BAB III SKETSA BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID
A. Latar Belakang Biografi. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah sosok fenomenal, unik dan khas. Fenomenal karena ia selalu saja menwarkan ide-ide mengagetkan sekaligus ‘kontroversial’ bagi nalar logika mainstream. Unik karena dalam dirinya melekat berbagai atribut; baik sebagai ahli ilmu sosial, tokoh LSM, agamawan sekaligus kiai, serta khas karena ia adalah representasi tokoh yang sangat gigih membela kepentingan minoritas agar tidak tertindas, ditindas bahkan menjadi kekuatan penindas, serta mengkritik mayoritas agar tidak bersikap sewenang-wenang karena merasa berkekuatan besar sekaligus menyelamatkanya dari perilaku diktator.1 Membaca Gus Dur ibarat membaca sebuah cerita tanpa akhir. Bagaikan kalimat, Gus Dur adalah kalimat yang tidak pernah berakhir dengan tanda titik, melainkan selalu berakhir dengan koma, bahkan tak jarang berakhir dengan tanda tanya. Akibatnya, membincangkan Gus Dur selalu ‘menyisakan’ persoalan di dalamnya. Disamping tidak pernah tuntas, juga karena fenomena ke-Gus Dur-an tidak bisa didekati dengan satu sudut pandang saja. Untuk bisa sampai kepada kesimpulan objektif dalam mendalami dan mempelajari pemikiran Gus Dur maka perlu untuk mengetahui latar belakang kehidupan, pendidikan dan aktifitasnya. 1
Listiyono santoso, Teologi politik Gus Dur (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media Jogjakarta:2004)
hal.9
25
26
Gus Dur dilahirkan di Denanyar, merupakan salah satu desa di kota Jombang, jawa timur. Jombang adalah kabupaten yang terletak di bagian tengah provinsi Jawa Timur, dengan jumlah penduduk 1.201.557 jiwa (2010) dan luas wilayahnya 1.159,50 km². Konon kata ‘Jombang’ merupakan akronim dari kata yang berbahasa jawa yaitu “ijo” (Indonesia:Hijau) dan “abang” (Indonesia:merah). Ijo mewakili kaum santri (agamis) dan abang mewakili kaum abangan (nasionalis/kejawen), kedua kelompok tersebut hidup berdampingan dan harmonis di Jombang. Bahkan kedua elemen ini digambarkan dalam warna dasar lambang daerah Kabupaten Jombang.2 Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunya pada tanggal 4 Agustus, tampaknya teman-teman dan keluarganya yang menghadiri pesta perayaan hari ulang tahunya di Istana Bogor pada hari Jum’at 4 agustus 2000 tak mungkin sadar bahwa sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya dan pribadinya, banyak hal yang tidaklah seperti apa yang terlihat. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. Sebenarnya tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 September. Jadi kesimpulanya Gus Dur lahir
2
Diakses pada situs, http//id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_jombang 02.10.2011
pada tanggal
27
pada tanggal 7 September 1940, beliau dilahirkan di dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri.3 Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, dilahirkan di Tebuireng, Jombang. Pada bulan Juni 1914. Ia adalah putera laki-laki pertama dan anak kelima dari sepuluh bersaudara. Ayah Wahid Hasyim merupakan guru yang sangat dihormati, baginya belajar adalah hal yang serius, akan tetapi ia juga seorang yang bersifat demokratik dan memberikan kepada anak-anaknya kebebasan untuk menentukkan apa yang akan mereka pelajari. Wahid Hasyim belajar di madrasah ayahnya. Ketika berusia dua belas tahun ia menyelesaikan pelajaranya di madrasah dan mempunyai kecakapan untuk membantu ayahnya mengajar. Wahid Hasyim diberkati ingatan yang kuat dan gemar menghapal puisi klasik Arab. Wahid Hasyim adalah putera Hasyim Asy’ari, pendiri dan Rois Am NU pertama (Rois Akbar).4 Wahid hasyim termasuk dalam anggota penandatanganan piagam jakarta dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersama Soekarno dan Muhammad Hatta serta menjadi Pahlawan Nasioanl.5 Pada tanggal 18 April 1953 Wahid Hasyim meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di jalan menuju kota Bandung tepatnya di daerah antara Cimahi dan Bandung, ketika hendak menghadiri pertemuan NU. Kecelakaan ini terjadi pada pukul 01.00 siang, mobil Chevrolet yang ditumpanginya bersama sahabat dan anaknya yaitu Gus Dur menabrak truk 3
