BAB III PERBANDINGAN PENGATURAN HAK CIPTA TERKAIT DENGAN PENGGANDAAN KARYA CIPTA LAGU 3.1.
Pengaturan Hak Cipta Di Indonesia Peraturan perundang – undangan di bidang HKI di Indonesia mulai ada pada dekade 1840-an, yakni ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang – undang pertama mengenai perlindungan HKI pada Tahun 1844. Selanjutnya, pemerintah Belanda mengundangkan Undang - Undang Merek pada Tahun 1885, Undang - Undang Paten pada Tahun 1910, dan Undang - Undang Hak Cipta pada Tahun 1912.102 Setelah sebagaimana
proklamasi ditetapkan
kemerdekaan dalam
tanggal
Ketentuan
17
Peralihan
Agustus
1945,
UUD
1945,
peraturan perundang – undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pada tanggal 10 Mei 1979, Indonesia meratifikasi Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Stockholm Revision 1967) berdasarkan Keputusan Presiden No 21 Tahun 1979. Pada tanggal 12 April 1982 pemerintah mengesahkan Undang - Undang No 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan Undang - Undang Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan Undang - Undang Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, menyebarluaskan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra; serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.103 Pada Tahun 1987 Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang – Undang No 7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas Undang - Undang No 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU No 7 Tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No 6 Tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran Hak Cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat. Kemudian UU No 7 Tahun 1987 diubah lagi menjadi UU No 12 Tahun 1997. Perkembangan di bidang perdagangan dan industri telah berubah sedemikian pesatnya, sehingga diperlukan perlindungan bagi pencipta dan pemilik 102 103
Muhamad Firmansyah, 2008, Op. Cit, hal 1 Ibid,
74
75
hak terkait, maka untuk menjawab perkembangan tersebut diperlukan perubahan atas UU No 12 Tahun 1997 menjadi UU No 19 Tahun 2002.104 Dalam pembentukan peraturan perundang – undangan di suatu negara seyogyanya disesuaikan dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan agar hukum yang terbentuk nantinya mampu memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat di negara tersebut. Begitu juga dalam pembentukan peraturan perundang – undangan di bidang karya cipta harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi budaya masyarakat setempat. Soedjono Dirdjosisworo mengemukakan, di dalam pergaulan masyarakat di dunia secara geografis, ideologis dan historis terbagi kedalam beberapa rumpun hukum atau sistem hukum yaitu : a. Rumpun hukum English Common Law (sebagian besar dari negara – negara commonwealth dan United States); b. Rumpun Modern Roman Law ( diperoleh dari sejarah Romawi Kuno yang dimodernisasi dan diaplikasikan Perancis, Spanyol, Italia, kebanyakan di negara – negara Eropa, Afrika Selatan, Amerika Selatan, beberapa Negara Bagian Canada seperti Quebec dan sebagian Amerika, seperti Negara Bagian Lousiana). Lebih dikenal dengan Eropa Kontinental atau Civil Law; c. Rumpun hukum Timur Tengah (negara – negara Timur Tengah, Mesir, Irak, Iran, Saudi Arabia, dan lain – lain); d. Rumpun hukum Timur Jauh (Republik Rakyat Cina, Korea, Jepang, dan lain – lain); e. Rumpun hukum negara – negara Sosialis (Rusia, Eropa Timur, dan lain – lain); f. Rumpun hukum negara – negara yang merdeka pacsa perang dunia ke II (negara – negara bekas jajahan yang awalnya menggunakan hukum bekas penjajah).105 Meskipun terdapat banyak sistem hukum di dunia ini, hanya 2 (dua) sistem hukum yang menonjol dan mempunyai pengaruh luas yaitu sistem common law dan sistem civil law.
104
Djamal I, 2009, Op. Cit, hal 6 Soedjono Dirdjosisworo, 2003, Kontrak Bisnis, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, selanjutnya disebut Soedjono Dirdjosisworo II, hal 3 105
76
Michael
Bogdan
berpendapat
seperti
dikutip
oleh
Djamal
mengemukakan bahwa diantara ratusan sistem hukum yang dikenal, ternyata pada umumnya menunjukkan persamaan substansial sistem hukum satu sama lain. Persamaan itu pada umumnya diakibatkan persamaan tipe masyarakatnya, kebiasaan atau persamaan perkembangan sejarah, kebiasaan atau persamaan keyakinan/agama, dan persamaan didalam kebiasaan dari berbagai aspek. Pengetahuan dari berbagai persamaan diantara sistem hukum yang ada di dunia akan memudahkan untuk mempelajari sistem hukum asing.106 Soeroso berpendapat sistem hukum Eropa Kontinental sering disebut dengan sistem hukum Romawi Jerman atau Civil Law. Asal mulanya sistem ini adalah dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerinahan Kaisar Justinianus abad V sebelum masehi. Prinsip utama yang menjadi dasar dari sistem hukum ini bahwa tujuan hukum adalah kepastian hukum yang dapat diwujudkan bila tindakan – tindakan hukum manusia di dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan – peraturan hukum yang dianut.107 Soeroso juga berpendapat sistem hukum Inggris atau disebut juga sistem Anglo Saxon Amerika mulai berkembang pada abad XI yang sering disebut sebagai Common Law atau Unwritten Law. Disamping hukum tak tertulis, dikenal juga mempunyai hukum tertulis yang dibuat oleh Parlemen (Statute Law). Sistem hukum ini melandasi hukum di Amerika Utara dan di beberapa Negara Asia yang termasuk negara – negara persemakmuran Inggris dan Australia. Putusan – putusan hakim (yurisprudensi) mewujudkan kepastian hukum, sehingga prinsip – prinsip dan kaidah hukum terbentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum.108 Menurut Shidarta sekalipun secara umum diterima adanya kedekatan keluarga sistem civil law dengan sistem hukum nasional Indonesia, karakteristik sistem hukum Indonesia masih menimbulkan silang pendapat khususnya jika dikaitkan dengan keberadaan subsistem hukum yang menopangnya, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat. 106
Djamal, 2008, Penetapan Sementara Pengadilan (Pada Hak Kekayaan Intelektual), Pustaka Reka Cipta, Bandung, selanjutnya disebut Djamal II, hal 14 107 Soeroso, 2007, Op. Cit, hal 136 108 Ibid, hal 135
77
Padahal pengaruh sistem hukum dari luar Indonesia (khususnya Barat) tidak terbatas hanya pada produk – produk hukum lama eks kolonial Belanda, melainkan juga melalui adopsi terhadap hukum – hukum asing dari sistem common law. Semua ini menambah kompleksitas penetapan karakteristik sistem hukum Indonesia tersebut.109 Berkaitan dengan sistem hukum di Indonesia yang menganut sistem Civil Law akan dikaji dari perkembangan karakter hukum pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk mengetahui bagaimana pengaturan kebijakan di bidang pembangunan ekonomi yang salah satu bagiannya adalah pengaturan tentang Hak Cipta sebagai salah satu faktor yang mendukung tercapainya peningkatan di bidang pembangunan ekonomi. Moh. Mahfud MD menggambarkan karakter hukum di Indonesia sejak kemerdekaan hingga era kepemimpinan Soeharto dipengaruhi oleh pengalaman sejarah yang cukup panjang, yakni sejak zaman penjajahan dimana telah terjadi pasang surut perkembangan dari konfigurasi politik yang otoriter ke konfigurasi demokratis atau sebaliknya. Performance konfigurasi politik tidak selalu sama dengan konstitusinya. Padahal semua konstitusi yang berlaku di Indonesia sejak merdeka, secara eksplisit menyebut demokrasi sebagai salah satu prinsip yang fundamental, tetapi di dalam praktiknya yang muncul tidak demikian.110 Karakter hukum tersebut oleh Moh Mahfud disimpulkan secara periodisasi sebagaimana di bawah ini : a. Periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi politik demokratis yang didasarkan pada demokrasi liberal; b. Periode 1959-1966 menampilkan konfigurasi politik otoriter yang didasarkan pada faham demokrasi terpimpin; dan c. Periode (Orde) Soeharto 1966-1998 menampilkan konfigurasi politik non demokratis. Dengan catatan, pada awal perjalanannya ada yoleransi bagi penampilan konfigurasi politik yang demokratis.111
109
Shidarta, 2009,Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan, CV Utomo, Bandung, hal 282 110 Moh. Mahfud M.D, 2001, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hal 317 111 Ibid,
78
Djamal mengutip pendapat Moh Mahfud menyatakan bahwa pada demokrasi liberal, karakter hukumnya lebih responsif, terang – terangan menganut asas liberal parlementer, lebih individualistis yang dapat dilihat dari konsep kepemilikan; pada era demokrasi terpimpin (orde Soekarno), karakter hukumnya di bidang politik sangat otoriter, sedangkan di bidang pertanahan sangat responsif, bahkan sangat dirasakan keberpihakannya kepada para petani dan memberikan tempat yang proporsional kepada Hukum Adat, serta dengan semangat nasionalis yang tinggi sehingga pembangunan hukum yang mengatur tentang perdagangan ataupun industrialisasi kurang mendapat perhatian yang cukup; pada era Soeharto, karakter hukum yang dibangun adalah ditujukan kepada pembangunan ekonomi dan industrialisasi dengan mempersyaratkan penciptaan stabilitas, dari konsep demikian melahirkan karakter hukum yang otoriter birokratis.112 Jika dikaji ketiga karakter hukum diatas, maka akan terlihat adanya perkembangan dalam bidang industri yang dialami pada era Soeharto. Dengan adanya kemajuan dalam industrialisasi maka akan membawa konsekuensi munculnya konsep – konsep hukum asing sebagai akibat dari pembangunan ekonomi yang dipengaruhi perkembangan ekonomi negara – negara maju. Bazar Harahap mengemukakan bahwa perbedaan dalam hal kepentingan ekonomi di masing – masing negara mempunyai latar belakang sendiri untuk mencapai kepentingannya dan bisa saja dikaitkan dengan Indonesia. Embargo ekonomi dapat memberikan peran yang sangat berarti sebagai alat untuk menuntut ditegakkannya hukum dalam bidang HAM di berbagai negara didunia. Kenyataan menunjukkan meskipun efektif, embargo ekonomi tetap memelaratkan hidup manusia, padahal tujuan 112
Djamal II, 2008, Op. Cit, hal 79
79
