkomentar dengan janggalnya alasan di atas yang dilontarkan Ibn Umar r.a, ayat al-Baqarah 221 me-nasakh ayat al-Maidah 5, maka suatu hal yang tidak logis dan tidak mungkin, karena Al-Baqarah turun lebih dahulu dari al-Maidah, dan tidak mungkin yang terlebih dahulu me-nasakh yang lebih akhir turunnya, atau yang datang kemudian, oleh karena itulah, Al-Qurt}ubi> tidak sependapat dengan Ibn Umar r.a, selain itu, komentarnya juga, terhadap suatu sikapnya Ibn Umar r.a, yang tidak tegas terhadap kedua ayat di atas, antara yang men-tahli>l (menghalalkan) atau yang meng-tahri>m (mengharamkan), dan tidak menyebutkan yang me-nasakh dari kedua ayat tersebut, al-Baqarahkah yang na>sikh atau al-Maidah yang mansu>kh ? melainkan hanya sebuah ungkapan saja, tanpa ketegasan. 114 Diakhir penjelasannya, al-Qurt}ubi, lebih berpihak pada pendapat yang menurut mayoritas ulama, bahwa ayat [ ٗال رْنح٘ا ]اىَششمبد, ditujukkan untuk penyembah berhala(watha>niyah) dan wanita-wanita maju>si, sedangkan mengenai wanita ahl al-Kita>b, status kebolehannya telah jelas, pernikahan itu dihalalkan dengan turunnya QS. al-Maidah/5:5.115 Al-Qurtubi melanjutkan penafsiran [ ٚٗال رْنح٘ا اىَششميِ حز ]يؤٍْ٘ا, dengan menyatakan larangan menikahkan wanita muslimah
105
dengan pria musyrik, dan tidak ada tempat untuk pernikahan semacam ini, karena beralasan, bahwa dalam pernikahan harus ada ّ[]ال ّنب إالtidak sah pernikahan tanpa wali]. seorang wali [ ٚث٘ى ّ Pendapat ini, didukung kalangan sahabat, seperti, Umar bin alKhattab, Ali bin Abi T}a>lib, Ibn Mas‟ud, Ibn Abba>s, Abu> Hurairah, dan juga kalangan tabi‟in, mereka adalah Said bin Musayyab, alHasan Basri, Umar bin Abdul Aziz, Ja>bir bin Zaid, Sofyan al-Thauri, Ibn Abi> Laila, Ibn Syubrumah, Ibn Muba>rak, kalangan al-Sya>fi’iyah, Ubaid bin Hasan, Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaid serta Ishaq bin Ibrahim. 116 Jadi dengan kata lain, bahwa al-Qurtubi, mengenai larangan menikahi wanita musyrik menurut QS. Al-Baqarah 221 ini, statusnya dihalalkan dengan alasan tahs}i>s} bagi wanita ahl al-kita>b berdasarkan surat al-Maidah 5, sedangkan menikahkan wanita muslimah dengan pria musyrik benar-benar mutlak diharamkan, dan tidak ada tempat bagi laki-laki musyrik dalam pernikahan semacam ini, karena dalam pernikahan ini, seorang wali sebagai syarat penentu sah tidaknya pernikahan. 3. Al-Baid}a>wi> ( w.791 H /1191 M ), Dalam kitab Tafsirnya, Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta’wi>l Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali Al-Shaira>zi Abu> Said Abu al-Khairi Nashi>ruddin Baid}a>wi dikenal dengan panggilan Al-Baid}a>wi. Informasi perjalan hidup al-Baida>wi tak banyak yang mengetahui, namun sedikit yang sampai kepada para pakar sejarah, seperti yang pernah dijabat sebagai seorang hakim di kota Shaira>z. Dalam berbagai disiplin ilmu, al-Baida>wi sangat menguasai, seperti fiqh, logika (manti>q), bahasa Arab, dan tentu saja tafsir, selain sangat mahir berdebat dan berdiskusi, perjalanan hidupnya, dihiasi dengan penuh keilmuan, betapa tidak, karena selain Ia juga seorang yang tekun beribadah, zuhud dari kehidupan dunia dan giat menyampaikan ilmu. Dan karena itu juga, tidak berlebihan, apa yang diungkapkan oleh Ibn Suhbah dalam kitabnya, al-Tabaqa>t, ia adalah seorang penulis yang produkif, ulama terkemuka di negeri Azerbaijan, sekaligus seorang guru dan syeikh di daerah itu.117 Al-Baid}a>wi>118 terhadap penafsiran QS.al-Baqarah/2:221 ini, sependapat dengan Ibn Jarir al-T}abari, al-Baghawi dan juga alZamakshari, yang menyatakan larangan pernikahan dengan wanita musyrik( al-mushrika>t). Menurutnya, bahwa al-mushrika>t mencakup
106
kriteria kita>biya>t [ahl al-kita>b] yang statusnya juga disamakan dengan pria musyrik, dan menikahi wanita kita>biya>t, dilarang bedasarkan QS. Al-Taubah/9:30-31.119 4. Ima>m Al-Kha>zin ( w. 741 H / 1341 M ), Tafsir Luba>b al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l ( Tafsir al-Kha>zin ) Dalam pernafsirannya al-Kha>zin,120 terkait QS. AlBaqarah/2:221, tidak berbeda dengan para mufassir lainnya, melarang pernikahan dengan wanita al-mushrika>t, yang berawal dari asba>b alnuzu>l, mengenai Abu Marthad bin Abu Martsad al-Gina>wi yang ingin menikai wanita musyrik, lalu Rasulullah melarang dengan turunnya ayat itu.121 Al-Kha>zin menjelaskan kata al-mushrika>t untuk semua jenis kemusyrikan, penyembah berhala ( watha>niyah ), penyembah api (maju>si), penganut agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi diakhir keterangannya, al-Kha>zin mengecualikan larangan itu khusus bagi wanita yang merdeka (al-hara>’ir) dari golongan ahl-al-kita>b berdasarkan QS. al-Maidah/5:5, maka pernikahan dengan mereka dibolehkan. Mengutip pendapat Ibn Abba>s r.a, keterangan al-Kha>zin khusus bagi wanita ahl al-Kita>b berbeda dengan keterangan Qata>dah yang menyatakan, bahwa kata al-mushrika>t ditujukan kepada orangorang musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci. Pendapat Qatadah itu diakui Jumhur Ulama sebagai keterangan bahwa, kriteria musyrik itu meliputi, katagori ahl al-Kita>b, pengikut Yahudi dan Nasrani, penyembah berhala dan maju>si, berdasarkan QS. alTaubah/9:30,” Waqa>lat al-Yahu>du Uzairubnullah .....,Waqal>at alMasi>hubnullah.....].122 Demikian juga larangan itu berlaku untuk sebaliknya ( ََٗال ي ُْؤ ٍُِْ٘اَّٚ) رُْ ِنحُ٘ا ا ْى َُ ْش ِش ِميَِ َحز, yaitu pelarangan itu berlaku bagi wanita muslimah yang ingin dinikahi pria musyrik, tanpa melihat status, baik miskin ataupu kaya, maka hukumnya diharamkan, alasan larangan itu dimaksudkan, untuk menghidari fitnah serta ajakan orang-orang kafir yang slalu menyeru kepada kesesatan atau menuju ke neraka ( أٗىئل اىْبسٚ)يذع٘ا إى. Oleh karena itu, jika kondisi yang tidak mungkin atau terpaksa, status budak sahaya yang beriman menjadi alternatif, bahkan menjadi pilihan yang tepat layak dinikahi. 123 Diakhir keterangan, Al-Kha>zin mempertegas larangan itu, hanya ditujukkan untuk wanita-wanita atau pria musyrik Arab Makkah penyembah berhala. 124
107
Beberapa keterangan di atas, kesimpulan ulama tafsir klasik abad pertengahan I ini, dapat disimpulkan, bahwa menurut al-Ra>zi, kata al-mushrika>t mencakup semua orang-orang kafir, termasuk ahl al-Kita>b, berdasarkan QS. Al-Taubah/9:30, dengan pernyataan orang Yahudi, Uzeir adalah anak Tuhan dan menurut pernyataan orang Nasrani, al-Masi>h adalah anak Tuhan. Berdasarkan kedua alasan itu, al-Ra>zi menyatakan, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani adalah musyrik, karena selain, batalnya akidah mereka yang beranggapan, Allah itu adalah ketiga dari trinitas. Al-Qurt}ubi, sejalan dengan pendapat Jumhur, yang menyatakan, al-mushrika>t ditujukkan untuk penyembah berhala (watha>niyah ), wanita-wanita maju>si, sementara mengenai ahl al-Kita>b, jelas statusnya, bahwa menikahi wanita mereka dibolehkan berdasarkan QS.al-Maidah/5:5. Al-Baid}a>wi berpendapat, bahwa al-mushrika>t, QS al-Baqarah/2:221, sesuai dengan pendapat al-T}abari, sejalan dengan al-Baghawi dan alZamakshari> yang menurut mereka, lafaz al-musyrika>t meliputi kriteria kita>biya>t [ahl al-kita>b], karena itulah, menikahi wanita kita>biya>t sama statusnya dengan menikahi wanita musyrik berdasarkan QS.al-Taubah/9:30-31. Sedangkan menurut al-Kha>zin, kata al-mushrika>t untuk semua jenis kemusyrikan, penyembah berhala (watha>niyah), penyembah api (maju>si), Yahudi-Nasrani, dan sebagainya. Walaupun demikian, tetap setuju dengan pendapat para ulama, yang mengeculikan wanita merdeka (al-hara>’ir) dari kalangan ahl-al-kita>b berdasarkan QS.al-Maidah/5:5. Maka, dengan demikian kesimpulan mereka, menikahi wanita atau pria musyrik apapun jenisnya, diharamkan, sedangkan menikahi wanita ahl al-Kita>b statusnya dibolehkan. Penjelasan selanjutnya, adalah mengenai pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik, yang akan dijelaskan menurut beberapa penafsiran ulama-ulama tafsir klasik abad petengahan II. F. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Abad Pertengahan II (Masa Kemajuan atau Kemunduran II/1500-1800 M) Karya-karya tafsir ulama-ulama abad pertengahan ini, seperti, Ibn Kathi>r (w.774 H/1372 M), Jala>luddi>n al-Mahalli> (w.864H/1455M), Jala>luddin al-Suyu>t}i> (w. 911 H/ 1505 M ), al-Alusi (w. 1270 H) dan sebagainya, maka perlu dipelajari dan dikaji terus, demi mengetahui pendapat, pemikiran, latar sejarah-sosial, serta metodologi tafsir mereka, tarkait pernikahan pria muslim dengan
108
wanita al-musyrika>t, yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah/2:221, yaitu :
1. Ibn Kathi>r ( w. 774 H /1372 M ), dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m Dalam keterangannya, Ibn Kathi>r125 terhadap tafsir QS. alBaqarah/2:221, bahwa Allah S.W.T telah mengharamkan pria mukmin menikahi wanita musyrik kalangan penyembah berhala, walaupun keterangan itu, masih bersifat umum.126 Ibn Kathi>r memaknai kata al-mushrika>t, mancakup semua musyrik dari kalangan ahl al-kita>b dan watha>niyah, yang kemudian dikecualikan di antara mereka wanita-wanita ahl al-kita>b, berdasarkan firman-Nya QS. al-Maidah/5:5. 127Pendapat Ibn Kathi>r itu membenarkan pendapat Ibn Abba>s r.a yang disampaikan oleh Ali bin Abi T}alhah, yang juga disepakati kalangan sahabat lain, seperti, Muja>hid, Ikri>mah, Said bin Jubayr, Makhu>l, al-Hasan, D}ah}a>q, Zaid bin Aslam, Rabi’ bin Ana>s dan lain-lainya.128 Ibn Kathir juga menjelaskan penggalan ayat al-Baqarah ( ٗال يؤٍْ٘اٚ)رْحن٘ا اىَششميِ ح ّز, yang menyatakan, bahwa status larangan pernikahan berlaku antara wanita mukmin dengan pria musyrik yang statusnya disamakan dengan larangan menurut QS. alّ ُّ٘()الِٕ ح ّو ىٌٖ ٗال ٌٕ يحيmereka ّ Muamtahanah/60:10 (ِٖى tidak halal lagi bagi orang kafir itu dan orang-orang kafir tidak halal pula bagi mereka). Alasan larangan itu, bahwa seorang laki-laki (sebagai budak sekalipun) yang beriman lebih baik dan menjadi pilihan, walaupun statusnya, kaya raya, tetapi ia tidak beriman. Kemudian diakhir penjelasannya Ibn Katsir, menutup penjelasan dengan penggalan ayat ( ّٔ اىجْخ ٗاىَغفشح ثئرٚ اىْبس ٗهللا يذع٘ا إىٚ) أٗىئل يذعُ٘ إى, bahwa, dampak negatip hubungan pernikahan, membawa kepada cinta dunia dan melupakan kehidupan akhirat.129 2. Jala>luddi>n Al-Mahalli ( w. 864 H / 1455 M ), Tafsi>r Jala>lain Jala>luddin al-Mahalli130 dan juga Jala>luddin131 al-Suyu>t}i sebagai muridnya,132 menafsirkan QS.al-Baqarah/2:221 ini, sependapat para mufassir umumnya, melarang seorang muslim
109
menikahi wanita musyrik yang disamakan dengan wanita ka>fir, walaupun status wanita itu, kaya raya, cantik dan merdeka, kendati demikian, menikahi budak wanita menjadi pilihan utama. Tetapi larangan tersebut, tidak berlaku lagi bagi wanita ahl al-kita>b, berdasarkan ayat al-Maidah/5:5. 133 Demikian juga, kedua Jala>luddin itu, menjelaskan larangan laki-laki kafir (al-Kufa>r), menikahi wanita muslim [ِ]ٗال رْنح٘ا اىَششمي, dengan alasan, untuk menghidari ajakanajakan yang membawa kepada kekufuran yang menuju jalan ke Neraka ( اىْبسٚ)يذع٘ا إى, dan landasan dakwah Islam mengajak kebaikan dan menyerukan jalan ke Surga. Maka menikahi pria musyrik juga dilarang.134 Sebenarnya, maksud kedua Jala>luddin itu, ingin mengatakan larangan menikahi wanita musyrik dan juga pria musyrik.
3.
Jala>luddin Al-Suyu>tti ( w. 911 H/1505 M ), Tafsi>r Al-Du>rr
Manthu>r Fi> Tafsi>r Bi Al-Ma’thu>r.
Jala>luddin Al-Suyu>t}i135 dalam menafsirkan, makna almushrika>t QS.al-Baqarah/2:221, seperti yang dikutip Ibn Abi Ha>tim yang bersumber dari Muqa>til Ibn Hayya>n.136
: وابن المنذر عن مقاتل بن حيان قال, وبن أبى حاتم, أخرج ابن أبى حاتم فى, استأذن النبى صلى هللا عليه وسلم, ّنزلت هذه األية فى أبى َمرثد الغنوى وأبو مرثد, ٌ وهى مشركة, جمال وكانت ذات حظ من, عناق أن يتزوّ جها ٍ ْ َ ] َوال َتن ِكحُوا: فأنزل هللا, إنها تعجبنى, يا رسول هللا: فقال, ٌ يومئذ مسلم [ ت َح َّتى ي ُْؤمِنَّ َوألَ َم ٌة م ْؤ ِم َن ٌة َخ ْي ُر مِّن م ْش ِر َك ٍة َولَ ْو أَعْ َج َب ْت ُك ْم ِ ْال ُم ْش ِر َكا Dikeluarkan Ibn Abi Hatim dan Ibn al-Munzir dari Muqatil bin Hayyan, berkata : diturunkannya ayat ini, berkaitan dengan Abi Martsad al-Ghanawi, yang izin kepada Rasulullah menikahi seorang wanita bernama, ‛ Anaq ‛. Wanita itu adalah wanita cantik dan menarik tetapi Ia musyrik, sedangkan Abu Marsad sebagai seorang muslim, menyatakan ungkapannya kepada Rasul : Wahai Rasulullah, Ia wanita yang cantik dan menarik. Maka Allah menurunkan ayat, ‛ Wala> Tankihu> al-Mushrika>ti Hatta Yu’minna, Wala’matun Mu’minatun Khairun min Mushrikatin Walau ’Ajabatkum ....”. [ Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu].
110
Penafsiran al-Suyut}i bersumber dari sekumpulan athar (riwayat) yang dikutipnya dari beberapa sumber, baik dari Ibn Jari>r, dari Abu> Daud, Al-Baihaqi, dan juga al-T}abra>ni yang asalnya bersumber dari Ibn Abbas r.a, yang kemudian menurutnya, beberapa larangan pernikahan itu masih bersifat umum. Tidak terdapat pendapat secara pribadi atau bentuk analisa atas tafsirannya, melainkan al-Suyuti, hanyalah membolehkan penikahan pria muslim dengan wanita ahl al-kita>b, berdasarkan QS. Al-Maidah/5:5. Sehingga berdasarkan ayat ini, dan didukung dengan beberapa sumber, bahwa menikahi wanita ahl al-kita>b dihalalkan, dengan alasan pengecualian.137 Tetapi maksud wanita musyrik yang dimaksudkan QS.al-Baqarah/2:221 itu belum terungkap dengan jelas? Akan tetapi beberapa keterangan Al-Suyu>t}i itu, sebagaimana yang dikutipnya dari beberapa riwayat-riwayat, seperti dari Al-Baihaqi dalam sunan-nya, menyebutkan, bahwa menurut Said bin Zubayr, maksud wanita musyrik adalah penyembah berhala (ahl al-Awtha>n ), selain itu Muja>hid menyatakan, bahwa wanita Musyrik adalah yang berasal dari penduduk Makkah, dan berbeda lagi dengan pendapat Qata>dah, yang menyatakan, bahwa mereka wanita musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci.138 Tetapi pendapat-pendapat ulama di atas, menurut keterangan al-Suyuti ditentangnya dengan pendapat Ibn Umar r.a, selain tidak sependapat juga dengan ayahnya [Umar bin al-Khattab r.a], yang menyatakan, bahwa menikahi wanita musyrik diharamkan, karena hal itu suatu perbuatan syirik yang terbesar.139 4. Al-Alu>si> ( w. 1270 H ), dalam tafsirnya, Tafsi>r Ru>h al-Ma'a>ni F>i> Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni. Al-Alu>si>140 menafsirkan QS. Al-Baqarah/2:221, menyebutkan seba>b al-nuzu>l ayat yang disampaikan Al-Suddi yang bersumber dari Ibn Abba>s r.a, mengenai kasus Abdullah bin Rawa>hah salah seorang majikan yang sangat marah dengan salah seorang budak wanitanya, hingga terdengar Rasulullah SAW yang berujung pada keinginan untuk menikahinya. Rasulullah setelah mendengan dan bertanya prihal wanita itu, ‛ Bagaimana keadaan ia, wahai, Abdullah ? Abdullah bin Rawahah menjawab : Ia berpuasa, shalat, dan melakukan wudhu’ dengan baik, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, bersaksi bahwa engkau adalah utusan-Nya, maka Nabi SAW
111
berkata : Wahai, Abdullah dia adalah wanita shalehah, Ia beriman. Lalu Abdullah berkata : Demi Tuhan yang mengutusmu wahai Rasul, saya pasti akan memerdekakan dia dan menikahinya. Abdullah menempati janjinya itu lalu menikahinya, walaupun desassesus masyarakat mengecamnya, dengan ejekan-ejekan, sungguh Abdullah telah menikahi budak wanitanya, yang tujuannya ingin mengambil keturunan dari mereka. Maka Allah S.W.T menurunkan ayat QS.al-Baqarah/2:221 ini.141 Al-Alusi mengutip riwayat al-A’ma>shi, menyebutkan, bahwa ayat di atas merupakan larangan menikahi wanita-wanita musyrik selain ahl al-kita>b, karena itu bersadasarkan firman Allah SWT QS.al-Bayyinah/98:1, bahwa menikahi wanita ahl al-kita>b dibolehkan, dengan menjelaskan kedudukan ’at}af, dalam QS alBayinah itu, yang memiliki batasan tertentu, dan menurut penjelasan Ibn Humaid dari Qata>dah, bahwa al-Mushrika>t di sini adalah wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci. Dan menurut riwayat Hamma>d, yang bertanya kepada Ibrahim bin Ishaq mengenai hal menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, Ibrahim hanya menjawab, tidak mengapa, lalu Hamma>d kembali bertanya, bukankah Allah telah melarang pernikahan dengan wanita musyrik dengan firmanNya,[]وال تنكحوم مِِْتكات, Ibra>him menjawab : hal itu berlaku untuk wanita maju>si dan penyembah berhala. Muja>hid dan al-Hasan menyebutnya, telah di-nasakh di dalamnya wanita ahl al-kita>b, sebagaimana mengikuti sebagian mazhab di antaranya, Abu> Hani>fah, tetapi menurut kalangan al-Shaf>i’iyah menyatakan, itu bukan nasakh melainkan takhs}is} .142 Diakhir, al-Alusi juga, menjelaskan penggalan ayat QS. AlBaqarah 221 (ؤِنوم ) وال تنكحوم مِِْتك حت, yaitu pelarangan menikahkan wanita beriman dengan pria ka>fir, baik sebagai ka>fir kita>bi (ahl al-kita>b) atau bukan, apakah statusnya sebagai pria beriman atau budak yang merdeka. Alasan itu, menurut al-Alu>si, karena semua orang-orang muslim menjadi syarat sebagai wali dalam suatu pernikahan. Berbeda dengan pandangan orang-orang musyrik, karena itu Islam menolak pernikahkan pria musyrik dengan wanita muslimah, dan membolehkan menikah dengan seorang budak pria yang beriman, walau statusnya lebih baik dan mulia. Karena itu, maksud kata ( )أؤْئكadalah sebagai alasan, menghindari segala bentuk ajakan mereka, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, apalagi
112
atas dasar kecintaan yang membolehkan menikahi mereka baik lakilaki maupun wanita {[mushriki>n atau mushrika>t].143 Beberapa penafsiran ulama tafsir abad ini, dapat disimpulkan, bahwa penafsiran para ulama tafsir klasik abad pertengahan II, diantaranya, menurut Ibn Kathir, melarang pria mukmin menikahi pria/wanita musyrik [penyembah berhala], tetapi keterangan itu, hanya bersifat umum, kemudian mengkhuskan wanita ahl al-kita>b, dan boleh menikahai wanita mereka. Demikian menurut Jala>luddi>n Al-Mahalli dan Jala>luddi>n al-Suyu>t}i, pendapat keduanya mengharamkan wanita musyrik, walaupun membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b. Sejalan dengan itu, juga al-Alusi, menyatakan hal yang sama, melarang menikahi wanita-wanita musyrik selain ahl al-kita>b. Keterangan-keterangan pendapat ulama di atas, tidaklah terdapat pergeseran kriteria makna al-musyrika>t dalam pandangan umum para ulama tafsir di abad pertengahan ini, akan tetapi penafsiran-penafsiran selanjutnya, akan dilihat bagaimana menurut ulama-ulama tafsir abad modern-kontemporer. G. Persfektif Penafsiran Ulama Tafsir Modern-Kontemporer ( Mulai 1800 M-hingga sekarang ) Tinjauan perspektif ulama tafsir modern-kontemporer, diperlukan untuk memahami pemikiran, latarbelakang, sejarah-sosial kehidupan para ulama tafsir, yang diperkirakan beberapa karya-karya mereka muncul, sejak tahun 1800 M hingga sekarang.144 Sejalan dengan itu, perlu mengetahui penyebab atas terjadinya perubahan serta perbedaan-perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat penikahan beda agama. Beberapa Para Mufassir yang akan di teliti pendapatnya, di abad modern-kontemporer ini, di antaranya, mereka adalah Muhammad Abduh (w. 1332 H/1905 M), Muhammad Rashi>d Rid>a} (w. 1354 H/1935 M), Al-Mara>ghi (w. 1371 H/1945 M), Sayyid Qutb (w. 1386 H/1966 M), Ali Al-S}a>bu>ni (w. 1406 H/1986 M), dan masuk para ulama tafsir yang muncul sekitar abad 20-an Masehi145 atau sekitar abad 14 H, dan mereka di antaranya, Abu>al-'Ala> Al-Maudu>di (w. 1979 M), Sheikh Muhammad Shaltu>t (w. 1963 M), dan sebagainya.