Greg Barton, Biografi Gus Dur, judul asli : Gus Dur:The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, diterjemahkan oleh: Lie Hua (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta:2003)hal.25 4 Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia : studi atas pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: Walisongo Press dan pustaka pelajar, 2002) hal.52 5 Dr. Payaman J. Simanjuntak,dkk, Gus Dur sang Rekonsiliator (Jakarta: HIPSMI,2000) hal.21
28
yang sedang berhenti dengan bagian belakangnya. Gus Dur saat itu duduk di depan bersama dengan pengemudi.6 Sedangkan Solichah, ibunda Gus Dur menikah dengan Wahid Hasyim pada tahun 1930 yang pada waktu itu belum genap berumur enam belas tahun. Solichah mungkin bukan seorang yang dilahirkan sebagai cendekiawan sebagaimana suaminya, tetapi ia juga bukan seorang ibu rumah tangga biasa. Boleh saja ia menikah muda dan mengenyam pendidikan sekolah sedikit saja. Bagaimanapun selama 14 tahun menemani dan mendampingi suaminya, Solichah tetap tumbuh berkembang jauh melampaui teman sebayanya. Ia menjadi rekan aktif bagi karir suaminya dan makin memainkan peran kecilnya sendiri, terutama di kalangan NU. Setelah suaminya wafat, pengaruhnya kian membesar dan ia menjadi tokoh penting dalam komunitasnya. Di rumah ia terus mendorong agar anak-anaknya tetap memelihara semacam perdebatan bebas dan seru mengenai masalah-masalah yang dibicarakan oleh Wahid Hasyim. Ia membuat anak-anaknya merasa bahwa mereka dapat dan memang seharusnya melibatkan diri dengan banyak pengunjung yang terus menerus mndatangi rumah mereka. Ia juga membuat anak-anaknya terdorong untuk membaca surat kabar dan buku-buku yang berserakan di rumah mereka.7 Abdurrahman Ad-Dakhil atau Abdurrahaman wahid atau Gus Dur dalam waktu yang pendek tidak telhat sebagai siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah ia menamatkan SD dan mulai sekolah menengah 6
Greg Barton, Biografi Gus Dur, judul asli : Gus Dur:The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, diterjemahkan oleh: Lie Hua (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta:2003) hal. 42 7 Greg Barton, Biografi Gus Dur, judul asli : Gus Dur:The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, diterjemahkan oleh: Lie Hua (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta:2003),hal. 44
29
ekonomi pertama (SMEP), ia terpakasa mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini jelas disebabkan oleh seringnya ia menonton sepakbola sehingga ia tak punya cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ia segera menjadi bosan dengan pelajaran di kelas. Pelajaran yang diterimanya di kelas dirasanya tidak cukup menentang. Ia masih merasa sedih karena kehilangan ayahnya namun ia tidak menunjukkan kesedihanya ini. Ia menghabiskan sebagian waktunya dengan menonton sepakbola dan membaca buku. 8 Pada tahun 1954, sementara sang ibu berjuang sendirian untuk membesarkan enam anak, sedangkan Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan pelajaran di SMP. Ketika di kota ini, ia berdiam di rumah salah seorang teman