BAB III PERUMUSAN MASALAH
3.1 Alasan Pemilihan Masalah Untuk Dipecahkan 3.1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia telekomunikasi yang pesat telah membawa arus globalisasi kepada dunia industri Indonesia. Persaingan dalam dunia industri telekomunikasi Indonesia sangatlah ketat sehingga menuntut adanya kesiapan setiap perusahaan untuk meningkatkan kualitas layanan dan produk yang dihasilkan. Tingkat kompetisi yang ketat berimplikasi kepada derasnya tawaran produk serta layanan baru ditengah masyarakat. Di satu sisi, perkembangan ini berakibat positif bagi konsumen, dikarenakan banyaknya tawaran produk dan layanan berharga murah sehingga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, implikasinya, angka teledensitas di Indonesia akan meningkat. Sedangkan di sisi lain hal ini menyebabkan naiknya kemampuan daya tawar pihak konsumen untuk memilih produk serta layanan yang sesuai dengan kebutuhannya sehingga mengakibatkan setiap perusahaan untuk selalu berkembang mengikuti perkembangan pasar. Peta persaingan diantara perusahaan telekomunikasi lokal diramaikan dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan telekomunikasi asing yang masuk ke Indonesia dengan cara mengakuisisi saham operator lokal (khususnya di pasar seluler). Persaingan pada pasar seluler terlihat jelas pada kedua sistem telepon (GSM dan CDMA) dimana persaingan ini terlihat dengan jelas pada persaingan tarif murah, kelengkapan content yang ditawarkan, program pelanggan setia dan beragamnya fasilitas bonus lain-lain yang ditawarkan. Di
Indonesia,
mayoritas
penyelenggaraan
layanan
dan
jasa
telekomunikasi dikelola sepenuhnya oleh dua badan usaha milik negara (BUMN) yakni PT Indosat untuk Sambungan Langsung Internasional (SLI) yang kemudian melakukan duopoli bersama PT Satelindo, serta PT Telkom untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) maupun lokal. Selain kedua penyelenggara telekomunikasi di atas, pemerintah juga telah menetapkan beberapa operator swasta untuk beroperasi di bidang telekomunikasi seluler.
29
Perkembangan operator lain dalam dunia industri telekomunikasi berkembang dengan sangat cepat dibandingkan dengan perkembangan bisnis telekomunikasi yang dibangun oleh PT Indosat dan PT TELKOM. Persaingan ini dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3.1 Peta persaingan Produk DLD
Bidang Bisnis
Alat Produksi Terrestrial
Bandwith
Satelit
Pesaing Utama Indosat, Excelcomindo, Icon+ Indosat, Excelcomindo, Icon+, CSM
IP/Data Network
Indosat
SGI Trunk
Indosat Indosat
Lokal
Indosat
IN
Indosat
Service Node IP/Data Service Node
Gaharu, Atlasat, Indosat, Excelcomindo
Sedangkan tingkat pertumbuhan produk Divisi InfraTel mengacu kepada tingkat pertumbuhan komunikasi Indonesia, dikarenakan produk Divisi InfraTel merupakan alat produksi penyedia jasa pelayanan telekomunikasi yang bersifat nasional. Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan telekomunikasi sebesar 20.89% pada periode 2004 – 2005.
Gambar 3.1 Pertumbuhan Telekomunikasi di Indonesia
30
Sedangkan penyebaran BTS (Base Transceiver Station) menunjukkan persentase total coverage layanan telekomunikasi seluler di Indonesia. Data berikut ini menunjukkan cakupan dari infrastruktur komunikasi seluler. Sedangkan jumlah pengguna yang didukungnya (mengacu kepada data PT Telkom bahwa 56% pengguna pelanggan GSM sebesar 26.2 juta) maka rata rata pengguna sebesar 2648 pelanggan per BTS. Kapasitas dari setiap BTS berbeda tergantung dari operator. Tabel 3.2 Tabel penyebaran BTS
Operator Jumlah BTS PT Telkom 9895 PT Excelcomindo 4235 PT Indosat 7000 Total 21,130 Jumlah BTS merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan pembangunan
infrastruktur
telekomunikasi.
