BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN NONDIKOTOMIK (Prof. Abdurrahman Mas’ud, M. A., Ph. D.)
A. BIOGRAFI Dalam biografi ini penulis akan mengungkapkan sejarah singkat Prof. Abdurrahman
Mas’ud
secara
Umum,
latar
belakang
pendidikan
prof.
Abdurrahman Mas’ud, karya-karya beliau dan pengalaman serta perananya dalam pendidikan
1. Sajarah Singkat Prof. Abdurrahman Mas’ud Secara Umum. Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph. D. adalah Nama lengkap beliau. Pak Rahman, begitu ia akrab disapa. Ayah Beliau bernama H. Mas’ud bin KH. Irsyad. Haji Irsyad dikenal sebagai seorang kiai yang ampuh alam bidang ilmu tauhid dengan pondok pesantrnya yang diberi Nama Roudlatul muta’alimin dijagalan Kudus. Sekarang pondo itu diasuh oleh paman Abdurrahman Mas’ud yang bernama KH. Ma’ruf Irsyad sekaligus sebagai Ro’is Syuriah NU Kabupaten Kudus. Haji Mas’ud adalah seorang santri yang berkiprah di bidang tekstil dan sangat sukses. Ibu beliau bernama Hj. Chumaidah binti H. Amir Hadi. “Dur” begitu ia akrab disapa di waktu kecil dan ia adalah anak pertama dari keluarga H. Mas’ud. Situasi dan tradisi lingkungan peantren dimana Pak Rahman dilahirkan pada tanggal 16 April 1960 di Desa Damaran Kabupaten Kudus Jawa Tengah dimana sangat erat dengan kegiatan religius. Di samping itu dengan lingkungan yang sudah padat dengan rumah-rumah penduduk dan matapencaharian mereka yang mayoritas pengusaha konfeksi atau sejenis industri rumah tangga seperti bordir dan tenun tangan atau non-mesin. Karena
itulah suasan kehidupan di kawasan Damaran,1 yang penuh dengan Susana kerja. Bila kita menelusuri gang-gang, baik pada pagi maupun sore hari, suasana kawasan ini tampak lenggang, kecuali suara mesin jahit yang bersahut-sahutan dan berirama tanpa putus.2 Suara kerja tersebut akan berubah total ketika malam tiba, terutama antara waktu magrib dan isya’. Pada saat seperti inilah semua warga masyarakat Damaran mengaji. Bagi mereka yang tidak mengaji, tidak membaut gaduh. Semua radio, tape dan televisi pada jam-jam tersebut dimatikan. Jika pada saat yang demikian ada orang yang keluar rumah, apalagi duduk bersantai, akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka. Orang akan menganggap bahwa duduk bersantai atau keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian itu dianggap tabu atau “saru”. Sehingga apabila dilihat dari sosio-historis sebagaimana di atas tentu mempunyai pengaruh pada pola pikir Pak Rahman yang tidak terlepas dari tradisi pesantren yang mana mencari ilmu merupakan sesuatu yang sangat ditentukan. Di samping faktor tersebut di atas pengaruh kedua orang tua atau bisa disebut lingkungan keluarga, juga merupakan komponen yang sangat penting. Haji Mas’ud adalah seorang ayah yang sangat peduli terhadap pendidikan agama bagi anaknya. Ayahnya sangat rajin menghadiri pengajian, bahkan Pak Rahman di waktu kecil pernah diajak ayahnya ke Rembang untuk menghadiri pengajian bersama K.H. M. Sya’roni Ahmadi, padahal jarak antara Kudus-
1
Menurut cerita kata “Damaran” berasal dari kata damar yang berarti lamapu, desa ini dikatakan Damaran karena pada zaman Wali dulu pernah para murid yang tinggal di desa ini ketika hendak bersuci pada malam hari memerlukan damar karena tempat bersucinya cukup jauh dan harus jalan kaki. Tempat suci tersebut sekarang dinamakan kampung “Sucen”, yang berarti tempat bersuci. Kampung Sucen ini terletak disebelah timur-laut Masjid Menara, sementara desa Damaran berada disebelah baratnya. Radjasa Mu’tasim dan Abdul munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi: Study Tarekat Dalam Masyarakat Industri, Cet.I., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 64-65. 2 Ibid, hlm. 56-57.
Rembang cukup jauh atau hampir dua jam bila
ditempuh dengan mobil
pribadi. Sikap apresiatif haji Mas’ud ini juga diwujudkan dengan mendorong Abdurrahman untuk di sekolah di Raudlatul Athfal Banat Kudus dan selanjutnya meneruskan di Qudsiyyah selama 12 tahun lulus tahun 1980. Setelah itu ia melanjutkan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mengambil Fakultas Tarbiyah, yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.3 Pak Rahman juga memanfaatkan media radio dan buku. Melalui media tersebut Rahman dapat mengetahi informasi baik di dalam maupun di luar negeri. Pengalaman seperti ini telah dimulainya sejak kelas I Tsanawiyah. Hal ini tidak hanya diikutinya dengan fasilitas media yang berbahasa Indonesia, namun juga media radio dan buku yang berbahas Inggris.4 Kedua media inilah yang merupakan pendorong keinginan besar Pak Rahman untuk mengetahui berbagai pemikiran yang berkembang di luar tradisinya. Dari sinilah pemikiran Pak Rahman mulai terbuka untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara luas, di luar pengetahuan keagamaan yang dipelajari di pesantren keluarganya sendiri. Faktor sosio-historis Pak Rahman tidak hanya mempengaruhi pandangannya terhadap pendidikan Islam, tetapi juga menjadikan ia sebagai seorang pemikir yang dapat memahami wacana tradisionalitas dan modernitas. Pandangan Pak Rahman terhadap pendidikan Islam tradisional sebagaimana di lingkungan pesantren merupakan konsekuwensi logis untuk 3
Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004) yang ditulis pada sampul belakang. 4 Media yang sering didengarkan Pak Rahman adalah pertama radio Australia dan BBC dari London yang disiarkan bekerjasama dengan radio Indonesia. Kalau pada saat ini yang sering bekerjasama dengan radio BBC adalah El-Sinta Jakarta, Kedua, buku di antara buku-buku yang biasa dibaca Pak Rahman adalah buku-buku yang berasal dari Australia yaitu majalah Kang Guru Radio English sedang kantornya ada di Bali Indonesia yang ia ikuti secara tuntas sejak kelas satu MTs, ketiga televisi sedang acara televisi yang sering diikuti oleh Pak Rahman yaitu TVRI yang diasuh oleh Arif Rahman di Tahun 1970-an. “Mengenal Lebih Dekat Prof. H. Abdurrahman Mas’ud M. A., Ph. D.” dalam Membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat Telaah Teologis-Historis yang ditulis oleh M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, 20 Maret 2004, hlm. 55-56.
dapat dilanjutkan sebagaimana pondok pesantren yang ditinggalkan kakeknya. Model pendidikan pesantren yang dibentuk di lingkungan keluarganya, telah berhasil dibela secara akademis. Hal ini terbukti bahwa dalam disertasinya dengan menggunakan bahasa Inggris yang berjudul “The Pesantren Architects and Their Sosio Relegious Teaching”, disertasi S-3, UCLA, AS, 1997, yang tidak hanya dibaca oleh komunitas pesantren sendiri, tetapi juga dapat dibaca oleh komunitas non-pesantren termasuk masyarakat Barat, atau para akademis di luar negeri. Namun Pak Rahman juga menerima budaya Barat. Ia berpendapat bahwa para pelajar Islam zaman sekarang perlunya untuk belajar ke-Barat guna untuk mengambil “permata” yang sementara ini telah dipinjam oleh dunia Barat dan ia juga mendukung sekali adanaya dialog antara Islam-Barat untuk menghadapi globalisasi sekarang ini.5 Di samping faktor
sosio-historis, pemikran Pak Rahman juga
dipengaruhi oleh faktor “sosio-politik”, karena keterlibatannya dalam struktur organisasi seperti di PMII Cabang Ciputat Jakarta dan NU (LAKPESDAM di Jakarta). Sebagai pemuda yang sudah terbiasa dengan bacaan dan pemberitaan yang berkaitan dengan pemikiran di luar komunitasnya, Pak Rahman tampak konsisten mengikuti akar tradisinya dan pemikiran-pemikiran baru secara rasional dan proporsional. Sehingga walaupun Pak Rahman komitmen dengan tradisi yang dibentuknya, dalam pemikirannya, ia tetap obyektif dan tidak memihak. Pola pemikiran Pak Rahman saat ini dapat dibuktikan dari cara pandangnya ketika masih dalam komunitasnya, yaitu tidak taqlid begitu saja pada doktrin ajaran pesantren dan NU yang mempengaruhinya, misalnya, dalam menghadapi Muhammadiyah, Pak Rahman sangat moderat, walaupun anrtar NU dan Muhammadiyah terdapat perbedaan prinsip dan pemahaman 5
Pendapat beliau ini bisa ditemukan di dalam buku pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam, Ibid, hlm 13.