ayahnya, K.H. Junaidi. Yang menarik adalah bahwa beliau ini merupakan salah seorang dari sejumlah kecil ulama yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah pada periode ini. Ia anggota Majelis tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah.9 Selepas dari SMEP Gus Dur kemudian melanjutkan pendidikanya ke beberapa pondok pesantren terkemuka di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Dari tahun 1957-1959 dia belajar di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Kemudian melanjutkan ke Pesantreb Mu’alimat Bahrul Ulum, Jombang,
8
Greg Barton, Biografi Gus Dur, judul asli : Gus Dur:The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, diterjemahkan oleh: Lie Hua (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta:2003),hal. 46 9 Greg Barton, Biografi Gus Dur, judul asli : Gus Dur:The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, diterjemahkan oleh: Lie Hua (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta:2003). hal 47
30
sampai tahun 1963. Kemudian ia pindah ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta dan menetap di rumah tokoh NU terkemuka K.H. Ali Ma’shum.10 Selama di pesantren Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu dari guru-gurunya. Ketika di Jombang misalnya, hari-hari Gus Dur banyak dihabiskan untuk mengaji. Sehabis subuh ia mengaji tiga kitab pada K.H.Fattah. kemudian pukul 10.00 pagi ia mengajar. Lepas dhuhur ia mengaji dua kitab pada K.H. Masduki dan diteruskan dengan sorogan kepada K.H. Bisri Syansuri. Malam harinya ia mengaji lagi kepada K.H Fattah.11 Begitulah kegiatan setiap harinya ketika di pesantren dan ini merupakan modal yang sangat membantunya kelak saat belajar di Mesir. Tahun 1964-1966 Gus Dur melanjutkan studinya ke Mesir di Universitas Al-Azhar Kairo pada Departement of Higher Islamic and Arabic Studies.12 Kesempatan ini didapatkan melalui beasiswa Kementrian Agama yang saat itu menteri agamanya dijabat oleh Saefuddin Zuhri dari NU. Selepas dari Kairo ia pindah ke Universitas Baghdad dan masuk fakultas sastra sampai tahun 1970.13 Merasa kurang puas dengan apa yang didapatnya di Timur Tengah Gus Dur melanjutkan upaya memperkaya pengetahuan dan pengalamanya ke Eropa Barat selama satu tahun. Selama empat bulan menjajaki masuk 10
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikirian Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hal. 119 11 Dedy Djamaludin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Bari Islam Indonesia : Pemikiran dan Aksi Politik (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998) hal. 82 12 Drs. Ahmad Amir Aziz, M.Ag, Neo Modernisme Islam Di Indonesia : Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid ( Jakarta: Rineka Cipta, 1999) hal.29 48 Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia : studi atas pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: Walisongo Press dan pustaka pelajar, 2002). hal. 55
31
Universitas Kohln dan Universitas Heidelberg di Jerman, setengah tahun kemudian menjajaki Universitas Leiden di Belanda. Di Belanda Gus Dur mengaku pernah bekerja sebagai tukang angkut barang di pelabuhan. Tidak puas dengan Jerman dan Belanda ia pindah selama dua bulan ke Perancis. Ia sempat menjadi kandidat S2 di Sorbone University.14 Pada tahun 1971, ia kemudian melanjutkan studinya ke Mc Gill University Canada, untuk mempelajari kajian-kajian ke-Islaman secara mendalam. Namun pada akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Sekembalinya di Indonesia ia kembali ke ‘habitat’nya semula yaitu pesantren.15 Sebagai seorang pemuda pada umumnya, Abdurrahman Wahid mempunyai pengalaman jatuh. Gadis