BAB IV PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA TAFSIR MENGENAI TERM AL-MUHSANA>T ( AHL AL-KITA>B ) Pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl al-kita>b telah disepakati kebolehannya sejumlah ulama-ulama tafsir, bedasarkan QS. Al-Maidah/5:5. Tetapi yang menjadi persoalan, bagaimana status pernikahan dengan wanita-wanita muh}s}ana>t yang berasal dari ahl alkita>b. Dua hal yang berlawanan, antara ahl al-kita>b dan al-muh}s}ana>t, walaupun telah disepakati sejumlah ulama-ulama, akan tetapi perbedaan pendapat tentang siapa sebenarnya ahl al-kita>b dan siapa yang dimaksud al-muh}s}ana>t, tetap menjadi kriteria yang diperdebatkan, bahkan, telah memunculkan pemahaman, bahwa makna al-muh}s}ana>t yang dipahami menurut QS.Al-Maidah/5:5 yang tidak boleh dinikahi, apakah yang merdeka (al-hara>’ir) atau yang terhormat (al-‘afa>’if). Perdebatan itu tidak cukup sampai di situ, melainkan meluas, sampai kepada apakah istilah ahl al-kita>b mencakup, maju>si dan sa>bi’ah, bahkan agama Hindu, Budha, Konghuchu dan sebagainya. Untuk memahami lebih jelasnya, beberapa kriteria di atas, kajian seputar perbedaan-perbedaan istilah tersebut, baik ahl al-kita>b dan al-muh}s}ana>t serta istilah lainnya, sangatlah penting dan diperlukan dalam kajian ini, secara seksama. A. Pengertian al-Muh}s}ana>t Kata al-Muh}s}ana>t berakar kata, dari huruf [ha>’, sa>d, dan nu>n]. Yang secara literal artinya kokoh, kuat atau suci dari perbuatan tercela. 1Perdebatan makna tersebut, meluas sampai kepada pengertian, mereka yang merdeka (hara>’ir) dan terpelihara, (afa>’if).2 Mengenai al-muh}s}ana>t dalam teks QS. al-Maidah/5:5, والمحصنات من الذين أوتو الكتاب من قبلكمmenurut Ibn Jari>r al-T}abari>, dimaksudkan 1
Abu> al-Husai>n Ahmad Ibn Fa>ris Ibn Zakaria, Majma’ al-Maqa>yi>s Fi> AlLugha>t, ( Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1415 H/1994 M ), cet. I, 264. 2 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta:Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 166, Lihat. Sami>h At}if> Zei>n, Tafsi>r Mufrada>t AlFa>dz Al-Qur’a>n Al-Kari>m, Majma’ al- Baya>n al-H}adi>th, (Beirut:Da>r al-Kita>b al-Libna>ni, 1414 H/1984 M ), cet ke-2, 241.
179
adalah mereka yang telah memeluk agama Islam. 3 Sedangkan dalam pengertian teks []المحصنات من المؤمنات, al-muh}s}ana>t adalah mereka yang sejak awal telah beriman, karena terlahir dari keluarga muslim. Menurut Muja>hid adalah perempuan yang merdeka, dan menurut Ibra>him Madku>r, al-muh}s}ana>t adalah wanita yang merdeka dan dapat memelihara harga diri. 4 B. Memahami Term Ahl al-Kita>b [Yahudi dan Nasrani ] Kata ahl [ ] أهلberasal dari dua akar kata, yaitu, yang pertama iha>lah, yang secara etimologis berarti lemak yang diiris dan dipotong-potong menjadi kecil. Akar kata yang kedua adalah kata ahl [ ]أهلitu sendiri, yang baru bisa dipahami, setelah dirangkai dengan kata lain, sehingga membentuk suatu kata majemuk, yang disebut dalam Al-Qur’an, sebagaimana bentuk jamaknya, yaitu ahlun [] أهلون.5 Kata ahl []أهل, jika dirangkaikan dengan nama tempat, memiliki arti penghuni atau penduduk yang bermukim di tempat-tempat tertentu, seperti, ahl al-Madyan [ ] أهل مدين, ahl alQuro>’ []أهل القرى, ahl al-Qaryah [ ]أهل قرية, ahl al-bai>t [] أهل البيت, ahl al-Madi>nah [ ] أهل المدينةdan ahl al-na>r []أهل النار. Kata ahl al-bai>t [ أهل ]البيتsering digunakan secara khusus untuk menyebut keluarga Nabi Muhammad SAW. 6 Kata ahl al-kita>b [ ] أهل الكتابdisebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 30 kali, yang berarti orang-orang yang menganut agama samawi yang diturunkan untuk mereka, secara khusus untuk penganut agama Yahudi dan Nasrani.7 Dua komunitas tersebut, secara jelas diketahui memiliki hubungan erat, persambungan akidah dengan kaum Muslimin. Bahkan Allah sendiri menegaskan bahwa Al-Qur’an datang untuk memberikan pembenaran terhadap sebagian ajaranTaura>t [kitab suci agama Yahudi] dan Inji>l [kitab suci agama 3
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata), (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 415. 4 Ibra>him Madku>r, al-Mu’jam al-Wasi>t} (Kairo:Majma’ al-Lughah alArabiyah, 1380 H / 1960 M ), Juz I, Cet. Ke-3, 186. 5 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), 62. 6 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), 62. 7 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), 63.
180
Nasrani] serta mengoreksi sebagian yang lainnya.8 Al-Qur’an juga menginformasikan, bahwa Nabi Isa a.s mengajak penganut agama Yahudi untuk mengikuti ajaran yang dibawanya, karena ajaran tersebut, merupakan, kelanjutan dari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Musa a.s sekaligus menginformasikan tentang akan datangnya Muhammad S.A.W sesudah beliau QS. al-Saff /61:6.9 Pengertian kata Yahu>d ( )يهودberasal dari akar kata yang terdiri dari huruf ( ha>’,wa>w dan da>l ), yang memiliki arti kembali. Dari akar kata tersebut terbentuklah kata ha>da, yahu>du, haudan ( هودا- يهود-) هاد.10 Menurut Raghi>b al-Asfaha>ni, al-Haud ( )الهودartinya (al-ruju>’ bi al-rifqi )(kembali secara perlahan-lahan).11Tetapi menurut A’Ra>bi, kata ha>da ( )هادdapat berarti kembali dari kebaikan kepada kejahatan atau sebaliknya, atau dari kejahatan kepada kebaikan. Oleh karena itu, ha>da ( )هادdapat diartikan sama dengan ta>ba’()تاب, yang artinya taubat atau kembali, seperti dalam QS. al-’Araf /7:156 ( إنا هدنا )إليكInna> Hudna> Ilaika [sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau].Yang dimaksud dengan kembali di sini adalah bertaubat yang dilakukan oleh kaum Nabi Musa a.s dari penyembahan anak sapi. 12 Kata Yahu>d ( )يهودyang diawali dengan ali>f dan la>m, yaitu al-Yahu>d ( )اليهودdigunakan untuk merujuk kepada 8
Ruslani,Masyarakat Kitab Dan Dialog Antaragama:Studi atas Pemikiran Mohammad Arkoen, (Yogyakarta:Yayasan Bintang Budaya, 2000), cet. I, 111, Dan Ahl al-kitab ( pemilik kitab), mereka disebut oleh al-Qur’an sebagai orangorang yang menerima wahyu yang tertulis:“ Sesungguhnya orang-orang mukmin, Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, dan siapa saja di antara mereka, yang benar-benar beriman kepada Alla S.W.T, hari akhir, dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak perlu ada kekwatiran dan kesedihan dalam diri mereka (Qs. al-Baqarah/2:62,QS. al-Maidah/5:69]. Dalam alQur’an, al-Hajj/22:17, bahwa penganut Maju>si, yang belakang ini, dinamakan Zaroastrian, juga dinamakan Mazdaean oleh sebagian penafsir, kemudian digolongkan juga, sebagai ahl al-kita>b, bersama pengikut Yahudi, Nasrani dan Sabi’an. Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas)(penerjemah, Gufron A. Mas’adi)( Jakarta : PT Raja Grafindo, 1999),15. 9 Ruslani, Masyarakat Kitab Dan Dialog Antaragama :Studi atas Pemikiran Mohammad Arkoen, 111. 10 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), 1092. 11 Abu> Qa>shim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-Asfaha>ni, Al-Mufrada>t Fi> Ghari>b Al-Qur’a>n ( Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, t.th ), 546. 12 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), 1092.
181
bangsa Yahudi atau ditunjukan kepada suatu kelompok yang berasal dari Syam, dan di antara mereka ada yang menamakan nama dari anak nabi Ya’kub, yang bernama Yahuda. 13 Jika kata tersebut ditambah ya’( )اليهوديberarti maksudnya orang Yahudi, sedangkan al-Yahu>diyah ( )اليهوديةdiartikan sebagai ‘agama Yahudi’. 14 Di dalam al-Qur’an penyebutan kata al-Yahu>d ( )اليهودdijumpai sebanyak 9 kali, yang semuanya diungkap dengan nada yang sumbang yang menunjukkan atas kecaman terhadap orang-orang Yahudi, dan 8 kali disebutkan dalam bentuk al-Yahu>d ( ) اليهود, yaitu dua kali dalam surat al-Baqarah/2:113 dan120, empat kali dalam al-Ma>idah/5:18, 51, 64, dan 82 serta satu kali dalam QS. al-Taubah/9:30, dan satu kali disebutkan dalam bentuk Yahu>diy () يهودى, yaitu dalam al-Qur’an surat Ali-Imran/3:67, yang semuanya mengandung arti ’orang-orang Yahudi. 15 Selain itu juga, pengungkapan term al-Yahu>d ( )اليهودantara lain, digunakan untuk membantah klaim-klaim ahl al-kita>b yang menganggap Nabi Ibrahim a.s adalah Yahudi atau Nasrani yang akan memperoleh keselamatan (QS. al-Imran/3:67). Juga klaim antara sesama ahl al-kita>b yang masing-masing menyatakan diri, sebagai kelompok yang paling benar, termasuk kekasih Allah (QS. alMaidah/5:18.16 Selain itu juga, beberapa prilaku buruk yang melekat yang ditujukkan kepada term al-Yahu>d, antara lain kecaman keras, karena tidak hanya sering berprasangka buruk terhadap sesama manusia, tetapi berani berprasangka buruk kepada Allah S.W.T, dengan menyatakan, bahwa tangan Allah terbelenggu ُ َ ْ ُ [[] َيد هللاِ َمغلولةbaca:kikir](QS. al-Ma>idah/5:64), selain itu juga, kecaman terhadap mereka, atas akidah mereka yang rusak oleh prilaku syirik, seperti menganggap’Uzair adalah putra Allah (QS.alTaubah/9:30. Dalam hal ini juga, al-Qur’an menyatakan, bahwa orang-orang Yahudi tidak akan pernah merasa senang sebelum umat Islam mengikuti cara hidup mereka (QS. al-Baqarah/2:120), karena itu al-Qur’an mengingatkan umat Islam agar tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin (QS. al-Ma>idah/5:51), terutama bagi 13
1092. 1092.
14
Ibra>him Madku>r, Al-Mu’jam Al-Wasit}, 1039. Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
15
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
16
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 56.
182
mereka yang diidentifikasikan Al-Qur’an sebagai Yahudi yang telah memperlihatkan kebencian dan permusuhan yang sangat besar terhadap umat Islam (QS. al-Ma>idah/5:82).17 Sedangkan pengertian al-Nasha>ra, adalah bentuk jamak dari kata nashra>ni. Kata tersebut berasal dari akar kata[ nu>n, sha>d, ra>’], yang secara literal berarti menolong.18 Term al-Nasha>ra dalam alQur’an menunjuk kepada pemeluk agama Nasrani (Kristen), yaitu agama yang diturunkan kepada Bani Israil melalui Nabi Isa. a.s.19. Dalam bunyi teks, ayat yang dimaksud, disebutkan kata “al-Din“, sebagaimana dimaksudkan adalah agama Islam, sebagaimana menurut QS. Ali Imran/3:19 [ [] إِ َّن ال ِّدينَ ِعن َد هللاِ اْ ِإل ْسالَمSesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam ].20 Mengenai asal usul Nasha>ra atau Nasrani, menurut Muhammad Galib bersumber kepada beberapa versi, yaitu : 17
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 57. Abu> Qa>s}im Husai>n Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-Asfaha>ni, Al-Mufrada>t Fi> Ghari>b Al-Qur’a>n, 495. Istilah al-Nas>ara dalam term Arab untuk agama Kristen, sekarang istilah resmi untuknya adalah Masihi, dari kata Masih (Massiah) sebuah istilah yang dikembangakan oleh Missionari Kristen. Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. ke-2, 303. 19 Pada kenyataannya, Nabi Isa tidak pernah menyatakan sebagai pemeluk agama Nasrani, melainkan mereka sendiri sebagai pengikut Nabi Isa a.s, yang menyatakan atas diri mereka, sebagai Nashrani, hal itu dapat dilihat dengan bunyi QS. al-Maidah/5: 14 dan 82 dengan ungkapan Ina> Nasha>ra dalam firman Allah S.W.T [ [] َومِننَ الذنذِينَ َقنالُوا َِّ ذننا َنصَناََ َ أَ ََ ْنذ َنا م َِيُنا َق ُ ْمDan diantara orang-orang yang mengatakan : "Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani ", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka ], sementara Nabi Isa a.s.datang dan menyatakan dirinya sebagai pembawa agama Islam, dengan bunyi teks QS. Al-Syu>ra’/42:13. ََشََ عَ لَ ُكم مِّن ص ْي َنا بِ ِه َِّبََْ اهِي َم َومُو َسى َوعِي َسى أَنْ أَقِي ُموا الن ِّدينَ َوتَ َت َت َرَذ قُنوا َاو ذ َاو ذ َ ك َوم َ صى بِ ِه ُنوحً ا َوالذذِي أَ ْوحَ ْي َنآ َِّلَ ْي َ ِّين م ِ الد ُ”فِين ِه َك ُبننََ َعلَننى ا ْل ُم ْشن ِنَكِينَ مَا َتنندْ عُو ُه ْم َِّلَ ْين ِه هللاُ يَإْ َت ِبن َِّلَ ْي ن ِه َمننن َي َشننآ ُ َو َي ْ ندِي َِّلَ ْين ِه َمننن ُينِيننب. Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali( kepada-Nya)(QS.Al-Syur’a/42:13). Muhammad Ghalib,Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta:Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 57, Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press ), 785. 20 Muhammad Abdusala>m Abu> Nil, Dira>sat Fi> Al-Qur’a>n Al-Kari>m:Tafsi>r Maud}u>’iy (Nasr City : Da>r al-Fikr al-H}adi>th, 1408 H/1987 M), cet. Ke-2, 179. 18
183
(1). Berarasal dari kata nasha>ra yang berarti menolong atau membantu. Hal yang demikian, dikarenakan mereka menolong atau membantu orang lain, atau saling membantu di antara mereka, (2). Sebutan Nas}a>ra atau Nas}ra>ni dihubungkan dengan tempat atau asal keluarga Nabi Isa a.s yang bernama Nas}i>ri, tetapi al-Bagdadi menyatakan, Nas}i>ri adalah tempat kelahiran Nabi Isa a.s. Akan tetapi pendapat yang popular di kalangan orang-orang Nasrani, bahwa keluarga Nabi Isa berasal dari Nas}i>ri, tetapi beliau sendiri lahir di Bethelhem. (3). Sebutan Nas}a>ra atau Nas}ra>ni dikaitkan dengan pernyataan Nabi Isa as, kepada orang-orang Hawari tentang kesediaan mereka berjuang di jalan Allah bersama beliau. Dan hal ini, seperti maksud dalam ayat al-S}af/61:14.21 Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai asal kata
nas}a>ra atau nas}ra>ni, tetapi pada dasarnya, terdapat persamaan kata yang saling melengkapi. Selain, kata tersebut, dapat dikaitkan dengan tempat atau daerah asal Nabi Isa a.s dapat juga, dikaitkan dengan prilaku pengikut-pengikut setia beliau yang bahu-membahu dan saling setia tolong-menolong serta bertekat bulat untuk berjuang menegakkan kebenaran di jalan Allah SWT, seperti yang terkandung dalam pengertian kata dasar nas}a>ra.22 Dan dalam pengertian lain, bahwa makna nasrani adalah komunitas yang diidentikan pada sebuah desa di negeri Syam bernama nas}i}ri atau nas}u>riyah. 23 21
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya ( Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 57. Terdapat beberapa alasan, dinamakan, Nas}ara, setelah sekembalinya ibunya kepada Isa dari Misr, setelah menetap di sebuah desa bernama ’Nas}i>rah, atau disebutkan‘ Nashiri, dan ada yang menyubutnya,’ Nasran, karena itu sebutan, disandarkan kepada Isa as. sebagai Isa al-Nas}ir> i. Dan ketika penyebutan itu, disandarkan kepada para pengikut nabi Isa a.s, maka nama tersebut dikenal dengan sebutan,’Nashara’, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibn Abbas dan Qatadah, sumber penisbahan agama mereka setelah penyebutan itu, dikenal dengan agama Nashrani. Muhammad Abdusalam Abu Nil, Dira>sat Fi> Al-Qur’a>n Al-Kari>m : Tafsi>r Mawd}u>’iy (Nasr City:Dar al-Fikr al-Hadits, 1408 H/1987 M ), cet. Ke-2, 190. 22 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta:Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 58. 23 Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas (Jakarta : LPSI, 2008 ), 148.
184
Dalam al-Qur’an term al-Nas}a>ra disebutkan sebanyak 15 kali, satu kali dalam bentuk tunggal al-Nasra>ni ( ) النصرانىdan 14 kali dalam bentuk jamak al-Nas}a>ra ()النصارى. Kelima belas pengungkapan tersebut, terdapat dalam 14 ayat pada 5 surat dalam al-Qur’an, yaitu, 6 ayat dalam ayat al-Baqarah, 1 ayat dalam Ali Imran, 5 ayat dalam surat al-Maidah, dan 1 ayat dalam surat al-Taubah dan 1 ayat lagi dalam surat al-Hajj. 24 Kelima ayat ini turun di Madinah. Hal ini yang memberikan petunujk bahwa, kontak sosial umat Islam dan Nasrani intensif ketika Rasulullah berada di kota tersebut. Namun bisa mungkin, relasi sosial ini, terjadi sebelumnya, seperti tergambar dalam surat al-Maidah/5:82, ketika umat Islam dalam perlindungan Raja Najasyi (beragama Nasrani) di Ethiopia. 25 Dalam al-Qur’an term al-Nas}a>ra yang dalam bentuk tunggal secara umum merupakan sanggahan Allah terhadap umat Nasrani ketika mereka mengklaim Nabi Ibrahim a.s sebagai penganut agama mereka, sedangkan term al-Nas}a>ra, menggambarkan prilaku sosial Nasrani yang sombong dan inkar janji dan persahabatan. Sikap keangkuhan tersebut, tergambar dari klaim mereka terhadap agamanya QS. al-Baqarah/2:111,135, dan Ibrahim a.s. sebagai Bapak para Nabi, penganut agama mereka QS. al-Baqarah/2:140. Menurut Al-Qur’an klaim mereka langsung dibantah oleh Allah S.W.T dengan mengatakan hanya sebuah anganangan, sedangkan mereka menyembunyikan sesuatu, QS. alMaidah/5:82.26 Dalam konteks yang lain, bahwa Allah S.W.T mengecam mereka Nasrani, karena sikap dan prilaku mereka yang mengubah kitab suci, al-Maidah/5:13, bahkan yang lebih fatal lagi, perubahan yang mereka lakukan, terhadap ajaran yang paling mendasar yaitu, 'aqi>dah tauhi>d ' yang menjadi inti ajaran para nabi dan rasul. Ajaran tauhid tersebut, mereka ubah menjadi konsep trinitas, QS. al-Maidah/5:73, dengan menkultuskan Nabi Isa a.s dan mengangkatnya sebagai anak Allah QS. al-Taubah/9:30. Dalam posisi ini, Nabi Isa a.s diposisikan sebagai salah satu unsur Tuhan QS. al-Maidah/5:72.27 Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa al24
Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li AlFa>zh AlQur’a>n Al-Kari>m ( Kairo : Da>r-Al-Hadit>h, 1991 M/1411 H ), Cet. ke-3, 875-876. 25
Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas (Jakarta : LPSI, 2008 ), 148. 26 Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas (Jakarta : LPSI, 2008 ), 149. 27 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 59.
185
Qur'an tidak pernah menyatakan, bahkan memukul rata orang-orang Nasrani dalam katagori negatif, sebab al-Qur'an juga mengakui bahwa di antara mereka yang diidentifikasikan sebagai al-Nas}a>ra, karena masih terdapat kelompok yang tetap teguh melaksanakan ajaran agamanya, walaupun jumlah mereka sedikit. Di antara mereka adalah kelompok H}awari yang tetap setia berjuang menegakkan agama Allah. 28 Setidaknya ada tiga ayat penting (QS. alBaqarah/2:62, al-Maidah/5:69, al-Hajj/22:17), yang menyebutkan term al-Nas}a>ra bersama-sama dengan orang Yahudi, bahkan orangorangS}a>biu>n, dan ada yang mengindetifikasikan di antara mereka, kelompok yang tetap berpegang teguh kepada ajaran yang disampaikan nabi Isa a.s. Dan mereka itu mendapatkan balasan dan keselamatan di akhirat, seperti halnya orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan al-Qur'an memproklamirkan, mereka orang-orang yang paling akrap dan cinta kepada orang-orang yang beriman dan mereka yang menamakan diri sebagai orang-orang Nasrani QS. al-Maidah/5:82. Keakraban mereka, cinta dan kasih sayang mereka dapat terwujud ketika berinteraksi dengan orangorang Islam. Karena ternyata, di antara mereka terdapat pendeta dan rahib-rahib yang sangat sederhana, zuhud terhadap kehidupan duniawi serta tidak menyombongkan diri. 29 C. Pernikahan Dengan Muh}s}ana>t [ ahl al-Kita>b ] . Al-Kalibi menyebutkan, term al-Muh}s}anat memiliki empat kriteria, yaitu ; Islam, perempuan, memelihara diri, dan merdeka (bukan budak). Selanjutnya, al-Kalibi mengungkap, bahwa kata Islam dalam ayat ini (QS. al-Maidah/5:5) tidak termasuk dalam kriteria yang disebutkan, karena adanya kalimat [ ] من الذين أوتوا الكتابmin allazi>na u>tu al-kita>b. Pengertian perempuan juga tidak sesuai, karena perkawinan itu tidak akan terjadi kecuali dengan lawan jenis. Tetapi kriteria al-'Iffah [ memelihara harga diri ], dan hara>'ir [merdeka] yang bukan budak, dapat dicakup dalam ayat ini. Sehingga kata almuh}s}anat dipahami sebagai al-'iffah, maka pernikahan dengan ahl alkita>b dibolehkan baik yang merdeka ataupun budak. Tetapi jika dipahami al-muh}s}ana>t itu adalah al-hurriyah (merdeka), maka
28 29
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 60. Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 60.
