44
BAB IV BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID
A. Sejarah Kehidupan Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid termasuk tokoh agama dan politik di Indonesia yang pemikiran dan sepak terjangnya sering menimbulkan kontroversial. Karena pemikirannya memang sangat sering menimbulkan reaksi prokontra dan selalu mengundang perdebatan dari berbagai kalangan, apalagi baik pemikiran maupun tingkah lakunya tak jarang melawan arus yang lazim bagi umat Islam. Maka jangan heran kalau pandangan orang terhadapnya berbedabeda. Ada yang memuji dan bersimpati padanya, ada yang netral, tidak ambil pusing, tak perduli; atau terang-terangan tidak senang terhadapnya itulah Gus Dur manusia sederhana namun memiliki segudang pengetahuan yang diakui oleh banyak orang. Abdurrahman wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dengan nama lengkap Abdurrahman al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang.1 Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bahwa Gus Dur dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya, tanggal 4 sya’ban 1940
1
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 338.
44
45
adalah tanggal 7 september.2 Ayahnya, K. H. A Wahid Hasyim Asy’ari, adalah putra pendiri NU3, Hadratus Syech4 Hasyim Asy’ari. Ayahnya adalah mantan Menteri Agama RI pertanma yang berperan aktif dalam panitia Sembilan untuk merumuskan piagam Jakarta.5 Sedangkan, ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri pesantren Denanyar, Jombang, K.H. Bishri Syamsuri. Dari perkawinannnya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniai empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawarah, Zannuba Arifah Chafsah, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.6 1. Silsilah Kalau kita rinci baik dari pihak ayah dan ibu, silsilah Gus Dur adalah sebagai berikut: Dari ayah dimulai dari Brawijaya keVI (Lembu Peteng) Djoko Tingkir (Karebet), Pangeran Benawa, Pangeran Sambo, Ahmad, Abd
2
Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Bioghraphy of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta; LKiS, 2008, hal. 25 3
(NU: Kebangkitan para ulama) ialah suatu organisasi Islam yang bermazhab pada Imam Syafi’I. mulanya organisasi ini dibentuk atas prakarsa KH. Hasyima Asy’ari bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah Organisasi Nahdhatul Ulama (disingkat:NU) berhasil didirikan pada 16 Rajab 1344H/31 Januari 1926 [14 tahun lebih muda dari Muhammadiyah], di Surabaya. lihat Abujamin Roham, Ensiklopedi Lintas Agama, Jakarta: Emerald, 2009, hal. 530. 4
Karena keluasan ilmunya di bidang keIslaman, mulai dari teologi, fiqih, dan tasawuf itulah yang kahirnya ia diberi gelar hadrah asy-syaikh. Lihat Haerry Muhammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh ABAD 20, Jakarta: Gema Insani, 2006 hal. 23. 5
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal. 431. 6
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam; Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global; Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, hal. 71
46
Jabar, Soichah, Lajjinah, Winih, Muhammad Hasyim Asy’ari7, Wahid Hasyim, Abdurrahman Wahid Ad Dakhil (Gus Dur). Dari pihak ibu dimulai dari Brawijaya ke VI Djoko Tingkir (Karebet), Pangeran Benawa, Pangeran Sambo, Ahmad, Abd Jabar, Soichah, Fatimah, KH. Hasbullah, Nyai Bisri Syansuri, Solichah, Abdurrahman Wahid Ad Dakhil (Gusdur).8 Dari sini kita dapat mengetahui bagaimana Gus Dur dalam silsilahnya atau trahnya merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah putih, kalangan kiai, selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya para pahlawan. Kakeknya, K.H. Hasyim Asy’ari dan ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan nasional. Melihat silsilah tersebut kiranya wajar kalau Gus Dur mewarisi bakat, mental, dan perjuangan orang-orang besar dan memang menjadi orang besar, selain besar fisiknya, besar pemikirannya, besar perjuangannya, dan besar hatinya. Memang masih banyak kalangan yang meragukan terutama ka langan akademis modernis, berkaitan dengan pola silsilah tersebut, berkaitan dengan sumbernya masih oral yang perlu
7
K.H. Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang salah satu desa di kabupaten Jombang Jawa Timur pada hari selasa kliwon, tanggal 24 dzulqa’dah 1287 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1871 M. nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn Abd alWahid ibn Abd al_halim yang mempunyai gelar pangeran Bona ibn Abd Arrahman yang dikenal dengan sebutan jaka tingkir sultan Hadiwijaya Ibn abd Allah ibn Abd al-Aziz ibn Abd al-fatah ibn Maulana Ishal dari raden Ain al-Yaqin yang disebut dengan sunan Giri, lihat H. Rayamayulis dan samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005, hal. 214. 8
Muhammad Rifai, Gus Dur…, hal. 25.