idamanya adalah seorang gadis yang pernah menjadi muridnya di pesantren Tambak Beras, Jombang. Sebelum berangkat ke Mesir, gadis itu telah “dipesan” melalui orang tuanya untuk segera dinikahi. Dia meminta kakeknya K.H Bisri Syansuri untuk melamar Siti Nuriyah, putri H. Abdul Syukur, pedagang daging terkenal di Jombang. Pernikahan yang unik pun terjadi, nikah jarak jauh itu berlangsung di Tambak Beras, pada tanggal 11 Juni 1968. K.H. Bisri Syansuri bertindak mewakili Gus Dur sebagai pengantin laki-laki. Baru pada tanggal 11 September 1971,
14
Dr. Payaman J. Simanjuntak,dkk, Gus Dur sang Rekonsiliator (Jakarta: HIPSMI,2000),
hal. 24 15
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia : Pemikiran Neo Modernsme Nurcholis Madjid, Djohan effendy, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid (Jakarta : Paramadina Pustaka Antara Yayasan adikarya dan Ford Foundation, 1999) hal 328
32
pasangan Abdurrahman Wahid – Siti Nuriyah melangsungkan resepsi pernikahan mereka.16 Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang putri, mereka adalah; Allisa Qotrunnada Munawaroh, zanuba Arifah Chasof, Anita Chayatunnufus dan Inayah Wulandari. Di kota kelahiranya Gus Dur aktif mengajar, dari tahun 1974 hingga 1976 ia dipercaya menjadi dosen sekaligus dekan fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang.17 Tahun 1979 pindah ke Jakarta dan segera dapat menyesuaikan dengan alam metropolis. Ia dikenal akrab dengan berbagai kalangan karena kepribadianya dan gagasan-gagasanya yang segar sehingga cepat mendapat popularitas, karenanya tahun 1983-1985 ia terpilih menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta.18 Pada muktamar NU di Situbondo tahun 1984 Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU. Posisi ini bertahan sampai kembali dipilih pada Muktamar di Yogyakarta pada tahun 1989, dan Muktamar di Cipasung tahun 1994. Abdurrahman Wahid juga aktifif di dunia LSM sejak akhir 1970-an, sejak saat itu ia banyak mengadakan kontak secara teratur dengan kaum intelek muda seperti Djohan Effendy dan Nurcholis Madjid, melalui forum akademik maupun lingkar kelompok studi.19 16
Dr. Payaman J. Simanjuntak,dkk, Gus Dur sang Rekonsiliator (Jakarta: HIPSMI,2000), hal.24-25 17 Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia : studi atas pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: Walisongo Press dan pustaka pelajar, 2002)hal.57 18 Drs. Ahmad Amir Aziz, M.Ag, Neo Modernisme Islam Di Indonesia : Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid ( Jakarta: Rineka Cipta, 1999), Hal. 30 19 Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia : studi atas pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: Walisongo Press dan pustaka pelajar, 2002)hal. 59
33
Progresivitas dan liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid juga tampak dalam berbagai gerakan sosial yang pernah diikutinya di luar NU. Misalnya, menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1982-1985; bergaul akrab dengan para pendeta, bahkan sampai aktivitas semacam pelatihan bulanan kependetaan Protestan; menjadi Dewan Juri Festival Film Nasional di tahun 1970 dan 1980-an yang membuatnya mendapat reaksi dari kiai NU, bahkan ada yang sempat menyebutnya sebagai ‘kiai ketprak’ atau ‘kiai kontroversial’. Abdurrahman Wahid semakin bertambah kontroversial, ketika ia menduduki jabatan sebagai salah seorang Presiden pada Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian (World Council for Religion and Peace) yang berkedudukan di Jenewa Swiss, menjadi anggota Dewan Pembina Institute Simon Perez. Di Indonesia selain menjadi pendiri Forum