Perkembangan
infrastruktur
telekomunikasi di Indonesia masih rendah sekitar 13,48% (seluler), 4,48% (telepon tetap) dan 0,39% (Internet). Tetapi pertumbuhan ini diprediksi akan meningkat terutama pada layanan seluler dan jasa internet, dimana salah satunya adalah dukungan Pemerintah dalam program pencapaian penetrasi internet ke setiap kecamatan. Pertumbuhan ini diprediksikan akan meningkat mengingat tingkat perkembangan infrastruktur telekomunikasi Indonesia di kawasan regional ASEAN masih rendah.
Gambar 3.2 Infrastruktur Telekomunikasi di ASEAN
31
Sengitnya persaingan di dalam industri telekomunikasi Indoneisa menuntut
Telkom
untuk
berusaha
mempertahankan
pelanggannya
dan
meningkatkan penetrasi penggunaan layanan produk dan jasa Telkom. Risiko industri merupakan hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan daya saing dan survivability perusahaan. Penanganan manajemen risiko Telkom berada di bawah tanggung jawab unit Manajemen Risiko. Unit ini bertugas sebagai unit pendukung bagi penyelenggaraan fungsional korporasi dalam mengelola upaya pengendalian potensi risiko dari seluruh unit bisnis dan unit pendukung yang meliputi risiko strategis, risiko keuangan dan risiko operasional, serta gangguan-gangguan lain yang memungkinkan terhambatnya kelangsungan kegiatan bisnis dan daya saing perusahaan, sehingga pihak manajemen dapat mengambil keputusan yang tepat untuk menanganinya. Saham Telkom tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya (BES), New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock Exchange (LSE). Saham Telkom juga diperdagangkan tanpa pencatatan (Public Offering Without Listing/POWL) di Tokyo Stock Exchange. Listing Saham di NYSE membawa konsekuensi kepada tata kelola perusahaan. Praktik tata kelola yang dikenal dengan istilah Good Corporate Governance harus mengikuti standar yang diberlakukan oleh SEC (New York) dan harus dilaporkan secara berkala kepada badan otoritas yang bersangkutan. Sebagai konsekuensi dari perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek New York, Telkom harus memehuhi seluruh ketentuan SOA (Sarbanes-Oaxley Act), yang menuntut standar tata kelola perusahaan serta kebijakan maupun penerapan pengendalian internal yang jauh lebih tinggi, selain juga tuntutan akan transparansi serta akuntabilitas yang lebih besar terhadap penerapan akuntansi keuangan perusahaan berikut pelaporannya. Penanganan SOA di Telkom berada di bawah arahan gugus tim SOA yang dalam empat tahun terakhir telah melaksanakan tugasnya di bawah pengawasan Komite Audit, dengan dibantu oleh para konsultan independen, untuk mengembangkan dan menetapkan sejumlah kebijakan dan prosedur baru bagi pengawasan internal pelaporan keuangan sebagai bagian dari ketentuan SOA. Permasalahan yang muncul adalah ketidaksesuaian prosedural yang ditemukan di lapangan. Dimana pelaksanaan prosedur operasi yang mengacu
32
kepada unit Manajemen Risiko tidak sejalan dengan tuntutan pelaksanaan prosedur operasi yang mengacu kepada SOA (Sarbanes-Oaxley Act). 3.1.2 Rumusan Dan Pembatasan Permasalahan Penelitian ini bertujuan untuk memberi usulan pembuatan model risiko operasional menggunakan metode AMA (Advance Measurements Approaches). Penggunaan metode ini dimaksudkan karena metode ini merupakan metode yang disarankan oleh BCBS (Basel Committee on Banking Supervision) untuk menangani resiko operasi. Metode ini selalu mengalami penyempurnaan agar dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Metode ini selain mengacu kepada kegiatan operasi juga sangat berpegang kepada masalah finansial yang melingkupi kegiatan tersebut. Oleh karena itu, dalam prosesnya sangat baik diterapkan pada PT Telkom karena menyangkut kegiatan manajemen resiko secara operasional dan finansial. Selain hal-hal yang disebutkan diatas, metode AMA merupakan metode penanganan resiko sensitif yang dikembangkan untuk tujuan penentuan kebijakan dan prosedur bagi pengawasan modal operasi. Hal ini ditandai dengan kelengkapan tools yang digunakan oleh AMA, antara lain: •
Internal loss event data
•
External loss data
•
Scenario analysis
•
Key Risk/Performance Indicators (KRIs/KPIs)
•
Quantitative measures serving as early warning indicators
•
Risk and Control Self Assessments (RCSAs)
•
Qualitative assessments of inherent risks and controls Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang akan
dibahas dalam tugas akhir ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana pengelolaan data risiko operasi secara kuantitatif dengan menggunakan metode AMA (Advance Measurements Approaches)? b. Hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi pembuatan model manajemen risiko operasi dengan menggunakan pengelolaan data AMA (Advance Measurements Approaches)? c. Bagaimana membuat Risk Assessment Matrix yang dapat mengakomodasi hasil akhir kedua proses (Manajemen Risiko dan Sarbane-Oxley Act)?