47
penelusuran lebih jauh. Namun, kalangan masyarakat Jawa abangan9 dan santri lebih mempercayainya. Hal ini dikaitkan pula bagaimana Gus Dur pernah mengaku kalau dirinya masih ada keturunan China dari leluhurnya.10 Hal ini diakui oleh tokoh etnis Cina lieus sugkarisma “ Dia itu sosok separuh dewa bagi orang Tionghoa. Tatkala ada sebagian orang Tionghoa tak mau mengaku disebut Tionghoa, Gus Dur malah mengaku dirinya keturunan Tionghoa padahal dia merupakan kiai besar.11 2. Kelahiran Secara geneologi, Abdurrahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan, menurut Clifford Geertz12, ia termasuk golongan santri13 dan priyayi14 sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, 9 Abangan merupakan kaum muslim yang pandangan budaya dan agamanya, pada tingkat yang berbeda-beda, merupakan gabungan sinkretik dari unsur-unsur animism, Hindu, Budha dan Islam. Di daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, mayoritas penduduk Islam adalah abangan. Abangan golongan masyarakat yang menganut agama Islam, tetapi tidak melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan, lihat Depdikbud RI, Kamus Besar…hal. 1. 10
Muhammad Rifai, Gus Dur…, hal. 26.
11
Arief Mudatsir Mandan, Jejak Langkah…, hal. 131-132.
12
Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang sangat terkenal dalam studi keindonesiaan. Melalui penelitiannyadi Mojokuto, yang kemudian terbitk bukunya Religion Of Java. Dia membagi stratifikasi social breligius masyarakat Jawa dalam tiga kelompok, yaitu priyayi, santri, dan abangan. Meski mendapat banyak kritik dan koreksi, namun hingga sekarang teori ini masih mewarnai studi social-religius di Indonesia. Lihat catatan kaki Abdurrahman wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam kita Agama Masyarakat dan Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute Seeding pluraland Peacepul Islam, 2006,hal. 258. 13 Santri merupakan muslim Indonesia yang saleh dan ortodoks dalam praktik devosi mereka. Pada mulanya istilah ini hanya mengacu kepada para pelajar pesantren. Dalam dunia modern, istilah ini merefleksikan penggunaan yang luas, seperti paradigm santri dan abangan yang dipopulerkan oleh ahli antropologi AS, Clifford Geertz, dalam bukunya yang berpengaruh, The Religion of Java (agama Jawa). 14
Priyayi merupakan muslim Jawa dengan hubungan aristokratik. Keyakinan pribadinya dan praktik agamanya merupakan kombinasi dari kepercayaan abangan dan
48
Abdurrahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya Kiai Bisri Syamsuri 15 dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati dikalangan NU, baik karena perannya sebagai pendiri Nahdhatul Ulama, maupun karena kedudukannya sebagai ulama.16 Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas bahwa Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Terdapat kepercyaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 sya’ban, sama dengan 7 September 1940.17
budaya tinggi istana. Golongan priyayi adalah golongan turunan raja atau kaum ningrat. Kedudukan diperoleh kerana kelahiran (keturunan) dan dapat juga karena perkenan raja/sultan. Golongan priyayi terdiri dari tiga tingkatan, yaitu: pangeran, raden, dan masagus. Lebih jelas lihat Husni Rahim, “Kesultanan Palembang Menghadapi Belanda Serta Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Palembang”, dalam “artikel”Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 36. 15
K. H. Bisri Syansuri (1886-1980); seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah kakek dari Abdurrahman Wahid, dari pihak ibu. Pendiri pondok pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fiqih agama Islam. Bisri Syansuri juga pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstitute, Ketua Majelis Syuro partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU. Lihat KH. Abdurrahman Wahid dan Daisaku, Dialog Peradaban Untuk Toleransi dan Perdaimaian, Jakarta: PT Gramedia pustaka utama, 2010, hal. 112. 16 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hal.339. 17
Muhammad Rifai, Gus Dur…, hal. 26.