Demokrasi, ia adalah penggagas berdirinya Gandi (Gerakan Anti Diskriminasi) sebagai perlawanan atas munculnya indikasi formalisasi suatu agama tertentu dalam politik kekuasaan.20 Ketika era multi partai dibuka kembali setelah Soeharto tumbang, Abdurrahman Wahid menjadi deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dinilai sebagai “Anak Kandung NU”.21 Dengan pergulatan dan pengalamanya yang sangat kaya selama berada di Timur Tengah dan Eropa, Abdurrahman Wahid dapat melalui segala hambatan dan tantangan dalam bidang politik. Hasil suara PKB cukup signifikan pada Pemilu 1999. 20
Listiyono santoso, Teologi politik Gus Dur (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media Jogjakarta:2004),hal 85-86 21 48Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia : studi atas pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: Walisongo Press dan pustaka pelajar, 2002),hal.31
34
Terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Prsiden RI yang ke-4 tentu merupakan sesuatu yang bergengsi bagi seluruh warga Nahdhiyin, bahwa tampilnya Abdurrahman Wahid sekaligus menjadi bukti kongkrit bahwa strategi dan nilai-nilai kekaderan berwatak kebangsaan yang dipelopori Abdurrahman Wahid secara relatif mampu mengakomodasi seluruh elemen masyarakat bangsa Indonesia. Bagi kepentingan bangsa, terutama dalam mengatasi krisis politik kontemporer yang terjadi di Indonesia, tampilnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden jelas merupakan alternatif terbaik. Banyak pihak menilai bahwa Abdurrahman Wahid merupakan solusi atas kebuntuan komunikasi politik antara para elite yang pernah terjadi sebelumnya. Terpilihnya sebagai presiden boleh jadi merupakan stategi untuk melakukan perubahan ke arah demokratisasi yang bisa efektif karena dilakukan dengan cara masuk dalam struktur negara, apalagi berkuasa.22 Di tahun kedua, kepemimpinan Abdurrahman Wahid semakin berjalan tak karuan akibat goncangan politik yang saling besambut, fokusnya adalah tudahan dana penyelewengan Yanatera BULOG sebesar Rp.35 Milyar dan penyalahgunaan dana hibah dari sultan Brunei Daarussalam sebesar 2 juta dolar amerika, yang pada akhirnya DPR membentuk pansus untuk meyelidiki dua skandal tersebut yang kemudian menghasilkan Memorandum I yang isinya meminta penjelasan dari Abdurrahman Wahid. Kemudian setelah itu dikeluarkan kembali Memorendum II karena merasa tidak puas dengan jawaban Abdurrahman Wahid, mulai saat itulah posisi Abdurrahman Wahid 22
Laode Ida, NU Muda : kaum Progresif dan Sekularisme baru (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2004) hlm.195-196
35
sudah di ujung tanduk, karena DPR sudah menetapkan untuk melangsungkan SI MPR pada awal Agustus 2001, namun dipercepat beberapa hari sebelumnya, yakni 21-26 juli 2001. Keputusan yang sangat mengenaskan bagi Abdurrahman Wahid dan kubunya, karena ia diberhentikan, dan melalui Tap MPR No. III/MPR/2001 Megawati diangkat menjadi Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid, pada saat yang sama pula MPR menetapkan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden.23 Abdurrahman Wahid meninggal pada tanggal 30 Desember 2009 pukul 18.45 Wib di RSCM Jakarta. Sebelumnya Abdurrahman Wahid sempat menjalani perawatan medis di RS Jombang Jawa Timur, karena kelelahan setelah melakukan kunjungan ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur.24 Kondisi Abdurrahman Wahid mulai payah sejak Kamis (24/12/2009) seusai kunjungan ke Rembang dan ketika tiba di Jombang. Usai dari rembang mengunjungi Gus Mus, kemudian ke Tambakberas dan Denanyar, Abdurrahman Wahid terkena diare sehingga kemudian makan menjadi sangat berkurang dan menyebabkan kadar gula darahnya turun.25
