BAB III PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERKOSAAN DIWAKTU PERANG
A. Pengaturan Masalah Perkosaan di Waktu Perang dalam Hukum Interasional Perlindungan terhadap perempuan dari berbagai bentuk tindak kekerasan sudah mempunyai dasar posisi tersendiri dalam hukum internasional termasuk mengenai khusus perlindungan dari tindak perkosaan yang dilakukan diwaktu perang. Berikut ini merupakan konvensi-konvensi dan pernjanjian internasional lainnya yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak perkosaan baik yang sifatnya langsung (yang dengan jelas menggunakan isitilah “perkosaan/rape”) maupun tidak langsung (yang tidak dengan jelas menggunakan kata “perkosaan/rape”).
A.1. Berdasarkan Konvensi Janewa IV Tahun 1949 Konvensi Janewa IV tahun 1949 merupakan perangkat internasional yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil selama berlangsungnya sebuah konflik bersenjata/perang. Dalam konvensi ini diatur pula mengenai perlindungan terhadap perempuan dari berbagai tindakan yang dapat mengancam kehormatannya dimana perkosaan termasuk salah satunya.
33
Universitas Sumatera Utara
34
A.1.1. Latar Belakang terbentuknya Konvensi Janewa IV Tahun 1949 Konvensi Geneva IV merupakan salah satu rangkaian dari empat konvensi Geneva tahun 1949 yang mengatur mengenai hukum selama berlangsungnya perang (war law). Keempat Konvensi yang ditandatangani pada tanggal 12 Agustus 1949 tersebut adalah : a. Convention (I) For The Amelioration of The Condition of The Wounded And Sick In Armed Forces In The Field, konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 21 Oktober 1950. b. Convention (II) for the Amelioration of the Condition of Wounded, sick and shipwrecked members of Armed Forces at Sea. c. Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War. d. Convention (IV) Relative To The Protection of Civilian Persons In Time of War. Keempat konvensi Jenewa ini kemudian diikuti dengan dua buah protokol tambahan yang dibuat pada tanggal 8 Juni 1977, yaitu : a. Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I). b. Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II). Menyadari begitu sering terjadinya pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusian selama berlangsungnya perang, beberapa negara di dunia sepakat untuk membuat sebuah peraturan internasional yang khusus mengatur batasan kemanusian bagi negara-negara yang terlibat dalam konflik bersenjata.
Universitas Sumatera Utara
35
Pengaturan tersebut termuat dalam sebuat kovensi yang ditandatangani oleh lebih dari 120 negara pada tanggal 12 Agustus 1949 di Jenewa dengan 28 negara diantaranya melakukan reservasi terhadap beberapa Pasal-Pasal dari konvensi tersebut 40. Konvensi ini kemudian lebih dikenal dengan nama Konvensi Jenewa 1949 (Geneva Convention 1949). Konvensi IV ini mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil selama berlangsungnya konflik bersenjata atau perang. Pasal-Pasal pada konvensi ini pada intinya bermaksud memberika perlindungan bagi warga sipil yang berada pada zona atau daerah yang mengalami konflik bersenjata.
A.1.2. Pengaturan Masalah Perkosaan Diwaktu Perang Dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 Kekerasan
terhadap
penduduk
sipil
yang
terjadi
di
waktu
perang/konflik bersenjata hanya diatur dalam konvensi keempat Jenewa Tahun 1949 yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil selama berlangsungnya perang (convention (IV) Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War). Dalam konvensi Jenewa IV tahun 1949 inilah diatur mengenai perlindungan terhadap anak-anak dan wanita sebagi warga sipil dari segala
40
http://www.hrw.org/worldreport99/europe/yugoslavia.html,1999 HRW World Report Chapter On the Federal Republic of Yugoslavia, May 10, 1999, HUMAN RIGHTS WATCH, diakses 24 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
36
bentuk kekerasan selama berlasungnya perang/konflik bersenjata termasuk pula didalamnya kejahatan terhadap kehormatan dan terutama perkosaan 41.
Article 3 ……… (1) Persons taking no active part in the hostilities, including members of armed forces who have laid down their arms and those palced hors de combat by sickness, wounds, detention, or any other cause, shall in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, colour, religion or faith, sex, birth or wealth, or any other similar criteria. To this end the following acts are and shall remain prohibited at any time and in any place whatsoever with respect to the above-mentioned persons : (a) Violence to life and person, in particular murder of all kinds, mutilation, cruel treatment and torture; (b) Taking of hostages; (c) Orutrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment; (d) The passing of senrences and the carrying out of executions without previous judgment pronounced by a regulary constituted court, affording all the judical guarantess which are recognized as indispensable by civilized peoples. (2) The wounded and sick shall be collected and cared for.
Pasal 3 ... ... ... (1) Orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam permusuhan, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan orang-orang palced hors de combat karena sakit, luka, penahanan, atau penyebab lainnya, harus dalam segala keadaan diperlakukan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan didirikan pada ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, kelahiran atau kekayaan, atau kriteria lain yang serupa. Untuk ini akhir tindakan berikut dilarang dan akan tetap setiap saat dan di tempat apapun sehubungan dengan orang-orang tersebut di atas: (A) Kekerasan terhadap kehidupan dan orang, dalam pembunuhan tertentu dari segala jenis, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; (B)Mengambil sandera; (C) Orutrages atas martabat pribadi, dalam menghinakan martabat dan perawatan khusus;
41
PBB, Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 (Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War), Pasal 27.
Universitas Sumatera Utara
37
(D) Pengesahan senrences dan pelaksanaan eksekusi tanpa penilaian sebelumnya diucapkan oleh suatu rutin merupakan pengadilan, affording semua guarantess peradilan yang diakui sebagai yang sangat diperlukan oleh masyarakat beradab. (2) Terluka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Bahwa mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam perang termasuk pula didalamnya anggota militer yang telah menyerah, terluka atau dalam keadaan sakit lainnya harus diperlakukan secara manusiawi tanpa memandang segala bentuk perbedaan yang ada termasuk didalamnya perbedaan jenis kelamin. Article 27 Protected persons are entitled, in all circumstances, to respect for their persons, their honour, their family rights, their religious convictions and practices, and their manners and customs. They shall at all times be humanely treated, and shall be protected especially against all acts of violence or threats thereof and against insults and public curiosity. Women shall be specially protected against any attack on their honoru, in particular against rape, enforced prostitution, or any form of indecent assault. Pasal 27 Pelindung orang berhak, dalam segala situasi, untuk menghormati orang-orang mereka, kehormatan mereka, hak keluarga, keyakinan agama mereka dan praktik, dan sikap dan kebiasaan mereka. Mereka harus setiap waktu harus diperlakukan secara manusiawi, dan harus dilindungi terutama terhadap semua tindakan kekerasan atau ancaman daripadanya dan melawan penghinaan dan keingintahuan publik. Perempuan harus dilindungi secara khusus terhadap setiap serangan terhadap honoru mereka, khususnya terhadap perkosaan, prostitusi paksa, atau segala bentuk serangan tidak senonoh.
Dalam berbagai keadaan, pihak-pihak yang dilindungi harus mendapat perlakuan yang manusiawi dan tidak mendapatkan berbagai bentuk kekerasan. Perempuan harus dilindungi secara khusus dari berbagai bentuk kekerasan. Perempuan harus dilingungi secara khusus dari berbagai kekerasan
Universitas Sumatera Utara
38
terhadap kehormatannya, terutama terhadap perkosaan, perbudakan seksual dan atau berbagai bentuk pelecehan dan kekerasan seksual lainnya. Protokol II Konvensi Jenewa mengenai perlindungan penduduk Sipil dalam konflik Bersenjata Internal, dalam Pasal 4 ayat (2) (e) juga secara jelas mengatur mengenai perkosaan : “………… outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment, rape, enforced prostitution and any form if indecent assault” atas martabat pribadi, dalam menghinakan martabat dan perawatan khusus, pemerkosaan, prostitusi dipaksakan dan setiap bentuk jika serangan tidak senonoh "
A. 2. Berdasarkan Perjanjian Internasional Perkosaan telah dikecam oleh hukum internasional sudah sejak lama. Ahli hukum internasional Scholars Belli (1563), Gentili (1612) and Grotius (1625) mengatakan bahwa perkosaan diwaktu perang sebagai kejahatan perang 42. Selain Konvensi Jenewa IV 1949 beserta kedua protokolnya, ada beberapa perjanjian-perjanjian internasionalnya lainnya yang mengatur mengenai perlindungan terhadap perempuan selama berlangsungnya perang baik secara langung maupuntidak langsung. Perjanjian – perjanjian tersebut antara lain : 1. Komisi pasca Perang Dunia I, Versailles Commission, telah mengakui perkosaan sebagai kejahatan perang. Control Council Law No. 10, telah
42
Karen Parker, J.D., “United Nations Commissions On Human Rights Fifty-first session Agenda item 11”, War Rape, http://www.webcom.com/hrin/parker/c95-11.html, diakses tanggal 17 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
39
memasukkan kejahatan tehadap kemanusian, termasuk didalamnya perkosaan diwaktu perang, dalam piagam Nuremberg dan Tokyo 43. 2. Konvensi Den Hague, pelaksanaan Perang Dunia II juga telah melakukan pelarangan terhadap tindak perkosaan diwaktu perang dan berbagai tindak kekerasan seksual lainnya. 3. The Covenant of The League of Nations (termasuk Amandemen December, 1924) Article 23. Subject to and in aacordance with the provisions of international conventions existing or hereafter to be agreed upon, the Members of the League : (a) Will endeavour to secure and maintain fair and humane conditions of labour for men, women, and children, both in their own countries and in all coutries to which their commercial and industrial relations extendm and for that purpose will establish and maintain the necessary international organisations; Pasal 23. Untuk tunduk dan di aacordance dengan ketentuan konvensi internasional yang ada atau selanjutnya yang disepakati, Anggota Liga: (A) Apakah usaha untuk mengamankan dan mempertahankan kondisi yang adil dan manusiawi tenaga kerja untuk pria, wanita, dan anak-anak, baik di negara mereka sendiri dan dalam segala yang mereka coutries hubungan komersial dan industri extendm dan untuk tujuan tersebut akan membangun dan memelihara yang diperlukan organisasi internasional; negara dan di semua coutries yang mereka hubungan komersial dan industri extendm dan untuk tujuan tersebut akan membentuk dan memelihara organisasi internasional yang diperlukan; 4. International Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others. Konvensi ini dirumuskan oleh komisi sosial, budaya dan kemanusiaan PBB dan disetujui oleh Sidang Umum dengan dikeluarkannya resolusi 317 43
Karen Parker, Ibid
Universitas Sumatera Utara
40
(IV) tertanggal 2 Desember 1949. Konvensi ini merupakan gabungan dari empat buah konvensi yang dirancang untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak. Keempat konvensi tersebut adalah : a. Persetujuan internasional untuk penghapusan perdagangan budak kulit putih tanggal 18 Mei 1904 (Internasional Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic) b. Persetujuan internasional untuk penghapusan perdagangan budak kulit putih tanggal 4 Mei 1910 (Internasional Agreement for the Suppression of The White Slave Traffic). c. Konvensi internasional untuk penghapusan perdagangan perempuan dan anak tertanggal 30 September 1921 (Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children) d. Konvensi internasional untuk penghapusan perdagangan perempuan dewasa (Convention for the Suppresion of Trafic in Women of Full Age) di Jenewa, 11 Oktober 1933. Konvensi dikeluarkan karena pandangan yang berkembang bahwa pelacur adalah korban dan karena itu hukuman harus dijatuhkan terhadap yang menjerumuskan dan mengeksploitasi mereka. Termasuk pula mereka yang secara finansial terlibat dalam pengelolaan atau pengoperasian rumah pelacuran atau siapapun yang menyewakan atau menyewa tempat-tempat untuk melacurkan orang-orang lain. Indonesia belum meratifikasi konvensi ini.