186
dilarang menikahi seorang budak dari ahl al-Kita>>b.30 Sedangkan pernikahan pria muslim dengan wanita ahl al-Kita>b, terdapat dua pendapat yang sangat mencolok, di antaranya, pendapat yang mengharamkan dan pendapat yang membolehkan. 31 D. Perspektif Penafsiran Ulama Periode Sahabat, Abad I H. Husain al-Dhahabi dan Manna>' Khali>l al-Qatta>n dalam masing-masing kitabnya menyebutkan dua periode besar, yaitu, di antaranya, (1).Tafsir pada masa khasik yang mencakup tafsir pada 30
Abu Fadl Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a> al-Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni (Beirut : Idaroh al-Thaba’h Al-Muniriyah Da>r Ihya’ al-Turath Al-Arabi, t.th ), Juz ke- 2, 66. 31 Dalam konsep ahl al-kita>b sebagaimana dikemukakan, bahwa mereka adalah komunitas Yahudi dan Nasrani. Menurut sebagian ulama salaf dari kalangan sahabat Nabi S.A.W mereka adalah orang-orang musyrik. Di antara pendapat yang mengharamkan, bersumber dari Abdullah bin Umar r.a. Berawal dari salah satu riwayat dari Ibn Umar yang disampaikan Nafi, bahwasanya Abdullah bin Umar, setiap kali ditanya mengenai pernikahan seorang muslim dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi, berkata: Allah mengharamkan wanitawanita musyrik terhadap pria-pria muslim, dan aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan orang yang berkata, bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah. Argument yang dilontarkan Ibn Umar adalah berdasarkan QS. al-Baqarah/2:221. Nampaknya pendapat ini, berimbas kepada pemahaman para ulama tafsir berikutnya, di antaranya, seperti, al-T}abarshi (w. 548 H/1154 M), dan juga oleh al-Ra>zi (w. 606 H/ 1209 M), selain beragumentasi yang sama, ia mempertegas bahwa ahl al-kitab adalah mushrik berdasarkana QS. al-Taubah/9:30 dan al-Maidah/5:73,[Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga ]. Namun demikian, pendapat tersebut, kurang mendapat respon kalangan sahabat umumnya, dan kalangan tabi'in, bahkan ulama-ulama tafsir modern hingga kontemporer. Tetapi sebaliknya, secara umum, mereka membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b, sebagaimana ditunjukkan dalam QS. al-Maidah/5:5, yang berstatus telah men-takhs}is} (mengkhushuskan) larangan itu, menurut QS. AlBaqarah /2:221, karena ayat al-Baqarah itu, hanya ditujukan kepada laki-laki atau perempuan kalangan penyembah berhala dan tidak termasuk ahl al-kita>b, maka mengawini wanita ahl al-kita>b adalah hal yang boleh dan tidaklah dilarang. Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( 849-911 H), Al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r (Kairo:Markaz Hijr Li Bu’uth Wa Al-Dira>sat Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,1424 H/2003 M), cet. I, 564, Muhammad Fakhuddi>n Ar Rāzi (544-604 H), Tafsi>r alFakhri al-Ra>zi al-Mushtahīr bi al-Kita>b Al-Kabi>r Wa Mafa>tih al-Ghaib (Kairo :Dar al-Fikr, t.th), Juz ke-5, 59-61, Muhammad Hasan al-Thaba'thaba'I, al-Miza>n Fi> Tafsi>r Al-Qur'a>n (Beiru>t : Da>r Al-Arabiyah Wa Nasr Wa Tawzi>', 1398 H), jilid. 12, 178.
187
masa Nabi, sahabat dan tabi'in. (2). Tafsir pada masa pembukuan. Akan tetapi tafsir perode klasik dapat diketahui mulai pada masa Rasulullah S.A.W hingga munculnya tafsir masa pembukuan, yaitu, akhir pada masa (Daulah Umayyah dan diawal Daulah Abbasiyah), yaitu awal abad I hingga abad II H. 32 Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an tentang pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl al-kita>b, yang terkandung dalam QS. al-Ma>idah/5:5, telah disepakati Jumhur Ulama kebolehannya. Namun beberapa istilah di dalamnya, terkait ahl al-kita>b yang statusnya al-Muh}s}ana>t yang menjadi perdebatan ulama, apakah dengan kriteria merdeka (al-hara>ir) atau dengan kriteria menjaga kehormatan (al-afa>if), yang boleh dinikahi. Oleh karena itu, penafsiran para sahabat di awal Islam menjadi rujukan penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, dengan melihat pemahaman secara seksama, latar belakang, metodologi, pemikiran, serta alasan-alasan masing-masing kalangan mufassir sahabat. Perbedaan-perbedaan mendasar penafsiran itu, dapat ditelusuri secara komprehenshif, dimulai melalui penafsiran sahabat, mereka yaitu : 1.
Al-Khulafa>’ al-Ra>shidi>n (11- 40 H)/(632-661 M) Abu Bakar r.a (w. 634 H)33 ikut berperanserta sebagai mufassir kalangan sahabat, 34 walaupun tidak sebanyak sahabat yang lain, 32
Lihat. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M) , cet. I, 27-73, 75-102, Manna' Khali>l al-Qatta>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah Wahbah, 2000), cet. ke-7, 326- 332. 33 Abu Bakar al-Siddiq adalah Abdullah bin Ustman bin Amir bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin Fikr alQurash al-Tamimi. Ia diberi kuniyah (penggilan), Abu Qaha>fah. Dan Pada Masa Jahiliyah di gelari al-Ati>q. Dia seorang yang akhlaknya, sangat baik, berani, kokoh pendirian, slalu memiliki ide cemerlang, sabar, toleransi, memiliki ‘azi>mah (keinginan keras), faqih, bersifat wara', dan jauh dari subha>t. Ia Masuk pertama kali Islam, setelah Khadijah. Ia terpilih menjadi khalifah setelah Rasulillah. Ia hanya 2 tahun menjadi khalifah, dan pada tahun 634 M/13 H , ia meninggal dunia. Aktifitasnya, dilalui dengan singkat, bahwa setelah Nabi wafat, bangsa Arab tidak mau tunduk lagi kepada kekuasaan pemerintahan Madinah, mereka menganggap perjalananya, yang dilakukan bersama Nabi setelah wafat batal. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap mereka keras kepala dan membahayakan negara, maka Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini, yang dikenal dengan perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Ibn Kathir, AlBida>yah Wa Al-Niha>yah Masa Khulafa>' Al-Ra>shidi>n, (Terj. Abu Ihsan Al-At}ari dari Tarti>b Wa Tahzi>b Kita>b al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah ), (Jakarta : Darul Haq,
188
dalam hal pernikahan ini, karena singkatnya waktu, serta kehidupan perjuangan yang hanya tidak lebih dari 2 tahun, lalu estafet kekhalifahan diteruskan oleh kahalifah Umar bin al-Khatta>b.35 Abu Bakar membolehkan pernikahan pria muslim dengan wanita ahl alkita>b, yang merdeka yang berstatus dhimmy dan bukan h}arbiy. Hal tersebut, disetujui mayoritas kalangan shahabat, dan para ahl fiqh saat itu, kecuali Ibn Umar r.a, yang menolak pernikahan semacam ini.36 Dalam konteks pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl al-Kita>b terkait term al- muh}s}ana>t dalam ayat [ والمحصنات من الذين ] أوتو الكتاب من قبلكمQS. Al-Maidah/5:5, dimaksudkan adalah, bahwa makna al-Muh}s}ana>t adalah sebagai al-Afa>’if [wanita yang menjaga diri].37 Pendapat itu, disetujui oleh Umar bin al-Khatta>b (13-23 H/634-644 M), sebagaimana menurut riwayat Muhammad bin Yazi>d dari al-Shhit} bin Bahra>m dari Shaqi>q bin Salmah, Ia berkata : Hudhaifah menikahi wanita Yahudi, lalu Umar r.a menulis surat 2004, cet. I, 13-14, 28. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000 ), 35-36. 34 Al-Dhahabi mengutip dari al-Suyu>t}i ( dalam Kitabnya al-Itqa>n ), bahwa beberapa mufasir kalangan sahabat yang terkenal adalah, selain keempat khalifah, yaitu ; Abdullah bin Mas'u>d, Abdullah bin Abba>s, Abdullah bin Ka'ab, Zaid bin Tha>bit, Abu> Mu>sa al-Ash'ari, dan Abdullah bin Zubair. Terdapat pendapat lain, diantara sahabat, selain mereka, adalah, Ana>s bin Ma>lik, Abu> Hurairah, Abdullah bin Umar, Ja>bir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Siti Aishah. Lihat. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ) , cet. I, 49. 35 Namanya Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Adi bin Abdul 'Uzzah bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razzah bin Adi bin Ka’ab bin Luai, Abu Hafs Al-Adawi. Julukan beliau adalah al-Fa>ru>q dan ada yang menyebutnya gelar itu berasal dari ahl al-Kita>b. Sedangkan Ibunya bernama Hantamah binti Hisyam bin Mughirah kakak dari Abu Jahal bin Hisyam. Terkait gelar al-Fa>ru>k, al-Thabri menyebutkan, dari jalan Ibn Sa’ad dengan yang Shahih bersumber dari al-Zuhri, dengan lafaz, ‘ telah sampai Khabar kepadaku “, dari Jalur al-Waqidi, dari Siti Aisyah ra. Bahwa Nabi yang telah member gelar, al-Fa>ru>q kepada Umar, dan AlWaqidi dinilai, matru>k (ditinggalkan beritanya), oleh kalangan Muhadithi>n, tetapi Ibn Saad mengeluarkan dengan jalan yang mursal bahwa Rasulullah bersabda:“ Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran di atas lidah Umar dan di atas hatinya, dialah al-Faruq. Ibn Katsir, Tahzi>b Wa Tahzi>b Kita>b al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah Masa Khulafa’ Al-Ra>shidi>n (Bandung : Dar Al-Haq, t.th), 168. 36 Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar Fikr, t.th ), Juz I, 461. 37 Abu Bakar Ahmad al-Razi al-Jas}a>s}, Ahka>m al-Qur’a>n, 459.
189
kepadanya agar ia menceraikannya. Lalu Hudhaifah membalas suratnya itu, dengan mengatakan, apakah maksud anda adalah haram, hingga saya harus menceraikannya. Umar r.a menjawab: tidak, aku tidak bermaksud mengharamkannya, melaikan aku kwawatir bahwa umat Islam, akan menjauhkan mereka, karena ahl al-kita>b. Al-Sha’bi berkata:bahwa ayat ini, menyatakan bahwa, diantara tepeliharanya wanita Yahudi dan Nasrani adalah mereka bersuci dan mandi dari setiap jina>bah (hadath besar) dan membersihkan farj-nya. Pendapat itu, berbeda dengan pendapat Mujahid yang memaknai sebagai wanita yang merdeka (hara>’ir).38 Umar bin al-Khattab r.a selama dalam pemerintahannya, banyak melakukan beberapa hal, terkait persoalan pernikahan ini, yaitu, Pertama, Pernikahan beberapa tentara Islam termasuk di antaranya, Ja>bir bin Abdillah ra. dan juga Sa’ad bin Abi Waqqa>s ra. setelah penaklukan kota Kuffah.39 Kedua, perkawinan Hudhaifah r.a. ketika menjadi gubernur di Mada’in dengan seorang wanita Yahudi.40
38
Abu Bakar Ahmad al-Razi al-Jas}a>s}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut:Dar Fikr, t.th), Juz I, 459. 39 Terdapat riwayat tentang pernikahan tentara muslim dengan wanita Al al-kita>b, di Kuffah, Dalam hal ini Jabir menjelaskan bahwa beberapa orang (termasuk Saa>d bin Abi> Waqqa>s ), menikahi wanita ahl al-kitab, karena pada saat itu, hampir tidak menemukan seorang wanita muslimah. Tetapi setelah kembalinya ke Madinah, mereka menceraikan isteri-isteri mereka. Dan keterangan ini, menjelaskan kebolehan pernikahan dengan wanita ahl al-kitab bagi orang Islam, namun tidak sebaliknya para wanita muslim ah tidaklah dihalalkan, bagi pria ahl al-kitab. Lihat. Abu Bakar Abdul Raza>q ibn Hammam al-Shan’a>ni, Mus}annaf Abdul Raza>q, (Beirut: al-Maktabah al-Isla>mi, 1403 H), cet. Ke-2, 178, Lihat juga teksnya dalam sunan al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra (> Makkah Al-Mukarromah: Maktabah Dar Baz, 1994 M), Juz VII, 172. 40 Dalam pernikahan ini, Khalifah Umar sangat jelas, ikut aktif di dalamnya, dalam menyelesaikan antara pernikahan Hudhaifah dengan wanita Yahudi, yang berbuntut kepada perceraian keduanya, yang di awali ceritanya, Khalifah Umar menulis surat kepada Hudhaifah, agar segera menceraikan istrinya itu, dan terjadilah perdebatan, sebagaimana dalam sebuah riwayat, “Umar berkirim surat kepada Hudhaifah agar segera menceraikan istrinya (seorang Yahudi), yang isinya, “ Saya kwawatir kalian akan meninggalkan para wanita muslimah, dan menikahi para wanita pelacur. Dalam riwayat lain, “ Hudhaifah membalas surat tersebut, Hudhaifah berkata : Apakah ia (wanita Yahudi) itu haram dinikahi?, Umar r.a menjawab[dalam suratnya]:Tidak, akan tetapi, aku kwawatir akan mengambil istri para pelacur dari mereka. Lihat. Abu Bakar Ahmad bin Husain bin
190
Ketiga, beberapa pernikahan beda agama yang diputus cerai oleh
khalifah.41 Demikian menurut Umar bin al-Khatab r.a dengan mengamalkan za>hir na>s terhadap QS. al-Maidah/5:5, bahwa pria muslim boleh menikahi wanita ahl al-kita>b, sedangkan wanita muslimah tidak boleh dinikahi oleh pria ahl al-kita>b, karena tidak terdapatnya satu ayat yang secara tegas melarang bentuk pernikahan semacam ini. Selain itu, Ia membatasi cakupan ahl al-kita>b, dengan tidak memasukkan Nasrani Arab ke dalam katagori tersebut, bahkan ia berjanji memperdulikan mereka, sampai mereka masuk Islam.42 Sedangkan Usman bin Affa>n ra. (w. 33 H)(644-655 M)43, ketika berada dalam penguasaan Madinah tempat kepemimpinannya, Ali bin Musa Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra> (Makkah AlMukarromah:Maktabah Dar Baz, 1994 M), Juz VII, 172. 41 Terdapat beberapa kasus yang terjadi di masa Umar, pernikahan beberapa wanita muslimah denga pria ahl al-kita>b, baik yang berbeda agama sejak sebelumnya atau setelah menikah yang diceraikan oleh Khalifah Umar, diceritakan, bahwa seorang lelaki Nasrani dari Bani Tsa’lab, Ubbad bin Nu’man, yang memiliki seorang istri seorang wanita dari Bani Tamim, Dalam perjalanan kehidupan perkawinan mereka, sang istri masuk Islam, sedangkan Ubbad masih dalam kadaan Nasrani, maka Umar memisahkan keduanya, karena sang suami menolak untuk masuk Islam. Lihat. Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Sala>mah bin Abdul Ma>lik bin Salamah al-T}ah>awi, Sharh Ma’a>ni al-Athar (Muhaqqiq : M. Zuhri al-Najjar),(Beirut : Da>r al-Kutub Ilmiyah, 1399 H), Juz III, cet. I, 259. 42 Sikap tegas Umar juga terlihat, ketika menyatakan Nasrani bukan ahl al-kita>b, seraya berkata, Bahwa Orang-orang Nasrani Arab bukanlah ahl al-kita>b, dan tidaklah halal hewan-hewan sembelihan mereka, Akupun tidak akan membiarkan mereka( menikah ), hingga mereka masuk Islam atau aku akan memukul leher ( memerangi ) mereka “. Lihat. Muhammad bin Idri>s Abu Abdillah al-Sha>fi’ih, Musnad al-Sha>fi’ih ( Beirut : Dar Kutub, t.th ), 309. 43 Usman bin Affan lahir pada tahun 574 M, dari golongan Bani Umayah. Nama ibu beliau adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Beliau masuk Islam atas ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan Al-Sa>biqu>na al-Awwalu>n (golongan yang pertama-tama masuk Islam). Rasulullah Saw sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati diantara kaum muslimin. Beliau dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzu>nnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah Saw yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum ). Ia meninggal karena terbunuh, di hari Adha sedangkan ia sedang membaca AlQur’an, para usia 82 tahun, pada tahun 35 H, dengan jabatan sebagai khalifah selama 12 tahun, Ibn Katsir (701-774 H), al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah (Tahqiq:
191
yang terjadi dalam beberapa penaklukan luar Jazirah Arab, seperti Afrika, sehingga terjalin suatu hubungan yang baik, dan ketika itu Usman menjelang kewafatannya, pada tahun 28 H, Ia menikahi Nailah binti al-Fara>fisah seorang waita Nasrani, dan ketika dinikahinya, ia masih dalam keadaan Nasrani, kemudian ia masuk Islam. Namun beberapa data sejarah, menyatakan bahwa, walaupun Nailah pada saat (perkawinan), ia masih keadaan Nasrani, akan tetapi, ia sudah masuk Islam sebelum digauli oleh khalifah Usman bin Affan ra.44 Sementara Ali Bin Abi> T}a>lib ra (11-40 H/634-661 M),45 Ia seorang yang terdekat Nabi S.A.W, kemudian menjadi khalifah Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki)(Gizah:Markaz Bu'ut Wa Dirasat alIslamiyah Wa Al-Arabiyah Bi dar Hijrah, 1418 H /1998 M), cet. I, 208-213, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (I’zamu al-Islam ‘Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk)(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007 ), cet. 1, 16-19. Tetapi dalam sisi fiqhnya, beliau diantara, fara pemberi fatwa yang pertengahan, diantara para sahabat lain, seperti, Abu Bakar al-Siddiq, Ummu Salamah, Abu Said alKhudri, Abu Musa al-Ash'ari, Ja>bir bin Abdullah, Muaz bin Jabal, Abdullah bin Amr bin Ash, serta Abdullah bin Zubair. Lihat. Manna’ Al-Qatta>n, Tari>kh Tashri>’ Al-Isla>mi Al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh ( Riyad} : Maktabah Al-Ma’arif Li Al-Nasr Wa Tawzi’ Lis}a>hibiha Sa’ad bin Abdurahman al-Rashi>d, 1417H/1997 ), Cet. Ke-2, 242. 44 Terdapat keterangan dalam al-Bida>yah Wa al-Niha>yah, bahwa Ibn Katsir menjelaskan, bahwa Usman bin Affan, telah menikahi Nailah binti Farafisah, yang masih dalam keadaan Nasrani, sedangkan ia (satu-satunya), wanita Nasrani, di antara istri-istri Usman, kemudian Ia masuk Islam ditangannya, Lihat. Abu Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasqi, al-Bida>yah Wa al-Niha>yah ( Beiru>t : Makabah Ma’rif, t.th ), Jus VII, 163. 45 Nama lengkapnya, Ali bin Abu T}alib bin Abdul Muthalib bin Hashim bin Abdi Manaf bin Quraisy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah Abu Hasan dan Husein, digelari Abu Thurab, anak paman Rasulullah SAW dan suami putri beliau, Fatimah al-Zahra’ ra. Lahir dari seorang ibu bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf binQushay, ibunya digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan putera Bani Hasyim. Ayah beliau bernama Abu T}alib. Dia adalah paman kandung Rasulullah SAW yang sangat menyayanginya. Nama sebenarnaya, adalah Abdi Manaf. Ali bin Abi Thalib masuk Islam saat masih kanak-kanak. Ia telah menyerap sejak usia belia, tumbuh besar dalam pangkuan kenabian dan tangan kerasulan. Ia sadar bahwa ia anak asuh di rumah kenabian. Ia menyaksikan semua peperangan, kecuali Tabuk, karena Rasulullah SAW, meninggalkannya di rumah. Ia telah menyerap akhlak kenabian hingga is memadukan keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Hatinya bersinar, pemikirannya cemerlang dan
192
pengganti Usman bin Affan r.a, meskipun tidak banyak yang meriwayatkan dalam masalah pernikahan beda agama, tetapi dalam salah satu riwayatnya, disebutkan, bahwa menurutnya, orang-orang Arab yang beragama Nasrani, tidak ada yang tidak meminum Khamr, oleh karena itu, Ali melarang umat Islam untuk memakan daging hewan sembelihan mereka.46 Menurut keterangan lain, disebutkan bahwa, Ali bin Abi T}a>lib r.a. tidak suka memakan hewan hasil sembelihan Nasrani Arab, dan tidak mengawini para wanita mereka. 47 Pandangan Ali tentang nikah beda agama, terkait ayat alMaidah/5:5[bersumber dari T>awwus dan Hasan ], juga sejalan dengan pendapat Siti Aisyah r.a dan Ibn Umar r.a, yang menyatakan, bahwa tidak membenarkan makanan sembelihan yang dilakukan atas dasar tidak menyebut nama Allah S.W.T, dengan alasan ayat 121 surat al-An'am, [ ] وال تأكلوا مما لم يذكر اسم هللا عليه وإنه لفسق. Tetapi dalam hal ini, menurut Imam Maliki, bahwa Ali r.a hanya mencela atas pernikahan tersebut, dan tidak mengharamkannya. 48 Terkait dengan ilmunya luas. Sehingga ia menjadi lautan ilmu dan hujjah pemahaman keagamaan dan panggilan hukum. Rasulullah SAW telah mengangkatnya untuk memimpi Yaman dan berdo’a untuknya, ” Ya, Allah kuatkanlah lidahnya dan bimbinglah hatinya ”. Dalam al-Hilyah, Abu Nua’im meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Ibn ’Ayya’sy, dari Nashir bin Sulaiman Al-Ahmasy, dari ayahnya, dari Ali ra. Yang berkata : ” Demi Allah, tida ada satu ayatpun yanga turun kecuali aku mengetahui perisiwa apa berkaitan dan di mana ayat itu diturunkan. Sesungguhnya Tuhanku menganugrahkan kepadaku hati yang cerdas ( qalban ’aqu>lan ) dan lidah yang suka bertanya (lisa>nan sa’u>lan ). Ibn Katsir, al-Bida>yah Wa An-Niha>yah Masa Khula>fa’ Al-Rasyidi>n ( terj. Abu Ihsan Al-Atsari dari kitab Tarti>b Wa Tahzi>b Kita>b alBida>yah Wa Al-Niha>yah )( Jakarta : Dar al-Haq, 1424 H / 2004 ), cet. I, 415 Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Jus I, cet. t.th, 66, Muhammad Ibn Alawi Al-Ma>liki Al-Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an : Ringkasan Kitab Al-Itqa>n Fi> Ulu>m Al-Qur’a>n Karya Al-Ima>m Jala>luddin Al-Suyu>tti ( Bandung : PT Mizan Pustaka, 2003), cet. I, 287, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an : Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1428 H / 2007 M), Cet. I, 27 46 Abu Bakar Abdul Razaq ibn Hammam al-Shan’ani, Mus}annaf Abdul Raza>q, (Beirut: al-Maktabah al-Isla>mi,1403 H), cet. Ke-2, 186. 47 Lihat. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi, alMus}annaf Fi al-Ah}a>dits Wa Al-Athar (Riyad : Maktabah al-Rusyd, 1409 H), Juz III, cet. I, 478. 48 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq:Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I, Juz : I, 316.