49
Abdurrahman Wahid adalah anak pertama dari 6 bersaudara18 pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Sebagaimana kebanyakan santri Jawa, atau kaum muslim ortodoks (yang merupakan mayoritas pemeluk Islam Indonesia, yang dalam praktik keislaman mereka biasanya dinamakan kaum abangan), Gus Dur menggunakan nama ayahnya setelah namanya sendiri. Sesuai dengan kebiasaan Arab, ia adalah Abdurrahman ‘putera’ Wahid, sebagaimana ayahnya Wahid adalah ‘putera Hasyim. Akan tetapi sebagaimana juga kebanyakan orang sebayanya, nama kelahiran resminya berbeda lagi. Mungkin Wahid Hasyim, sebagai ayah yang sangat girang dengan kehadiran anak pertamanya. Ia dipenuhi oleh optimime seorang ayah, atau mungkin ia mempunyai kemampuan untuk melihat masa depan. Bagaimana pun, nama yang diberikan kepada anaknya ini, Abdurrahman ad-Dakhil adalah nama yang berat, untuk anak manapun.19 3. Wafatnya Pasca turun dari jabatan kepresidenan, Gus Dur terus menjalankan berbagai aktivitas sebagaimana biasa. Setiap hari, setelah memberikan kuliah bagi para santrinya di Pesantren Ciganjur, ia berkantor di gedung PBNU. Di sana ia biasa menemui para tamu yang berasal dari berbagai
18
Abu Muhammad Waskito, Cukup 1 Gus Dur saja, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 29. 19 Kata “ad-Dakhil” diberikan kiai wahid untuk mengenang jasa seorang pahlawan Islam pada masa dinasti Umayah, di Spanyol. Dalam bahsa Arab “ad_Dakhil” berarti sang Penankluk. Tentunya kiai wahid memiliki alasan atau tafa’ulan mengapa kata “ad-Dakhil” diberikan untuk anaknya. Lihat Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur…, hal. 72.
50
kalangan, untuk kepentingan yang beragam. Ia juga masih memimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai ketua Dewan Syuro. Di samping itu jadwal memberikan ceramah dan wawancara juga masih sangat padat. Sementara itu kondisi kesehatannya pun juga tidak membaik. Ia sudah lama harus menjalani rutinitas mencuci darah setiap minggu dua kali. Sudah beberapa kali publik Indonesia mendengar bahwa Gus Dur masuk ke rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun secara tibatiba. Tetapi selalu ada kabar baik, bahwa Gus Dur akhirnya kembali sehat seperti sebelumnya.20 Meski demikian, publik tetap tersentak ketika kabar wafatnya Gus Dur tersiar pada Kamis, 30 Desember 2009 (14 Muharram 1431 H) sekitar pukul 18.45 WIB di RSCM, Jakarta Pusat. Kabar duka ini pun menyebar dengan cepat melalui
Short Message Service (sms), radio, dan televisi. Ribuan
orangpun malam itu langsung memenuhi kediamannya di Ciganjur. Sebelumnya ratusan orang yang sebelumnya membesuk Gus Dur, ikut dalam iring-iringan jenazah dari RSCM menuju Ciganjur. Air mata pun tumpah di segala penjuru. Seluruh televisi menayangkan liputan tentang wafatnya mantan Presiden RI ke-4 ini. Dan itu terus berlangsung hingga keesokan hari saat prosesi pemakamannya berlangsung di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.21
20
Arief Mudatsir Mandan, Jejak Langkah…, hal. 127-128.
21
Ibid.
51
B. Latar Belakang Pendidikan Abdurrahman Wahid Semenjak kecil, Abdurrahaman Wahid yang akrab disapa dengan sebutan Gus Dur sudah terbiasa dengan hidup dalam lingkungan yang pluralis. Karena hubungan keluarga dan ativitas ayahnya, ia berinteraksi dengan berbagai kalangan dari latar belakang yang berbeda-beda. Di antaranya para kiai NU dan politisi dari dalam dan luar negeri, termasuk kalangan non muslim. Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Jakarta pada tahun 1953 sampai 1957, ia belajar di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama).22 Ketika sekolah di Yogyakarta
Gus Dur tinggal di rumah teman
ayahnya yang bernama K. H. Junaidi. Yang menarik adalah bahwa K.H. Junaidi bukanlah orang NU, melainkan anggota Muhammadiyah, yang saat itu menjabat sebagai anggota Majelis tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah. 23 1. Pendidikan Pesantren Untuk melangkapi pendidikan Gus Dur maka diaturlah agar ia dapat pergi ke Al-munawir di Krapyak tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak sedikit di luar Yogyakarta. Di sini, ia belajar bahasa Arab kepada K.H. Ali Ma’shum. Kiai ini lahir pada bulan maret 1915, satu tahun lebih tua dari Kiai Wahid Hasyim. Ia dikenal sebagi kiai yang egaliter. Pada satu sisi, ia tidak memeberikan perlakuan istemewa kepada putera-putera 22
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern…, hal. 431.