penegakan hukum HAM adalah untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan manusia sebagai bagian dari hak – asasinya yang tertuang dalam “Universal Declaration of Human Rights” itu. 113 Perkembangan yang pesat dalam industrialisasi sebagai dampak dari adanya arus globalisasi. Perkembangan industrialisasi ini salah satunya mencakup perkembangan dalam bidang kekayaan intelektual yang dirasakan penting untuk mendapat perlindungan hukum dari negara untuk mencegah pelanggaran terhadap hak tersebut. Djamal menyatakan negara – negara anggota WTO pada umumnya berasal atau setidak – tidaknya dipengaruhi oleh negara – negara yang menganut sistem common law (common law system), sedangkan Indonesia menganut sistem civil law (civil law system) hasil peninggalan kolonial Belanda.114 Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, perlindungan terhadap kekayaan intelektual didasarkan pada konsep moral, yaitu adanya hak moral pada setiap pencipta dan hasil ciptaannya. Hak moral merupakan ciri khas dari hak kekayaan intelektual, termasuk Hak Cipta. Secara umum hak moral mencakup hak untuk menjamin agar nama atau nama samarannya tetap terdapat dalam ciptaannya. Kemudian pencipta juga dapat mencegah bentuk – bentuk perubahan lain terhadap karya ciptanya. Hak moral tidak dapat dilepaskan dari informasi manajemen hak pencipta yang tidak boleh ditiadakan atau dirusak sebab informasi tersebut merupakan hak moral bagi penciptanya. Informasi manajemen hak adalah informasi yang melekat secara elektronik pada suatu ciptaan atau muncul dalam hubungan dengan kegiatan pengumuman yang menerangkan tentang 113 114
Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi, 2007, Op. Cit, hal 22 Djamal II, 2008, Op. Cit, hal 13
80
suatu ciptaan, pencipta, dan kepemilikan hak maupun informasi persyaratan penggunaan, nomor atau kode informasi. Dalam Pasal 25 ayat (1) UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta menentukan Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah. Pada negara berkembang, perlindungan terhadap hasil karya cipta khususnya perlindungan terhadap pengembangan pengetahuan tradisional merupakan dasar untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu yang memiliki nilai untuk penemuan – penemuan baru yang diharapkan dapat memberikan
nilai
tambah
secara
ekonomis
kepada
negara.
Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional akan membawa dampak positif dalam
memberikan
dukungan
kepada
komunitas
masyarakat
untuk
menjalankan tradisi dan melestarikan budaya yang ada. Setiap orang yang mampu menghasilkan karya cipta dengan mengembangkan kreativitas yang ada pada dirinya berhak untuk mendapat penghargaan atas hasil karyanya. Lingkup cakupan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dapat dikelompokkan menjadi : a. Bidang budaya, seperti folkslore yang dapat berbentuk ekspresi cerita rakyat dalam bentuk musik, tarian, nyanyian, bentuk tersebut lebih banyak berkaitan dengan Hak Cipta; b. Bidang teknis medis, industri, pertanian, dan bidang lainnya yang berkaitan dengan paten; c. Bidang desain, kerajinan tangan, dan simbol – simbol yang berkaitan dengan desai industri;serta d. Indikasi geografis dan indikasi asal.115
Menurut Achmad Zen Umar Purba seperti dikutip oleh Muhamad Djumhana 115
mengemukakan
dalam
Muhamad Djumhana I, 2006, Op. Cit, hal 16
rangka
perlindungan
pengetahuan
81
tradisional terdapat prinsip – prinsip yang harus dipegang, yaitu bahwa komunitas masyarakat setempat memiliki hak untuk mendapatkan pengakuan, perlindungan, pembagian keuntungan, dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan.
Prinsip
hak
lainnya
yang
diakui
sebagai
hak komunitas masyarakat setempat, yaitu hak moral berupa hak informasi terawal atau terlebih dahulu (prior informed concern).116 Perlindungan terhadap pengembangan pengetahuan tradisional perlu didukung melalui perlindungan hukum yang tegas, karena pengetahuan tradisional
jumlahnya
sangat
banyak
yang
apabila
tidak
diberikan
perlindungan hukum terhadap pengetahuan tersebut akan mengakibatkan hancurnya kreativitas masyarakat untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Munculnya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional disebabkan oleh tumbuhnya kesadaran dalam diri masyarakat yang mulai paham akan pentingnya penghargaan terhadap karya cipta yang berasal dari pengembangan pengetahuan tradisional. Dulu masyarakat beranggapan bahwa pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang menjadi milik umum dan dalam pemanfaatannya tidak dipungut biaya atau dapat digunakan secara gratis. Namun sekarang masyarakat mempunyai paradigma baru dalam menilai karya cipta yang berasal dari pengetahuan tradisional yaitu karya tradisional dianggap sebagai obyek yang memiliki nilai ekonomis. Negara yang merasa memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam mulai
116
Ibid, hal 20
82
berpandangan bahwa pengetahuan tradisional harus dioptimalkan untuk mendukung kompetisi perdagangan internasional. Adrian Sutedi mengemukakan Hukum HKI merupakan salah satu bagian sistem hukum yang termasuk tatanan nilai dalam masyarakat. HKI merupakan sistem yang dipengaruhi masyarakat dan mempengaruhi masyarakat, baik di tatanan masyarakat modern maupun masyarakat tradisional di negara berkembang. Dalam kancah Internasional sistem HKI juga dapat dilihat sebagai suatu sistem hukum yang dapat dijadikan piranti perlindungan kepentingan dua pihak yang saling berhadapan, yaitu negara maju dan negara berkembang.117 Paul Sieghart menyatakan In the marxist demonology, the propertyowner is the wicked capitalist, exploiting the toiling masses and “living by owning”. All productive property must therefore be vested only in the state, to use and dispose of in the collective interest, and if a capitalist’s property is taken from him be deserves no compensation. But in the liberal ideology, the state is anathema, and the ability to acquire property is the principal incentive to thrift, hard work, responsibility, and the development of the individual’s full potential.118 Jika diterjemahkan pernyataan tersebut bermakna : dalam marxist demonology,
pemilik
properti
merupakan
kapitalis
yang
jahat,
mengeksploitasi massa (masyarakat banyak) untuk bekerja keras dan “hidup dengan cara memiliki”. Semua properti yang produktif karenanya harus dilindungi hanya pada negara bagian, untuk digunakan dan dijalankan untuk tujuan kolektif, dan jika suatu properti kapitalis diambil darinya tidak akan
mendapat
kompensasi.
Akan
tetapi
dalam
ideologi
liberal,
keadaan tersebut merupakan hal yang tidak disukai (merupakan suatu skandal), dan kemampuan untuk memperoleh properti merupakan insentif prinsip yang akan berkembang, kerja keras, tanggung jawab, dan pengembangan potensi penuh individu. 117
Adrian Sutedi, 2009, Op. Cit, hal 173 Paul Sieghart, 1986, The Lawful Rights of Mankind, Oxford University Press, New York, hal 131 118
83
Pada umumnya hak kekayaan intelektual telah dapat diterima di masyarakat negara – negara berkembang. Khusus dalam Hak Cipta, keterlibatan masyarakat Indonesia sudah jelas terlihat, misalnya untuk penciptaan lagu, tarian dan karya sastra lainnya. Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya perkembangan Hak Cipta, maka sudah seyogyanya pemerintah Indonesia meningkatkan perlindungan hukum terhadap pengaturan Hak Cipta khususnya dalam kaitan dengan Tesis ini yaitu pengaturan terhadap karya cipta lagu untuk memperkecil terjadinya pelanggaran hak di bidang penggandaan karya cipta lagu yang dilakukan oleh orang – orang yang tidak berhak. Penciptaan suatu lagu tidak dapat dilakukan oleh setiap orang, hanya orang – orang yang memiliki kemampuan di bidang itu saja yang dapat menciptakan suatu karya cipta lagu. Melalui kemampuan dan keahliannya, seorang pencipta lagu menghasilkan karya yang merupakan ekspresi pribadi dari olah pikiran dan daya kreasinya. Negara memberikan penghargaan terhadap para pencipta, karena dalam menghasilkan suatu karya tidak hanya membutuhkan kemampuan dan keahlian, tetapi juga membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga bahkan dana.119 Saidin mengungkapkan hasil karya cipta lagu tersebut dalam tahap lebih lanjut dimanfaatkan secara komersial, maka terhadap pencipta diberikan perlindungan dari tindakan pihak lain tanpa hak memanfaatkan karya ciptanya untuk tujuan komersial. Dengan demikian hal itu diharapkan akan makin menumbuhkan sikap produktif bagi pencipta untuk menghasilkan karya – karya cipta yang kesemuanya tidak hanya bermanfaat bagi kemajuan dirinya, namun juga kemakmuran negara.120 Menurut Yoan Nursari Simanjuntak menyatakan bahwa perlindungan hukum yang diberikan Hak Cipta dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap karya yang berkaitan dengan eksploitasi kebudayaan
119
Rikson Sitorus, 2006, “Pembayaran Royalti Kepada KCI Sebagai Kompensasi Penggunaan Hak Mengumumkan Ciptaan Lagu Beserta Permasalahannya,” Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hal 4 120 OK.Saidin, 2004, Op. Cit, hal 28
84
sehingga dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban. Hak Cipta mensyaratkan originalitas untuk pendaftarannya121 Soekardono menyebutkan bahwa dalam pendaftaran Hak Cipta dikenal dua jenis atau cara yaitu stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif. Stelsel konstitutif artinya bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan. Stelsel deklaratif maksudnya adalah bahwa pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan saja menurut undang – undang bahwa orang yang hak ciptaannya terdaftar itu adalah si berhak sebenarnya sebagai pencipta dari hak yang didaftarkannya.122 Dalam stelsel konstitutif yang menjadi titik beratnya terletak pada kegunaan memperoleh hak atas ciptaan dalam pendaftarannya, sedangkan pada stelsel deklaratif yang menjadi titik beratnya adalah pada anggapan sebagai pencipta terhadap hak yang didaftarkannya itu sampai ada orang lain dapat membuktikan sebaliknya.123 Perlindungan HKI berguna karena kekayaan intelektual merupakan hak alamiah yang wajib dilindungi oleh pemerintah suatu negara karena dengan adanya perlindungan ini akan mendorong dan menghargai setiap penemuan dan kreasi yang dihasilkan oleh masyarakat.