Universitas Sumatera Utara
41
5. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979). Sejak tahun 1984, dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention On The Elimination of Violence Against Women-CEDAW). Konvensi ini mengatur mengenai berbagai hal yang menyangkut perlindungan bagi kaum perempuan dari berbagai tindakan diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin. 6. Vienna Declaration & Programme of Action (World Conference on Human Rights, Vienna, 14-25 June 1993). Berisikan deklarasi bersama negara-negara mengenai komitmen terhadap pelaksanaan pembelaan dan penegakan hak asasi manusia termasuk didalamnya hak asasi perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia. 7. Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1994), Beijing Declaration 1995. Dalam deklarasi ini digambarkan halangan-halangan yang dihadapi oleh kaum perempuan untuk dapat eksis secara utuh diberbagai bidang/subyek, dibahas pula mengenai cara-cara mengantisipasi hal-hal tersebut. Menyadari rentannya tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan menyebabkan topik ini dibahas tersendiri. Dikatakan pula
Universitas Sumatera Utara
42
bahwa meningkatnya kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan tersebut disebabkan oleh : a. Rendahnya Perlindungan hukum, b. Rendahnya akses dan ketidakefektifan penegakan hukum yang dilakukan oleh pejabat publik. Dalam Deklarasi status perempuan yang sangat sering mengalami perkosaan ketika berada dalam konflik bersenjata dibahas. Dikatakan bahwa perkosaan yang seringkali dilakukan sebagai tindakan untuk genosida adalah sebuah kejahatan.
8. Piagam PBB, Deklarasi Hak Asasi Manusia (Charter of the United Nations, Universal Declaration of Human Rights) Menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak setiap orang tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan, kepentingan politik, bahasa, bangsa. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2, 7, 16 dan 25 dari Piagam PBB. 9. International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights Ditegaskan bahwa para kaum perempuan memiliki hak yang sama besarnya dengan anggota masyarakat lainnya dalam suatu komunitas dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya (Pasal 2 dan 3). Dinyatakan pula dalam konvensi ini bahwa perlindungan dan pendampingan yang maksima adalah berasal dari keluarga yang merupakan satuan unit yang paling mendasar dalam masyarakat (Pasal 10).
Universitas Sumatera Utara
43
10. International Covenant On Civil And Political Rights Perempuan sebagai warga negara juga memiliki hak dan kewajiban yang sama besarnya dalam bidang politik dan kenegaraan lainnya tanpa adanya diskriminasi (Pasal 12). Perlakuan yang sama tanpa membedakan jenis kelamin merupakan hak yang tidak akan dipinggirkan oleh pihak lain (Pasal 3). 11. Konvensi mengenai Hak Anak (Convention On The Rights Of the Child) Anak-anak sebagai bagian dari masyarakat berhak atas sejumlah hak yang menjadi milik mereka, termasuk ketika terjadi suatu konflik bersenjata. Hak dalam berbagai bidang tanpa adanya pembedaan termasuk diantaranya pembedaan jenis kelamin (Pasal 2). 12. Convention On The Elimination Of All Forms Of Dicrimination Against Women Mengatur mengenai pelarangan terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan dan dalam berbagai tindakan dikarenakan jenis kelamin yang dimilikinya. Dalam konvensi ini dibahas mengenai pengertian diskriminasi terhadap perempuan, dimana artinya adalah : setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status
Universitas Sumatera Utara
44
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan perempuan (Pasal 1). Konvensi ini mengatur secara detail hak-hak kaum perempuan diberbagai bidang kehidupan. 13. Convention On The Elimination Of Violence Against Women Berangkat dari banyaknya tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan diberbagai bidang, konvensi ini mencoba untuk mengeliminir hal tersebut. Perempuan hendaknya dipandang sebagai manusia seutuhnya yang juga memiliki hak-hak untuk hidup dengan bebas dan aman dari berbagai tindak kekerasan. Konvensi ini mencoba memberikan defenisi kekerasan terhadap perempuan. Yang mana diartikan sebagai (Pasal 1) : “violence against women” means any act of gender-based violence that results in, or is likely to result in, physical, sexual or psychological harm or suffering to women, including threats of such acts, coercion or arbitrary deprivation of liberty, whether occuring in public or in private life. "Kekerasan terhadap perempuan" berarti setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau mungkin mengakibatkan, fisik, seksual atau psikologis atau penderitaan merugikan perempuan, termasuk ancaman tindakan seperti itu, pemaksaan atau perampasan kebebasan sewenang-wenang, apakah terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”. Perempuan sebagai seorang manusia juga memiliki hak-hak yang sifatnya sangat mendasar dan harus dihormati, diantaranya hak untuk hidup, kesetaraan, perlindungan hukum tanpa adanya pembedaan, hak untuk bekerja dan termasuk pula didalamnya hak untuk tidak menjadi
Universitas Sumatera Utara
45
korban penyiksaan atau tindakan kejam/penghukuman yang tidak berperikemanusiaan (Pasal 3). Dikatakan pula bahwa negara harus mengecam segala bentuk tindakan kekerasan terhadap perempuan dan dapat mencegah segala bentuk tradisi, kebiasaan-kebiasaan atau pun pertimbangan-pertimbangan agama yang dapat merugikan kepentingan perempuan dan membuatnya rentan dari tindak kekerasan. Selain itu ditegaskan pula adalah kewajiban pemerintah untuk dapat mencegah segala bentuk tindakan kekerasan terhadap perempuan termasuk didalamnya melakukan kerjasama antar negara (Pasal 4). 14. Instruksi Pemerintah terhadap tentara Pemerintah Amerika Serikat yang berada di lapangan. Dikeluarkan oleh Presiden Lincoln pada tanggal 24 April 1863 General Orders No. 100. Kejahatan Perkosaan sudah lama dikenal dalam hukum kebiasaan internasional, undang-undang Leiber (The Leiber Code) mengkategorikan perkosaan sebagai pelanggaran khusus. Segala bentuk perusakan materi tanpa ijin atasan yang berwenang, segala bentuk perkosaan, pembunuhan dan penyiksaan terhadap penduduk sipil dilarang dan diancam dengan hukuman mati atau hukuman lainnya yang dianggap pantas dengan besarnya kejahatan yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENERAPAN PERANGKAT HUKUM INTERNASIONAL DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KASUS-KASUS PERKOSAAN DI WAKTU PERANG
A. Peranan Lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa dalam Mencegah dan Menyelesaikan Kasus Perkosaan di Waktu Perang PBB Merupakan lembaga yang memiliki peranan yang sangat besar dalam mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Perlindungan hak asasi manusia dan kesetaraan hak antara pria dan perempuan tanpa memandang perbedaan negara sebagaimana yang dimuat dalam pembukaan piagam PBB merupakan prinsip dasar yang dianut oleh lembaga ini yang harus dijalankan. To reaffirm in fundamental rights, in dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small 44. Untuk menegaskan kembali dalam hak fundamental, dalam martabat dan nilai pribadi manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan dan negara-negara besar dan kecil.
Pada saat berbicara peranan badan PBB dalam mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang, maka secara langsung akan berbicara mengenai peranan lembaga ini dalam proses menjaga perdamaian dan keamanan dunia, bagaimana lembaga ini dapat mencegah
44
United Nations, Charter of The United Nations and Statute of the International Court of Justice. United Nations : New York, hal 3.
46
Universitas Sumatera Utara
47
sebuah konflik bersenjata/perang terjadi dan menyelesaikan kasus-kasus yang telah terjadi. PBB memiliki tiga badan utama yang sangat berperan penting dalam menciptakan perdamaian dan keamanan di dunia, yaitu Majelis Umum (General Assembly), Sekretaris Jenderal (Secretary General), Dewan Keamanan (Security Council). 1. Majelis Umum PBB a. Majelis Umum dapat meminta perhatian Dewan Keamanan terhadap suatu keadaan yang dianggap mampu mengancam keamanan dan perdamaian internasional (Pasal 11 ayat (3)). b. Majelis Umum PBB dapat memberikan rekomendasi terhadap penyesuaian keadaan perdamaian tanpa memandang asal usul yang dimaksudkan, kesejahteraan atau hubungan yang bersahabat diantara negara-negara termasuk keadaan yang diakibatkan pelanggaran ketentuan dari piagam PBB (Pasal 14) 2. Sekretaris Jenderal Sekretaris Jenderal berdasarkan piagam PBB Pasal 99 berwenang untuk membawa suatu keadaan/konflik ke Dewan Keamanan yang menurut pendapatnya dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. 3. Dewan Keamanan Badan ini merupakan badan yang berperan sangat signifikan dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Piagam PBB.
Universitas Sumatera Utara
48
In order to ensure prompt and effective action by the United Nations, its Members confer on the Security Council primary responsibility for the maintenance of international peace and security, and agree that in carrying out its duties under this responsibility the security council acts on their behalf 45. (Dalam rangka untuk memastikan tindakan yang cepat dan efektif oleh PBB, para anggotanya memberi pada Dewan Keamanan tanggung jawab utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan sepakat bahwa dalam melaksanakan tugas di bawah tanggung jawab ini dewan keamanan bertindak atas nama mereka.)
Fungsi dan wewenang Dewan Keamanan yang berkaitan dengan pemeliharaan perdamaian, yaitu : a. Dewan Keamanan dapat membawa kedua belah pihak yang bersangketa dalam sebuah pertemuan untuk menyelesaikan sangketa mereka (Pasal 33). b. Dewan Keamanan dapat melakukan penyelidikan terhadap setiap konflik yang dapat membawa kepada perpecahan internasional atau semakin meningkatkan konflik yang ada, dengan maksud memastikan apakah konflik tersebut dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 34). c. Dewan Keamanan dalam setiap tingkatan sengketa dapat memberikan masukan-masukan dalam hal prosedur maupun berbagai penyesuaian (Pasal 36 ayat (1)) d. Dewan Keamanan harus mempertimbangkan kembali segala bentuk penyelesaian sengketa yang diambil oleh pihak yang bersengketa (Pasal 36 ayat (2))
45
United Nations, Ibid., hal. 20
Universitas Sumatera Utara
49
e. Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan yang dianggap perlu jika konflik yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia sesuai dengan Pasal 36 atau cara penyelesaian lainnya yang dianggap sesuai (Pasal 37 ayat (2)) f. Dengan persetujuan kedua belah pihak Dewan Keamanan dapat membuat rekomendasi dengan maksud menyelesaikan sengketa yang ada dengan pihak-pihak yang bersengketa (Pasal 38). g. Dewan Keamanan harus memastikan segala bentuk ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan membuat rekomendasi untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 39). Berdasarkan kewenangan masing-masing badan tersebut maka dapat terlihat dengan jelas bahwa dewan keamanan merupakan badan yang sangat berperan dalam mencegah dan terutama menyelesaikan konflik yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Dalam proses mencegah meletusnya sebuah konflik ketiga badan tersebut memiliki peranan yang sama pentingnya namun pada saat penyelesaian kasus, Majelis Umum dan Sekretaris Jenderal sifatnya hanya memberikan rekomendasi-rekomendasi saja agar dewan keamanan dapat bertindak atas rekomendasi yang mereka berikan. Dengan demikian dalam hal penyelesaian kasus Dewan Keamanan merupakan kunci utama yang menentukan penyelesaian sebuah kasus yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional, termasuk didalamnya kasus-kasus perkosaan di waktu perang.