23
Arief Mudatsir Mandan, Jejak Langkah, …, hal. 40.
52
kiai-kiai terkemuka yang dipercayakan kepadanya malah ia cendrung berlaku keras terhadap mereka. Akan tetapi di sisi lain, ia bergaul bebas dengan murid-muridnya dan bahkan sering kali mendatangi tempat tinggal mereka ini, terutama pada waktu makan, memeriksa apa yang mereka masak. Kiai Ali Ma’shum juga tidak jarang, secara diam-diam, mencicipi masakan murid-muridnya. Ia mempunyai pergaulan luas. Selain itu ia juaga bergaul bebas pemimpin-pemimpin Muhammadiyah, pejabat pemerintah, dan kerabatkeraton Yogyakarta.
Ketika di Jakarta,
kemampuan bahasa Arab Gus Dur masih pasif. Ia memang sudah menguasai bahasa Inggris dengan baik dan dapat membaca tulisan dalam bahasa Perancis dan Belanda. Namun ketika di Yogyakartalah kemampuan membaca Gus Dur melesat jauh. Ia melahap banyak buku. 24 Menjelang pertengahan tahun 1950-an, Yogyakarta telah mendapat ciri khasnya sebagai kota pelajar. Oleh karena itu, bagi Gus Dur yang sangat mencintai buku, toko-toko yang menjual buku-buku bekas membawa berkah bagi perkembangannya. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran di pesantren secara penuh. Ia bergabung dengan pesantren Tegalrejo di Magelang, yang terletak di sebelah utara Yogyakarta. Ia tinggal di pesantren ini hingga pertengahan 1959. Di sini, ia belajar dengan Kiai Khudori, yang merupakan salah satu dari pemuka NU. Pada saaat yang sama ia juga belajar pada waktu di 24
Greg Barton, Gus Dur: The Authorized,…, hal. 51.
53
pesantren Denanyar, Jombang dibawah bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Bisri Syansuri. Gus dur membuktikan dirinya sebagai siswa yang berbakat dengan menyelesaikan pelajarannya di Tegalrejo di bawah asuhan Kiai Khudori ini selama dua tahun. Kebanyakan siswa lain memerlukan empat tahun untuk menyelesaikan pelajaran. 25 2. Pendidikan di luar negeri Pada tahun 1964, ia berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar26 Kairo. Sesampainya di sana, Gus Dur diberitahu oleh pejabat kampus tersebut bahwa ia harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki bahasa Arabnya. Meski sebenarnya ia sudah banyak belajar bahasa Arab di tanah air, tetapi karena tidak memiliki sertifikat tentang hal tersebut, maka Gus Dur diwajibkan mengikuti kelas khusus. Sertifikat yang dibawanya dari tanah air hanya menunjukan bahwa ia telah lulus untuk mata pelajaran hukum Islam, teologi dan beberapa studi lain. Kelas khusus tersebut memang diperuntukan bagi pemula, yang nyaris belum tahu abjad Arab.27 Sebagai akibatnya, ia dimasukkan ke kelas yang benar-benar pemula. Banyak dari mereka, yang masuk dalam kelas itu, baru tiba dari
25
Ibid., hal. 52.
26 Universitas Al-azhar ; universitas yang didirikan pada tahun 970, dan dikenal sebagai salah satu Universitas tertua di dunia, lembaga pendidikan ini berada di Kaioro, ibukota Mesir. Assal-usul bangunan yang menjadi kampusnya adalah sebuah masjid yang kemudian dijadikan sebagai bangunan Universitas. Universitas Al-Azhar mengembangkan kegiatan penelitian Syariah serta teologi Islam. Lihat, K.H. Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban…, hal. 38. 27
Arief Mudatsir Mandan, Jejak Langkah,…, hal. 45-46.