2.
Perlindungan dalam HKI lebih dominan pada perlindungan individual, namun untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem HKI mendasarkan pada prinsip sebagai berikut : 1. Prinsip keadilan (the principle of justice) Pencipta suatu karya atau orang lain yang bekerjasama membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Prinsip ekonomi (the economic argument) HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khayalak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maksudnya ialah bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk menunjang kehidupannya di dalam 121 122 123
Yoan Nursari Simanjuntak, 2006, Op. Cit, hal 52 Soekardono, 1981, Hukum Dagang Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, hal 151 Ibid,
85
3.
4.
masyarakat. Dari kepemilikannya, seseorang akan mendapatkan keuntungan misalnya dalam bentuk pembayaran royalti. Prinsip kebudayaan (the culture argument) Karya manusia pada hakekatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup, selanjutnya dari karya itu pula akan timbul suatu gerakan hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Pengakuan atas karya cipta manusia berupaya untuk membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru. Prinsip sosial (the social argument) Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Dengan adanya hak apapun yang diakui oleh hukum kepada perseorangan atau persekutuan diharapkan kepentingan seluruh mayarakat akan terpenuhi.124 Chairijah mengungkapkan bahwa sistem perlindungan Hak Cipta yang baik mensyaratkan terpenuhinya minimal 5 (lima) komponen yaitu : 1. Perangkat hukum yang memadai; 2. Lembaga penyelenggara administrasi Hak Cipta yang “wellorganized”; 3. Lembaga penegak hukum dengan personil yang berintegritas tinggi; 4. Asosiasi para pemilik Hak Cipta termasuk lembaga pengumpul royalty, institusi pendidikan, konsultan HKI yang memiliki concern akan pengembangan HKI; 5. Masyarakat umum yang memiliki kesadaran hukum terhadap HKI.125 Berkaitan dengan pengaturan Hak Cipta di Indonesia sebagai bagian dari HKI diatur dalam UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yaitu merupakan peraturan yang sudah mengalami beberapa kali perubahan dengan memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRIPs. Adanya perubahan terhadap peraturan di bidang Hak Cipta dimaksudkan agar terjadi penyempurnaan dari peraturan tersebut, baik dari segi substansi atau
124
Chairijah, 2004, “Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual”, Naskah lengkap Proyek Penulisan Karya Ilmiah-BPHN-Dep.Hukum dan HAM RI, hal 10 125 Ibid, hal 21
86
materi yang diatur maupun dari segi sanksinya diharapkan lebih tegas agar dapat mengurangi terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta. Perhatian negara – negara untuk mengadakan kerjasama mengenai masalah hak milik intelektual secara formal telah ada sejak akhir abad ke -19. Perjanjian ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan hak milik perindustrian dan yang lainnya mengatur mengenai Hak Cipta. Organisasi yang menangani masalah ini adalah WIPO (World Intellectual Property Organization). WIPO didirikan berdasarkan konvensi yang ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967. 126 Di bidang Hak Cipta, tujuan utama diadakan kerjasama WIPO dengan negara – negara berkembang adalah untuk membantu perolehan dan mendorong kreasi ciptaan dengan cara : 1. Meningkatkan kreasi karya – karya cipta oleh warga negaranya disamping memelihara kebudayaan nasional dalam bahasanya sendiri atau sesuai dengan etnik, tradisi, dan aspirasi masyarakat negara – negara berkembang; 2. Memperbaiki ketentuan – ketentuan mengenai cara perolehan hak untuk mempergunakan karya – karya sastra dan musik yang Hak Ciptanya dimiliki oleh orang asing, yang persyaratannya lebih menguntungkan negara berkembang daripada sebagaimana yang telah ada.127 Agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka negara berkembang perlu memodernisasikan peraturan perundang – undangan di bidang Hak Cipta, mengikuti perjanjian – perjanjian internasional serta mempersiapkan dan meningkatkan kemampuan pada spesialis di bidang Hak Cipta. Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota WTO yang mencakup pula TRIPs, melalui Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu Indonesia juga meratifikasi Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan Perjanjian Hak Cipta WIPO, 126
Taryana Soenandar, 2007, Perlindungan HAKI Di Negara – Negara Asean, Sinar Grafika, Jakarta, hal 7 127 Ibid, hal 10
87
selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. Karena Indonesia telah menandatangani sejumlah konfrensi atau persetujuan Internasional mengenai kekayaan intelektual, maka persetujuan tersebut mengikat Indonesia, ini berarti Indonesia telah memberlakukan apa yang disepakati dan seyogyanya berbuat lebih banyak lagi agar produk hukum Indonesia sesuai dengan persetujuan yang telah ditandatangani. Salah satu bentuk tindakan pelanggaran di bidang Hak Cipta yang banyak terjadi adalah tindakan perbanyakan atau penggandaan karya cipta lagu yang dilakukan tidak sesuai dengan aturan. Mengumumkan atau memperbanyak lagu ciptaan seseorang harus dilakukan dengan izin si pencipta atau pemilik hak yang bersangkutan yang dikenal dengan istilah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak. Orang yang ingin menggunakan hak eksklusif ini wajib untuk meminta izin kepada pencipta. Maraknya terjadi pembajakan karya cipta lagu dan musik di Indonesia membuat Indonesia mendapat tekanan dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat yang secara langsung menghadapi kegiatan pembajakan dan pemalsuan besar – besaran dari Indonesia atas karya ciptanya di bidang musik dan lagu, maka Amerika Serikat menggunakan kebijaksanaan perdagangannya sebagai alat untuk menekan Indonesia supaya segera mengambil tindakan perbaikan atas keadaan itu.128 Apabila Indonesia tidak segera melakukan perbaikan di bidang Hak Cipta, maka Amerika Serikat akan mempertimbangkan kembali status GSP (Generalized System Of Preference) yang diberikan kepada Indonesia. Status GSP ini membuat Indonesia memperoleh keringanan bebas bea masuk bagi barang – barang ekspornya ke Amerika Serikat. Resikonya apabila GSP ditarik, secara ekonomi akan mengurangi volume ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.129
128 129
Untung Minardi, 2007, Op. Cit, hal 25 Ibid,
88
Untuk menghadapi kondisi ini, maka pemerintah Indonesia berupaya memperbaiki produk hukum di bidang perlindungan Hak Cipta yang diharapkan akan mampu mengatasi persoalan yang timbul berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta khususnya bila terjadi tindakan pembajakan atau penggandaan karya cipta lagu secara tidak sah. Menurut Henry Soelistyo Budi bahwa UU No 19 Tahun 2002 hampir seluruhnya mengkonsolidasi ketentuan – ketentuan yang masih valid dalam UU No 6 Tahun 1982, UU No 7 Tahun 1987, dan UU No 12 Tahun 1997 dengan beberapa perubahan dan penambahan. Selain pengaturan mengenai neighbouring right, introduksi rental right diatur kembali untuk ciptaan program komputer dan karya sinematografi. Penambahan baru aturan baru antara lain meliputi elaborasi mekanisme lisensi wajib (non voluntary license) dan penetapan end user piracy sebagai tindakan yang secara kategoris merupakan pelanggaran Hak Cipta. Pelanggaran manajemen informasi dan sarana teknologi pengaman ciptaan yang diserap dari Traktat Hak Cipta juga dikukuhkan sebagai norma dan klausula yang disertai ancaman pidana.130 Neighbouring Right atau Related Right atau Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukkannya; bagi Produser rekaman suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau memperbanyak karya siarannya. Rental right atau hak penyewaan diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 19 Tahun 2002 yang menentukan: “Pencipta dan/atau Pemegang hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial”. End user piracy adalah perbanyakan penggunaan program komputer secara tanpa ijin untuk kepentingan komersial.131 Terkait dengan legitimasi hak penyewaan atau rental right karya film/sinematografi dan program komputer sudah diatur dalam UU No 19 Tahun 2002 namun hal ini tidak berlaku bagi karya cipta lagu atau karya rekaman suara, karena status karya rekaman suara telah dipindahkan 130
Henry Soelistyo Budi, 2006, “Catatan Kritis Atas Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta”, hal 1, http:/www.wikipedia; hak cipta. org.com. 131 Ibid,
89
perlindungannya ke dalam Hak Terkait. Perlindungan bagi karya lagu atau musik tidak diatur secara tegas dalam UU No 19 Tahun 2002 sehingga banyak terjadi pelanggaran dalam bidang ini. Bentuk perlindungan karya rekaman suara, karya siaran dan karya pertunjukkan dialihkan perlindungannya kedalam Hak Terkait, sehingga muncul pertanyaan berkaitan dengan obyek yang dilindungi. Dalam konsep Hak Cipta yang dilindungi adalah karya ciptanya, yaitu ciptaan yang bersifat kebendaan sedangkan dalam konsep Hak Terkait yang dilindungi adalah hak orang perorangan, badan hukum atau lembaga. Konsep yang mendasar dari hukum Hak Cipta adalah bahwa Hak Cipta tidak melindungi ide – ide atau informasi, akan tetapi melindungi bentuk pengungkapan ide – ide atau informasi tersebut. Hak Cipta hanya ada dalam bentuk nyata. Henry Soelistyo Budi juga menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan itu, karya rekaman suara tidak lagi menjadi obyek perlindungan Hak Cipta. Artinya, seluruh konsepsi perlindungan Hak Cipta tidak berlaku baginya. Jadi lisensi penggandaan karya rekaman suara kedalam bentuk kaset atau CD harus didasarkan pada aturan Hak Terkait, bukan Hak Cipta. Sejauh ini eksploitasi performing rights pada ciptaan lagu dikelola para pencipta melalui Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), yaitu lembaga nirlaba yang mewakili para pencipta lagu mengadministrasikan royalti yang dikumpulkan dari para pengguna komersial. Hal ini berlangsung atas landasan konsepsi Hak Cipta.132 Hak Cipta memiliki elemen mechanical right dan performing rights. Mechanical right pada lagu dieksploitasi melaui lisensi rekaman oleh produser rekaman suara. Sedangkan performing rightsnya tereksploitasi melalui