193
na>sikh dan mansu>kh yang merupakan sebagai dasar pemahaman ajaran Islam, terutama memahami isi kandungan al-Qur’an, sebagai salah satu cara mengetahui tentang yang halal dan yang haram hingga tidak bercampurnya antara kedua hal tersebut, menurut Ali r.a mengetahui na>sikh dan mansu>kh dalam bagian kajian ini, sangatlah penting. Tetapi terkait pernikahan beda agama QS. al-Baqarah/2:221 dan QS. al-Maidah/5:5, sebagaimana disampaikan al-Suyut}i, bahwa ayat Al-Baqarah di atas, telah di-nasakh dengan ayat al-Maidah. Dengan melihat ungkapan itu, Ali bin Abi T}alib telah jelas,49 memahami apa yang dimaksudkan kedua ayat di atas dalam hal pelarangan menikahi wanita musyrik, dan membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b. 50 2. Abdullah Bin Abba>s ( w. 68 H/ 687 M ) Menyimak penafsiran Ibn Abbas r.a, telah membenarkan seorang muslim menikahi wanita ahl al-Kita>b, sebagai bentuk pengecualian (istisna>’) terhadap ayat 221 surat al-Baqarah dengan ayat 5 surat Al-Ma>idah.51 Dalam hal ini, Ibn Abbas, berkata : Bahwa 49
Sebagaimana yang ditulis oleh Al-Zarkashi (w. 794 H) dalam al-Burha>n dan juga al-Suyut}i (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Itqa>n Al-Imam Jalaluddin AlSuyu>t}i (w. 911 H), sebuah atsar Ali bin Abi Thalib mengungkapkan terhadap seorang Hakim. ” Tidak diperkenankan seseorang untuk menafsirkan Al-Qur’an, kecuali ia telah mengetahui nasikh dan mansukh . Dan Ali bin Abi Thalib telah berkata kepada seorang Hakim, ” Apakah anda mengetahui yang nasikh dari yang mansukh ? Hakim menjawab : Tidak, jawab seorang hakim itu. Lalu Ali berkata : Celakalah anda dan mencelakai orang lain ”. Sebagaimana yang ditulis oleh AlZarkasyi (w. 794 H) dan juga al-Suyu>t}i (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Itqa>n . AlImam Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi (w. 794 H), Al-Burha>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo:Maktabah Dar Al-Turath, t.th), Jilid I, 29,Al-Imam Jalaluddin Al-Suyu>t}i (w. 911 H), Al-Itqa>n Fi> ’Ulu>m Al-Qur’a>n (tahqiq : Said alMandu>r )( Beirut : Dar al-Fikr Li Thaba’ah Wa Nasr Wa Nasr Wa Tawzi’, 1416 H/ 1996), jilid. II, cet. I, 59. 50 Al-Imam Jalaluddin Al-Suyutti (w. 911 H), Al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m AlQur’a>n (tahqiq:Said al-Mandur)(Beirut:Dar al-Fikr Li Thaba’ah Wa Nasr Wa Nasr Wa Tawzi’, 1416 H/1996 ), jilid. II, cet. I, 59. 51 Pendapat Ibn Abbas sebagaimana yang dikutip al-Suyutti dalam tafsirnya, bahwa ia melalui Ibn Jarir, Ibn Munzir, Ibn Abi Hatim, serta al-Nuha>s (dalam Nasikh-nya), dan Al-Baihaqi (dalam Sunan-nya) berpendapat, bahwa larangan menikahi wanita musyrik merupakan bentuk pengecualian (istina>’a>t) khusus terhadap wanita ahl al-Kitab, sementara menurut Abu Daud dan AlBaihaqi yang bersumber dari Said bin Zubair itu adalah bentuk nasakh, Jalaluddin al-Suyutti (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r
194
Allah mengecualikan wanita ahl al-kitab dari ketentuan di atas. Sedangkan menurut Abdullah bin Jubayr, mengutip keterangan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, [ نتزوج نس اء أهل الكتاب واليتزوج []نساءناKitab boleh menikahi wanita-wanita ahl al-kitab, namun lakilaki mereka tidak boleh menikahi wanita kita].Walaupun sanadnya, diperselisihkan, namun subtansinya, disepakati para ulama.52 Tetapi terdapat pengecualian menurut Ibn Abbas r.a tentang al-muh}s}ana>t wanita ahl al-kita>b yang berstatus dhimmi boleh dinikahi, sedangkan yang berstatus h}arbi tidak boleh dinikahi. 53 Pendapat tersebut didukung atas dasar firman Allah QS. Al-Mujadilah/58:22, yang menyatakan tidak akan pernah ada seorang mukmin bisa menjalin hubungan cinta-kasih dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, tetapi sebaliknya bahwa hubungan perkawinan dapat melahirkan rasa cinta dan kasih-sayang antara sang suami dan istri, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an surat al-Ru>m/30:21.54
(Tahqiq:Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo:Markaz Hijr Li a-Bu’uth Wa Al-Dirathat al-Arabiyah Wa al-Islamiyah, 1424 H/2003 M), cet. I, 562-563. 52 Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Ayat-Ayat Perkawinan Dan Perceraian Dalam Kajian Ibnu Katsir ( Jakarta : Gaung Persada (GP) Press, 2010 ), Cet. I, 2021. 53 Kafir Istilah harbi dan zimmi, kafir harbi adalah kafir yang disyari’atkan, boleh diperangi. Sedangkan kafir dimmi, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih mentaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka. http.Islambukanteroris.com. Disadur, 11 Juni 2011. Menurut Muhammad Quraish Shihab, pengertian Kafir ( secara bahasa ), adalah tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya ( Nabi Muhammad S.A.W ), kafir Majusi, kafir karena menyembah api, kafir mushrik, kafir karena menyekutukan Tuhan, percaya akan adanya tuhan selain Allah atau mempersama-samakan Allah dengan tuhan yang lain, J.S Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001 ),cet. ke-4, 595, Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi AlQur’an (kajian kosa kata), (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 415-417, 560-561. 54 Terjemahan QS. al-Rum/30:21, “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya ( Bandung : Gema Risalah Press ), 644, Abu al-Fadl Syihab alDin al-Sayyid Mahmud Al-Alusi al-Baghdadi, Ru>hul al-Baya>n Fi> al-Qur’a>n alAz}im > Wa Sab’ul Matha>ni ( Beirut : Dar Ihya al-Turast Al-Arabi, t.th ), Juz VI, 65-
195
3. Abdulla>h bin Mas’u>d ( w. 32 H ) Menurut Abdullah bin Mas’ud r.a dalam konteks pernikahan beda agama ini, keterangan, ini tidak berbeda dengan pandangan para sahabat pendahulunya atau sahabat yang lain, maka dalam kasus pernikahan ini, terlihat jelas, mayoritas para ulama mulai dari kalangan sahabat, tabi’in bahkan ulama masa awwal Islam sampai moder-kontemporer, sependapat membolehkan status pernikahan dengan wanita ahl al-Kita>b, berdasarkan firman Allah S.W.T QS. alMaidah/5:5. walaupun berbeda ada dianatara mereka, yang tidak sejalan karena alasan dan pandangan yang berbeda.55 4. Abdullah Bin Umar ( w. 72 H ) Menurut Abdullah bin Umar56 terkait pernikahan dengan wanita al-muh}s}ana>t, misalnya, terhadap QS. Baqarah/2:221 atau QS. 66. Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 167. 55 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 171. 56 Abdullah bin Umar r.a putra khalifah kedua Umar bin Khattab bin Naufel al-Quraisyal-Al-Adawi saudara kandung Sati Hafsah Ummul Mukminin. Dia di lahirkan tidak lama setelah Nabi diutus menjadi Rasul, ketika itu ia baru berumur 10 tahun. Ia ikut masuk Islam bersama ayahnya. Kemudian ia mendahului ayahnya hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang, dan Rasulullah tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, diantaranya, perang Qadisiyah, Yarmuk, Khandak, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan Basrah dan Madain. Al-Zuhri tidak pernah meninggalkan pendapat Ibn Umar r.a untuk beralih kepada pendapat orang lain. Imam Malik dan al-Zuhri berkata : ” Sungguh, tak ada
satupun dari urusan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang tersembunyi bagi Ibn Umar ”. Ia seorang yang banyak meriwayatkan hadits setelah Abu Hurairah. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Siti Aisyah, saudari kandungnya Hafsah dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Ibn Umar banyak sekali, dinataranya, Sa’id bin Musayyab, al-Hasan al-Basri, Ibn shihab al-Zuhri, Ibn Sirin, Nafi’, Mujahid, Thawus dan Ikrimah. Ia dikenal seorang yang Zuhud, shaleh, bertaqwa, seketika berkata Rasulullah tentang dirinya, ”Sebaik-baik
pemuda adalah Abdullah bin Umar, dan jika ia shalat malam, jarang waktu malamnya terbuang untuk tidur, keculai sedikit sekali ”. Ia wafat di Makkah setelah haji pada tahu 73 H dengan usia 84 tahun. Manna’ Al-Qattan, Tari>kh Tasyri>’ Al-Isla>mi Al-Tasyri>’ Wa Al-Fiqh ( Riyad} : Maktabah Al-Ma’arif Li AlNasyr Wa Tawzi’ Lishahibiha Sa’ad bin Abdurahman al-Rasyid, 1417 H/1997), Cet. Ke-2, 25, Ibn H}ajar Al-Atsqalani (w.852 H),Taqri>b al-Tahzi>b (Beirut : Mu’asasah Al-Rislah, 1420 h/ 1999 M ), cet. I, 256-257.
196
al-Maidah/5:5, sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa bab sebelumnya, Ibn Umar r.a kurang menyetujui adanya pernikahan semacam ini. Hal itu bisa dipahami, karena Ia memandang, bahwa ahl al-kita>b adalah musyrik, sebagaimana dimaksudkan QS. alBaqarah/2:221, karena alasan itulah, Ia mengharamkan pernikahan seorang mu’min dengan wanita ahl al-Kita>b. Jika demikian, tentu, menikahi wanita al-muh}s}ana>t, tidak berarti apa-apa baginya. Bertentangan dengan beberapa pendapat para sahabat umumnya, yang secara historis, pernikahan semacam ini telah dilakukan kalangan sahabat, seperti, Usman bin Affan r.a menikahi Nailah binti Fara>fisah seorang wanita Nasrani, kemudian ia masuk Islam, demikian dilakukan Hudhaifah menikah dengan perempuan Yahudi, juga beberapa sahabat yang lain, seperti, Ibn Abba>s, T}alhah, Jabir dan lainnya. Juga dilakukan kalangan para tabi’in, seperti, Sayyid bin Musayyab, Muja>hid, Said bin Jubayr, Ra>bi’ bin Ana>s, Ikri>mah, alSha’bi, D}ahak, serta beberapa kalangan ulama fiqh lainnya.57 Pendapat Ibn Umar r.a tersebut, memiliki landasan riwayat, yang disampaikan Al-Bukhari dan Al-Nuhas, yang bersumber dari Na>fi’
َ انّ عبد هللا بن عم, والنحاس فى ( ناسَه ) عن نافع, ََوأََج البَا حَّ م هللا: قال. كان َّذا سئل عن نكاح الَإل النصَانية أو الي ودية وت أعَف شيئا من اإلشَاك أعظم من أن تقول, المشَكات على المؤمنين . َب ا عيسى أو عبد من عباد هللا: المَأة Dari Al-Bukhari dan Al-Nuhas dalam kitab ( Nasikh ), dari Nafi’, bahwasanya Abdullah bin Umar, setiap kali ditanya tentang pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi. Ia berkata : Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik terhadap pria-pria muslim, dan aku tidak
57
Lihat. Ibn Abdi Al-Ba>r (368 H/463 M), Al-Istizkar al-Jami’ Li Mazahib Fiqaha>’ Al-Ams}a>r Wa Ulama Al-Aqt}a>r Fi>ma Tadmanahu “ Al-Muwatt}a}’ “Min Ma’a>ni al-Ra’yi Wa Al-thar Wa Sharhu Zalika Kullihi bi Al-I>za>z wa Ikhtis}ar Ma ‘Ala Z}ahri Al-Ard ba’da kita>billah As}ahhu min Kitab Ma>lik al-Ima>m al-Sha>fi’ih, (Bairu>t:Da>r Kutaibah Li Thaba’ah Wa Nasr, tth), Jilid ke-16, 72, Lihat. Al-Imam Al-Jali>l al-Ha>fidz Imaduddin Abi Al-Fida’ Ismail Ibn Kathi>r al-Dimasq (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’an Al-Azi>m (Gizah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M), cet.I, 296.
197
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seseorang yang berkata, 58 baha Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah.
Dari keterangan-keterangan di atas, menjadi dasar pelarangan pria muslim menikahi wanita musyrik menurut Qs al-Baqarah/2:221, yang disamakan dengan pelarangan menurut QS.al-Maidah/5:5, karena itu status mereka disamakan, dengan status musyrik. 59 Kesimpulan pendapat ulama-ulama kalangan sahabat, baik kalangan Khulafa>' Al-Ra>shidi>n, seperti, Abu Bakar r.a membolehkan pernikahan dengan ahl al-kita>b yang merdeka yang berstatus zimmy yang bukan h}arby, sedangkan Umar bin al-Khattab r.a, juga membolehkan menikah dengan wanita ahl al-kita>b yang statusnya afa>'if (terpelihara) dari kalangan wanita al-muh{s}ana>t, sedangkan Usman bin Affan r.a sependapat dengan pendapat mereka yang membolehkan, kecuali Ali r.a yang hanya mencela dan tidak mengharamkannya. Sedangkan selain Khulafa' Al-Rashidin, seperti Abdullah bin Abbas r.a dan juga Abdullah bin Mas'ud r.a tidak melarang, melainkan Abdullah bin Umar r.a yang mengharamkan menikah dengan wanita al-muh}s}ana>t (ahl al-kita>b), dengan alasan, karena mereka adalah musyrik. E. Penafsiran Perspektif Ulama Salaf (Periode Klasik : 6501250M)(Abad IV-VI H atau abad X M) Setelah masa kepemimpinan Khulafa> al-Ra>shidi>n berakhir, dilanjutkan kepemimpinan oleh generasi selanjutnya, baik sahabat, tabi’in dan para pengikutnya. Selain itu juga, perkembangan keilmuan umat Islam mulai maju, hingga dipertengahan abad II H ini, membuat beberapa karya-karya tafsir tidak sampai semuanya kepada umat, melainkan hanya sedikit sekali. Tetapi karya-karya tafsir para ulama, mulai dikenal di tengah masyarakat setelah petengahan abad ke-4 H ini, di antaranya karya-karya tafsir mereka adalah, seperti, tafsir Ja>mi’ al-Baya>n ’An Ta’wil Ay al-Qur’a>n, karya al-Imam alT}abari> (w. 310 H), Tafsir Ahka>m al-Qur’a>n, karya al-Jas}a>s} (w. 370 58
Jalaluddin Al-Suyu>t}i (849-911 H), Al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Kairo:Markaz Hijr Li Bu’uth Wa Al-Dira>sat Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1424 H / 2003 M), cet. I, 564. 59 Al-Imam Al-Jalil al-Hafidz Imaduddin Abi Al-Fida’ Ismail Ibn Katsir al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’an Al-Az}im > (Gi>zah:Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H / 2000 M ), cet.I, 299.
198
H), Tafsir Ma’a>lim Tanzi>l, karya al-Baghawi> (w. 510 H/1122 M), dan lain sebagainya. 1. Ibn Jari>r Al-T}abari (w. 310 H/925 M), Dalam Kitab Tafsirnya, Ja>mi’ al- Baya>n an Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n Ibn Jari>r al-T}abari60 menafsirkan mengenai penikahan pria muslim dengan wanita ahl al-kita>b, dalam teks QS. al-Maidah/5:5 sudah jelas status kebolehannya, walaupun menjadi persoalan di dalamnya bagi wanita yang statusnya al-muh}s}ana>t yang merdeka [al60
Ibn Jari>r al-T}abari seorang fakar tafsir di Abad ke-4 H. Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Thabari. Dilahirkan di kota Thabaristan di Persia ( Iran ) sekitar akhir tahun 224 H atau awal tahun 225 (839 M). Ia adalah seorang Imam, Mujtahid, dan pengarang kitab-kitab terkenal, diantara kitabnya yang sangat fenomenal, adalah tafsir Ja>mi’u Baya>n An Ta’wil Ay Al-Qur’a>n yang terdiri dari 15 jilid yang dinilai sebagai literatur terpenting dalam bidang tafsir bi al-ma’tsur, bahkan dalam bidang tafsir bi al-ra’yi (akal dan logika), karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari pendapat yang paling kuat, disamping memuat istinbath dan wajahwajah i’rab. Karena itu kitabnya, merupakan kitab yang paling agung paling sahih dan paling lengkap, karena memuat pendapat para sahabat dan tabi’in. Para pengkaji Al-Qur’an, menilai bukunya itu, sebuah kitab yang tiada duanya di bidang tafsir. Al-Nawawi berkata, belum ada karya yang ditulis semisal dengan kitab tafsir Ibn Jarir al-Thabari. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat rapih dan disiplin slalu menjaga kesehatan dan penampilan. Al-Thabari menjalani hidup dengan prilaku zuhud, tak sedikitpun ia silau dengan kenikmatan duniawi, sikap ini dibuktikan dengan penolakannya terhadap tawaran jabatan strategis di pemerintahan. Ia menampik imbalan harta yang disodorkan kepadanya. Selain itu, ia mampu menghafal Al-Qur’an di usia yang sangat muda, pada usia 7 tahun. Dan di usia delapan tahun ia menjadi seorang imam shalat, menulis hadits-hadits Nabi SAW. Dan dalam kehidupan secara sosial, ia juga seorang yang senang melanglang buana, berpindah-pindah tempat dalam rangka menuntut ilmu, seperti Mesir, Syam, Irak, kemudian ia terakhir singgah dan menetap di Bagdad hingga akhir hayatnya. Kurun kehidupan al-Thabari di kancah politik, ia hidup di masa keemasan di panggung peradaban, yaitu zaman kebangkitan Daulah Abbasiyah (750 M-1242M) yang berpusat di Bagdad. Ketika ia lahir yang menjadi penguasa adalah al-Wasiq Billah atau Harun bin Muhammad al-Mu’tashim sebagai khalifah IX(842-847 M). Jika dilihat perkembangannya, selama ia hidup terdapat sekitar 10 kali pergantian khalifah, hingga khalifah XVIII, yaitu al-Muqtadir (908 -934 M). Dan Ia wafat pada tahun 310 H. Yunus Hasan Abidu,Tafsir Al-Qur’an ; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1428 H/1428 H), Cet. I, 68-69, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Juz. I, cet. Ke-6, 147, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 64-65.