Universitas Sumatera Utara
50
Meskipun ketiga badan tersebut memiliki kewenangan dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional namun pada dasarnya setiap negara baik yang menjadi anggota PBB memiliki kewajiban dan kewenangan dalam proses mecegah dan menyelesaika kasus-kasus yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Selain itu, negara yang bukan anggota PBB namun terlibat lansung didalam konflik juga dapat meminta bantuan kepada PBB dalam mencegah dan menyelesaikan konflik tersebut. Kedua kewenangan tersebut dimungkinkan lewat Pasal 35 ayat (1) dan (2) piagam PBB. 1. Any member of the United Nations may bring any dispute, or any situation of the nature reffered to in article 34, to the attention of the security council or of the general Assembly. 2. A state which is not a member of the United Nations may bring to attention af the Security Council of the General assemblu any dispute to which it is a partyif it accepts in advenace, for the purposes of the dispute, the obligation of the pasific settlement dispute…… 46. 1. Setiap anggota PBB dapat membawa sengketa, atau situasi alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, menjadi perhatian dewan keamanan atau Majelis umum. 2.
Sebuah negara yang bukan anggota PBB dapat membawa perhatian Dewan Keamanan Perserikatan assemblu Umum setiap perselisihan yang
46
United Nations, Ibid., hal. 25
Universitas Sumatera Utara
51
merupakan partyif ia menerima di advenace, untuk tujuan sengketa, kewajiban penyelesaian sengketa Pasific ... ... B. Penerapan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 dalam Mencegah dan Menyelesaikan Kasus-kasus Perkosaan di Waktu Perang B.1. Penerapan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 dalam Mencegah Perkosaan di Waktu Perang Berdasarkan Pasal 151 jo. Pasal 153 Konvensi IV Jenewa 1949, pada tanggal 21 Oktober 1950 enam bulan setelah minimal dua ratifikasi negara telah diterima, Konvensi Jenewa IV 1949 dinyatakan berlaku (entry into force). Hal ini berarti hukum internasional yang mengatur kewajiban suatu negara disaat perang mulai berlaku pula, termasuk mengenai perlindungan terhadap perempuan dari tidnak perkosaan ketika perang berlangsung. Yang kemudian menjadi masalah adalah apakah perangkat hukum yang ada tersebut mampu mencegah tindakan perkosaan ketika sebuah perang sedang berlangsung. Dalam kasus perkosaan Jepang, Konvensi Jenewa belum dihasilkan sehingga kasus perkosaan yang dilakukan tentara Jepang pada saat perang Asia Pasifik (1943-1945) tidak berada dala juridikasi konvensi ini dan karenanya konvensi ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap penyelesaian kasus Jepang. Berbeda dengan kasus Jepang, Konvensi Jenewa 1949 seharusnya berlaku dalam setiap kasus yang terjadi diatas tanggal 21 Oktober 1950 termasuk pula diantaranya kasus Bosnia Herzegovina (1991-1995) dan kasus
Universitas Sumatera Utara
52
Rwanda (1994) karena kedua kasus ini terjadi setelah Konvensi Jenewa 1949 telah berlaku dan mengikat secara internasional. Rwanda dan Bosnia pada saat kedua kasus tersebut terjadi sudah merupakan anggota (parties) dari konvensi tersebut. Bosnia menjadi anggota dengan status sucsession dari Yugoslavia pada tanggal 31 Desember 1992 baik terhadap konvensi IV Jenewa maupun terhadap kedua protokol Konvensi Jenewa 1949. Sesungguhnya dapat terlihat bagaimana meskipun telah ada perangkat hukum internasional yang telah mengatur secara jelas mengenai pelarangan perkosaan dilakukan di dalam perang (Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949 dan pasa 4 ayat (2) Protokol II tambahannya) namun kasus perkosaan di waktu perang tetap saja terjadi. Terjadinya kasus perkosaan di waktu perang di kedua kasus tersebut, baik Bosnia Rwanda, merupakan gambaran kegagalan besar PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional serta penegakan prinsip hak asasi manusia. Berdasarkan kenyataan tersebut sesungguhnya dapat terlihat bagaimana masih sangat minimnya perananan perangkat hukum internasional yaitu Konvensi Jenewa 1949 dalam mencegah terjadinya tindak perkosaan di waktu perang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perangkat hukum internasional sudah dihasilkan namun belum dapat dikatakan memadai untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan sebagaimana yang diatur dalam peraturan tersebut. Tanpa adanya pemenuhan komitmen dari negara pesertanya dan
Universitas Sumatera Utara
53
antisipasi serta kontrol dari lembaga PBB, sebagai salah satu tempat penting dihasilkannya hukum internasional, terhadap hukum yang telah disepakati tersebut maka sebuah perangkat hukum tidak akan memiliki keberlakuan yang efektif dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan. Hal yang sama berlaku pula terhadap keberlakuan Konvensi Jenewa 1949.
B.2. Peranan Konvensi Jenewa 1949 dalam Menyelesaikan Kasus-kasus Perkosaan di Waktu Perang. Peranan konvensi ini dalam menyelesaikan kasus perkosaan yang terjadi dalam kasus Rwanda dan Bosnia dapat dilihat lewat digunakannya ketentuan Pasal-Pasal Jenewa konvention dalam menjerat para pelaku-pelaku kejahatan. Baik dalam pengadilan internasional Rwanda maupun Yugoslavia, pengadilan tersebut terbentuk Konvensi Jenewa 1949. Konvensi ini dijadikan dasar hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus yang ada tersebut. Membawa pelaku ke dalam suatu proses hukum dimungkinkan dengan adanya aturan dalam Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949 yang mengatur mengenai pelanggaran terhadap kehormatan (honor) dimana dikatakan terutama terhadap tindak perkosaan. Dalam Pasal 27 tersebut pengaturan masalah perkosaan dimasukkan dalam istilah “kehormatan” (honor), ia tidak dianggap delik yang berdiri sendiri meskipun disebutkan dengan jelas kata perkosaannya (rape). Berbeda dengan Pasal 4 ayat (2) protokol II dimana kata
Universitas Sumatera Utara
54
“perkosaan” (rape) dengan jelas disebutkan dan merupakan delik yang berdiri sendiri. Perkosaan memang tidak secara eksplisit dikategorikan sebagai “pelangaran berat” namun perkosaan dapat disamakan dengan salah satu defenisi “kejahatan berat” yaitu perlakuan tidak manusiawi (inhuman treatment) dan juga akan dapat disamakan dengan dua pengertian “pelanggaran berat” lainnya yaitu “penyiksaan” dan secara sengaja menyebabkan penderitaan atau kerusakan yang parah terhadap tubuh dan kesehatan (“torture” and “wilfully causing great suffering or serious injury to body or health”) 47. Dalam statuta ICTR pernyataan digunakannya Konvensi Jenewa sebagai dasar ada dalam Pasal 4 dimana dikatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 3 Jenewa Konvensi dan protokol II merupakan kewenangan pengadilan untuk menyelesaikannya sedangkan dalam statuta ICTY pernyataan digunakannya Konvensi Jenewa ada dalam Pasal 2 dimana dikatakan bahwa pengadilan internasional tersebut memiliki kewenangan mengadili para pelaku pelanggaran berat terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa. Ketentuan mengenai perkosaan dikedua statuta tersebut masuk kedalam bagian “kejahatan manusia” (crimes against humanity) dimana dalam statuta ICTR ada dalam Pasal 4 dan dalam statuta ICTY ada dalam Pasal 5.
47
Chaterine N. Niarchos, Women, War, and Rape : Challenges Facing The International Tribunal for the Former Yugoslavia, http://muse.jhu.edu/demo/human_rights_quarterly/17.4niarchos.html, diakses tanggal 26 maret 2010
Universitas Sumatera Utara
55
Dari Penjabaran tersebut terlihat bagaimana Konvensi Jenewa sangat berperanan dalam proses penyelesaian konflik yang telah terjadi, tidak hanya sebatas memberikan kepastian hukum akan adanya proses peradilan ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan konvensinya tetapi juga mampu memberikan preseden yang baik dalam penerapan hukum internasional.
C. Peran Pengadilan Internasional dalam Mencegah dan Menyelesaikan Kasus-kasus Perkosaan di Waktu Perang Pengadilan internasional memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mencegah maupun menyelesaikan kasus-kasus perkosaan diwaktu perang. Lewat putusan-putusan yang dikeluarkannya tindakan nyata secara hukum atas setiap kejahatan perkosaan dapat dilakukan.
C.1.
Peran
Pengadilan
Internasional
dalam
Mencegah
Kasus
Perkosaan di Waktu Perang Sebagaimana diutarakan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, Kofi Anan, Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court-ICC) akan memegang peranan yang sangat penting dalam mengantisipasi
pelanggaran
hak
asasi
manusia
lewat
penerapan
pertanggungjawaban kejahatan secara pribadi. Lewat pengadilannya, badanbadan hukum yang akan ada didalamnya yang mirip dengan ICTR dan ICTY dan juga juridisksinya di bidang hak asasi manusia, akan sangat membantu
Universitas Sumatera Utara
56
dalam mencegah munculnya konflik dan akan mengurangi pelanggaranpelanggaran di masa yang akan datang 48. Peran pengadilan internasional yang dianggap sangat penting dalam mencegah kasus-kasus perkosaan serupa terjadi dimasa yang akan datang membawa terselenggaranya Pengadilan Tokyo tahun 2000 (International Women’s War Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery). Meskipun putusan yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali namum yang dicoba untuk dilakukan adalah memberikan preseden hukum ke masyarakat bahwa tindakan sebrutal dan sesadis yang telah dialami oleh para mantan Jugun Ianfu jangan sampai terulang kembali 49.
C. 2. Peran Pengadilan Internasional dalam Menyelesaikan Kasuskasus Perkosaan di Waktu Perang Peranan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang dapat dilihat lewat pengadilan militer internasional untuk Timur Jauh tahun 1946 (International Military fo the Far East) pengadilan internasional untuk Rwanda tahun 1994 (International for Rwanda), dan peranan pengadilan internasional untuk bekas Yugoslavia tahun 1993 (International Tribunal for Former Yugoslavia) Pengadilan internasional memiliki peran yang sangat signifikan dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Apakah keadilah suatu kasus terpenuhi atau tidak sangat tergantung dari hasil putusan yang 48
Kofi Anan, Prevention of Armed Conflict; Report of the Secretary General. United Nations : New York : 2002 49 Penjelasan lengkap lihat di Sub Bab IV.