B. Paradigma Pemikiran Kontroversial, barangkali kata atau istilah yang paling cocok untuk disematkan pada figur Gus Dur. Bisa jadi kekontroversialanya muncul karena
23
Laode Ida, NU Muda : kaum Progresif dan Sekularisme baru (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2004), hal. 197-199 24 Diakses melalui situs : http://m.kompas.com/news/read/2009/12/30/19073028/Gus-DurWafat pada tanggal 2-10-2011 25 Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: Penerbit Buku Kompas: 2010) hal.21
36
banyaknya kemampuan yang dimilikinya, sehingga sosok Gus Dur menjadi tidak lazim bagi mereka yang hanya menguasai satu disiplin ilmu saja, atau mungkin ia juga memang memiliki karakter unik yang berbeda dari manusia kebanyakan. Gus Dur setidaknya memiliki tiga wajah yang meninjol : sebagai tokoh agama, budayawan, dan politisi. Ketiga peran itu dimainkanya secara bergantian dalam kurun waktu yang sama. Ketika berada di tengah komunitas NU, dia berperan sebagai Ketua PBNU, ketika berada di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dia berperan sebagai budayawan, tetapi ketika bertemu dengan Megawati, B.J. Habibie, Wiranto atau tokoh lain, maka saat itu Gus Dur dapat dikatakan sedang memainkan peran politisi.26 Seperti tradisi kaum intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Abdurrahman
Wahid
membangun
pemikiranya
melalui
paradigma
kontekstualisasi khazanah pemikiran Sunni klasik. Greg Baron, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi memasukan Abdurrahman Wahid dalam kategori neomodernisme Islam. Barton sendiri menyebut lima ciri yang menonjol dari aliran neo-modernis.27 Pertama, neo-modernis adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Hal ini bukan berarti neo-modernisme tidak bersikap kritis terhadap
26
Ahmad Syafi’i dan Muhammad Najib dalam Gila Gus Dur : Wacana pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2000), hlm.1 27
Greg barton, Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Tradisionalism and Modernism in neo-Modernism Thought, (Studio Islamika, 1997), hlm.1, Vol. IV
37
pembangunan. Aliran ini justru kritis terhadap aspek-aspek tertentu dari pembangunan, misalnya ketidakadilan. Kedua, tidak seperti aliran fundamentalisme, neo-modernisme tidak melihat Barat sebagai ancaman atas Islam dan umatnya. Peradaban Barat dan Islam harus saling mengisi. Dalam konteks ini neo-modernisme tidak hanya membela ide-ide liberal Barat seperti Demokrasi dan hak-hak asasi manusia, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam mempunyai kepedulian yang sama dengan Barat tentang hal ini. Ketiga, neo-modernisme Islam mengafirmasi semangat “sekularisasi” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai salah satu upaya membangun titik temu antara Islam dan negara. Preferensi ini didasarkan pada asumsi baahwa al-Quran dan as-Sunnah bukan saja tidak memuat ‘cetak biru’ (blueprint) untuk sebuah negara Islam, tetapi juga tidak menentukkan bahwa negara Islam merupakan suatu keharusan. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif, dan liberal, utamanya dalam menerima dan mengafirmasi pluralisme masyarakat dan menekankan signifikasi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar-komunal. Kelima, neo-modernisme banyak mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisme ijtihad secara kontekstual. Berbeda dengan kaum modernis sebelumnya, neo-modernisme berusaha membuat suatu sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional dengan keharusan berijtihad, serta dengan gagasan-gagasan Barat dalam ilmu-ilmu sosial humoniora.