199
hara>'ir] atau yang terpelihara [ al-Afa>'if ], merupakan suatu hal yang masih samar, karena di antara mereka ada yang memasukkan katagori ahl al-kita>b yang boleh dan tidak boleh dinikahi. 61 Selain itu juga Ia menafsirkan ayat, dengan menjelaskan, tentang halal-nya sembelihan ahl al-kita>b [Yahudi dan Nasrani], karena mereka berpegang teguh kepada ajaran kitab Taurat dan Injil yang diturunkan kepada nabinabi mereka. Maka disepakati status sembelihan mereka adalah hala>l, walaupun, masih dipersangsikan antara hasil sembelihan orang musyrik Arab, yang tidak memiliki kitab suci. Namun dengan jelas, Ibn Jari>r, dalam konteks ini, sependapat sama dengan para mufassir lainnya, yang sedikit membatasi pemahaman ahl al-kita>b yang tidak dimaksudkan untuk semua agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bani Isralil, melainkan mereka yang hanya benar-benar memiliki kitab suci (Taurat dan Injil ).62 Ibn Jari>r menyatakan dengan tegas pendapatnya, bahwa ahl al-Kita>b itu bukan musyrik, selain itu juga berpendapat, bahwa wanita ahl al-Kita>b yang boleh dinikahi oleh orang-orang Islam adalah yang berstatus merdeka [al-Hara>'ir] dan terpelihara kehormatannya (afa>if), baik dari kelompok agama Yahudi atau Nasrani yang memiliki ketaatan terhadap ajaran agamanya, baik yang berasal dari Bani Israil ataupun yang bukan. 63 Bahkan dengan tegas lagi, Ibn Jari>r r.a, membolehkan menikahi wanita muh}s}ana>t yang beriman, bukan yang berstatus budak, berdasarkan QS. Al-Nisa'/4:25, walaupun secara tekstual dalam ayat [] والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب telah disinggung sebagai wanita ahl al-kita>b yang terpelihara [afa>'if], tetapi jika ia beriman, boleh dinikahi. Selain itu, menurutnya bahwa, wanita yang merdeka dari ahl al-kita>b, apakah telah berbuat zina atau tidak, dari kalangan zimmi atau harby yang bukan ka>fir,64 61
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqiq:Abdullah bin Muhsin al-Turki), Cet. I, Juz VIII, 130. 62 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n , 129 63 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>>l Ay Al-Qur’a>>n (ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M), Cet. I, 134-138. 64 Pengertian Kafir, secara bahasa berasal dari akar kata ka>f, fa>, ra>’ yang berarti menutupi. Abu Qa>shim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib alAsfaha>ni, Al-Mufrada>t Fi> Ghari>b Al-Qur’an (Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, t.th ), 433-
200
berdasarkan ayat di atas, maka boleh dinikahi, dan juga tidak memperdulikan, apakah berasal dari Bani Israil atau bukan, walaupun hal itu keluar dari pendapat Jumhur, maka Ia menghalalkan pernikahan dengan ahl al-kita>b dari semua agama, baik Yahudi atau Nasrani. 65 Terkait penafsiran QS. al-Maidah/5:5, ( محصنين غير مسافحين وال () متخذى أخذانdengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tida pula menjadikan gundik-gundik), al-Tabari membolehkan menikah pria muslim dengan wanita muh}s}ana>t, juga juga boleh pria ahl al-Kitab yang muh}s}in yang terpelihara, dan tidak 434, Dari pengertian tersebut, munculah beberapa pengertian lain, yang dapat dikembalikan kepadanya, misalnya, malam disebut ka>fir, karena menutupi, ia menutupi siang, petani disebut ka>fir, karena pekerjaannya menutupi benih dengan tanah (QS. Al-Hadid/57:20), demikian pula awan disebut kafir, karena menutupi matahari, bahkan tempat yang terisolir dari keramaian juga disebut kafir, karena keterisolirannya menjadikan tempat tersebut tetutup dari dunia luar. Term al-kufr dalam al-Qur’an, ditemukan sebanyak 525 kali. Dan bila difahami secara umum, kata kufr dapat dikembalikan kepada pengertian secara bahasa, misalnya, (1). Kafir, berarti kelompok yang menutupi buah (QS. al-Insan/76:5),(2). Kuffa>r (bentuk jamak dari ka>fir), QS. al-Hadid/57:20 yang berarti para petani. (3). Kaffa>rah, berti denda penebus dosa atas kesalahan tertentu. Term ini, muncul 4 kali dalam al-Qur’an surat al-Maidah/5:45,89 dan 95. Dan kaffa>rah dalam ayat tersebut diartikan, dalam bentuk sedekah atau berpuasa. (4). Kaffara (Yukaffiru),berarti menutupi, menghapus atau menghilangkan. Kata tersebut terulang sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an, yang semuanya berarti penghapusan dosa. Empat pengertian tersebut, tidak memcerminkan, makna pengingkaran terhadap Tuhan dan Rasul-rasul-Nya. Tetapi dalam penyebutan terakhir, antara lain mengisyaratkan, bahwa orang-orang yang menutupi nikmat Allah atau tidak berterimakasih atas nikmatnya yang dianugrahkan kepadanya dalam hidup ini, bisa disebut kufr nikmat. Dan secara terminologi, tidak sepakat para ulama menetapkan batasan kufr, hal itu dikarenakan, adanya perbedaan batasan tentang iman. Salah satu batasannya, yang paling umum, khususnya adalah padangan syari’ah, iman diartikan, sebagai pembenaran atas kerasulan Nabi Muhammad SAW, serta ajaran-ajaran yang dibawanya. Sedangkan kufr adalah kebalikan dari itu, yakni pendustaan(penolakan) terhadap Rasulullah serta ajaran-ajaran beliau. Dengan pengertian tersebut, bahwa predikat ka>fir itu dapat dinyatakan tepat, apabila seseorang telah mendustakan kerasulan Muhammad SAW dan ajaranajaran yang dibawanya Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 62-64, 415-416. 65 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (ditahqi>q:Abdullah bin Muhsin alTurki)(Kairo:Markaz al-Buhuth Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M), Cet. I, Juz ke VIII,147.
201
bermaksud melakukan maksiat apalagi menjadikan gundik-gundik, kekasih hidup tanpa ikatan sebuah pernikahan. Selain itu juga mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa boleh menikah dengan membayar mahar dan saksi. Kemudian, penjelasan ini, ditutup dengan ayat ( ) ومن يكفر باإليمان فقد حبط عمله وهو فى األخرة من الخاسرين. Bahwa orang yang inkar dengan tidak beriman kepada Allah SWT dan apa yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu yang benar, ancaman bagi mereka ancaman, dan hapusnya pahala serta kerugian di akhirat. 66 Al-Jas}a>s} ( w. 370 H ), Tafsir Ahka>m Al-Qur’a>n Al-Jashash menyetujui kebolehan menikahi wanita Ahl alKita>b atas dasar QS. Al-Maidah/5:5, sebagai pengecualian (istisna>'), terhadap QS.al-Baqarah/2:221, yang berkatagori al-muh}s}ana>t yang terpelihara dan menjaga kehormatannya. 67Walaupun demikian, Ia tidak meyetujui pendapat Ibn Umar r.a yang tidak membenarkan dengan pernikahan semacam ini, karena alasan kemusyrikan, baik dari ahl al-Kita>b maupun non ahl al-Kita>b. Meskipun demikian, mengenai penafsiran QS.al-Maidah/5:5, Ia berpendapat sama dengan mufassir lainnya, seperti, Ibn Jari>ral-T}abari, dan sebagainya, yang menyatakan, bahwa makna al-Muh}s}ana>t adalah wanita afa>if , yaitu makna yang tertuju kepada wanita ahl al-kita>b yang terpelihara segala kehormatannya, dan juga berstatus merdeka [hara>’ir ].68 2.
66
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an, Cet. I, 149-150. 67 Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}as}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut:Dar Fikr, t.th ), Juz I, 454. 68 Dikatakan oleh Abu Bakar, bahwa makna al-Muh}s}ana>t adalah al-afa>’if, sependapat demikian Umar bin Khattab. Walaupun ia sedikit keras terhadap pernikahan Hudhaifah denan wanita Yahudi, namun hal itu karena kekwatirannya saja, sehingga ia marah, namun kenyataannya ia tidak mengharamkan. Berkata Abu Bakar : terjaganya wanita Yahudi dan Nasrani, karena mereka melakukan mandi jina>bah (hadats besar), dengan demikian berarti mereka menjaga kehormatannya. Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s, Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut : Dar Fikr, t.th), Juz II, 459.
202
3. Al-Baghawi> ( w. 510 H / 1122 M ), Dalam Tafsir Ma’a>lim
Tanzi>l
Dalam penjelasan QS.al-Maidah/5:5, al-Baghawi69 menyebutkan, bahwa ahl al-kita>b itu adalah Yahudi dan Nasrani. Dalam menjelaskan pernikahan beda agama, al-Baghawi mengutip pendapat-pendapat mayoritas ulama di antaranya, pendapat Muja>hid yang membolehkan pernikahan dengan wanita al-Muh}s}ana>t yang merdeka, baik ia beriman atau dari kalangan ahl al-Kita>b, baik itu wanita terpelihara (afi>fah) ataupun tidak. Meskipun demikian ada di antara mereka, yang tidak membolehkannya, prihal pria muslim menikahi budak wanita ahl al-kitab berdasarkan QS. An Nisa’/4:25 (Famima> Malakat Ayma>nukum Min Fataya>tikum al-Mu’mina>t). meski berbeda pandangan dengan Ibn Abbas r.a yang tidak membenarkan pernikahan dengan wanita (ahl al-kitab), sampai ia membayar pajak, QS. al-Taubah/9:29[ ] حتى يعطوا الجزية. Setuju alBaghawi juga dengan pandangan al-Hasan tentang, al-muhs}ana>t, yaitu sebagai wanita terpelihara, baik yang berstatus merdeka atau sebagai budak. Dan menurut perkataan Al-Sya’bi, bahwa terpeliharanya ahl al-kita>b itu, karena mereka bersih dari tuduhan perbuatan zina dan bersuci dari hadas besar (Jina>bah).70
69
Nama lengkapnya adalah al-Imam al-Hafidz al-Shahir al-Muhyi alSunnah Abu Muhammad bin Husin Ibn Mas’ud Muhammad bin Farra’ al-Baghawi al-Syafi’ih. Dia diberi gelar Muhyi al-Sunnah ( penghidup al-Sunnah) dan Rukn alDin (Penegak Agama). Ia dilahirkan di Baghshur sebuah kota kecil yang terletak di antara Hazzah, Moro dan al-Rudz dari kota Khurasan. Ia wafat di bulan Syawwal di Moro dan Rudz tahun 510 H pada usia 80 tahun. Selengkapnya, Lihat. Indeks. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo :Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Jilid I, 168-169, Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad al-Husai bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir Al-Baghawi “ Ma’a>lim al-Tanzi>l “ (Riyad} : Dar Tibah, 1409 H), Jilid I, 15, 72-73, Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir : Kajian Komprehnshif Metode Para Ahl Tafsir (Terj. Faisal Saleh dan Syahdianor) Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), 292, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an : Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), cet. I, 72-73. 70 Al-Ima>m Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’u>d alBaghawi (w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi : “ Ma’a>lim al-Tanzi>l “, (Riyad : Dar Thibah,1409 H ), jilid III, 19.
203
4. Al-Zamakshari (467-538 H/1075-1144 H), Tafsi>r Al-Kashsha>f Al-Zamakshari71menafsirkan QS.al-Maidah/5:5 terkait ahl alkita>b sebagai wanita al-Muh}s}ana>t, yaitu sebagai wanita yang merdeka dan terjaga kehormatannya. Sepakat al-Zamakhsyari dengan para ulama pada umumnya, dengan memposisikan, bahwa almuh}s}ana>t sebagai wanita yang layak untuk dinikahi. Tetapi bagi yang tidak berstatus merdeka, mengutip pendapat Abu Hanifah sama dengan orang-orang Islam lainnya, walaupun hal itu bertentangan dengan Mazhab al-Sya>fi’i, dengan mengutip pendapat Ibn Umar ra. yang tidak memandang bahwa pernikahan itu ada, karena mereka menyatakan, bahwa ahl-Kita>b adalah musyrik bersadarkan QS. AlBaqarah/2:221. Terlepas dari kedua pendapat yang berbeda itu AlZamakhshari, menyatakan pendapatnya, bahwa persyaratan menjadi sebuah ketentuan untuk memilih, dan yang terpenting, adalah bahwa bagi seorang muslim agar slalu berhat-hati dalam memilih calon istri, dan oleh karena itu, kebolehan untuk melakukan pernikahan dengan wanita ahl al-Kita>b hanyalah merupakan keringanan (rukhs}ah ) saja, dan bukan tujuan, karena apapun alasannya, orang-orang beriman lebih baik dari ahl al-kita>b.72 71
Al-Zamakhshari dikenal sebagai ilmuan besar dalam bidang bahasa dan retorika, dia juga diberikan julukan al-Ima>m al-Kabi>r (maha guru), disandangnya karena kedalaman ilmunya, dibidang tafsir, hadits, gramatika, filologi, seni deklamasi, sya’ir bahasa Arab meski dia berasal dari Persia. Al-Zamakhshari adalah penulis yang produktif, hingga ia wafat di hari Arafah tanggal 09 Dzulhijjah tahun 538 H. Dan karya Al-Zamakhshari yang terkenal dalam tafsir, adalah Al-Kasya>f ’an Haqa>’iq Ghawa>mid al-Tanzi>l Wa Uyu>n al-Aqa>wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, tetapi karyanya lebih terkenal dengan sebutan kitab tafsir al-Kasha>f yang merupakan salah satu kitab tafsir bi al-Ra’yi (rasio). Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} : Maktabah Abikah), Juz I, 5, 12-14, Mani Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehenshif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), 224, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa alMufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 304305, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008 ), 73-75. 72 Dalam hal ini, telah dikutip pernyataan, Atha bin Abi Rabbah, “ dengan semakin banyaknya wanita muslimah, maka tidak perlu untuk menikahi wanita ahl al-Kita>b, Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>s}im Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari (467-538 H),Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} : Maktabah Abi>kah, ), Juz II, 200.
204
Beberapa kesimpulan penafsiran ulama klasik abad ini (IV hingga VI H), tentang pernikahan dengan wanita muh}s}ana>t, dapat ditarik kesimpulan, yaitu, (1). Menurut Ibn Jari>r al-T}}abari, bahwa, ahl al-Kita>b bukanlah musyrik. Selain itu juga al-Tabari menegaskan, bahwa wanita ahl al-Kita>b yang boleh dinikahi oleh orang Islam adalah yang berstatus merdeka (al-Hara>'ir), dan terpelihara kehormatannya (afa>if ), baik dari kalangan Yahudi atau Nasrani yang memiliki ketaatan terhadap ajaran agamanya, baik yang berasal dari Bani Israil ataupun yang bukan. (2). Pendapat al-Jas}a>s} sejalan dengan al-T}abari, wanita yang boleh dinikahi adalah wanita muh}s}ana>t yang terpelihara segala kehormatannya. (3). Berbeda dengan pandangan alBaghawi, yang mengutip pendapat Muja>hid, bahwa Ia membolehkan menikahi wanita muh}s}ana>t yang berstatus merdeka, yang beriman dari ahl al-Kita>b, baik itu wanita terpelihara (af>ifah) atau tidak. (4). Sementara menurut al-Zamakshari menyatakan pendapatnya, wanita al-Muh}s}ana>t adalah wanita yang merdeka dan terjaga kehormatannya yang layak dinikahi. F. Perspektif Ulama Tafsir Abad Pertengahan I (Masa Kemunduran I/1250-1500 M)73 Dalam kancah sejarah-sosial, terkait perkembangan ilmu dan pengetahuan di bidang tafsir, baik pemikiran, karya tulis ulamaulama terdahulu, di antaranya, Imam Fakhruddin Al-Ra>zi ( w.606 H), al-Qurt}ubi (w. 671 H), al-Baid}a>wi (w.791 H), al-Kha>zin (w.741 H), menjadi sangatlah penting dan diperlukan untuk mengetahui pandangan serta alasan mereka tentang pernikahan beda agama, yaitu:
73
Sejarah perkembanga Islam, abad pertengan ini berkisar antara tahun 1250 hingga 1500 M yang berpusat di Baghdad. Secara sejarah sosial umar Islam pada masa kekuasaan atau pada khalifahan Abbasiyah, di saat umat Islam sudah mulai maju dan berkembang dengan pesat, dengan banyaknya bangsa-bangsa Eropah yang masuk di wilayah Asia Tengah, terutama masuknya kerjaan besar, seperti, Mongol, Tartar, dan sebaginya, yaitu, pada abad ke-5 H, Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam (Dirasah Islamiyah II)(Jakrta : PT Raja Grafindo Persada, 2000 ), cet. Ke-10, 111.
205
1. Al-Imam Fakhruddi>n Al-Ra>zi ( w. 606 H/1209 M),Tafsir Mafa>tih Al-Ghaib/Tafsi>r al-Fakhru al-Ra>zi / Tafsi>r al-Kabi>r. Al-Ra>zi menafsirkan QS. al-Maidah/5:5 membolehkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, dengan makna yang terkandung di dalamnya adalah wanita al-muh}s}ana>t, yaitu mengandung makna al-hara>’ir (merdeka) dan makna al-Afa>’if (terhormat). Secara langsung juga Ia memasukkan kriteria di dalamnya sebagai budak wanita ('amah).74 Dua kriteria makna tersebut, mengandung dua pendapat, (1). Ada yang membolehkan dengan syarat membayar mahar kepada tuannya [ ] إذا أتيتموهن أجورهن. Ke (2), dengan merujuk pada pemahaman ayat al-Nisa’/4:25 [ َفمِن ْ مذا َملَ َكayat al-Nisa’/4: 25[ ت أَ ْي َما ُن ُكم مِّن َف َت َياتِ ُك ُم ْ َفمِن مَّا َملَ َك ت أَ ْي َما ُن ُكم مِّن َف َت َياتِ ُك ُم ا ْلم ُْؤم ْ َ ت ا ن م ُؤ ْ م ل ا ],bahwa, dibolehkannya menikahi mereka dengan syarat, ِ ِ telah memiliki waktu yang cukup lama sebagai budak, karena kwawatir akan berbuat dosa. Jika syarat yang dimaksudkan telah terpenuhi, maka menikahi wanita afa>’if (terpelihara) tidaklah dilarang. Berdasarkan dua pendapat tersebut, maka jatuh pilihan alRa>zi terhadap kriteria wanita al-muh}s}ana>t yang berstatus merdeka (al-hara>ir), dibanding wanita yang berstatus budak (‘amah), walaupun sama-sama terpelihara statusnya, kerena ketidakbebasan wanita ‘amah dalam beraktifitas yang sangat terbatas, apalagi berinteraksi di luar lingkungan, dibanding wanita yang merdeka, maka menurut al-Ra>zi, mereka lebih utama dan lebih baik, sehingga pernikahan dengan wanita muh}s}ana>t yang merdeka menjadi pilihan utama dan dibolehkan.75 74
Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), cet. I, 206, Ma’a>ni Abdul Hali>m Mahmu>d, Metodologi Tafsir : Kajian Komprehenshif Metode para Ahli Tafsir ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), 320, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M, cet. I, 206. 75 Alasan Al-Ra>zi, memilih al-Hara>’ir, karena beberapa alasan, di antaranya,(1).Sebagaimana lanjutan ayat, menyatakan bahwa dibenarkan mengawini wanita ahl al-Kitab yang merdeka ( hara>'ir ), padahal ketika dipahami, bahwa yang dapat menerima hanya orang yang merdeka, sedangkan budak, tidak s, padahal ketika dipahami, bahwa yang dapat menerima hanya orang yang merdeka, sedangkan budak, tidak sama sekali mempunyai hak. (2). Penyetujuan pada makna al-Afa>’if akan menafenyetujuan pada makna al-Afa’if akan menafikan perkawinan pelaku zina, padahal pelaku zina masih bias dikawini, Lihat. Al-Zamakhshari, Al-
Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h alTa’wi>l (Riya>d} : Maktabah Abi>kah), Juz II, 200, sedangkan alasan lain, bedasrkan
206
2. Al-Qurt}ubi> ( w. 671 H/1273 M ), al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n Menurut Al-Qurt}ubi dalam penjelasan QS. Al-Maidah/5:5 ini, hanya berbicara tentang pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl al-Kita>b, yang hanya sekedar kriteria al-muh}s}ana>t, tanpa memberikan kriteria status lain. Al-Qurtubi banyak mengutip perdebatan beberapa ulama lain, dengan menjelaskan potongan beberapa ayat. Di antaranya perdebatan, tentang kriteria ahl alKita>b, yang berstatus kafir harbi atau kafir mu’ahad. Menyinggung kriteria al-muh}s}ana>t, ia mengutip pendapat, Ibn Abbas r.a yang menyatakan, bahwa mereka adalah termasuk para wanita yang terjaga dan berakal sehat (afi>fat dan aqi>la>t). Sedangkan menurut al-Sha’bi, mereka adalah wanita yang menjaga diri dari perbuatan zina, dan membersihkan diri dengan mandi jika berhadats besar (Jina>bah), sedangkan menurut Muja>hid menganggapnya sebagai wanita merdeka. Berdasarkan atas pendapat-pendapat inilah, Abu> Ubaid menyatakan bahwa, menikahi budak ahl al-kita>b hukumnya haram, karena tidak sesuai dengan ketentuan QS.al-Maidah/5:25, demikian pendapat yang dianut al-Ra>zi. 76 Tetapi diakhir keterangan dari pendapat-pendapat tersebut, al-Qurt}ubi menyatakan pendapatnya, ” riwayat yang berasal dari Atha’, bahwa mengawini wanita ahl al-kitab adalah rukhshah, ketika jumlah wanita muslimah sedikit. Dan dengan jumlahnya yang semakin banyak, maka tidak lagi berlaku rukhs}ah. Dan menurut al-Ra>zi juga, adanya ayat yang memerintahkan untuk menjauhi orang-orang kafir dan beberapa aktifitasnya (La Tattakhizu> ‘Aduwi W > a Aduwakum Awliya>a’), QS. alMumtahanah/60:1, yang dengan kecintaan yang dibangun, akan memalingkan kecintaan dengan mengikuti apa keinginan sang istri, dan sang suami akan lebih mudah untuk beralih agama, dan mungkin akan bertambah, jikaanak-anak mereka lahir dan tumbuh dewasa atas asuhan dari sang istri dari ahl al-kitab tersebut. [3]. Betapa besarnya kesalahan dalam perkawinan, yang diawali dari perselisihan, meskipun boleh mengawini mereka, namun akibat yang akan terjadi itu muncul, maka status pernikahan menjadi tidak boleh (ghar ja>iz). Lihat. Al-Ima>m Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy (544-604 H), Tafsir al-Fakhri al-R>azi (Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H/1981 M ), cet. I, Jilid ke-11, 150. 76 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I, Juz : I, 320, Lihat. Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy (544-604 H), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi (Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H /1981 M), cet. I, Jilid ke-11, 149.
207
demikian pendapat-pendapat ulama besar ”. Tanpa ada tarjih atau tanggapan terhadap pendapat mereka. Dengan melihat adanya indikasi dan syarat tertentu, hanya sekedar al-muh}s}ana>t-lah alQurt}ubi, terlihat lebih jelas pendapatnya, bahkan ketika menjelaskan ayat ”Wa man yakfur bi al-I>ma>n ”, dengan redaksi ayat ” Wa alMuh}s}ana>tu Min al-Ladhi>na Utu> al-Kita>b ”, para wanita ahl al-kitab berkata : ” Jika Allah tidak rid}a atas agama kami, maka Dia (Allah) tidak akan mengizinkan untuk menikahi kami ”. Kemudian setelah itu, turun redaksi ayat, ” wa man yakfur bi al-i>ma>n ”, [yakni, barang siapa yang kufur dengan apa yang dibawa Nabi Muhammad S.A.W, maka amal perbuatannya akan sirna]. Dengan melihat keteranganketerangan tersebut, dapatlah disimpulkan, bahwa al-Qurt}ubi, sebenarnya ingin menyatakan, bahwa ahl al-kita>b [yang berstatus muh}s}ana>t], dan yang tidak mengingkari ajaran Islam, walaupun ia ingkar kepada nabi pembawanya, maka boleh dinikahi. 77 3. Al-Baid}a>wi (w.791 H/1191 M ),dalam kitabnya, Tafsir Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta’wi>l Al-Baid}a>wi dalam menafsirkan,QS.al-Ma>idah/5:5 ini dengan sangat rinci, menurutnya, bahwa kebolehan pernikahi ahl al-kita>b adalah yang berstatus al-muh}s}ana>t.78Lalu Al-Baid}a>wi mendefinisikan kata al-Muh}s}anat adalah wanita yang merdeka (al-h}ara>’ir) dan terpelihara (al-Afa>’if ) dari perbuatan zina. Kemudian Ia menegaskan kedudukan wanita ahl al-kita>b itu yang statusnya wanita al-harbiya>t 77
Abu> Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq :Mua’sasah Al-Risalah, 1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 321. 78 Ungkapan Ibn Suhbah al-Baid}a>wi, adalah seorang yang produktif, karya-karyanya terlihat, misalnya, menyusun rangkuman ( mukhtas}ar ) tafsir alKassha>f karya al-Zamakhshari, menjelaskan al-Mukhtas}ar karya Ibn Ha>jib di bidang ilmu Usu>l Fiqh, mensyarahi juga kitab al-mukhtakha>b fi al-Ushu>l karya alImam Fakhruddin al-Ra>zi, al-Tawalli Fi> al-Kala>m, al-Gha>yah al-Quswah fi Dira>yah al-Fatwa li Fiqh al-Sya>fi’ih dan menulis sebuah kitab tafsir yang merupakan karya terbaiknya, al- Anwa>r al-Tanzi>l Wa al-Asra>r al-Ta’wi>l, yang kemudian tafsir ini terkenal dengan sebutan nama Tafsi>r al-Baidha>wi. Al-Baid}awi wafat pada tahun 791H/1286 M. Al-Imam Al-Qa>dhi Nas}iruddin Abu Said Abdullah Abu Umar Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi (w. 791 H ), Tafsir alBaid}a>wi al-Musamma al-Tafsi>r Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta'wi>l ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H/1996 M ), Juz ke-1, 3.