Universitas Sumatera Utara
57
dikeluarkan oleh suatu pengadilan. Demikian pula halnya dengan putusan yang dikeluarkan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang.sebagai contoh pengadilan militer untuk timur jauh yang diadakan pada 3 Mei 1946 merupakan pengadilan bagi para tentara Jepang yang melakukan kejahatann perang. Banyak pihak terutama pemerhati masalah-masalah perempuan, yang menganggap bahwa pengadilan ini merupakan suatu kegagalan besar dalam penegakan hukum terhadap para pelaku kejahatan perang 50. Pengadilan ini, menggunakan konsep dari pengadilan Nurenbergh (pengadilan penjahat perang NAZI – Jerman), diantaranya; kejahatan terhadap
perdamaian.
(Crimes
against
peace),
kejahatan
terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan perang agresif (agression) tetapi tidak dengan kesalahan kolektif. Pengadilan internasional untuk Rwanda dan Bosnia sampai dengan saat ini masih terus melakukan persidangan-persidangan untuk meminta pertanggungjawaban
individu
atas
tindakan
mereka
ketika
konflik
berlangsung. Dalam statuta ICTY Jurisdiksi Pengadilan dijelaskan dalam 4 Pasal yaitu jurisdiksi terhadap pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 (grave breaches of the Geneva Convention – Pasal 2), pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan hukum perang (violation of the laws or customs of war-
50
Wu Tianwei, The Failure of The Tokyo Trial, http://www.centurychona.com/wiihist/japdeny/Tokyotial.html, diakses tanggal 26 maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
58
Pasal 3), genosida (genocide-Pasal 4) dan perang agresif (agression) tetapi tidak dengan kesalahan kolektif 51. Pengadilan internasional untuk Rwanda dan Bosnia sampai dengan saat ini masih terus melakukan persidangan-persidangan untuk meminta pertanggungjawaban
individu
atas
tindakan
mereka
ketika
konflik
berlangsung. Dalam statuta ICTY Jurisdiksi Pengadilan dijelaskan dalam 4 Pasal yaitu Jurisdiksi terhadap pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 (grave breaches of the Geneva Convetnion – Pasal 2), pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan hukum perang (violation of the laws or customs of war – Pasal 3), genosida (genocide-Pasal4) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity-Pasal 5). Dari keempat Pasal yang mengatur masalah jurisdiksi tersebut, hanya Pasal 5 yang menyebutkan perkosaan secara spesifik, meskipun demikian keempat Pasal lainnya dapat juga digunakan untuk menjerat pelaku/pihak yang bertanggungjawab terhadap perkosaan di waktu perang. Dalam Statuta ICTR, pengadilan berwenang atas kasus genosida (genocide-Pasal 2), kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity-Pasal 3), kejahatan perang yang dapat diterapkan dalam konflik internal (Pasal 4).
51
Wu Tianwei, Ibid
Universitas Sumatera Utara
59
Kedua pengadilan internasional ini hanya memiliki jurisdiksi atas pribadi perorangan saja (natural persons-Pasal 6(1) statuta ICTR dan Pasal 7 statuta ICTY).
C.3. Kasus-kasus yang pernah diputuskan Sampai dengan saat ini telah ada beberapa putusan pengadilan yang berhasil dikeluarkan oleh pengadilan internasional yang berwenang dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan terhadap perempuan di waktu perang. Putusan – putusan pengadilan internasional tersebut kemudian menjadi preseden hukum baru dalam penegakan hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan secara internasional.
C. 3. 1. Kasus Jepang Pengadilan militer internasional untuk timur jauh (Tokyo Trial) telah menghukum 28 orang terpidana yang dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Jepang selama perang Asia Pasifik. Pengadilan ini berdiri atas deklarasi pada tanggal 1 Desember 1943 dari tiga negara sekutu yaitu, Inggris, Cina dan Amerika Serikat. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa tujuan dari perang yang ada adalah untuk menghentikan dan menghukum agresi Jepang. Setelah Jepang menyerah, komisi Kejahatan (Crimes Comission) PBB yang didirikan di London pada tahun 1943, membuat rekomendasi untuk
Universitas Sumatera Utara
60
mendirikan pengadilan militer internasional untuk kejahatan dan kekejaman Jepang. Kemudian delapan negara sekutu utama (Australia, Inggris, Kanada, Cina, Perancis, Belanda, New Zealand, Uni Soviet dan Amerika Serikat) untuk mengorganisasikan pengadilan tersebut. Konferensi Moskow yang dihadiri empat menteri luar negeri negara besar (Inggris, Cina, Uni Soviet dan Amerika Serikat) memutuskan bahwa pengadilan tersebut akan diadakan di Tokyo. Pengadilan ini berlangsung selama dua setengah tahun dan selesai pada tanggal 4 Nopember 1948 dengan diputuskannya pidana terhadap 28 penjahat perang kelas A. Dari tujuh hukuman mati yang diputuskan, pengadilan ada satu putusan pengadilan yang berkaitan menghukum terdakwa karena dianggap bertanggung jawab terhadap perkosaan yang terjadi di Indonesia dan Nanking (the Rape of Nanking) yaitu terhadap Akira Muto, ia seorang ketua deputi tentara Jepang di Cina Tengah. Dari enam belas terpidana hukuman seumur hidup penjara hanya satu putusan yang berkaitan dengan perkosaan, yaitu atas nama Kingoro Hashimoto, seorang komandan resimen alteri. Sama halnya dengan Akira Muto, dalam putusan hakim ia dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas terjadinya “the rape of Nanking” ia bertanggung jawab atas pembunuhan masal yang terjadi, kudeta dan menerbitkan buku tentang propaganda rasisme.
Universitas Sumatera Utara
61
Pengadilan ini menurut banyak pihak tidak dapat dikatakan memuaskan, hal ini terjadi karena : 1. Mayoritas dari penjahat perang Jepang kelas A dilepaskan. Dari 70 orang yang dianggap sebagai penjahat perang kelas A hanya group pertama saja, yang terdiri dari 28 orang, yang dibawa ke pengadilan, selebihnya yaitu grup pertama (23 orang) dan grup kedua (19 orang) akan diadili di Penjara Sugamo, Tokyo. Grup pertama merupakan orang-orang yang dianggap pemimpin utama dalam bidang militer, politik, dan diplomatik. Grup kedua dan ketiga merupakan orang-orang yang terkenal dibidang industri dan keuangan yang terkait dengan jual beli senjata dan obat-obatan berbaya, dalam grup ini termasuk juga pimpinan-pimpinan militer, politik dan diplomatik yang dianggap terlibat. Tapi ternyata semua penjahat kelas A yang belum diputuskan tersebut dibebaskan oleh Jenderal Mac Arthur pada tahun 1947 dan 1948. Sebagian dari mereka segera kembali terlibat dalam kegiatan militer dan politik. 2. Hirohito sebagai kaisar yang berkuasa saat itu sama sekali tidak diminta pertanggungjawabannya, padahal semua kegiatan pemerintahan yang ada saat itu merupakan kebijakan yang ia keluarkan dan harus mendapat izin dari dia Hal lainnya yang dapat dikatakan tidak memuaskan dari penyelesaian kasus perkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
62
1. Pengadilan militer terhadap tentara Jepang yang menghukum para pelaku pemerkosaan secara langsung hanya terjadi satu kali yaitu di Batavia – Indonesia (Jakarta) pada tahun 1948. Pengadilan ini lebih dikenal dengan pengadilan Batavia (Batavia trial). Pengadilan ini menghukum beberapa anggota militer Jepang karena telah memaksa 35 perempuan Belanda masuk ke rumah bordir. Namun, pengadilan ini tidak memperhatikan kasus yang sama yang terjadi pada perempuan Indonesia ataupun kewarganegaraan lainnya. Sampai saat ini tidak ada satupun tentara Jepang yang pernah diadili atas perlakuan mereka terhadap perempuanperempuan Korea. Pemerintah Jepang juga tidak pernah mengeluarkan satu pun dokumen yang menyangkut masalah ini 52. 2. Tidak adanya satupun permintaan maaf yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang secara resmi yang mengakui kesalahan mereka dimasa lalu. 3. Pemerintah Jepang menolak memberikan ganti rugi kepada para korban dengan alasan semua penyelesaian masalah perang telah selesai pada saat ditanda tanganinya perjanjian perdamaian antara Jepang dan negaranegara yang bersengketa. Ketidakpuasan tersebut membawa para korban yang dibantu organisasi non pemerintah pemerhati perempuan dari berbagao negara korban “Jugun Ianfu” mencoba menuntut hak mereka kepada pemerintahan Jepang. Bermacam cara telah dicoba dilakukan termasuk memasukkan kasus kepengadilan kedistrik Tokyo, tapi semuanya kembali.
52
A Chronological Look at Comfort Women, Young Koreans United of USA.
Universitas Sumatera Utara
63
Kemudian pada tahun 2000 pada korban dan lembaga-lembaga pemerhati perempuan tersebut menyelenggarakan sebuah pengadilan internasional untuk mengadili pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh para perempuan yang pernah menjadi “Jugun Ianfu” 53. Pengadilan internasional tersebut dikenal dengan nama International Women’s War Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery (Pengadilan Internasional terhadap Kejahatan (Kriminal) Perang) yang berlangsung di Tokyo pada tanggal 12 Desember 2000. Meskipun digunakan istilah pengadilan internasional ini dengan pengadilan internasional yang dikenal oleh masyarakat internasional saat ini. Perbedaan tersebut yaitu 54: a. Pengadilan ini tidak diselenggarakan oleh institusi negara melainkan oleh masyarakat sipil yang peduli mengenai masalah ini. b. Dikatakan pengadilan internasional oleh para penggeraknya karena memang banyak unsur – unsur dalam pengadilan tersebut yang dapat mengkategorikannya sebagai pengadilan internasional sebagai contoh pihak yang terlibat didalamnya adalah pihak-pihak dari berbagai negara yang berbeda, hukum yang digunakan merupakan kolaborasi dari hukumhukum di negara-negara pihak yang terlibat begitu pula dengan tempat terjadinya kejahatan yang berbeda-beda pula.