132
Ibid, hal 6
90
berbagai penggunaan lagu, baik untuk kegiatan penyiaran ataupun pertunjukkan yang berdimensi komersial. Apabila terjadi penggandaan atau perbanyakan karya rekaman suara, perlindungannya ada pada subyeknya yaitu produser rekaman suara karena ia telah memprakarsai kegiatan merekam lagu – lagu dengan melibatkan penyanyi, musisi dan pencipta lagu. Dalam Konvensi Roma Pasal 13 mengindikasikan bahwa penyanyi dan produser rekaman suara berhak untuk mendapatkan remunerasi atas perbanyakan atau penggandaan rekaman suara tersebut untuk kepentingan komersial. Dalam kegiatan rekaman suara atau lagu merupakan salah satu unsur yang terkait, hasilnya terwujud dalam bentuk kaset, CD atau VCD. Jika kaset, CD atau VCD ini digunakan oleh pengguna atau user maka orang yang berhak mendapatkan royaltinya adalah pencipta dengan didasarkan pada Hak Cipta sedangkan penyanyi dan produser rekaman suara akan mendapatkan haknya dengan didasarkan pada Hak Terkaitnya. Pembagian hak ini bisa diterapkan di Indonesia jika Indonesia kedepannya meratifikasi Konvensi Roma. Ciri – ciri dari Hak Cipta dengan didasarkan pada UU No 19 Tahun 2002 bisa dikaji dari tipe perlindungannya yang mencakup : a. Apa yang dilindungi : ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan satra, musik, buku, ceramah, seni tari, program komputer dan sebagainya (Pasal 12); b. Kriteria perlindungan : asli/orisinil (Pasal 1 angka 2); c. Bagaimana mendapatkan hak : secara otomatis, tidak ada kewajiban mendaftarkan (Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 36); d. Jangka waktu : seumur hidup + 50 tahun setelah meninggal dunia, kekecualian tercantum dalam Pasal 30 (Pasal 29); e. Bentuk pelanggaran : secara substansif bagian – bagiannya telah dicopy, terdapat kesamaan, diperbanyak atau diumumkan tanpa izin;
91
f. Sanksi pidana : maksimal 7 (tujuh) tahun dan/atau denda 5 miliar rupiah (Pasal 72 ayat 1).133 Organisasi profesi yang dikenal di Indonesia sebagai lembaga untuk mengumpulkan royalti bagi para pencipta lagu adalah Yayasan Karya Cipta Indonesia selanjutnya disebut YKCI. YKCI merupakan badan hukum nirlaba berbentuk yayasan yang berwenang untuk mengelola hak – hak eksklusif para pencipta musik dan lagu, baik dalam maupun luar negeri khususnya yang berkaitan dengan hak ekonomi untuk mengumumkan karya cipta musik dan lagu termasuk memberikan izin atau lisensi pengumuman kepada semua pihak yang mempergunakannya untuk usaha – usaha yang berkaitan dengan kegiatan komersial dan atau untuk kepentingan yang bertujuan memungut royalti sebagai konsekwensi hukumnya.134 Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan ekonomis atas ciptaannya berupa uang yang biasanya disebut royalti. Kewenangan YKCI sebagai pemegang Hak Cipta lagu dan musik untuk mengelola hak eksklusif para pencipta didasarkan pada UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Manfaat lisensi YKCI bagi pengguna adalah sebagai akses untuk memperdengarkan berbagai jenis dan dan bentuk musik yang diperlukan untuk memberi kenyamanan pada konsumen sehingga menambah nilai ekonomi kegiatan usaha. Pengguna juga terjamin dari segala tuntutan dan/atau gugatan dari pemegang Hak Cipta yang dikelola YKCI. Konsep hak ekonomi pada Undang – Undang Hak Cipta seringkali berbeda, baik terminologinya, jenis hak yang diliputinya, ruang lingkup dari tiap jenis hak ekonomi tersebut. Secara umum setiap negara minimal mengenal dan mengatur hak ekonomi tersebut meliputi jenis hak : 1. Hak reproduksi atau penggandaan (reproduction rights); 2. Hak adaptasi (adaptation rights); 3. Hak distribusi (distribution rights); 4. Hak pertunjukkan (public performance rights); 133
Iman Sjahputra, 2007, Hak Atas Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), Harvarindo, Jakarta, hal 85 125 Ibid, hal 12 134
92
5. 6. 7. 8.
Hak penyiaran (broadcasting rights); Hak programa kabel (cablecasting right); Droit de suite; Hak pinjam masyarakat (public landing rights).135
Hak reproduksi sama dengan perbanyakan, yaitu menambah jumlah suatu ciptaan dengan pembuatan yang sama, hampir sama atau menyerupai ciptaan tersebut, dengan menggunakan bahan yang sama maupun tidak sama termasuk mengalihwujudkan suatu ciptaan; Hak adaptasi dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lainnya, aransemen musik, dramatisasi dan lain – lain; Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa penjualan, penyewaan atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat; Hak pertunjukkan merupakan hak yang dimiliki oleh para pemusik, dramawan maupun seniman lainnya yang karyanya dapat terungkap dalam bentuk pertunjukkan. Setiap orang atau pihak yang ingin menampilkan atau mempertunjukkan suatu karya cipta harus meminta izin dari si pemilik hak untuk mempertunjukkan (performing rights) tersebut; Hak Penyiaran merupakan hak – hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan tanpa kabel; Hak programa kabel menyerupai hak penyiaran, perbedaannya dari cara mentransmisikan, yaitu dalam hak programa kabel suatu siaran ditransmisikan melalui kabel, bukan dengan gelombang; Droit de suite yaitu hak pencipta yang bersifat kebendaan dan merupakan hak tambahan; Hak pinjam masyarakat dimiliki oleh seorang pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.136 Konsep
hak
ekonomi
yang
terkandung
dalam
Hak
Cipta
mencerminkan bahwa ciptaan sebagai hasil olah pikir manusia yang melekat secara alamiah sebagai suatu kekayaan si pencipta seyogyanya mendapat perlindungan hukum yang memadai dari pemerintah suatu negara karena merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap HAM. Tujuan menetapkan jangka waktu perlindungan adalah untuk meningkatkan motivasi pencipta dan pada waktu bersamaan memastikan bahwa karya pencipta menjadi milik masyarakat setelah jangka waktu tertentu. 135 136
Iman Sjahputra, 2007, Op. Cit, hal 118 Ibid, hal 119
93
Rahmi Jened berpendapat bahwa konsep pembatasan Hak Pencipta berasal dari Civil Law System, sedangkan Common Law System menggunakan istilah penggunaan ciptaan secara wajar (fair dealing). Titik tolak pandangan Civil Law System berawal dari pencipta bahwa hak eksklusif pencipta ada pembatasan, sedangkan Common Law System bertitik tolak dari ciptaannya, sehingga masyarakat diberi akses penggunaan yang wajar (fair dealing) suatu ciptaan. Pembatasan pertama kali diatur dalam Berne Convention Article 9 dan 10 yang menentukan bahwa perbanyakan, pembuatan kutipan dan penggunaan ciptaan tidak merupakan suatu pelanggaran apabila tidak bertentangan dengan praktik yang wajar atau eksploitasi yang normal.137 Pembatasan merupakan keseimbangan dalam rezim perlindungan Hak Cipta. Hal ini mengingat di satu sisi, Hak Cipta merupakan kekayaan (property) dan monopoli terbatas dari si Pencipta atau pemegang hak yang harus dilindungi, disisi lain ada public interest dalam ketersediaan materi Hak Cipta. Meski Hak Cipta merupakan hak individu, namun ada batas – batas tertentu yang menyangkut kewenangan publik untuk menyediakan akses bagi masyarakat informasi bagi masyarakat secara luas. Negara dapat membatasi Hak Cipta melalui jangka waktu perlindungan Hak Cipta (term of protection) sehingga ketika ciptaan menjadi public domain, maka setiap orang dapat secara bebas menggunakannya.138 Hak Cipta pada dasarnya ingin memberikan perlindungan kepada pencipta agar memperoleh penghargaan secara materiil atas pengorbanan yang diberikan selama proses penciptaan karya lagu tersebut. Penggunaan atas ciptaan lagu salah satunya berupa penggandaan atau perbanyakan karya cipta lagu. Apabila ciptaan lagu tersebut dipergunakan maka sudah selayaknya diberikan penghormatan pada pencipta lagu berupa permintaan izin berupa lisensi. Untuk mempermudah pengawasan atas penggunaan lagu maka diberikan kuasa kepada YKCI. Masa berlaku Hak Cipta atas Ciptaan yang dilindungi berupa : a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; b. drama atau drama musikal, tari, koreografi; 137
Rahmi Jened, 2007, Hak Kekayaan Intelektual (Penyalahgunaan Hak Eksklusif), Airlangga University Press, Surabaya, hal 105 138 Ibid, hal 110
94
c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung; d. seni batik; e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; f. arsitektur; g. ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan yang sejenis lain; h. alat peraga; i. peta; j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bungan rampai Adalah berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Untuk Ciptaan yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta
yang
meninggal
dunia
paling
akhir
dan
berlangsung
hingga 50 (lima puluh ) tahun sesudahnya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 29 UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Pasal 30 UU No 19 Tahun 2002 menentukan Hak Cipta atas Ciptaan : a. program komputer; b. sinematografi; c. fotografi; d. database; dan e. karya hasil pengalihwujudan,