113
1.
Muhammad Abduh (1266-1332 H/1849-1905 M) dan Muhammad Rashi>d Rid}a> ( 1282-1354 H/1865-1935 ), dalam kitabnya, Tafsir Al-Mana>r Bermula dari hasil karya kedua tokoh tafsir modernkontemporer ini, yaitu Muhamad Abduh146 dan Rashi>d Rid}a> 147 yang sangat populer dengan nama kitabnya, Tafsi>r Al-Mana>r,148 yang awalnya merupakan sebuah diktat perkuliahan yang disampaikan Muhammad Abduh di Universitas Al-Azhar,149 kemudian setelah wafat, dilanjutkan dan disusun kembali karya tersebut oleh muridnya, Muhamad Rashi>d Rid}a>.150 Menurut Rashi>d Rid}a dalam penafsiran ayat ( ّ ِ) وال تنكحوووم مِِْووتكات حتوو ووؤ, QS.al-Baqarah/2:221, sejalan dengan penafsiran al-Alu>si>, yang menyatakan bahwa keterangan alSuyu>t}i berbeda dengan al-Wahidi.151 Menurutnya, dalam riwayat alWa>hidi, menyebutkan, ayat al-Baqarah/2:221 itu turun mengenai Abu Marthad, sementara menurut al-Suyu>ti menyebutkan mengenai Abdullah bin Rawahah terkait surat al-Nur/24:3[ مْزمنو ال ونك إال زمن وأ أو ]ِِووتكأ. Analisa Rashi>d Rid}a membenarkan keterangan al-Alu>si, bahwa sebaik-baik keterangan itu adalah menurut al-Suyuti yang telah mengikuti al-Wa>hidi dengan jalur Ibn Abbas r.a, prihal Abu Marthad yang ingin menikahi wanita al-mushrika>t, sedangkan keterangan al-Suyu>t}i prihal Abdullah bin Rawa>hah tentang seorang budak wanita yang ingin dinikahinya karena telah beriman.152 Rashi>d Rid}a> memaknai, kata al-mushrika>t untuk wanita bangsa Arab yang non ahl al-kita>b, yang menurut sebagian para ulama berpendapat kriteria [al-mushrika>t ]masih bersifat umum, mencakup ahl al-Kita>b, karena di antara sebagian mereka adalah musyrik[Subhanahu Ama> Yushriku>n], QS.al-Taubah/9:31, karena landasan kemusyrikan itu ditunjukkan dalam QS.al-Nisa'/4:48 (Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar)(QS. Al-Nisa’/4:48). Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan, bahwa maksud kata [al-mushrika>t ] itu untuk wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci, karena atas dasar itulah gelar ’musyrik’ diberikan kepada mereka, sebagaimana menurut QS. alBaqarah/2:105 dan QS. al-Bayinah/98:1. Dan atas dasar gelar itu pulalah, kedua ayat tersebut, kata [al-mushrika>t ] mencakup ahl al-
114
kita>b dan juga non ahl al-kita>b.153 Menurut ungkapan di atas, Rashi>d Rid}a menyatakan, bahwa ayat-ayat yang disebutkan tadi, sepadan dengan perintah kebolehan menikahi wanita ahl al-Kita>b, sebagaimana diperintahkan menurut ayat ( والمحصنننات مننن المؤمنننات )والمحصننات منن النذين أوتنوا الكتناب منن قنبلكمQS.al-Maidah/5:5. Karena ayat al-Maidah itu turun setelah turunnya ayat al-Baqarah, maka benar, bagi yang menyatakan, bahwa lafaz [al-mushrika>t ] masih umum, mencakup wanita ahl al-kita>b, lalu statusnya di-nasakh atau di-tah}s}i>s} (pengkhususan) dengan turunnya ayat al-Maidah. Suatu hal yang bertentangan dengan pendapat sejumlah ulama tafsir pada umumnya, yaitu mengenai pernyataan bahwa, ayat al-Baqarah/2:221 itu telah me-nasakh ayat al-Maidah/5:5. Juga menyalahi kesepakatan, bahwa ayat al-Baqarah itu lebih dahulu turun dari ayat al-Maidah, dan suatu yang tidak masuk akal, yang lebih dahulu turun me-nasakh yang akhir atau yang datang kemudian. Juga anggapan ulama, yang menta’wilkan, bahwa ayat al-Maidah dikhususkan untuk wanita ahl al-kita>b yang telah beriman. Semua pandangan yang dimaksudkan itu keliru dan tidak berlasanan atas sesuatu yang dihilangkan (mah}dhu>f), karena wanita musyrik jika telah masuk Islam halal dinikahi atas kesepekatan ulama (ijma’ ulama), tetapi hal itu berlaku ketika sebelum diturunkan ayat, jika demikian kemudian dibenarkan pendapat-pendapat itu, maka apalah faedahnya disebutkannya setelah diturunkannya ayat, dan karena itu tidaklah beralasan pelarangan menikahi wanita ahl al-kita>b atas pandangan tersebut, menurut Rashi>d Ridh}a.154 Kemudian Rashi>d Rid}a, dalam menafsirkan penggalan ayat ( ي ُْؤ ٍُِْا٘اٚاش ِميَِ َحزَّا ِ ) َٗالَ رُْ ِنحُا٘ا ا ْى َُ ْش, bahwa menikahkan wanita beriman dengan pria musyrik juga dilarang, karena alasan mereka tidak kafa>’ah (tidak cukup), hingga mereka beriman. Pada saat yang bersamaan, suatu hal yang tak bisa dihindari, menikahi pria yang statusnya mukmin lebih baik dari pada menikah dengan pria kaya atau berkedudukan, tetapi musyrik. Sejumlah ulama menyebutkan pelarangan itu, karena alasan antara orang musyrik dan orang Islam memiliki perbedaan keyakinan, maka berlaku larangan dalam menjalin hubungan pernikahan, baik kepada pria atau wanita mereka. Sementara menikahi wanita ahl al-kita>b telah dibolehkan dengan turunnya ayat al-Maidah 5, walau tidak bersepakat ulama mengenai pernikahan pria ahl al-kita>b dengan wanita muslimah.
115
Menurut Rashi>d Rid}a, larangan itu, telah disepakati sejumlah ulama, baik menurut al-Sunnah ataupun Ijma’.155 Pendapat Rashid Rida sebenarnya, dapat dinyatakan, bahwa kriteria musyrik yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berbeda menurut al-Maidah ayat 5, karena kriteria musyrik itu bukanlah ahl al-Kita>b, melainkan wanita-wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci, dan menurutnya juga ayat itu berlaku larangan bagi wanita muslimah menikahi pria musyrik. 2. Al-Mara>ghi>( 1300-1371 H )/( 1883-1952 M ), dalam kitabnya Tafsir Al-Mara>ghi Penafsiran Al-Mara>ghi>156 terhadap teks QS.al-Baqarah/2: 221, [ ّ ٍِ يااؤٚ]ٗال رْنحاا٘ا اىَشااشمبد حزاا, sebagai suatu perintah pelarangan menikahi wanita musyrik, dengan maksud [Janganlah kalian menikahi wanita musyrik yang tidak memiliki kitab suci, hingga ia benar-benar mereka beriman, membenarkan kenabian Muhammad S.A.W.]. Kata, al-mushrikat dalam ayat ini, dipahami sama maksudnya dengan teks QS. Al-Baqarah/2:105, dan QS. alBayyinah/98:1, yang pada intinya, sebagai larangan menikah dengan wanita musyrik selama masih dalam status kemusyrikan.157 Namun pilihan al-Mara>ghi158 terhadap kebolehan menikahi wanita ahl alkita>b jatuh pada kriteria wanita yang berstatus sebagai budak, bukan pada wanita yang merdeka, menurut teks [ٌٗألٍخ ٍؤٍْخ خيش ٍِ ٗى٘ أعججزن ]ٍشاشمخ,QS.al-Baqarah/2:221. Dalam hal ini diutamakannya status, karena status beriman memiliki nilai tertinggi dari segalanya, harta, pangkat, yang merupakan pelengkap kehidupan semata. Oleh karena itu, pemilihan agama (iman) menjadi alternatif dan sebagai pilihan utama. Menurut Al-Mara>ghi nilai agama, merupakan hal yang urgen, selain menjaga harta, juga mempersiapkan generasi berakhlak mulia, menjadi pilihan yang tepat. Lalu Ia mengutip sabda Nabi SAW dalam riwayat Ibn Majah, menyatakan : Jangan kamu menikahi wanita karena kecantikannya, karena barangkali kecantikan itu akan menjerumuskan, dan jangan kamu menikahi mereka karena hartanya, karena barangkali harta benda membuat kamu kelewat batas, tetapi nikahilah karena agamannya, sesungguhnya budak wanita hitam meskipun tidak 159 cantik tetapi beragama itu lebih baik ‛. ( HR. Ibn Majah ).
116
Kemudian Al-Maraghi menafsirkan ayat ( ٚاش ِميَِ َحزَّا ِ َٗالَ رُْ ِنحُا٘ا ا ْى َُ ْش )ي ُْؤ ٍُِْاا٘ا, yakni tidak menikahkan pria musyrik dengan wanita mukminah hingga mereka benar-benar beriman, dan benat-benar meninggalkan kakafirannya. Pada saat yang sama mereka telah dinyatakan sempurna (kafa>’ah). Lalu menikahi pria muslim walau kedudukannya sebagai budak menjadi pilihan yang terbaik dari pada pria musyrik yang statusnya kaya raya atau berkedudukan. Pada penjelasan (ٔ ا ْى َجَّْا ِخ َٗا ْى ََ ْغ ِفا َش ِح ِثئ ِ ْر ِّاٚابس َٗهللاُ َيا ْذعُ٘ا إِىَا ِ َّْ اىٚ) أٗىئل َيا ْذ ُعَُ٘ إِىَا, sebagai inti ayat ini, isyarat larangan menikahi orang mushriki>n atau mushrika>t, karena terletak pada ajakan-ajakan mereka yang mengarah kepada jalan menuju neraka. Sedangkan dakwa Islam, adalah perintah mentaati Allah dan ajaran-Nya, tidak mengikuti ajakan mereka, dalam hal pernikahan, karena akibatnya kesengsaraan di akhirat, dibanding karena ketaatan yang membawa kepada ampunan serta jalan menuju surga. 160 3. Sayyid Qutb (1326-1386 H)/(1906-1966 M), dalam Tafsi>r Fi> Zila>l Al-Qur’a>n. Sayyid Qutb161 dalam menafsirkan teks QS.al-Baqarah/2:221, sejalan dengan Mufassir pada umumnya. Setelah bersepakat dengan para ulama tentang pelarangan pria muslim menikahi wanita musyrik juga sebaliknya larangan pria musyrik menikahi wanita muslimah.162 Berawal dari kehidupan sosial umat yang tidak didukung dengan kondisi yang aman dan damai, maka datanglah Islam memperbaiki kondisi itu, dengan misi diutusnya seorang Rasul pembawa wahyu, Muhammad SAW, memperbaiki kondisi umat, menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, dilarangnya kemusyrikan.163 Diturunkanya QS.al-Baqarah/2:221 ini, sebagai aturan baru dalam sebuah pernikahan, melarang pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrik yang pernah terjalin sebelumnya, sebagai solusi, disepakatinya perjanjian Hudaibiyah (pada abad 6 H) Allah S.W.T dengan turunnya QS. alMumtahanah/60:10.164 Merupakan awal pelarangan pernikahan muslim dengan wanita musyrik [kafir], sebagaimana dilarangannya penikahan pria musyrik terhadap wanita mukmin. Berlandaskan kecintaan kepada Allah SWT bagi dua insan berbeda keyakinan, mengawali turunnya teks QS. Al-Baqarah/2:221[ ٚٗال رْنح٘ا اىَششمبد حز ّ ٍِ]ياؤ, yang bertujuan mengangkat derajar manusia di antara maklukmakhluk lainnya, merupakan alasan pelarangan pernikahan berbeda
117
agama, dan bertujuan menjadikan lebih bermartabat, sesuai dengan manhaj (metode) Islam.165 Karena itu, dalam konteks ini, menikahi wanita merdeka atau sebagai budak sekalipun, tidak menjadi halangan, bahkan, Sayyid Qutb, menggarisbawahi status beriman, menjadi syarat mutlak, menempati posisi yang utama, sesuai kandungan teks QS. Al-Baqarah/2:221[ ]ٗألٍااخ ٍؤٍْااخ خيااش ٍااِ ٍشااشمخ. Kemudian dalam menafsirkan ayat ( ي ُْؤ ٍُِْاا٘اٚااش ِميَِ َحزَّاا ِ ) َٗالَ رُْ ِنحُاا٘ا ا ْى َُ ْش, Sayyid Qutb, menekankan, bahwa larangan menikahi pria musyrik itu, atas dasar dua alasan, yaitu, pertama, dua dakwah yang besebrangan, kedua, peringatan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah atas ajaran agama ini. Dua dakwa yang besebrangan itu, bahwa orang-orang musyrikin slalu mengajak kepada jalan ke neraka, sedangkan orang beriman mengajak kepada jalan menuju ke surga, dan tidak mungkin bisa bertemu antara dua jalan yang berbeda arah atau berbeda keyakinan ? Jelasnya, hal itu sebuah pelajaran, mengingatkan untuk menghindari pernikahan semacam ini. 166 4. Muhammad Ali Al-S}a>buni ( w. 1406 H / 1986 M ), dengan kitabnya, Tafsi>r Ayat al-Ah}kam Min Al-Qur'an. Penafsiran Ali Al-S}a>bu>ni167 terhadap ayat QS. al-Baqarah/2:221, menyatakan, bahwa makna al-mushrika>t adalah al-wathaniyah, yang dipahami sebagai penyembah berhala, dan tidak memiliki sumber ajaran agama samawi. Selain dikatgorikan sebagai ahl al-kita>b, yang umumnya pengikut Yahudi dan Nasrani, diklaim juga sebagai musyrik, menurut QS.al-Taubah/9:30-31.168 Ayat al-Baqarah di atas, merupakan pelarangan atas pernikahan pria muslim dengan wanita maju>si, karena mereka juga dinyatakan sama sebagai penyembah berhala (wathaniyah). Pendapat ini, tentu bertentangan dengan Jumhur Ulama diantaranya, menurut Empat Mazhab, yang membolehkan menikahi ahl al-kita>b, dengan berargumentasi, dan telah menjadi kesepakatan ulama menurut QS.al-Maidah/5:5, bahwa lafaz al-mushrika>t tidak termasuk ahl al-kita>b, dan berdasarkan QS. al-Baqarah/2:105 dan QS. al-Bayyinah/98:1, sebagaimana analisa dari aspek bahasa dibedakan dengan adanya wawu at}af, yang ma’t}u>f dibedakan dengan yang ma’t}u>f ’alaih, sehingga menurut kaidah bahasa Arab, kata, al-mushrika>t bukanlah bagian dari ahl al-kita>b. Menurut pandangan Jumhur ulama salaf sebagai argumentasi mereka terhadap alasan, yang bersumber dari Qata>dah, menyatakan bahwa
118
lafaz al-musyrika>t adalah wanita musyrik penduduk Makkah yang tidak memiliki kitab suci. 169 Ali al-Sa>buni berpendapat, dengan mengutip riwayat Hamma>d, berkata Ia, bahwa, ”Saya pernah bertanya kepada Ibrahim prihal menikahi wanita Yahudi dan Nasrani? Ia menjawabnya : la> ba’sa [tidak apa-apa], lalu Ibrahim berkata lagi, bukankah Allah telah ّ berfirman [ ٍِيؤ ٚ] ٗال رْنح٘ا اىَششمبد حز, Sesungguhnya mereka itu adalah wanita maju>si dan penyembah berhala. Al-Sa>buni, juga mengutip pendapat Jumhur, yang menyatakan atas penolakannya, bahwa ayat al-Baqarah menasakh ayat al-Maidah, karena alasan ayat al-Baqarah turun lebih awal dari ayat al-Maidah, dan menurut kaidah yang benar, yang akhir turun menasakh yang awal dan tidak sebaliknya. Selain itu, Ali Al-Sa>bu>ni juga berargumentasi, dengan hadith Umar r.a, diriwayatkan bahwa, Hudhaifah menikahi wanita Yahudi, Umar ra. berkrim surat agar Hudhifah menceraikan istrinya itu, lalu dibalasnya, dengan katanya, apakah hal itu haram ? Umar r.a menjawab: itu tidak haram, melainkan aku hanya kwawatir saja, bila hal itu akan diikuti oleh umat ini dan menjauhi wanita muslimah. Maka dengan ini, sebenarnya Umar r.a tidak ingin menyatakan haram, melainkan hanya kwawatir saja. Berdalil dengan riwayat Abdurahman binAuf, bahwa Rasulullah bersabda: ( Sannu Bihim
sunnata ahl al-Kitabi, ghairi Nakihi Nisa’ihim Wala A>kili Dhaba>’ihim )(Perlakukanlah wanita Maju>si itu seperti memperlakukan Ahl al-Kita>b, tidak menikahi wanita mereka dan juga tidak memakan hasil sembelihan mereka ), hal itu mengenai Majusi. 170 Diakhir keterangan itu, Al-Sa>bu>ni menyatakan, jika hal itu tidak menunjukkan kebolehan, maka tidak berpaedah penyebutannya. Lalu Ali Al-S}a>bu>ni juga mengutip pendapat al-T}abari, yang mengatakan, bahwa Qata>dah, menyatakan ayat [] ٗال رْنح٘ا اىَششمبد, tidak masuk kriteria wanita ahl al-kita>b, dengan alasan yang bersifat umum, dan tidak menyatakan naskh, karena alasan itulah mereka bukanlah musyrik, dihalalkan menikahi wanita mereka berdasarkan al-Maidah/5:5, dan atas dasar ayat ini pula, izin kebolehan menikahi wanita ahl al-Kita>b. Mengutip hadith Nabi S.A.W, melalui riwayat Umar bin al-Khattab, ” Bahwa orang-orang mukmin boleh menikahi wanita Nasrani dan Pria Nasrani tidak boleh menikahi wanita-wanita muslimah ”. 171 Sesungguhnya dengan hadith itu, Umar r.a ingin meyatakan tercela, buka haram.