dalam menginterpretasikan al-Qur’an dan al-Hadits. Namun demikian, Pak Rahman masih tetap berada dalam ruang lingkup sosio-politik tradisi yang membangun pola pikirnya, seperti penghormatan yang ditujukan pada seorang pemimpin, tokoh masyarakat, dan seorang kyai karena kharisma dan penguasaan kailmuan mereka. Walaupun masih tetap mengikuti tradisi seperti ini, Pak Rahman tidak meninggalkan kritisisme seperti yang berkembang di Barat untuk membangun tradisi berupa kesadaran keilmuan dan intelektual. Oleh karena itu Pak Rahman tidak menjauhina. Karena dengan konsistensinya pada tradisi yang dipertahankan, akan membudahkan peluang Pak Rahman untuk mengadakan perubahan dari dalam dan menawarkan interpresentasi-interpretasi baru dari sebuah wacana yang berkembang dalam sebuah kultur yang mempengaruhinya. Keterpanggilan memeprbaharui akar tradisi sendiri itulah yang mendorong Pak Rahman untuk memperdalam studi Islam. oleh karena itu ia mengkonsentrasikan wilayah belajarnya dalam bidang pemikiran Islam kehusunya sejarah peradaban Islam. Namun sebagaimana yang diakuinya, studi pada Islamic Studies di Amerikan adalah tidak terlepas dari dorongan kedua orang tuanya yang gethol dalam mendidik anak-anaknya.
2. Latar Belakang Pendidikan Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D. mendapatkan pendidikan formal pertama kalinya di Radlatuil Athfal NU pada usia enam tahun tepatnya pada tahun 1966. pada tahun 1968 ia masuk di Madrasah Qdsiyah Kudus6 ia harus berada di tingkat shifir dulu selama dua tahun dan selanjutnya baru 6
Madrasah Qudsiyyah didirikan oleh K.H.R. Asnawi pada tahun 1318 H. Pada mulanya madrasah ini mempunyai dua bagian, bagian Ibtidaiyyah dan bagian Tsanawiyah serta memberikan pelajaran agama 75% dan pendidian umum 25%. Kemudian sekarang ini pendidikan yang ada di madrasah Qudsiyyah sudah mulai imbang antara pendidikan agama dan pendidikan umum bahkan sudah mendirikan pendidikan Aliyah. Pada masa pendudukan jepang madrasah ini terpaksa di tutup dan baru dibuka kembali pada tahun 1950 M. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), hlm. 253-254.
Tingkat Dasar (MI), Tsanawiyah dan Aliyah selama dua belas tahun (19681980). Gelar Doctorandus (Drs) diperoleh pada tahun 1987 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengalamannya selam kuliah diantaranya, pernah mengikuti Workshop Non-Government Organization (NGO) di Philipina selama 2 bulan pada tahun 1986. pak Rahman juga pernah menjadi tenaga pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah tempat dia kuliah pada tahun 19841988. Kemudian Pak Rahman melanjutkan pendidikan di Islamic Studies, University of California Los Angeles, USA, dengan bantuan atau beasiswa Fulbrigh Scholarship.7 Setelah lolos S-2 pada tahun 1992 ia melanjutkan S-3 pada tahun 1993 di lembaga yang sama dan akhirnya pada tahun 1997 ia telah gelah Ph.D. (Doctor of Philosophy). Pada bulan April 2003, Pak Rahman mendapat gelar professor di bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam.8 Selain itu beliau juga ditetapkan sebagai pakar keagamaan Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota.
3. Karya-karya Ilmiah Sebagai seorang guru besar di bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam, Abdurrahman Mas’ud telah menghasilkan banyak karya-karya ilmiah. Karya-karya beliau berada dalam bentuk buku, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian dan makalah. Abdurrahman Mas’ud telah mampu menyampaikan gagasan-gagasan pemikirannya dengan diperkuat hasil-hasil penelitiannya yang diramu secara baik sehingga menghasilkan tulisan-tulisan yang diperkaya referensi studi studi pemikiran Islam. Di samping itu, tulisannya banyak juga yang dimuat di Majalah, Koran maupun dalam Jurnal baik Nasional maupun 7
Dari 600 orang lebih yang ikut seleksi namun yang diberangkatkan hanya 13 orang. Atas dinobatkannya beliau menjadi guru besar, ada salah crew majalah yang memberi selamat atas pengukuhan tersebut. Edukasi Ajang Pergulatan Mahasiswa, “Menimbang Signifikansi Pendidikan Agama”, Edisi XXVIII, Th.XI/VI/2003, hlm. 71. 8
International. Sebagian besar karya-karyanya disesuaikan dengan disiplin keilmuannya, yaitu mengenai studi pemikiran Islam. Hasil karya Abdurrahman Mas’ud yang pernah diterbitkan dalam bentuk buku diantaranya adalah sebagai berikut: 1. “Inteletual pesantren: Perhelatan agama Dan Tradisi, yang diterbitkan Lkis Yogyakarta, Februari 2004.9 Karya beliau ini terjamahan dari “The Pesantren Architects and Their Sosio Religious Teaching”, disertasi S-3, UCLA, AS. 1997, (disertasi yang disusun di Amerika dalam rangka memeproleh gelar Ph.D.)”. 2. “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Gama Media, Yogyakarta, 2002.10 3. “Menuju
Paradigma
Humanis”,
diterbitkan
oelh
Gama
Media,
Yaogyakarta, November 2003. 4. “Membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat: Telaah Teologis-Historis, buku saku yang merupakan rangkaian dari pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam, 20 Maret 2004”. 5. “Antologi Studi Agama dan Pendidikan”, di terbitkan oleh CV. Aneka Ilmu, Semarang, September 2004. Disamping itu, masih banyak karya-karya beliau yang dimuat dalam bentuk buku yang dirangkum dan disertai dengan karya-karya ide pokok para tokoh yang lainnya. Hasil klarya-karya tersebut diantaranya: 1. “Pesantren dan Walisongo Sebuah Interaksi Dalam Dunia Pendidikan” dalam “Islam dan Kebudayaan Jawa”, pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Gama Media, Yogyakarta, 2000, (Editor) Drs. H.M. Darori Amin, M.A.
9
Karya ini telah diresensi oleh Farid Bani Adam, “Melacak Para Master Dunia Pesantren”, Edukasi Ajang pergulatan Mahasiswa, edisi XXIX, Th. XI/VI/2004, hlm. 84. 10 Diresensi oleh Sugiyanto, “Dikotomi, Penyebab Kemandegan Islam”, Jurnal Edukasi Pendidikan Islam Liberal, Colum I, Th.X/Desember, 2002, hlm. 161.