95
berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Hak Cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) sejak pertama kali diterbitkan. Menurut Rahmi Jened seperti dikutip oleh Sandhi Sudarsana menyatakan bahwa perbedaan jangka waktu perlindungan merupakan masalah yang sangat penting dan krusial, lebih – lebih jika dihadapkan kasus Hak Cipta yang bersifat lintas negara, misalnya di Jerman perlindungan Hak Cipta berlangsung seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun, sedangkan di Indonesia berlangsung seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun, jika diterapkan prinsip national treatment, maka Jerman harus melindungi ciptaan Indonesia di Jerman dalam jangka waktu yang sama dengan ciptaan warga negaranya yaitu seumur hidup ditambah 70 tahun setelah meninggal dunia, sedangkan bila diterapkan reciprocal treatment, maka atas ciptaan yang sama dari Pencipta Indonesia yang ada di Jerman akan dilindungi dalam jangka waktu seumur hidup ditambah 50 tahun sebagai jangka waktu yang diberikan Indonesia.139 UU No 19 Tahun 2002 juga mengatur mengenai masalah pendaftaran Hak Cipta yang dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal. Namun pendaftaran Hak Cipta tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta. Pendaftaran ini dimaksudkan hanya untuk memperkuat bukti apabila terjadi perselisihan dikemudian hari terkait dengan Hak Cipta. 139
I Ketut Sandhi Sudarsana, 2008, “Perlindungan Hukum Terhadap Pertunjukkan Karya Cipta Seni Tari Bali Yang Disakralkan,” Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal 65
96
Yang tidak dapat didaftarkan sebagai ciptaan yaitu : 1. ciptaan di luar bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra; 2. ciptaan yang tidak orisinil; 3. ciptaan yang tidak diwujudkan dalam suatu bentuk yang nyata; 4. ciptaan yang sudah merupakan milik umum; 5. ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 UU Hak Cipta. Pendaftaran ciptaan dinyatakan hapus jika : 1. atas permohonan orang, suatu badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta atau pemegang Hak Cipta; 2. lampau waktu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26, dengan mengingat Pasal 27 dan Pasal 28; 3. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta juga mengatur mengenai lisensi yang diatur mulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 dalam kaitan dengan Hak Cipta. Pemegang Hak Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi. Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Melalui lisensi, pengusaha memberikan izin kepada suatu pihak untuk membuat produk yang akan dijual tersebut. Izin untuk membuat produk tersebut bukan diberikan dengan cuma – cuma, sebagai imbalan dari pembuatan produk dan biasanya juga meliputi izin penjualan produk yang
97
dihasilkan tersebut, pengusaha yang memberikan pembayaran yang disebut dengan royalti.140
izin
memperoleh
Lisensi dalam Hak Cipta juga mengenal lisensi eksklusif dan lisensi non eksklusif. Secara tersirat lisensi eksklusif Hak Cipta dapat dilihat dalam Pasal 46 UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang menentukan kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta dapat melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi pada pihak ketiga. Mengacu pada Pasal 46 ini dapat diartikan bahwa jika diperjanjikan lain, maka lisensi eksklusif juga dapat dilaksanakan. Pada prinsipnya lisensi harus dilakukan melalui suatu perjanjian. Perjanjian lisensi mengacu pada pengaturan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat sahnya suatu perjanjian secara umum. Lisensi dapat dibedakan menjadi lisensi eksklusif dan lisensi non eksklusif. Lisensi eksklusif adalah pihak pemberi lisensi hanya memberikan lisensinya pada satu penerima lisensi, dan tidak boleh lagi memberikan lisensi pada pihak lain, sedangkan lisensi non eksklusif adalah pemberi lisensi dapat melisensikan hasil karyanya pada lebih dari satu penerima lisensi.141 Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Cipta atau pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Pemberian lisensi ini disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada pemegang Hak Cipta oleh penerima lisensi. Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang Hak Cipta adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi. Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan 140
Gunawan Widjaja, 2002, Lisensi Atau Waralaba, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 4 141 Suyud Margono dan Longginus Hadi, 2002, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, selanjutnya disebut Suyud Margono II, hal 74
98
sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang menentukan Pencipta atau pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial. Pelaku yang
(aktor,
menampilkan,
penyanyi, memperagakan,
pemusik,
penari
mempertunjukkan,
atau
mereka
menyanyikan,
menyampaikan, mendeklamasikan atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklore, atau karya seni lainnya) memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya. Produser rekaman suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi. Lembaga penyiaran memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau
melarang
pihak
lain
yang
tanpa
persetujuannya
membuat,
memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lain. Pada dasarnya ada 4 (empat) penggunaan karya cipta yang harus melalui pemberian lisensi yaitu : 1. Lisensi mekanikal, yaitu diberikan kepada pengusaha rekaman sebagai bentuk ijin penggunaan karya cipta. Seorang pencipta lagu dapat melakukan negosiasi langsung atau melalui penerbit
99
2.
3.
4.
5.
musiknya dengan siapa saja yang menginginkan lagu ciptaannya untuk dieksploitir. Artinya siapa saja yang ingin merekam, memperbanyak, serta mengedarkan sebuah karya cipta bagi kepentingan komersial berkewajiban mendapatkan lisensi mekanikal; Lisensi penyiaran, yaitu bentuk izin yang diberikan oleh pemilik Hak Cipta bagi lembaga – lembaga penyiaran seperti televisi, radio, konser dan lain sebagainya. Setiap lagu ditampilkan atau diperdengarkan kepada umum untuk kepentingan komersial, penyelenggara siaran tersebut berkewajiban membayar royalti kepada si pencipta lagu; Lisensi penerbitan lembar cetakan, yaitu lisensi ini diberikan untuk kepentingan pengumuman sebuah lagu dalam bentuk cetakan, baik untuk partitur musik maupun kumpulan notasi dan lirik lagu – lagu yang diedarkan secara komersial. Hal ini banyak diproduksi dalam bentuk buku nyanyian atau dimuat pada majalah musik; Lisensi sinkronisasi, yaitu melalui lisensi ini pengguna dapat mengeksploitasi ciptaan seseorang dalam bentuk visual image untuk kepentingan komersial. Visual image ini biasanya berbentuk film, video, VCD, program televise atau audio visual lainnya; Lisensi Luar Negeri, sebuah lisensi yang diberikan pencipta lagu atau penerbit musik kepada sebuah perusahaan Agency di sebuah negara untuk mewakili mereka dalam memungut royalti lagunya atas penggunaan yang dilakukan oleh user – user di negara bersangkutan bahkan diseluruh dunia.142
Mekanisme pengadministrasian kolektif merupakan sarana manajemen eksploitasi Hak Cipta dengan cara mengelola Hak Cipta ( hak mengumumkan atau hak memperbanyak) lagu atau musik dalam arti pemungutan fee atau royalti atas pemakaian Hak Cipta untuk kepentingan komersial baik berupa pertunjukkan maupun penyiaran (perfoming rights) dan penggandaan melalui media cetak atau alat mekanik (mechanical rights), serta pendistribusian kolektif yang diawali dengan pemberian kuasa oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta lagu atau musik kepada YKCI untuk memungut fee atau royalti hak mengumumkan atas pemakaian hak ciptanya oleh orang lain untuk kepentingan yang bersifat komersial dan untuk mengelola hak memperbanyak repertoire lagu atau musik. Setelah itu membagikan hasil pemungutan fee atau royalti kepada yang berhak (para pencipta atau pemegang Hak Cipta) setelah dipotong biaya administrasi.143
142
Husain Audah, 2004, Op. Cit, hal 19
143134
Rikson Sitorus, 2006, Op. Cit, hal 78
100
Dalam perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau dilarang memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal dan Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi apabila
memuat
ketentuan
yang
dilarang
seperti
disebutkan
tadi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian lisensi diatur dengan Keputusan Presiden. Perlindungan hukum terhadap Hak Cipta memerlukan dukungan dari berbagai pihak, karena penegakan hukum Hak Cipta tidak akan bisa maksimal tanpa ditunjang oleh kesadaran hukum masyarakat dan peran aktif pemerintah dalam memberikan penyuluhan berkaitan dengan pentingnya perlindungan Hak Cipta. Perlindungan hukum dalam bidang Hak Cipta berupaya untuk menciptakan perlindungan yang berkeadilan, kepastian hukum dan diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dalam Pasal 48 UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta diatur tentang Dewan Hak Cipta yang bertugas membantu Pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pembimbingan serta pembinaan Hak Cipta. Keanggotaan Dewan Hak Cipta terdiri atas wakil pemerintah, wakil organisasi profesi, dan anggota masyarakat yang memiliki kompetensi di bidang Hak Cipta, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri. Biaya untuk Dewan Hak Cipta dibebankan kepada anggaran belanja departemen yang melakukan pembinaan di bidang HAKI.