119
َ َٗ Kemudian al-Sa>bu>ni menjelaskan ayat ( َّٚال رُْ ِنحُ٘ا ا ْى َُ ْش ِش ِميَِ َحز )ي ُْؤ ٍُِْ٘ا, pertanyaannya, bagaimana menikahi pria musyrik dilarang ? Ali al-Sa>bu>ni menjawab: bahwa maksud kata “mushrik” adalah setiap orang kafir yang tidak beragama selain Islam. Maka mencakup wathany (penyembah berhala), Maju>si, Yahudi dan Nasrani, dan orang-orang yang keluar dari agama Islam, mereka dilarang untuk dinikahi. 172 Sebagai kesimpulan terhadap penafsiran Ulama tafsir modernkontemporer ini, Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a>, menyatakan larangan menikahi wanita musyrik bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci, dan membolehkan menikahi wanita ahl al-Kita>b atau non ahl al-Kita>b. Sementara menurut Al-Mara>ghi, menyimpulkan tidak boleh menikahi wanita musyrik atau pria musyrik, selama masih dalam status kemusyrikan, tetapi boleh menikahi wanita muh{s}ana>t, walau berstatus sebagai budak atau merdeka. Pendapat Sayyid Qutb, sejalan dengan mufassir lain, Ia sepakat terhadap pelarangan pria muslim menikahi wanita musyrik atau sebaliknya pria musyrik menikahi wanita muslimah. Demikian menurut Ali Al-S}a>bu>ni mengharamkan pria/wanita musyrik[penyembah berhala dan maju>si], dan membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b. 5. Abu> al-‘Ala> Al-Maudu>di ( 1321-1399 H/1903-1979 M ), dalam Kitabnya Tafhi>m Al-Qur’a>n. Menurut Abu ‘Ala> al-Maudu>di,173 sebagaimana yang dikutip Abdul Muta’a>l, bahwa penyembah berhala dan kaum atheis adalah kelompok yang amat jauh dari agama Islam, baik peradaban dan kepercayaan. Maka menurutnya secara mutlak dilarang menikahi perempuan salah satu di antara mereka. 174Tanpaknya pendapat tersebut, sejalan dengan pendapat Jumhur ulama, yang menyatakan bahwa, wanita musyrik [al-mushrika>t] itu bukan hanya sebatas wanita bangsa Arab saja, melainkan mencakup semua wanita musyrik non Arab dimana saja berada. Dengan kata lain, bahwa semua wanita baik ia bangsa Arab atau non Arab selain ahl al-Kita>b, yakni baik Yahudi dan Kristen tidak boleh dinikahi. Menurut pendapat ini, wanita yang bukan muslimah dan bukan pula Yahudi atau Kristen tidak boleh dinikahi oleh pria muslim apapun agama dan kepercayaan mereka, seperti, Budha, Hindu, Konghuchu, Majusi, karena mereka termasuk katagori musyrik. Bahkan keharaman itu tidaklah cukup sampai disitu, bukan saja keharaman bagi wanita musyrik tetapi juga
120
bagi wanita atheis yang tidak percaya kepada Allah SWT, tetapi percaya kepada alam ini sebagai suatu kekuatan yang kekal. 175 6. Mahmud Shaltu>t ( 1893-1963 M ), Dalam Tafsir Al-Qur’an Wa al-Mar’ah. Muhammad Shaltu>t176 dalam fatwanya mengenai QS. AlBaqarah/2:221 ini, prihal pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik, atau pernikahan antara wanita muslimah dengan pria musyrik, berdasarkan kesepakatan Jumhur statusnya dilarang. Hal itu sudah menjadi kesepakatan semenjak zaman Nabi SAW hingga sekarang, karena alasannya, bahwa kata‚ al-mushrika>t adalah mereka yang tidak mempercayai adanya Tuhan dan tidak memiliki kitab samawi. Berdasarkan alasan itu, bahwa Islam tidak mengenal adanya hubungan pernikahan antara wanita muslimah dengan pria musyrik, dan tidak membenarkan orang muslim menjalin hubungan pernikahan dengan wanita musyrik apapun alasannya. Hal itu dipertegas dengan Al-Qur‟an secara s}arikh (tegas), bahkan menjadi kesepakatan Jumhur Ulama berdasarkan QS. al-Baqarah/2:221[ ٚٗال رْنح٘ا اىَششمبد حز 177 ّ ٍِ]يؤ. Pendapat Shaltut juga diungkap oleh Muhammad Quraish Shihab dalam, Wawasan Al-Qur’an, bahwa telah disetujui perkawinan seorang muslim dengan wanita non muslim yang berstatus ahl al-kita>b, dengan tujuan perkawinan tersebut membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga akan terkikis dari sang istri rasa kurang senangnya terhadap ajaran Islam, dan perlakuan suaminya yang baik, walaupun berbeda agama, menjadikan sang istri lebih mengenal keindahan dan keutamaan Islam secara praktis (amaliyah), sehingga dampak perlakuan baik sang suami adalah ketentraman, kebebasan beragama, serta hak-hak lainya, dirasakan sebaimana layaknya seorang istri. Tetapi Shaltut juga menegaskan, jika sesuatu yang mejadi alasan di atas tidak tercapai dan tidak terpenuhi, sebagaimana sering terjadi [di Barat], para ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan semacam itu, termasuk mereka yang sebelumnya membolehkan. Jika demikian, seorang wanita muslim juga dilarang mengawini pria musyrik dengan alasan rasa kwawatir akan berpengaruh dibawah kekuasaan sang suami yang berbeda agama, maka perkawinan pria muslim dengan wanita ahl alkita>b, harus pula tidak dibenarkan, karena kwawatir terhadap anakanak di masa depan, terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan
121
ajaran Islam. 178 Sedangkan menurut Muhammad Saltut, tentang pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim (musyrik), telah disepakati status hukumnya, sejak zaman Rasulullah SAW dan kesepakatan Ulama (ijma„), hingga sekarang, secara mutlak diharamkan, hingga tidak ada pengecualian lagi, menurut QS. AlBaqarah/2:221 ( يؤٍْ٘اّٚ) ٗال رْنح٘ا ىَششميِ حز. 179 Sebagai kesimpulan, dari pendapat-pendapat ulama-ulama tafsir Modern-kontemporer yang diungkap di atas, yaitu, menurut alMaudu>di, bahwa penyembah berhala dan kaum atheis adalah kelompok yang amat jauh dari agama Islam, baik peradaban dan kepercayaan. Maka secara mutlak haram menikahi perempuan mereka. Sejalan dengan pendapat Jumhur ulama, mereka menyatakan bahwa, wanita musyrik [al-mushrika>t ] itu bukan hanya terbatas pada wanita bangsa Arab saja, melainkan mencakup semua wanita musyrik Arab dan non Arab [Budha, Hindu, Konghuchu, maju>si] dimana saja berada. Muhammad Shaltut, menolak pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik, dan sebaliknya. Karena menurutnya kata‚ almushrika>t dipahami mereka yang tidak mempercayai adanya Tuhan dan tidak memiliki kitab samawi. Berikutnya, beberapa pembahasan mengenai pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik, dan akan lebih fokus lagi, menurut pandangan ulama-ulama tafsir Indonesia dan juga Cedikiawan Muslim. H. Perspektif Ulama Tafsir Indonesia dan Cendikiawan Muslim. Dalam pembahasan ini, kajian tentang pernikahan beda agama terhadap tefsir katya-karya ulama Indonesia, seperti, Haji Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Muhammad Quraish Shihab dan sebagainya. Selain itu, masuk beberapa kalangan sarjana muslim dan cendekiawan muslim Indonesia, yang turut berbicara tentang alQur‟an. Maka dimasukkan dalam kedalam kajian ini, untuk mengetahui pandangan ulama-ulama mereka, tentang pandangan tafsir ayat-ayat pernikahan beda agama, termasuk, Nurchalis Madjid dan sebagainya.180 1. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah/Hamka(w. 1981 M), dalam Tafsir Al-Azhar, 1973 Hamka, 181adalah di antara salah seorang Mufassir Indonesia yang terkenal, penafsiranya dengan tegas terhadap QS. alBaqarah/2:221 ini, (َِّ ٍِ ي ُْؤَّٚد َحز ِ ) َٗالَ رَ ْْ ِنحُ٘ا ْاى َُ ْش ِش َمب, menyatakan, bahwa
122
telah menjadi suatu pilihan hidup (way of life), perintah berhati-hati memilih teman hidup, yakni isteri, karena ia yang akan menjadi teman hidup dan menegakkan rumah tangga bahagia, beriman, damai, menurunkan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Kemudian, Hamka menyebutkan asba>b al-nuz>ul ayat ini, terkait dengan Marthad alGhanawi terhadap pelarangan menikahi wanita musyrik.182Alasan Hamka atas larangan pernikahan ini, adalah jika seseorang telah menikahi wanita non muslim, pasti akan berpengaruh terhadap keharmonisan rumahtangga, terlebih setelah memiliki anak, maka ungkapan terus terang sebelum mengawininya, jika telah masuk Islam. "Dan sesungguhnya seorang hamba perempuan yang beriman, lebih baik dari pada perempuan (merdeka) yang musyrik walaupun sebagai budak, lebih baik dari pada perempuan (meredka) yang musyrik, walaupun (kecantikan perempuan yang merdeka itu) menarik hati QS. Al-Baqarah/2:221.183 Hamka menyebutkan sebab nuzu>l ayat ini, dalam riwayat yang lain, bahwasanya sahabat Nabi yang terkenal gagah berani dalam perang, Abdullah bin Rawahah namanya, Ia sangat marah, hingga menempeleng budak perempuannya, walaupun ia hitam kulitnya, tetapi amatlah shaleh. Penyesalannya, hingga terdengar oleh Rasulullah, sampai terdetik dalam hatinya, ingin memerdekakan dan mengawininya. Kemudian Abdullah mengawini budak wanitanya. Maka turunlah ayat ini, menyatakan, bahwa budak perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan merdeka yang musyrik walaupun ia cantik.184 Hamka menafsirkan penggalan QS. AlBaqarah/2:221, ( َْ٘ك َٗى ٍ ي ُْؤ ٍُِْ٘ا َٗىَ َعجْذ ٍُّ ْؤ ٍِِ خَ ْي ُشُُ ٍِِّ ٍُّ ْش ِشََّٚٗالَ رُْ ِنحُ٘ا ا ْى َُ ْش ِش ِميَِ َحز ٌْ " )أَ ْع َججَ ُنDan janganlah kamu kawinkan laki-laki yang musyrik, sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak lelaki yang beriman lebih baik dari pada seorang pria yang musyrik, walaupun kamu tertarik padanya". Menurut Hamka, larangan menikahi laki-laki musyrik itu, menjadi dasar larangan, jika rumahtangga yang dibangunnya atas dasar perbedaan keyakinan, dan tidak akan ada ketenteraman. Karena mereka akan mengajak kepada jalan masuk neraka, baik itu neraka dunia atau neraka akhirat karena ajakanajakan mereka yang tidak benar. Dan bila pernikahan membuahkan keturunan (anak), tidaklah mungkin pertumbuhan jiwa seorang anak itu sehat, karena dibawah asuhan sang ayah dan ibu yang berlawanan haluan (keyakinan). Maka dengan ayat ini pula, Hamka menegaskan, bahwa krietria kafa>'ah (cukup) antara laki-laki dan perempuan adalah
123
persamaan pendirian, persamaan anutan agama [Islam] yang menjadi pilihan.185 Diujung ayat Hamka, menegaskan bahwa, ()أٗىئل, Sesungguhnya Allah mengajak kamu kepada surga dan magfirah(ampunan) dengan izinNya, dan dijelaskan ayatnya ayatayatNya kepada manusia suapay mereka ingat (QS/al-Baqarah/:221. Ujung ayat menegaskan, ayat-ayat di sini berarti perintah. Tidak boleh diabaikan. Sebab rumahtangga wajib dibentuk dengan dasar yang kokoh, dasar iman dan tauhid, bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Maghfirah dan anpunan Tuhan meliputi rumahtangga yang demikian. Alangkah bahgia suami-istri karena persamaan pendirian dalam menuju Tuhan, Alangkah bahagia, sebab dengan izin Allah mereka akan bersama-sama menjadi isi Surga. Inilah yang wajib diingat, jangan mengingat kecantikan perempuan, karena kecantikan itu berapa lama akan pudar. Dan jangan terpesona dengan kekayaan seorang laki-laki, karena kekayaan lelaki yang musyrik tidak ada berkahnya. Dengan ayat ini, dijelaskan orang Islam tidak kufu dengan segala orang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain. 186 Pada kesimpulannya, menurut Hamka, telah dilarang pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik menurut ayat alBaqarah di atas, sebagaimana juga berlaku larangan itu bagi pria musyrik yang ingin menikahi wanita muslimah. 2. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsi>r Al-Misba>h, 1990 M Menurut Quraish Shihab,187 bahwa maksud QS. AlBaqarah/2:221, dalam memilih pasangan merupakan batu pertama sebagai pondasi bangunan rumah tangga, karena ia harus sangat kokoh, jika tidak, bangunan akan mudah roboh kendati hanya dengan sedikit goncangan. Lerlebih, bila beban yang ditampungnya semakin berat dengan kelahiran sang anak. Pondasi yang kokoh, bukan hanya kecantikan dan ketampanan, karena keduanya bersifat relatif, sekaligus cepat pudar, bukan juga harta, karena harta mudah di dapat sekaligus akan mudah lenyap, bukan pula status sosial atau kebangsawanan, karena yang inipun sementara, bahkan dapat lenyap seketika.Tetapi pondasi yang kokoh adalah yang bersandarkan kepada iman kepada Yang Maha Esa, Maha Kaya, Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Karena itu wajarlah jika pesan pertama kepada mereka yang bermaksud ingin membina rumah tangga adalah, dengan ّ ayat [ٍِيؤ ٚ ” ]ٗال رْنح٘ا اىَششمبد حزJanganlah kamu menikahi (menjalin hubungan dengan ikatan perkawinan) dengan wanita-
124
wanita musyrik, para penyembah berhala, sebelum mereka beriman kepada Allah SWT, dan beriman kepada Muammad S.A.W, sesungguhnya wanita budak, yang berstatus sosial rendah, menurut pandangan masyarakat, tetapi mukmin, lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun menarik hati, karena ia cantik, bangsawan, kaya, dan lain-lain. 188 Pengertian mushrik, menurut Quraish Shihab adalah siapapun yang melakukan aktivitas bertujuan ganda, pertama percaya kepada Allah dan kedua, percaya kepada selain Allah. Seseorang dikatakan musyrik, jika percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, oleh karena itu, orang Kristen yang percaya kepada trinitas adalah musyrik. Tetapi menurut Quraish Shihab, hal itu berbeda dengan pandangan umum para pakar al-Qur‟an, yang menurut mereka kata‟mushrik‟atau‟mushriki>n‟, atau‟mushrika>t, digunakan untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah. Mereka adalah para penyembah berhala, yang ketika diturunkannya Al-Qur‟an masih sangat banyak, khususnya yang bertempat tinggal di kota Makkah. Dengan demikian istilah al-Qur‟an tentang mereka berbeda dengan pandangan para ulama pada umumnya. Karena itulah, penganut agama Kristen yang percaya kepada Tuhan Bapak dan Tuhan Anak, yang menurut para ulama tafsir sebagai orang-orang yang mempersekutukan Allah, namun menurut Al-Qur‟an mereka bukanlah orang-orang musyrik, melainkan mereka dinamakan ahl alkita>b. Hal itu dapat dilihat dengan bunyi ayat-ayat al-Qur‟an, surat alBaqarah/2:105, surat al-Bayyinah/98:1. Kemudian, dalam kedua ayat tersebut, ditemukan istilah ka>fir, yang dapat dipahami, pertama : ahl al-kita>b , dan yang kedua, adalah orang-orang musyrik (al-Mushrika>t dan al-Mushriku>n). Dua istilah yang digunakan alQur‟an satu subtansi yang sama, yakni kekufuran dalam dua nama yang berbeda, yaitu, ahl al-kita>b dan al-mushrika>t atau almushriku>n. Dua perbedaan istilah tersebut, akan banyak dijumpai dalam al-Qur‟an, di antaranya izin bagi pria muslim menikahi wanita ahl al-kita>b yang dibolehkan menurut QS. Al-Maidah/5:5. Tetapi bagi yang memahami kata mushrik, mencakup ahl al-kita>b, mereka menilai bahwa ayat al-Maidah itu telah dibatalkan hukumnya oleh ayat al-Baqarah di atas. Namun hal itu, sulit diterima, karena ayat alBaqarah lebih dahulu turunnya dari ayat al-Maidah, dan tidak logis, sesuatu yang turun lebih dahulu membatalkan hukum yang datang kemudian. Dan lebih sulit lagi diterima, yang berpendapat, bahwa
125
tidak ada ayat yang batal hukumnya. Belum lagi sekian banyak riwayat yang mengatakan, dan sekian banyak bukti para sahabat dan para tabi‟in, yang menikah dengan ahl al-kita>b, seperti Khalifah Usman bin Affan, dan juga sahabat lain, yaitu T}alhah dan Zubair r.a menikah dengan wanita Yahudi. 189 Dengan demikian, menurut Quraish Shihab, terdapat istilah lain yang tidak disebutkan di atas, yaitu ka>fir, bedasrkan QS alBayyinah/98:1, istilah itu, menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu ahl al-kita>b dan orang-orang musyrik. Perbedaan itu dipahami karena adanya huruf at}af (wawu), yang menurut Quraish Shihab, menghimpun dua hal yang berbeda, maka yang dilarang mengawinkan wanita muslimah dengan pria musyrik, sedangkan yang dibolehkan menurut ayat al-Maidah ini adalah mengawini wanita ahl al-kita>b.190 Kemudian Quraish Shihab melanjutkan tafsirannya, dengan penggalan ayat ( ي ُْؤ ٍُِْ٘ا َٗىَ َعجْذََّٚٗالَ رُْ ِنحُ٘ا ا ْى َُ ْش ِش ِميَِ َحز ٌْ ك َٗىَْ٘ أَ ْع َججَ ُن ٍ ) ٍُّ ْؤ ٍِِ َخ ْي ُشُُ ٍِِّ ٍُّ ْش ِش, Dalam penggalan ayat pertama ( ٗال ٍِ يؤٚ)رْنح٘ا اىَششمبد حز, bahwa ayat ini penekanannya pada seorang pria muslim. Sedangkan penggalan ayat kedua ini ( ََِٗالَ رُْ ِنحُ٘ا ا ْى َُ ْش ِش ِمي ي ُْؤ ٍُِْ٘اَّٚ)حز, َ bahwa penekanannya terletak pada para wali. Para wali dilarang mengawinkan wanita-wanita dengan orang-orang musyrik. Paling tidak menurut Quraish Shihab ada dua yang harus digarisbawahi, yaitu, Pertama, dalam penggalan kedua tersebut kepada wali memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang penting dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita dibawah perwaliannya. Dalam hal ini, perlu diperluas dalam kajian fiqh, yang porsinya lebih mendetail, karena di antara para ulama beraneka ragam pendapat dalam masalah ini. Ada yang berpedapat sangat ketat, sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti darai para wali dalam penentuan calon suami bagi putrinya. Maka disebutkan, bahwa tidak sah pernikahan tanpa wali ( ٚ)ال ّنب ّإال ث٘ى (tidak sah pernikahan tanpa wali), tetapi ada juga yang sekedar memberi hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan, jika perkawinan berlangsung tanpa wali atau tanpa restunya. Menurut pandangan ini, tuntutan tersebut tidak serta merta dapat dibenarkan, kecuali setelah memenuhi sejumlah syarat.betapaun demikian, perlu diingat, bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam, adalah perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antara suami-isteri, sekaligus antara keluarga, bukang saja keluarga masing-masing, tetapi juga antar kedua mempelai. Dari sinilah peranan orang tua
126
dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik dengan memberi mereka kewenangan yang besar, maupun sekedar restu tanpa mengurangi hak anak. Karena itu, Rasulullah memerintahkan orang tua untuk meminta persetuuan gadisnya, atau paling tidak ada kesepakatan antara kedua orang tua. Hal yang kedua, yang perlu digarisbawahi, bahwa laranga perkawinan wanita muslimat dengan orang musyrik, walaupun pandangan umumnnya ulama tidak memasukkan Ahl al-Kitab dalam katagori musyrik, tetapi ini bukan berarti izin pria ahl al-kitab mengawini wanita muslimah. Larangan tersebut menuruta ayat di atas, berlanjut hingga mereka beriman. Sedangkan ahl al-kita>b, tidak dinilai beriman dengan iman yang dibenarkan Islam. Bukankah mereka (walaupun tidak dinamai musyrik), dimasukkan dalam katagori kafir ? Apalagi dalam kata ayat lain dipahami, bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan juga mengawini atau dikawinkan dengan pria Ahl al-Kitab, sebagaimana yang secara tegas dinyatakan oleh QS. alMimtahanah/60:10”Mereka wanita-wanita muslimah, tidak dihalalkan bagi orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itu tidak halak pula bagi mereka. Menurut ayat ini, tidak menyebutkan ahl alKita>b, tetapi dengan istilah yang digunakannya adalah ” orang-rang kafir”, dan seperti yang diutarakan di atas, ahl al-Kitab adalah salah satu dari kelompok orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak menyebutkan ahl al-Kita>b, namun ketidakhalalan tersebut mencakup dalam kata orang-orang kafir. 191 Dapat disimpulkan bahwa, Quraish Shihab menyatakan larangan menikahkan wanita-wanita muslimah dengan pria musyrik, sebagaimana juga orang-orang Islam dilarang menikahi wanitawanita musyrik. 3. Tim Tafsir Departemen Agama RI Dalam menafsirkan ayat QS.al-Baqarah/2:221, Tim Departemen Agama192 menyebutkan asba>b nuzu>l ayat ini, berkenaan, Marthad bin al-Ghanawi yang ingin menikahi wanita musyrik. Dalam tafsirnya, kata al-nika>h disepakati sebagai sebuah akad (ikatan atau perjanjian), dan kata wat} (jima' : bersebadan). Istilah Nikah, adalah akad perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan syarat dan rukun tertentu, menurut syariat Islam. Kata al-nika>h, dengan segala bentuknya telah disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur'an, baik surat al-Baqarah/2:221, al-Nisa'/4:3,6,25 serta al-Nur/24:33. Menurut ayat
127