38
Abdurrahman Wahid, dalam konteks ini tak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisonal, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj) teori hukum (ushul al-fiqh) dan kaidah kaidah hukum (qawaid fiqhiyyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesis untuk melahirkan gagasan gagasan baru sebagai upaya menjawab peubahanperubahan aktual. Metodologi intelektual Sunni tradisionalitu dielaborasi sampai pada tingkat tertentu yang memungkinkan suatu persoalan dijawab secara tuntas dengan menggunakan perspektif metodologi klasik itu tanpa harus menundukkan realitas-realitas yang muncul di bawah perspektif agama secara kaku.28 Khazanah pemikiran Islam Tradisional menurut Abdurrahman Wahid tidak hanya memberikan spirit pada pola hidup egalitarian dan pembangunan masyarakat yang toleran dan berkeadilan, namun lebih dari itu, khazanah pemikiran klasik juga bisa digunakan untuk menemukan kembali esensi pengalaman keberagaman secara total yang melintasi batas kerangka legal-formalistik dan pendekatan monokultural terhadap realitas. Abdurrahman Wahid sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion). Konteks kesejarahan Islam menunjukkan bahwa agama ini lahir sebagai sebuah protes terhadap ketidakadilan di tengah masyarakat komersial Arab. Al-Quran secara jelas memberikan dorongan untuk peduli terhadap hak-hak asasi manusia dan melindungi mereka dari manipulasi yang datang dari kelas-kelas masyarakat
28
Umaruddin Masdar, Gus Dur dan Amien Rais Tentang demokrasi, (yogyakarta:Pustaka pelajar,1999), hlm.122-123
39
yang lebih kuat. Fakta historis ini merupakan alasan mengapa Islam memusatkan perhatianya pada signifikasi nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat. Islam tidak mempunyai seperangkat teori-teori politik yang koheren atau teori pemerintahan yang lengkap, tetapi Islam hanya dapat digunakan untuk membangun kerangka, atau persepsi yang lebih tepat tentang kehidupan yang baik dengan suntikan-suntikan moral.29 Tidak berlebihan bila dalam berpikir dan mengeluarkan analisisnya terhadap situasi sosial tertentu, Abdurrahman Wahid menggunakan paradigma liberal dan cenderung kontekstual ketimbang menggunakan pendekatan klasik-konvensional dan tekstual. Apalagi bila persoalan tersebut menyangkut bagaimana memberikan makna hubungan agama dengan realitas sosial yang sedang terjadi. Konsekuensi logis dalam penggunaan paradigma tersebut adalah tidak salah bila Abdurrahman Wahid dimasukkan oleh Greg Barton sebagai seorang pemikir neo-modernis yang liberal atau Mujamil Qomar menyebutnya sebagai pemikir dengan pola pikir divirgen. Pola pikir divirgen adalah pola pikir yang menjelajah keluar dar cara konvensional. Model pemikiran ini menurut Noeng Muhadjir dalam banyak hal mengindikasikan banyaknya lompatan-lompatan pemikiran sehingga menonjol sifat inovatifnya. Ciri khas ini lebih menonjolkan kadar liberalisasinya daripada ciri-ciri lainya. Dan acapkali pemikir bertipe ini melontarkan gebrakan-gebrakan yang menghebohkan umat.30 Abdurrahman Wahid sendiri tidak pernah secara 29
Umaruddin Masdar, Gus Dur dan Amien Rais Tentang demokrasi, (yogyakarta:Pustaka pelajar,1999), hlm.127 30
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Jogjakarta:Ar-Ruzz Jogjakarta,2004), hlm.91
40
eksplisit mengakui pemikiranya sebagai liberal. Ia juga tidak pernah memproklamasikan dirinya sebagai penganut liberalisme, suatu paham yang seringkali di’tabu’kan oleh komunitas agama. Dianggap ‘tabu’ dan berbahaya karena penganut paham ini selalu berupaya untuk mengedepankan rasio dan mempunyai daya kritis untuk mendobrak dogmatisme agama yang sudah ada. Tapi, sosok Abdurrahman Wahid dengan prototipe yang dimilikinya dan dengan segala bentuk pemikiranya justru sanggup memberikan sintesis terhadap konstruk berpikir liberal sebagai pola yang tidak selamanya dianggap ‘berbahaya’ dan menjadi ancaman bagi kepentingan status quo dogma agama. Sebagaimana dijelaskan di atas, Abdurrahman Wahid mampu merepresententasikan diri sebagai sosok yang sanggup berdiri di atas dua kaki yang selama ini dianggap tidak pernah bersatu. Abdurrahman Wahid mengedepankan aspek liberalisasi pemikiran di satu sisi, tapi di sisi lain sangat memegang teguh otoritas ajaran agama. Abdurrahman Wahid adalah seorang yang progresif dalam pemikiran, tapi sekaligus konservatif dalam teologi. Relitas ini yang cenderung membedakan Abdurrahman Wahid dengan pemikir liberal lainya, yang cenderung sekuler dalam berpikir secara universal.