53
Christine Chinkin, Toward the Tokto Tribunal 2000, http://www.iccwomen.org/Tokyo/chinkin.htm, diakses tanggal 20 Mei 2010. http://muse.jhu.edu/demo/human_rights_quarterly/17.4niarchos.html 54 Sihyun Cho, op.cit
Universitas Sumatera Utara
64
c. Pengadilan ini mengadili mantan Kaisar Jepang Hirohito yang berkuasa semasa Perang Dunia II yang telah meninggal dunia. d. Pengadilan ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat hanya sebatas bersifat moral karena pengadilan ini memang bertujuan sebatas memberikan preseden pada masyarakat untuk tidak membiarkan suatu kejahatan kemanusiaan yang sebegitu bejatnya terhadap perempuan, terutama kejahatan seksual, lewat begitu saja dihadapan hukum. Pengadilan yang diselenggarakan kelompok Koalisi Perempuan dan Hak Asasi Manusia dan dimulai pada tanggal 8 Desember 2000 di Kudan Kaikan, Tokyo ini mendengar pengakuan dari sekitar 60 bekas budak seks Jepang yang lebih dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu. Diantaranya dari Cina, Indonesia, Belanda, Korea Utaram dan Selatan serta Taiwan. Peradilan ini didukung oleh para hakim yang pernah duduk pada pengadilan internasional mengenai perkosaan untuk korban perang di Bosnia dan Rwanda. Tuduhan yang bersifat moral tanpa kekuatan hukum ini mengakhiri pertemuan lima hari yang menghasilkan keputusan dalam kasus Perbudakan Seksual yang dilakukan Militer Jepang terhadap perempuan Asia di wilayah pendudukannya bahwa 55: a. Kaisar Jepang Hirohito yang berkuasa semasa Jepang Dunia II dan pemerintahannya dianggap bertanggung jawab terhadap perbudakan seksual. 55
“Hirohito Divonis Bersalah Atas Perbudakan Seks” http://www.suarakaryaonline.com/news.xtp?categoryid=52&newsid=4268, diakses tanggal 29 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
65
b. Menghukum pemerintah Jepang semasa Perang Dunia II dan meminta pemerintahan yang menggantikannya sekarang ini untuk meminta maaf dan melakukan ganti rugi terhadap korban budak-budak seks tersebut. Meskipun pada kenyataannya putusan pengadilan internasional tersebut sifatnya tidak mengikat bagi Jepang tetapi sesungguhnya perbudakan seksual tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 Pasal 27 dan merupakan kejahatan perang. Penolakan Pemerintahan Jepang untuk mengakui bahwa mereka bertanggungjawab
atas
terjadinya
perbudakan
seksual
di
wilayah
pendudukannya selama perang dunia II di tegaskan kembali dengan tidak disinggungnya mengenai sistem perbudakan seksual yang pernah mereka lakukan tersebut dalam buku teks sejarah yang digunakan untuk mengajar para murid sekolah yang dikeluarkan pemerintahan Jepang pada Bulan Mei tahun 2001, Tindakan Jepang ini mendapat protes dari berbagai aktivis kemanusiaan. Resolusi MU – PBB No. 2391/XXII/1968 (Convention on the NonApplicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity) dan perjanjian Dewan Eropa No. 82 tanggal 2 Januari 1974 (European Convention on The Non-Applicability of Statutory Limitation to Crimes Against Humanity and War Crimes) menyatakan bahwa berlalunya waktu sama sekali tidak menyurutkan tanggung jawab suatu negara untuk mengusut, menuntut, mengadili dan menghukum warganya yang terlibat.
Universitas Sumatera Utara
66
Setiap korban beserta keluarganya pun layak mendapat kompensasi dan pemulihan nama baik 56. Mereka menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional yang disebut International Tribunal Court di Tokyo. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama LBH APIK dan LBH Jakarta, bersama – sama dengan negara – negara korban lainnya seperti Philipina, Korea dan Taiwan, mengajukan surat dakwaan, berikut bukti – bukti dan kesaksian atas kejahatan tentara Jepang tersebut. Juga menuntut Pemerintah Jepang mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada korban dan memberikan ganti rugi, reprasi serta kompensasi 57.
C. 3. 2. Kasus Bosnia Herzegovina Sampai dengan saat dibentuk dan sampai dengan saat ini baik pengadilan internasional untuk bekas Yugoslavia maupun pengadilan internasional untuk Rwanda telah mengeluarkan putusan – putusan yang telah mengikat mengenai kejahatan. Dari 79 orang tertuduh pelanggaran terhadap hukum perang selama kasus Bosnia – Herzegovina, 55 orang saat ini sedang dalam proses pengadilan (44 orang dalam tahanan dan 11 orang dibebaskan) 24 orang sampai dengan saat ini masih belum diketahui keberadaannya (lihat lampiran).
56
“Menunggu Peradilan Perbudakan Seksual” http://www.geocities.com/koalisiper, diakses tanggal 29 April 2010. 57 Menuntut Keadilan Bagi Jugun Ianfu http://www.geocities.com/koalisiper/semai-05.htm diakses tanggal 29 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
67
Dari putusan – putusan yang telah dihasilkan oleh pengadilan, putusan atas tindak perkosaan tercatat sebanyak 5 putusan yang dengan jelas menggunakan kata “perkosaan” dalam penjatuhan hukumannya, yaitu terhadap : 1. Anto Furundzija, Jumat 21 Juli 2000, dengan hukuman 8 tahun penjara. Defenisi yang sama kemudian digunakan oleh hakim – hakim di ICTY dalam memutuskan kasus perkosaan selama perang berlangsung lainnya. 2. Hazim Delic, 6 Nopember 1998, dalam putusannya hakim selain memutuskan perkosaan sebagai kejahatan yang berdiri sendiri, hakim pengadilan juga mendefenisikan perkosaan sebagai bentuk penyiksaan (torture). 3. Dragoljub Kunarac, Radomir Kovavc dan Zoran Vukovic pada tanggal 22 Februari 2001, dihukum atas tindakan perbudakan seksual dan perkosaan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia bertanggung jawab atas perbudakan seksual yang dilakukan terhadap Muslim Bosnia di Fovca. Pengadilan ini tergolong unik karena memang berfokus pada kejahatan seksual.
Mereka menggunakan perkosaan sebagai teror di desa di Foca selama berlangsungnya perang di Bosnia. Pengadilannya berlangsung selama 10 bulan. Salah satu tuduhannya adalah bertanggungjawab atas perkosaan terhadap anak berusia 15 dan 12 tahun. Kunarac terbutki bersalah terhadap 11 tuduhan pemerkosaan terhadap wanita-wanita dan anak-anak perempuan
Universitas Sumatera Utara
68
Muslim selama berlangsungnya konflik pada tahun 1992-1995. Ia dihukum 28 tahun penjara. Kovac dihukum 20 tahun penjara untuk 4 tuduhan termasuk salah satunya melakukan kekerasan seksual terhadap anak berusia 12 tahun. Vukovic, dihukum 12 tahun penjara atas empat tuduhan dimana salah satunya atas perkosaan terhadap seorang anak berusia 15 tahun yang ternyata seusia dengan anak perempuannya sendiri 58. Saat ini mantan Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic juga sedang dalam
sebuah
proses
pengadilan
yang
bertujuan
meminta
pertanggungjawabannya terhadap peristiwa genosida yang dialami aum muslim Bosnia termasuk didalamnya perkosaan yang dilakukan secara sistematis dan masal terhadap kaum perempuan muslim Bosnia sebagai alat dari genosida. Proses
penegakan
hukum
internasional
untuk
menanggulangi
kejahatan yang terjadi di Bosnia dimulai dengan diadakannya dua pengadilan Hague pada saat yang nyaris bersamaan. Pada bulan maret 1993, Bonsia menuntut Republik Federal Yugoslavia (FRY) ke pengadilan internasional dengan tuduhan telah melanggar Konvensi Jenewa 1949. Dua bulan kemudian, Dewan Keamanan PBB membentuk Pengadilan Kriminal Internasional untuk Mantan Yugoslavia.
58
Historic Trial Makes Rape War Crime February 22, 2001 Web posted at : 7:11 p.m. EST (0011 GMT), http://www5.cnn.com/2001/WORLD/europe/02/22/hague.trial.03/amanpour.verdict.wav, diakses tanggal 7 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
69
Tuduhan yang diinginkan oleh para warga Bosnia delapan tahun yang lalu sama dengan yang dituduhkan para Milosevic saat ini sebagaimana yang dibuat oleh penuntut umum, Carla Del Ponte. Dalam berbagai kesempatan, Yugoslavia selalu mencoba menghindari tanggung jawabnya atas apa yang terjadi. Ia menolak menerapkan aturan-aturan pengadilan untuk mencari tahu pelanggaran-pelanggaran yang terjadi atas konvensi Genosida. Ia kemudian juga mempermasalahkan kemampuan hukum Bosnia dan Herzegovina ketika mengajukan kasus tersebut ke pengadilan, termasuk pula jurisdiksi pengadilan di pertanyakan. Pada bulan Juli 1996, pengadilan telah menyelesaikan semua keberatan-keberatan yang muncul pada akhirnya membawa Yugoslavia sebagai tertuduh atas tuduhan Binsia dengan tuduhan bahwa pemerintahan Sarajevo melakukan Genosida terhadap Penduduk Serbia yang ada di Bosnia. Sampai dengan 2000, Belgrade selalu mencoba dalam setiap hubungan internasional bahwa Bosnia menghentikan tuntutannya. Dengan kewenangan perwakilan Serbia di kelembagaan warga Bosnia, Yugoslavia seringkali mencoba menghentikan penerapan keputusan pengadilan bahkan ketika dibawah pemerintahan presiden yang baru, Vojislav Kostunica, pemerintahan mengatakan bahwa negara tersebut bukan lagi anggota PBB dari sejak tanggal 1992 sampai dengan 2000 dan karenanya bukan anggota Konvensi Genosida.
Universitas Sumatera Utara
70
Pengadilan terhadap penjahat perang meminta pertanggung jawaban pribadinya atas rencana dan melakukan tindakan genosida di Bosnia. Kasus terhadap Milosevic diperkirakan akan selesai dalam jangka waktu tahun 59. Pada bulan Juli, 160 negara memutuskan untuk membuat sebuah pengadilan internasional kriminal yang permanen yang dapat mengadili para individu yang melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang perhatian bersama, misalnya genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Persetujuan tersebut diprakarsai oleh sekjen PBB Kofi Anan, dimana ada tujuh negara yang menentang dibentuknya pengadilan ini diantaranya adalah Amerika Serikat, Cina dan Israel 60. Kebutuhan akan ICC ini dimulai ketika Majelis Umum PBB mulai merasakan adanya kebutuhan pengadilan semacam ini pada tahun 1948, ketika terjadi pengadilan Nurenbergh dan Tokyo setelah Perang Dunia II dan kemudian telah menjadi sejak saat itu. Kemudian dibelakang hari, terjadilah kasus Bosnia dan Rwanda dengan kemudian dibentuk dua pengadilan internasional yang membutuhkan sebuah mekanisme yang permanen yang dapat menghukum pelaku pembuhan masal dan penjahat perang semakin menjadi – jadi. Sebuah pengadilan yang sifatnya permanen akan dapat bereaksi lebih cepat ketimbang sebuah pengadilan yang sifatnya sementara (ad hoc). Selain 59
A Criminal Entity, About the Republika Srpska By Kasim Trnka in Sarajevo, http://www.muslimlawyers.net/news/index.php3?aktion=show&number=83, diakses tanggal 15 Juni 2010 60 Some Questions and Answers http://www.ejil.org/journal/Vol5/No3/art4-02.html, diakses tanggal 5 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
71
itu pengadilan yang permanen dengan sistem yang telah pasti akan menjadi alat yang lebih kuat untuk mencegah kejahatan-kejahatan serupa. Tuduhan terhadap mantan Presiden Slobodan Milosevic lewat pengadilan ad hoc pada bulan Juni 1999 dengan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan semakin memperkuat keinginan pentingnya peranan pengadilan yang permanen 61.