2. “Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat Madani”, dalam Ismail S.M., dan Abdul Mu’thi (Editor), “Pendidikan Islam; Demokratisasi dan Masyarakat Madani” Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama denga pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. 3. “Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam”, dalam “Paradigma Pendidikan Islam”, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. 4. “Sejarah dan Budaya Pesantren dan Tradisi Learning pada Era Pra Madrasah” dalam “Dinamika Pesantren dan Madrasah”, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerja sama denga Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. (Editor) Isma’il SM, Nurul Huda, dan Abdul Khaliq. 5. “Agama dan Prilaku Politisi dalam Proses Pilkada”, dalam Pilkada di Era Otonomi, Buku bunga Rampai bersama sama dengan Darmanto Jatman, dkk, diterbitkan oleh Aneka Ilmu tahun 2003. Sedangkan karya-karya beliau yang ditulis dalam jurnal antara lain: 1. “The Transmission Of Knowledge in Medieval Cairo”, (Book Review), Jusur, UCLA, January 1993, pp. 117-121. 2. “The Islamic Quesst: A Fascinating Account of Muslim Thirst for Knowledge”, Al-Thalib, MSA UCLA News Magazine, March 1993, pp.12,14. 3. MISI (Muslim Intellectual Society of Indonesia/ICMI) Project on Human Resources Development For Indonesian Studients In the USA, 1994-1996. 4. “Sunnism and Orthodoxy In the Eyes Of Modern Scholars”, PROGNOSA, Monthly Magazine In Indonesia. “Jentera Times, Monthly Magazine In Los Angeles, September 1996, pp.22-23.” 5. “Ulama’ and Muslim Intellectual In Indonesia”. Jentera Times, Monthly Magazine In Los Angeles, September 1996, pp. 22-23. 6. “Nawawi Al-Bantani An Intellectual Master Of The Pesantren Tradition” Studia Islamika 3, No.3, Jakarta, November 1996, hlm. 81-114.
7. “Asal-usul Pemikiran Sunni: Sebuah Catatan Awal”, Suara Umat, Vol.1., No.2, Desember 1997, hlm. 53-56. 8. “Why The Pesantren In Indonesia Remains Unique And Stronger”, disampaikan dalam International Seminar On Islamic Studies In The Asean: history, Approaches, and future Trens. Seminar ini dilaksanakan pada tanggal 25-28 juni 1998 oleh College Of Islamic Studies PSU Pattani. 9. “Mahfudz Al-Tirmizi: An Intellectual Biography” Studies Islamika, No.3, Jakarta, November 1998, hlm. 106-118. 10. “The Da’wa Islamiyya in Medieval Java, Indonesia,” Ihya’ Ulum al-Din International Journal, Number 01, Vol.1., 1999, pp.25-52. 11. “Etika Profesi dalam Menghadapi Perubahan Millennium”dalam Journal bima Suci, No.11., hlm. 73-77, BAPPEDA Tingkat I Jawa Tengah, Tahun 2000. 12. “Reward And Punishment In Islamic Education”, Ihya’ Ulum al-Din International Jounal number 1, Vol.1., 2000, pp.94, Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang. 13. “Tarekat dan Modernitas; Perspektif Pendidikan Islam” dalam Journal Religia, Volume 3, No.2, hlm. 31-36, STAIN Pekalongan, Juni 2000. 14. “Khalil Bangkalan (1819-1925 a.d): An Intellectual Biography” International Journal Ihya’ Ulum al-Din, Volume 2, hlm157-170, Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Desember 2000. 15. “Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam” dalam Journal Penelitian IAIN Walisongo Semarang, Edisi 17, hlm. 17, hlm.92106, Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, tahun 2001. 16. “Diskursus Pendidikan Islam Liberal” dalam jurnal “Edukasi” Vol.1, Th. X/Desember/2002. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002. Selain beberapa buku dan journal yang dihasilkan dari pemikirannya, Abdurrahman Mas’ud juga gemar menulis beberapa makalah yang
disampaikan dalam berbagai seminar baik regional maupun nasional serta dalam lokakarya. Makalah-makalah tersebut antara lain: 1. “Muslim Education Before The Establishment of The Madrasa”, Seminar Midle East Studies Association of North America (MESA) di North California AS, tahun 11-14 september 1993. 2. “Moslem Secholarship: Between Challenges and Prospect,” seminar San Fransisco, AS, 3 Juni 1995. 3. “Why The Pesantren In Indonesia Remins Unique And Stronger”. disampaikan dalam seminar Pattani campus Thailand, 25-28 Juni 1998. 4. “Beberapa Catatan Sekitar Islamologi” disampaikan dalam “Diskusi Kelompok Ilmuwan Sejarah dan Peradaban Islam”, IAIN Walisongo Tanggal 26 Juni 1999. 5. “Beberapa Potensi dan Watak Pesantren” disampaikan dalam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 19 Januari 2000. 6. “Revalitas Pendidikan Islam dalam Konteks Peradaban” disamapaikan dalam “Diskusi Kelompok Ilmuan Sejawah dan Peradaban Isalm IAIN Walisongo Semarang” Tanggal 1 Pebruari 2000. 7. “Tantangan dan Prospek Jurusan K.I” disampaikan dalam “Seminar Regional Fakultas Tarbiyah IAIN Walisogo Semarang” Tanggal 15 Pebruari 2000. 8. “Tarekat dan Modernitas”, disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Tariqoh Mu’tabaroh” STAIN Pekalongan, Tanggal 27 Pebruari 2000. 9. “Transformasi Kebudayaan Masyarakat Kudus Menuju Terciptanya Civil Society” disampaikan dalam seminar sehari “Membangun kebudayaan dan peradaban Masyarakat Kudus”, Cermin, Tanggal 8 April 2000. 10. “Gerakan-gerakan Sosial
Keagamaan dan Potensi Civil Society di
Indonesia”, disampaikan dalam “Loka Society di Indonesia”, WRI Semarang, tAnggal 13-14 Juni 2000.
11. “Metode Da’wah Bil Hal” disampaikan dalam “Lokakarya Da’wah Reforamsi Pembangunan”, UNISSULA, Semarang, Tanggal 13 Juni 2000. 12. “Metodologi Pengajaran Agama dan Aswaja” disampaikan dalam seminar dan Lokakarya Nasional “Pembaharuan Kurikulum PAI dan Aswaja”, alMa’arif, tgl. 14-16 Juni 2000. 13. “Psikologi Kepemiminan” disampaikan dalam “Training of Trainer Pusat Study Wanita IAIN Walisongo Semarang” Tanggal 14-15 Agustus 2000. 14. “Model-model Penelitian” disampaikan dalam “Pelatihan Penelitian”, STAIN Pekalongan, Tanggal 24 Agustus 2000. 15. “Metode Pendekatan dan Pengajaran PAI di PT umum”, disampaikan dalam “Semiloka Dosen Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum” Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 4 Nopember 2000. 16. “Potret dan Peta Dunia Pesantren”disampaikan dalam “Lokakarya Kebijakan Pendidikan Nasional Nasional dan Pesantren” WRI, Tanggal 23-25 Nopember 2000. 17. “Cros-culture Understanding” disampaikan dalam Diskusi Dosen IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 24 Nopember 2000. 18. “Beberapa Catatan Profesi Teknologi Kejujuran” disampaikan dalam Seminar Nasional “Pengujian Teori Teknologi Kejuruan”, Tanggal 11-12 Maret 2001. 19. “Pendidikan Seks Dalam Islam” disampaikan dalam “Seminar sehari Pendidikan Seks Dalam Berbagai Perspektif, UNISSULA, Semarang, Tanggal 20 Maret 2001”] 20. “Upaya Preventif
penularan Violence Berbaju Agama” disampaikan
dalam “Sarasehan Perdamaian RIBATH Pekalongan, Tanggal 26 Maret 2001”.