208
atau dalam pengertian sebagai wanita musyrik yang dalam status ka>fir h}arbi, maka menikahi wanita seperti ini dilarang.79 Selain menyinggung persoalan makanan, terkait dengan para penganut Yahudi dan Nasrani, Ia mengutip pendapat Ali bin Abi T}alib, bahwa mereka tidak masuk dalam katagori Nasrani Bani Tagallub, karena dalam hal ini, khusus mereka yang hanya berstatus peminum khamar saja. Demikian dengan maju>si, yang pada kenyataannya, mereka telah disepakati kewajiban membayar Jizyah (upeti), dengan Sabdanya Nabi S.A.W, [Sannu> Bihim Sunnata Ahli alKita>bi][perlakukanlah mereka seperti halnya memperlakukan ahl alKita>b], tetapi dalam hal pernikahan dengan wanita mereka (maju>si) atau memakan makanan hasil sembelihan mereka, tetap tidak berlaku dan tidak diperkenankan bagi orang-orang muslim. 80 4. Imam Al-Kha>zin ( w. 741 H/1341 M ), Tafsir Luba>bu al-Ta’wi>l
Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l Al-Kha>zin dalam menjelaskan QS. al-Baqarah/2:221ini, menyatakan, bahwa status musyrik adalah berlaku untuk semua jenis kemusyrikan, para penyembah berhala (al-wathaniyah), penyembah api (al-maju>si), beragama Yahudi dan Nasrani. Al-Kha>zin juga setuju dengan pendapat, bahwa ayat al-Baqarah itu dikhusushkan untuk para wanita yang merdeka dari kalangan ahl-al-kita>b berdasarkan QS. Al-Maidah/5:5. Mengutip pendapat, Ibn Abbas r.a, bahwa makna ’muh}s}ana>t’ yang dimaksudkan dalam ayat al-Maidah ini, Ia adalah khusus bagi wanita bangsa Arab penyembah berhala (al-wathaniya>t), atau sebagaimana menurut Qata>dah, adalah wanita bangsa Arab yang tidak mempunyai kitab suci yang dibaca. Pendapat-pendapat tersebut disetujui Jumhur Ulama, dengan menyatakan, bahwa stastus perbuatan al-shirk masih bersifat umum, maka sifatnya bisa masuk katagori ahl al-Kita>b yang mencakup wanita Yahudi dan Nasrani, para penyembah berhala, yang beragama maju>si, berdasarkan QS. al79
Al-Imam Al-Qa>dhi Nas}iruddin Abu Said Abdullah Abu Umar Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi (w. 791 H), Tafsir al-Baid}a>wi al-Musamma alTafsi>r Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta'wi>l (Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H/1996 M), Juz ke-1, 297-298 . 80 Al-Imam Al-Qa>dhi Nas}i>ruddin Abu Said Abdullah Abu Umar Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi (w. 791 H), Tafsir al-Baid}a>wi al-Musamma alTafsi>r Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta'wi>l (Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H/1996 M), Juz ke-1, 298.
209
Taubah/9:30, [ ]اليهود عزيرابن هللا وقالت النصارى المسي ابن هللا وقالت.81 Dan larangan itu berlaku juga bagi wanita muslimah, yang akan dinikahi pria musyrik, walaupun Ia sebagai pria kaya raya, dengan alasan karena untuk menghidari fitnah dan menghindari ajakan mereka jalan menurju ke Neraka [] يدعوا إلى النار.82 Berbeda dengan larangan menikahi wanita ahl zimmy dan bukan harby, terdapat adanya pendapat ulama yang membolehkannya dengan alasan, mereka adalah wanita ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani), yang muh}s}ana>t terjaga dari perbuatan zina.83 Kesimpulan penafsiran ulama-ulama abad pertengahan I ini, di antaranya, menurut, al-Ra>zi, bahwa menikahi wanita al-muh}s}ana>t yang merdeka (al-hara>ir), lebih baik dan menjadi pilihan dibanding menikahi wanita yang berstatus budak (‘amah), walaupun sama-sama statusnya terpelihara, namun kemerdekaan wanita ‘amah dari semua aktifitasnya terbatas, apalagi berinteraksi di luar rumah, maka wanita yang merdeka yang tidak terbatas, lebih menjadi pilihan. Sedangkan menurut al-Qurt}ubi membolehkan menikah dengan wanita ahl alKita>b, yang hanya sekedar kriteria al-muh}s}ana>t [terpelihara] secara umum, tanpa adanya kriteria lain dan batasan. Menurut al-Baid}a>wi, boleh menikah dengan wanita al-muh}s}ana>t yang merdeka, terpelihara dari perbuatan zina. Tetapi berbeda dengan al-Kha>zin, wanita almuh}s}ana>t itu yang berstaus zimmi bukan harbi, baik Ia Yahudi atau Nasrani yang terpelihara dari perbuatan zina yang boleh dinikahi.
81
Terkait dengan kriteria ahl al-kita>b, Ibn Abba>s, menjelaskan, kata muh}s}ana>t berlaku untuk wanita yang merdeka (hara>’ir ), al-Hasan, al-Sha’bi, dan al-Nakha>’i serta al-D}aha>q setuju dengan wanita terjaga dan terpelihara (afa>’if), oleh kerana itu Ibn Abba>s melarang pernikahan dengan budak wanita dari kalangan Ahl al-Kita>b, demikian pndapat ini, diikuti mazhab Sha>fi’ih, karena alasan, memiliki dua kekekurangan, yaitu, berpredikat kufur (kafir) dan juga sebagai budak sahaya. Berbeda dengan mazhab H}anafi membolehkan, karena alasan pelarangan terhadap ayat yang masih bersifat umum. Alauddi>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di (Kha>zin, w. 725 H), Tafsi>r al-Kha>zin alMusamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l (Beiru>t : Da>r Fikr, t.th), 147. 82 Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di ( Kha>zin, w. 725 H ), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l )(Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), 148. 83 Alauddi>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di (Kha>zin, w. 725 H ), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l (Beiru>t: Da>r Fikr, t.th), 432-433.
210
G. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Abad Pertengahan II (Masa Kemajuan dan Kemunduran II/1500-1800 M) Dalam kancah persoalan sejarah atau sejarah-sosial, terkait perkembangan ilmu pengetahuan di bidang tafsir, pemikiran serta karya tafsir ulama-ulama tafsir abad ini, dapatlah dikaji ulang, seperti, karya Ibn Kathi>r (w.774 H), Jala>luddin Al-Mahalli (w. 864 H/1455 M), Jala>luddin Al-Suyu>t}i (w. 911 H/1505 M), al-Alu>si (w. 1270 H), dan sebagainya, untuk mengetahui bagaimana pendapatpendapat mereka tentang penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, yaitu : 1. Ibn Kathi>r (w. 774 H/1372 M), dalam Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m. Penafsiran Ibn Kathi>r menyebutkan beberapa riwayat yang disampaikan Ibn Jari>r al-T}abari dari Muja>hid, dalam menjelaskan QS.al-Maidah/5:5 ini, terkait persoalan al-muh}s}ana>t ayat [ والمحصنات ]من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم, sebagai kriteria wanita yang terpelihara (afi>fah) dan merdeka (hurrah), bukan sebagai seorang budak belian. Sesungguhnya yang dimaksudkan Mujahid dengan istilah muh}s}ana>t, adalah wanita-wanita merdeka. Dapat pula dimaksudkan, bahwa yang dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka), mereka adalah wanita yang menjaga kehormatn, seperti yang disebutkan dalam riwayat (lain) yang bersumber dari Mujahid. Dan hal ini, merupakan pendapat yang disepakati Jumhur ulama dan merupakan pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Dengan demikian akan terhindar dari pengertian yang menunjukkan kepada wanita zimmi, yang kriteria mereka tidak memelihara kehormatannya. Tetapi menurut zahir ayat, makna yang dimaksud muh}s}ana>t, ialah wanita yang menjaga kehormatan dari perbuatan zina, sama halnya dengan makna yang terkandung dalam ayat QS. al-Nisa’/4:25 محصنات غير مسافخات والمتخذات () أخذانsedangkan merekapun wanita-wanita yang memelihara diri bukan pezina dan buka pula wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya). 84 Kemudian para ulama berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan firmannya QS. al-Maidah/5:5 ( والمحصنات من ()الذين أوتوا الكتاب من قبلكمdan wanita-wanita yang menjaga 84
Ima>duddin Abi Fida>’i Ismail Ibn Kathi>r al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M), Jilid 2, Cet. I, 82.
211
kehormatannya di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian). Mempertegas hal itu, menurut Ibn Kathi>r, apakah yang dimaksud dalam ayat itu mencakup semua wanita ahl al-Kita>b yang memelihara kehormatan, baik yang statusnya merdeka ataupun budak? Mengutip riwayat Ibn Jari>r al-T}abari yang menceritakan, dari sekelompok ulama salaf menafsirkan al-muh}s}ana>t dengan pengertian adalah wanita yang memelihara kehormatannya. Dan menurut pendapat lain yang dimaksud ahl al-kita>b adalah wanita-wanita isra>iliyat, seperti yang dikatakan kalangan Mazhab Sha>fi'i. Dan menurut yang lain lagi, yang dimaksud ahl al-kita>b adalah wanita yang muh}s}ana>t yang zimmi bukan harbi, karena berdasarkan firman Allah S.W.T QS. al-Taubah/9:29, mennyatakan ( قاتلوا الذين اليؤمنون باهلل ()والباليوماألخرperangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian).85 Dari Ibn Abi> Ha>tim berkata: bercerita bapakku, bercerita Muhammad bin Ha>tim bin Sulaiman al-Mu’addib, bercerita kepada kami Qa>sim bin Ma>lik (al-Ma>zini), bercerita Isma>’il bin Sa>mi' dari Ma>lik al-Ghifari, dari Ibn Abbas r.a, berkata : ketika diturunkannya ayat al-Baqarah/2:221[ ] وال تنكحوا المشركات حتى يؤمن, berkata Ibn Abbas r.a, bahwa masyarakat saat itu menahan diri untuk tidak melakukan pernikahan semacam ini, hingga diturunkan QS. al-Maidah/5:5 [ ] والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم, lalu setelah turunnya ayat ini, orang-orang mulai melakukan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, seperti yang dilakukan kalangan sahabat, seperti, H}udhaifah dan T}alhah,86 karena mereka beralasan, tidak ada lagi larangan. 85
Ima>duddin Abi Fida>’i Ismail Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M), Jilid 2, Cet. I, 82. 86 Terkait Pernikahan sahabat di maksud, seperti yang diceritakan Ibn Jarir, yaitu telah menceritakan kepadaku Ubaid bin Adam bin Iyaz al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Bahran al-Faza>ri, telah menceritakan kepada kami Syahr bin Hausyab yang mengatakan bahwa ia telah mendengar Abdullah bin Abbas mengatakan hadits berikut ini, ”Rasulullah melarang menikahi berbagai macam wanita, kecuali
wanita-wanita yang mukmin dari kalangan Muhajirin dan mengharamkan mengawini wanita-wanita beragama selain Islam " . Allah SWT telah berfirman : ” Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amal-amalnya ”.Telah menikah T}alhah bin Abaidillah seorang wanita Yahudi, dan H}udhaifah bin Yaman menikahi wanita Nasrani, maka Umar bin al-Khattab sangat marah mendengarnya, hampir-hampir ia menghajar keduanya. Tetapi keduanya
212
Sekaligus turunnya ayat al-Maidah/5:5, merupakan pengkhususan terhadap ayat al-Baqarah/2:221, karena alasan, bahwa ahl al-kita>b berbeda dengan orang musyrik, seperti yang disebutkan dalam QS. al-Bayyinah/98:1[ب َوا ْلم ْش ِر ِكيْنَ م ْنفَ ِّكيْنَ َحتَّى َيأْ ِت ي ِ َلَ ْم َيك ِن الَّ ِذيْنَ َكفَروْ ا ِم ْن أَ ْه ِل ا ْل ِكت (Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata).87 Dengan maksud yang demikian, menurut penafsiran QS.al-Maidah/5:5 ini, menurut Ibn Kathi>r, bahwa halal pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b yang muslimah merdeka [ hara>’ir ] dan terpelihara[afi>fah ].88 Dalam ketentuan lain, kebolehan menikahi wanita ahl alkita>b yang muh}s}ana>t, disamakan dengan status pria ahl al-kita>b dengan isyarat dalam kata ihsa>n ()إحصان, yakni laki-laki yang menjaga diri dari perbuatan zina, bukan saja untuk para wanita, tetapi juga bagi para laki-laki, yaitu laki-laki yang menjaga kehormatan dari perbuatan zina. Karena itu disebutkan dalam teks ( )محصنين غير مسافحين وال متخذى أخذانdalam kata musa>fihin yang artinya laki-laki tukang zina yang tidak pernah kapok melakukan maksiat dan tidak pernah menolak terhadap wanita yang datang kepadanya. Dan tidak pula menjadikan gundik-gundik, yaitu para kekasih yang hidup bagaikan suami-istri tanpa ikatan pernikahan. Karena alasan itulah Imam Ahmad Ibn Hanbal rahimahullah berpendapat bahwa mengatakan, ”Wahai Amirul Mukminin janganlah engkau marah kami akan menceraikannya ", Khalifah Umar menjawab, ” Kalau boleh ditalak, berarti halal dinikahi. Tidak, aku akan mencabut mereka dari kalian, secara hina dina ”. Imaduddin Abi Fida>’i Isma>il Ibn Kathir al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Azi>m ( Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M ), Jilid 2, cet. I, 296. 87 Ima>duddin Abi Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Azi>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M), Jilid 2, cet. I, 83. 88 Ibn Kathi>r, menjelaskan, bahwa maksud al-Muh}s}ana>t adalah al-Hara>’ir (wanita merdeka) dan bukan budak sahaya (’amah), berdasarkan teks (Wa alMuhshanat min al-mu’minat)(wanita yang mu’min dan merdeka), berbeda dengan mazhab Sha>fi’i, yang statusnya al-afi>fah (terjaga, terpelihara), apakah Ia wanita merdeka (hurrah) ataupun budak sahaya (’amah), berdasarkan QS. al-Taubah/9:29, dan menurut Jumhur mereka adalah yang terjaga atas perbuatan zina (muh}s}ana>tun ghairu musa>fiha>t Wala> mutakhiza>t akhza>n ). Berbeda lagi dengan Ibn Umar r.a yang menolak pernikahan dengan wanita Nasrani, berlandaskan atas keumuman ayat QS.al-Baqarah/2:221 ini. Imaduddin Abu Fida’ Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M), Jilid 5, cet. I, 83-84.
213
tidak sah menikahi wanita pezina sebelum ia bertobat dari perbuatannya itu. Dan bilamana wanita itu masih tetap berprilaku seperti itu, sebagai pelacur, maka tidak sah dikawini oleh laki-laki yang menjaga kehormatannya, demikian juga menurut pandangan Imam Ahmad, bagi laki-laki pezina tidak melakukan akad nikah kepada wanita yang memlihara kehormatannya.89 Jadi kesimpulan Ibn Kathir, menyatakan kebolehan menikah baik, bagi laki-laki muslim kepada wanita yang (muh}s}ana>t), atau bagi laki-laki yang muh}s}ini>n menikah dengan wanita muslimah. 2. Jala>luddin Al-Mahalli ( w. 864 H / 1455 M ), Tafsi>r Jala>lain Jala>luddi>n Al-Mahalli bersama muridnya Jala>luddi>n al90 Suyu>t}i, menafsirkan Qs. Al-Baqarah/2:221 ini, sejalan dengan beberapa mufassir pada umumnya yang melarang seorang muslim menikah dengan wanita musyrik (Ka>fir), dan pelarangan itu, tidak diperuntukkan kepada wanita ahl al-kita>b, sebagaimana menurut ayat al-Maidah/5:5[ ] والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم, dengan alasan pengecualian terhadap wanita muh}s}ana>t yang merdeka, yang terpelihara dari tuduhan perbuatan zina. 91 Demikian hal itu berlaku larangan terhadap wanita muslimah yang ingin dinikahi pria musyrik atau pria kafir (al-Kufa>r), dengan alasan demi menghidari ajakanajakan mereka, yang membawa kepada jalan ke menuju Neraka [ يدعوا ] إلى النار, karena Islam datang, berdakwa dan menyerukan kepada jalan menuju Surga. 92 89
Lihat pembahasan Bab III, tentang larangan Umar bin Khattab, dengan ketidak setujuannya, menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kita>b, karena bersumber hadith Nabi, ” Kitab boleh menikahi wanita ahl al-Kitab, tetapi pria mereka tidak boleh menikah dengan laki-laki ahl al-Kitab ”. Hal itu, karena rasa kekwatiran Umar r.a terhadap pernikahan Talhah, dan itu bukan berdasarkan teks al-Qur’an. Imaduddin Abu Fida’ Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > , 84, 297. 90 Jala>luddin Al-Mahalli dan Jala>luddin al-Suyuti, Al-Qur’an al-Kari>m Wa Biha>misihi Tafsir al-Imamain al-Jala>lain (t.tp : Dar Ibn Katsir, t.th), 9-10 91 Jala>luddin bin Muhammad bin Ahmad bin Muhamad Al-Mahalli dan Jala>luddi>n Abdurahaman bin Abu Bakar al-Suyu>t}i, Al-Qur’an al-Karim Wa Bihamisihi Tafsir al-Imamain al-Jalalain ( tahqiq : Abdul Qa>dir al-Arfaut} )( t.tp : Dar Ibn Katsir, t.th ), 107. 92 Pada abad ke 10 H ini, dalam perkembangan studi al-Qur’an ( ilmu alQur’an ), sedang dalam mengalami kemunduran, hanya salah satu pengarang, yaitu al-Suyuti yang muncul, yang kurang lebih telah menghasilkan karyanya sekita enam kitab, salah satunya, Tafsi>r Al-Du>rr Mantsu>r FiTafsi>r Bi Al-Ma’tsu>r.
214
3. Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( w. 911 H/1505 M), Tafsi>r Al-Du>r Manthu>r Fi Tafsi>r Bi Al-Ma’thu>r Al-Suyuti, 93 dalam menafsirkan QS. al-Maidah/5:5 ini, membolehkan bagi seorang muslim menikah dengan wanita ahl-alKita>b, tidak sebaliknya. Akan tetapi al-Suyut}i tidak menetapkan kriteria al-muh}s}ana>t, melainkan hanya menyebutkan, dua kriteria ahl al-kita>b yang disebutkan dalam al-Qur’an, sebagaimana yang dikutipnya dari riwayat Qata>dah, di antaranya, yaitu, (1). Makna alMuh}s}ana>t yang dimaksudkan adalah wanita yang beriman dari ahl alkita>b, yang terpelihara kehormatannya, dan ke (2). Membersihkan diri dari setiap hadath besar (Jina>bah). Dengan mengutip pendapat Ibn Abba>s r.a, bahwa Ahl al-Kita>b itu halal untuk dinikahi, karena mereka beriman kepada kitab Taurat dan Injil. 94 Pendapat tersebut, dibenarkan sesuai dengan perkataan Rasulullah SAW yang membolehkan pernikahan semacam ini dengan sabdanya,[ نتزوج نساء ”]أهل الكتاب وال يتزوجون نساءناNatazawaju Nisa>’a ahl al-kita>bi, Wala> Yatazawwaju>na Nisa>’ana>”,[ kita boleh menikahi wanita ahl al-kita>b, sedangkan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita(muslimah)].95 Naman lengkapnya adalah Jaluddin Abu Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar AlSuyu>t}i. Dilahirkan di Kairo pada tahun 849 H/1445 M . Dan Ia wafat pada tahun 911 H di kota Kairo. Jalaluddin bin Muhammad bin Ahmad bin Muhamad AlMahalli dan Jalaluddin Abdurahaman bin Abu Bakar al-Suyu>t}i, Al-Qur’an alKari>m Wa Biha>misihi Tafsir al-Imamain al-Jalalain (tahqiq : Abdul Qadir alArfauth)(t.tp : Dar Ibn Kathir, t.th), 35, Syeikh Muhammad Said Mursi,TokohTokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (Idzamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan Min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk)(Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2007), cet. 1, 349-350. 93 Jala>luddi>n al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li aBu’uth Wa Al-Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M), cet. I, Juz 2, 565. 94 Jala>luddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li aBu’uth Wa Al-Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/2003 M), cet. I, Juz ke-5, 198-199. 95 Diriwayatkan Ibn Jarir yang bersumber dari Ibn Abbas tentang halalnya pernikahan.