101
Pemilik Hak Cipta atau pemegang Hak Cipta yang merasa haknya dilanggar dapat mengajukan gugatan untuk menuntut ganti rugi kepada pihak yang telah melanggar haknya. Dengan gugatan perdata ini tidak akan mengurangi
hak
negara
untuk
melakukan
tuntutan
pidana.
Masalah penyelesaian sengketa perdata yang berkaitan dengan Hak Cipta maka penyelesaiannya melalui Pengadilan Niaga dan dapat meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Namun para pihak bisa juga memilih penyelesaian sengketa melalui ADR. Untuk
menyesuaikan
dengan
Pasal
50
perjanjian
TRIPs,
berbagai undang – undang di bidang HKI telah memberikan ketentuan mengenai penetapan sementara yang dilakukan oleh pengadilan sebelum kasus HKI diajukan ke Pengadilan Niaga. UU Hak Cipta telah mengatur tersedianya suatu perintah Pengadilan berupa penetapan sementara (injuction) untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Menurut Pasal 67 UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta menentukan bahwa Pengadilan Niaga dapat memerintahkan pelaku pelanggaran untuk menghentikan kegiatan pelanggaran khususnya untuk mencegah masuknya barang pelanggaran Hak Cipta atau hak – hak terkait, menyimpan bukti – bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta dan meminta pihak yang haknya dilanggar untuk membawa bukti – bukti kepemilikan atas Hak Cipta dan hak terkait. Berkaitan Hak
Cipta,
dengan kasusnya
pelanggaran dapat
tindak
diajukan
ke
pidana
di
bidang
Pengadilan
Negeri.
Selain penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
102
Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan HKI diberi wewenang khusus sebagai penyidik
untuk
melakukan
penyidikan
tindak
pidana
di
bidang
Hak Cipta. Hukum Acara Pidana memberikan hak kepada Pengadilan untuk memerintahkan barang – barang yang diduga hasil pelanggaran pihak lain untuk dimusnahkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 46 perjanjian TRIPs. Menurut Agus Sardjono bahwa perlindungan Hak Cipta lebih diberikan kepada siapa pemilik Hak Cipta (copyright owner) dan bukan kepada pencipta yang sesungguhnya (the author). Pencipta yang sesungguhnya cukup diberi perlindungan dengan moral right yang justru tidak diakui oleh TRIPs Agreement.144 Agus Sardjono juga mengungkapkan bahwa di Indonesia, pembentukan peraturan perundang – undangan di bidang HKI sesungguhnya tidak didasarkan pada kepentingan atau kebutuhan dari mayoritas penduduknya sendiri. Pembentukan perundang – undangan HKI lebih banyak didasarkan pada kebutuhan untuk menyesuaikan diri terhadap kecenderungan perdagangan global. Dalam era global tersebut, negara – negara berkembang seperti Indonesia tidak mempunyai pilihan selain mengakomodasikan kepentingan negara – negara industri yang telah memberikan banyak bantuan kepada negara – negara berkembang.145 Untuk menyempurnakan bentuk produk hukum yang akan dibentuk maka perlu dilakukan suatu perbandingan hukum dengan negara lain. Selain untuk mencari persamaan dan perbedaannya maka perbandingan hukum juga bermanfaat untuk harmonisasi hukum agar hukum yang terbentuk nantinya mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dalam kancah Internasional. Dalam perbandingan hukum yang dibandingkan adalah sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain atau antara lembaga hukum yang 144
Agus Sardjono, 2009, Membumikan HKI Di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung, hal 11 145 Ibid, hal 15
103
satu dengan lembaga hukum yang lain. Dalam kaitannya dengan Tesis ini akan dikaji mengenai perbandingan pengaturan Hak Cipta Di Indonesia dengan Pengaturan Hak Cipta Di Singapura khususnya pengaturan penggandaan karya cipta lagu. 3.2.
Pengaturan Hak Cipta Di Singapura Singapura telah mewarisi tradisi common law Inggris dan telah menikmati manfaat – manfaat kestabilan, kepastian dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem Inggris (khususnya dalam bidang komersial/perdagangan). Singapura memiliki akar common law Inggris yang sama dengan yang dimiliki negara – negara tetangganya (seperti India, Malaysia, Brunei dan Myanmar), walaupun detil penerapan dan pelaksanaan dari masing – masing negara berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.146 Konsititusi adalah undang – undang tertinggi di Singapura. Diamanatkan bahwa setiap peraturan yang bertentangan dengan konstitusi adalah batal. Konsitusi menetapkan hak – hak fundamental tertentu, seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berbicara (freedom of speech), dan persamaan hak (equal rights). Hak – hak individual ini tidak bersifat absolut melainkan dibatasi oleh kepentingan umum, seperti pemeliharaan kepentingan umum, moralitas dan keamanan nasional.147 Menteri Hukum Singapura menegaskan bahwa demi kepentingan nasional Singapura, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap UU Hak Cipta dinegaranya mengingat Singapura sebagai sebuah negara pusat informasi maka diharapkan kedepannya akan mampu menarik investor asing untuk datang ke Singapura. Hal ini dimaksudkan agar Singapura lebih fokus menangani hal – hal yang penting khususnya memiliki UU Hak Cipta yang modern yang mampu mengatasi setiap permasalahan yang timbul dalam bidang Hak Cipta.
146 147
File:///E:/sistem%20hukum%20singapura.htm Ibid,
104
Apabila melihat ruang lingkup Copyright Act Tahun 1911 yang berlaku di Singapura berdasarkan “Strait Settlement” Tahun 1912, yang terakhir diberlakukan dengan Konstitusi Singapura (Singapura amandement) Tahun 1965. Menurut informasi terakhir telah dikeluarkan Copyright Act 1987 pada tanggal 10 April 1987. Ruang lingkup Copyright Act Tahun 1911 mengikuti Konvensi Bern.148 Parlemen Singapura mengesahkan UU Hak Cipta pada tanggal 26 Januari 1987 memenuhi batas waktu yang ditetapkan oleh Amerika Serikat (AS). UU Hak Cipta Tahun 1987 masih merupakan UU yang berlaku hingga saat ini. Secara umum hak tersebut mewujudkan standar – standar perlindungan Hak Cipta di negara – negara maju, model tersebut diambil dari UU Hak Cipta Australia, tetapi terdapat juga pengaruh dari Inggris dan AS. Pada waktu yang bersamaan, muncul peraturan – peraturan dalam negeri guna menampung kepentingan khusus Singapura. Misalnya, peraturan yang menguraikan mengenai skema lisensi yang dibuat memungkinkan institusi pendidikan untuk menghasilkan materi – materi Hak Cipta untuk anak didik mereka dan sebuah peraturan dirancang untuk memungkinkan impor paralel ke pasar sehingga masyarakat Singapura tidak akan menolak kesempatan – kesempatan untuk membeli edisi buku yang berharga murah tetapi yang lebih absah yang berasal dari negara – negara lainnya.149 Alasan utama peluncuran UU baru tersebut karena UU Hak Cipta Tahun 1987 telah menampung perlindungan program komputer sebagai sebuah jenis karya sastra. Peraturan tersebut juga disahkan guna memperluas perlindungan Hak Cipta untuk karya – karya yang berasal dari AS. Sebagai balasannya, AS meningkatkan paket GSP Singapura. Hampir 6 bulan setelah Singapura mulai dapat menikmati peningkatan paket GSP-nya, AS menginformasikan bahwa Singapura akan menyelesaikan status GSP-nya pada Tahun 1989. Walau terganggu oleh keputusan AS, respon Singapura adalah sabar dengan cara tidak berlaku curang tapi bekerja keras untuk menjadi lebih baik dan lebih berkompetisi, dengan cara diversifikasi pasar atau dengan cara menggerakkan produk – produk yang lebih kompleks, yang dalam hal tersebut GSP tidak terlalu berbeda.150 148
Taryana Soenandar, 2007, Op. Cit, hal 49 Ng-Loy Wee Loon, 2007, “Infrastruktur Kekayaan Intelektual pada Pasar Asia; Dari Third World to First: Riwayat Kekayaan Intelektual Singapura, 1965-2005, dalam Media HKI, Volume IV, No. 4, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum Dan HAM RI, Banten, hal 7 150 Ibid, 149
105
Ada beberapa perubahan lain yang dilakukan terhadap UU Kekayaan Intelektual Singapura selama Tahun 1990 yang tidak berhubungan dengan TRIPs, yang merupakan usaha pemerintah guna menyesuaikan UU Kekayaan Intelektual agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan publik dan industri di Singapura atau untuk memperbaiki UU agar sesuai dengan perkembangan teknologi. Perubahan pertama terhadap UU Hak Cipta dilakukan pada Tahun 1994 untuk memberikan jaminan bahwa pemilik Hak Cipta tidak akan bisa melakukan praktek monopoli dalam rangka menghindari impor paralel. UU Hak Cipta Tahun 1987 memuat sebuah ketentuan yang secara spesifik bertujuan untuk memberikan legitimasi terhadap impor paralel. Ketentuan tersebut terbukti kurang dapat memenuhi tujuan ini. Perubahan kedua UU Hak Cipta dilakukan pada Tahun 1998 yang menghapus sebuah ketentuan yang mengeluarkan aspek komersial dari ‘fair dealing defence’ dengan tujuan untuk riset atau pengkajian sendiri. Keberadaan ketentuan ini telah mendorong Pengadilan Banding untuk berusaha menganalisa bahwa rekayasa ulang perangkat lunak (dekompilasi) yang dilakukan untuk tujuan komersial dilarang oleh UU Hak Cipta Tahun 1987. Tidak terdapat peluang untuk pertimbangan keadilan apapun kecuali untuk kegiatan tersebut. Kesulitan yang dihadapi oleh ketentuan tersebut dalam kegiatan Litbang di singapura sudah jelas. Sekitar 16 bulan setelah Keputusan Pengadilan Banding disampaikan, ketentuan ini dihapuskan.151 Fair dealing defence merupakan pembatasan Hak Cipta bagi kegunaan penelitian atau pendidikan. Aturan ini merupakan aturan yang terdapat dalam UU Hak Cipta Australia, Inggris dan AS. Namun aturan ini telah diamandemen pada Tahun 2005 oleh pemerintah Singapura. Saat ini aturan ‘fair dealing defence’ di Singapura lebih mendekati model Amerika yaitu ‘fair use’.