ini, secara tegas merupakan pelarangan pernikahan antara orang mukmin dengan orang-orang musyrik. Dengan kesimpulan, bahwa ayat ini, (1). Melarang laki-laki mukmin menikah dengan perempuan musyrik dan juga melarang menikahkan perempuan mukmin dengan laki-laki musyrik, selama mereka tetap dalam kemusyrikannya.(2). Larangan ini, tidak ada tawar-menawar lagi, sebab erat hubungannya dengan keturunan dan masa depan Islam. (3). Kaum musyrik yang menyembah selain Allah itu akan slalu berusaha memusyrikan orangorang mukmin kejurang kehancuran dan kesesatan.193 Kesimpulan penafsiran ulama-ulama Indonesia, (1). Menurut, Hamka, dilarangan menikah laki-laki muslim dengan wanita musyrik, juga melarang menikahkan wanita-wanita muslimah dengan pria musyrik, karena mereka akan mengajak kepada jalan masuk neraka, baik itu neraka dunia maupun neraka akhirat, karena ajakan-ajakan mereka yang tidak benar. (2). Menurut Quraish Shihab, dilarangan pria muslim menikah dengan wanita musyrik, demikian halnya, mengawinkan wanita muslimah dengan pria musyrik, dan yang dibolehkan mengawini wanita ahl al-kita>b, (3). Menurut penafisran Tim Departemen Agama (DEPAG), melarang laki-laki mukmin menikah dengan perempuan musyrik dan melarang menikahkan perempuan mukmin dengan laki-laki musyrik, selama mereka tetap dalam kemusyrikannya. 4. Sarjana Muslim Indonesia dan Cendikiawan Muslim Terdapat beberapa pandangan para sarjana muslim dan cendikiawan muslim dalam memahami QS.al-Baqarah/2:221 ini, terkait term al-mushrika>t. Di antaranya : (1). Nurcholis Majid dalam bukunya, Fiqh Lintas Agama, dalam memahami tafsiran ayat tersebut, dengan membedakan beberapa istilah, term musyrik, istilah ahl al-kita>b, serta ahl al-i>man. Secara ekplisit dan jelas, Allah dalam kitab suci-Nya, bahwa kepercayaan ahl al-kita>b, didasarkan pada perbuatan syirk, seperti yang dikatakan mereka dalam firmannya, ”....Sesungguhnya Allah itu adalah al-Masi>h putra Maryam....(al-Maidah/5:17), dan mereka juga berkata :"Bahwa Allah adalah yang ketiga dari trinitas ( alMaidah/5:73), dan mereka berkata lagi: ...” al-Masi>h putra Allah (al-Taubah/9:30), begitu pula orang-orang Yahudi berkata, sebagaimana disebutkan al-Qur‟an, .....Uzair putra Allah ( alMaidah/5: 30), dan perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan adalah
128
perbuatan shirk, tetapi al-Qur‟an sebagai wahyu yang datang langsung dari Allah telah memilih dan menempatkan kata-kata itu dengan istilah yang sangat tepat, dan al-Qur‟an tidak menyebutkan mereka dengan sebutan ‟ mushrik ‟, akan tetapi mereka tetap di panggil dengan sebutan ahl al-Kita>b.194 Seperti dalam ungkapan di atas, dapat diidentifikasikan, mengenai siapa yang dimaksudkan alQur‟an sebagai orang musyrik, yang kemudian haram dikawini oleh orang-orang Islam menurut QS.al-Baqarah/2:221.Karena dikatakan musyrik, bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi juga tidak mempercayai salah satu kitab suci samawi, baik yang terdapat penyimpangan maupun yang masih asli, disamping tidak seorang nabi pun yang mereka percayai. Sedangkan ahl al-kita>b, adalah orang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab samawi, baik yang sudah terjadi penyimpangan pada mereka, baik dalam bidang akidah atau amalan, sedangkan yang dimaksdukan mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan risalah Nabi Muhammad, baik mereka lahir dalam keadaan Islam ataupun kafir kemudian memeluk Islam, yang berasal dari ahl alkita>b atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja. Demikian, menurut Nurchalis Madjid. 195 Demikian jelas, penegertian ketiga istilah di atas. Oleh karena itu, bila Allah telah mengharamkan mengawini perempuan musyrik, seperti al-Qur‟an al-Baqarah/2:221 ini, maka tidak tepat bila dipahami al-mushrika>t itu adalah perempuan ahl al-kita>b. Bahkan menurut Imam Muhammad Abduh secara lebih spesifik dan secara terang berpendapat, sebagai mana ditukil oleh muridnya Rashi>d Rid}a>, bahwa perempuan yang haram dinikahi oleh laki-laki muslim dalam ayat ini, adalah perempuan-perempuan musyrik Arab. Pertanyaannya apakah masih ada sampai saat ini orang-orang seperti musyrik Arab itu ? Pandangan Nurcholis Madjid tentang masuknya non-muslim ke dalam katagori musyrik ditolak dengan beberapa alasan, yaitu : Pertama, sejumlah ayat dalam al-Qur‟an membedakan antara orang-orang mushrik dengan ahl al-kita>b (Kristen dan Yahudi). Beberapa ayat dalam al-Qur‟an menggunakan waw sebagai huruf at}af, sebagai pembeda antara kata sebelumnya dengan sesudahnya. Maka atas dasar inilah terdapat perbedaan antara kata ‟mushrik‟ dan kata ’ahl al-kita>b’. Dalam hal ini, Ibn Jari>r al-T}abari dalam kitabnya [Ja>mi’ al-Baya>n an Ta’wi>l Al-Qur’a>n], termasuk salah seorang
129
Mufassir terkemuka, yang menafsirkan kata ”mushrik ” sebagai orang-orang yang bukan ahl al-kita>b. 196 Kedua, larangan menikahi musyrik, karena dikwawatirkan wanita musyrik atau laki-laki musyik memerangi orang-orang Islam. Sebagaimana diketahui, bahwa ayat ini turun dalam situasi, dimana terjadi perang antara orang-orang muslim dengan orang-orang musyrik Arab. Disini jelas, bahwa yang dimaksud mushrik berarti orang-orang yang suka memerangi orang-orang muslim. Tetapi Imam al-Ra>zi adalah salah seorang ulama yang menolak bahwa makna ‟mushrik‟, ditujukan kepada kalangan bangsa Arab, melainkan mereka yang suka memerangi orang-orang muslim, dan karenanya, kaum musyrik bukanlah ahl al-dhimmah.197 Ketiga, dalam masyarakat Arab terdapat tiga kelompok masyarakat yang disebut sebagai kelompok lain, yaitu, mushrik, Kristen dan Yahudi. Yang disebut mushrik adalah mereka yang mempunyai kedudukan tertinggi di posisi penting dalam masyarakat, yang berpusat di Makkah. Mereka mempunyai patung, yang paling besar’Hiba>l’yang menghadap ka‟bah. Sedangkan Kristen adalah merupakan kekuatan yang sangat besar di dataran Arab. Mereka adalah kelompok orang Kristen Syam yang lari dari dari kezaliman Raomawi. Kedatangan mereka menyebabkan sejumlah kabilah Arab memeluk agama Kristen yang antara lain, Ghassa>n, Taghallub, Tanu>kh, Lakhm, Khara>m dan lainnya. Dan yang dimaksud Yahudi, adalah mereka yang lari dari Syam, karena kediktoran Romawi dan Persia. Mereka berpusat di Madinah, yang jumlahnya hampir separoh penduduk Madinah, mereka antara lain adalah, keturunan Bani Qaynuqa‟, Nadhir dan Quraid}ah. Dan sebagian mereka ada yang tersebar keberapa wilayah Arab bersama orang-orang Yahudi, hingga samapi ke Yaman. Dari sini juga mereka tersebar, diantara, Yastrib, Khaybar, Tabuk, Tayma‟, serta Yaman. Dalam beberapa keterangan di atas, terlihat perbedaan ketiga komunitas tersebut, sehingga perbedaan di antara mereka dalam sisi ajaran terletak pada ajaran monoteisme. Dan musyrik adalah murni sebagai kekuatan politik, yang diantara ambisinya adalah kekuasaan dan kekayaan. Sementara Yahudi dan Kristen adalah mereka yang sedikit banyak memiliki persinggungan teologis dengan Islam. Walaupun terdapat ketegangan di antara mereka dengan komunitas muslim, tetapi setidaknya terdapat beberapa upaya untuk membangun sebuah kesepahaman bersama yang dibuktikan dengan diterbitkannya‟ Piagam Madinah‟,
130
sebagai kesepakatan antara komunitas, muslim, Kristen, dan Yahudi, dan bahkan ketiga agama samawi tersebut, telah sepakat untuk bersatu menjadi umat yang satu (umatan wa>hidah).198 Keempat, alasan yang cukup kuat dan fundamental yang dikemukanan Nurchalis Madjid, tentang dibolehkannya nikah beda agama, terutama non-muslim, yaitu, disebutkan ayat al-Maidah/5:5 ini, sebagai ayat yang diturunkan di Madinah, setelah adanya ayat pelarangan pernikahan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman. Bahkan ayat ini, sebagai ayat revolusi, karena secara ekplisit menjawab beberepa keraguan bagi masyarakat muslim saat itu, prihal pernikahan dengan non muslim. Namun ayat ini, mulai membuka ruang bagi wanita Kristen dan Yahudi (ahl al-Kita>b), untuk melakukan pernikahan dengan non-muslim. Ayat tersebut, bisa berfungsi dua hal sekaligus, yaitu, penghapus ( na>sikh), dan pengkhusus(mukhas}i>s}) dari ayat sebelumnya yang melarang pernikahan dengan orang-orang musyrik. Sedangkan prihal kebolehan pernikahan dengan non-muslim, terdapat beberapa sahabat Nabi, yang menikahi perempuan Kristen dan Yahudi, antara lain, Hudhaifah dan T}alhah. Khalifah Umar bin Khattab sempat gerang dan marah ketika mendengar kabar pernikahan tersebut. Sikap Umar seperti itu sebenarnya, bukan untuk mengharamkan pernikahan, melainkkan hanyalah kwawatir, bila sewaktu-waktu para sahabat membelot dan masuk kedalam komunitas non-muslim. Hudhaifah dan T}alhah merupakan kedua tokoh yang menonjol saat itu, sehingga wajar bila Umar bin al-Khattab mengingatkan mereka berdua.199 (2). Menurut Umar Shihab, tentang pernikahan beda agama, terhadap larangan pria muslim menikahi wanita musyrik berdasarkan QS.al-Baqarah/2:221, atau sebaliknya, larangan wanita muslimah dikawini oleh lelaki musyrik. Umar Shihab, yang mengutip pendapat Ibn Jari>r al-T}a>bari, maksud mushrika>t adalah wanita penyembah berhala di kalangan orang-orang Arab yang hidup pada zaman Nabi SAW. Tetapi menurut Umar Shihab, kata ’mushrik’ dalam ayat tersebut berlaku secara umum, yakni berlaku paham keagamaan yang menyembah selain Allah, yang berarti, mereka tidak boleh menikah dengan kaum muslimin. Sedangkan pria muslim menikahi wanita non muslim secara mutlak tidak dibolehkan menurut sebagian ulama salaf, tetapi menikahi wanita ahl al-kita>b [Yahudi dan Nasrani], bahkan wanita Maju>si dibolehkan, berdasarkan QS.al-Maidah/5:5.200 Tetapi dalam menihaki wanita bukan mushrik dan bukan pula ahl al-
131
kita>b, seperti, Sa>bi'ah, Hindu, Budha, Shinto, atau Konfutze, alQur‟an berdiam diri. Hal yang demikian menimbulkan masalah, apakah boleh atau tidak ? Mengutip pendapat al-T}abari mereka itu digolongkan sebagai ahl al-kita>b, karena menganut paham tauhid (mengesakanTuhan), bahkan menurut data sejarah, mereka mempunyai (teologi Rasul dan Kitab suci samawi). 201 Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a> sependapat dengan al-T}abari di atas, beliau mengatakan bahwa untuk kepentingan politik dan penyebaran Islam, dibolehkan mengawini wanita-wanita non-muslim secara mutlak untuk menjadikannya sebagai muslimah. Tetapi sebaliknya, dengan alasan Sadd al-Dhari>’ah202 [wasilah/sarana], tidak dibenarkan pria muslim yang lemah akidahnya untuk mengawini wanita non-muslim khususnya wanita-wanita Eropa dewasa ini. 203 Muncul persoalan baru, apakah orang-orang Kristen yang percaya kepada trinitas sekarang ini masih tergolong sebagai ahl alkita>b atau tidak ? Menurut Umar Shihab, mereka masih tergolong ahl al-kita>b, karena orang-orang seperti itu, sudah ada pada saat Nabi Muhammad S.A.W dan Nabi tidak mengatakan kalau mereka keluar dari golongan tersebut. Muncul masalah lain, adalah karena tidak adanya penegasan Al-Qur‟an mengenai wanita muslimah yang dikawini oleh lelaki ahl al-kitab. Hal itu, apakah boleh atau tidak ? Mengutip pendapat al-Mara>ghi, menyatakan dengan tegas, bahwa hal itu adalah haram sesuai dengan sunnah dan kesepakatan kaum muslimin. Karena hak-hak wanita dalam kehidupan rumah tangga tidak sama dengan hak-hak lelaki. Dengan demikian, kebanyakan wanita muslimah tidak mampuh memepertahankan akidahnya, bila menjadi istri seorang laki-laki non-muslim. 204 Terakhir sebagai kesimpulan pendapat, menurut Sarjana Muslim dan Cendikiawan Muslim Indonesia, di antaranya, Nurchalis Madjid, mengatakan mushrik, adalah bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi juga tidak mempercayai salah satu kitab suci samawi, baik yang terdapat penyimpangan maupun yang asli, disamping tidak seorang nabi pun yang mereka percayai. Sedangkan ahl al-kita>b, adalah orang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab samawi, baik sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah atau amalan atau tidak. Oleh karena itu, bila Allah telah mengharamkan mengawini perempuan musyrik, menurut al-Qur‟an al-Baqarah/2:221 ini, maka tidak tepat bila dipahami al-mushrika>t itu adalah perempuan ahl al-
132
kita>b. Mempertegas pemahaman ahl al-Kita>b,[mengutip] pendapat lain, 205 adalah perempuan-perempuan mushrik Arab, dan dilarang bagi muslim menikahi wanita-wanita mereka. Sedangkan menurut Umar Shihab, tentang pernikahan pria muslim menikahi wanita musyrik dilarang. Karena maksud mushrika>t adalah wanita penyembah berhala di kalangan orang-orang Arab yang hidup pada masa Nabi SAW atau, kata ’mushrik ’ dalam ayat tersebut berlaku secara umum, yakni berlaku paham keagamaan yang menyembah selain Allah, yang berarti, mereka tidak boleh menikah dengan kaum muslimin. Dan pria muslim menikahi wanita non muslim secara mutlak tidak dibolehkan, tetapi menikahi wanita ahl al-kita>b [Yahudi dan Nasrani], bahkan wanita maju>si dibolehkan.*
133
Teks QS. Al-Maidah/5:5
134
Endnote 1
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-'Arab (Kairo : Da>r Al-Ma’rifah, 1119 H), 2248. Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata), (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 664, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), Volume 1, 441-442 , Lihat. Abu> Qa>shim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib alAsfaha>ni, Al-Mufrada>t Fi> Ghari>b Al-Qur’a>n ( Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.th ), 259. 3 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata), 664-665, Muhammad Ra>ghib Al-Asfaha>ni (w. 502 H), (Tahqi>q:Muhammad Sayyid Kaila>ni), Mufrada>t F>>i> Ghari>b al-Qur’a>n, 259-260, Abu> al-Fadl Jamal al-Di>n Muhammad bin Makra>m bin Manz}u>r ( Ibnu Manz}u>r ), Lisa>n al-'Arab, 383. 4 Dalam beberapa pembagian tentang syirk umumnya ulama membagi kepada dua bagian, yaitu,(1). Syirk Besar (Akbar) dan (2). Syirk kecil (Asghar). Syirk Besar, yaitu, syirk yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama ( Islam), menghapus semua amal perbuatan baiknya, serta memasukkan pelakunya kekal di Neraka jika ia meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat dari kesyirikannya. Seperti, beribadah kepada selain Allah, berdoa kepada selain Allah, berkuban dan bernazar kepada selain Allah, hal-hal yang masuk katgori syirk ini, seperti, syirk dalam hal takut (khauf) QS. Ali Imran/3:175, syirk dalam hal bertawakal QS. Al-Maidah/5:23, syirk dalam perasaan cinta (mahabbah) QS. AlBaqarah/2:165, syirk dalam hal ketaatan, QS. Al-Taubah/9:31. Sedangkan syirk Kecil, yaitu dapat mengurangi nilai tauhid seseorang akan tetapi pelakunya tidak keluar dari agama. Ia hanya merupakan sarana yang mengantarkan kepada syirk besar, pelakunya akan mendapat siksaan, namun tidak kekal di neraka sebagaimana kekalnya orang kafir. Syirk besar menghapus segala amal, sedangkan syirk kecil akan menghapus amal yang bersamaan dengannya, seperti orang melakukan amal perbuatan yang diperintahkan Allah untuk mendapatkan pujian dari manusia, seperti, membanguskan salat, bersedekah, berpuasa, didengar atau dipuji manusia, inilah ri’ya yang jika bercampur dengan amal perbuatan ia akan menghapusnya, QS. Al-Kahfi/18:110. Yang termasuk ini, seperti, bersumpah dengan selain Allah, dengan istilah lain, dengan sebutan syirk tersembunyi (khafy), atau termasuk syirk ‘ubudiyyah. Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah al-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam al-Kamil ( Jakarta: Darus Sunnah, 2007), Cet. I, 75-82. 5 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), 665, Abu> Qa>shim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-Asfaha>ni, AlMufradat Fi Gharib Al-Qur’an, 259-260. 2
135
6
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata) dan Tafsirnya ( Jakarta: PT Intermasa, 1997), 286-287. 7 Hamka (Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah),Tafsir al-Azhar (Jakarta : PT Pustaka Panjimas, 1992), Jus XV, 274. 8 Muhamad Fua>d Abdul Ba>qi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li AlFa>z} AlQur’a>n Al-Kari>m, ( Kairo : Da>r-Al-Hadi>th, 1991 M/1411 H ), Cet. ke-3, 481-484 9 Lihat. Muhamad Fua>d Abdul Ba>qi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li AlFa>z} Al-Qur’a>n Al-Kari>m, 481-484, Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya ( Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 69. 10 Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press), 755. 11 Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya , 126. 12 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 70. 13 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 70. 14 Ima>duddin Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H /2000 M), Jilid 4, Cet. I, 99-100. 15 Muhammad Hasan al-T}aba>'t}aba>'i, al-Mi>za>n Fi> Tafsi>r Al-Qur'a>n (Beirut:Da>r Al-Arabiyah Wa Nasr Wa Tawzi>', 1398 H ), jilid. 12, 178. 16 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), 664, Lihat. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar AlZamakhshari (467-538 H ),Al-Kassha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wi>l Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} : Maktabah Abikah, t.th), Juz II, 8990 17 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 71. 18 Muhammad Ghalib,Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta:Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 73, Lihat. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} : Maktabah Abikah, ), Juz II, 367-368. 19 Islah Gusmian,Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta : Penerbit Teraju, 2003), cet. I, 337. 20 QS. Al-Baqarah/2:221, Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press), 54-55. 21 Ima>duddi>n Abu> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimashqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > (Gi>zah : Mua’sasah al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M ), Jilid 2, Cet. I, 296. 22 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H),Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (Tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
136
al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 713. 23 Al-Sayyid Muhammad Rash>id Rid}a (1865-1935 M), Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-Mashu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t:Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th), Juz 2, 281, Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abri Ja>mi’ al-Bayan 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Juz ke-3, Cet. I, 713. 24 Nurcholis Madjid, dkk, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Ingklusif-Pluralis ( Jakarta : Paramadina, 2004 ), Cet. ke-4, 161. 25 Keterangan mengenai makna al-musyrikat, menurut al-Razi, jika difahami sebagai orang-orang kafir dari kalangan ahl al-Kitab itu tidak ada kesepakatan sebagian ulama, namun jika, dimaksudkan mencakup diantara orangorang kafir, kalangan ahl al-Kitab, maka jumhur mesepakati hal itu. Dan hal itu, didukung dengan dasar QS. al-Taubah/9:31, QS. Al-Maidah/5:73, bahwa orangorang Yahudi dan Nasrani adalah musyrik. Lihat. Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddi>n Umar al-Muashtahi>r bi al-Kha>tib al-Rayy (544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi (Beiru>t : Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), cet. I, Jilid ke-6, 59, 61-63. 26 Dalam bab III, IV dan VI, penulis memilih beberapa nama mufasir, baik kalangan ulama klasik periode sahabat, sebagai perbandingan untuk mengetahui apakah ada pergeseran, perbedaan penafsiran terkait masalah pernikahan beda agama, selain untuk melihat perkembangan sejarah-sosial masing-masing, pemikiran, kecenderungan, corak, serta mazhab tafsir mereka, baik para mufasir sahabat di awal Islam (abad I-II H), hingga penafsiran ulama-ulama tafsir klasik, abad pertengahan, modern-kontemporer, selain itu melihat pendekatan metodologi tafsir mereka, yang menyebabkan munculnya perbedaan pendapat terhadap istilahistilah terkait dalam penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, terhadap QS. alBaqarah/2:221, QS.al-Mumtahanah/60:10, serta QS. al-Maidah/5:5. Karena itu, beberapa nama tetertentu, dimunculkan, sebagai gambaran mewakili penafsiran mereka dari masa ke masa, perbandingan, analisa pemikiran, metodologi, terhadap penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, yang ingin diteliti. 27 Husain al-Zahabi dalam al-Tafsi>r wa al-Mufasiru>n dan Manna' Khali>l Qatta>n dalam Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n membagi priode tafsir al-Qur'an kepada dua periode besar. Pertama, tafsir pada masa khasik yang mencakup masa Nabi dan Sahabat serta Tabi'in. Kedua, tafsir pada masa pembukuan. Sedangkan tafsir pada perode klasik dapat diketahui pada masa rasulullah S.A.W sampai munculnya tafsir masa pembukuan, yaitu, akhir pada masa Daulah Umayyah dan di awwal Daulah Abbasiyah), yaitu awal abad I hingga abad II H. Lihat. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), cet. I, 27-73,75-102,Manna' Khali>l al-Qattan, Maba>h}ith Fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, ( Kairo : Maktabah Wahbah, 2000 ), cet. ke-7, 326- 332.