وأخرج. أحل لنا طعامهم ونساءهم: أخرج ابن جرير عن ابن عباس فى األية قال من. أحلت ذبائ اليهود والنصارى ِ إنما: والحاكم وصححه عن ابن عباس قال, الطبرانى
215
4. Al-Alu>si (w. 1270 H ), dalam kitab tafsirnya, Ru>h al-Ma'a>ni Fi Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni. Menurut Al-Alu>si96 dalam menafsirkan QS. al-Maidah/5:5, adalah masih umum dalam hal kebolehan menikahi wanita ahl alkita>b, dengan catatan, bahwa Ia berstatus telah beriman. Al-Alu>si tidak menyetujui pernikahan pria muslim dengan wanita harbiya>t, berdasarkan QS. al-Muja>dilah/58:22, dengan alasan mereka sebagai musuh orang-orang Islam. Akan tetapi ketidaksetujuan itu, bukan berarti suatu keharaman atas pernikahan, melainkan hanyalah bersifat tercela, karena tujuan dalam suatu pernikahan, menciptakan rasa
قال رسول: وأخرج ابن جرير عن جابر بن عبد هللا قال. أجل أنهم أمنوا بالتوراة واإلنجيل وال يتزوجون نساءنا, نتزوج نساء أهل الكتاب: هللا صلى هللا عليه وسلم Dikeluarkan oleh ibn Jarir dari Ibn Abbas dalam salah satu ayat, ia berkata : dihalalkan bagi kita makanan sembelihan Yahudi dan Nasrani, dan boleh menikahi wanita mereka. Dalam riwayat yang lain, dikelurkan oleh al-T}abra>ni dan al-Ha>kim dan telah ditashihnya, dari Ibn Abbas r.a berkata : sesungguhnya telah dihalalkan sembelihan dari Yahudi dan Nasrani, karena alasan, bahwa mereka beriman terhadap kitab taurat dan injil. Dan Ibn jarir meriwayatkan yang bersumber dari Jabir bin Abdullah, berkata, Nabi Bersabda : Kita boleh menikahi wanita ahl al-kitab, dan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita. Jala>luddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r (tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo:Markaz Hijr Li a-Bu’uth Wa Al-Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/2003 M), cet. I, Juz ke-5, 198. 96 Al-Alusi dikenal seorang yang sangat cerdas, berwawasan luas, dan berfikiran jernih. Dan pada usia 13 tahun sudah mulai belajar dan berkarya, yaitu mulai beraktifitas tulis-menulis, sambil bersekolah di lembaga pendidikan dekat rumahnya, sebuah universitas yang didirikan oleh Abdullah al-Aquli di daerah Rasafah. Ia sangat menguasai masalah perbedaan mazhab, agama dan aliran-aliran, seorang yang menganut mazhab salaf dalam bidang aqidah, dan mazhab Shafi'ih dalam bidang fiqh. Hanya saja ia juga betaqlid kepada Abu Hanifah dalam banyak masalah, namun pada akhir usianya ia lebih cenderung berijtihad dengan sendiri. Ia telah meninggalkan khazanah keilmuan yang luar biasa, di antaranya yang sedang kita bicarakan, yaitu Tafsir Ru>h al-Ma'a>ni Fi Tafsi>r al-Qur'a>n al-Azhi>m Wa alSab'u al-Matha>ni. H}a>shiyah Ala> al-Qat}r, Sharh al-Sulam fi al-Mantiq, al-Ajwibah al-Ira>qiyah Ala al-As’ilah Ira>niyah, Durah al-Ghawa>sy Fi Awham al-Khawa>s}, al-
Nufaha>t al-Qudsiyah Fi> Maba>hith al-Ima>miyah, al-Fawa>’id al-Sunniyah Fi ilmi Adab al-Bahs. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008 ), 121, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H /1976 M), Juz. I, cet. Ke-6, 251.
216
kedamaian dan kasih sayang menurut QS.al-Taubah/30:20.97 Akan tetapi terhadap wanita al-muh}s}ana>t, Alu>si membolehkannya menikah dengan wanita-wanita yang telah masuk Islam atau yang asalnya telah beriman. Bertentangan memang dengan pendapat Ibu Umar, yang menafsirkan secara zahir ayat, karena Ibn Umar r.a mengharamkan pernikahan tersebut, berdasarkan hadits Nabi SAW, yang bersumber dari Ibn Abbas, bahwa Nabi bersabda:” Rasulullah telah melarang menikahi berbagai macam wanita, kecuali wanitawanita yang beriman di antara muhajirin, dan mengharamkan wanitawanita selain yang beragama Islam. 98 Selain alasan di atas, diperkuat dengan hadith lain, yang bersumber dari Abdullah bin Ja>bir r.a.
" أنه سئل عن نكاح, وابن المنذر عن جابر بن عبد هللا, أخرج عبد الرزاق تزوجناهن زمن الفت ونحن النكاد نجد: المسلم اليهودية والنصرانية فقال . المسلمات كثيرا فلما رجعنا طلقناهن Diriwayatkan oleh Abdu Razaq, dan Ibn Munzir dari Jabir bin Abdullah, ketika Rasulullah ditanya, tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, Rasulullah SAW menjawab : Kita menikahi mereka ketika zaman fath (Fathu Makkah), karena sulit mendapatkan wanita-wanita muslim, namun setelah selesai 99 peperangan, kami menceraikan mereka.
Dari keterangan-keterangan di atas, al-Alu>si membolehkan, menikahi wanita muh}s}ana>t (ahl al-kitab), karena alasan, tidak mendapatkan wanita lain (muslimah), selain mereka, akan tetapi setelah peristiwa Fathu Makkah tidak lagi dibolehkan. Bagaimana tentang pernikahan dengan pria ahl al-kita>b ? Hampir, semua 97
Abu Fadl Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Azhi>m Wa Sab’u al-Matsa>ni (Beirut : Ida>rah al-Thaba’h Al-Muniriyah Dar Ihya’ al-Turats Al-Arabi, t.th), Juz ke- 6, 66. 98 Lihat. Pembahasan Ibn Jarir al-T}abari dalam Bab III, Lihat. Abu Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>an> al-‘Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni, 66. 99 Abu Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni, 6, 66. 99 Abu Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Azi>m Wa Sab’u al-Matha>ni, 66.
217
keterangan mufassir tidak menjelaskan, secara rinci tentang menikah dengan pria ahl al-Kita>b, karena menurut mereka telah sepakat dengan paham itu, sebagaimana dengan hadith Nabi S.A.W, dan telah bersepakat Jumhur dengan Ijma’, bahwa menikahi pria ahl al-kita>b tidaklah dibolehkan. Sebagaimana bunyi hadith Nabi S.A.W. ” ( ()نتزوج نساء أهل الكتاب وال يتزوجون نساءناkita boleh menikahi wanita ahl al-kitab, sedangkan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita (muslimah)”.100 Sebagai kesimpulan dari beberapa penafsiran ulama-ulama tafsir abad pertengahan II di atas, yaitu, menurut Ibn Kathir, Ia membolehkan menikah dengan wanita ahl al-Kita>b yang beriman, merdeka [hara>’ir ], dan terpelihara dari tuduhan zina. Demikian juga menurut Jala>luddin al-Mahalli, yang hanya menambahkan alasannya, karena kwawatir terhadap ajakan mereka, yang dapat berpengaruh kepada jalan sesat (neraka), sementara menurut al-Suyu>t}i, boleh nikah dengan wanita muh}s}ana>t, karena mereka wanita terhormat, dan menjaga diri dari sifat tercela dan mandi hadath dari setiap Jina>bah. Sedangkan menurut Al-Alu>si membolehkan menikahi mereka, ketika tidak mendapati wanita muslim, di zaman perang, tetapi setelah Fathu Makkah, tidaklah berlaku lagi status pernikahan itu. H. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Modern-Kontemporer Karya-karya tafsir ulama-ulama tafsir modern-kontemporer, seperti Muhammad Abduh (w. 1332 H/1905 M), Muhammad Rashi>d Rid}a> (w. 1354 H/1935 M), Al-Mara>ghi (w. 1371 H/1945 M), Sayyid Qutb (w. 1386 H/1966 M), Ali Al-S}a>bu>ni (w. 1406 H/1986 M) dan sebagainya, perlu dipelajari dan dikaji kembali untuk mengetahui lebih jelas, sejarah sosial, pemikiran, serta metodologi penafsiran mereka, tarkait penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, antara pernikahan muslim dengan wanita al-muh}s}ana>t [ahl al-Kita>b], sebagaimana yang terkandung dalam QS. Al-Maidah/5:5. Lalu pandangan menurut ulama tafsir abad ke 20 M ini atau abad ke-14 H, dapat ditelusuri juga melalui pandangan-pandangan ulama tafsir, seperti Abu> al-'Ala> Al-Maudu>di (w. 1979 M), Syeikh Mohammad Shaltu>t (w. 1963 M), dan sebagainya, yaitu : 100
Lihat. Ibn Kathi>r, ‘Umdatu al-Tafsi>r An al-Ha>fidh Ibn Kathi>r Mukhtas}ar Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}im > , (Tahqiq: Syeikh Ahmad Syakir), Mansu>rah: Da>r al-Wafa>’ Lit}aba>’ah Wa Nasr Wa Tawzi>’, 1426H/2005), Cet II, 265 .
218
1. Muhammad Abduh (1266-1332 H / 1849-1905 M) dan Rashi>d Rid}a (1282-1354 H/1865-1935), dalam kitabnya, Tafsi>r Al-
Mana>r
Sebagai seorang mufassir yang lahir di era kebangkitan Islam, Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a 101 dalam kitab tafsirnya mereka mengangkat isu-isu kontemporer dengan mencoba menjelaskan beberapa persoalan, yang terkandung dalam QS. Al-Maidah/5:5, salah satunya, mengenai makna al-Muh}s}ana>t, yang terkandung dalam ayat [Wal al-Muh}s}ana>t Mina Al-Mu’mina>t, Wa al-Muh}s}ana>t Mina al-Lazi>na utu> al-Kita>b…...]. Menurut Rashi>d Rid}a terdapat dua pengertian makna muh}s}ana>t, yaitu al-Hara>’ir (merdeka) dan al-Afa>if (terpelihara). Akan tetapi dalam hal ini Rashi>d Rid}a, lebih memilih makna al-muh}s}ana>t dalam pengertian al-afa>'if (terpelihara), yang berbeda dengan pandangan ulama-ulama sebelumnya, seperti Ibn Jari>r al-T}abari yang merupakan penafsiran yang bersumber dari para ulama kalangan sahabat, seperti, Ibn Abba>s, Muja>hid, yang lebih memilih makna al-hara>'ir sebagai wanita merdeka.102Alasan itu dikemukakan Rashi>d Rid}a, karena menurutnya, lebih kuat, yaitu seorang pria atau wanita bila telah menikah, maka harus saling 101
Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a adalah sosok ulama tafsir yang sangat idealis dan moderat, keduanya memiliki kemampuan yang berbeda dalam menafsirkan kitab al-Qur’an. Selain, keduanya memiliki kemampuan yang berbeda, tetapi tujuannya sama-sama ingin menjadikan Al-Qur’an, sebagai kitab petunjuk dan pemberi jalan keluar dari problematika umat, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, intelektual masyarakat, dan memerangi taqli>d, memberantas kurafa>t, dengan mengedepankan akal dan fikiran serta alasan-alasan yang logis, sesuai petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, Rasyid Ridha dikenal sebagai Mufasir, sekaligus ilmuwan yang sangat luas, walaupun terdapat beberapa perbedaan pendapat dengan pendahulunya, bahkan kepada gurunya sekalipun, Syeikh Muhammad Abduh, Ia tetap konsisten dan kritis terhadap pandanganpandangan pribadinya, sehingga dengan sikapnya yang kritis tersebut, wajarlah ia menerima gelar dari gurunya, dan juga restu dari kalayak ramai, dengan sebutan, al-Ustadz al-Imam. Al-Sayyid Muhammad Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Minhajuhum (Teheran : Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H), 664-665, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Juz. I, cet. Ke-6. 405-407,M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar (Jakarta : Lentera Hati, 2006), 143-144, 182-183. 102 Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beiru>t : Da>r al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th), Jilid 6, 151.
219
menjaga diri dan memelihara dari perbuatan tercela, apalagi berbuat zina. Demikian makna yang terkandung dalam kata muhsisni>n [ ] محصننينsebagaimana bunyi teks []مُحْ صِ ننِينَ ََ ْينََ مُسَ نافِحِينَ َوتَ ُم ذتَِنذِي أَ َْندَ ان, menurut Qs.al-Maidah/5:5.103 Akan tetapi bagi yang memaknai almuh}s}ana>t, bermakna al-h}ara>'ir (merdeka), maka menikahi wanita ahl ُ ص َن al-kita>b, tidaklah dibolehkan, bedasarkan QS.al-Nisa’/4:24[ ات َ َْوا ْلمُح ُ َ َُّااو َ َ َء َكالِ ُكا ْم أَن َت ْو َت ُ اوا ِواََمْ َوالِك ْم ُ ُ ُ ُ َّ َ َ َ ْ م َِن ال ِّن َسآ ِء إِال َما َمل َك َ ااَ ِِ ََلا ْيك ْم َوأحِا َّل لكام م َ ت أ ْي َمانك ْم ِك َت 104 ِين َ ِين ََيْا َ م َُساافِح َ ]مُحْ صِ ان. Demikian juga menurut pendapat Mazhab alSyafi’i, sebagaimana yang dianut sebagian ulama kalangan sahabat, seperti, Ibn Abba>s, Muja>hid, yang juga diikuti oleh Ibn Jari>r alT}abari, dari keterangan Sofyan Thauri, al-Sha’bi, al-Hasan, al-Suddi dan al-D}aha>q, yang berpendapat, bahwa mereka mandi setiap berhadats besar [jina>bah]. 105 Sedangkan menikahkan wanita muslimah dengan pria ahl alkita>b, telah dijelaskan menurut ayat al-Maidah5/:5, yang menurut Rashid Rid}a, telah bersepakat ulama, baik menurut al-Sunnah atau Ijma’, diqiyaskan sebagaimana larangan menikahi pria musyrik, karena alasan, seorang pria ahl al-kita>b, lebih kepada wilayah kepemimpinan. Seorang pria sebagai pemimpin dalam keluarga dan kaum wanita (istri). Sebaik-baik perlakuan adalah contoh yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Namun dalam pernikahan seorang wanita lemah dan tidak kuat dalam hal kepemimpinan dari pria, maka dalam pernikahan semacam ini, tidak nanpak sisi 103
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t : Da>r al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 151. 104 Terjemahan QS./5:24, [Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki ( Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.]. Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press), 158. 105 Sejumlah Mufassir Sahabat berselisih pendapat antara arti kata alMuh}s}ana>t yang berarti al-Hara>’ir (merdeka), sementara yang lain memahami alAfa>’if (terjaga). Rasyid Rida mengambil jalam tengah, dengan maksud makna mushtarik lafdzi, atau jika tidak, maka menurutnya, pendapat yang terpilih adalah makna al-Hara>ir, mereka orang merdeka, yang terpelihara dari perbuatan zina. Dengan demikian, larangan menikahi wanita ahl al-kitab (yang merdeka), jika demikian pasti tidak berlaku, bagi yang hanya sekedar terjaga (al-Afa’if ) karena, alasan mereka lebih lemah dari yang merdeka. Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beirut : Dar alKutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 351.
220
positipnya, maka statusnya disamakan, seperti menikahi pria musyrik, sebagai landasan pemahaman dalil yang terkandung dalam nas}, bukan berdasarkan teks. Selain karena beralasan, bahwa seorang pria lebih berhak mengurus pernikahannya sendiri yang berbeda dengan seorang wanita, yang tidak bisa dilakukannya, melainkan atas dasar persetujuan orang tua atau walinya.106 2.
Al-Mara>ghi ( 1300-1371 H )/( 1883-1952 M ), dalam Tafsir Al-
Mara>ghi Al-Mara>ghi107 dalam menafsirkan QS. al-Maidah/5:5, setelah selesai menjelaskan status kebolehan atas sembelihan yang dilakukan ahl al-kita>b, kemudian menjelaskan ketidakbolehannya menikahi wanita mereka. Akan tetapi bila hal itu terjadi, Ia hanya 106
Lihat. Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beirut:Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 2, 283. 107
Al-Mara>ghi merupakan sosok ulama yang mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu. Di sela-sela kesibukannya mengajar, ia menyisihkan waktunya untuk menulis, diantara karyanya yang populer benama Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m yang dikenal denganTafsir al-Mara>ghi. Gaya penafsiran Al-Mara>ghi tercermin dalam karya penulisan Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a>, dalam tafsir al-Mana>r, baik dari sisi metodologi serta pemikirannya, yang mengikuti ilmuan serta pembaharu kedua tokoh tersebut, sehingga ada sebagian yang menilainya, tafsir al-Mara>ghi adalah penyempurna tafsir al-Mana>r. Nama lengkap Ahmad Must}afa al-Mara>ghi adalah Ahmad Must}afah bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Mara>ghi. Dia adalah seorang ahli tafsir, ahli fiqh. Dia saudara kandung Muhammad Musthafa Al-Mara>ghi, Sheikh al-Azhar. Dia lahir di kota Mara>ghah, sebuah kota yang terletak di pinggiran sungai Nil, kira-kira 70 km, arah selatan kota Kairo, pada tahun, 1300 H/1883 M. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Maraghi karena dinisbahkan pada kota kelahirannya, Al-Mara>ghi menetap di Hilwan, sebuah kota sekitar 25 km dari Kairo, hingga ahkir hayatnya, pada usia 69 tahun (1371 H/1952 M). Dia telah menghafal al-Qur’an sejak ia tinggal di kampungnya, menimba ilmu dari Bapaknya, kemudia ia masuk al-Azhar. Ia belajar juga dari Mohammad Abduh, sehingga menguasai metodologi islahnya. Dia meraih sertifikasi International pada tahun 1904 M, dan termasuk diantara mahasiswa termuda di kalangannya, ditunjuk sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Syari’ah, kemudian menjadi Hakim Agung di sudan setelah mampuh menguasai bahasa Inggris. Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (’Iz}amu al-Islam ’Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan Min alZaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk)(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 389, Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Minhajuhum (Teheran : Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H ), 357-358, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan Madani, 2008),146-149, 151152, 156.
221
menetapkan sebagai syarat mutlaknya, adalah bahwa wanita ahl alkita>b yang boleh dinikahi adalah yang berstatus muh}s}ana>t, merdeka (hara>’ir), beriman, halal menikahi wanita mereka baik yang berasal dari Bangsa Yahudi setelah membayar mahar kepada mereka.108 Akan tetapi apabila, ahl al-kita>b itu tidak beriman atau musyrik, maka secara zahir na>s}, baik menurut al-sunnah maupun Ijma’, telah sepakat ulama mengharamkan menikahi pria mereka, karena dibalik hikmah, rahasia pengharaman itu, kedudukan seorang wanita tidak sebanding haknya dengan seorang pria dalam rumah tangga. Karena pada kenyataan yang terjadi dalam pernikahan, kedudukan pria lebih kuat dibanding wanita dalam hal kepemimpinan, dan seorang suami yang non muslim lebih dominan membawa kemusyrikan, karena timbulnya sama>hah [toleransi] yang berlebihan, seperti dalam hal beribadah dan sebagainya. Jika demikian, dalam pandangan ini, harapan untuk mencapai keluarga saki>nah, mawaddah dan rahmah, akan sulit dicapai, melainkan akan munculnya banyak perselisihan dan perpecahan, bahkan perceraian.109 Demikian Al-Maraghi juga menyebutkan pendapat Abu Hanifah dengan beberapa seleksi ketat, bila syarat tersebut telah disepakati, tak lain tujuannya menjaga kehormatan mereka, baik pria ahl al-kita>b atau wanita ahl al-kita>b yang akan dinikahi, dengan terpeliharanya dari perbuatan keji. Apabila mereka melanggar ketentuan yang telah ditetapkan atau melanggar syari’at Islam, maka
108
Ahmad Must}afa Al-Mara>ghi,Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah Maktabah Wa Mat}ba’ah Must}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945 M ),Juz ke-6, cet. I, 59. 109 Berpengaruh hubungan pernikahan wanita muslimah dengan pria musyrik, di masyarakat Mesir.Bahwa pernikahan Wanita Muslim Mesir dengan pria Inggris, menjalin hubungan keluarga yang tidak layak, rusaknya hubungan antara keluarga, dengan berpindahnya tempat, selain, agama dan masyarakat, bahkan pengarus keimanan terhadap hubungan suami-istri dalam beberapa hal, sehingga keharmonisan dengan tujuan hidup berkeluarga sulit tercapai. Dengan demikian, tidak akan terlihat, hikmah dari pernikahan semacam ini. Karena dasar pernikahan menumbuhkan kasih sayang yang dasarnya dasar cinta karena Allah, dan ketentraman tercipta dengan meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa. Lihat. Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi, Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945 M), Juz ke2, Cet. I, 154.
222
akan batal-lah status pernikah itu, [] ومنن يكفنر باإليمنان فقند حنبط عملنه, dan akan hapus segala amal baik yang telah diperbuatnya.110 Dengan kata lain, menurut al-Mara>ghi, bahwa telah dibolehkan menikahi wanita ahl al-kitab atau pria ahl al-kitab, yang statusnya telah beriman, menjaga kehormatan dan terpelihara dari perbuatan keji. 3.