C. 3. 3. Rwanda Sampai dengan tanggal 31 Desember 1999, 48 orang telah dituntut, 38 orang lainnya berada dalam tahanan, baru enam kasus saja yang sudah mendapat putusan. Sepuluh orang sudah dituntut tetapi belum diketahui keberadaannya. Pengadilan internasional untuk kasus Rwanda merupakan pengadilan yang memberikan preseden penting dalam perlindungan terhadap korban perkosaan di waktu perang. Pengadilan inilah yang pertama kalinya dalam sejarah pada tanggal 2 September 1998, menghukum terpidana (Akayesu) dengan tuduhan genosida dan menggunakan perkosaan secara sistematis sebagai alat dari genosida 62. Pengadilan mengatakan bahwa perkosaan adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity).
61 62
http://www.un.org/News/facts/iccfact.htm, diakses tanggal 7 Mei 2010. Kelly Askin, op.cit
Universitas Sumatera Utara
72
Diaman kemudian akibat putusan ini maka munculah preseden mengenai kasus perkosaan bahwa tindakan perkosaan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jean-Paul Akayesu adalah mayor komunitas Taba di Rwanda. Di posisi ini ia memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap kegiatan militer, politik dan masyarakat Taba. Ia dituduh telah melakukan tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, pembunuhan dan perkosaan, penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi lainnya 63. Putusan lainnya yang dikeluarkan ICTR tentang perkosaan jatuh pada terpidana Alfred Musema dengan hukuman penjara seumur hidup 64 (27 Januari 2000). Ia didakwa telah melakukan genosida, konspirasi untuk melakukan
genosida,
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
(pembunuhan,
perkosaan, pemusnahan dan tindakan tidak manusiawi lainnya) dan juga melanggar protokol II dan Artikel 3 Jenewa Konvensi 65. Dengan dikeluarkannya putusan mengenai kejahatan perkosaan di waktu perang oleh ICTR memberikan preseden yang luar biasa besar dalam hukum internasional dibidang perlingungan dan penegakan hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan.
63
Kelly Askin, legar preseden, ibid Kellu D. Askin, Sexual Slavery, op.cit 65 Kelly Askin, Legal Precedents, op.cit 64
Universitas Sumatera Utara
73
D. Penyelesaian Masalah Ganti Rugi terhadap Korban Perkosaan di Waktu Perang Ganti rugi merupakan hal yang penting untuk dipenuhi ketika suatu tindak pidana terjadi. Pentingnya ganti rugi tidak terlepas dari nilai keadilan itu sendiri. Untuk masalah ganti rugi ini dikenal dua macam ganti kerugian, yaitu 66 : a. Restitusi (restitution); ganti kerugian oleh pihak pelaku b. Kompensasi (compensation); ganti kerugian oleh pihak pemerintah. Pemerintah memberikan ganti rugi walaupun pemerintah tidak salah, tetapi demi pelayanan terhadap yang dirugikan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan. Komisi hak asasi manusia telah membuat serangkaian prinsip-prinsip yang ditujukan untuk mendampingi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Prinsip – prinsip tersebut termasuk hak anggota keluarga untuk mengetahui kepastian orang yang hilang, hak untuk mendapatkan penggantian kerugian, hak untuk keadilan bagi tindak pidana dan prinsip bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk mencegah hal yang sama terulang kembali. Sangat disayangkan prinsip-prinsip ini sifatnya hanya rekomendasi.
66
Arif Gosita, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan terhadap Para Korban Perkosaan, (Jakarta : Akademika Presindo, 1985), hal. 20
Universitas Sumatera Utara
74
D. 1. Ganti Rugi Jepang Ganti rugi atas kasus Jugun Ianfu Jepang merupakan permasalahan yang telah berlarut-larut dan tidak terselesaikan sampai dengan saat ini. Dua perbedaan sudut pandang antar pemerintah Jepang dan korban Jugun Ianfu mengenai proses penyelesaian ganti rugi menyebabkan persoalan ini tak terselesaikan. Pemerintah Jepang berpendapat bahwa para Jugun Ianfu yang saat ini masih menuntut ganti rugi atas apa yang mereka alami adalah hal yang tidak mendasar karena semua hal yang berkaitan dengan ganti rugi perang telah mereka selesaikan pada saat menandatangani perjanjian damai dengan negaranegara dimana Jugun Ianfu tersebut berada, dan ini berarti kewajiban mereka telah terpenuhi. Sangat berbeda dengan sudut pandang pemerintah Jepang, para “Jugun Ianfu” dan lembaga non pemerintah pemerhati perempuan beranggapan bahwa ganti rugi yang diberikan kepada negara-negara “Jugun Ianfu” tersebut banyak kekurangan karena : 1. Tidak diberikan secara pribadi sebagai bentuk permintaan maaf kepada setiap korban, mengingat penderitaan luar biasa yang harus mereka tanggung seumur hidup mereka. 2. Ganti rugi tidak sebatas materil tapi juga sebuah permintaan maaf dari pemerintah Jepang secara resmi atas kejahatan mereka terhadap kaum perempuan selama perang Asia Pasifik berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
75
3. Melakukan pengadilan terhadap para pelaku pemerkosaan termasuk orang utama yang bertanggung jawab dibelakang peristiwa perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik yaitu mantan kaisar Hirohito. Dua perbedaan sudut pandang ini tidak dapat dipertemukan sampai dengan saat ini. Sebuah Badan Swasta yang bertujuan memberikan kompensasi terhadap para korban perbudakan seksual tentara Jepang telah didirikan pada tahun 1996. Mereka mengumpulkan dana sebesar satu miliar yen (9,5 juta dolar) dari berbagai sumber dan pihak-pihak yang bersedia membantu untuk kemudian dibagikan kepada para korban. Namun, berdirinya badan swasta ini sama sekali tidak mengurangi keinginan para pihak untuk tetap menuntut pertanggungjawaban langsung pemerintah Jepang. Yang dibutuhkan bukan bantuan swasta tapi pernyataan langsung pemerintah Jepang bahwa mereka bertanggungjawab dan akan memberikan ganti rugi 67. Janji bahwa pemerintah Jepang akan memberikan permintaan maaf secara tertulis atas tanggung jawab pemerintah Jepang terhadap perbudakan seksual yang dilakukan oleh tentara Jepang pada perang Dunia II pernah diberikan oleh Perdana Menteri Hashimoto, namun kemudian sikap tersebut dibantah oleh anggota-anggota parlemen Jepang yang lain yang membantah keterlibatasn pemerintah Jepang terhadap praktek prostitusi tersebut 68. Kompensasi secara individual saat ini belum dilakukan bagi korban perkosaan yang digunakan sebagai budak seksual oleh tentara perang Jepang 67
“Hashimoto Minta Maaf pada Perempuan Penghibur”, Bandung Pos, Senin 1 Mei 1996. Korban Perbudakan Seks Kembali Lancarkan Unjukrasa; ganti Rugi “Perempuan Penghibur” Tentara Jepang Juta Rupiah”, Pikiran Rakyat, 6 Juni 1996, hal : 19. 68
Universitas Sumatera Utara
76
selama perang dunia kedua. Meskipun telah berselang 50 tahun kemudian, mereka belum juga menerima kompensasi. Pada tanggal 27 April 1998, pengadilan distrik Tokyo telah memerintahkan pembayaran kompensasi kepada tiga orang perempuan Korea, mantan Jugun Ianfu, namin kemudian dibatalkan ketika pihak pemerintah Tokyo melakukan banding 69. Ken’Ichi
Takagi,
seorang
pengacara
Jepang
yang
mewakili
perempuan-perempuan “Jugun Ianfu” dari Korea dan Filipina dan beberapa korban lainnya yang menuntut kompensasi dari Jepang di pengadilan Jepang mengatakan bahwa setiap korban dari tentara Jepang harus menerima ganti rugi secara individual secara langsung dari Jepang dengan sejumlah uang yang sepantasnya diterima/sebanding dan dapat menggambarkan penderitaan yang dialami oleh korban dan kesengsaraan yang mereka alami ketika para tentara Jepang tersebut melanggar hak-hak mereka. Bagaimana kompensasi tersebut dibayar harus dapat diterima oleh para korban dan wakil-wakil mereka 70. Alasan kenapa Jepang menolak bertanggung jawab atas ganti rugi yang dituntut oleh para wanita mantan “Jugun Ianfu” tersebut adalah karena Jepang merasa bahwa Perjanjian-perjanjian Perdamaian yang dibuat tahun 1950, (termasuk didalamnya Perjanjian san Fransisco yang dibuat antara Jepang dan Sekutu, Perjanjian Bilateral antara Jepang dan Indonesia, Korea Selatan dan Belanda) telah menghapuskan semua kewajibannya untuk melakukan ganti 69
Lindsey Hilsum, ibid Karen Parker, J.D. United Nations Commission On Human Rights, Fifty-first session Agenda item 11, “War Rape” International Educational Develompment welcomes the excellent first report (E/CN.4/1995/42) of the rapporteur on violence against women, http://www.webcom.com/hrin/parker/c95-11.html diakses tanggal 6 April 2010. 70
Universitas Sumatera Utara
77
rugi. Dengan alasan tersebut maka tidak ada tuntutan apapun termasuk pula didalamnya tuntutan-tuntutan pribadi perseorangan yang boleh diajukan, hal ini menurut Jepang sesuai dengan hukum internasional yang berlaku 71. Alasan ini sesungguhnya sangat tidak berasalan, sebagai contoh dalam perjanjian ganti rugi Jepang terhadap Indonesia, ganti ruhi hanya sebatas pada ganti rugi untuk pembangunan fisik negara. Masalah ganti rugi Jepang terhadap para korban perbudakan seksual Jepang selama Perang Asia Pasifik sama sekali tidak disebut-sebutkan dalam perjanjian tersebut (lihat lampiran) 72.
D. 2. Ganti Rugi Bosnia Ganti rugi juga harus diberikan pada para pengungsi mengingat mereka juga merupakan pihak-pihak yang dirugikan ketika suatu perang terjadi dan mengingat pula ada banyak kekerasan perkosaan di tempat-tempat pengungsian. Namun belakangan muncul praktek ketidakadilan yang saat ini berkembang di pengungsi perang Bosnia. Ketidakadilan tersebut terjadi ketika para pengungsi diharuskan membuat pilihan antara memilih hak untuk kembali ke negara asal atau hanya menerima kompensasi saja. Pilihan yang harus dilakukan oleh para pengungsi ini merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional yang mengatur bahwa setiap pengungsi mempunyai hak untuk kembali ke negara/wilayah asalnya padahal sebelumnya tidak ada definisi “hanya ganti rugi” dalam kesepakatan Dayton.
71
Christine Chinkin, Toward the Tokto tribunal 2000, http://www.iccwomen.org/tokyo/chinkin.htm, diakses tanggal 15 Mei 2010. 72 Masashi Nishihara, Sukarno, Ratna Sari Dewi dan Pampasan Perang; Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966. Jakarta : Pusaka Utama Grafiti, 1994.