151
Ibid, hal 9
106
Adanya pembatasan menurut konsep Civil Law System atau penggunaan yang wajar (fair dealing)menurut Common Law System merupakan dasar penetapan ada tidaknya pelanggaran secara acontrario. Pada Tahun 1999 dilakukan perubahan ketiga terhadap UU Hak Cipta di Singapura untuk mengarahkan kebutuhan yang lebih mendesak pemilik Hak Cipta dan pengguna materi – materi Hak Cipta dalam lingkungan yang sudah terhubung. Rangkaian perubahan ini untuk memperkenalkan ‘user caching defence’ yang memungkinkan pembuatan pengalihan atau penyalinan materi elektronik dalam komputer pengguna dari materi elektronik yang disediakan dalam jaringan tersebut, memperkenalkan pemulihan sipil guna melindungi hak manajemen informasi, dan memberikan kebebasan tertentu bagi penyedia layanan jaringan dari kehandalan Hak Cipta.152 Di Singapura pengaturan tentang HAKI diatur dalam Chapter 12 Intellectual Property Law. Ada 6 (enam) bagian atau section dari Chapter 12 ini yaitu : a. Section 1 Copyright and Neighbouring Rights b. Section 2 Industrial Design c. Section 3 Patents d. Section 4 Confidential Information/Trade Secrets e. Section 5 Trade Marks : Protection Under Trade Marks Act; f. Section 6 Trade Marks: Common Law Action for Passing Off Berkaitan dengan pengaturan Hak Cipta di Singapura diatur dalam Section 1. Konsep perlindungan Hak Cipta di Singapura sama dengan di Indonesia yaitu tidak memberikan perlindungan terhadap ide, informasi, prinsip dan fakta. Melainkan Hak Cipta hanya melindungi cara dimana mereka dinyatakan. Hak Cipta melindungi keterampilan, tenaga kerja dan/atau
penilaian
yang
digunakan
dalam
menciptakan
ekspresi.
Secara khusus Hak Cipta hidup dalam sastra, dramatis, musik dan karya – karya artistik seperti novel, drama, komposisi musik, lukisan dan patung, serta subjek-materi lain selain bekerja, seperti rekaman suara, film, siaran, kabel program dan menerbitkan edisi karya. Selain itu, perlindungan 152
Ibid, hal 10
107
Hak Cipta tersedia sehubungan dengan pertunjukkan live dan hak informasi manajeman. Perlindungan Hak Cipta yang ada dalam pekerjaan segera setelah dinyatakan atau ditetapkan dalam bentuk materi (misalnya kertas, kaset dan film) darimana ia mampu menjadi direproduksi. Tidak seperti terdaftar desain, paten dan merek dagang, tidak ada formalitas yang diperlukan Hak Cipta untuk
bertahan
hidup
dan
tidak
ada
sistem
pendaftaran
hak.
Secara umum, Hak Cipta hidup dalam kerja atau subjek-materi di Singapura jika : 1. Pekerjaan atau subjek-materi ini pertama kali diterbitkan atau dibuat di Singapura atau di negara anggota Konvensi Bern atau WTO;atau 2. Penulis pekerjaan atau pembuat subjek adalah seorang warga negara atau penduduk Singapura atau negara anggota Konvensi Bern atau WTO pada saat kerja pertama kali dipublikasikan atau dibuat. Secara umum, Hak Cipta dalam sastra, musik dramatis atau bekerja, atau dalam sebuah karya artistik dari sebuah foto lain, tetap ada selama hidup dari penulis ditambah 70 tahun setelah kematiannya. Dalam kasus sebuah rekaman suara dan film, Hak Cipta tetap ada sampai berakhirnya 70 tahun setelah akhir tahun kalender dimana rekaman atau film ini pertama kali diterbitkan. Durasi perlindungan Hak Cipta untuk program siaran dan kabel adalah 50 tahun dari akhir tahun kalender yang dibuat siaran atau program
108
pertama kali dimasukkan ke dalam sebuah layanan program kabel. Durasi perlindungan Hak Cipta untuk menerbitkan edisi yang bekerja adalah 25 tahun sejak berakhirnya tahun kalender yang edisi pertama kali diterbitkan Perjanjian TRIPs memberikan jangka waktu perlindungan Hak Cipta seumur hidup ditambah dengan 50 tahun, FTA memperpanjang jangka waktu perlindungan
dengan
tambahan
waktu
selama
20
tahun.
Singapura mendukung WTO yang merupakan fondasi bagi perdagangan dunia dan melindungi negara – negara kecil terhadap kebijakan perdagangan unilateral yang tidak adil. Sehingga di Singapura ditambah suatu ketentuan dengan nama Free Trade Agreement (FTA) bilateral dengan rekan dagang utama. Pemilik Hak Cipta dapat menetapkan lisensi atau hak untuk mereproduksi karyanya dalam bentuk material untuk satu orang dan hak untuk melakukan pekerjaannya di depan publik kepada orang lain. Dia juga bisa menetapkan lisensi atau Hak Cipta dalam hal seluruh atau sebagian dari periode Hak Cipta atau wilayah geografis. Akibatnya, ada yang dapat menjadi bewilderingly sejumlah besar pemegang lisensi dan/atau pemilik bagian yang berbeda dalam suatu karya Hak Cipta. Sebuah lisensi tidak perlu secara tertulis, meskipun disarankan harus begitu, terutama dalam kasus lisensi eksklusif. Sebuah lisensi yang tidak tertulis tidak mengikat assignees berikutnya Hak Cipta kecuali pembeli yang bonafide untuk nilai yang tidak tahu tentang lisensi.
109
Kepemilikan Hak Cipta di Singapura berprinsip bahwa orang yang menciptakan sebuah karya adalah pemilik Hak Cipta dalam karya. Namun, orang lain adalah pemilik jika : 1. Hak Cipta ditugaskan untuk orang itu, atau; 2. Pekerjaan
yang
diciptakan
oleh
pencipta
dalam
proses
pekerjaannya oleh orang itu. Dianggap sebagai pelanggaran pidana tindakan – tindakan sebagai berikut : 1. Menjual atau menyewakan setiap salinan dari hasil pelanggaran Hak Cipta; 2. Menjual atau menyiarkan untuk diperdagangkan salinan dari karya tersebut; 3. Memamerkan kepada umum, untuk tujuan perdagangan salinan dari karya itu; 4. Mengimpor untuk dijual atau disewakan salinan karya yang melanggar Hak Cipta.153 Copyright Act menganugerahkan pada pemilik Hak Cipta suatu hak eksklusif untuk melakukan atau untuk mengotorisasi orang lain melakukan tindakan – tindakan tertentu (primer pelanggaran) dalam kaitannya dengan pekerjaan, atau subjek seperti rekaman suara dan film seperti: a. Untuk mereproduksi bekerja dalam bentuk materi; b. Untuk mempublikasikan pekerjaan jika pekerjaan yang diterbitkan; c. Melakukan pekerjaannya didepan umum; d. Untuk membuat adaptasi dari pekerjaan atau melakukan apapun diatas dalam kaitannya dengan adaptasi; e. Untuk mengkomunikasikan pekerjaan kepada masyarakat; f. Untuk membuat salinan rekaman suara atau film; 153
Taryana Soenandar, , 2007, Op. Cit, hal 64
110
g. Untuk memasuki pengaturan sewa komersial sehubungan dengan rekaman dan; h. Menyebabkan film sejauh ini terdiri dari citra visual, terlihat di depan umum. Tindakan seperti diatas jika dilakukan tanpa persetujuan pemilik Hak
Cipta,
maka
dianggap
sebagai
tindakan
pelanggaran
primer
Hak Cipta. Yang termasuk pelanggaran Hak Cipta sekunder yaitu : a. Mengimpor, menjual, menawarkan untuk dijual dan menunjukkan di depan umum dari setiap artikel dimana pelanggaran tahu, atau seharusnya cukup untuk mengetahui, bahwa artikel itu dibuat tanpa persetujuan pemilik Hak Cipta; b. Palsu
menghubungkan
kepengarangan
kerja
atau
identitas
pelaksana kinerja dan; c. Palsu menghapus atau mengubah hak informasi manajemen elektronik yang melekat pada sebuah karya.