Muhammad Sayyid Qutb (1326-1386 H)/(1906-1966 M), dalam Tafsi>r Fi> Z}ila>l Al-Qur’a>n. Penafsiran Sayyid Qutb,111 QS. Al-Maidah/5:5, sejalan dengan penafsiran umumnya para ulama. Bentuk toleransi yang diajarkan Islam dan interaksi yang dibangun merupakan sebagai tujuan dari ajaran syariat ini. 112 Dalam konteks dan interaksi sosial, 110
Dalam ketentuan ini, Al-Maraghi mengutip riwayat Ibn Jari>r yang berasal dari Qata>dah, Ia berkata: bertanya seseorang muslim, bagaimana menikahi wanita ahl al-kitab yang jelas tidak beragama Islam ? Ia hanya menyebutkan jawabanya dengan membacakan ayat ()ومن يكفر باإليمان فقد حبط عمله. Ahmad Must}afa Al-Mara>ghi, Tafsir Al-Mara>ghi,(Kairo: Shirkah Maktabah Wa Mat}ba’ah Must}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945 M ),Juz ke-6, cet. I, 60 111 Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutub bin Ibrahim bin Husein alSyazili. Ia dilahirkan di kampung Muwa>syah, kota Asyut, Mesir pada tahun 1906 M. Ia menyelesaikakan pendidikan sarjanya di Dar ulum pada tahun 1933 M, sebuah universitas terkemuka di Kairo, dengan bidang Pengkajian Ilmu Islam dan Sastra Arab dan di tempat tersebut dimana Imam Hasan al-Banna menuntut ilmu sebelumnya. Ia seorang adalah anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Nama ayahnya adalah Al-Hajja Qutub Ibrahim anggota Hizbul Wathan, dan seorang penulis di majalah The Banner (al-Liwa’), dan pada saat Qutub lahir kondisi ekonomi keluarganya dalam kondisi krisis. Shahrough Akhavi, Sayyid Qutub, dalam John L. Espo Sito (Ed), el.al. The Expord Encyclopedia Of The Modern Word, Vol III, (New York : Expord Univercity Press, 1995 ), 400404, Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufassiru>n Fi> Tafsi}r al-
Ashr Al-H}ad>ith, Ard Wa Dira>sah Mufas}alah Li Ahka>m Kutub a-Tafsi>r AlMu’a>shir (Bairut : Dar Al-Mairifah, 1424 H / 2003 H), cet. I, 347. 112
Sayyid Qutub merupakan sosok Mufasir di abad ke-19 M, yang menghiasi beberapa lembaran pemikiran Islam abad modern, karena itu, ia dimasukan ke dalam barisan tokoh-tokoh pembaharu Islam lainnya, seperti, Muhammad Abduh, Syeikh Hasan Al-Banna, Syeikh Muhammad Sayyid Ridha, dan lain sebagainya. Di dalam dunia akademis, Sayyid Qutb, banyak menghasilakn karya-karya ilmiah, salah satu karyanya yang fenomenal di bidang tafsir, yaitu, tafsir Fi> Z}ilal al-Qur’an (Dibawah Naungan Al-Qur’an). Dalam beberapa pemikiran tafsirnya, Sayyid Qutb lebih dikenal kepada pemikir pembaharu dalam gerakan-gerakan yang Islami, dan itu dapat terlihat, karena banyak terinspirasi kepada pemikir-pemikir sebelumnya, seperti Al-Maududi, karena itu, sejarah
223
maka berinteraksi dengan ahl al-kita>b dibolehkan, walaupun Islam menolak kebebasan beragama. Lalu dengan itu, tidak berarti boleh meninggalkan akan pentignya kerjasama, baik hubungan muslim dengan non muslim, seperti, hubungan pernikahan. Maka Sayyid Qutb dalam persoalan pernikahan semacam ini, sependapat dengan kebolehan menikahi wanita yang muh}s}ana>t dari ahl al-kita>b yang telah beriman, terpelihara dan terjaga (afa>’if), selain harus bertsatus merdeka (hara>’ir). Karena itu, Sayyid Qutb, juga menyetujui dengan hubungan pernikahan semacam ini, selain, karena mereka memiliki ikatan aqidah yang sama yang dibawanya dalam ajaran-ajaran agama samawi. Sebagai suatu syarat yang harus terpenuhi adalah membayarkan mahar kepada mereka, selain tidak bermaksud berbuat tercela atau keji, dan tidak bertujuan menjadikan wanita piaraan atau gundik. Karena pandangan itu dipahami banyaknya terjadi di masa Jahiliyah, yang dikenal oleh masyarakat Arab sebelum datangnya agama Islam. Kemudian datang Islam membolehkan pernikahan demi mengangkat martabat mereka, untuk tarap kehidupan yang lebih baik lagi. Lalu bagaimana dengan pernikahan para sahabat dengan wanita kitabiya>t di awal Islam ?. Sayyid Qutb mengutip, perkataan Ibn Kathir dalam kitab tafsirnya, “ Berkata Ibn Jarir al-Tabari rahimahullah, bahwa setelah menjadi kesepakatan (ijma’) ulama, tentang kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b, ia menyatakan, sesungguhnya hal itu hanyalah tercela dan sebuah kekwatiran Umar ra. saja atas pernikahan ini, yang berakibat bagi umat Islam akan meninggalkan wanita-wanita muslimah untuk tidak menikahi mereka. Telah diriwayatkan, bahwa Hudhaifah menikahi wanita Yahudi, lalu Umar bin al-Khattab r.a menulis surat kepadanya, “Ceraikan dia“, lalu Hudhaifah membalas suratnya itu, dengan berkata : “Apakah menikahi wanita Yahudi itu haram hingga saya harus menceraikannya ? Umar r.a menjawab : Aku tidak mengatakan hal kehidupan sosialnya, mewarnai pemikiran tafsirnya. Dan di antara beberapa warna tafsirnya, mengagkat masalah-masalah sosial kemasyaralatan (al-Adab alIjtima’i), yang banyak dibutuhkan generasi muslim sekarang ini, oleh karena keunggulan inilah, menjadi nilai positip dalam pemikiran Sayyid Qutb, sebagai sosok mufasir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran al-Qur’an. http://ranah damaiku.blogspot.com.pemikiran Sayyid Qutb, disadur tanggal 10 Nopember 2011, http://www. mediamuslim.net. disadur, tanggal, 10 Nopember 2011. 112 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’an (Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah Wa Nasyr Wa Tawzi’, t.th ), cet. Ke-4, 176.
224
itu haram, akan tetapi, aku kwawatir akan umat Islam meninggalkan wanita muslim karena demi wanita Yahudi itu. Di dalam riwayat lain, Umar mengatakan: Pria muslim boleh menikahi wanita Nasrani, tetapi mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita muslimah “. 113 Kemudian, diakhir penjelasannya, Sayyid Qutb, menyatakan dalam () ومن يكفر باإليمان فقد حبط علمه وهو فنى األخنرة منن الخسنرين, bahwa itu adalah sejalan dengan ajaran (syariat) Islam, yang dasarnya adalah keimanan, sedangkan yang tidak beriman, maka tidak ada jalan atas keselamatan mereka di dunia, dan kesengsaraan dalam kehidupan akhirat nanti, bagi pernikahan terhadap yang bukan beragama Islam.114 4. Muhammad Ali Al-S}a>bu>ni (w. 1406 H/1986 M) Dalam menafsirkan ayat al-Maidah/5:5 ini, Al-S}a>bu>ni sepakat membolehkan pria muslim menikah dengan wanita ahl al-kita>b, sebagai bentuk takhs}i>s} terhadap QS. Al-Baqarah/2:221, dengan alasan, bahwa al-mushrika>t dalam ayat ini, adalah al-wathaniyah (penyembah berhala), yang tidak dihalalkan sembelihan mereka dan tidak dihalalkan menikahi wanita-wanita mereka.115 Sementara pandangan lain dari Al-Sa>bu>ni, terkait menikahi wanita ahl al-kita>b, dengan terpenuhinya syarat dengan status sebagai wanita yang beriman, merdeka (hara>’ir) dan terpelihara (afa>’if) dari perbuatan zina, dan membolehkan menikahi mereka, setelah membayarkan mahar mereka. Kemudian, dalam keterangan al-S}a>bu>ni, mengenai pernikahan dengan pria ahl al-kita>b berbeda pandangan, yang menurutnya, bahwa dalam aspek makanan ()وطعامكم حل لهم, mempunyai dua tujuan, yaitu halal untuk kedua pihak, baik untuk pihak mereka dan untuk orang Islam, sementara dalam pernikahan hanya, dibolehkan menikahi wanita mereka (ahl al-kitab) dan tidak sebaliknya. Karena jika dibolehkan menikah antara pria ahl al-Kita>b dengan wanita muslimah, maka berlaku wilayah kepemimpinan, dan Allah S.W.T telah melarang hal itu dan tidak menjadikan mereka orang-orang kafir, sebagai pemimpin terhadap orang-orang beriman. 113
Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’an (Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah Wa Nasyr Wa Tawzi’, 1398H/1978M ), cet. Ke-7, Jilid I, 241. 114 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’an (Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah Wa Nasyr Wa Tawzi’, 1398H/1978M ), cet. Ke-7, jilid I, 848. 115 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n (Bairut : Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999), cet. I, 383.
225
Berbeda dengan masalah makanan, yang tidak banyak berpengaruh serta tidak banyak mendatangkan mudarat.116 Kemudian Al-S}a>bu>ni menyebutkan, pandangan Ulama yang membolehkan pernikahan, dengan menyebutkan pendapat Jumhur ulama fiqh, dengan alasan telah dibolehkan menikahi wanita zimmiyah dari Yahudi dan Nasrani, dengan landasan QS. AlMaidah/5:5, selain menyebutkan pandangan ulama yang menolak, termasuk Ibn Umar r.a, karena beralasan dengan QS. AlBaqarah/2:221 itu, dengan ungkapan, bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari perkataan seorang wanita, tuhannya adalah Isa, juga berlandasan untuk slalu menjahui terhadap orang-orang yang memusuhi Islam ( ( الَ َت َّتخ ُِكوا ََدُوِّ ي َوََ دُوَّ ُك ْم أَ ْولِيَآ َءQS. Al-Mumtahanah/60:1. Tetapi diakhir keterangannya, Ia hanya mengkritik pandangan itu, bahwa ayat al-Maidah secara sari>kh (tegas) telah mengizinkan kebolehannya, akan tetapi bagi yang menolaknya, karena Ibn Umar r.a merasa kwawatir dengan pernikahan yang membawa dampak negatip dan menimbulkan fitnah terutama pada suami dan anak-anak. Karena pernikahan menumbuhkan rasa kecintaan, dan lebih dari itu, besarnya kecintaan itu dapat membawa pengaruh pada kehidupan rumahtangga, yang berdampak pula pada kehidupan anak-anak khususnya, karena seorang anak biasanya lebih dekat kepada ibunya ketimbang kepada ayahnya. Dan karena alasan itulah dasar pengharaman itu dilontarkan. Dan apabila sudah tidak ada lagi hambatan selain fitnah yang akan ditimbulkan, maka tak ada alasan bagi ulama untuk menolak pernikahan semacam ini. 117 5. Wahbah al-Zuhaili (1351 H/1932 M), dalam kitabnya, Tafsir al-Muni>r. Menurut Wahbah Zuhaili118 dalam kitabnya, Tafsir al-Muni>r, menafsirkan QS. Al-Maidah/5:5 ini, sejalan dengan para mufasir 116
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n (Bairut : Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999), cet. I, 381. 117 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n, 384 118 Dia lahir di Dair At}iyyah, yang terletak di pelosok kota Damascus, Syria pada tahun 1351 H/ 1932 M. Nama lngkapnya Wahbah bin Musthafa alZuhaili. Seorang putra syeikh Must}afa al-Zuhaili, seorang petani sederehana yang sangat alim, hafal al-Qur'an, rajin beribadah, dan gemar berpuasa. Sejarah keilmuannya, dimualai dari bimbingan ayathnya, Wahbah, mengajarkan dasardasar agama Islam. Pendidikan formalnya, ia jalani hingga mecapai pendidikan di bangku kuliah dan meraih gelar sarjananya pada tahun 1953 M di fakultas Syariah
226
pendahulunya, seperti, al-T}abari, al-Zamakhshari, al-Qurt}ubi, alRa>zi, Abu Hayyan dan sebagainya. Dalam penafsirannya, Ia sepakat dengan Jumhur Ulama, membolehkan makanan hasil sembelihan ahl al-kita>b dan menurutnya juga, ahl al-kita>b adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang diturunkan Allah kepada mereka, melalui para nabi, yang menyampaikan ajaran Taurat dan Injil. 119 Selain itu Wahbah Zuahili menegaskan, bahwa halalnya, sembelihan ahl alkita>b, berlaku pula hukum timbal balik, yaitu halal sembelihan mereka bagi orang-orang Islam. Tetapi dalam hal pernikahan, tidaklah sebaliknya, bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahl al-kita>b, sementara bagi pria ahl al-kita>b tidak boleh menikahi wanita-wanita muslimah. 120 Wahbah Zuhaili juga, setuju dengan menikahi wanita al-muh}s}ana>t, 121 yang dipahami sebagai wanita beriman dari kalangan ahl al-kita>b yang merdeka lagi terpelihara dari perbuatan zina, yang tidak terkecuali, apakah Ia berasal dari bangsa Yahudi atau Nasrani, dan tidak membedakan antara status mereka Universitas Damascus. Dan pada tahun 1956 M, ia meraih gelar doktornya, dalam bidang syariah dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia mengajar di salah satu fakultas Syariah di Universitas Damascus, pada tahun 1963 M, dan kariernya terus melaju, sampai menjadi salah satu dekan di salah satu jurusan Fiqh al-Islami, hingga menjadi guru besar. Keilmuan Wahbah berbanding dengan hasil karya-karyanya, himpir sekitar 30 buku, dianatarnya, karya dibidang tafsir, bernama, al-Tafsi>r alMuni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa al-Manhaj (16 jilid), lengkap di mulai dari surat al-Fatiha hingga surat al-Nas. Dalam pemikiran tafsirnya, ia sebagaimana disebutkan oleh Ali Iyazi dalam kitabnya, al-Mufassirun Haytuhum Wa Minhajuhum, ia mengatakan, bahwa Wahbah dalam tafsirnya, menggabungkan antara tafsir bi ra'yi (berdasarkan akal ) dan tafsir bi iwayah ( berdasarkan riwayat), serta menggunkan bahasa kontemporer yang lugas serta mudah dimengerti. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 174-175, al-Sayyid Muhammad Ali Iya>zi, alMufassiru>n H}aya>tuhum Wa Manhajuhum (Teheran:Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H ), 684-690. 119 Wahbah Zuhaili, al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa al-Manhaj (Beiru>t ; Da>r Fikr al- Mu'as}ir, t.th), Juz ke-5, 94. 120 Wahbah Zuhaili, al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa al-Manhaj (Beiru>t ; Da>r Fikr al- Mu'as}ir, t.th ), Juz ke-5, 94. 121 Pendapat Zuhaili, terkait al-Muhs}ana>t yang dipahami sebagai wanita merdeka (hara’ir), sebagaimana dimaksudkan Mujahid dan Jumhur Ulama dan juga setuju, bila pahami adalah wanita yang terpelihara (afa’if), lagi cerdas dan berakal, yang terhindar dari tuduhan berbuat zina, dalam pandangan Ibn Abbas. Wahbah Zuhali, al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa al-Manhaj (Beiru>t ; Da>r Fikr al- Mu'asir, t.th ), Juz ke-5, 99.
227
yang zimmi atau harbi, yang terpenting menjadi syarat adalah telah membayar mahar mereka. Menurutnya juga, sebagai persyaratan mutlak, bahwa, terkait pemberian mahar, wajib didahulukan, alasan menurut mazhab Hanafi sebagai mazhab anutannya, karena selain boleh menikahi wanita selain yang bertatus merdeka, maka tidak mengapa menikahi wanita yang berstatus budak, asalkan ia beriman, sebagaimana kesepakatan menurut pandangan Abu Hanifah. 122 6. Mutawwalli Sha’ra>wi, dalam kitabnya, Tafsir al-Sha’ra>wi (Tafsir Sha’ra>wi, Renungan Seputar Kitab Suci) Mutawalli al-Sha’ra>wi123 menafsirkan ayat al-Maidah/5:5 ini, terkait al-Muh}s}ana>t, dengan merujuk kepada dua pengertian, yaitu (1). wanita yang merdeka, dan ke (2). wanita yang telah menikah. Dalam kata ihs}a>n ( )إحصانterkandung arti memelihara diri dari pergaulan yang tidak baik. Karena di masa Jahiliyah, wanita-wanita merdeka tidak perna terdengan melakukan perbuatan zina. Perbuatan zina, hanya terbatas pada hamba sahaya, karena hamba sahaya tidak memiliki seorang ayah-ibu, atau saudara, sehingga mereka dianggap tidak memiliki kehormatan. Oleh sebab itu, ketika Hindun seorang istri Abu Sofyan, mendengar tentang peruatan zina, dia bertanya kepada Rasulullah, apakah ada wanita merdeka yang melakukan itu ? Seakan-akan wanita merdeka di zaman Jahiliyah tidak pernah terdengar melakukan perbuatan zina, karena mereka dapat menahan diri. 124 Mutawwali Al-Sha’ra>wi lebih memilih, makna al-muh}s}ana>t dengan pengertian wanita yang telah menikah, karena Allah S.W.T 122
Wahbah Zuhali, al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa alManhaj (Beiru>t ; Da>r Fikr al- Mu'asi>r, t.th), Juz ke-5, 95. 123 Nama lengkapnya, Muhammad Mutawalli al-Sha’ra>wi,[Sheikh alSha'ra>wi ] lahir di hari Ahad, Rabiusthani tahun 1329 H /16 April 1911 M di desa Daqadus Mait Ghamair kabupaten Dakhaliyah. Wafat tanggal 22 Syafar 1419 H/17 Juni 1998 M, dimakamkan di desa Daqadus. Berasal dari keturunan ahl bait, yang merupakan keturunan dari cucu Nabi SAW, yaitu Hasan ra. Dan Husein r.a. ada yang dari nama Qabilah Bangsa Arab, yang berdomisili di daerah Hijaz bagian Selatan, wilayah Tabuk sampai Yaman, kemudian pindah ke desa Dakadus, Mesir. Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsi>r al-
Ashr Al-H}ad>ith, Ard Wa Dira>sah Mufasalah Li Ah}ka>m Kutu>b a-Tafsi>r AlMu’a>shir (Bairut : Dar Al-Mairifah, 1424 H / 2003 H), cet. I, 220, Muhammad Ali Iya>zi, al-Mufasiru>n H}aya>tuhum Wa Manhajuhum (Teheran:Mu’asasah al-T}aba>’ah Wa Nasr Wa Wiza>rah al-Tsaqa>fah Al-Irsha>d al-Isla>mi,1373 H ), 268-274. 124 Muhammad Mutawalli Sha’ra>wi, Tafsir Sha’ra>wi, Renungan Seputar Kitab Suci Al-Qur’an ( Medan : Duta Azhar, 2006 ), Jilid 3, Juz V dan VI, 536.
228
telah menyamakan, makna muh}s}ana>t yang mukmin sama dengan muh}s}ana>t yang berasal dari ahl al-Kita>b, karena mereka sama-sama dapat menjauhkan diri dari perbuatan zina. Dan yang tepenting menurut al-Sha’rawi, sebagai penekanannya telah menjadi syarat mutlak yaitu harus memberi mahar kepada mereka.125 7. Abu> Al-‘Ala> Al-Maudu>di (w. 1979 M), Tafsir Tafhi>m alQur’an Menurut Al-Maudu>di menafsirkan ayat al-Maidah/5:5 ini, bahwa setelah dihalalkannya makanan atas sembelihan ahl al-kita>b, dan juga halal makanan orang mukmin bagi mereka. Lalu al-Maudu>di menjelaskan kebolehan orang muslim menikahi wanita-wanita nonmuslim, yang berasal dari agama Kristen atau Yahudi yang jelas statusnya muh}s}ana>t. Pendapat al-Maudu>di tentang al-muhsana>t, mengutif pendapat Ibn Abbas r.a, bahwa muh}s}ana>t adalah orang yang telah diberi kitab (al al-Kita>b), yang hidup dibawah perlindungan kekuasaan Negara Islam (Da>r al-Islam). Maka larangan berlaku juga, bagi wanita-wanita dari Yahudi (Jews), Nasrani (Kristians) yang tinggal wilayah perang (Da>r al-Harb), atau di negara non-Islam (Da>r al-Kufr).126 Bertolak belakang al-Maudu>di dengan Mazhab Hanafi, yang pada akhirnya, Ia menyetujui, atas penolakan menikahi wanitawanita (ahl al-kita>b), yang tidak berarti, hal itu telah melanggar hukum. Al-Mawdu>di, mengutip Said Ibn Musayyab dan Hasan Basri yang menurut mereka, tidak ada perbedaan antara yang berstatus ahl al-dhimmah(orang-orang non muslim dibawah kekuasaan Negara Islam) atau yang bukan.127 Karena adanya perbedaan definisi tentang al-Muh}s}ana>t, menurut Umar bin al-Khattab, yaitu wanita yang menjaga kesucian diri dan memiliki karakter akhlak yang baik. Maka jika demikian, makna al-muh}s}ana>t, menurut al-Maudu>di, penikahan dengan kriteria wanita tersebut dibolehkan.128 Menurut pandangan al125
Muhammad Mutawalli Sha’ra>wi, Tafsir Sha’ra>wi, Renungan Seputar Kitab Suci Al-Qur’an ( Medan : duta Azhar, 2006 ), Jilid 3, Juz V dan VI, 536. 126 Sayyid Abu> Al A’la> Al- Mawdu>di, Towards Understanding The Qur’an (Tafhim Al-Qur’an)(Traslated by : Zafar Ishaq Ansari)(London:The Islamic Foundation, 1409 H/1989 M ), Vol. 2, Surahs 4-6, 137. 127 Sayyid Abu> Al A’la> Al- Mawdu>di,Towards Understanding The Qur’an (Tafhim Al-Qur’an)(Traslated by : Zafar Ishaq Ansari ), 138. 128 Sayyid Abu Al A’la> Al- Mawdu>di, Towards Understanding The Qur’an (Tafhim Al-Qur’an)(Traslated by : Zafar Ishaq Ansari ),138.
229
Maudu>di juga, bahwa pernikahan semacam ini, sebagai bentuk kebolehan dalam situasi yang mendesak, dan bukan sekedar karena rasa cinta, sehingga melupakan kesadaran, yang menyebabkan berpengaruhnya keyakinan, apalagi berpindah agama, jika hal demikian terjadi, maka pernikahan yang dilakukan itu tidak sesuai dengan pandangan Islam.129 8. Muhammad Shaltu>t (1893-1963 M), Tafsir Al-Qur’an Wa alMar’ah. Dalam menafsirkan QS. Al-Maidah/5:5 ini, Muhammad Shaltu>t setuju dengan pendapat para ulama, atas kebolehan menikahi wanita ahl al-Kita>b. Muhammad Shaltut membedakan antara ayat alMushrika>t QS. al-Baqarah/2:221 dan ayat ahl al-Kita>b QS. AlMaidah/5:5, karena itu Ia membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-Kita>b, atas dasar ayat al-Maidah 5, selain karena mereka memiliki kesamaan pandangan dengan ajaran samawi dan isi kitab suci yang diturunkan kepada mereka.130 Berbeda pandangan ulama yang menolak secara mutlak, karena alasan kemusyrikan, sebagaimana menurut Abdullah bin Umar r.a dan beberapa kalangan sahabat lain, dengan alasan, karena mereka telah merubah isi ajaran yang disampaikan nabi-nabi mereka dan mengingkari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, karena alasan itulah menurut Ibn Umar r.a memandangnya mereka sebagai musyrik, walaupun mereka beriman kepada Allah, tetapi mengingkari ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW menurut QS.Yusuf/12:106, dan atas dasar itulah perintah untuk menjauhi orang-orang kafir menurut QS. alMaidah/5:51, al-Imrah/3:118, dan QS.al-Mumtahanah/60:1. Oleh karena itulah, mereka keluar dari isi kandungan ayat al-Maidah/5:5 ini. Perbedaan menjadi alasan yang tidak dapat dipungkiri, baik menurut ulama yang membolehkan maupun menurut ulama yang menolak, karena perbedaan dalam memahami Mas}dar al-Taysri>’i. Karena alasan setiap pria sebagai pemimpin dalam keluarga, dan sebagai pemimpin lazimnya megajak keluarganya berprilaku sesuai dengan ajaran Islam. Dibolehkannya, menikahi wanita ahl al-kita>b, 129
Sayyid Abu Al A’la> Al- Mawdu>di, Towards Understanding The Qur’an (Tafhim Al-Qur’an )(Traslated by : Zafar Ishaq Ansari ),139. 130 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah (Kairo : Da>r Syuruk, 1405 H/1987), Cet. Ke-14, 239.