Universitas Sumatera Utara
78
Kesepakatan Dayton adalah sebuah kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh Kroasia, Bosnia dan Herzegovina dan Republik Federal Yugoslavia dimana dalam kesepakatan tersebut negara – negara tersebut saling mengakui kedaulatan masing-masing, menjaga perdamaian dan menyatakan bersedia bekerjasama dalam melakukan penyelidikan dan penghukuman terhadap penjahat-penjahat perang mewujudkan perdamaian. Dengan dibuatnya pernjanjian ini sejak tanggal 5 Oktober 1999 telah dilakukan gencatan senjata diantara ketiganya 73. Jika melihat dalam ketentuan statuta ICTY, ganti rugi dimungkinkan, hanya saja sebatas harta benda kepemilikan yang dirusak atau mengalami kerusakan akibat tindak kejahatan yang dilakukan (Pasal 24 ayat (3)) sedangkan untuk kasus perkosaan, dengan klausul seperti itu berarti korban perkosaan tidak bisa mengajukan ganti rugi atas apa yang telah dideritanya. Adalah hal yang sesungguhnya timpang ketika dalam statuta ICTR dan ICTY
diatur
mengenai
hak
terdakwa
tetapi
sama
sekali
tidak
berbicara/menyinggung hak korban.
D. 3. Ganti Rugi Rwanda Ganti rugi merupakan hal yang sangat penting ketika terjadi suatu kasus perkosaan di waktu perang. Saat ini telah dilakukan berbagai kajian seminar bagi pelaksanaan kompensasi bagi para korban genosida di Rwanda.
73
Catherine Petruzz, Bosnia : Why your Voice Matters http://www.ibiblio.org/netchange/bosnia.html, diakses tanggal 6 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
79
Para peserta tersebut berharap dapat belajar dari negara-negara yang telah memiliki mekanisme dalam menghadapi persoalan semacam ini 74. Format kompensasi yang akan diberikan bagi korban di Rwanda menjadi topik utama dalam pertemuan Persatuan Afrika (The Organisation of African Unity Summit-OAU) yang dilakukan di Togo. Meminta kompensasi bagi para korban genosida 1994 di Rwanda merupakan hal yang dipermasalahkan
oleh
OAU
dimana
mereka
merupakan
hal
yang
dipermasalahkan oleh OAU dimana mereka menyalahkan kekuatan negaranegara barat karena kegagalannya melakukan intervensi untuk menghentikan pembunuhan masal yang terjadi saat itu. Meskipun sebagian besar negara-negara Afrika terlibat dalam kegiatan ini ada beberapa negara yang menolak terlibat didalamnya, diantaranya Angola dan Namibia. OAU secara khusus menyalahkan Perancis dan Amerika Serikat dan menyalahkan secara umum negara-negara Dewan Keamanan PBB, sebagai pihak yang bersalah karena gagal mencegah genosida yang terjadi tersebut. Perancis dianggap bersalah karena Perancis sesungguhnya melakukan kontak yang sangat intens dengan mantan Presiden Rwanda dari suku Hutu yang karenannya seharusnya dapat / melakukan tekanan – tekanan untuk mencegah terbunuhnya 800.000 orang 75.
74
Semianr on compensation of Genosida victims opens http://www.rwandal.com/goverment/0608000newscompensation4genosida.html, diakses tanggal 6 Juni 2010. 75 Togo’s President Eyedema : “Controversial host and major west African power Ivory coast has been excluded because of December’s military coup”. http://news.bbc.co.uk./1/hi/world/africa/823355.stm, diakses tanggal 6 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
80
Amerika Serikat disalahkan karena kegagalannya menggunakan pengaruhnya di dewan keamanan PBB untuk mengirimkan intervensi pasukan militer untuk mencegah pembunuhan yang terjadi. Laporan yang dikeluarkan OAU mengatakan bahwa pihak Barat telah gagal mengambil tindakan padahal ada banyak bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa pembunuhan masal tersebut akan terjadi. Para perumus laporan tersebut diantaranya adalah mantan presiden Ketumile Masire dari Bostwana, Jenderal Ahmadou Toure dari Mali, Mantan Ketua Peradilan dari India PN Bhagwati dan beberapa senior PBB membuat laporan tersebut menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan secara serius. Dalam kesimpulan laporan tersebut dikatakan bahwa sebuah permintaan maaf yang sangat sederhana sebagaimana yang telah dilakukan oleh PBB tidaklah cukup untuk itu, mereka meminta adanya ganti rugi. Laporan tersebut juga meminta adanya ganti rugi. Laporan tersebut juga meminta agar dilakukannya di Tanzania agar dipindahkan agar dipindahkan di Rwanda. Hal lainnya yang juga diminta adalah dilakukannya ekstradisi bagi orang-orang yang dicurigai sebagai kepala pimpinan yang melakukan genosida di beberapa negara di Eropa, Afrika dan Amerika Serikat 76. Jika melihat dalam statuta ICTR maka sama halnya dengan statuta ICTY, dalam statuta ICTR akan kita temukan bahwa ganti rugi sesungguhnya dimungkinkan, hanya saja sebatas harta benda kepemilikan yang dirusak atau mengalami kerusakan akibat tindak kejahatan yang dilakukan (Pasal 23 ayat 76
Rwanda counts its dead, http://news.bbc.co.uk./1/hi/world/africa/838023.stm, diakses tanggal 6 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
81
(3)) sedangkan untuk kasus perkosaan, dengan klausul seperti itu berarti korban perkosaan tidak bisa mengajukan ganti rugi atas apa yang telah dideritanya. Berdasarkan laporan komisi hak asasi manusia dilaporkan bahwa untuk menghindari terlalu penuhnya penjara akibat peristiwa pembantai yang telah berlalu maka dibuat mekanisme yang diadopsi dari kebiasaan adat masyarakat setempat (gacaca-pengadilan oleh masyarakat) yang mana cara ini akan diberlakukan kepada tiga dari empat kategori tersangka pelaku genosida. Yang tidak akan menggunakan cara ini adalah kategori pertama yaitu mereka yang merencanakan genosida, melakukan pembunuhan dan melakukan kekerasan/penyiksaan seksual. Ganti rugi hanya berlaku terhadap kejahatan terhadap benda milik (property), jika pelaku kejahatan tidak sanggup membayar maka ia harus melakukan kerja sosial (community services). Pemerintah Rwanda telah berulang kali mengindikasikan keinginannya untuk memberikan ganti rugi kepada para pihak yang selamat dari genosida dan keluarga korban atas kerugian yang mereka alami. Hanya saja jumlah kepastian yang akan diberikan belum juga dipastikan dan sampai dengan saat ini belum ada pihak yang menerima ganti rugi tersebut. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Johns Hopkins Centre for Communication Programs, sebuah LSM Internasiolah, terhadap warga
Universitas Sumatera Utara
82
Rwanda mengenai ganti rugi akibat genosida yang terjadi, mereka berpendapat agar 77: a. 86% responden sangat sependapat dengan ganti rugi yang diberikan b. Pihak – pihak yang dianggap perlu untuk mendapatkan ganti kerugian adalah : anak – anak mereka (51%), para orang tua (45%), pasangan hidup (suami/isteri) (37%), saudara laki-laki (17%) dan saudara perempuan (16%). c. Pembayaran
dalam
bentuk
uang
secara
langsung
kepada
korban/keluarganya merupakan pilihan yang paling banyak dipilih. d. Sekitar (65%) responden berpendapat bahwa pihak yang bersalah melakukan genosida dan keluarganya harus bertanggung jawab dalam membayar ganti rugi tersebut. e. (69%) responden berpendapat bahwa dengan membayar ganti rugi merupakan bentuk keinginan pihak yang melakukan genosida untuk melakukan rekonsiliasi. f. (58%) responden terutama mereka yang kehilangan anggota keluarganya akibat genosida (68%), menganggap bahwa pembayaran ganti rugi tidak sebegitu penting dalam mewujudkan perdamaian di negara tersebut. g. (89%) responden berpendapat bahwa perdamaian yang berkelanjutan hanya dapat terwujud jika pelaku-pelaku genosida menyadari kesalahan mereka, meminta maaf dan menunjukkan niat untuk melakukan rekonsiliasi. 77
Gacaca Perceptions & Itentions, Johns Hopkins Centre for Communication Programs, http://www.jhuccp.org/centerpubs/sp19/English/gac.shtml, diakses tanggal 17 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
83
Pemerintah Rwanda telah membentuk lembaga keuangan nasional yang ditujukan melakukan Pendampingan terhadap para mereka yang selamat dari tindakan genosida dan pembunuhan masal. Dana ini direncanakan akan digunakan untuk melakukan pendampingan terhadap pihak – pihak yang selamat dari genosida dan pembunuhan masal yang mengalami trauma yang besar. Untuk menyiapkan program bagi lembaga keuangan ini, dilaksanakan sensus bagi pihak-pihak yang selamat dari genosida yang tidak hanya bicara mengenai jumlah saja tetapi juga gambaran sosial dan ekonomi kelompok tersebut sehingga dapat memberikan gambaran sesungguhnya mengenai kebutuhan mereka sesungguhnya 78. Namun, sampai saat ini belum ada satupun pihak yang telah menerima kompensasi yang dijanjikan tersebut, padahal kompensasi bagi korban genosida di Rwanda akan sangat berperan bagi persatuan dan kesatuan serta rekonsiliasi antara kedua belah pihak di Rwanda. Berdasarkan penjabaran diatas jelas terlihat bagaimana masalah ganti rugi belum dianggap penting oleh para penegak hukum internasional. Terlihat bagaimana dalam kedua statuta pengertian ganti rugi hanya sebatas harta benda yang dirusak tapi tidak dibahas mengenai kerugian-kerugian mental yang dialami oleh korban. Hal ini menjadi penting dalam hal kasus perkosaan karena ketika perkosaan terjadi kerugian terbesar yang dialami korban adalah gangguan psikologis dan mental yang dialaminya bukan hanya fisik materai saja. Dengan ketentuan yang ada tersebut berarti korban perksoaan tidak akan bisa menuntut ganti kerugian atas apa yang telah terjadi pada dirinya.
78
Tharcisse NTUKANYAGWE & Ildephonse KARENGERA “LESSONS LEARNED IN RWANDA” http://www.tv.cbc.ca/witness/rwanda.rwanwom.htm, diakses tanggal 17 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan oleh penulis diatas, maka atas pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam skripsi ini, dapat diambil kesimpulan 1. Bahwa pengaturan perkosaan terhadap korban perempuan di waktu perang menurut HI adalah Berikut ini merupakan konvensi-konvensi dan pernjanjian internasional lainnya yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak perkosaan baik yang sifatnya langsung (yang dengan jelas menggunakan isitilah “perkosaan/rape”) maupun tidak langsung (yang tidak dengan jelas menggunakan kata “perkosaan/rape”). a. Berdasarkan Konvensi Janewa IV Tahun 1949 Konvensi Janewa IV tahun 1949 merupakan perangkat internasional yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil selama berlangsungnya sebuah konflik bersenjata/perang. Dalam konvensi ini diatur pula mengenai perlindungan terhadap perempuan dari berbagai tindakan yang dapat mengancam kehormatannya dimana perkosaan termasuk salah satunya. b.
Berdasarkan Perjanjian Internasional Perkosaan telah dikecam oleh hukum internasional sudah sejak lama. Ahli hukum internasional Scholars Belli (1563), Gentili (1612) and
Universitas Sumatera Utara
84
85
Grotius (1625) mengatakan bahwa perkosaan diwaktu perang sebagai kejahatan perang 79. Selain Konvensi Jenewa IV 1949 beserta kedua protokolnya, ada beberapa perjanjian-perjanjian internasionalnya lainnya yang mengatur mengenai perlindungan terhadap perempuan selama berlangsungnya perang baik secara langung maupun tidak langsung. Perjanjian – perjanjian tersebut antara lain : 1. Komisi pasca Perang Dunia I, Versailles Commission, telah mengakui perkosaan sebagai kejahatan perang. Control Council Law No. 10, telah memasukkan kejahatan tehadap kemanusian, termasuk didalamnya perkosaan diwaktu perang, dalam piagam Nuremberg dan Tokyo. 2. Konvensi Den Hague, pelaksanaan Perang Dunia II juga telah melakukan pelarangan terhadap tindak perkosaan diwaktu perang dan berbagai tindak kekerasan seksual lainnya. 3. The Covenant of The League of Nations (termasuk Amandemen December, 1924) 4. International Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others. 5. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979).