137
28
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000 ), cet. II, 3, Manna' Khali>l al-Qatta>n, Maba>h}ith Fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah Wahbah, 2000 ), cet. ke-7, 328. 29 Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsi>r
al-As}r Al-H}ad>ith, ’Ard} Wa Dira>sah Mufas}alah Li Ahka>m Kutub al-Tafsi>r AlMu’a>s}ir (Bairu>t : Dar Al-Mairifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 91. 30
Munculnya corak-corak penafsiran yang di lakukan para ulama klasik, mengilhami lahirnya, penafsiran dengan metode baru di abad modern ini, yaitu lahirnya metode mawd}u>’i (tematik), kemudian lahir pula metode muqa>rin (perbandingan), yang ditandai dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang menjelaskan redaksi yang mirip, seperti : Durratu al-Tanzi>l Wa Gurrah al-Ta’wi>l oleh Al-Kha>tib Al-Iska>fi (w. 240 H), dan juga Al-Burha>n Fi> Tauji>h Mutasha>bih Al-Qur’a>n oleh Al-Karma>ni (w. 505 H). Penafsiran dengan metode tematik ini, telah lama dikenal, namun menurut Muhammad Quraish Shihab, istilah metode maudhu>’i ini, pertama kali dimunculkan oleh Ustadh al-Ji>l (Maha Guru Generasi Mufassir) Prof. Dr. Ahmad Al-Kummy. Tetapi dalam perkembangannya, tafsir mudhu’i, mulai dikenal oleh masyarakat dengan bentuk penafsiran yang mencakup berbagai topik, seperti Al-Insa>n Fi> Al-Qur’an dan Al-Mar’ah Fi> Al-Qur’a>n, karya Abba>s Aqa>d, dan Al-Riba> Fi> Al-Qur’a>n oleh Al-Mawdu>di dan lain sebagainya. Lahirnya metode-metode tafsir di atas, disebabkan, oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang slalu dinamis. Pada zaman Nabi SAW dan sahabat, mereka pada umumnya para ahli bahasa Arab, sekaligus mengetahui secara langsung turunnya ayat (asba>b al-nuzu>l), dan mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat, ketika ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan, maka dengan demikian mereka relatif dapat memahami maksud-maksud Al-Qur’an secara benar, tepat dan akurat. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke-2, 4. 31 Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000 ), cet. Ke-11, 79. 32 Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abba>s bin Abdul Muthalib bin Ha>syim bin Abdul Mana>f al-Ha>syimi. Dilahirkan di kota Makkah, dari seorang ibu yang bernama Ummu Al-Fa>dhil Luba>bah Al-Kubra binti al-Ha>ris bin al-Hila>liyah, yaitu saudari dari Maimunah binti al-Haris, istri Nabi SAW. Dalam perkembangan sejarah tafsir Al-Qur’an, di antara kaum muslimin, tepatnya abad ke-1H, ia dikenal sebagai sosok yang memiliki kwalitas dan kemampuan yang lebih di para sahabat yang lain, karenanya, ia menduduki posisi terdepan di kalangan sahabat dalam tafsir Al-Qur’an. Selanjutnya, Lihat. Indeks biografi. Lihat. Abdul Aziz bin Abdullah al-Humaidi, Tafsi>r Ibn Abba>s Wa Marwiyatuh Fi> Tafsi>r Min Kutub alSittah (Makkah : Markaz Abdul Aziz Al-Tura>s Al-Isla>mi, tth), cet Ke-35, 6-7, 20. Lihat. Thameem Ushamah, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif ) (Jakarta : Riora Cipta, 2009 ), cet. I, 11, 79, Taufil Adnan
138
Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005), cet. I, 211. 33 Ibn Abba>s mulai masyhur namanya, setelah Khalifah Usthman mempercayakan dirinya sebagai pemimpin ibadah haji pada tahun 35 H. Suatu tahun yang menentukan dalam perjalanan politik Ustman. Lantaran hal itulah ia tidak ada di Madinah ketika Usthman terbunuh. Dan di masa kekhalifahan Ali bin Abi Tha>lib, ia ditunjuk sebagai Gubernur Bashrah. Ketika itu pula Ali terpaksa menerima arbitrase [tahkim] di Shiffin, dan Ali berkeinginan untuk menjadikan Ibn Abba>s sebagai wakilnya, namun ditentang oleh para pengikutnya yang cenderung mewakilkannya kepada Abu Musa al-Asy’ari. Walaupun demikian, Ibn Abbas tidak menunjukkan sikap yang negatif, bahkan, ia tetap ikut menyertai Abu Musa dalam proses arbitrase tersebut, di mana Ali bin Tha>lib dimakzulkan oleh Muawiyah yang akhirnya, terbangun Dinasti Umayyah. Setelah wafatnya Mu’awiyah, Ibn Abbas menyatakan kesetiannya kepada khalifah Yazid (w. 683 H) putra dari Mua’wiyah, yang melanjutkan kepemimpinan politik Bani Umayyah berdasarkan pertimbangan, bahwa mayoritas umat Islam berada di sisi Khalifah. Beberapa kemudian, diberitakan, bahwa Ibn Abba>s wafat di T}a’if tepatnya pada tahun 68 H. Al-Suyutti ( w. 911 H), Al-Itqa>n F>i> 'Ulu>mi Al-Qur’a>n ( Beirut : Dar Fikr, 1416 H/ 1996), Jilid. II, Juz. 3, 494, Lihat. Yunus Hasan Abidu, Tafsir AlQur’an, Sejarah Tafsir Al-Qur’an dan Metode Para Mufasir (Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Mushafiq)(Jakarta:Gaya Persada Pratama, 2007), Cet. I, 19,Taufil Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’a>n ( Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005 ), cet. I, 212. 34 Said bin Jubair adalah Muhammad bin Said bi Jubair bin Hasyim alAsadi. Ia menerima semua riwayat dari semua sahabat terutama Ibn Abbas. Maka ia termasuk kelompok sahabat besar (kiba>r al-saha>bah), dan ahli dalam tafsir, hadits, fiqh, dan slalu mengambil pendapat yang bersumber dari Ibn Abbas dalam ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Dan menjadi kepercayaan ulama ilmu Jarh Wa Ta'di>l. Berkata Ibn Abi Hatim : Ia seorang ahli ibadah, bersahaja dan wara'. Ia wafat karena di bunuh oleh al-Hajaj pada tahun 95 H dan umurnya belum mencapai 50 tahun. Al-Dhahaq (w. 105 H), Tafsi>r al-D}aha>q (ditahqiq:Syukri Ahmad alZawaiti)(Kairo:Darusalam Lit}aba>'ah Wa Nasr Wa Tawzi>' Wa Tarjamah, t.th), Jilid I, 19. 35 Muja>hid bin Jabr adalah Muja>hid bin Jabr al-Ma>liki (Abu> Hija>j AlMakhzu>mi), seorang Muqri’. Dia lahir pada tahun ke-21H, ketika masa kepemimpinan khalifah Umar bin al-Khattab. Ia tergolong di antara kibar altabi’in pada pemerintahan khalifah Muawiyah di awal abad ke-2 H. Tentangnya dari sebagian para mufasir, bahwa ia mufasir kalangan tabi’in, yang mengambil tafsir dari pendahulunya, yaitu, Ibn Abbas. Beberapa tabi’in yang mengambil darinya, yaitu At}a’ bin Rabbah, Ikrimah Maula Ibn Abba>s, Amr bin Dinar, Qata>dah, Sulaiman al-Ahwa>l, Sulaiman Al-A’masy dan Abdullah bin Kathir dan sebagainya. Ibn Taymiya berkata, bahwa dikalangan ahl ilmi yang mengambil
139
tafsir darinya, di antaranya, Al-Syafi’ih dan al-Bukhari. Qata>dah berkata: Saya mengetahui di antara para ahli tafsir adalah Mujahid. Ibn Sa’ad berkata : Dia adalah orang yang terpercaya (thiqa>t), faqih, mengetahui banyak hadits. Ibn Hibban berkata : dia adalah selain faqi>h, hamba yang wara’, dan tekun beribadah. Dia wafat di tahun 102 H atau 103 H. Sedangkan al-Qattan menyebutkan, Ia wafat pada tahun 104 H. Manna’ Al-Qattan, Ta>rikh al-Tashri’ Al-Isla>my al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh (Riyad} : Maktabah Al-Ma’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi’, 1417 H/1996 M), cet. Ke-2, 315. 36 Al-D}ahaq namanya adalah Abu al-Qashim bin Mazahim al-Khurasani, salah seorang ulama dari kalangan tabi’in dalam bidang tafsir. Ia seorang pendidik, yang memiliki murid-murid dalam sekolah asuhannya mencapai jumlah tiga ribuan anak asuh. Mas’ud bin Abdullah Al-Finsani, Ikhtila>f Al-Mufasiri>n Asba>buhu Wa Atha>ruhu ( Riyad} : Markaz al-Dirasat Wa Al- I’la>m, 1418 H/1997 M), cet. I, 32. 37 Nama lengkapnya Abu Abdullah (dikenal) dengan nama Ikrimah bin Abdullah seorang budak dari Abdullah bin Abbas. Ia lahir pada tahun ke-25 H. Ia berasal dari suku barbar dari Maroko. Ibn Abbas bersungguh-sungguh mengajarkannya Al-Qur’an dan al-Sunnah. Meriwayatkan hadits dari Ibn Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr bin Ash, Abu Hurairah, abu Said al-Khudri, Husain bin Ali, dan Siti Aisyah. Di Tanya Said bi Jubair, siapa orang yang paling mengetahui selain engkau ? : ia menjawab : Ikrimah. Ia wafat di Madinah pada tahun 107 H, dengan usia 80 tahun. Manna’ Al-Qattan, Ta>rikh al-Tashri>’ AlIsla>my al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh (Riyad : Maktabah Al-Ma’a>rif Li al-Nasyr Wa Tawzi’, 1417 H/1996 M ), cet. Ke-2, 316. 38 Dia adalah Abu Abdurahman (T}a>wu>s bin Kaisa>n), al-Khaulani, alHamzani, al-Yamani. Dia keturunan Persia tetapi kelahiran dan dibesarkan di Yaman pada tahun 33 H, ia termasuk kalangan tabi'in senior, dikenal dalam bidang tafsir al-Qur'an, dia mendengar dari Ibn Abbas, Abu Hurairah, sedangkan yang menyampaikan darinya adalah Mujahid, Amr bin Dinar, dia seorang yang faqih dan cerdas. Berkata Abu Uyainah : aku bertanya kepada Abdullah bin Yazid, dengan siapa anda menjumpai Ibn Abbas ?, Abdullah menjawab : bersama Atha' dan sahabatnya, aku berkata : T}a>wu>s, dia bersama orang yang paling cerdas dan tanggap. Dan berkata Amr bin Dinar : aku tidak pernah melihat seorang yang seperti dia (Ta>wu>s). Ia wafat tahun 106 H, ketika melaksanakan ibadah haji, di Makkah satu hari sebelum tarwiyah, dan ikut menshalatkan di antaranya Hisyam bin Abdul Malik. Manna’ Al-Qatta>n, Ta>rikh al-Tashri’ Al-Isla>my al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh (Riyad:Maktabah Al-Ma>’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi, 1417 H/1996 M ), cet. Ke-2, 322. 39 Dia adalah Abu Muhammad (At}a' bin Abi> Rabbah Asla>m), lahir di Makkah tahun 27 H, ada yang menyebutnya Sa>lim bin Sofwan budak dari Bani
140
Fahd al-Maliki, dia salah seorang tabi'i yang sangat faqih dan zuhud di Makkah. Dia menyampaikan dari para sahabat, seperti, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Zubair, sedangkan yang meriwayatkan darinya, adalah Amr bin Dinar dan al-Zuhri, Qatadah, Malik bin Dinar, A'masy, Auwza'i, berkata Ibrahim bin bin Kaisan : aku menyebutkan diantara mereka pada masa Bani Umayah yang menyampaikan tentang haji dengan lantang, tak ada seorang pemberi fatwah, kecuali hanyalah Atha bin Rabbah. Wafat pada tahun 115 H, dan ia berumur 100 tahun. Manna’ Al-Qatta>n, Ta>rikh al-Tasyri>’ Al-Isla>my alTasyri>’ Wa Al-Fiqh ( Riyad : Maktabah Al-Ma’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi’, 1417 H/1996 M ), cet. Ke-2, 317. 40 Thameem Ushamah, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Kajian Kritis, Objektif, dan Komprehenshif)(Jakarta : Riora Cipta, 2000), cet. I, 13, Lihat. Manna’ Khali>l al-Qattan, Maba>hith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th ), 334. 41 Dalam klasifikasi tokoh-tokoh terpilih sepanjang sejarah, Ibn Abbas dimasukkan ke dalam jajaran para ulama. Lihat. Syeikh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( Idzamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk)(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 110, 112. 42 Pengertian Ahl al-Kita>b ( )أهل مْكتابberasal dari dua kata dengan pengertian yang jauh berbeda. Akar kata pertama adalah iha>lah ( ) إهاْأyang secara etimologis berarti ‚ lemak yang diiris dan dipotong-potong menjadi kecil ‚. Adapun akar kata yang kedua adalah kata ahl ( ) أهلitu sendiri, yang baru bisa dipahami setelah dirangkaikan dengan kata lain sehingga membentuk suatu kata majemuk. Kata ahl ( ) أهلdengan pengertian kedua inilah yang disebut di dalam Al-Qur’an. Bentuk jamaknya adalah ahlu>n ( )أهلو. Dan kata ahl al-Kita>b ( )أهل مْكتابdisebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 30 kali, yang mempunyai arti ‚ orang-orang yang menganut agama samawi yang diturunkan untuk mereka ‚. Sebutan ahl al-Kitab secara khusus untuk penganut agama Yahudi dan Nasrani. Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata )( Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), cet. I, 62. 43 Jala>luddin Al-Suyu>t}i (w. 911 H), Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n ( Beiru>t ; dar Fikr, 1416 H/1996 M ), cet I, Jilid ke-2, 59 44 Keterangan yang dikutip oleh Ibn Jari>r, bahwa Ibn Abbas mengunakan istilah istasna>’ ( )مستثن, tetapi Abu Daud menggunkan istilah nusikha ( ) نسخ, lain yang dikutip oleh Al-Baihaqi dengan istilah nusikhat ( ) نسخت. Lihat. Jalaluddin alSuyutti (879-911H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r (Tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsi>n al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’uth Wa AlDira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, 562.
141
45
Al-Ima>m Al-Jali>l al-Hafiz} Ima>duddi>n Abi> Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r alDimasqi (w.774 H), Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Az}i>m (Gizah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M ), cet.I, 296. 46 Ibn Kathi>r mengutip pendapat Ibn Abbas, tentang larangan menikahi wanita musyrik, lalu beralih kepada kebolehan, dengan alasan takhs}is> } (pengkhususan) bagi pawa wanita ahl al-kita>b, diperkuat dengan riwayat alSuyuti, bahwa larangan yang bersifat umum itu, menjadi pengkhususan, bagi wanita ahl al-kitab. Berberapa pandangan ulama tentang takhs}is> }. Pengertian takhs}is} secara bahasa adalah (lawan) dari sifat umum. Menurut Al-Jurja>ni, takhs}is} adalah [ ] قصت مْعام عل بعض ِنه بدْ ل ِستقل ِقتت بهmengeluarkan sesuatu dari yang bersifat umu>m kepada yang khusus, disertai dengan argumen (dalil). Wahbah Zuhaili membedakan antara nasakh dan takhs}is> ,} bahwa nasakh pengecualian hukum terhadap hukum yang lain, terkait yang bersifat individu, sedangkan takhs}i>s} pengecualian hukum dengan yang lain, terkait dengan waktu (zaman). Muhammad Sayyid Al-Jurja>ni (w. 816 H ), Kita>b Ta’rifa>t (ditahqiq oleh Mun’im al-Khifni)(Kairo : dar Al-Rasyad Thaba’ Nasr Tawzi’, 1991), 62, Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz Fi> Us}u>l Fiqh ( Beiru>t : Dar Al-Fikr Al-Mu’asir, 1419 H/ 1999 M ), cet. I, 238, Al-Ima>m Al-Jali>l al-Hafidz Imaduddi>n Abi Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r alDimasqi (w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Az}i>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M ), cet.I, 296. Lihat. Al-Suyu>t}i, Bab Fi> Na>sikhihi Wa mansu>khihi, dalam bagian Ma> Nusikha Hukmuhu Du>na Tila>watuhu, Al-Suyu>t}i (w. 911 H), AlItqa>n Fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n ( Beiru>t ; dar Fikr, 1416 H /1996 M ), cet I, Jilid ke-2, 59. 47 Dalam persoalan ini, secara langsung berlaku hukum sebaliknya, bahwa larangan itu berlaku untuk larangan wanita muslimah menikahi pria musyrik ( ) ال تنكحوم مِِْتك حت ؤِنومdengan alasan disandingkan hukumnya dengan ayat alMumtahanah’60:10 ( ّ ) ال ه ّ ح ّل ْهم والهم حلو ْه, Al-Ima>m Al-Jali>l al-Ha>fiz} Ima>duddi>n Abi. Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r al- Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r AlQur’a>n Al-Az}im > (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M), cet.I, 296,299. 48 Dia adalah sahabat yang termasuk dalam golongan yang pertama masuk Islam (al-Sa>biqu>na al-Awwalu>n ),kemudian ia lebih dikenal dengan panggilan Ibn Mas’ud. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Hubaib al-Huzali. Ia bukan berasal dari keluarga ningrat Makkah. Dalam riwayat, Abu Nu’aim menyampaikan dari Abu Al-Buhturi yang mengatakan, ’Para sahabat berkata kepada Ali, beritahukanlah kepada kami tentang Ibn Mas’ud. Ali menjawab : Dia mengetahui Al-Qur’an dan Al-Sunnah sampai pada puncaknya (thumma intaha>), sehingga tingkat keilmuannya (al-Qur’an dan al-Sunnah) mendekati sempurna ‛. Itulah sebabnya, maka ia dianggap tokoh yang paling menonjol setelah Ibn Abbas. Selebihnya Lihat. Indeks. Muhammad H}usain alDhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), cet. I, 63, Thameem Ushamah, Metodologi Tafsi>r Al-Qur’a>n, (Kajian Kritis,
142
Objektif dan Komprehensif) (Jakarta : Riora Cipta, 2000 ), cet. I, 13, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an:Sejarah Tafsir dan Metodologi Para Mufassir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), cet, I, 24, Muhammad Ibn Alawi Al-Ma>liki AlHasani, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an : Ringkasan Kitab Al-Itqa>n Fi> Ulu>m AlQur’a>n Karya Al-Ima>m Jala>luddi>n Al-Suyu>t}i (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2003), cet. I, 287, Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 171. 49 Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), cet. I, 63. 50 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 171. 51 Nama lengkapnya, adalah Ali bin Abu T}alib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Quraisy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah Abu Hasan dan Husein, digelari Abu Turab, anak paman Rasulullah SAW dan suami putri beliau, Fatimah alZahra’ ra. Lahir dari seorang ibu bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan putera Bani Hasyim. Ayah beliau bernama Abu T}alib. Dia adalah paman Rasulullah SAW yang sangat menyayanginya.Nama sebenarnaya, adalah Abdi Manaf. Ali bin Abi T}alib masuk Islam saat masih kanak-kanak. Lengkapnya, Lihat. Indeks. Ibn Katsir, al-Bida>yah Wa An-Niha>yah Masa Khula>fa’ Al-Rashidi>n (terj. Abu Ihsan Al-Atsari dari kitab Tarti>b Wa Tahzi>b Kita>b al-Bida>yah Wa AlNiha>yah )( Jakarta : Da>r al-Ha>q, 1424 H / 2004 ), cet. I, 415 Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), cet. 66, Muhammad Ibn Alawi Al-Ma>liki Al-Hasani, Samudra Ilmu-ilmu AlQur’an:Ringkasan Kitab Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m Al-Qur’a>n Karya Al-Ima>m Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( Bandung : PT Mizan Pustaka, 2003 ), cet. I, 287. 52 Al-Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkashi (w. 794 H), Al-Burha>n Fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo : Maktabah Da>r Al-Tura>th, t.th ), Jilid I, 29, Al-Ima>m Jala>luddin Al-Suyu>t}i (w. 911 H ), Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m Al-Qur’a>n (tahqiq : Said al-Mandu>r)(Beiru>t : Da>r al-Fikr Li Taba>’ah Wa Nasr Wa Nasr Wa Tawzi>’, 1416 H /1996 ), jilid. II, cet. I, 55. 53 Al-Imam Jalaluddin Al-Suyut}}i (w. 911 H), Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m Al-Qur’a>n (tahqi>q : Said al-Mandu>r)(Beiru>t : Da>r al-Fikr Li T}aba>’ah Wa Nasr Wa Nasr Wa Tawzi>’, 1416 H /1996 ), jilid. II, cet. I, 59. 54 Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah kedua Umar bin al-Khat}t}ab bin Naufel al-Quraish Al-Adawi saudara kandung Siti Hafsah Ummul Mukmini>n. Dia di lahirkan tidak lama setelah Nabi diutus menjadi Rasul, ketika itu ia baru berumur 10 tahun. Ia ikut masuk Islam bersama ayahnya. Kemudian ia mendahului ayahnya hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang, dan Rasulullah tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, diantaranya, perang Qadisiyah, Yarmuk,
143
Khandak, Penaklukan Afrika, Mseir dan Persia, serta penyerbuan Basrah dan Madain. Lihat.Indeks. Manna’ Al-Qatta>n, Tari>kh Tashri>’ Al-Isla>mi Al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh (Riyad} : Maktabah Al-Ma’a>rif Li Al-Nasyr Wa Tawzi’ Lis}a>hibiha Sa’ad bin Abdurahman al-Rashi>d, 1417 H/1997 M), Cet. Ke-2, 25, Ibn H}ajar AlAthqala>ni (w.852 H ), Taqri>b al-Tahzi>b ( Beirut : Mu’asasah Al-Risa>lah, 1420 H/ 1999 M), cet. I, 256-257. 55 Manna’ Al-Qatta>n, Tari>kh Tashri>’ Al-Isla>mi Al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh (Riyad}:Maktabah Al-Ma’arif Li Al-Nasyr Wa Tawzi’ Lis}a>hibiha Sa’ad bin Abdurahman al-Rashi>d, 1417 H/1997 M), Cet. Ke-2, 25, Ibn H}ajar Al-Athqala>ni (w.852 H ), Taqri>b al-Tahzi>b ( Beirut : Mu’asasah Al-Risa>lah, 1420 H/ 1999 M), cet. I, 256. 56 Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( 849-911 H ), Al-Du>rr al-Manthur Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Kairo : Markaz Hijr Li Bu’uth Wa Al-Dira>sat Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1424 H/2003 M ), cet. I, 564. 57 Lihat. Ibn Abdi Al-Ba>r (368 H/463 M), Al-Istizka>r al-Ja>mi’ Li
Madha>hib Fuqaha>’ Al-Ams}a>r Wa Ulama> Al-Aqt}a>r Fi>ma Tad}amanahu ‚AlMuwat}t}a’ ‚ Min Ma’a>ni al-Ra’yi Wa Al-Thar Wa Sharhu Dha>lika Kullihi bi AlI'za>z wa Ikhtis}a>r Ma> ‘Ala Z}a>hri Al-Ard} Ba’da Kita>billah As}sa} hhu min Kita>b Ma>lik al-Ima>m al-Sha>fi’ih, ( Bairu>t:Da>r Kutaibah Li> T}aba>’ah Wa Nasr, tth ), Jilid ke-16, 72. Lihat. Al-Ima>m Al-Jali>l al-Ha>fidh Ima>duddi>n Abi> Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasq (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Azi>m(Gizah:Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H / 2000 M ), cet.I, 296. 58 Jala>luddi>n Al-Suyu>t}i (849-911 H),Al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Kairo : Markaz Hijr Li Bu’uth Wa Al-Dira>sat Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1424 H/2003 M ), cet. I, 564. 59 Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)( Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’u>th Wa Al-Dira>sat al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, 565, Al-Ima>m Al-Jali>l al-Hafiz} Ima>duddi>n Abi> Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathir alDimasq (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Az>im > ( Gizah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M ), cet.I, 299. 60 Ima>m Abi> Husain Muslim Ibn Haja>j Al-Qushairi al-Naisabu>ry, Mukhtas}ar S}ahih Muslim ( di-Tahqiq oleh : Muhammad Nas}iruddi>n Al-Ba>ni), Hadith No. 798, Bab Targhi>b Fi> Nika>h (Beirut : Maktab Al-Islami, 1407 H/1987 M ), cet. Ke-6, 207. 61 Ima>m Abi Husain Muslim Ibn Haja>j Al-Qushairi al-Naisa>bu>ry, Mukhtas}ar S}ahi>h Muslim (di-Tahqi>q oleh:Muhammad Na>s}i>ruddin Al-Ba>ni), Hadith No.797, Ba>b Fi> Al-Nika>h Za>ti al-Di>n (Beiru>t : Maktab Al-Isla>mi, 1407 H/1987 M ), cet. Ke-6, 207.