230
dengan satu harapan dapat menjadi panutan, suami mencintai ajaran rasulnya, sebagai panutan, sebagai contoh teladan bagi sang istri, contoh prilaku teladan dan kebebasan beragama yang disandangnya, tanpa harus ada paksaan, sebagai suatu bentuk sama>hah (toleransi) dalam ajaran Islam. Karena itulah hikmah dibalik dibolehkannya pernikahan semacam ini, dalam pandangan ulama yang membolehkan atas dasar ajaran tasyri' ini.131 Tetapi, jika seorang suami yang lemah pandangannya tentang Islam, lemah akidah, serta mudah mengikuti ajakan yang tidak Islami, toleransi berlebihan, tentu kondisi yang seperti ini bertentangan dengan tujuan syari’at Islam. Maka kondisi seperti ini, menurut pandangan Islam, status pernikahan menjadi diharamkam.132 Tetapi Muhammad Shaltut berpandangan lebih tegas lagi, jika nyatanya seorang suami dalam hal ini, tidak sanggup memimpin rumah tangga (keluarga), maka lazimnya, bagi seorang pemimpin, atau dalam suatu pemerintahan harus meniadakan terjadinya pernikahan serupa di masa yang akan datang, sebagaimana yang di alami umat Islam dewasa ini, dengan mengawini wanita-wanita Eropa yang non Muslim. Maka dengan kondisi seperti ini, pernikahan menjadi batal.133 Kesimpulan dari penafsiran ulama-ulama modernkontemporer ini, seperti Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a lebih memilih makna al-muh}s}anat dengan pengertian al-afa>'if, yaitu terpelihara dengan alasan lebih kuat, atau pria atau wanita bila sudah menikah, harus saling menjaga diri dan memelihara atas perbuatan tercela, apalagi melakukan zina. Al-Mara>ghi tidak membolehkan menikahi wanita muh}s}ana>t, melainkan setelah memenuhi syarat mutlak, ia merdeka(hara>’ir) dan beriman. Sedangkan Sayyid Qutub membolehkan menikahi wanita muh}s}ana>t yang yang beriman, terpelihara dan terjaga (afa>’if) dan merdeka (hara>’ir), demikian menurut Ali al-S}a>bu>ni, akan tetapi Al-Sha’ra>wi lebih memilih, almuh}s}ana>t dengan arti wanita yang telah menikah, menyamakan, 131
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Musykila>ti al-Muslim alMua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah (Kairo:Dar Syuruk, 1405 H/1987 M), Cet. Ke-14, 240. 132 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah, 240. 133 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah, 241.
231
makna muh}s}ana>t yang mukmin dengan muh}s}anat yang berasal dari ahl al-Kita>b, yang menjauhkan diri dari perbuatan buruk dengan syarat mutlak, telah memberi mahar. Kemudian pandangan ulama tafsir lain, seperti, Al-Maudu>di, membolehkan pernikahan terhadap non-muslim [Kristen dan Yahudi] dan sebagainya, yang berstatus muh}s}ana>t atau wanita-wanita yang tidak memiliki kitab suci, dibawah kekuasaan Islam [ da>r Islam ], yang hanya dalam situasi mendesak, serta memiliki karakter yang baik dan menjaga keimanan. Sementara Shaltu>t, membolehkan dengan bersyarat, jika pria sebagai suami, sebagai pemimpin yang kuat, yang dapat menjunjung tinggi karakter yang Islami, menjadi panutan dalam keluarga [kepada Istri khususnya dan anak-anaknya ], kebebasan beragama, tanpak harus ada pemaksaan, merupakan sebuah contoh toleransi ajaran Islam. Maka, penikahan dengan wanita muhsana>t, dibolehkan. I. Penafsiran Ulama-ulama Tafsir Indonesia dan Cendekiawan Muslim134 Para Ulama Tafsir Indonesia turut mengambil perannya, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terkait penafsiran, ayat-ayat pernikahan beda agama, di antaranya, menurut Mahmud Yunus (w. 1399 H/1982M), Hamka (Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah) (w.1981M), Muhammad Quraish Shihab serta beberapa pandangan Sarjana Muslim dan Cendekiawan Muslim Indonesia. 1. Mahmud Yunus (w. 1399 H/1982 M)( Tafsir Qur’an Indonesia, 1935 M Menurut Mahmud Yunus dalam tafsirnya, dalam menafsirkan QS. Al-Maidah/5:5, selain membolehkan memakan makanan hasil sembelihan ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani), juga membolehkan mengawini perempuan yang muh}s}ana>t, yaitu, perempuan-perempuan beriman dari ahl al-kita>b, setelah membayarkan maskawin mereka, dan tidak bertujuan berzina dan tidak pula untuk mengambil teman
134
Untuk kriteria ini, Para Ulama Tafsir Indonesia adalah ahli tafsir yang menafsirkan al-Qur’an, selain itu mereka meiliki karya-karya tafsir yang dapat dijadikan acuan, sedangkan selain itu, mereka adalah seorang ulama atau sebagai cendekiawan muslim yang ikut berbicara mengenai tafsir al-Qur’an dan bukan sebagai Mufassir.
232
rahasia. 135 Demikian senada pandangan Mahmud Yunus, dengan Tim Departemen Agama, yang menyatakan kebolehannya, dengan mengawini perempuan beriman, yang merdeka dan bukan budak dari perempuan ahl al-Kita>b. Dan menurutnya, mempertegas dalam tafsirannya, al-muh}s}ana>t adalah perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diri. Dalam hal ini, Tim Departemen Agama, telah membolehkan laki-laki muslim mengawini perempuan ahl alKita>b, dengan kewajiban harus memberi nafkah, dengan tidak bermaksud, seperti yang tersirat untuk berzina dan bukan pula menjadikan sebagai wanita piaraan. Sebaliknya bagi wanita-wanita muslimah, tidaklah dibolehkan kawin dengan laki-laki ahl al-Kita>b yang statusnya kafir dan bukan dari ahl al-Kitab.136 2. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka)(w.1981M), Dalam Tafsir Al-Azhar, 1973 Hamka menjelaskan ayat QS. Al-Maidah/5:5, setelah menjelaskan status halalnya sembelihan ahl al-kita>b, dan dihalalkannya menikahi wanita mereka, setelah belaku larangan menikahi wanita musyrik, sebagai pengkhususan. Juga Ia menegaskan, mengawini perempuan yang mu'minat dan mengawini perempuan ahl al-kita>b, setelah usai membayarkan mahar mereka. Dalam hal ini, pandangan Hamka, bagi seorang mu'min selain boleh mengawini perempuan sesama Muslim, dibolehkan juga mengawini perempuan ahl al-kita>b, dari wanitaYahudi atau Nasrani, dengan tidak harus masuk Islam terlebih dahulu, atau tanpa adanya paksaan, sebagaimana disebutkan menurut QS.al-Baqarah/2:256 (La Ikra>ha Fi> al-Din). Yang demikian adalah salah satu faham toleransi [tasa>muh] dalam Islam, yang sangat besar, yaitu, dengan dua izin kebolehan, pertama, kebolehan memakan sembelihan ahl al-kita>b dan yang kedua kebolehan mengawini perempuan mereka. 137 Hamka juga menegaskan, bahwa bagi seorang muslim telah memiliki cahaya tauhid dalam dirinya, maka sekiranya mereka orang yang baik, bertetangga dengan beragama lain, dan tidak kwawatir, Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim ( Jakarta : PT. Hidakarya Agung Jakarta, 1414 H / 1993 M ), Cet. Ke-31, 146. 136 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Jakarta : Depag RI, 1990 /1991 M ), Juz 4-5-6, 379. 137 Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ), Juz 1-3, 143-144. 135
233
akan goyahnya agama, karena menikahi wanita yang berlainan agama dengannya, dia akan menjadi pemimpin dalam rumahtangga, menjadi contoh kesalihan dan keta’atan kepada Tuhannya, merupakan contoh teladan yang baik, terhadap istri dan keluarga.138 Lalu menurut Hamka dalam penafsiran kata, al-muh}s}ana>t, dipahami sebagai perempuan-perempuan yang merdeka, baik muhshana>t yang mu’minat, atau muh}s}ana>t dari ahl al-kita>b. Sebagaimana dipahami kata al-muh}s}ana>t itu adalah perempuan yang terbentengi, perempuan merdeka, perempuan baik-baik dan terhormat, bukan pezina, dan bukan pula sebagai budak. Maka derajat wanita beriman atau dari ahl al-kita>b sebagai istri-istri dari laki-laki Muslim disamakan status hukumnya dalam ayat ini, [[] محصنين غير مسافحين وال متخذي أخذانdalam keadaan menikah, bukan pezinah dan bukan mengambil piaraan ].139 Lalu penafsiran ayat itu ditutup dengan ( ومن يكفر باإليمان فقد حبط عمله ) )وهو فى األخرة من الخاسرينbarangsiapa yang menolak keimanan maka sesungguhnya percumalah amalan, dan adalah dia di akhirat termasuk golongan yang rugi), QS. al-Maidah/5:5. Diakhir keterangan Hamka menutup penjelasannya, jika seorang lelaki muslim yang lemah imannya, maka dilarang menikahi wanita ahl al-kita>b, karena alasan tadi, dan toleransi yang berlebihan, akan berpengaruh pada akidah, dan dapat berpengaruh kepada kemurtadan, bila demikian, maka status hukum pernikahan yang dikehendaki, hendaklah dihalangi. 140 3. Muhammad Quraish Shihab (Tafsir Al-Misba>h, 1990 M) Menurut Quraish Shihab, penjelasan mengenai kawin dengan ahl al-Kita>b, menjelaskan status al-muh}s}ana>t dalam penggalan ayat al-Maidah/5: 5 ini [ والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتو الكتاب من ] قبلكم, adalah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya yang harus didahulukan untuk dinikahi, baik berstatus mukminah atau dari ahl al-kita>b. Pandangan lain, tentang al-muh}s}anat, bahwa kata tersebut, bila dirangkai dengan kata utu> al-kita>b, maka bisa berarti wanitawanita yang merdeka dan terpelihara kehormatan. Karena dengan itulah, menurut Quraish Shihab rahasia didahulukannya penyebutan wanita-wanita mukminat dari ahl al-kita>b dalam teks [ والمحصنات من 138
Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ), Juz 1-3, 144. 139 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ), Juz 1-3, 144. 140 Hamka, Tafsir Al-Azhar, 145.
234
] المؤمنات والمحصنات من الذين أوتو الكتاب من قبلكم, dapat memberi isyarat, bahwa persamaan agama dan pandangan hidup, sangatlah membantu melahirkan ketentraman, bahkan sangat menentukan atas kelanggengan dalam rumah tangga. Kemudian Quraish Shihab dalam penafsirannya, menghalalkan sembelihan ahl al-kita>b dan menghalalkan perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kita>b, baik dari Yahudi atau Nasrani, akan tetapi menurutnya, tetap menjadi suatu ancaman, bahwa kekufuran, merupakan peringatan kepada setiap individu yang akan merencanakan perkawinan dengan mereka, maka hendaknya berhati-hati dengan pernikahan semacam ini, karena akibatnya adalah siksaan di akhirat nanti. 141 4. Sarjana dan Cendekiawan Muslim Indonesia. Beberapa Sarjana dan Cendekiawan Muslim Indonesia bebicara tentang persoalan nikah beda agama, terkait al-muh}s}ana>t dalam teks QS. al-Maidah/5:5 ini. Pertama, Menurut Nurchalis Madjid ayat ini, merupakan ayat revolusi, sebagai jawaban atas keraguan orang-orang muslim, prihal menikahi non muslim. Ayat pertama, yang turun dalam masalah ini, adalah QS. al-Baqarah/2:221, terkait orang musyrik, yang dimaknai sebagai pelarangan untuk semua non-muslim. Lalu datanglah ayat kedua, sebagai ayat revolusi membuka jalan, bagi wanita Kristen dan Yahudi (ahl al-Kita>b) untuk melakukan pernikahan dengan orangorang muslim. Sehingga ayat tersebut memilik dua fungsi sekaligus, yaitu, (1). sebagai penghapus (na>sikh) dan (2). sebagai pengkhusuh (mukhas}is}) dari ayat sebelumnya, yang merupakan pelarangan menikah dengan orang-orang musyrik. Tanpaknya, Nurchalis Madjid tidak menyinggung tentang muh}s}ana>t, karena intinya, telah masuk dalam kriteria ahl al-kita>b. Dengan kesimpulan, bahwa, Nurchalis menyatakan, bahwa dalam kaidah fiqh, bila terdapat dua ayat yang bertentangan, maka menurut metodologi tafsir, pendekatan nasakh sebagai alternatif diberlakukan, dengan mengambil ayat yang lebih akhir turun, untuk menyelesaikan persoalan ini, dan ayat al-Maidah me-nasakh status hukum ayat al-Baqarah. Dengan demikian, melalui
141
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), Volume 1, cet. I, 29.
235
pendekatan na>sikh dan mansu>kh, maka hukum dalam menyelesaikan persoalan ini menjadi pilihan.142 Menurut Nurchalis tidak cukup sampai di situ, berlanjut sampai kepada status bolehan menikahi wanita muslimah dengan laki-laki non-Muslim (Kristen dan Yahudi), atau agama-agama nonsemitik lainnya. Dengan kata lain, Nurchalis Madjid, membolehkan pernikahan beda agama, dengan alasan, karena tidak terdapatnya ayat yang s}ari>kh [jelas] atas larangan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non Muslim, baik Yahudi, Nasrani, atau lainnya. Justru Nurchalis menyangkal, status hadits Nabi S.A.W yang menyatakan, sebagai pelarangan itu, yaitu ” Kami boleh menikahi wanita-wanita Ahl al-Kitab dan laki-laki Ahl al-Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (muslimah). Dan menurutnya, dalam ungkapan Umar bin al-Khattab, ” Bahwa seorang muslim boleh menikahi wanita Nasrani, tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah ”. Hadits di ini, menurut penelitian Sudqi Jamil al-At}t}ar sebagai status hadits yang tidak sahih. Bahkan menurutnya juga, hadith yang disebutkan itu termasuk dalam katagori hadi>th mauqu>f,143 yaitu sebagai hadith yang sanadnya terputus hingga Ja>bir, demikian menurut Nurchalis Majid. Lalu mengutip penjelasan, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-’Umm, al-Imam al-Sha>fi’i, mengungkapkan hal yang sama. Sementara ungkapan Umar bin alKhatab, menyatakan hanya sebuah kekwatiran saja, bila wanitawanita Muslim yang dinikahi pria non-Muslim akan berpindah agama dengan perkawinan semacam ini, sementara dalam dakwah, umat Islam membutuhkan kuantitas dan jumlah yang banyak dari pengikutpengikutnya yang setia.144 142
Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004 ),162. 143 H}adi>th Mauqu>f, menurut al-Nawawi sebagaiman dikutip al-Suyuti, hadits yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan beliu, perbuatan, atau taqrir, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi'(terputus). Sedangkan al-Thahhan, mendefinisikan,sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan (taqri>r). Mahmud al-T}ahha>n, Taysi>r Mus}t}alah al-Hadi>th ( Riyad:Maktabah Ma'arif, 1405 H/1985 M), cet. Ke-7, Nawir Yuslem, Ulul al-Hadits (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 2001 ), 130, 284. 144 Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama:Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis ( Jakarta : Paramadina, 2004 ),164.
236
Sebagai, kesimpulan, bahwa pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita muslimah, merupakan wilayah Ijtihad, maka amat mungkin bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-muslim atau pernikahan beda agama secara luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaan mereka. 145 Kedua, Menurut Muhammad Ghalib, bahwa ayat alMaidah/5:5 berbicara, tentang bolehnya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahl al-Kita>b dan tidak menyinggung sebaliknya. Pernyataan Muhammad Ghalib itu, bila seandainya perkawinan semacam ini dibolehkan, maka pasti ayat al-Maidah tersebut akan menegaskan tentang kebolehannya. Oleh karena itu, Galib menyetujui dengan pengertian, bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahl al-kita>b, dengan sedikit syarat, bahwa statusnya harus sebagai wanita yang muh}s}ana>t. Menurut Ghalib juga, bahwa kata al-Muh}s}ana>t, sebagaimana dikutip dari pendapat al-T}abari, adalah wanita yang telah memeluk agama Islam, atau mereka yang sejak awalnya telah beriman, karena terlahir dari keluarga muslim. 146 Maka, menurut Galib, makna al-muh}s}ana>t, adalah wanita-wanita beriman, yang memelihara kehormatan. Jika demikain, maksud wanita al-muh}s}ana>t adalah wanita ahl al-Kita>b yang ditujukan alQur’an, adalah seorang wanita yang berperangai baik, yang boleh dinikahi oleh pria muslim. 147 Ketiga, Menurut Nashruddin Baidan dalam penafsirannya terhadap QS.al-Maidah/5:5, Ia menyebutnya dengan sebutan perkawinan campuran.148 Ia menyatakan, bahwa para ulama tidak memiliki kata sepakat dalam pengertian al-mushrika>t atau ahl alkita>b dalam teks QS.al-Baqarah/2:221 maupun QS. al-Maidah/5:5. Walaupun secara explisit telah tersirat, kebolehan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b. Pendapat lain, menurut Nashruddin Baidan, yang mengutip pendapat ulama Mazhab Shafi’i, bahwa wanita-wanita ahl 145
Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama:Membangun Masyarakat:Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004),164. 146 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 166. 147 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 167. 148 Nashruddin Baidan, Tafsir Madhu'i, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial Kontemporer (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2001), cet. I, 38.
237
al-kita>b, yang halal dinikahi adalah dari keturunan nenek moyang yang beragama, sebelum nabi Muhammad S.A.W diutus. Tegasnya, bagi mereka yang memeluk agama setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW, tidak lagi dihalalkan. Singkatnya, menurut pendapat ini, maka bagi mereka yang masuk dalam katagori agama Yahudi atau Nasrani setelah diutusnya Muhammad S.A.W, tidak halal lagi dinikahi. Kemudian, Nashruddin Baidan, mengutip pendapat Prof. Ibrahin Husein, yang mempertegas penganut pendapat semacam ini, dengan memperjelas kata al-Muh}sa} na>t QS. AlMaidah/5:5, [ ] والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم, yang mencakup ruang-lingkupnya, dibatasi dengan lafaz [ ] من قبلكم, yang terletak sesudah kata []المحصنات. Maka pengertiannya, ahl al-Kita>b, adalah mereka-mereka yang beragama nenek moyang sebelum Nabi Muhammad S.A.W diutus.149 Uraian di atas, sebagai kesimpulan, dapat digaris bawahi, bahwa perkawinan yang dibolehkan adalah perkawinan seorang pria muslim dengan wanita non muslim, tidak sebaliknya. Pendapat yang lebih tegas lagi, seperti yang dianut oleh Ibn Umar, melarang sama sekali, pernikahan semacam ini. Akan tetapi, menjadi beralasan bagi yang membolehkan, dengan ungkapan bersyarat, jika sang suami tidak merasa khawatir akan terpengaruh dari sang istri yang bukan Islam, sebagaimana difatwakan Muhamad Shaltut, maka pernikahan semacam ini menjadi dibolehkan. 150 Sementara pendapat kalangan Mazhab Shafi’i membolehkan menikahi wanita al-kita>biya>t, yang merupakan anak cucu dari pemeluk agama ahl al-kita>b sebelum Nabi Muhammad S.A.W diutus, dan sebaliknya mengharamkan menikah dengan wanita ahl al-kita>b setelah diutusnya Nabi Muhammad S.A.W.151 Kesimpulan akhir menurut penafsiran ulama tafsir Indonesia, bahwa Hamka membolehkan menikahi wanita al-muh}s}ana>t atas dasar sama>hah (toleransi ), terhadap perempuan yang terbentengi, merdeka, 149
Nashruddin Baidan,Tafsir Maudhu'i, Solusi Qur'ani atas Masalah
Sosial Kontemporer, 39. 150
Muhammad Shaltut, Al-Fata>wa Dira>satun Li Musykila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> Haya>tihi al-Yaumiyah al->Amah (Kairo : Dar Syuruk, 1405 H/1987 M), Cet. Ke-14, 240. 151 Nashruddin Baidan, Tafsir Mawd}u>'i, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial Kontemporer , 40.
238
dan terhormat, bukan pezina, dan bukan sebagai budak. Sedangkan menurut Quraish Shihab, boleh menikahi wanita-wanita yang merdeka, terpelihara kehormatannya, dengan satu syarat persamaan agama dan pandangan hidup, sangatlah membantu dalam melahirkan ketentraman, kelanggengan rumah tangga. Sedangkan menurut Sarjana dan cendekiawan Muslim Indonesia, seperti, Nurchalis Madjid, memahami, QS. al-Maidah/5:5 ini, sebagai ayat revolusi, pembuka jalan bagi wanita Kristen, Yahud (ahl al-kita>b), untuk melakukan pernikahan dengan orang Islam, yang secara, dwi fungsi, sebagai penghapus dan pengkhususan, terhadap larangan pria muslim menikahi wanita musyrik, berdasarkan QS.al-Baqarah/2:221. Sedangkan pendapat Nashruddin Baidan, yang mengutip pendapat Mazhab Shafi’i, menyatakan, wanita-wanita ahl al-kita>b, yang halal dinikahi adalah dari keturunan nenek moyang mereka yang beragama, sebelum nabi Muhammad S.A.W diutus, sedangkan, bagi mereka yang memeluk agama setelah diutusnya Nabi Muhammad S.A.W, tidak lagi dobolehkan. Sedangkan menurut Muhammad Galib, menikahi wanita al-muh}s}ana>t, yang beriman, dan terpelihara kehormatan hukumnya dibolehkan. *
239
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orangorang yang diberikanAl-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah/5:5)
240
241