21. “Perspektif Tentang Komunikasi Global” disampaikan dalam “Seminar Regional Perpustakaan UPT Perpustakaan” UNISSULA, Semarang Tanggal 17 Mei 2001. 22. “Represi Pendidikan Islam”, disampaikan dalam Seminar Nasional “Pendidikan Islam” STAIN Sunan Drajad, Lamongan, Tanggal 27 Mei 2001. 23. “Islam and Terorism”, Diskusi Panel dengan Prof. Ron Lukens-Bull UNF, As Oktober 2001. 24. “The Concept Of Khalifatullah In Islam”, Seminar Round Table Discation dengan para pakar, professor UNF AS, November 2001. 25. “Ramadan: Finding Common Ground Between Islamic and Westren Values”, VOA Washinton DC., AS., 28 November 2001, disiarkan secara langsung oleh INDOSIAR kamis pagi Indonesia. 26. “Inklusifisme dalam Wacana ke-Islam-an dan Kebangsaan” disampaikan dalam “Lokakarya Pra Muktamar I PKB”, Tanggal 2-3 Juli 2003. 27. “Pengembangan Ilmu Ke-Islaman di IAIN: Sejarah dan problematikanya”, Dipresentasikan dalam Simposium Nasional IAIN Walisongo, 11 juli 2003. 28. “Konteks Sosiologis Pendidikan Agama Islam” disampaikan dalam “Pelatihan Penelitian Metodologi Tarbiyah”, STAIN Kudus, Tanggal 1931 Juli 2003. Sedang penelitian yang pernah dilakukan oleh Pak Rahman baik secara colektif maupun individual antara lain sebagai berikut: 1. “Project on Community Development And Research” The Institute For Human Resources Development And Studies (LKPSM-NU) Jakarta, 19841988. 2. “Human Resources Development For Indonesian Student In The USA”, MISI (Muslim Intelektual Society Of Indonesia/ICMI) Project 1994-1996.
3. “Pesantren dan Kebudayaan: Kajian Ulang Tentang Peran Pesantren Sebagai Pembentukan Kebudayaan Indonesia”, Penelitian Kolektif bersama Prof. Abdul Djamil, MA. (dkk) dengan bantuan dari DIP IAIN tahun Anggaran 1998-1999. 4. “Dikotomi Ilmu dan Agama: Kajian Sosio-Historis Pendidikan Islam”, Penelitiandengan bantuan DIP IAIN tahun anggaran 1999-2000. 5. “Human Religious sebagai paradigma Pendidikan Isalm”, Penelitian dengan bantuan DIP IAIN Tahun anggaran 2000. 6. “Islam And Humanism, When Moslem Learns From The West: A Cross Culture Project”, Penelitian postdoc dengan beasiswa Fulbright Agustus 2001 Januari 2002 di Amerika. 7. “Kopetensi Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalam pandangan masyarakat pengguna di Jawa Tengah”, Penelitian kompetitif dosen PTAI se-Indonesia Depag RI Bersama Dr. Achmadi (dkk), Prof. Rahman Sebagai ketua Tim, tahun 2004.
4. Pengalaman dan Peranannya Dalam Pendidikan Di samping pengalaman-pangalaman beliau di atas ada beberapa pengalaman-pengalaman beliau yang lain terutama setelah beliau kembali dari Amerika pada bulan Januari tahun 1997 dengan mendapatkan gelar Ph.D. (Doctor Of Philosophy) dalam Islamic studies (Interdepartemental Studie UCLA), Pak Rahman diberi amanat untuk menjabat sebagai Wakil Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang (1997-1999). Pada tahuan 1999-2000, beliau menjabat Kepala Pusat Penelitian (PUSLIT) dan Direktur Walisongo Research Institute (WRI) IAIN Walisongo Semarang. Di tahun yang sama, Pak Rahman dipercaya sebagai Konsultan BEP (Basic Educational Project) dan SIMES (Semarang Institut For Moslem Educational Studies). Selanjutnya, pada bulan September 2000, beliau mendapat kepercayaan untuk memegang jabatan sekarang. Selain itu, beliau juga memegang jabatan Ketua
MP3A Jawa Tengah,11 Wakil Ketua DRD (Dewan Riset Daerah) Jawa Tengah dan editor Journal Internasional “Ihya’ Ulum al-Din”. Pak Raman juga menjadi tenaga pengajar di IAIN Walisongo Semarang (S 1 dan S 2), Pasca Sarjana Universitas Diponegoro (MM-UNDIP) Semarang, Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakart, Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, Universitas Islam Malang (UNISMA) Jawa Timur.12 Di samping itu ia sudah menetap di Semarang tepatnya di perum BPI K-26 Ngaliyan.13 Sedang pengalaman Pak Rahman selama di Amerika di antaranya adalah menjadi penasehat atau pembimbing pengajian Konsultan Indonesia untuk masyarakat Muslim di Los Angeles, California dan anggota konsultan ICMI di Amerika pada tahun 1992 sampai tahun 1995. beliau juga pernah menjadi editor OASE, sebuah bulletin keagamaan untuk komunitas Muslim di Los Engeles (1994-1996).14 Pak Rahman juga menapatkan kepercayaan dari Fullbright untuk mengadakan penlitian di Amerika selama enam bulan. Selama di sana, beliau mengadakan penelitian yang akhirnya menghasilkan dua buah buku yang layak dibaca oleh kalangan akademis, buku-buku tersebut diantaranya adalah, Pertama, “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam” yang telah diterbitkan oleh Gama Media, Yogyakarta, pada bulan September 2002. buku yang Kedua
11
MP3A kepanjaganya “Majlis Penembangan Pendidikan dan Pengajaran Agama” namun akhir-akhir ini kepanjangan tersebut akan direvisi kembali, yang jelas salah satu dari “P3” ada yang berarti Pembaharuan. MP3A ini sebenarnya sudah lahir sejak tahun 1955 sedang ketua pusatnya sekarang adalah Pak Sukri Zarkasi di Jakarta, institusi ini bergerak di bidang pembaharuan pendidiakn agama Islam. wawancara dengan Prof. H. Abdurrahman Mas’ud pada hari jum’at tanggal 22 Juli 2005. 12 Abdurrahman Mas’ud, “Diskursus Pendidikan Islam Liberal” jurnla Edukasi Pendidikan Islam Liberal, Colum I, Th.X, Desember, 2002, hlm. 14. 13 Nomor Telepone beliau (024) 7604716 dan Email: Walisongo @yahoo.com, Abdurrahman Mas’ud, Antolog Studi Agama dan Pendidikan, op.cit., yang ditulis pada sampul belakang. 14 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 235.
adalah “Menuju Paradigma Islam Humanis” yang juga diterbitkan oleh Gama Media, Yogyakarta pada bulan November 2003. Peran Pak Rahman dalam bidang akademik pun sekarang masih aktif yang dapat dilihat secara langsung di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Di samping itu beliau terkenal sangat ramah, disiplin juga tegas dalam mengajar sehingga banyak mahasiswa yang segan kepadanya. Ia memegang matakuliah perpen (Perbandingan Pendidikan).15 Di perkuliahan program pascasarjana ia juga dikenal akrab dengan mahasiswa bahkan kebanyakan dari mereka menganggap Pak Rahman bagaikan mitra belajar.
B. PEMIKIRAN
POF.
ABDURRAHMAN
MAS’UD
TENTANG
PENDIDIKAN NONDIKOTOMIK Pada pembahasan kali ini, penulis akan memaparkan tentang pandangan prof. Abdurahman mas’ud mengenai model pendidikan nondikotomik yang terkait dengan latar belakang kemunculan pendidikan nondikotomik serta konsep pendidikan nondikotomik beliau.