54
Afrika dan hampir tidak tahu sama sekali abjad Arab, apalagi menggunakan bahasa itu dalam perkcakapan. Sebagai reaksinya Gus Dur tidak mau mengikuti kelas itu. Sebaliknya, ia malah menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola yang banyak terdapat di Kairo, membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Prancis, dan ikut serta dalam diskusi-diskusi di kedai-kedai kopi.28 Karena merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di Al-Azhar tersebut, maka pada tahun 1966-1970 ia meninggalkan Kairo untuk melanjutkan studinya di Fakultas Seni Universitas
Baghdad. Selama
belajar di Universitas di Baghdad inilah, Abdurrahman Wahid merasa puas dan telah menemukan apa yang sesuai dengan panggilan jiwanya yang modernis. Perkuliahan di Universitas Baghdad ini ia tempuh dengan menyelesaikan strata 2 (S2). Namun, sebelum ia menempuh ujian tesisnya, Profesor pembimbingnya meninggal dunia, sehingga ujian tesisnya itu tidak dapat dilanjutkan. 29 Di Universitas Baghadad inilah ia mengenal karya-karya tokoh terkenal seperti Emil Durkhiem, bahkan selama di perpustakaan Universitas Baghadad inilah, ia menemukan informasi sejarah yang lengkap tentang Indonesia. Selain itu, ia juga berkesempatan membaca
28
Greg Barton, The Authorized, …, hal. 88.
29
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan,…, hal. 341.
55
karya-karya sastra dan budaya Arab serta filsafat dan pikiran sosial Eropa.30 Selama belajar di Timur Tengah ini, ia sempat menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah yang berlangsung pada tahun 1967-1970. Setelah menempuh pendidikan di Timur Tengah, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikan doktornya di Eropa. Namun karena terhambat oleh kendala bahasa Eropa, pendidikan doktornya ini tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya, kesempatan tersebut ia pergunakan untuk keliling Eropa sambil belajar bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. 31 Kegagalan studi di Eropa ini, menyebabkan Abdurrahman Wahid mengalihkan perhatiannya untuk studi di McGill University, Montreal Canada, dengan tujuan untuk dapat mempelajari pemikiran Islam secara mendalam. Namun rencana untuk studi di Canada ini pun tidak kesampaian. Kesempatan waktu yang tersedia akhirnya ia pergunakan untuk mengunjungi satu universitas atas universitas yang lain, sampai akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan berhasil mendirikan perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia bagi yang tinggal di Eropa.32
30
Ibid., 341.
31
Ibid., 342.
32
Ibid.
56
C. Kegiatan dan Karier Sepulang dari luar negeri, Abdurrahman Wahid meniti kariernya sebagai seorang Ustadz di pesantren Tebuireng. Selain itu, pada tahun 19721974, ia menjadi dekan Fakultas Perbandingan Agama, Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ary, UNHASY, (sekarang Institute Keislaman Hasyim Asy’ary, IKAHA), dan menjadi sekretaris Pesantren Tebuireng pada tahun 1975-1979, sampai akhirnya hijrah ke Jakarta pada tahun 1979. Di Jakarta Wahid mengawali kariernya di PBNU, dan mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebelum akhirnya mendirikan pesantren Ciganjur di Jakarta Selatan. Petualangan pendidikannya ini telah menjadikan Wahid sebagai sosok intelektual yang berpikiran liberal, longgar, dan moderat.33 Baru pada tahun 1984, ia terlibat langsung dalam kepengurusan Nahdatul Ulama setelah dipilih sebagai ketua Tanfiziyah PBNU dalam muktmar ke-27 di Pesantren Sukorejo, Situbondo, meskipun sebelumnya ia sudah duduk sebagai Katib Syuriyah PBNU setelah muktamar ke-26 di Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, ia dipilih secara aklamasi oleh muktamirin sebagai ketua umum tanfiziyah PBNU (1989-1994).34 Naiknya Abdurrahaman Wahid kepuncak pimpinan NU tidak lepas dari dukungan warga NU dan hasil kerja sebuah tim yang pernah ada sejak sebelum muktamar ke-26 di Semarang (1979). Tim itu semula bernama 33
Pahrurroji M. Bukhari, Membebaskan Agama Dari Negara: Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ali ‘Abd ar-Raziq, Jakarta: Pondok Edukasi, 2003, hal. 63. 34
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hal. 162.