79
Karen Parker, J.D., United Nations Commissions On Human Rights Fifty-first session Agenda item 11, War Rape, http://www.webcom.com/hrin/parker/c95-11.html, diakses tanggal 17 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
86
6. Vienna Declaration & Programme of Action (World Conference on Human Rights, Vienna, 14-25 June 1993). 7. Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1994), Beijing Declaration 1995. 8. Piagam PBB, Deklarasi Hak Asasi Manusia (Charter of the United Nations, Universal Declaration of Human Rights) 9. International Covenant On Economic Civil And cultural Rights 10. International Convenant On Civil And political Rights 11. Konvensi mengenai hak anak (convention on the rights of the child) 12. Convention on the elimination of all forms of discrimination Agsinst women 13. Convention on the Elimination of Violence Against Women 14. Instruksi Pemerintah terhadap tentara Pemerintah Amerika serikat yang berada di lapangan. 2. Bahwa peranan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasuskasus perkosaan di waktu perang merupakan Peranan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang dapat dilihat lewat pengadilan militer internasional untuk Timur Jauh tahun 1946 (International Military fo the Far East) pengadilan internasional untuk Rwanda tahun 1994 (International for Rwanda), dan peranan pengadilan internasional untuk bekas Yugoslavia tahun 1993 (International Tribunal for Former Yugoslavia)
Universitas Sumatera Utara
87
Pengadilan internasional memiliki peran yang sangat signifikan dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Apakah keadilah suatu kasus terpenuhi atau tidak sangat tergantung dari hasil putusan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan. Demikian pula halnya dengan putusan yang dikeluarkan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasuskasus perkosaan di waktu perang. Bahwa ada penyelesaian masalah ganti rugi terhadap korban-korban perkosaan diwaktu perang adalah Ganti rugi merupakan hal yang penting untuk dipenuhi ketika suatu tindak pidana terjadi. Pentingnya ganti rugi tidak terlepas dari nilai keadilan itu sendiri. 3. Bahwa Untuk masalah ganti rugi ini dikenal dua macam ganti kerugian, yaitu: a…Restitusi (restitution); ganti kerugian oleh pihak pelaku b. Kompensasi (compensation); ganti kerugian oleh pihak pemerintah. Pemerintah memberikan ganti rugi walaupun pemerintah tidak salah, tetapi demi pelayanan terhadap yang dirugikan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan. Komisi hak asasi manusia telah membuat serangkaian prinsip-prinsip yang ditujukan untuk mendampingi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Prinsip – prinsip tersebut termasuk hak anggota keluarga untuk mengetahui kepastian orang yang hilang, hak untuk mendapatkan penggantian kerugian, hak untuk keadilan bagi tindak pidana dan prinsip bahwa pemerintah
Universitas Sumatera Utara
88
mempunyai kewajiban untuk mencegah hal yang sama terulang kembali. Sangat disayangkan prinsip-prinsip ini sifatnya hanya rekomendasi. Fenomena yg berkembang dibeberapa kasus yang muncul menunjukkan bahwa perkosaan telah digunakan sebagai alat untuk memenangkan peperangan, dilakukan dengan cara masal dan sistematis dan dalam beberapa kasus mendapat restu dari Negara. Dalam kasus bosnia dan Rwanda, perkosaan digunakan sebagai cara pembersihan ras (genosida) sehingga diharapkan dari perempuan perempuan yang di perkosa tersebut akan lahir anak anak yank memiliki ras campuran. Fakta mengenai hal ini telah di kuatkan lewat utusan pengadilan internasional untuk bekas Yugoslavia dalam kasus kunarac , kovavc dan zoran (bosnia) serta kasus akayesu (Rwanda) Pengaturan mengenai perkosaan di waktu perang di atur dalam Pasal 27 konvensi jenewa IV 1949 dan Pasal 4 protokol II nya. Kedua perangakat hukum internasional tersebut merupakan perangakt hukum internasional utama dalam upaya mencegah dan menyelesaikan kasus kasus pemerkosaan di waktu perang. Hanya saja menunnjukan bahwa meskipun kedua perangakat hukum tersebut efektif dalam menyelesaikan kasus kasus perkosaaan di waktu perang namun masih sangat minim perannya dalam mencegahterjadinya kasus kasus perkosaan di waktu perang. Hal ini biasa dilihat dari kasus Bosnia dan Rwanda yang terjadi setelah kedua perangkat hukum tersebut berlaku. Ini menunjukkan kegagalan konvesi jenewa dan protokolnya dalam mencegah terjadi kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Kegagalan tersebut terjadi
Universitas Sumatera Utara
89
karena rendahnya control dari lembaga PBB dalam mengawasi penerapan setiap konvensi yang telah berlaku. Perkosaan di waktu perang membawa banyak
persoalan
hukum,
dimana
diantaranya
adalah
;
masalah
kewarganegaraan dan hukum dimana yang berlaku mengingat antara korban dan pelaku perkosaan bias memiliki kewarganegaraan yang berbeda,masalah pengungsian dan kesejahteraanya selama pengungsian. Hal ini perlu diperhatikan mengingat ketika banyak terjadi perkosaan yang dilakukan diwaktu perang ,menyebabkan tingginya tingkat pengungsi terutama perempuan yang berusaha menghindar ke daerah yang dianggap aman. Selain kedua maslah tersebut muncul maslah lainnnya yaitu mengenai kewenangan pengadilan internasional,dan masalah ganti rugi terhadap korban. Pengadilan internasional memiliki peranan yang sangat besar dan penting dalam segala upaya mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Meskipun dengan beberapa putusan yang dianggap tidak memuaskan misal: putusan terhadap para penjahat perang jepang di Tokyo pada tahun 1946,putusan pengadilan internasional lainnya misal ICTR dengan putusan pengadilan internasional lainnya misal ICTR dengan putusan pengadilan internasional lainnya misal ICTR dengan putusan terhadap akayesu, pengadilan telah membuat preseden besar mengenai kejahatan perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). ICTY juga memberikan preseden hukum yang besar pada saat menghukum kunarac,kovavc dan zoran atas tindak perkosaan secara sistematis terhadap para perempuan Bosnia. Dengan hukum yang dijatuhkan kepada
Universitas Sumatera Utara
90
pelaku perkosaan dan mereka yang dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya perkosan diwaktu Perang
merupakan cara yang sangat
efektif untuk mencegah kasus serupa terjadi dikemudian hari. Dalam pengadilan internasional, pengaturan mengenai Perkosaan diatur dalam statute ICTR(Pasal 3), ICTY (Pasal 5) dan ICTY (Pasal 7),dimana perkosaan (rape) diwaktu perang dikategorikan dalam salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Setiap korban kejahatan termasuk didalamnya korban perkosaan berhak atas ganti rugi atas kerugian yang dialaminya baik itu kerugilan fisik ataupun mental. Hal ini tidak terlepas dari proses pemenuhan keadilan itu sendiri. Ganti rugi merupakan salah satu unsur dasar dari hukum. (Grotius). Dari ketiga kasus itu kasus perkosaan Jepang selama Perang Asia pasifik,kasus Rwanda Tahun 1993 dan kasus bosnia Tahun 1995,pemberian ganti rugi belum pernah dilakukan sampai saat ini. Perhatian utama penyelesaian kasus beratkan pada menangkap pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab tanpa memperhatikan proses penggantian kerugian yang dialami korban. Ganti rugi Jepang merupakan contoh buruk dari proses Penyelesaian Dimana jepang sebagai negara tidak mengakui kesalahannya dimasa lampau dan tidak memberikan Ganti rugi kepada para korban perbudakan seksual yang mereka lakukan semasa kependudukannya. Baik di statuta ICTR Pasal 23 ayat (3) dan ICTY Pasal 24 ayat (3),ganti kerugian dimungkinkan sebatas 'harta benda’ (property) yang mengalami
Universitas Sumatera Utara
91
kerusakan saja. Definisi Ini tidak melingkupi kerugian mental atau fisik korban padahal seharusnya ganti rugi dapat diberikan terhadap kerusakan kehormatan (honor) dan reputasi (reputation) seseorang.Korban perkosaan sebagai pihak yang kehormatan dan reputasinya terusak memiliki hak atas ganti kerugian, namun definisi yang diberikan tersebut akan sulit bagi korban perkosaan untuk menuntut ganti kerugian.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian demi
mencegah dan
menyelesaikan kasus-kasus perkosaan diwaktu perang terjadi dikemudian hari, yaitu bahwa: PBB harus Lebih berperan aktif dalam menyelesaikan dan terutama mencegah setiap konflik yang dapat mengarah kearah terjadinya gangguan terhadap keamanan dan perdamaian dunia. Adalah bahwa penerapan sebuah konvensi adalah fakta yang berlaku terhadap negara-negara anggotanya sering kali tidak efektif sebagaimana yang terjadi dengan konvensi jenewa 1949 yang menyebabkan banyaknya terjadi pelanggaran tersebut untuk k itu perlu dibuatnya sebuah badan pengawasan yang memiliki tugas mengawasi mengontrol dan siap memberikan sanksi terhadap setiap penerapan sebuah konvensi yang telah berlaku. Sumbangan utama dapat diberikan olehpengadilan adalah tidak hanya hukum yang berlaku/digunakan dan prosedurnya tetapi juga faktor manusia
Universitas Sumatera Utara
92
harus ikut bicara; karakter dan sensitifitas dari hakim dan pengacara yang terlibat terhadap korban perkosaan sangat penting. Setiap negara hendaknya, membuat mekanisme pengganti kerugian terhadap setiap korban kejahatan termasuk di dalamnya korban baik itu ganti rugi materi lmaupunmental psikologis. Hal ini merupakan hal yang sangat penting mengingat beban dan pendertitaan moral yang harus dihadapi Korban seumur hidupnya. Negara harus terlibat secara aktif dalam proses asistensi dan penyembuhan korban perkosaan. Masyarakat internasional harus menanggapi secara serius setiap bentuk kejahatan terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan mengingat posisi perempuan dibelahan dunia ini masih banyak yang dikesampingkan baik baik oleh masyarakat dan Negara sehingga membuat mereka rentan menjadi korban tindak kekerasan. Korban perkosaan memerlukan serangkaian perangkat perlindungan baik itu yang sifatnya yuridis maupun yang non yuridis. Perlindungan yuridis diberikan lewat seperangkat peraturan hukum yang berpihak pada korban perkosaan dan mampu memberikan rasa aman korban tersebut dalam berbagai tingkatan pemeriksaan. Sedangkan perlindungan non yuridis mewujudkan kedua bentuk perlindungan ini membutuhkan dukungan dan keinginan baik dari Negara.
Universitas Sumatera Utara