33
Untuk lebih memfokuskan tugas akhir ini dan tidak terlalu melebar pembahasannnya sehingga menjadi mudah dipahami sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dilakukan, maka perlu dilakukannya pembatasan masalah sebagai berikut: a. Penelitian ini hanya difokuskan pada kuantifikasi data risiko operasional dengan menggunakan pendekatan AMA (Advance Measurements Approach) b. Yang dimaksud dengan risiko operasional adalah risiko yang berasal dari kegiatan operasional di luar risiko planning, deployment, support dan policy (Regulasi) c. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari perusahaan dan apabila data tersebut kurang memenuhi maka data primer dapat diperoleh dengan menggunakan kuisioner / dengan melakukan interview dengan orang-orang yang dianggap ahli (pakar) dalam mengidentifikasi risiko operasional baik berupa faktor internal maupun faktor eksternal. Sementara itu data sekunder diperoleh dari internet serta didukung oleh hasil dari penelitian-penelitian lain yang dianggap relevan. d. Penelitian ini hanya mengidentifikasi, mengukur dan memberikan saran langkah-langkah penerapan mitigasi tanpa mengikutsertakan perhitungan biaya mitigasi risiko. 3.1.3 Alasan Pemilihan Masalah Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini didasari oleh hal-hal berikut ini: 1.
Pertumbuhan
industri
telekomunikasi
berkembang
secara
pesat,
pembaharuan teknologi, persaingan pangsa pasar memaksa perusahaan untuk mengkaji risiko industri. Penanganan risiko khususnya risiko operasional
sangat
diperlukan
untuk
mencapai
tujuan
dan
mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. 2.
Penanganan risiko operasional diperlukan untuk mengurangi angka loss revenue serta meningkatkan profitabilitas perusahaan
3.
Telkom telah melakukan penerapan Manajemen Risiko Perusahaan, tapi pelaksanaan proses ini menemui hambatan karena output dari proses ini
34
berbeda dengan output risiko yang sesuai dengan hasil output SOA (Sarbane-Oxley Act) 4.
Implementasi sulit dilakukan karena adanya tumpang tindih hasil output kedua proses.
5.
Perlu adanya proses pembentukan model assesssment matriks risiko operasional yang sesuai antara kedua proses di atas.
3.2 Posisi Permasalahan yang Dipecahkan Pertumbuhan industri di Indonesia akan berkembang sejalan dengan makin kompetitifnya pasar. Risiko industri yang dihadapi merupakan tanggung jawab dari seluruh pihak di Telkom. Oleh karena itu, pasca 31 Desember 2005,Telkom mengeluarkan panduan lengkap mengenai pengelolaan risiko seperti yang termuat dalam Keputusan Direksi No. KD.16/PW000/PRO-IIC/2006 mengenai Manajemen Risiko Perusahaan. Panduan ini meliputi cakupan yang luas mengenai deskripsi dan definisi visi, misi, tujuan, strategi, kerangka, faktor, jangkauan, pihak yang bertanggung jawab, penilaian, pengukuran, dan upaya pengurangan risiko. Pada tingkat organisasi, pengelolaan risiko diterapkan pada level korporat, unit kerja (direktorat), unit bisnis (divisi), dan anak perusahaan serta yayasan. Posisi permasalahan yang akan dipecahkan berada pada level Telkom Divisi InfraTel, lebih spesifik lagi pada penerapan manajemen risiko operasional. Fokus pemecahan masalah adalah pada pembuatan model assessment matrix menggunakan
identifikasi
proses
metode
AMA
(Advance
Measurements
Approaches) agar dapat mengakomodasikan kebutuhan proses SOA (kebutuhan finansial) yang nantinya akan dijadikan usulan sebagai model proses manajemen risiko operasional.
35