57
“kelompok warung” (warung pemikir) yang dimotori antara lain oleh Abdurrahman Wahid sendiri. Kelompok ini intinya bertujuan melakukan terobosan-terobosan baru agar NU, setelah peranan politik praktisnya hilang, masih bisa mengembangkan sayapnya seperti pada awal berdirinya (kemudian dikenal sebagai Khittah Nahdliyah tahun 1926). kelompok ini kemudian membengkak dan menjelma menjadi “kelompok G”. nama ini diambil dari nama sebuah gang di kawasan Mampang, Jakarta, tempat berkumpul kelompok ini. Menjelang muktamar ke- 28 di Yogyakarta, kelompok ini sempat bersilang pendapat di antara para anggota nya dan kemudian bubar.35 Abdurrahman populer karena tingkah laku dan pembawaannya yang sering di nilai aneh. Ia juga gemar humor dan menentang arus. Pergaulan, minat dan pandangannya cukup luas. Hal ini terbukti dari berbagai jabatan yang pernah dipangkunya di berbagai tempat, antara lain, Ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) (1983-1985) dan Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) di Bandung. Ia pernah menjadi anggota tim penasehat Departemen Agama, Departemen Koperasi dan Departemen Hankam. Pernah juga ia menjadi Penasihat ahli Keluarga Berencana di BKKBN. Ia aktif dalam pelbagai Lembaga Swadaya
35
Ibid., hal. 162.
58
Masyarakat (LSM) di forum nasional maupun internasional. Terakahir pada tahun 1991, ia mendirikan kelompok yang dinamakan Forum Demokrasi.36 Kelompok ini bukan suatu asosiasi formal, melainkan hanya semacam kelompok diskusi atau kelompok kerja yang anggotanya berjumlah sekitar 45 orang dari kalangan intelektual terkemuka, berasal dari latar belakang yang beragam. Kontan, lahirnya forum ini membuat pihak pemerintah curiga, sehingga sejumlah aktivitasnya tidak diberi izin dan dilarang. Malahan Gus Dur dan kawan-kawannya dituduh mendukung gagasan liberal yang membahayakan bagi demokrasi pancasila. Ia berpendapat, tuduhan semacam ini mengabaikan tujuan dan makna sejati pancasila.37 Pancasila menurutnya tetap merupakan kompromi politik antara para demokrat, pendukung negara teokratik dan nasionalis, yang memungkinkan semua orang Indonesia untuk bersama-sama hidup dalam negara kesatuan nasional.
Dalam
UUD
1945
sendiri
jelas
tercantum
kebebasan
mengemukakan pendapat yang berarti itu dijamin oleh hukum. Maka ketika pancasila digunakan oleh para penguasa untuk membenarkan sistem yang tidak demokratis, berarti rezim itulah ‘yang menghianati pancasila’. Sebenarnya jika disepakati bahwa pancasila merupakan ideologi terbuka, maka tentu ada tempat khusus bagi organisasi non-pemerintah untuk
36
37
Ibid.
Ahmad Amir Aziz, Neo-modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999, hal. 34.
59
menafsirkannya secara bebas selama tetap dalam koridor perjuangan demokrasi.38 Dan akhirnya pada Oktober 1999, Abdurrahman Wahid, seorang pemimpin Islam terkemuka, menjadi presiden terpilih pertama dalam sejarah Indonesia.
Sebagai
ketua
Nahdhatul
Ulama
(kebangkitan
Ulama),
Abdurrrhman Wahid memimpin organisasi Islam terbesar di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia, yang 87 persen dari 220 juta penduduknya adalah muslim. Nahdatul Ulama (NU) adalah organisasi sosiokultural berbasis bpedesaan yang konservatif dengan anggota kurang lebih 35 juta orang (sekitar 20 persen dari jumlah penduduk Indonesia), dipimpin oleh seorang yang terkenal sebagai intelektual muslim perkotaan modern yang berpikir liberal.39 D. Sekilas Tentang karya-karya Abdurrahman Wahid Menurut Greg Barton40, karya tulis Abdurrahman Wahid sepanjang dekade 1970-an bisa dibagi dua periode. Periode pertama, meliputi 1970 hingga akhir 1977, masa di mana Abdurrahman Wahid memfokoskan tulisannya pada kehidupan pesantren.
38
Tulisan-tulisan tersebut telah
Ibid., hal. 35.
39 Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002,hal. 255. 40
Greg Barton adalah pengajar senior Studi Perbandingan Seni, Sains, dan Agama, (Comparative Studies in Art, Science, and Religion), pada Daekin University, di Geelong, Victoria, Australia. Sekarang dikenal sebagai ahli mengenai Islam di Indonesia, khususnya pemikiran dari kalangan yang disebut “Islam Liberal” di Indonesia. Lihat Greg Barton, The Authorized …, hal. 515.
60
dibukukan dalam Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid.