1. Latar Belakang Munculnya Ide Pendidikan Nondikotomik Mengenai kemunduran Islam yang tak kunjung akhir hingga saat ini tampaknya para tokoh Islam berfikir keras untuk mencari solusi bagaimana agar Islam dapat jaya kembali sebagaimana yang pernah didapatkannya pada awal kemunculannya hingga abad ke-11 M. Prof. Abdurahman Mas’ud adalah seorang guru besar di suatu perguruan tinggi Islam di Indonesia tampaknya beliau terpanggil untuk mencari solusi atas decadency yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam sebagaimana tokoh-tokoh Islam lainnya. Keikutsertaan beliau ini tampak begitu jelas dengan konsepnya Humanisme Religius sebagai 15
Pak Rahman setiap mengadakan tes biasanya berbentuk lisan dan harus menggunakan bahasa Inggris, ini ia lakukan semata-mata hanya mendorong mahasiswa untuk aktif belajar bahasa Inggris, ia melakukan ini tidak hanya pada mahasiswa S-1 tapi juga mahasiswa S-2.
solusi atas terjadinya dikotomik di dalam dunia pendidikan Islam. Munculnya sistem dikotomik di dalam dunia pendidikan Islam telah dianggap oleh kebanyakan tokoh Islam sebagai penyebab utama atas decadency in Islamic civilization. Secara umum latar belakang ide model pendidikan nondikotomik versi Prof. Abdurahman Mas’ud ini dilatarbelakangi oleh dua bentuk yaitu secara non-akademis dan secara akademis16 sebagai berikut: 1. Secara Non-Akademis Latar belakang secara non-akademis ini berupa pengalamanpengalaman beliau semenjak melakukan research yaitu pertama, research yang beliau lakukan di Indonesia pada tahun 1999 yang bersifat individual sedang tema besar pada penelitian ini adalah “Mencari akar-akar dikotomi ilmu di dalam dunia pendidikan Islam”. Kedua, research postdoct-nya yang beliau lakukan di Amerika dengan mendapat bantuan dari Fulbright. Walaupun orisinilitas penelitian beliau tentang “dialog Islam-Barat”, namun Prof. Abdurrahman Mas’ud di tengah-tengah kesibukannya meneliti beliau teringat dengan penelitian yang beliau lakukan di Indonesia yaitu tentang akar permasalahan dikotomik keilmuan di dalam dunia pendidikan Islam karena dari penelitian yang pertama tersebut beliau hendak menjadikannya sebuah buku, maka beliaupun tak menyia-nyiakan waktu di Amerika. Jadi beliau di samping sibuk meneliti tentang dialog Islam-Barat beliau juga masih memikir-mikir, “bagaimanakah solusi yang tepat untuk mengatasi adanya dikotomik di dalam pendidikan Islam dan kira-kira bagaimanakah bentuk pendidikan Islam yang paling ideal pada zaman sekarang dengan tanpa dikotomisasi ilmu”.17
16
Wawancara dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud di kantor pasca sarjana pada hari Jum’at tanggal 22 Juli 2005 pukul 09.00 WIB. 17 Ibid
Sepulang dari penelitiannya di Amerika akhirnya beliaupun menyelesaikan bukunya yang diberi judul “Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Humanis Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”.18 Di dalam bukunya ini Prof. Abdurrahman Mas’ud menawarkan paradigma humanisme religius sebagai solusi atas diktomisasi yang sedang terjadi di dunia pendidikan Islam plus sebagai model pendidikan nondikotomik menurut beliau.19 2. Secara Akademis Sebenarnya latar belakang secara akademis ini sudah banyak Prof. Abdurrahman mas’ud terangkan di dalam karyanya yang berjudul Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Kirannya penulis perlu menerangkan kembali keterangan-keterangan Prof. Abdurahman Mas’ud secara singkat. Semenjak kelahiran Islam pada abad ke-7 sampai abad ke-11, Islam telah menunjukkan kehebatannya yang mampu melahirkan pemikirpemikir Islam yang pandai di segala bidang keilmuan dengan beberapa lintas keilmuan yang mereka miliki baik umum maupun agama di samping itu mereka juga memiliki akhlak yang tinggi. Gerangan apa yang terjadi saat ini Islam telah mengalami krisis yang berkepanjangan dan entah smpai kapan semuanya ini akan berakhir sehingga Islam bisa jaya kembali. Dengan adanya decadency di dalam Islam tersebut Prof. Abdurrahman Mas’ud menerangkan:20 Menarik untuk disimak kembali bahwa pada puncak kemajuan peradaban Islam, empat belas abad pertama sejak kemunculannya agama ini (7-11 M), tidak ditemukan dikotomi antara ilmu agama dan 18
M. Rikza Chamami dan Ekobudi Utomo, “Mengenal lebih dekat, Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.D” dalam membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat: Telaah Teologis-Historis, Buku Pidato Pengukuhan Prof. Abdurrahman Mas’ud sebagai Guru besar tanggal 20 Maret 2004, hlm. 78. 19 Wawancara dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud pada hari Jum’at tanggal 22 Juli 2005 20 Abdurrahman Mas’ud, “Tradisi Learning pada Era Pra-Madrasah”, dalam Isma’il SM (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I, hlm 186
ilmu-ilmu umum. Pengaruh perdana Yunani kuno, Firs Wafe Of Helenism (meminjam istilah Montgomery watt, 1973), tidak pernah disambut dengan antagonisme dalam empat abad pertama peradaban Islam. Namun setelah simtom dikotomi menimpa umat Islam di abad ke-12, perkembangan berikutnya adalah orientasi umat Islam yang lebih puas pada pendalaman ilmu agama dengan supremasi fiqih tanpa diimbangi dengan cabang-cabang ilmu lain yang luas sebagaimana prestasi mengesankan yang pernah diraih di masa-masa sebelumnya. Di sinilah terlihat secara jelas bagaimana kemunduran peradaban. Culture decline, mulai menghinggapi dunia Islam.21 Dari keterangan di atas bisa kita ketahui bahwa penyebab utama layunya intelektualisme Islam adalah saat terjadinya dikotomi keilmuan di dalam dunia pendidikan Islam yang terjadi sekitar abad ke-12. sedang penyebab dikotomik sebagaimana di atas ternyata cukup kompleks yang bersifat menyeluruh, semuanya tampak berperan terhadap trend munculnya gejala dikotomik, dari penguasa sampai ilmuan, dari ulama’ sampai militer dan dari lembaga pendidikan sampai jauh di luar lembaga pendidikan sungguh merupakan sebuah gejala alami dari kekayaan intelektual menjadi kekayaan spiritual.22 Pola pikir dikotomik ini tampaknya sudah mendarah mendaging sampai sekarang yang menyisakan image bahwa Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran.23 Prof. Abdurrahman Mas’ud membagi bentuk dikotomik dalam dunia pendidikan Islam menjadi tiga bentuk yaitu: 1. Ilmu agama dan ilmu nonagama (umum) Image ini juga telah membuat langgengnya supremasi ilmuilmu agama yang berjalan secara monotik. 2. Wahyu dan alam 21
Abdurrahman Mas’ud, Antologi Pendidikan Agama (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003)
hlm. 119. 22
Abdurrahman Mas’ud, “Dikotomi Ilmu agama dan Non-agama Kajian Sosio Historis Pendidikan Islam”, hasil Penelitian beliau yang mendapatkan bantuan dari IAIN Walisongo Semarang, (Semarang, Pustaka Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang: 1999/2000), hlm. 128 23 Abdurrahman Mas’ud, “Tradisi Learning pada Era Pra-Madrasah”, Op.cit, hlm 186
Image ini juga telah menyebabkan miskinnya penelitian empiris dalam pendidikan Islam
3. Wahyu dan akal Image yang terakhir ini telah menjauhkan disiplin filsafat dari pendidikan Islam.24 Sistem hafalan yang tidak mengerjakan akal secara proporsional dan mengesampingkan makna, padahal makna jauh lebih penting karena menurut para ahli filsafat menyatakan bahwa lebih baik salah tapi jelas dari pada benar tapi samar-samar dan konsep ini sangat penting dalam meraih kebenaran ilmiah. Sistem hafalan tersebut menurut prof. Abdurrahman Mas’ud adalah dampak dari dikotomi yang ketiga.25 Sebenarnya dasar ajaran Islam tidak mengenal dikotomisasi ilmu sebagaimana pendapat Prof. Abdurrahman Mas’ud yang menampik adanya tiga model dikotomi di dalam dunia pendidikan Islam tersebut di atas beliau menerangkan: pertama, bahwa Islam adalah Religion of nature, segala bentuk dikotomi antara agama dan sains harus dihindari. Alam penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan Ilahi yang menunjukkan kehadiran sistem global. Semakin jauh ilmuan mendalami sains, dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perenis yang dalam filsafat Islam disebut transedence. Iman tidak bertentangan dengan sains, karena iman adalah rasio dan rasio adalah alam. Konflik di antara keduanya hanya merupakan struggle antara dua kekuatan yang bertikai yang satu bersifat tertutup conservative sedang yang lain terbuka, seculler. Kedua, alam adalah ciptaan Allah yang agung sekaligus sebagai bukti atas tanda-tanda 24
Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002) hlm. 9 25 Ibid,
keberadaan Allah maka alam merupakan wahyu yang tak tertulis. Untuk meraih kebenaran maka manusia harus membaca dan menganalisa wahyu Allah baik yang tertulis atau di sebut Qur’aniyyah dan yang tidak tertulis atau alam atau di sebut Kauniyyah. Manusia merupakan khalifah di bumi yang mempunyai missi memenuhi perintah-perintah Allah. Segala upaya manusia ditujukan untuk ibadah maka perencanaan, investment dan pemanfaatan alam sudah merupakan perwujudan pemujaan kepada Allah. Dengan demikian penciptaan alam semesta bukanlah berhubungan dengan keimanan saja tetapi juga motivasi bagi manusia untuk peduli terhadap alam. Ketiga, di dalam pendidikan Islam seharusnya tidak ada dikotomi antara wahyu dengan alam sebagaimana keyakinan Ibnu Taimiyyah bahwa tidak terjadi pertentangan antara ration and revelation. Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar umat Islam tidak mengikuti tradisi taklid buta, yakni dengan meniru adat nenek moyang tanpa menggunakan akal kritis. Islam juga mengajarkan mempertahankan akal, harta benda, keluarga, martabat, kehormatan, nyawa dan agama adalah suatu keharusan bagi setiap
individu.