144
62
Al-Ima>m Al-Jali>l al-Ha>fiz} Ima>duddi>n Abi> Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r alDimashqi( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Az}im > (Gizah :Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M ), cet.I, 299. 63 Thameem Ushamah, Metodologi Tafsi>r Al-Qur’a>n, (Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif ) (Jakarta : Riora Cipta, 2000 ), cet. I,67-68. 64 Ibn Jari>r al-T}abari seorang pakar tafsir di Abad ke-4 H. Namanya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kathi>r bin Gha>lib Al-T}abari. Dilahirkan di kota T}abaristan di Persia ( Iran ) sekitar akhir tahun 224 H atau awal tahun 225 (839 M). Lengkapnya.Lihat. Indeks. Yunus Hasan Abidu, Tafsi>r AlQur’a>n ; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1428 H / 1428 H ), Cet. I, 68-69, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa alMufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 147, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an ( Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008 ), 64-65. 65 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T{abari> (224-310 H ), Tafsi>r AlT}abari> Ja>mi al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (Tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 713-720. 66 Mereka-mereka yang dimaksudkan itu, adalah Ibn abbas, Ikrimah dan Hasan basri, Muja>hid, al-Rabi’, Qata>dah, Said bin Jubai>r, dan sebagainya di kalangan sahabat Nabi, yang mengatakan pengharaman terhadap pernikahan muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t ). Lihat. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-T}abari ( 224-310 H ), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay AlQur’a>n (tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki )(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 711-713. 67 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin alTurki)(Kairo :Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M), Cet. I, 711,Departemen Agama RI Jakarta,Al-Qur’an Dan Terjemahnya ( Bandung:Gema Risalah Press Bandung, 1989 ), 158 . 68 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (tahqiq :Abdullah bin Muhaisin al-Turki )(Kairo:Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 711-713. 69 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari> Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-Turki) Kairo : Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 712. 70 Demikian riwayat yang disampaikan al-Husein, Haja>j, dari Ibn Juraij, yaitu, sama sumbernya dari Muja>hid. Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari
145
( 224-310 H ), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-Turki ) (Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah AlArabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 712-713. 71 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 712. 72 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 713. 73 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al-Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhuts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 714. 74 Ia adalah Said bin Jubair, Abu Abdillah, Maula> Walibah ibn al-Ha>ris dari Bani Asad ibn Huzaiman. Berguru kepada Ibn Abba>s r.a, Ibn Umar ra. Dan beberapa sahabat lainnya. Mujahid perna bercerita, bahwa pada suatu hari, Ibn Abbas ra. Menyuruh Sa'id bin Jubai>r untuk menceritakan sebuah hadith, namun ia menolaknya, dengan mengatakan : Bagaimana mungkin saya dapat menyampaikan hadits, sedangkan tuan berada di sini ? Ibn Abbas ra, menjawab : ‛ Bukankan termasuk karunia Allah, jika engkau sampaikan hadith, sedangkan aku berada disini. Jika apa yang apa yang engkau sampaikan benar, maka demikian adanya. Tetapi jika salah, aku akan membenarkannya. Ketika Ibn Abba>s telah lanjut usia, penglihatannya sudah rabun (tidak jelas lagi), ia mengalihkan orang-orang bertanya kepadanya, untuk bertanya kepada Sa'i>d bin Jubair. Demikian juga Ibn Umar, ketika ada orang yang bertanya kepadanya masalah waris, ia menyuruh orang tersebut, untuk bertanya kepada Said, dan beliau mengatakan, dia ( Sa'id bin Jubayr ), lebih tahu dari pada aku. Said meninggal di usia muda, di umur 49 tahun, karena dihukum penguasa saat itu ( al-Hajja>j ) pada tahun 94 H. Lihat. Muhammad Ibn Sa'i>d ibn Ma’a>ni al-Ha>syimi al-Bashri, al-T}abaqa>t al-Qubra>, Juz VI, 267-277. 75 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari> Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 714. 76 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 714.
146
77
Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n ( ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin al-Turki )(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 713. 78 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al-Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin alTurki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 715. 79 Sebuah Kisah, Hudhaifah menikah dengan perempuan non-muslim, lalu Umar berkirim surat agar Huzaifah menceraikan istrinya itu. Hudhaifah bertanya kepada Umar, ‛ Apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan ahl al-kitab itu haram ? Umar menjawab : ‛ Tidak, Saya hanya khawatir. Dari kisah tersebut, dapat disimpulakan, bahwa ketidak stujuan Umar tidak didasarkan satu teks AlQur’an, melainkan karena kehati-hatian dan kewaspadaan ( Sadd al-Zari>'ah ). Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ alBaya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin al-Turki) (Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M), Cet. I, 716, Lihat. Umar Shiha>b, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an, [Hasan M. Noer : editor ], (Jakarta : Penamadani, 2004 ), 323. 80 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Jami’ al- Bayan 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 715. 81 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari(224-310 H),Tafsir Al-T}abari Jami’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q :Abdullah bin Muhaisin alTurki )( Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 715. 82 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n,716. 83 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 718. 84 Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 719. 85 Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 720. 86 Al-Jas}as} Mufasir yang muncul di abad 4 H. Namanya Abu Bakar bin Ali Al-Ra>zi. Guru besar ulama pengikut mazhab Hanafi di Bagdad. Beliau hidup pada masa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dalam berbagai bidang. Dia diberikan gelar dengan sebutan al-Ra>zi dan al-Jashsa>s (tukang kapur ). Ia dilahirkan di Bagdad pada tahun 305 H dan wafat pada tanggal 7 Zulhijah 370 H.
147
Muhammad Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (Teheran : Mu’asasah Li al-T}aba>’ah Wa al-Narh Wa Wiza>rah al-Thaqa>fah Wa Al-Irsha>d alIslami, 1414 H ), cet. I, 110-111. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir AlQur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 72-73. 87 Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}as}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), Juz I, 454. 88 Seperti yang diberitakan, beberapa sahabat yang telah jelas, membolehkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, sebagaimana pernah dilakukan, Ustman bin Affa>n dalam hal ini, menikahi wanita Nasrani, demikian T}alhah menikahi wanita Yahudi dari Syam ( Syiria ), dan juga Hudhaifah, serta kalangan sahabat lain. Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s,} Ahka>m al-Qur’a>n ( Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), Juz I, 455. 89 Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s,} Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), Juz I, 456. 90 Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s,} Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), Juz I, 458-459.. 91 Namanya adalah al-Ima>m al-Ha>fiz al-Shahi>r al-Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein Ibn Mas’u>d Muhammad bin Farra’ al-Baghawi al-Sha>fi’ih. Dia diberi gelar Muhyi al-Sunnah dan Ruknu al-Di>n ( penegak agama ). Ia lahir di Baghshu>r sebuah kota kecil yang terletak di antara Hazzah, Moro dan al-Rudz dari kota Khurasan. Ia wafat di bulan Syawwal di Moro dan Rudz tahun 510 H pada usia 80 tahun. Lihat. Indeks. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa alMufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Jilid I, 168-169, AlImam Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas’u>d al-Baghawi (w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi ‚ Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚ (Riyad} : Da>r Ti>bah, 1409 H), Jilid I, 15, Ma>ni’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:Kajian Komprehnshif Metode Para Ahl Tafsir ( Terj. Faisal Saleh dan Syahdianor) Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2006), 292, Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad alHusai bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi‚ Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚ ( Riyad} : Dar Tibah, 1409 H ), Jilid I, 8, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), cet. I, 72-73. 92 Abu Marsad menjadi utusan Rasulullah ke Makkah, sebagai tugas pembebas tawanan muslim secara rahasia di sana, lalu berita kedatangannya itu didengar wanita bernama Anaq mantan kekasih dicintainya di masa lalu (Jahiliyah). Seraya berkata wanita itu : Wahai Marsad bukankan kamu datang untuk menikahi saya ? Ya, jawab Mursad, (dengan nada yang kurang yakin), tetapi hal itu setelah mendapat restu Rasul Setelah selesai tugasnya, Ia kembali lagi ke Madinah, dan diceritakan prihal dirinya dengan wanita itu kepada Rasullullah. Lalu bertanya, Marthad kepada Rasul : bolehkah saya menikahinya, ya, Rasul ? Maka turunlah ayat (Wa la> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta Yu’minna). Al-Ima>m Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H),
148
Tafsi>r Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚, (Riyad : Dar T}i>bah,1409 H), Cet. I, 255. 93
Berita itu, tentang pentanyaan, apakah ayat ini, dimaksudkan mengenai orang-orang yang ingkar kepada ajaran yang dibawa Muhammad SAW ? Dijawab oleh Abu Hasan Al-Farisi, bahwa seseorang yang berkata, bahwa Al-Qur’an bukan firman Allah, maka sungguh ia telah berbuat musyrik, demikian Qata>dah dan Said bin Zubayr, menegaskan, bahwa musyrik itu perbuatan menyembah berhala. AlImam Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husai>n bin Mas’u>d al-Baghawi (w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚,(Riya>d} :Da>r T}i>bah,1409 H ), Cet. I, 255. 94 Demikian jawaban kedua sahabat Abu Hasan bin Fa>ris, serta Qata>dah dan Sa'id bin Zubair, menjawab suatu pertanyaan tentang perbuatan syirk yang termasuk musyrik. Telah dijawab oleh kedua sahabat tadi, maka terjawablah kenapa alasan Ustman bin Affan menikahi Nailah binti Farafishah yang beragama Nasrani, yang kemudian masuk Islam. Demikian juga T}alhah bin Ubaidillah dan Khudhaifah menikahi wanita Yahudi. Diberitakan, Umar bin Khattab sangat marah mendengar pernikahan Huzaifah itu, lalu berkirim surat kepadanya, meminta menceraikan istrinya. Hudhaifah menjawab,‛ Apaka hal itu haram ? Umar berkata : ‛Aku tidak mengira hal itu haram, melainkan aku merasa kwawatir
kalian enggan menikahi wanita-wanita muslim, karena alasan mereka (wanitawanita ahli kitab ). Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’u>d al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚, (Riya>d}: Da>r T}ib> ah,1409 H ), Cet. I, 255 . 95 Al-Ima>m Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’u>d alBaghawi (w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚, (Riya>d} : Da>r T}i>bah,1409 H ), Cet. I, 256. 96 Nama lengkapnya adalah Abu al-Qashim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari yang diberi gelar dengan sebutan ja>rullah, salah seorang ulama yang bermazhab Hanafi dalam Fiqh dan bermazhab mu’tazilah dalam akidah. Gelar ja>rullah dia dapat karena pernah pergi ke Makkah dan tinggal beberapa lama di sana. Lahir di salah satu desa bernama Khawarizmi yang bernama Zamakhsyar, pada hari Rabu 27 Rajab tahun 467 H/467 M di Zamkhsyar. Lengkapnya. Di Indeks. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> AlQa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhsyari ( 467-538 H ), Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} : Maktabah Abikah), Juz I,5,12-14, Mani Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehenshif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2006), 224, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo :Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 304-305, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 73-75.
149
97
Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), 197. 98
Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>s}im Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} : Maktabah Abi>kah), Juz I, 431. 99 Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>s}im Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari ( 467-538 H ), Al-Kasya>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} : Maktabah Abi>kah), Juz I, 431. 100 Menurut al-Zamakhshari, bahwa dengan ayat tersebut, ia tidak membandingkan status perkawinan, apakan ia merdeka atau seorang budak, melainkan kelayakan pernikahan dengan status mu’min. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari> (467-538 H), Al-Kasya>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} : Maktabah Abi>kah, ), Juz I, 432. 101 Berdasarkan hal ini, Al-Zamakhshari> menegaskan, bahwa alasan orang Islam tidak dibolehkan menjadikan orang-orang musyrik sebagai wali, dan juga tidak menjalin hubungan mus}a>harah dengan mereka, karena tidak ada hubungan dengan mereka, melainkan hanyalah peperangan, Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> AlQa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari ( 467-538 H ). Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} : Maktabah Abi>kah, ), Juz I, 432. 102 Dalam sejarah perkembanga Islam, abad pertengan ini berkisar antara tahun 1250 hingga 1500 M yang berpusat di Baghdad. Dan secara sejarah sosial umar Islam pada masa kekuasaan atau pada khalifahan Abbasiyah. Di mana umat Islam sudah mulai maju, dan banyaknya bangsa-bangsa Eropah yang masuk di wilayah Asia Tengah. Terumtama masuknya kerjaan besar, seperti, Mongol, tartar, dan sebaginya, pada abad ke-5 H. Badri Yatim,Sejarah Kebudayaan Islam (Dirasah Islamiyah II) (Jakrta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet. Ke-10, 111. 103 Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997), cet I, 102, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokohtokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( Idzamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )( Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2007), cet. 1, 348, Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2003), cet. Ke-3, 71-115. 104 Al-Ra>zi adalah Abu> Abdullah, Muhammad bin Umar bin Al-Husain bin Hasan bin Ali bin Al-Qurash al-Tami>mi al Bakri al-T}abrasta>ni al-Ra>zi. Gelarnya adalah al-Fakhruddin dan dikenal juga dengan Ibn al-Kha>tib. Di lahirkan di desa Raz pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H. Ayahnya adalah D}iyauddi>n Umar seorang ulama besar di Ra>z, yang merupakan murid dari Muh}yi al-Sunna, alBaghawi selain dari bidang kalam yang ia dapatnya dari al-Jaili. Tafsir ini, ditulis
150
sekitar abad 7 dan 8 H, dan beberapa karya tafsir, yang muncul semasa dengannya, seperti, Anwa>r al-Tanzi>l karya al-Baid}a>wi ( w. 685 H ), serta kitab Ja>mi' al-Ah}ka>m Al-Qur'a>n karya Abu Abdullah al-Qurt}ubi (w, 671 H). Lihat. Indeks. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M, cet. I, 206, Ma’ani Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir : Kajian Komprehenshif Metode para Ahli Tafsir (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), 320, Teungku Muhammad Hasbi AshShiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur'an & Tafsir ( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), 198, Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khatib al-Rayy (544-604 H), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi (Beirut : Dar al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 58-65. 105 Al-Imam Muhammad al-Ra>zi> Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Kha>tib al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi> (Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 58. 106 Maksudnya, Abdullah bin Umar yang tidak sependapat dengan para sahabat yang mengharamkan secara umum pernikahaaan dengan wanita musyrik, di antaranya, diikuti ulama Zaidiyah. Lihat. Al-Imam Muhammad al-Razi> Fakhruddin Ibn al-Alamah D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khatib al-Rayy (544-604 H), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi > (Beirut : Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), cet.I, Jilid ke-6, 61. 107 Konsep Trinitas adalah terjemahan dari trinity ( trinitas, tiga tunggal, trimurti ). Konsep ini kemudian menjelma menjadi Yesus sang tuhan berdimensi manusia dan manusia berdimensi tuhan. Bagi Kristiani Yesus adalah Allah, Allah adalah Yesus. Karena itu sebutan Trinitas menunjuk langsung Yesus, padahal Yesus sendiri akan mengusir umat Kristen pada hari Kiamat lantaran mereka berseru Tuhan kepadanya. Artinya Yesus tidak mau atau tidak pernah mengajarkan bahwa dirinya Tuhan dan klaim Yesus sebagai tuhan merupakan suatu kejahatan. Allah berfirman : .......’’ Janganlah kalian mengatakan : Tuhan itu tiga ......QS. Al-Nisa’/4:171. Lihat. Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus
Globalisasi dan Modernitas Mencari Alternatif Pemikiran di Tengah Absurditas Modernisme ( Jakarta : LPSI ), 162-163, Lihat. John M. Echos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta : Gramedia, 1996), cet. XXIII, 604, Lihat. Hasan Shadilly dkk, Ensiklopedi Indonesia ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990 ), Jilid 6, 3627. Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi (Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 60. 108 Terjemahan QS. al-Ma>idah/5:73, Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang kelak berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
151
kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. al-Maidah/5:73), Lihat : Muhammad Ar Ra>zi Fakhuddin Ar Ra>zi ( 544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri alRa>zi al-Mushtahi>r bi al-Kita>b Al-Kabi>r Wa Mafa>tih al-Ghaib (Kairo : Da>r al-Fikr, t.th ), Juz ke-5, 59-61. 109 Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi (Beiru>t : Dar al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 61. 110 Namanya adalah Abu Abdullah, kemudian dikenal dengan panggilan Al-Qurtuby. Ia seorang mufasir yang datang setelah al-Ra>zi, begitu terkenal karyanya dengan nama, Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ahka>m al-Qur’a>n. Lengkapnya, adalah Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farkh, Abu Abdullah Al-Ansha>ry, al-Khazra>ji, al-Qurt}ubi, Al-Makhzumi, al-Ma>liky, yang biasa dipanggil Abu Abdullah, kemudian ia terkenal dengan panggilan AlQurthubi, dinisbahkan kepada negara kelahirannya Cordova Andalusia. Ia pergi ke Mesir dan menetap di Maniyah Bani Khusa’ib sebelah Utara Asuyuth sampai akhir hayatnya. Lihat. Indeks. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 37-38, Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qut}ubi (w. 671H ), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa AlMubi>n Lima> Tadhamanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqi>q : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 37-38, Lihat. Muhammad H}usain alDhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M, cet. II, 336-339, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (‘Iz}amu al-Islam 'Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan Min alZaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 349. 111 Disebutkan, bahwa riwayat yang disampaikan al-Muqa>til berbeda dengan al-Suddi, dalam kasus Abdullah bin Rawa>hah dan budak perempuannya. Karena al-Muqa>til menjadika kasud Abu Mathad al-Ghanawi dengan wanita mushrik Makkah (Anaq namanya ), sebagai sebab nuzul-nya. Lihat. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-
Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu Min al-Sunnah Wa Ay AlFurqa>n ( Tahqi>q: Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : I, 454. Lihat. Dalam penjelasan al-Ra>zi dan juga al-Baghawi, Al-Imam Muhammad alRa>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin Umar al-Muashtah>r bi al-Khati>b alRayy ( 544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi (Beiru>t : Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), cet. I, Jilid ke-6, 58, Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir Al-Baghawi :‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚, (Riya>d}:Da>r T}i>bah,1409 H), Cet. I, 255. Dalam beberapa keterangan lain, disebutkan, bahwa kasus ini, terjadi bukan terhadap kasus Abu Marsad melainkan anaknya, Marsad bin Abu Marthad ( aslinya, Kanaz bin Husain al-Ghanawi ). Dan
152
ayat yang turun, bukanlah ayat al-Baqarah /2:221, melainakn al-Nu>r [24]: 3, yakni tentang menikahi wanita pezina, karena pada saat itu, ia ( Anaq ) adalah seorang wanita pelacur di Makkah. Lihat. Jala>luddin al-Suyu>t}i, Asba>b al-Nuzul, (Damaskus : Da>r Al-Qutaibah, 1407 H/1987 M), cet. I, 192. Lihat, pada kasus Marthad bin Abu Marthad yang meninta izin Rasul untuk menikahi wanita bernama Ana>q, maka turun QS. Al-Nu>r/24: 3, Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}uby (w. 671 ), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Wa Ay Al-Furqa>n (Tahqiq: Mua’sasah Al-Risalah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : 15, 117. 112 Al-Nuha>s berkata : Terdapat alasan terhadap perkataan di atas, dan membenarkan sanad ini, sebagaimana diceritakan kepada kami Muhammad bin Zabban, berkata : bercerita kepada kami Muhammad bin Rumh, berkata : menyampaikan kepada kami al-Laith, dari Na>fi, bahwasanya Abdullah bin Umar ketika ditanya tentang pernikahan pria muslim wanita Yahudi atau Nasrani. Ibn Umar Menjawab : Allah mengharamkan wanita musyrik bagi pria muslim. Dan aku tidak mengetahui dosa syirik yang terbesar, selain perkataan seorang wanita itu, bahwa Tuhannya adalah Isa atau hamba diantara hamba Allah. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}ubi ( w. 671), al-Ja>mi’ li Al-
Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way AlFurqa>n (Tahqiq: Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I, Juz : I, 455. 113
Berkata Al-Nuha>s : tentang dasar perkataan Ibn Umar, yang besebrangan dengan para sahabat dan tabi’in, karena mereka telah sepakat kebolehan menikahi wanita ahl al-kitab, seperti shahabat, Usman bin Affan, T}alhah, Ibn Abba>s, Ja>bir, Hudhaifah, serta kalangan tabi’in, seperti, Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Hasan, Mujahid, Tawus, Ikrimah, al-Sya’bi, dan juga al-Dhahaq, serta para ahli fiqh masa itu. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Quthubiy (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa AlMubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : I, 455. 114 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq: Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I, Juz : I, 456. 115 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qurt}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 461. 116 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qurt}ubi (w. 671H), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu
153
Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : I, 462. 117 Al-Ima>m Al-Qa>d}i Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> 'Umar Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi ( w. 791 H ), Tafsi>r al-Baid}a>wi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}a>wi (Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H/1996 M), Juz ke-1, 3. 118 Dilahirkan disebuah desa bernama al-Baidha', Persia (Iran). Ungkapan Ibn Suhbah tentangnya, seorang yang produktif, karya-karyanya terlihat, misalnya, menyusun rangkuman ( mukhtas}a>r ) tafsir al-Kassha>f karya al-Zamakhshari, mensyarahi al-Mukhtas}ar karya Ibn Hajib di bidang ilmu Us}u>l Fiqh, mensyarahi juga kitab al-Mukhtakha>b fi al-Ushu>l karya al-Imam Fakhruddin al-Ra>zi, alTawalli Fi> al-Kala>m, al-Gha>yah al-Quswah fi> Dira>yah al-Fatwa li> Fiqh al-Sya>fi’ih dan menulis sebuah kitab tafsir yang merupakan karya terbaiknya, al- Anwa>r alTanzi>l Wa al-Asra>r al-Ta’wi>l, yang kemudian tafsir ini terkenal dengan sebutan nama Tafsi>r al-Baid}a>wi. Al-Baid}awi wafat pada tahun 791H /1286 M. Al-Ima>m Al-Qa>d}i Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> Umar Muhammad al-Syaira>zi AlBaid}a>wi (w. 791 H), Tafsi>r al-Baid}a>wi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}a>wi ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), Juz ke-1, 3. 119 Dalam kenyataannya, Al-Baid}a>wi juga setuju dengan pengkhususan, yaitu untuk wanita muhs}ana>t yang berasal dari ahl al-kita>b berdasarkan Qs.[5]:5, maka pernikahan dengan ahl al-kita>b menurutnya, dibolehkan. Al-Ima>m Al-Qa>dhi Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> 'Umar Muhammad al-Syaira>zi Al-Baid}a>wi ( w. 791 H ), Tafsi>r al-Baid}awi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}aw > >i ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), Juz ke-1, 3, 506. 120 Namanya Ala>’u al-Di>n Abu> al-Hasa>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Baghda>dy. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 678 H bertepatan dengan tahun 1279 M, tetapi beliau lebih dikenal dengan nama al-Kha>zin. Selain sebagai mufassir, beliau juga seorang yang sufi dan fakih. Ia pengikut mazhab alSyafi’iyah. Wafat di Halaba ( Aleppo ) tanun 741 H/1342 M. Pada malam Jum’at di akhir bulan Rajab, dan dimakamkan di tempat perkuburan al-Sufiyyah pada hari yang sama. Pada malam Jum’at di akhir bulan Rajab, dan dimakamkan di tempat perkuburan al-Sufiyyah pada hari yang sama. Dalam sudut sejarah, beliau juga sebagai seorang mufassir yang muncul pada abad ke-7 H, dan tafsir ini, juga merupakan ikhtishar ( ringkasan ) dari tafsir sebelumnya, yaitu Ma’a>lim Tanzi>l karya al-Baghawi. Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (t.t : Wiza>rah Al-Tsaqa>fah Wa Irsya>d Al-Isla>my, 1373 H ), 598, Lihat juga, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 220. 121 Ala>uddin Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di (al-Kha>zin, w. 725 H), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l (Beiru>t : Dar Fikr, t.th ), 147.