Bunga rampai ini memuat 12 artikel merupakan
sebuah buku yang secara keseluruhan membicarakan masalah-masalah pesantren.41 Perpindahannya ke Jakarta pada akhir tahun 1977 merupakan awal fase baru dari tulisannya yang membuatnya lebih terkenal, sebab ia semakin produktif. Periode kedua meliputi masa yang dimulai dari bulan januari 1978 sampai 1981, dan buku Muslim di Tengah Pergumulan. Mengenai topic masalah yang sangat luas adalah hasil kumpulan tulisannya yang memuat tujuh belas artikel. Di periode kedua ini Abdurrahman Wahid muncul sebagai intelektual public, sebab di samping ia sering tampil di kalangan intelektual Jakarta, ia juga menulis banyak esai di mass-media Jakarta, khususnya majalh mingguan Tempo. Dan kehadiran Abdurrahman Wahid menulis di majalah-majalah mingguan di tahun 1978 merupakan tanda bahwa saat itulah ia mulai hadir di media nasional. 42 Di dalam kedua buku itu kesatuan tema yang dikemukakan Abdurrahman Wahid bias disimpulkan sebagai respons terhadap modernitas. Focus utama dalam buku pertama dalah apresiasi dan pemeliharaan kebaikan subkultur pesantren, sementara buku kedua lebih sebagai penjelasan terhadap kompleksitas masal;ah yang ada dalam merespon tantangan modernitas. 41 Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2002, hal. 73. 42
Ibid., hal. 73.
61
Kendati demikian, artikel-artikel di dalam dua ontology itu secara umum merupakan suatu komitmen terhadap pertumbuhan dan keinginan secara kreatif.43 Hal yang sama juga ditemukan di sejumlah kolomnya di majalah dan surat kabar sejak tahun 1970-an. Jika ada karakteristik yang berbeda dari ketiga kelompok tulisan ini, maka hal itu hanyalah merupakan penekanan terhadap humanitarianisme fundamentalnya, yakni perhatiannya terhadap harmoni social, toleransi hak-hak dan kepentingan orang lain. Seluruh karya tulisnya tahun 1970-an, terutama di dalam kolom-kolomnya di Tempo belakangan memperlihatkan dengan jelas bahwa Abdurrahman Wahid meyakini bahwa ekspresi sejati dari Islam hanya bisa dihasilkan
jika
‘semagat hukum’ hakekat didududukan sebagai kepentingan utama. Bahkan meskipun hal itu arus mengorbankan penafsiran konvensional terhadap ‘ayat hukum’.44 Sementara buku Kyai Nyentrik Membela Pemerintah merupakan kumpulan karya ‘esai-esai’ Abdurrahman Wahid dengan nuansa tersendiri. Esai-esai ini kebanyakan pada periode awal 1980-an sebuah periode yang dapat disebut sebagai periode ilmiahnya Abdurrahman Wahid sedang gandrung dengan penggunaan metodologi ilmu sosial terutama antropologi untuk menjelaskan ‘ideologinya’. Oleh sebab itu, buku ini oleh penerbitnya
43
Ibid., hal. 74.
44
Ibid., hal.75.
62
disebut ‘antropologi Kyai’. Sebutan a’Antropologi Kyai’ menurut M. Sobary, diduga karena karya ini bermain di wilayah yang tak banyak orang mengetahuinya. Sorotan ‘lampu kamera’ Abdurrahman Wahid diarahkan pada titik dramatik dari tiap soal, tiap individu kyai yang dibahasnya. Buku ini memuat 26 artikel/esai.45 Selanjutnya buku Tuhan Tidak Perlu Dibela yang diterbitkan oleh penerbit yang sama merupakan sebuah upaya menghadirkan “Abdurrahman Wahid” dari sisi yang lain. Berbeda dengan buku Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, buku ini mengajak kita untuk memikirkan kembali persoalanpersoalan kenegaraan, kebudayaan dan keislaman. Kaitannya dengan agama, buku ini mempersoalkan fenomena agama dan kekerasan politik yang akhirakhir ini (tahun 2000) mengemuka. Agama dan kekerasan politik menjadi perhatian utama Abdurrahman Wahid, karena sering menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam. Menurut Abdurrahman Wahid, kekerasan politik merupakan akibat dari perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit. Buku ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama tentang Refleksi Kritis PemikiranIslam berisi 27 artikel, bab kedua tentang Intensitas Kebangsaan dan Kebudayan yang memuat 25 tulisan dan bab ketiga tentang Demokrasi, Ideologi dan Politik Pengalaman Luar Negeri terdapat 21 karya tulis.46
45
Ibid., hal.75.