Maka
sebaiknya
wahyu
dan
akal
tidak
perlu
dipertentangkan dalam Islam.26 Apabila dalam penggunaan ke-enam pilar yaitu ilmu umum dengan agama, alam dengan wahyu dan akal dengan wahyu ada ketidak keseimbangan maka akan terjadi ketimpangan dan kegagalan seperti sekarang ini. Maksud dari dikotomi itu sendiri prof. Abdurrahman Mas’ud menerangkan bahwa: “Makna dikotomi adalah devision into two, usually contradictory classes or mutually exclusive pairs, pembagian dua kelompok yang berbeda atau dua pasangan yang sama-sama eksklisif, secara sederhana dapat dipahami pada penghujung abad ke-11, yakni pada focus pembicaraan ini, di kalangan umat islam telah terjadi 26
Abdurrahman Mas’ud, “Konteks Sosiologis Pendidikan Agama Islam”, Jurnal Studi Islam, 03, 01, Februari, 2003, hlm. 171-172
pemilahan antara ilmu agama dan ilmu umum dengan memandang yang satu lebih supreme dari pada yang lain.” 27 Selain bentuk-bentuk dikotomik di atas prof. Abdurrahman Mas’ud juga menyebutkan bahwa hilangnya Humanisme Religius dari dunia pendidikan Islam, maka saat itu pula anak didik telah kehilangan identitsnya. Peserta didik yang seharusnya dipersiapkan sebagai makhluk berfikir dan berdzikir dengan tidak mendikotomikan antara wahyu dengan akal, wahyu dengan alam dan ilmu agama dengan ilmu umum atau nonagama. Absennya humanisme religius dan hadirnya dikotomi dalam dunia pendidikan Islam hanya akan menyebabkan hilangnya semangat membaca dan meneliti yang dulu menjadi supremasi utama di dunia pendidikan Islam pada zaman klasik dan pertengahan.28 Di samping permasalahan-permasalahan yang menimpa dunia pendidikan Islam di atas, Prof. Abdurrahman Mas’ud menambahkan sebagai berikut: a. Kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam yakni suatu pendidikan yang lebih mengutamakan konsep Abdullah dari pada Kholifatullah dan hablum minallah dari pada hablumminannas. b. Orientasi yang timpang itu memunculkan masalah-masalah besar dan bahkan sampai bentuk pembelajaran. c. Masih dominannya skolastik yang terlembaga dalam sejarah Islam, sementara gerakan humanisme lemah maka perlu ditinjau kembali sejarah humanisme religius yang terlupakan.29 Dengan keadaan dunia pendidikan Islam yang sudah penulis paparkan di atas maka Prof. Abdurrahman Mas’ud menawarkan suatu 27
Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik”, Op.cit. hlm 16 Ibid, hlm. 14 29 Ibid, hlm, 150 28
paradigma baru yaitu humanisme religius sebagai solusi atas dikotomi keilmuan Islam yang merupakan penyebab utama atas terjadinya decadency culture in Islamic education. Paradigma humanisme religious tampak jelas sebagai penawaran atas dikotomik di dalam dunia pendidikan Islam berlandaskan pada keterangan Prof Abdurrahman Mas’ud, menyatakan: “Sementara itu, humanisme religius sebagai paradigma pendidikan Islam dimaksudkan sebagai tawaran metodologis munculnya sistem dikotomik dalam pendidikan Islam. Secara etimologi humanisme yang dimaksud itu sendiri berarti kesetiaan kepada manusia atau kebudayaan, humanisme is a devition to the humanioties or literary culture. Pencerahan kemanusiaan menjadi sepirit untuk belajar, yang kemudian berkembang di akhir abad pertengahan dengan tulisan-tulisan klasik dan sebuah pembaharuan yang dipercaya dalam kesanggupan kejadian manusia untuk kebenaran dan kesalahan terhadap diri mereka.” 30 Selanjutnya beliau juga mengatakan: “Jika kita sepakat bahwa humanisme religius sebagai paradigma, maka orientasi pendidikan kita dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, formal, dan informal perlu diarahkan ke titik ini. Dengan humanisme religius pendidikan Islam tidak akan mengabaikan pentingnya pendidikan alam, lingkiungan, akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal sesuai dengan ajaran dasar Islam yang tidak mendikotomikan elemen-elemen tersebut.”31 2. Paradigma Humanis Religius Sebagai Konsep Pendidikan Nondikotomik Untuk membahas paradigma humanisme religius sebagai konsep bentuk pendidikan nondikotomik dalam dunia pendidikan Islam maka penulis perlu memaparkan sedikit sejarah humanisme religius secara singkat terlebih dulu. 1. Sejarah Singkat Humanisme Religius. 30
Ibid, hlm. 17 Ibid, hlm. 59
31
Kultur humanisme adalah tradisi rasional dan empiric yang mulamula sebagian besar berasal dari Yunani dan Romawi Kuno. Kemudian berkembang melalui sejarah Eropa. Filsafat humanisme mempunyai dua sub kategori yaitu humanisme naturalistic atau humanis scientivic atau humanitic dan humanisme demokratis. Humanisme Kristen didefinisikan oleh Webster sebagai penganjur filsafat pemenuhan diri manusia dalam prinsip-prinsip Kristen, sedang humanisme modern didefinisikan oleh Charliss Lamont sebagai berikut: “sebagai filsafat alam aliran ini menolak seluruh aliran supranatural dan menyepakati utamanya di atas alasan dan ilmu, demokrasi dan keharuan pada manusia.32 Humanisme modern ini mempunyai dua sumber yaitu sekuler dan agama. Humanisme sekuler merupakan salah satu hasil perkembangan pada abad ke-18 berupa pencerahan rasionalisme dan kebebasan pemikiran. Sedang
humanisme
religius
muncul
dari
etika
dan
kebudayaan
unitarianisme dan universalisme. Namun dalam perkembangannya kedua kubu tersebut telah mengalami pertikaian yang sangat hebat humanisme religius menganggap aksi kemanusiaannya karena konsistensi mereka terhadap agama, sedangkan humanisme sekuler menganggap bahwa eksistensi mereka karena pemberontakan terhadap agama. Dalam hal ini Prof. Abdurrahman Mas’ud berpendapat, “Sebenarnya keduanya bisa didamaikan dengan syarat mereka tidak terjebak pada formalisme agama dan lebih mengacu pada nilai substansi agama”.33 Manusia adalah makhluk yang berakal. Secara Probabilitas, dengan akal itu mereka dapat menemukan kebenaran. Di sinilah konteks pencarian wacana kemanusiaan yang dilakukan oleh humanisme sekuler. Selanjutnya, karena pencarian secara akal ini bersifat probabilitas dan ada potensi untuk 32
Abdurrahman Mas’ud, “Diskursus Pendidikan Islam Liberal”, Jurnal Edukasi Pendidikan Islam Liberal, I, X, Desember, 2002, hlm 16 33 Ibid, hlm. 17-18
tersesat, Tuhan pun membuat petunjuk berupa agama, di sinilah konteks wacana kemanusiaan humanisme religius.34 Selanjutnya beliau menyatakan “Kalau kita bisa mengembalikan nilai kritis dan substansi dasar agama, seperti
dalam
nilai-nilai
Islam
al-‘adlah
(keadilan),