154
122
Terkait dengan kriteria ahl al-kita>b, Ibn Abba>s, menjelaskan, kata muh}s}ana>t berlaku untuk wanita yang merdeka ( hara>’ir ), al-Hasan, al-Sya’bi, dan al-Nakha’i serta al-Dhaha>q setuju dengan wanita terjaga dan terpelihara (afa>’if ), oleh kerana itu Ibn Abba>s melarang pernikahan dengan wanita budak sahaya dari Ahl al-kita>b, demikian diikuti mazhab Sya>fi’ih, karena alasan, memiliki dua kekekurangan, yaitu, berpredikat kufur dan sebagai budak sahaya. Berbeda dengan mazhab Hanafi membolehkan, karena alasan pelarangan ayat yang masih bersifat umum. Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di ( Kha>zin, w. 725 H), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l (Beiru>t : Da>r Fikr, t.th), 147. 123 Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di ( Kha>zin, w. 725 H ), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l )( Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), 148. 124 Perdamaian Hudaibiyah ( Sulh Hudaibiyah), di bulan Zulqa’dah, tahun ke 6 H. Merupakan awal diberlakukannya perintah larangan menikahi wanita kafir (musyrik), berdasarkan QS. al-Mumtahan/60:10. Kesepakatan10tahun kedepan tanpa peperangan, ungkapan setia, dan sebagainya, merupakan kesepakatan, yang disetujui Nabi SAW dan Suhail bin Amr. Turun ayat ‚ In Ja>’atkum al-Mu’mina>tun Muha>jira>tun Famtahinu>hunna…..‛. Menguji keislaman mereka, para wanita hijrah, status keimanan mereka. Dan pada saat itu, putus hubungan dan tidak sah pernikahan antara mukmin dan kafir, dan ketika ayat ujian itu turun, di antara mereka adalah, Subaiah binti Ha>rits al-Asla>miyah, masuk Islam, sedangkan suaminya yang masih mushrik (Musa>fir al-Makhzu>mi), dikenal Saifi Bin Rahi>b, lalu Nabi mengembalikan maskawin suaminya di Makkah. Kemudian Umar bin Khattab menikahinya. Mengingat bunyi ayat yang melarang orang-orang Islam menahan (tidak menceraikan), para istrinya yang masih dalam keadaan kafir di Makkah, maka Umar menceraikan dua istrinya, yaitu Quraibah binti Abi Umayyah dan Ummi Kuthu>m binti Jarwal. Sesudah diceraikan Umar, lalu Quraibah dinikahi Mua>wiyah bin Abi Sofyan, dan Ummi Kultusm dinikahi oleh Abu Ami>n bin Huzaifah (dikenal Abu Jaham bin Huzafah), keduanya masih dalam status mushrik di Makkah. Sedangkan, Arwah binti Rabiah bin Harith bin Abdul Mut}alib, hijrah, namun masih beagama lama, maka Islam menceraikannya, kemudian ia Arwah masuk Islam, dan dinikahi Khalid bin Said bin Ash bin Umayyah. Diceritkan, oleh Al-Sya’bi, bahwa diantaranya yang hijrah Zainab binti Rasulullah SAW, wanita istri Abu al-Ash bin al-Ra>bi’ bin Umayyah, lalu beriman, masuk Islam sedangkan suaminya di Makkah masih mushrik, maka Rasulullah mengembalikan mahar apa yang telah diberikan suaminya sebagai ganti. Demikaian berlaku isi perjanjian Hudaibiyah. Moenawwar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad (Jakarta : Gema Insani Press, 2001),386-387,Lihat.Alauddi>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di (Kha>zin, w. 725 H), Tafsir al-Kha>zin yang dikenal (Luba>bu al-Ta’wi>l Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l )(Beirut : Dar Fikr, t.th), 258-259. 125 Ia adalah al-Ima>m al-Ha>fi>dz Imaduddin Abu al-Fida Ibn Amr bin Ibn Kathir al-Qurashi al-Basri, al-Dimasqi al-Faqi>h al-Sha>fi’ih. Ia dilahirkan Mujadal
155
negeri Syam pada tahun 700 H / 1300 M atau di sebelah Timur Bashrah yang merupakan wilayah bagian Damasqus. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Juz. I, cet. Ke6, 173, Lihat. Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir ( Tangerang : Gaya Media Pratama, 1428/ 2007), 76. 126 Tafsir Ibn Katsir dengan nama yang disebutkan, merupakan tafsir pertama kali dalam bentuk tafsir bi al-Ma’thu>r. Dan dianggap kitab yang kedua setelah tafsir Ibn Jarir Al-T}abari, yang didalamnya meriwayatkan dari Nabi SAW, sahabat-sahabat besar, tabi’in. Ia memilih riwayat-riwayat yang shahih dan atsaratsar yang disandarkan kepada pemiliknya. Ia adalah seorang mufasir yang antusias menafsirkan al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n, kemudian dengan al-Sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in. Ia banyak menyebut ayat-ayat yang sejalan dengan maknanya, dan saling menguatkan, kemudian, membandingkan, menguatkan pendapat yang rajih, dan melemahkan pendapat yang lemah dengan dalil. Ia juga berbicara tentang al-Jarah wa al-Ta’di>l. Keistimewaannya adalah ia mengingatkan akan adanya israiliyat, mengkritiknya dan mensarankan agar slalu berhati-hati. Dalam tatanan sejarah, Ia hidup di abad pertengahan ( abad ke-8 H ), dan beliau wafat di Damascus pada tahun 774 H. Lihat. Muhammad H}usain alDhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Juz. I, cet. Ke-6, 175, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( A'zamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min alZaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 349. 127 Pengecualian itu, sebagaimana dikutip yang sumber dari Ibn Abba>s : ] وال تنكحوا المشركات حتى يؤمن [ استسنى هللا من ذالك: قال على بن أبى طلحة عن إبن عباس فى قوله وزيد, والضحاك, ومكحول والحسن, وسعيد ابن جبير, وعكرمة, وهكذا قال مجاهد, نساء أهل الكتاب وغيرهم, والربيع بن أنس, بن أسلم Berkata Ali bin Abi T}alhah dari Ibn Abba>s r.a tentang Firman Allah SWT, [Janganlah kamu menikahi wanita mushrik hingga mereka beriman], dikecualikan hal itu, wanita ahl al-kita>b. Demikian dikatakan Muja>hid, Ikri>mah, dan Sa'id bin Jubair, Makhu>l, al-Hasan, Zaid bin Asla>m, al-Rabi>’ bin Ana>s dan lainnya. Ima>duddi>n Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H / 2000 M ), Jilid 2, Cet. I, 296 128 Ima>duddi>n Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > ( Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M ), Jilid 2, Cet. I, 296. 129 Lihat. Ima>duddi>n Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > , 299. 130 Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibra>him bin Ahmad al-Imam al-Ala>mah Ahmad Jala>luddin al-Mahalli al-Sya>fi’ih, lahir pada tahun 791 H / 1389 M di Kairo, Mesir. Ia lebih dikenal denga panggilan alMahalli, karena disandarkan kepada kampung halamannya. Jala>luddin Al-Mahalli dan Jala>luddin al-Suyu>t}i, Al-Qur’a>n al-Kari>m Wa Biha>misihi Tafsi>r al-Ima>main al-
156
Jala>lain ( t.tp : Da>r Ibn Kathi>r, t.th ), 9-10. Muhammad H}usain al-Dhahabi, alTafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M), Juz. I, cet. Ke-6,237-238,Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008 ), 110-111. 131 Gelarnya adalah Jala>luddi>n dan dikenal dengan sebutan Ibn Kita>b karena dilahirkan diantara kitab-kitab milik ayahnya. Di lahirkan di Kairo, Mesir pada tahun 849 H. Bapaknya meninggal ketika ia berumur lima tahun. Dan Ia telah hafal al-Qur’an di usia delapan tahun. Pergi ke beberapa tempat menuntut ilmu ke al-Qayyum (Dimasqi), Makkah, Yaman, India dan Maroko. Laksana samudera dalam ilmu tafsir, hadits, fiqh dan nahwu. Ranah keilmuannya adalah ushul fiqh, qira’at, kedokteran dan al-hisab hingga mencapai derajat al-mujtahid. Gurugurunya mengizinkan dia untuk mengajar, memberi fatwa, dan mendikte hadits. Belajar di sekolah Bibrisiyah. Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( 'Adzamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 349. 132 Jala>luddin al-Suyu>t}i, adalah Abdurahman bin Kamal Abu Bakar bin Muhammad bin Sa>biq al-Din bin Fakhr Usman bin Nashi>ruddin Muhammad bin al-Hamma>m al-Khudairi al-Suyu>t}i. Gelarnya adalah Jala>luddi>n dan ia dikenal dengan sebutan Ibn Kita>b karena dilahirkan diantara kitab-kitab milik ayahnya. Jalaluddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r (tahqiq : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky )(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’uth Wa Al-Dirathat al-Arabiyah Wa al-Islamiyah, 1424 H/ 2003 M), cet. I, 565, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 238. 133 Jala>luddi>n bin Muhammad bin Ahmad bin Muhamad Al-Mahalli dan Jala>luddin Abdurahaman bin Abu Bakar al-Suyu>t}i, Al-Qur’a>n al-Kari>m Wa Biha>misihi Tafsi>r al-Ima>main al-Jala>lain ( tahqi>q : Abdul Qa>dir al-Arfauth )(t.tp : Da>r Ibn Kathi>r, t.th ), 107. 134 Jala>luddi>n bin Muhammad bin Ahmad bin Muhamad Al-Mahalli dan Jala>luddin Abdurahaman bin Abu> Bakar al-Suyu>t}i, Al-Qur’a>n al-Kari>m Wa Biha>misihi Tafsi>r al-Ima>main al-Jala>lain ( tahqi>q : Abdul Qa>dir al-Arfauth )( t.tp : Da>r Ibn Kathi>r, t.th ), 35. 135 Al-Suyutti yang muncul di abad ke 10 H, ketika perkembangan studi al-Qur’an (ilmu al-Qur’an) sedang mengalami kemunduran, lalu al-Suyuti bangkit, dengan karya tafsirnya, Tafsi>r Al-Du>r Manthu>r Fi> Tafsi>r Bi Al-Ma’thu>r. Naman lengkapnya adalah Jaluddin Abu Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar AlSuyuti. Dilahirkan di Kairo pada tahun 849 H/1445 M. Karya beliau belum berakhir, setelah menyelesaikan satu karya, beganti dengan karya yang lain. Dalam
157
kesibukan kesehariannya adalah mengarang,meresume, membuat sharkh (penjelasan), hingga lebih dari 600 judul buku. Ketika usianya 40 tahun terjadi perbedaan pendapat antara dia, para raja dan ulama, kemudian ia melakukan meditasi sendiri di lembah sungai Nil, Kairo. Dan menolak semua hadiah dari para pejabat pemerintah yang mengunjunginya. Dan dinatara karya-karyanya, adalah Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n, ad-Du>rr al-Manthu>r Fi> al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r, Luba>b al-Nuqu>l Fi> Asba>b al-Nuzu>l, al-Asba>b Wa al-Naz}a>’ir di dalam ilmu nahwu dan Qawa’id fiqh Sha>fi’ih, Ta>rikh al-Khulafa>’, Sharh Sunan Abi Da>ud wa alNasa>’i Wa Ibn Ma>jah. Ia wafat pada tahun 911 H di kota Kairo.Syeikh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( I'zamu alIslam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-Zama>n, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )( Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 349-350, Abdul Jalal, Ulumul Qur’an (Surabaya : LEPKIS, 1990), 38. 136 Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky )(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’u>th Wa Al-Dira>that al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, Juz ke-8, 561-562. 137 Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky )( Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’u>th Wa Al-Dira>that al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/2003 M), cet. I, Juz ke-8, 562. 138 Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li aBu’u>th Wa Al-Dira>sat al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, Juz ke-8, 563 139 Dalam riwayat yang bersumber dari Saqi>q, Ibn Umar, menyatakan :
, تننزوّ ج حذيفننة يهوديننة: عننن شننقيق قننال, والبيهقننى, وابننن جريننر, وأخننرج عبنند الننرزاق ال أزعنم: أتزعم أنهنا حنرام فنأخلى سنبيها ؟ فقنال: فكتب إليه. خا سبيلها: فكتب إليه عمر و النحناس فنى, وأخنرج البخنارى. ولكننى أخناف أن تعناطوا المومسنات مننهّن, أنها حرام أن عبنند هللا بننن عمننر كننان إذا سننئل عننن نكنناح الرجننال النصننرانية أو, (ناسننخه) عننن نننافع وال أعنرف شنيئا منن اإلشنراك أعظنم, حرم هللا المشنركات علنى المنؤمنين: قال. اليهودية ربهنا عيسنى أو عبند منن عبناد هللا: منن أن تقنول المنرأةDi keluarkan dari Abdu Raza>q, dan Ibn Jari>r, dan Al-Baihaqi, dari Shaqi>q berkata : telah menikah Huzaifah dengan wanita Yahudi, lalu Umar r.a berkirim surat kepadanya, ‘Lepaskan dia‘, Hudhaifah membalas surat itu ‘, Apakah anda mengira dia haram untuk dinikahi, sehingga saya harus melepaskannya (menceraikan) ? Umar bin al-Khatab, menjawab : tidak, aku tidak mengira bahwa haram dinikahi, melainkan aku merasa khawatir kalian enggan untuk menikahi wanita-wanita beriman, karena mereka
158
(wanita-wanita ahl-al-Kitab). Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan al-Nuhas dalam kitabnya (al-Na>sikh), dari Nafi’, Bahwa Abdullah bin Umar apabila ditanya tentang pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Nasrani atau Yahudi. Abdullah bin Umar menjawab : Allah SWT mengharamkan wanita-wanita Musyrik terhadap laki-laki muslim, dan aku tidak mengetahui perbuatan syirik semacam apa yang lebih besar, dari pada keyakinan seorang wanita yang berkata, Tuhannya adalah Isa, atau seorang hamba dari pada hamba Allah. Jalaluddin alSuyu>t}i (879-911 H),al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r (Tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’u>th Wa Al-Dira>sa>t alArabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, Juz ke-8, 563 140 Al-Alu>si namanya Abu Tsana' Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d alAlu>si al-Baghda>di. Lahir pada tahun 1217 H/ 1802 M di daerah Alu>s, Khurk, Bagdad, Irak. Ia di juluki dengan Abu Tsana ', tetapi lebih dikenal dengan nama Alu>si. Ia sangat cerdas dan ulet dalam menuntut ilmu. Dan ia menuntut ilmu dengan para ulama terkemuka pada masanya, diantaranya orang tuanya, sehingga menjadi Syeikh ulama di Irak. Di antara para ulama yang membimbing Alusi, seperti, Khalid al-Naqshabandi, seorang ahli tasawuf sekaligus guru besar tarekat Naqsabandiyah, Syeikh Ali al-Suwaedi dalam baidang tafsir, hadits, bahasa arab, dan Abdul Azis dalam bidang adab, terutama ayahnya, Syeikh Abdullah Shabuddin yang menjadi guru besar di perguruan tinggi al-Hadrah al-Ajamiyah, sehingga ia menjadi seorang ulama yang mumpuni dan disegani. Alusi dikenal sangat cerdas, berwawasan luas, dan berfikiran jernih. Dan pada usia 13 tahun sudah mulai belajar dan berkarya, yaitu mulai beraktifitas tulis-menulis, sambil bersekolah di lembaga pendidikan dekat rumahnya, sebuah universitas yang didirikan oleh Abdullah al-Aquli di daerah Rasafah. Ia sangat menguasai masalah perbedaan mazhab, agama dan aliran-aliran, seorang yang menganut mazhab salaf dalam bidang aqidah, dan mazhab Shafi'ih dalam bidang fiqh. Hanya saja ia juga betaqlid kepada Abu Hanifah dalam banyak masalah, namun pada akhir usianya ia lebih cenderung berijtihad dengan sendiri. Ia telah meninggalkan khazanah keilmuan yang luar biasa, di antaranya yang sedang kita bicarakan, yaitu Tafsir Ru>h al-Ma'a>ni Fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni. Ha>shiyah Ala> al-Qat}r, Sharh al-Sula>m fi al-Manti>q, al-Ajwibah al-Ira>qiyah Ala> al-As’ilah Iraniyah, Durah al-Ghawa>s} Fi> Awha>m al-Khawa>s}, al-Nafah}a>t al-Qudsiyah Fi> Maba>h}ith al-Ima>miyah, al-Fawa>’id al-Sunniyah Fi Ilmi Adab al-Bah}s.Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Juz. I, cet. Ke-6, 250-251, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir AlQur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008 ), 110-121. 141 Abu> Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni
159
(Beiru>t : Ida>rah al-T}aba>’h Al-Muni>riyah Da>r Ihya’ al-Tura>th Al-Arabi, t.th), Juz ke- 2, 118. 142 Abu> Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}im > Wa Sab’u al-Matha>ni (Beirut:Ida>rah al-T}aba>’ah Al-Muni>riyah Da>r Ihya’ al-Turath Al-Arabi, t.th), Juz ke- 2, 118. 143 Abu> Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}im > Wa Sab’u al-Matha>ni, 120. 144
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ( Jakarta : UI Press, 1985 ), cet. Ke-5, 88. 145 Keterangan periode tafsir abad modern-kontemporer dapat telusuri, sejak terjadinya pembaharuan Islam atau munculnya gerakan-gerakan modernisasi Islam yang terjadi di sekitar abad ke-20 M atau abad ke-14 H, akibat krisis yang dialami umat Islam di masanya, hingga datang masa kebangkitan, mempersiapkan sarana ke arah pembaharuan, menuju suasana yang bersifat inelektual dan kembali kepada kejayaan Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasikan. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Sejarah Islamiyah II)(Jakarta : PT Grafindo Persada, 2000), 257. 146 Namanya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahalla>t Nasr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1266/1849 M, Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Al-Imam Muhammad Abduh memulai penulisan tafsir alQur’an di awal Muharram tahun 1317 H, dan terhenti dipertengahan bulan Muharram di tahun 1323 H di saat menulis tafsir pada ayat ke 126 dari Surat AlNisa’, karena ia telah wafat.Ali Iya>zi, Al-Mufassiru>n Haya>tuhum Wa Minhajuhum (Teheran:Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H ), 664-665, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah Wahbah, 1396H/1976 M), Juz. I, cet. Ke-6. 405-407. 147 Rashi>d Rid}a> dikenal sebagai ahli tafsir sekaligus ilmuwan yang sangat idealis, luas pengetahuannya.Walaupun terdapat beberapa perbedaan dengan pendahulunya, bahkan kepada gurunya sekalipun, Muhammad Abduh, tetapi Ia tetap konsisten dan kritis terhadap pandangan-pandangan pribadinya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, terhadap pendapat-pendapat yang ditukilnya, sehingga dengan sikapnya yang kritis dan objektif, wajarlah ia menerima gelar yang diterima dari gurunya, serta restu dari kalayak ramai, dengan gelar, al-Ustadz al-Ima>m. Selain pengetahuannya tentang sunnah yang sangatlah luas, yang membuat penjelasannya tentang tafsir suatu ayat, dikenal sangat kaya, dengan riwayat-riwayat, yang bahkan dinilainya s}ahi>h, lebih-lebih terhadap kritikan
160
terhadap para mufasir pendahulunya, seperti, Ibn Jarir al-Thabri dan juga Fakhruddin al-Ra>zi yang tidak menyinggung secara detail dalam kitab tafsirnya, sekaligus dinilainya suatu kelemahan, karena dengan sikapnya itu, ia dikenal orang yang kaya dalam tafsir bi al-Ma’thu>r. Sebagai mufasir yang lahir di era kebangkitan Islam modern, Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mana>r mengangkat isuisu kontemporer, yang mencoba membahas ayat-ayat dalam suatu kelompok ataupun dalam kelompok ayat tertentu, terkait pernikahan beda agama QS.AlBaqarah/2:221, QS. Al-Maidah/5:5,QS.al-Mumtahanah/60:10. Karya tafsir.AlMana>r, berawal dari sebuah majalah, al-Urwah al-Wusqa>, majalah yang diterbitkan di Paris, atas karya pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afgani, lalu majalah tersebut sampai ketangan Rasydi Ridha, keta’ajuban dari pemikirin kedua tokoh tersebut tentang pembaharuan, menjadi usaha yang tidak sia-sia, akhirnya Rasyid Rid}a bertemu para sang pembaharu tersebut, di Mesir. Hasil pertemuannya yang panjang, membuahkan kesan yang mendalam, memutuskan Rasyid Ridha untuk menetap di Mesir. Ide-ide pembaharuan yang telah lama terpendam akibat tidak mendapat porsi yang layak di Libanon, atas intimidasi dan kecaman Kerajaan Turki Usmani, yang akhirnya di Mesir ia berhasil menerbitkan sebuah majalah, yang bernama, Al-Mana>r, yang isinya antara lain memuat artikel tafsir al-Qur’an. Dengan demikian, cikal bakal tersebut, maka tafsir al-Mana>r tersususn. Dan Al-Mana>r itu adalah sebutan popular dari tafsir itu, karena dinisbahkan kepada surat kabar atau majalah yang popular pada saat itu, dan yang aslinya adalah Tafsi>r Al-Qu’a>n al-Haki>m. Saiful Amin Ghaofur, Profil Para Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 146-149, 250-25, Mani’ Abdul Halim Mahmud, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir ( Jakarta : Raja Grafido Persada, 2006), 271-272. M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsi>r AlMana>r (Jakarta : Lentera Hati, 2006), 5-7, 76-78, 83-84, M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis atas Tafsir al-Manar ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 M), cet. I, 143-144, 153-156. 148 Tafsir al-Manar adalah kitab tafsir dengan nama Tafsir Al-Qur’an alHakim, yang ditulis oleh karya ketiga ulama tafsir terkemuka, yaitu, Sayyid Jama>luddin Al-Afgani, Sheikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Muhmammad Rashi>d Rid}a, namun yang terlibat langsung adalah dua tokoh yang disebutkan terakhir. Ini adalah salah satu kitab tafsir yang memuat, riwayat-riwayat yang shahih, dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunatullah ( hukum yang berlaku ) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di setiap waktu, tempat. Tafsir al-Manar merupakan sebuah tafsir yang penuh dengan pendapat para pendahulu umat, shahabat, dan tabi’in, yang penuh dengan uslub-uslub bahasa dan
161
sastra. Qurais Shihab menilai tafsir al-Manar yang lebih banyak tertuju kepada corak sastra dan sosial kemasyarkatan (al-Adab al-Ijtima>’i ), yaitu suatu corak tafsir, yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menaggulangi problem kemasyarakatan bedasrkan petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah tapi indah didengar. alSayyid Muhammad Ali Iya>zi, al-Mufassiru>n Haya>tuhum Wa Manhajuhum (Teheran : Mu'asasah al-Thaba>'ah Wa Nasyr, 1415 H), 669, Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarkat, ( Bandung : Mizan, 1994 M ), cet. Ke-VII, 73. 149 Terdapat dua persoalan mendasar dalam pemikiran Muhammad Abduh yang menjadi tolak ukur dalam menagulangi masalah yang di hadapainya saat itu, yaitu:(1). Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaiman halnya Salaf alUmmah (ulama sebelum abad ke-3 H), sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari sember pokoknya, yaitu al-Qur’an.(2). Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah, maupun dalam dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondesi. M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsi>r Al-Mana>r ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 ), 14-17. 150 Muhammad Rashi>d Rid}a> dilahirkan di Qalmun, sebuah kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon. Ia lahir pada tanggal 27 Jumadil Awwal 1282 H. Dia seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan dari Sayyidina Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Zahrah putrid Rasulullah SAW. Gelar Sayyid adalah awalnya gelar yang diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut, sementara keluarga Rashid Rida dikenal keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka dengan julukan, ‚ syeikh ‚. M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 ), 71-74. 151 Rashi>d Rid}a> menyebutkan asba>b nuzu>l ini, yang ditujukan kepada Abu Marthad yang ingin menikahi wanita musyrik, melalui al-Wahidi yang bersumber dari Muqatil ibn Hayyan. Dan riwayat lain, Al-Wahidi mengutip asba>b al-nuzu>l ayat ( )وألِأ ِؤِنأdengan jalur al-Suddi yang bersumber dari Ibn Abbas r.a ditujukan kepada Abdullah bin Rawahah. Secara zahir, ayat ini, diturunkan mengenai Abu Marsad prihal menikahi wanita musyrik secara umum, tetapi secara khusus diturunkan mengenai Abdullah bin Rawahah prihal menikahi budak wanitanya yang beriman. Jelas, demikian, bahwa ayat ini turun dalam dua kasus yang berbeda dengan tema yang sama. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M, Jilid II, 405, M.