Seorang pemilik Hak Cipta dapat menuntut suatu pelanggaran sehubungan dengan salah satu pelanggaran primer dan pelanggaran sekunder seperti disebutkan diatas. Primer dan sekunder pelanggaran juga bisa menjadi subyek pidana diprakarsai oleh pemilik Hak Cipta.
111
Persidangan untuk pelanggaran utama (primer) jika disengaja dan signifikan melakukan pelanggaran untuk memperoleh keuntungan komersial, maka ia harus bertanggung jawab jika terbukti bersalah, denda yang tidak melebihi $20.000 dan /atau hukuman penjara untuk masa jabatan tidak melebihi 6 (enam) bulan. Dalam kasus pelanggaran kedua atau berikutnya maka denda dan hukuman penjara maksimum jangka adalah $50.000 dan 3 (tiga) tahun berturut – turut. Mengenai pelanggaran sekunder, yang umumnya berkisar dari hukuman denda tidak melebihi $10.000 per artikel atau $100.000 di agregat, mana yang lebih rendah dan/atau penjara selama tidak melebihi jangka waktu 3-5 tahun. Pengecualian terhadap pelanggaran Hak Cipta yaitu berlaku terhadap tindakan – tindakan tertentu. Tindakan ini dimaksudkan untuk menyerang keseimbangan yang adil antara kepentingan pemilik Hak Cipta dan kepentingan umum. Tindakan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta yaitu untuk keperluan riset dan studi, kritik atau tinjauan, dan melaporkan peristiwa saat ini.
Ketentuan FTA mengenai penegakan hukum memiliki 21 ayat. Salah satu ketentuan utama adalah berhubungan dengan persyaratan – persyaratan untuk memperkarakan Hak Cipta atau pelanggaran hak terkait dalam skala komersial, yang mencakup :
112
1. Pelanggaran
Hak
Cipta
dan
hak
terkait
yang
disengaja
secara signifikan yang memiliki motivasi langsung ataupun motivasi tidak langsung atas keuntungan finansial; 2. Pelanggaran yang disengaja untuk tujuan keuntungan komersial atau keuntungan finasial. Ini ditargetkan pada bidang usaha yang menggunakan perangkat lunak bajakan dan yang tidak berlisensi serta
mendistribusikan
karya
cipta
di
internet.
Sebelumnya kegiatan pelanggaran tersebut hanya merupakan tanggung jawab sipil. Pada Tahun 2000, sebuah unit yang disebut ‘cabang HKI’ dibentuk dalam Divisi Pidana Khusus (bagian dari Penyidikan Kriminal) guna melaksanakan pemberantasan terhadap para pengedar karya – karya bajakan. Tahun 2001, Kantor HKI Singapura (IPOS) beralih menjadi badan yang berkekuasaan hukum. Selain berfungsi sebagai penerimaan pendaftaran paten, merek dan lain – lain, IPOS juga mempunyai peran kritis dalam pengembangan kebijakan, reformasi hukum dan kegiatan pendidikan (khususnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai HKI). Pada Tahun
2002, Mahkamah
Agung mengumumkan
pembentukan
Pengadilan HKI. UU baru yang memperkenalkan pelanggaran Hak Cipta yang signifikan dan disengaja, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2005 telah siap diberlakukan untuk memutuskan usaha yang memanfaatkan perangkat lunak yang tidak dilisensikan dan individu – individu untuk
113
mendistribusikan beratus – ratus arsip lagu dan musik bajakan melalui internet. Singapura saat ini merupakan satu dari 20 negara di dunia dengan tingkat pembajakan yang paling rendah. Untuk mengatasi permasalahan yang terus muncul mengenai pembajakan cakram optik yang berakibat pada pengedaran terbuka CD,VCD dan CD-ROM bajakan maka Singapura mengembangkan UU Pengawasan Manufaktur pada Tahun 1998 yang mengatur manufaktur cakram optik seperti CD dan DVD. Pada Tahun 2004 , sebagai bagian dari pengaturan dalam Free Trade Agreement (FTA) AS-Singapura sebuah UU baru mengenai Manufaktur Cakram Optik telah diberlakukan untuk meningkatkan rezim perundang – undangannya. Berkaitan dengan tindakan pengawasan dalam hal pemungutan royalti atau dalam kebutuhan lisensi maka sangat diperlukan adanya administrasi kolektif karena tidak mungkin pemegang Hak Cipta secara perorangan melakukan sendiri tindakan pengawasan. Pengadmistrasian kolektif di bidang Hak Cipta ini dilakukan suatu organisasi yang bergerak di bidang Hak Cipta.154 Pada Tahun 1989, badan utama WIPO (World Intellectual Property Organitation) menginstruksikan Biro Internasional untuk menyiapkan sebuah studi untuk memberikan saran kepada negara – negara anggota untuk mematuhi administrasi kolektif di bidang Hak Cipta. Studi yang diterbitkan WIPO ini berisi sejumlah kesimpulan yaitu : 1. Keberadaan administrasi kolektif dari Hak Cipta dan hak – hak yang berkaitan di negara – negara anggota WIPO adalah dibenarkan untuk melakukan kegiatan pengadministrasian terhadap hal – hal yang berhubungan dengan penggunaan suatu karya cipta; 2. Administrasi kolektif secara menyeluruh kepada pemegang hak adalah penting mengingat kompleksnya hak eksklusif dari pencipta; 3. Jumlah organisasi administrasi kolektif di suatu negara tergantung kondisi politik, ekonomi, hukum dan kepentingannya; 4. Sebagai sebuah aturan, seharusnya hanya ada satu organisasi untuk kategori hak yang sama pada masing – masing negara; 154
Rikson Sitorus, 2006, Op. Cit, hal 68
114
5. Bentuk organisasi administrasi kolektif apakah berbentuk organisasi publik atau swasta tergantung pada keadaan politik, ekonomi dan hukum yang berlaku; 6. Penjelasan dari kewajiban administrasi kolektif harus dibatasi pada kasus – kasus yang memerlukan tindakan; 7. Pemberlakuan perlindungan lisensi dijamin organisasi administrasi kolektif yang seharusnya difasilitasi oleh anggapan resmi bahwa organisasi mempunyai kekuatan otorisasi pemakaian seluruh karya yang dilindungi oleh sejumlah lisensi dan untuk mewakili seluruh kepentingan yang menyangkut pemegang hak; 8. Pengawasan pemerintah yang memadai adalah pentingnya mengenai penegakan dan pelaksanaan dari organisasi administrasi kolektif; 9. Keputusan yang memperhatikan metode dan aturan dari pengumpulan dan pendistribusian royalti harus memperhatikan kepentingan pemegang hak atau badan yang mewakili mereka; 10. Bagi pemegang hak dan organisasi lain (terutama organisasi asing) hak atau repertoer adalah berturut – turut, terdaftar dalam sebuah administrasi kolektif, informansi yang rinci dan teratur harus tersedia sebagai tugas organisasi dalam menjalankan kepentingan pemegang hak.155 Lima negara anggota ASEAN masing – masing mempunyai satu organisasi administrasi kolektif di bidang musik, yaitu Karya Cipta Indonesia (KCI) untuk Indonesia, The Music Authors Copyright Protection Berhad (MACP) untuk Malaysia, The Filipino Society for Coposer, Authors and Publishers (FILSCAP) untuk Filipina, The Composers, Publishers and Authors Society of Singapore (COMPASS) untuk Singapura dan Music Copyright of Thailand (MCT) untuk Thailand.
Penegakan hukum HKI melalui litigasi hukum tidak terlalu jelas di Singapura, karena hanya sejumlah kecil keputusan Pengadilan yang dilaporkan. Beberapa kasus yang berkaitan dengan pelanggaran diselesaikan dengan cara mediasi dan arbitrase. 155
Ibid, hal 71
115
Walaupun dulu Singapura merupakan pengimpor produk HKI, namun sekarang Singapura berkeinginan untuk menjadi pengekspor HKI. Hal ini terjadi karena usaha – usaha pemerintah sangat aktif dalam mempromosikan HKI sebagai faktor penting secara ekonomi. Sikap konsumen di Singapura berkaitan dengan masalah pembajakan baik dalam lagu, musik dan film bajakan meyakini bahwa perekonomian Singapura dapat merosot jika masyarakat terus membeli suatu karya cipta secara ilegal. Ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Singapura terhadap pentingnya penghargaan terhadap HKI terus meningkat. Hak Cipta adalah suatu rezim hukum yang dimaksudkan untuk melindungi para pencipta agar mereka dapat memperoleh manfaat ekonomi atas hasil karya ciptanya. Manfaat ekonomi diperoleh dari hak khusus seorang pencipta untuk mengumumkan dan memperbanyak karya cipta .