al-musawah
(egalitarian), asyuro (musyawarah), dan al-khuriatul ikhtiar (kebebasan memilih) dalam kontek Khifdhul mal (perlindungan harta), khifdhul nafs (perlindungan jiwa), khifdhul din (perlindungan agama), khifdhul ‘aql (perlindungan akal), dan Khifdhul nazl (perlindungan keturunan), niscaya tidak ada sengketa antara humanisme religius dan sekuler. 35 Demikianlah sejarah perjalanan humanisme religius, sedang humanisme dalam pendidikan adalah proses pendidikan yang lebih memperkaitkan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius,36 sementara itu humanisme dalam pandangan Islam tidak mengenal sekulerisme Islam adalah humanisme religius yang tidak bisa lepas dari konsep hablum minannas, manusia sebagai agen tuhan di bumi atau kholifatullah yang memiliki seperangkat tanggung jawab baik sosial atau lingkungan.37 2. Pentingnya Humanisme Religius Dalam Pendidikan Islam Humanisme religius yaitu suatu cara pandang agama yang menempatkan manusia sebagai manusia dan suatu usaha humanisasi ilmuilmu pengetahuan dengan penuh keimanan yang disertai hubungan manusia dengan Allah SWT dan sesama manusia atau hablum minallah dan hablum minannas. 38
34
Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Op.cit, hlm. 134 Ibid, hlm. 134 36 Ibid, hlm. 135 37 Ibid, hlm. 139 38 Abdurrahman Mas’ud, “:From “abd Allah to Kholifah Allah Imagining a Bew Model Of Indonesian Muslim Education”, Jurnal Edukasi, Pendidikan Islam Kritis Konstruksi intelektual Islam Organik, II, I, Januari 2004, hlm. 115 35
Menurut Prof. Abdurrahman Mas’ud pentingnya humanisme religius dikenalkan di dalam pendidikan Islam karena ada beberapa alasan yaitu: a. Keadaan masyarakat Islam sekarang cenderung menekankan hubungan vertical dan kesemarakan spiritual. b. Sebagai akibat persoalan pertama kesalahan sosial sepertinya masih jauh dari orientasi masyarakat kita. c. Potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional, pendidikan belum berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia seutuhnya. d. Kemandirian anak didik dan tanggung jawab (responsibility) masih jauh dalam pencapaian dunia pendidikan Islam.39 Tampaknya
keempat
alasan
yang
diungkapkan
oleh
Prof.
Abdurrahman Mas’ud di atas sngat suitable dengan keadaan umat Islam pada masa sekarang dan pada umumnya mereka memang mengutamakan ibadah mahdlah, sedangkan kesalahan sosial masih sangat jauh dari realisasi. Bangsa Indonesia yang merupakan negara yang mempunyai mayoritas Islam terbesar misalnya, dalam melakukan ibadah haji selalu menolak karena terlalu banyaknya jama’ah yang akan melakukannya di sisi lain korupsi tetap berlangsung, kelaparan dan kemiskinan terus menjadijadi.40 Kalau kita analisa persoalan tersebut memang ada yang salah dalam hal ini yaitu gape yang sangat jauh antara ibadah sosial dan ibadah vertical, yang seharusnya keduanya sama-sama diperhatikan. Ciri-ciri pendidikan Islam yang berparadigma humanistic dihasilkan dari upaya refleksi dan rekonstruksi sejarah Islam yang ada pada masa lima
39
Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Jurnal Penelitian Walisongo, 17, 2001, hlm. 92-95 40 Abdurrahman Mas’ud, “From ‘Abd Allah to Kholifat Allah: Imaging a New Model of Indonesian Education”, Op.cit, hlm 116
abad pertama dan dari nilai-nilai normatif Islam serta dalam tataran pendekatan dengan menawarkan enam pokok dasar41 yaitu: a. Common Sense Dalam hal ini prof. Abdurrahman Mas’ud mengajak agar umat Islam menggunakan akal sehatnya secara proporsional dengan lebih mengutamakan pemanfaatan telinga sebagai alat pendengar dan mata, dari pada mulut dan tangan. Dengan akal sehat inilah manusia dijadikan Kholifah di bumi. Dengan telinga kita dapat sabar dalam mendengarkan pengajaran-pengajaran atau pengajian-pengajian dan dengan mata kita bisa menganalisa mana yang baik, benar serta jelek dan salah. b. Individualisme menuju Kemandirian Pengembangan individu menjadi individu yang saleh, manusia sempurna disertai berbagai keterampilan dan kemampuan serta mandiri
adalah
sasaran
utama
pendidikan
Islam.
Maksud
individualisme di sini sangat berbeda dengan arti individualisme yang diartikan sebagai egoisme dan lebih mementingkan diri sendiri, tetapi makna individualisme di sini adalah sesuai dengan pernyataan “sesungguhnya seorang pemuda adalah yang mengandalkan dirinya sendiri, bukanlah seorang pemuda yang membanggakan ayahnya”. Jadi individualisme di sini menjadikan individu-individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarganya dengan tanpa menggantungkan atau mengandalkan orang lain. c. Thirst of Knowledge Dalam ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk semangat dalam mencari ilmu dan meneliti bahkan sampai ke negeri Cina dan Islam menempatkan derajat yang tinggi bagi mereka yang beriman 41
Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Op.cit, hlm. 96
dan berilmu. Saat ini budaya meneliti mulai hilang dalam dunia pendidikan Islam, padahal budaya tersebut sangatlah langgeng di masa pendidikan klasik. Dewasa ini budaya tersebut telah berhasil diteruskan oleh orang-orang Barat yang notebenenya mayoritas nonmuslim.
d. Pendidikan Pluralisme Secara normatif Islam sangat mendukung pluralisme dan kegiatan-kegiatan lintas budaya dan bangsa. Islam pada dasarnya mendukung persaudaraan manusia dan Islamlah yang sangat menentang prasangka-prasangka rasial, suku, bangsa dan primodial. Allah SWT telah berfirman di dalam al-Qur’an al-Karim sebagai berikut:
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat:13).42 Berkat lintas budaya antara pemikiran Islam dengan Yunani di masa sejarah Islam klasik telah melahirkan sebuah peradaban baru, di dalam Islam yang sangat mengesankan bahkan disebut dengan masa keemasan Islam. e. Kontekstualisme lebih mementingkan fungsi dari pada simbol
42
Al-Qur’an dan terjemahnya, (Semarang, Toha Putra dan Depag: 1998), hlm.84
Kehidupan masyarakat kita sangat cenderung dengan simbolsimbol yang demikian lekat hingga mengalahkan fungsi simbol itu sendiri. Karena kecenderungan pada simbol inilah yang menyebabkan masyarakat kita lebih berorientasi ke belakang dari pada ke depan. Bentuk kecenderungan itu terealisasi pada mengapa masyarakat kita masih mementingkan mitos dari pada ethos. Di dalam ajaran Islam, esensi dan fungsi tentu tidak dikalahkan oleh segala bentuk simbolisme.