46
Ibid., hal.76.
63
Kemudian buku Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid bahan-bahan tulisannya berasal dari majalah Prisma, majalah ilmu sosial terkemuka di tahun 1970-an hingga 1980-an. Dengan alasan praktis, bahan-bahan ini sekarang sulit dilacak. Spektrum yang menjadi perhatian dalam tulisan ini demikian luas luas meliputi politik, ideologi, nasionalisme, gerakan keagamaan, pemikiran sosial dan budaya. Kendati Abdurrahman Wahid sendiri tidak pernah belajar di univesitas dalam negeri dan mancanegara dalam ilmu sosial, namu jelas terasa tulisan-tulisan ini merupakan pemahaman Abdurrahman Wahid yang dalam terhadap ilimu-ilmu sosial yang diramunya denga pengetahuan keagamaan. Kumpulan artikel ini sedikit banyak menunjukan pengetahuan Abdurrahman Wahid yang luas dalam bidang keagamaan dan penguasaan ilmu sosialnya yang cukup memadai. Buku ini semula merupakan kepingan artikel Abdurrahman Wahid yang pernah dimuat di jurnal Prisma. Buku ini terdiri dari 17 makalah.47 Berikutnya buku Mengurai Hubungan Agama dan Negara yang diedit oleh Kacung Marijan dan Ma’mun Murod al-Brebesy sebagoiman buku-buku sebelumnya juga merupakan pembinmgkaian karya-karya Abdurrahman Wahid yang berserakan di beberapa media massa dan buku-buku. Sumber media massa dari buku ini antara lain dari majalah Aula, Tempo, Kompas, Pesantren, Prisma, dan lain-lain. Sedangkan sumber buku antara lain Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan Umat Model Abdurrahman Wahiddan Amien Rais yang dieditoleh Arif Affandi, “pengantar” dalam buku 47
Ibid.
64
NU dan Pancasila karya Einar Martahan Sitompul dan lain-lain. Secara garis besar, buku ini membahas empat bagian, Agama dan Negara yang berisi 11 artikel; Agama, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Soceity memuat 8 artikel;
Kepemimpinan
Umat
Islam:
Antar
Ekskluivisme
dengan
Inklusivisme terdiri dari 12 artikel dan ; NU dalam Dinamika Politik Bangsa berisi 6 artikel. Sebagaimana diungkapkan oleh editor bahwa lewat buku ini setidaknya kita cukup terbantu untuk melihat sosok ‘sang kontroversial’ Abdurrahman Wahid.48 Sementara menurut Faisol dari studi bibliografis yang telah dilakukannya, ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal tahun 2000. Hingga akhir hayatnya (2009), bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya yang ditulis selama lebih dari dua dasawarsa ini diklasifikasikan ke dalam delapan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk buku, terjemahan, kata pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom, dan makalah. Rincian jumlah setiap klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:49 JUMLAH TULISAN GUS DUR DENGAN BERBAGAI BENTUKNYA TAHUN 1970-AN HINGGA TAHUN 2000 No 1
Bentuk tulisan Buku
Jumlah 12 Buku
Keterangan Terdapat pengulangan tulisan
48
Ibid., hal. 77.
49
Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam,… hal.73-74.
65
2
Buku terjemahan
1 Buku
Bersama Hasyim Wahid
3
Kata pengantar
20 Buku
-
buku 4
Epilog buku
1 Buku
-
5
Artikel
41 Buku
-
6
Antologi buku
7
Kolom
263 Buku Dari berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media massa 105 Buku Dari berbagai majalah
8
Makalah
50 Buku
Sebagian besar tidak dipublikasikan
Dari tabel di atas, jelaslah bahwa Gus Dur tidak sekedar membuat pernyataan dan melakukan aksi-aksi sosial politik, kebudayaan, dan pemberdayaan masyarakat sipil belaka, tetapi juga merefleksikannya ke dalam tulisan, baik dalam bentuk artikel, kolom, makalah, maupun kata pengantar buku. Sebagian tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam bentuk buku. Hanya saja, karena buku-buku yang diterbitkan itu dalam bentuk bunga rampai tanpa ada rekonstruksi dari Gus Dur, kesan ketidakutuhan bangunan pemikiran tidak bisa dihindari. Akan tetapi, barangkali itulah cermin latar intelektual Gus Dur yang bukan berasal dari tradisi akademik, “sekolah modern” yang setiap tulisan mesti terikat dengan metodologi dan referensi formal.50
50
Ibid., hal. 74.