162
Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir Al-Mana>r (Jakarta : Lentera Hati, 2006), 71-74, 182-183, Saiful Amin Ghaofur, Profil Para Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 146-149, 250-257, Mani’ Abdul Halim Mahmud, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta:Raja Grafido Persada, 2006), 271-272. M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 ), 5-7, 76-78, 83-84, M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis atas Tafsir al-Manar ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 M ), cet. I, 143-144, 153-156, Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r alMana>r (Beirut : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 279-280, Al-Wahidi ( 529 H ), Asba>b al-Nuzu>l Al-Qur’an, ( Riyad} : Da>r Miman Li Nasr Wa Tawzi’, 1426 H/2005 M ), cet I,178, Jalaluddin al-Suyu>t}i, Asba>b al-Nuzu>l, (Damascus:Da>r AlQutaibah, 1407 H / 1987 M ), cet. I, 37. 152 Al-Suyu>t}i menyebutkan, ayat al-Nur/24:3, dipahami dua sebab riwayat diturunkannya, Pertama, ditujukan kepada seseorang laki-laki yang ingin menikahi seorang wanita yang disebutkan namanya Ummu Mahzu>l, karena perbuatan zina, (dalam riwayat al-Nasa>’i), yang kedua, disebutkan yang ditujukan kepada seseorang bernama Mazi>d ( kemudian diralat, melainkan namanya Marthad ) yang ingin menikahi wanita musyrik yang dicintainya di Makkah, bernama Ana>q atas sebab perlaku zina ( dalam riwayat Abu Da>ud, Al-Tirmizi, al-Nasa>’i, dan al-Ha>kim dari sumber Amr bin Syua’ib dari bapaknya dari kakeknya. Walhasil ternyata kasus semacam ini banyak di masa Jahiliyah, ternyata ayat tersebeut secara umum diturunkan kepada mereka secara bersamaan ( dalam satu rangkaian, terhadap individu yang berbeda, pada kasus yang sama atau dalam waktu yang sama pula). Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beirut : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th), Jilid 6, 280-281. 153 Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMushhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beirut:Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 280281. 154 Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beiru>t : Da>r al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 281. 155 Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r, 282. 156 Al-Mara>ghi namanya Ahmad Mus}tafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Mara>ghi. Dia dikenal seorang ahli tafsir, ahli fiqh dan dan saudara kandung Muhammad Musthafa Al-Maraghi, syeikh al-Azhar. Dia lahir di kota Mara>ghah, sebuah kota yang terletak di pinggiran sungai Nil, kira-kira 70 km, arah selatan kota Kairo, pada tahun, 1300 H / 1883 M. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Maraghi karena dinisbahkan pada kota kelahirannya, Al-Marghi menetap di Hilwan, sebuah kota sekitar 25 km dari Kairo, hingga ahkir hayatnya, pada usia 69
163
tahun (1371 H/1952 M). Lihat. Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( I'zamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 389, Ali Iyazi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (Teheran : Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H), 357-358, Saiful Amin Ghaofur, Profil Para Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 146-149, 151152, 156. 157 Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi, Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo:Shirkah Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Babi al-Halabi Wa Awladuhu, 1365 H /1945 M ), cet. I, 152. 158 Corak penafsiran Al-Mara>ghi lebih dikenal dengan al-tafsir al-ilmi, hal itu tentu karena besarnya pengaruh ulama-ulama pendahulunya, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha itu. Sedangkan bentuk pernafsirannya, lebih mengarah kepada al-Adab al-Ijtima>’i (sosial-kemasyarkatan). Lihat. Ahmad Mus}t}afa AlMara>ghi, Tafsir Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah Maktabah Wa Mathba’ah Musthafa Al-Babi al-Halabi Wa Awladuhu, 1365 H / 1945 M ), cet. I, 151. 159 Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi,Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo:Shirkah Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945 M ), cet. I, 152. 160 Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi, Tafsi>r Al-Mara>ghi, 153. 161 Namanya Sayyid Qutb bin Ibra>him bin Husein al-Sha>zili. Ia dilahirkan di kampung Muwa>shah, kota Asyu>t, Mesir pada tahun 1906 M. Ia menyelesaikakan pendidikan sarjanya di Da>r Ulu>m pada tahun 1933 M, sebuah Universitas terkemuka di Kairo, dengan bidang Pengkajian Ilmu Islam dan Sastra Arab dan di tempat tersebut dimana Imam Hasan al-Banna menuntut ilmu sebelumnya. Ia seorang adalah anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Nama ayahnya adalah Al-Hajja Qutub Ibra>him anggota Hizbul Watha>n, dan seorang penulis di majalah The Banner ( al-Liwa’ ), dan pada saat Qutub lahir kondisi ekonomi keluarganya yang krisis. Shahrough Akhavi, Sayyid Qutub, dalam John L. Espo Sito ( Ed ), el.al. The Expord Encyclopedia Of The Modern Word, Vol III, ( New York : Expord Univercity Press, 1995 ), 400-404, Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsir al-Ashr Al-
Had>ith, Ard Wa Dira>sah Mufas}s}alah Li Ah}ka>m Kutub al-Tafsi>r Al-Mu’a>shir (Bairu>t : Da>r Al-Ma'rifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 347. 162 Sayyid Qutub merupakan sosok mufasir di abad ke-19 M, yang menghiasi beberapa lembaran pemikiran Islam abad modern ini, karena itu, ia masuk ke dalam barisan tokoh-tokoh pembaharu Islam, seperti, Muhammad Abduh, Syeikh Hasan Al-Banna, Syeikh Muhammad Sayyid Ridha, dan lain sebagainya. Selain kifrahnya di akademis, dan di antara karyanya yang terkenal di bidang tafsir, yaitu, tafsir Fi Z}ilal al-Qur’an (Dibawah Naungan Al-Qur’an). Abdul Qa>dir Muhammad S}aleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsi>r al-As}r Al-H}ad>ith,
164
Ard Wa Dira>sah Mufas}s}alah Li Ah}ka>m Kutub al-Tafsi>r Al-Mua>s}ir ( Bairu>t : Da>r Al-Ma'rifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 347. 163 Beberapa pemikiran tafsir Sayyid Qutb lebih dikenal dengan pembaharu pergerakan Islam, hal itu karena pemikirannya, terinspirasi oleh ulamaulama sebelumnya, seperti Al-Maududi, sehingga kehidupan sosialnya, mewarnai pemikiran tafsirnya. Selain banyak mengangkat masalah-masalah sosial kemasyaralatan (al-Adab al-Ijtima>’i ), yang banyak menginpirasi generasi muslim, oleh karenanya, keunggulan inilah, menjadi nilai positip bagi Sayyid Qutb, yang dikenal sebagai sosok mufasir modern yang telah mewarnai corak tafsir al-Qur’an. http:// ranah damaiku.blogspot.com.pemikiran Sayyid Qutb, disadur tanggal 10 Nopember 2011, http ://www. mediamuslim.net. disadur, tanggal, 10 Nopember 2011. 164 Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Al-Arabiyah Li T}aba>’ah Wanashr Wa Tawzi>’, t.th ), cet. Ke-4, 176. 165 Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Ke-4, 177. 166 Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>, 177. 167
Dia adalah Muhammad Ali Al-S}a>bu>ni seorang guru besar di Kuliah Shari’ah dan Dira>sat Isla>miyah, di Makkah. Lahir tahun 1347 H/1928 M di Halab, Syiria. Setelah selesai dari Tha>nawiyah, menyelesaikan kuliyahnya di Al-Azhar, dengan gelar licience, pada tahun 1371 H/1952 M. Dan atas utusan kementerian badan waqaf, Syariah, lalu melanjutkan studi masternya, dengan gelar master peradilan hukum tahun 1945 M. Ia memiliki beberapa karya tulis yang dipublikasikan, di bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir, di antaranya, S}ofwah alTafa>sir, Mukhtas}ar Tafsi>r Ibn Kathi>r, Rawa>’i al-Baya>n Fi> Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m, al-Nubuwwah Wa al-Anbiya>’, al-Mawa>ris Fi> Shari’ah al-Isla>miyah ala Dau’i alQur’a>n Wa al-Sunnah, Qobs} Min Nu>r al-Qur’a>n. Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Minhajuhum (Teheran : Mu'asasah al-Thaba>'ah Wa Nasyr, 1415 H), 470-471. 168 Muhammad Ali al-S}abu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n (Bairu>t : Da>r Al-Qur’an Al-Kari>m, 1420 H /1999), cet. I, 200. 169 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n (Bairu>t : Da>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m, 1420 H/1999), cet. I, 203-204. 170 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n (Bairu>t : Da>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m, 1420 H/1999 ), cet. I, 204. 171 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n (Bairu>t : Da>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m, 1420 H/1999), cet. I, 204. 172 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n,205 173 Abu> A'la> Al-Maudu>di,(Lahir di Hyderabad, India, 25 September 1903 dan wafat di Newyork, Amerika Serikat, 1979 M ). Dia adalah ulama dan pemikir Islam di anak benua ini, terkenal dengan konsistensi pemikirannya yang melihat
165
Islam sebagai suatu sistem yang komprhanshif sehingga ditemukan didalamnya antara sistem sosial Islam. Ia anak termuda dari tiga bersaudara terpandang yang merupakan keturunan para tokoh sufi, salah seorang kakeknya bernama syeikh Qutbuddin al-Maududi al-Jisty (w. 527 H ). Sebutan al-Maududy diambil dari kakaeknya. Al-Maududi diajar dan dibesarkan oleh ayahnya Ahmad Hasan alMaududi (lahir 1855) untuk menjadi orang ahli agama. Kemudian Ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Fauqaniyah, sebuah sekolah yang menggabungkan pendidikan, kemudian melanjutkan studinya di Dar Ulum Hyderabad, namun terhenti karena ayahnya meninggal. Ia menguasai bahasa Arab, Inggris, selain bahasa urdu sebagai bahasa ibunya. Dan sejak muda, ia terlihat kecerderungan di bidang linguistik, dan pernah menjadi editor di beberapa media masa. Di usia 17 tahun ia memimpin al-Jami'ah ( harian Islam ) yang paling berpengaruh di New Delhi (1920 M), dan hasil karyanya yang pertama dalam kancah politik, yaitu, alJiha>d Fi> al-Islam ( Jihad dalam Islam ), salah satu buku yang cermat dan tajam dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai. Dan dalam mengangkat eksistensinya kembali ke alam pikiran dan dunia Islam, ia menerbitkan sebuah majalah Tarjuman al-Qur'an (1933M), sebagai sarana menyebar gagasangagasannya. Selengkapnya, lihat. Indeks.Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), cet. ke-2, 207-209, Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah pergi Tokoh-Tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer ( Jakarta : Al-I'thisham Cahaya Umat, 2003 ), cet. I, 289-290. 174 Safiuddin Shiddik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan Kontemporer (Jakarta : Intirmedia, 2004 ), 8 . 175 Safiuddin Shiddik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan Kontemporer ,7. 176 Mahmud Shaltu>t seorang ulama dan pemikir Islam yang memiliki reputasi Internasional. Ia lahir di Maniyah, Bani Mansyur, Distrik Itai al-Beirut, Karesidenan al-Bukhaira, Mesir, 23 April 1893 dan wafat tanggal 19 Desember 1963. Semasa kecilnya belajar membaca al-Qur’an sampai hafal. Ketika beranjak remaja [ 13 tahun ], pada tahun 1906 M, ia memasuki lembaga pendidikan agama al-Ma’had al-Dini di Iskandariyah. Ia dikenal sebagai murid yang cerdas dan berhasil memperoleh al-Shaha>dah al-Alamiyah al-Nizamiyah ( setingkat Master of Art ) di Universitas Al-Azhar (1918 ) dan tercatat sebagai lulusan terbaik. Gelar doctor Honoris Causa pernal juga diperolehnya dari Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) Sunan Kalijaga Yogjakarta (1961M) di samping dari negerinya sendiri. Lihat. Indeks selengkapnya. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), cet. ke-2, 341-343.
166
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim al-Mua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Da>r Shuru>k, 1405 H/1987 177
M ), Cet. Ke-14, 238-239. 178 Muhammad Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maud}u>’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, ( Bandung : Miza, 1996 ), cet III, 198-199. 179 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim al-Mua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Da>r Shuru>k, 1405 H / 1987 M ), Cet. Ke-14, 239. 180
Kata ulama dimaksudkan, orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan agama Islam (ulama besar, pada zaman kebangkitan Islam, http://kamusbahasaindonesia.org/ulama, sedangkan tafsir sebagaimana yang dimaksudkan, sebagai keterangan atau penjelasan ayat-ayat al-qur’an agar maksydnya lebih mudah dipahami. http;//kamusbahasa Indonesia.org.tafsir, disadur, Kamis,tanggal 10 januari 1013. Dalam hal ini, sebagai catatan, bahwa menuurt penelitian ini, perlu dibatasi, bahwa maksud ulama tafsir, adalah mereka para ulama yang menafsirkan Al-Qur’an, dan mereka memiliki kitab tafsir yang ditulisnya. Sedangnya selain itu, mereka dimaksudkan sebagai sarjana muslim atau cerdikiawan muslim yang turut berbicara tentang tafsir al-Qur’an. 181 Buya Hamka lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada tahun 1908. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Namun, ia dikenal akrab dengan panggilan Hamka, yang merupakan singkatan dari namanya sendiri. Ayahnya bernama Abdul Karim bin Amrullah yang dikenal dengan nama Haji Rasul. Sang ayah adalah pelopor Gerakan Isla>h ( reformasi ), di Minangkabau sekembalinnya dari Makkah pada tahun 1906. Hamka mengawali pendidikannya di sekolah dasar Maninjau hingga Darajah Tha>niyah ( kelas dua ). Ketika ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang Hamka yang masih baru berusia 10 tahun, segera pindah ke sekolah tersebut. Disitulah ia mempelajari bahasa Arab, ilmu agama dan sebagainya. Hamka memulai pengabdian terhadap ilmu pengetahuan sebagai guru pada tahun 1927, di perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Hamka adalah sosok brilian kesuksesannya menuntut ilmu dan merangkul sekian banyak ilmu tak semata mengandalkan pendidikan formal. Ia menjadi seorang yang sangat produktif di antara hasil karyanya, adalah di bidang sastra, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Delli merupakan di dunia sastra. Sedangkan di bidang agama ( tafsir ), Tafsi>r Al-Azhar merupakan karya yang mengharumkan namanya di jagat intelektual Islam Indonesia. Dan tafsir ini, berawal sebuah kuliyah subuh yang diberikan oleh Hamka, di Masid Agung Al-Azhar sejak tahun 1959, yang ketika itu belum bernama al-Azhar, pada waktu yang sama, Hamka bersama KH. Fakih Usman HM, Yusuf Ahmad, menerbitkan majalah Panji
167
Masyarakat. Tafsir al-Azhar diakui sebagai karya menumental Hamka. Setelah lama berkiprah di dalam dunia keilmuan, Hamka di karuniai gelar ke hormatan doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar pada tahun 1958 M, dan juga diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974 M, Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno pun diterimanya dari Indonesia. Ia meninggal dunia pada 24 Juli 1981 di Jakarta. Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur'an,(Yogjakarta :Pustaka Insan Madani, 2008), 209-211. Muhmmad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Sebuah Telaah Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1990 ), 23-54. 182 Dalam asba>b al-nuzu>l ayat ini, sebagaimana telah disinggung umumnya para mufasir Al-Qur'an, Hamka memceritakan riwayat yang ditujukan kepada Abu Marstad bin al-Ghaznawi yang dikirim Rasulullah ke Makkah, untuk berunding dengan orang-orang Quraisy tentang hal membebaskan kembali beberapa orang Islam yang mereka tawan. Setelah selesai Marsad melaksanakan tugasnya, kembali ke Makkah bertemu dengan seorang waniat bernama Inaq, bekas kenalan lamanya, tegasnya bekas kecintaannya. Kembali wanita itu merayu-rayu menyambung cintanya yang lama. Tetapi terus terang Marsad mengatakan hidupnya telah berubah, seseorang setelah masuk Islam tidak boleh lagi melakukan hubungan diluar nikah (zina ), tetapi kalau Inaq masuk Islam, mudahlah. Inaq pada saat itu, masih menganut agam lamanya, paham musyrik. Tetapi sungguhpun Marsad berjanji akan menyampaikan kepada Rasulullah SAW kebolehan dia mengawini wanita itu, yang masih musyrik. Inak memang cantik. Riwayat ini, diriwayatkan oleh Wa>hidi dari Ibn Abba>s. Hamka,Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ), Juz 1-3, 193. 183 Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), Juz 1-3, 194. 184 Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), Juz 1-3, 194 . 185 Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), Juz 1-3, 195. 186 Hamka, Tafsir Al-Azhar ,195. 187 Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang Sulawesi Selatan tanggal 16 Februari 1944. Seorang Ulama dan Cendikiawan Muslim Indonesia yang dikenal ahli dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Ayahnya adalah seorang Prof. KH. Abdurahman Shihab, seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam dunia pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di
168
Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia ( MUI ), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alaudin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai mantan Rektor pada kedua perguruan tinggi tertinggi tersebut:UMI 1959-1965 dan IAIN 1972-1977. Lihat. Lengkapnya. Indeks. Hasan Muarif Ambary (et.al) Suplemen Ensiklopedi Islam ( pembaca ahli : Taufik Abdullah), editor : Abdul Aziz Dahlan [ et.al ](Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve 1996 ), 110-111. 188 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), Volume 1, 441-442. 189 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), Volume 1, 443. 190 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an,Volume 3, 28-29. 191 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 1, 443-444. 192 Tafsir Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan ), (Jakarta : Departemen Agama RI, 2004 ), cet. I, 303. 193 Tafsir Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan ), (Jakarta : Departemen Agama RI, 2006 ), cet. I, 305. 194 Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama:Membangun Masyarakat:Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004 ),158. 195 Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004 ),159. 196 Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis ,160. 197 Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama :Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis ,160. 198 Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis ,160. 199 Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis ,163.
169
200
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas AyatAyat Hukum dalam Al-Qur’an, [Hasan M. Noer : editor], (Jakarta : Penamadani, 2004 ), 322. 201 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas AyatAyat Hukum dalam Al-Qur’an, [ Hasan M. Noer : editor ], ( Jakarta : Penamadani, 2004 ), 322. 202 Pengertian Sadd al-dhari>’ah, secara bahasa adalah wasilah ( sarana ). Sedangkan menurut Istilah Ulama Ushul, adalah sesuatu yang menjadi jalan bagi yang diharamkan atau dihalalkan, maka ditetapkan hukum sarana itu menurut yang ditujunya. Sarana/ jalan kepada yang haram adalah haram, dan sarana kepada yang mubah adalah mubah. Zina haram, maka melihat kepada aurat wanita yang bisa membawa kepada zina adalah haram, shalat jum’at adalah wajib, maka meninggalkan jual-beli karena hendak melaksanakannya adalah wajib pula. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam : Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), cet. I, 164, Abu> Isha>q al-Sha>tibi, menyatakan, bahwa Saad al-Dzari’ah, adalah melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan, menuju suatu kemafsadatan, atau dengan kata lain, sesorang yang melakukan suatu pkerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan. Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqah, al-Muwa>faqa>t Fi> Us}ul al-Shari’yah ( Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, 1973 ), 198. 203 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas AyatAyat Hukum dalam Al-Qur’an, [ Hasan M. Noer : editor ](Jakarta : Penamadani, 2004), 323. 204 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas AyatAyat Hukum dalam al-Qur’an, [Hasan M. Noer : editor ](Jakarta : Penamadani, 2004), 323. 205 Menurut Muhammad Abduh secara lebih spesifik dan secara terang berpendapat, sebagaimana ditukil oleh sang muridnya, Rashid Rida, sebagai mana ditukil oleh muridnya Rashi>d Rid}a>, bahwa perempuan yang haram dinikahi lakilaki muslim dalam ayat ini, adalah perempuan-perempuan musyrik Arab. Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama, Membangun Masyarakat:Inklusif-Pluralis,160.
170