f. Keseimbangan antara Reward and Punishment Punishment berarti hukuman atau siksaan yang mengacu kepada kedisiplinan anak sedang reward berarti ganjaran. Dari reward and punishman ini diharapkan bisa melahirkan reinforcement. Dengan adanya reinforcement tingkah laku atau perbuatan individu semakin menguat, sebaliknya absennya reinforcement menyebabkan tingkah laku individu semakin melemah. Dalam mengaplikasikan reward and punishment secara efektif di dalam dunia pendidikan Islam sebaiknya reward lebih dominan dari pada punishment. 43 Bentuk
pendidikan
yang
mengedepankan
punishment,
sebagaimana kebanyakan berlaku di Indonesia merupakan warisan dari pada penjajah yang muncul jauh setelah zaman Walisongo.44 Konsep dasar pendidikan Islam harus berkaca pada perilaku Nabi Muhammad SAW yang ditandai dengan:
43
Abdurrahman Mas’ud, “Reward And Punishment In Islamic Education”, Internastional Journal, 2, 1, Februari, 2000, hlm 94 44 Abdurrahman Mas’ud, “Model Pendidikan Islam Walisongo”, Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa Dewa Ruci, 2, 1999, hlm. 78
a. Kesabaran, keuletan, serta ketegarannya dalam menegakkan kebenaran yang diimplementasikan pada dakwah serta pendidikan Islam. b. Pemaaf, tanpa dendam dan dengki pada orang lain yang berbuat salah kepada beliau. c. Mencintai dan menyayangi sesama mukmin. Murid Nabi pada masanya mendapatkan sebutan yang istimewa yaitu sahabat. 45
Sedang bentuk gambar diagram dari dialektika dan pembahasan humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam sebagai berikut: 46 Humanisme Religius Peserta Didik
-
Pendidikan anak Pendidikan akal sehat Pendidikan Nondikotomik Pendidikan Lingkungan Pendidikan Wahyu Pendidikan Pluralisme (Menghargai Perbedaan) Pendidikan Individualisme
Produk Akhir KhaliFatullah Insan Kamil
3. Implikasi Humanisme Religius Dalam Pendidikan Islam. 45
Abdurrahman Mas’ud, “Reward And Punishment In Islamic Education”, Op.cit, hlm. 94 Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Op.cit, hlm. 154
46
Untuk mengimplikasikan humanisme religius ke dalam dunia pendidikan Islam maka ada beberapa perubahan paradigmatic dalam dunia pendidikan Islam perubahan tersebut meliputi beberapa aspek yang merupakan unsur-unsur terpenting dalam dunia pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain. i. Aspek Guru Guru ini termasuk unsur yang terpenting dalam proses belajar mengajar maka menurut Prof. Abdurrahman Mas’ud ada tiga kualifikasi dasar yang harus dimiliki seorang guru yaitu: menguasai materi, antusiasme dan penuh kasih sayang dalam mengajar dan mendidik dengan tanpa memandang ras, jabatan, bangsa dan klasifikasi peserta didik. Missi utama guru adalah mencerdaskan bangsa. Secara teknis guru harus melakukan hal-hal sebagai berikut: 1- Guru hendaknya bertindak sebagai role model atau suri tauladan bagi kehidupan sosial, akademisi siswa baik di luar maupun di dalam. 2- Guru harus menunjukkan sikap kasih sayang, antusias dan ikhlas dalam mendengar atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa, menjauhkan diri dari sikap emosional dan feodal seperti cepat marah karena pertanyaan siswa sehingga sering disalah artikan sebagai mengurangi wibawa. 3- Guru hendaknya memperlakukan siswa sebagai subyek dan mitra belajar bukan obyek. 4- Guru
hendaknya
bertindak
sebagai
fasilitator,
menumbuhkan
kreativitas siswa, interaktif dan komunikatif. 47 ii. Aspek Metode Metode di sini tidak hanya diartikan sebagai cara mengajar dalam teaching-learning procces, tetapi di pandang sebagai upaya
47
Ibid, hlm. 202-203
perbaikan secara komprehensif dari semua elemen pendidikan sehingga menjadi sebuah iklim yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Metode
guru
dalam
paradigma
baru
harus
lebih
menekankan
pengembangan kreativitas, penajaman hati nurani dan religiusitas siswa dan meningkatkan kepekaan sosialnya. Kata kunci untuk pengembangan metode humanisme religius adalah
sejauh
mengembangkan
mana siswa
seorang sebagai
guru
memahami,
individu
yang
mendekati memiliki
dan
potensi
kekhalifahan di bumi plus sebagai makhluk Allah SWT yang didesain sebagai “Ahsani Taqwim” dengan melalui tiga proses yaitu: pertama, liberating berarti guru membebaskan siswa dari belenggu yang berhubungan dengan kultur, irasionalitas, tradisi dan ideologi juga belenggu sejarah. Kedua, educating yakni menuju kesempurnaan siswa dengan posisi guru sebagai mitra kesempurnaan, fasilitator dan motivator dan ketiga, civilizing yakni betul-betul akan menempatkan murid pada posisi fitrahnya sebagai khalifah Allah SWT di bumi. Dari ketiga proses tersebut harus didukung oleh seluruh aspek pendidikan yang ada. iii. Aspek Murid Seorang peserta didik dalam mencari ilmu sebaiknya mempunyai enam syarat yaitu: cerdas, semangat, waktu yang memadai, modal, petunjuk guru dan ulet atau sabar. iv. Aspek Materi Pada bagian ini Prof. Abdurrahman Mas’ud menyatakan bahwa masalah utama pengajaran agama saat ini paling tidak ditandai oleh halhal sebagai berikut: a-
Pengajaran materi secara umum termasuk juga agama belum mampu melahirkan kreativitas siswa.
b-
Moralitas
c-
Punishment lebih dominan dari pada reward.
Akar
permasalahan
yang
pertama
diakibatkan
terlalu
banyaknya materi yang diberikan dan waktu yang begitu menyibukkan siswa sehingga siswa jadi kelelahan dan kekeringan kreativitasnya. Permasalahan yang kedua berkurangnya pendidikan budi pekerti pada siswa di samping itu bentuk pendidikan agama tidak dipadukan dengan materi pelajaran yang lain. Seharusnya dipadukan dengan materi yang lain terutama pada tingkah laku sehari-hari. Dan permasalahan yang ketiga disebabkan bentuk pendidikan yang mengedepankan punishment dari pada reward sehingga siswa dalam keadaan psikologis yang ketakutan dengan keadaan seperti itu tidak akan menjadikan siswa yang cerdas, apalagi kreatif serata tidak berani mengungkapkan gagasan-gagasannya. Dari permasalahan sebagaimana di atas Prof. Abdurrahman Mas’ud menawarkan solusi sebagai berikut: a- Perlunya pengayaan literatur di lingkungan kita mengenal Aswaja khususnya dari dimensi histories, filosofis yang selama ini menunjukkan titik terlemah. Aswaja jangan dibatasi pada bayangbayang Syafi’i dan Al-Ghazali saja. b- Karena Aswaja menegakkan prinsip middle way semestinya anak didik diberi ruang untuk mengenal dan mempelajari ekstrem-ekstrem yang ada, sebagai bahan perbandingan ideologi aswaja itu sendiri, maka anak juga perlu mengetahui dari aliran atau madzhab lain. 48 v. Aspek Evaluasi Evaluasi ini seharusnya tidak terbatas hanya pada guru saja akan tetapi siswa juga diberi tanggung jawab untuk mengevaluasi guru sehingga terjadi timbal balik di antara keduanya guna meningkatkan
48
Ibid, hlm. 209.
kualitas proses belajar mengajar. Dalam mengevaluasi siswa sebaiknya meliputi tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. 49 Demikianlah humanisme religius sebagai paradigma pendidikan Islam nondikotomik. Namun pada akhirnya Prof. Abdurrahman Mas’ud menyatakan bahwa bentuk pendidikan yang ideal dalam Islam, selalu mencontoh pada model pendidikan yang telah diperlihatkan Nabi Muhammad SAW. Pendidikan Islam yang diajarkan Nabi Muhammad memberi respon dan solusi positif terhadap permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan fitrah individu dan kelompok insan kamil adalah sasaran pendidikan dalam Islam. Nabi telah meneladankan pendidikan manusia seutuhnya insan kamil dengan mendahulukan pembangunan tauhid serta menawarkan penajaman kepekaan sosial yang bersumber dari wahyu, hati, nurani, akal, jiwa dan realitas sosial. 50
49
Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius sebagai Pardigma Pendidikan Islam”, Op.cit, hlm. 96105 50 Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Op.cit, hlm. 62